Anda di halaman 1dari 18

Hepatitis A

Definisi Hepatitis A merupakan infeksi virus hepatitis


A (VHA) pada hati yang bersifat akut.

Epidemiologi Secara global dan di Indonesia, Hepatitis A merupakan penyakit hati


paling banyak dilaporkan. Umumnya seroprevalensi anti-VHA
ditemukan tinggi pada daerah dengan standar kesehatan, terutama
higienitas, yang masih rendah.

Etiologi dan Faktor Penyebaran VHA terjadi secara fekal-oral, baik berupa kontak
Risiko langsung atau melalui makanan/ mi- numan yang terkontaminasi.
Tidak terbukti adanya penularan secara perinatal (ibu ke janin) pada
penyakit ini.

profil virus hepatitis A


VAH merupakan virus untai tunggal (single-stranded) tidak
berselubung, yang tergolong dalam genus hepatovirus dari
picornaviridae. Virus tersebut mati dengan perebusan air suhu 70 °C
selama I menit, dengan formaldehid atau klorin, atau radiasi sinar
ultraviolet.

Patogenesis dan VHA memiliki masa inkubasi ±4 minggu. Replikasi virus dominasi
patofisiologi terjadi pada hepatosit. meski VHA juga ditemukan pada empedu,
feses, dan darah. Antigen VAH dapat ditemukan pada feses pada 1-
2 minggu sebelum dan 1 minggu setelah awitan penyakit.
Fase akut penyakit ditandai dengan peningkatan kadar
aminotransferase serum, ditemukan antibodi terhadap VAH (IgM
anti-VAH), dan munculnya gejala klinis (jaundice). Selama fase akut,
hepatosit yang terinfeksi umumnya hanya mengalami perubahan
morfologi yang minimal; hanya <I% yang menjadi fulminan. Kadar
lgM anti-VAH umumnya bertahan kurang dari 6 bulan,yang
kemudian digantikan oleh lgG anti-VAH yang akan bertahan seumur
hidup. lnfeksi VHA akan sembuh secara spontan, dan tidak pernah
menjadi kronis atau karier.
Manifestasi klinis Fase pre-ikterik (1-2 minggu sebelum fase ikterik): ditemukan gejala
konstitusional seperti anoreksi, mual dan muntah, malaise, mudah
lelah, atralgia, mialgia, nyeri kepala, fotofobia, faringitis, atau batuk.
Perasaan mual, muntah, dan anoreksia seringkali terkait dengan
perubahan pada penghidu dan pengecapan. Dapat pula timbul
demam yang tidak terlalu tinggi. Perubahan warna urin menjadi lebih
gelap dan feses menjadi lebih pucat dapat ditemukan 1-5 hari
sebelum fase ikterik.
Fase ikterik: gejala konstitusional umumnya membaik, namun
muncul gambaran klinis jaundice, nyeri perut kuadran kanan atas
(akibat hepatomegali) , serta penurunan berat badan ringan. Pada 10-
20% kasus, dapat ditemukan splenomegali dan
adenopati servikal. Fase ini berlangsung antara 2-12 minggu.
Fase perbaikan (konvalesens): gejala konstitusional menghilang,
tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati masih ditemukan.
Nafsu makan kembali dan secara umum pasien akan merasa lebih
sehat. Perbaikan klinis dan parameter laboratorium akan komplit
dalam 1-2 bulan sejak awitan ikterik. Namun, sebanyak <I% kasus
menjadi hepatitis fulminan, yakni munculnya ensefalopati dan
koagulopati dalam 8 minggu setelah gejala pertama penyakit hati.

Diagnosis anamnesis → tanyakan gejala klinis dan riwayat berpergian


Pemeriksaan fisik → febris, sklera ikterik, hepatomegali, warna urin
seperti teh
pemeriksaan penunjang → tes laboratorium urin
pemeriksaan darah
igM anti HAV

Tatalaksana → asupan kalori dan cairan yang adekuat


→ tirah barung
→ pengobatan simptomatik
→ demam : ibuprofen 2x 400 mg/hari
→ mual : domperidon 3x 10 mg/ hari
→ perut perih dan kembung → ranitidin 2x150
mg/hari (H2 bloker)

konseling dan edukasi


→ jaga sanitasi dan higiene
→ vaksinasi hepatitis

Komplikasi dan Umumnya pasien akan membaik secara sempurna


Prognosis tanpa ada sekuel klinis. Sekitar I0-15% kasus dapat mengalami
relaps dalam 6 bulan setelah fase akut selesai, namun tidak ada
potensi untuk menjadi kronis.
Meski sangat jarang, risiko hepatitis fulminan (gagal hati akut)
ditemukan meningkat pada individu berusia >40 tahun atau dengan
penyerta penyakit hati lanjut. Gagal hati akut merupakan suatu
kondisi penurunan fungsi hati secara cepat dan masif. ditandai
dengan perubahan status mental (ensefalopati) dan koagulopati (INR
> 1,5) yang terjadi dalam 8 minggu setelah awitan penyakit hati.
Angka mortalitas sangat tinggi pada kasus fulminan.

komplikasinya → hepatitis A fulminant

Kolelitiasis

Definisi Deposit kristal empedu yang ditemukan di dalam kandung empedu.

Epidemiologi Prevalensi kolelitiasis berkisar antara 5-25%, dengan angka kejadian


yang lebih sering pada populasi negara barat, perempuan, dan usia
lanjut. Batu empedu secara klasik dikategorikan berdasarkan
kandungannya menjadi, batu kolesterol (>80% kasus), batu pigmen,
dan campuran, yang hanya dapat ditentukan setelah batu tersebut
diangkat. Masing-masing jenis batu memiliki etiologi dan
penampakan radiologis yang berbeda, namun tetap pendekatan
diagnosis dan tata laksana tetap sama.

Klasifikasi Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu


empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan (Bateson, 1991;
Lesmana, 2006;
Bhangu, 2007).
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari
70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu
yang mengandung > 50% kolesterol) (Bhangu, 2007).
Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan
prevalensinya kurang dari 10%. Proses fisik pembentukan batu
kolesterol terjadi dalam empat tahap:
a. Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
b. Pembentukan nidus.
c. Kristalisasi/presipitasi.
d. Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan
senyawa lain yang membentuk matriks batu.

2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis batu empedu yang
mengandung < 20% kolesterol. Jenisnya antara lain:

a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)


Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu
pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi
saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi
singter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi
infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-
glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi
bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin
menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang
dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri
dan terbentukya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat
ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi
(Townsend, 2004; Alina, 2008).

b. Batu pigmen hitam.


Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti
bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi (Lesmana,
2006). Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan
pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen
hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin.
Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu
pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu
yang steril (Doherty, 2010).

3.Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung
20-50% kolesterol. Merupakan batu campuran kolesterol yang
mengandung kalsium. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 %
pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat
tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar
metabolisme yang sama dengan batu kolesterol (Garden, 2007).

Etiologi dan faktor


risiko

Penyebab pasti dari kolelitiasis atau batu empedu belum diketahui,


satu teori meyatakan bahwa kolestreol dapat menyebabkan
supersaturasi empedu di kandung empedu. Setelah beberapa lama,
empedu yang telah mengalami supersaturasi menjadi mengkristal
dan memulai membentuk
batu. Tipe lain batu empedu adalah batu pigmen. Batu pigmen
tersusun oleh kalsium bilirubin, yang terjadi ketika bilirubin bebas
berkombinasi dengan kalsium. (Wiliam, 2003).

patogenesis dan Batu kolesterol terbentuk akibat ketidakseimbangan antara faktor


patofisiologi pronukleasi/pembentukan (relatif meningkat) dengan faktor
antinukleasi/penghambat (relatif menurun). Faktor pronukleasi ialah
kolesterol empedu yang berlebihan dan glikoprotein mukus,
sementara faktor antinukleasi ialah kadar garam empedu, dan lesitin
(vesikel fosfolipid). Batu empedu dapat bermigrasi melalui duktus
sistikus ke saluran empedu dan menjadi batu saluran empedu
(koledokolitiasis).

Manifestasi klinis Dapat bersifat asimtomatis. Gejala muncul saat terjadi inflamasi dan
obstruksi ketika batu bermigrasi ke duksus sistikus Keluhan khas
berupa kolik bilier. Karakteristik kolik bilier antara lain:
● Nyeri kuadran kanan atas atau epigastrium;
● Kadang menjalar ke area interskapularis, skapula kanan atau
bahu;
● Episodik, remiten, mendadak;
● Berlangsung 15 menit-5 jam;
● Hilang perlahan dengan sendirinya;
● Disertai mual atau muntah;
Kolik bilier dapat dicetuskan dengan makan makanan berlemak,
konsumsi makanan dalam porsi besar setelah puasa berkepanjangan
atau dengan makan makanan normal,seringkali pada malam hari.
Nyeri menetap >5 jam atau disertai demam, mengindikasikan adanya
kolesistitis akut (lihat Subbab Kolesistitis) atau komplikasi lainnya.

Prinsip diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisis,yang dibuktikan dengan temuan radiologis berupa batu empedu
pada kandung empedu.
Pemeriksaan USG kandung kemih.
penunjang Akurat dalam mendiagnosis kolelitiasis (sensitivitas 90% dan
spesifisitas 88%). Pasien dianjurkan untuk puasa 8 jam sebelum
pemeriksaan. Gambaran utama kolelitiasis antara lain, posterior
acoustic shadow dari opasitas pada lumen kandung empedu yang
berubah dengan sesuai posisi pasien (pengaruh gravitasi). USG juga
dapat melihat fungsi pengosongan batu empedu, serta mendeteksi
adanya komplikasi kolesistitis dan pankreatitis.

Tatalaksana 1. Pasien Asimtomatis


Belum terdapat bukti yang mendukung intervensi bedah pada kasus
asimtomatis. Risiko operasi dianggap lebih besar dibandingkan
manfaatnya. Tata laksana berupa intervensi gaya hidup, antara lain
olahraga, menurunkan berat badan dan diet rendah kolesterol.
2. Pasien Simtomatis.
Pilihan terapi utama berupa intervensi bedah atau prosedur invasif
minimal untuk mengeluarkan batu. Terapi farmakologis masih belum
menunjukkan efikasi yang bermakna.
● lntervensi bedah (kolesistektomi laparoskopi).
Direkomendasikan pada pasien dengan gejala berat atau
frekuensi sering, ukuran batu sangat besar (>3 cm), atau
disertai komplikasi/ penyulit.
● Prosedur endoscopic retrograde cholangiopancreatography
(ERCP) dengan sfingterotomi endoskopik. Bertujuan untuk
mengeluarkan batu saluran empedu dengan balon-ekstraksi
melalui muara yang sudah dilebarkan menuju duodenum.
Batu empedu akan keluar bersama tinja atau dikeluarkan
melalui mulut bersama instrumen ERCP.
● Terapi farmakologis dengan asam ursodeksikolat (dosis 10-
15 mg/KgBB/hari).

Diagnosis banding
● Acute Pancreatitis
● Bile Duct Tumors
● Gallbladder Cancer
● Gastroesophageal reflux disease (GERD)
● Hepatitis
● Irritable bowel syndrome
● Pancreatic Cancer
● Pancreatitis (acute or chronic)
● Peptic Ulcer Disease

Komplikasi dan ● Kolesistitis akut (radang kandung empedu);


prognosis ● Koledokolitiasis (batu empedu pada duktus sistikus) ;
● Kolangitis akut (radang saluran empedu); Pankreatitis akut;
● Mukokel, empiema, hingga gangren pada kandung empedu;
● Keganasan kandung empedu.

Prognosis pada kolelitiasis sendiri tidak dihubungkan dengan


meningkatnya kematian atau ditandai dengan kecacatan.
Bagaimanapun, bisa disebabkan karena adanya komplikasi. Jadi
prognosis cholelithiasis tergantung dari ada/tidak dan berat/ringannya
komplikasi. Namun, adanya infeksi dan halangan disebabkan oleh
batu yang berada di dalam saluran
biliaris sehingga dapat mengancam jiwa. Walaupun demikian,
dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat serta tepat, hasil yang
didapatkan biasanya sangat baik.

Sumber kapita selekta edisi IV jilid 2


Sueta,Made Agus Dwianthaa.2014.FAKTOR - FAKTOR
TERJADINYA BATU EMPEDU DI RSUP Dr. WAHIDIN
SUDIROHUSODA MAKASSAR

Empiema dan Hidrops kantung empedu

Definisi Hidrops kandung empedu bisanya disebut juga mukokel kandung


empedu yang merupakan kondisi patologis karena adanya sumbatan
pada ductus sistikus saluran empedu oleh batu empedu sehingga
menyebabkan benturan batu empedu dalam kandung empedu yang
menyebabkan inflamasi.

Empiema kandung empedu merupakan komplikasi paling parah dari


kolesistitis akut yang juga dapat disebabkan karena adanya obstruksi
mekanis pada duktus sistikus (Le et al., 2023).Yang membedakan
hidrops dan empiema, pada empiema yang terakumulasi dalam
kandung empedu adalah nanah atau pus akibat inflamasi.

Epidemiologi Hidrops dan empiema kandung empedu merupakan kondisi langka


yang jarang ditemukan, hidrops kandung empedu ditemukan <5%
dari semua kasus penyakit kandung empedu. (Amarnath, 2019).
Sedangkan empiema kandung empedu diperkirakan terjadi
sebanyak 5 sampai 15% kasus pada pasien yang terdiagnosis
kolesistitis akut. Ditemukan kondisi yang lebih parah pada kelompok
usia yang lebih tua dan jenis kelamin laki laki juga ditemukan lebih
banyak mengidap penyakit ini (Le et al., 2023).

Etiologi dan faktor Empiema kandung empedu terjadi ketika lumen kandung empedu
risiko terisi eksudat dan pus yang sering kali berwarna terang. Nanah di
kandung empedu yang terinflamasi muncul dengan infeksi
mikroorganisme yang diantaranya Klostridium, Klebsiella, dan
Escherichia coli. Infeksi terjadi ketika obstruksi dukstus sistikus dan
stasis empedu menetap di kandung empedu. Hal ini berawal dari
kolesistitis (Gomes et al., 2022) Selain empiema, hidrops kandung
empedu juga dapat terjadi ketika duktus sistikus tersumbat secara
berkepanjangan karena batu empedu (Sharma et al., 2021).

Patogenesis dan Empiema dan hidrops kandung empedu adalah dua kondisi yang
patofisiologi terkait dengan disfungsi sistem empedu yang dapat mengakibatkan
komplikasi serius pada kesehatan manusia. Patofisiologi keduanya
berkaitan dengan proses infeksi dan obstruksi yang dapat
mempengaruhi fungsi normal saluran empedu dan kandung empedu.

Empiema merupakan suatu kondisi yang terjadi ketika infeksi bakteri


mengakibatkan penumpukan nanah dalam rongga tertentu, dalam
hal ini rongga kandung empedu. Kondisi stagnasi empedu yang
timbul karena adanya obstruksi pada duktus sistikus, terutama pada
penyakit batu empedu, menjadi lingkungan yang rentan terhadap
infeksi. Infeksi yang berat pada kondisi ini biasanya diinduksi oleh
patogen seperti Escherichia coli, Klebsiella, Streptococcus faecalis,
serta beberapa bakteri anaerob seperti Bacteroides dan Clostridia.
Selanjutnya, pembentukan nanah terjadi sebagai respon dari infeksi
tersebut, mengisi rongga kantung empedu dengan materi nanah
yang pekat. Keadaan ini membuat dinding kantong empedu menjadi
tegang dan mengalami edema (Kashyap et al., 2023)

Di sisi lain, hidrops kandung empedu menyebabkan distensi kandung


empedu akibat sumbatan atau obstruksi saluran empedu, yang
mengganggu aliran normal empedu keluar dari kandung empedu.
Hidrops kandung empedu merupakan akibat dari penyumbatan yang
berkelanjutan pada saluran kistik atau saluran empedu. Sehingga,
cairan mukoid berkumpul dalam lumen kandung empedu,
menggantikan empedu normal yang seharusnya terdapat di
dalamnya. Dalam respons adaptif terhadap penyumbatan tersebut,
garam empedu yang biasanya terkandung dalam empedu diserap
kembali oleh dinding kandung empedu, mengakibatkan substitusi
oleh lendir yang jernih dan encer. Fenomena ini terutama terjadi
ketika ada kondisi yang mendorong statis pada duktus sistikus atau
percabangan bilier distal, baik melalui penyumbatan fisik maupun
kompresi struktural (Lam et al., 2021). Penyumbatan oleh batu
empedu adalah penyebab yang dominan dalam terjadinya hidrops
kandung empedu (Sharma et al., 2021).

Patofisiologi kedua kondisi ini melibatkan proses inflamasi dan


obstruksi. Pada empiema, infeksi bakteri merangsang respons
inflamasi pada dinding kandung empedu, yang mengakibatkan
meradangnya jaringan dan produksi nanah. Sedangkan, hidrops
kandung empedu berhubungan dengan sumbatan aliran empedu
yang menyebabkan penumpukan cairan empedu dalam kandung
empedu serta berkaitan juga dengan distensi kandung empedu.
Akibatnya, keduanya dapat menghasilkan gejala nyeri perut, demam,
mual, muntah, serta gangguan pencernaan lainnya.

Manifestasi klinis Pasien dengan empiema kandung empedu memiliki gejala yang
mirip dengan kolesistitis akut.
● Nyeri tekan di kuadran kanan atas dan tanda Murphy positif
adalah gejala yang paling umum dan dominan.
● Seiring dengan perkembangan patologi, mungkin akan
ditemukan kantung empedu yang teraba sangat lunak bahkan
pada palpasi ringan.
● Dengan memburuknya penyakit, demam tinggi, menggigil,
kaku, dan tanda-tanda sepsis sistemik mengikuti. Pasien
yang menggunakan imunosupresan atau menderita diabetes
terkait mungkin memiliki perjalanan penyakit yang lebih lama
dengan beberapa tanda dan gejala khas yang terkait seperti
yang dijelaskan di atas.
● Jika perforasi kandung empedu telah terjadi, pasien mungkin
mengalami takikardia, demam, sepsis umum, menggigil, dan
nyeri di kuadran kanan atas.

Prinsip diagnosis Obstruksi kandung empedu yang terus- menerus menyebabkan


kandung empedu hidropik karena produksi lendir yang terus-
menerus oleh mukosa kandung empedu. Tanda hidrops diuji dengan
menerapkan kompresi bertahap pada kantong empedu. Tanda
hidrops positif jika kantong empedu “menonjol” ke dinding perut
selama kompresi dan mempertahankan konturnya yang membulat
(gambar 1). Hal ini paling baik terlihat pada saat ekspirasi, ketika
otot-otot dinding perut rileks.
Diagnosis hidrops kandung empedu dapat ditegakkan jika kandung
empedu membengkak karena adanya lendir, air, atau kandungan
cairan bening, bukan empedu. Hal ini disebabkan oleh penyumbatan
ductus sistikus yang berkepanjangan, biasanya oleh batu empedu
yang terkena dampak(Sharma et al., 2021)
Hidrops kandung empedu mengacu pada kandung empedu
mengalami distensi berlebihan yang berisi cairan mukoid atau bening
dan encer yang bahkan bisa mencapai volume lebih dari 1500 mL
dan didefinisikan sebagai distensi kandung empedu dengan anterior-
posterior diameter > 5 cm atau pembesaran > 4×10 cm. Karena
obstruksi yang sudah berlangsung lama, empedu diserap secara
perlahan dengan produksi cairan mukoid yang terus menerus dari
mukosa kandung empedu, sehingga dinding kandung empedu
mungkin memiliki ketebalan normal, namun bisa menjadi tipis dan
atrofi, dan mungkin berlubang pada kasus yang sudah berlangsung
lama. (Khothsymuong & Kaminski,2004).
Hidrops dan empiema kandung empedu dapat didiagnosis melalui
beberapa pemeriksaan.
Pemeriksaan secara langsung dapat dilakukan untuk mencari nyeri
yang menjalar dari perut bagian kanan atas. Selain itu, pemeriksaan
suhu, tekanan darah, denyut nadi, dan laju napas juga dilakukan
untuk mengetahui adanya demam dan komplikasi dari kolesistitis
seperti pecahnya kantung empedu.

Kemudian, tes laboratorium dapat dilakukan untuk mencari adanya


kolesistitis, seperti pemeriksaan darah lengkap untuk mencari
peningkatan jumlah sel darah putih, bilirubin, enzim hati, serta enzim
pankreas seperti amilase.
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mencari
adanya hidrops dan empiema kandung empedu dapat berupa
ultrasonografi (USG) untuk mencari adanya batu empedu yang
menyumbat saluran empedu, dan untuk mencari pembesaran
kantung empedu. Dari pembesaran tersebut, dapat diketahui jika isi
kantung empedu merupakan cairan bening atau keruh seperti nanah
(Kashyap et al., 2023)
Hal ini selaras dengan Mehta (2016) yang menyatakan bahwa
ultrasonografi adalah pilihan utama untuk mengevaluasi kantung
empedu. jika terdapat kecurigaan adanya komplikasi pada kolesistis
berdasarkan perkembangan penyakit, pemeriksaan tomografi dapat
dilakukan untuk mendapatkan detail gambaran anatomi yang lebih
baik. Pada CT scan, kantung empedu dapat terlihat dengan jelas:
mulai dari dindingnya hingga isinya. Namun, sumbatan akibat batu
sulit dilihat dengan CT scan. Pemeriksaan lainnya dapat berupa
magnetic resonance imaging (MRI), yang dapat mengambarkan
saluran empedu dengan sangat jelas, dan sering digunakan bersama
dengan endoskopi (selang yang diberikan kamera pada ujungnya)
untuk melihat saluran empedu secara menyeluruh (Kashyap et al.,
2023).

Tatalaksana Setelah diagnosis ditegakkan, sangat penting untuk segera memulai


terapi dengan tujuan menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas
(Mayumi et al., 2018). Terapi ini meliputi pemberian cairan dan
mengembalikan keseimbangan elektrolit dalam tubuh guna
menghindari pasien mengalami dehidrasi. Selain itu, pemberian
terapi cairan juga dapat mengoptimalkan kondisi pasien agar pasien
dapat disiapkan untuk prosedur pembedahan. Maka dari itu,
antibiotik, rehidrasi, dan optimalisasi pasien untuk pembedahan
harus dilakukan secepatnya.
Setelah kondisi pasien stabil dan optimal, maka prosedur operasi
dapat dilakukan. Ada semakin banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa pasien harus menjalani proses pembedahan kantung empedu
dalam waktu 48 hingga 72 jam setelah kondisi pasien sudah stabil.
Laparoskopi kolesistektomi merupakan salah satu prosedur
penanganan lini pertama dan dapat dilakukan sesuai dengan tingkat
keparahan dari Empiema ataupun Hidrops Kantung Empedu. Jika
kondisi pasien tidak memenuhi kriteria untuk menjalani prosedur
pembedahan maka dapat dilakukan drainase dari kantung empedu.
(Mayumi et al., 2018). Setelah dilakukannya prosedur pembedahan,
pasien dapat diberikan antibiotik secara intravena hingga demam
menurun dan pemeriksaan darah lengkap dalam batas normal.
Nyeri merupakan salah satu gejala pada Hidrops kantung empedu.
Terapi obat anti nyeri intravena dapat diberikan untuk mengatasi
masalah simtomatis yang dialami pasien dan mengontrol nyeri lebih
lanjut. Meperidine adalah obat pilihan untuk mengendalikan nyeri
karena meperidine merupakan obat golongan analgesik yang
menyerupai morfin. Obat ini dapat mencegah konstipasi serta
mencegah spasme otot polos. Meperidine telah terbukti memberikan
analgesia yang memadai tanpa mempengaruhi sfingter Oddi, oleh
karena itu meperidin merupakan analgesik pilihan pertama. Salah
satu kontraindikasi penggunaan analgesik pada penyakit Hidrops
kantung empedu adalah obat yang meningkatkan tonus otot pada
sfingter Oddi (Villavicencio Kim & Wu, 2022)

Prognosis Prognosis hidrops dan empiema kandung empedu bergantung pada


beberapa faktor, seperti diagnosis dan pengobatan yang cepat, usia,
serta kondisi kesehatan yang mendasarinya (Kashyap et al., 2023)
Empiema kandung empedu adalah kelainan serius yang memerlukan
diagnosis dan pengobatan segera. Jika ditangani segera, hasilnya
akan baik. Namun, individu dengan usia lanjut, mereka yang memiliki
sistem imun lemah atau menderita diabetes, biasanya cenderung
memiliki hasil yang lebih buruk dibandingkan dengan orang sehat.
Prognosis hidropkandung empedu bergantung pada tingkat
keparahan kondisi dan penyebab yang mendasarinya. Jika
kondisinya ringan dan penyebab utamanya telah diobati,
prognosisnya umumnya baik (Sharma et al., 2021)

sumber Annisa Risqi Amaliya1*, Rika Kamila Salsabila1, Teguh Budi


Wicaksono1, Steven Christian1, Gina Aulia Azizaturrahmah1, Ghina
Shadrina Rienti Sepestian1, Yusra Pintaningrum2.2023. Jurnal
Kedokteran Unram. Komplikasi Kolesistitis: Empiema dan Hidrops
Kandung Empedu

Sirosis Hepatis

Definisi Perubahan arsitektur jaringan hati yang ditandai dengan


regenerasi nodular yang bersifat difus dan dikelilingi oleh septa-
septa fibrosis . Perubahan (distorsi) struktur tersebut dapat
mengakibatkan pening- katan aliran darah portal, disfungsi
sintesis hepatosit, serta meningkatkan risiko karsinoma
hepatoseluler (KHS).

Epidemiologi Prevalensi sirosis hati sulit untuk dinilai karena


stadium awalnya bersifat asimtomatis. Namun, sirosis tercatat
sebagai penyakit kematian ke-14 tersering pada dewasa di dunia,
dengan angka kematian sekitar 1,04 juta jiwa per tahun. Sirosis
juga menjadi indikasi utama untuk 5.00 kasus transplantasi hepar
per tahun di negara maju.

Etiologi dan faktor Seluruh penyakit hati yang bersifat kronis dapat
risiko mengakibatkan sirosis hati. Etiologi tersering di negara barat ialah
akibat konsumsi alkohol. Sementara di Indonesia, sirosis
utamanya disebabkan oleh hepatitis B dan/ atau C kronis.

Patogenesis dan Sirosis hati kini dikenal sebagai proses yang dinamis dan pada
patofisiologi kondisi tertentu bersifat reversibel. Transisi dari penyakit hati
kronis menjadi sirosis melibatkan proses yang kompleks antara
reaksi inflamasi, aktivasi sel Stelata (penghasil kolagen),
angiogenesis, dan oklusi pembuluh darah yang berdampak pada
perluasaan lesi parenkim hati.

Patogenesis utama dari proses fibrosis dan sirosis hati ialah


aktivasi sel Stelata. Sel Stelata normalnya bersifat "diam" dan
berperan dalam penyimpanan retinoid (vitamin A). Namun,
adanya stimulus jejas dan reaksi inflamasi akan mengaktivasi sel
Stelata sehingga sel tersebut berproliferasi, memproduksi matriks
ekstraseluler (kolagen tipe I dan III, proteoglikan sulfat dan
glikoprotein), serta menjadi sel miofibroblas yang mampu
berkontraksi.

Secara garis besar, komplikasi sirosis hati terjadi


akibat:
(I) hipertensi portal dan kondisi hiperdinamis, serta (2) insufisiensi
hati. Selain itu, sirosis hati (bersama dengan etiologinya) dapat
menimbulkan perubahan materi genetik pada hepatosit sehingga
berpotensi menjadi karsinoma hepatoseluler (KHS).

I. Hipertensi porta dan kondisi hiperdinamik


Hipertensi porta didefinisikan sebagai peningkatan gradien
tekanan vena hepatik >5 mmHg. Hipertensi porta terjadi akibat
peningkatan resistensi terhadap aliran darah porta dan
peningkatan aliran masuk ke vena porta. Peningkatan resistensi
tersebut disebabkan oleh perubahan struktur parenkim hati
(deposisi jaringan fibrosis dan regenerasi nodular), serta
mekanisme vasokontriksi pembuluh darah sinusoid hati
(utamanya akibat defisiensi nitrit oksida).
Adanya hipertensi porta akan berdampak pada:
● Pembesaran limpa dan sekuestrasi trombosit (pada
tahap lanjut dapat menjadi hipersplenisme);
● Terjadi aliran darah balik dan terbentuk pirau
(shunt) dari sistem porta ke pembuluh darah
sistemik (portosistemik). Aliran portosistemik akan
menurunkan kemampuan metabolisme hati (first-
pass effect), fungsi retikuloendotelial, dan
mengakibatkan hiperamonemia. Kendati demikian,
kolateral portosistemik tetap tidak adekuat dalam
mengurangi tekanan vena porta. Sebaliknya, justru
akan meningkatkan produksi NO sehingga terjadi
vasodilatasi splanikus dan peningkatan aliran daB
ektrahepatik (sementara kadar NO intrahepatik
tetap rendah).
● Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldoteron, akibat
vasodilatasi splanknikus dan vasodilatasi sistemik.
Pada tahap lanjut kondisi ini mengakibatkan
komplikasi pada jantung, paru, dan renal.

Secara klinis, hipertensi porta dan pembentukan kolateral


portosistemik akan mengakibatkan komplikasi berikut:
● Varises gastro-esofagus dan perdarahan varises tersebut;
● Asites. Selain hipertensi porta, risiko kejadian asites juga
semakin meningkat akibat hipoalbuminemia;
● Sindrom hepatorenal, akibat vasokontriksi arteri renalis
sebagai respon terhadap vasodilatasi sistemik (mekanisme
arterial under/Wing);
● Peritonitis bakterialis spontan, yaitu infeksi cairan asites
akibat migrasi bakteri lumen usus ke nodus limfe
mesenterika dan lokasi ekstra-usus lainnya. Diduga terjadi
karena gangguan sistem imunitas lokal dan sistemik.
● Ensefalopati hepatikum, terjadi akibat hiperammonemia.
● Komplikasi lainnya: sindrom hepatopulmonal, hipertensi
portopulmonal, dan kardiomiopati.

2. Insufisiensi hati.
Perubahan struktur histologis hati akan diiringi oleh penurunan
fungsi hati. antara lain:

● Gangguan fungsi sintesis: hipoalbuminemia dan


malanutrisi, defisiensi vitamin K dan koagulopati
(penurunan faktor koagulasi yang membutuhkan vitamin K.
yaitu faktor II, VII, IX, dan X), serta gangguan endokrin
(kadar estrogen darah meningkat, hiperparatiroidisme);
● Gangguan fungsi ekskresi: kolestasis dan ikterus,
hiperamonemia dan ensefalopati;
● Gangguan fungsi metabolisme: gangguan homeostasis
glukosa (dapat menjadi diabetes melitus), malaborpsi
vitamin D dan kalsium.

Manifestasi klinis Sirosis hati merupakan kondisi histopatologis yang


bersifat asimtomatis pada stadium awal.
Secara klinis, sirosis dapat dibedakan menjadi sirosis kompensata
(gejala klinis belum ada atau minimal) dan sirosis dekompensata
(gejala dan tanda klinis jelas).

I. Sirosis kompensata
Kebanyakan bersifat asimtomatis dan hanya dapat
didiagnosis melalui pemeriksaan fungsi hati. Bila ada, gejala yang
muncul berupa kelelahan non-spesifik, penurunan libido, atau
gangguan tidur. Tanda khas (stigmata) sirosis juga seringkali
belum tampak pada tahap ini.

2. Sirosis dekompensata
Disebut sirosis dekompensata apabila ditemukan paling tidak satu
dari manifestasi berikut.
● ikterus
● asites dan edema perifer
● hematemesis melena (akibat perdarahan varises
esofagus)
● jaundice
● atau ensefalopati (baik tanda dan gejala minimal hingga
perubahan status mental). Asites merupakan tanda
dekompensata yang paling sering ditemukan (sekitar
80%).
Selain itu, terdapat beberapa stigma sirosis lainnya yang dapat
diidentifikasi, antara lain:

a. Tanda gangguan endokrin:


● Spider angioma→ Gambaran seperti laba-laba di kulit, terutama
daerah leher, bahu, dan dada;
● Eritema palmaris pada tenar dan hipotenar;
● Atrofi testis. Sering disertai penurunan libido dan
impotensi;
● Ginekomastia;
● Alopesia pada dada dan aksila;
● Hiperpigmentasi kulit, diduga akibat peningkatan kadar
melanocyte-stimulating hormone (MSH) ;

b. Kuku Muchrche→ Gambaran pita putih horizontal


yang memisahkan warna kuku normal;

c. Kontraktur Dupuytren→Penebalan fasia pada palmar (terutama pada


sirosis alkoholik);

d. Fetor hepatikum→Bau napas khas akibat penumpukan metionin (gagal


dimetabolisme) , atau akibat peningkatan konsentrasi dimetilsulfida
akibat pirau portosistemik yang berat;

e. Atrofi otot

f. Petekie dan ekimosis bila terjadi trombositopenia koagulopati


berat
g. Splenomegali;

h. Pemeriksaan palpasi hati sangat bervariasi, mulai dari tidak


ditemukan pembesaran hati, lobus kiri hati yang dapat teraba
lunak (khas sirosis), atau teraba nodul dengan konsistensi keras.

Pemeriksaan 1. Pemeriksaan laboratorium:


Penunjang Parameter hematologi: hemoglobin, leukosit, hitung trombosit,
waktu protombin (INR); Biokimia serum: bilirubin, transaminase
(ALT dan AST), alkalin fosfatase, y -glutamyl transpeptidase ( y
GT) , albumin dan globu- lin, imunoglobulin, feritin serum dan
saturasi transferin;

Apabila ditemukan asites: kadar elektrolit (natrium, kalium,


bikarbonat, klorida), ureum dan kreatinin, serta urinalisis (urin
tampung 24jam);

Deteksi/pemantauan etiologi: penanda serologi hepatitis B dan C,


profil lipid dan glukosa, penanda autoimun, dan sebagainya.

2. Biopsi hati dan pemeriksaan histopatologis.


merupakan baku emas untuk diagnosis dan klasifikasi derajat
sirosis.

3. Pemeriksaan radiologi (non-invasif).


bertujuan untuk:
● Deteksi nodul hati atau tanda hipertensi porta: USG hati,
CT-scan/MRI;
● Penilaian kekakuan jaringan hati (derajat fibrosis): transien
elastografi (Fibroscan®), MRelastrografi.

4. Pemeriksaanesofago-gastroduodenoskopi (EGD), baik untuk


deteksi varises esofagus.

5. Beberapa prediktor sirosis telah dikembangkan dengan


menggunakan metode indirek, antara lain:
● Umumnya rasio AST/ALT >l. Namun, rasio sebaliknya
tidak mengeksklusi kejadian sirosis.
● Skor APRI (indeks rasio AST/trombosit). Dapat digunakan
untuk etiologi hepatitis B kronis dan hepatitis C.
● Skor FIB4. Dapat digunakan untuk etiologi hepatitis B
kronis, hepatitis C, dan NAFLD/ NASH
● Indeks Forns. Dapat digunakan untuk etiologi hepatitis B
kronis dan hepatitis C.

Diagnosis Baku emas diagnosis sirosis hati ialah biopsi hati


dengan pemeriksaan histopatologis. Deteksi sirosis harus
dipertimbangkan untuk setiap etiologi penyakit hati kronis.
Diagnosis juga harus menyertakan: (1) etiologi penyakit, dan (2)
grading/staging histopatologis untuk menilai derajat nekro-
intlamasi dan fibrosis (misalnya dengan skor METAVIR, lihat
Tabel 1).

Secara klinis, sirosis dapat dibedakan menjadi beberapa derajat


kategori berdasarkan kriteria Child- Turcotte-Pugh (lihat Tabel 2)
bertujuan untuk menilai prognosis (angka kesintasan) pasien.
Adapun sistem skor MELD (Model for End-Stage Liver Disease),
yang digunakan untuk menentukan prognosis pada pasien yang
akan menjafani pemasangan TIPS (Tabel 3).

Tatalaksana Tata Laksana Sirosis Kompensata


Terapi ditujukan untuk mencegah perkembangan
menjadi sirosis dekompensata dan mengatasi kausa spesifik.
1. Terapi medikamentosa
● Terapi sesuai etiologi: hepatitis B kronis, hepatitis C,
NASH, sirosis alkoholik, autoimun, dan sebagainya;
● Bila perlu, terapi defisiensi besi. Dapat diberikan tambahan
zink sulfat 2x200 mg PO untuk memperbaiki nafsu makan
dan keram otot.
● Bila perlu, dapat diberikan antiprutitus: kolestiramin,
antihistamin, atau agen topikal;
● Suplementasi vitamin D (atau analognya) pada pasien
berisiko tinggi osteoporosis.

2. Terapi non-medikamentosa

● Diet seimbang 35-40 kkal/KgBB ideal dengan protein 1,2-


1,5 g/KgBB/hari;
● Aktivitas fisik untuk mencegah inaktivitas dan atrofi otot.
sesuaikan dengan toleransi pasien;
● Stop konsumsi alkohol dan merokok;
● Pembatasan obat-obatan hepatotoksik dan nefrotoksik:
OAINS, isoniazid, asam valproat, eritromisin,
amoksisilin/klavulanat, golongan aminoglikosida (bersifat
nefrotoksik pada siro- sis), ketokonazol, klorpromazin, dan
ezetimibe.

Surveilans komplikasi sirosis


a. Monitor kadar albumin, bilirubin, INR, serta penilaian fungsi
kardiovaskular dan ginjal.
b. Deteksi varises dengan esofago-gastroduode- noskopi
(EGD):
● Bila tidak ditemukan varises: Ulangi EGD setiap 2
tahun;
● Bila ditemukan varises kecil: Ulangi EGD setiap I
tahun;
● Bila ditemukan varises besar: penyekat-{3
nonselektif (propanolol), prosedur ligasi varises
(pada kasus intoleran).
c. Deteksi retensi cairan dan pemantauan fungsi ginjal.
d. Deteksi ensefalopati (atau ensefalopati mini-
mal/subklinis): tes psikometri dan neuropsikologis terhadap
atensi dan fungsi psikomotrik setiap 6 bulan.
e. Deteksi karsinoma hepatoseluler: pemeriksaan a-
fetoprotein dan USG hati setiap 6 bulan.
f. Vaksinasi hepatitis B dan hepatitis A, bila perlu.

Tata Laksana Sirosis Dekompensata


Terapi ditujukan untuk mengatasi kegawatdaruratan dan
mengembalikan ke kondisi kompensata.

I. Tata laksana spesifik sesuai komplikasi yang ditemukan.


Di antaranya, ada tiga komplikasi utama yang akan dibahas dalam
Bab terpisah, yaitu varises esofagus, asites, dan ensefalopati
hepatikum. Berikut garis besar pilihan terapi yang dapat diberikan
untuk masing-masing komplikasi:
● Hipertensi porta dan varises esofagus: somatostatin (atau
analognya), terapi endoskopik, pemasangan TIPS,
maupun prosedur bedah;
● Asites: restriksi garam, pemberian spironolakton dan
furosemid, parasentesis bila volume besar;
● Sindrom hepatorenal: penggunaan agen vasopresor dan
albumin, tata laksana gangguan elektrolit dan asam-basa
(bila ada);
● Peritonitis bakterial spontan: kultur dan pemberian
antibiotik spektrum luas;
● Ensefalopati hepatikum: minimalisasi faktor pencetus,
pemberian laktulosa dengan/tanpa rifaksimin,
suplementasi asam amino rantai bercabang dan diet
rendah asam amino lisin, metionin, dan triptofan;
● Koagulopati dan gangguan hematologi: pertimbangkan
transfusi pada kondisi gawatdaru- rat.

2. Pada kebanyakan kasus, dekompensasi terjadi akibat adanya


faktor pencetus, seperti sepsis, hipotensi, atau penggunaan obat-
obatan tertentu. Identifikasi dan tata laksana faktor pencetus
tersebut dapat membantu mengembalikan ke kondisi kompensata.

3. Pertimbangkan transplantasi hati. lndikasi transplantasi hati


ialah sirosis dekompensata atau karsinoma hepatoseluler pada
sirosis hati. Namun, transplantasi dikontraindikasikan pada kondisi
berikut:
-Aktif menggunakan obat-obatan terlarang. misalnya metadon;
-AIDS,nfeksi HIV saja bukan kontraindikasi;
-Keganasan ekstrahepatik;
-Sepsis tidak terkendali;
-Gaga organ ekstrahepatik jantung, paru);
-Trombosis splanikum yang meluar ke vena mesenterika superior.

Prognosis Sangat bergantung pada kondisi klinis pasien yang dapat


diprediksi dengan skor CTP Oihat Tabel 2). Umumnya, mortalitas
hanya terjadi setelah pasien mengalami fase dekompensasi (lihat
Tabel 4). Untuk sirosis kompensata saja, angka kesintasan
selama I0 tahun diperkirakan sekitar 90%, namun terjadinya de-
kompensata dalam I 0 tahun tersebut meningkat 50%. Sementara
itu, angka kejadian KHS dilaporkan kon- stan 3% per tahun dan
berkorelasi dengan prognosis yang buruk pada setiap stadium
KHS.

Anda mungkin juga menyukai