Anda di halaman 1dari 24

RESUME MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

"PRINSIP - PRINSIP IMPLEMENTASI MBS"


1. PENGERTIAN PRINSIP MBS
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau dalam terminologi bahasa Inggris lazim disebut
“School Based Management” dipahami sebagai salah satu alternatif pilihan formal untuk
mengelola penyelenggaraan pendidikan yang terdesentralisasi dengan menempatkan sekolah
sebagai unit utama peningkatan kualitas pendidikan (Abu,I & Duhou, 2002: 16). MBS
ditawarkan sebagai salah satu alternatif jawaban pemberian otonomi daerah di bidang
pendidikan, mengingat prinsip dan kecenderungannya yang mengembalikan pengelolaan
manajemen sekolah kepada pihakpihak yang dianggap paling mengetahui kebutuhan riel di
sekolah.
Desentralisasi persekolahan adalah sebuah proses yang komplek dan dapat membawa
perubahan-perubahan penting tentang cara sistem persekolahan untuk menciptakan
kebijakan, mendapatkan sumberdaya, mengeluarkan dana, melatih guru, menyusun
kurikulum, dan mengelola sekolah-sekolah setempat (Fiske, E.B. Drost, S.J. (1998: 8).
Terkait dengan desentralisasi, MBS dikembangka untuk membangun sekolah yang
berkualitas. Konsep desentralisasi model MBS mengacu kepada sekolah swa-manajemen
(self-managing school), bukan pada penyelenggaraan sekolah mandiri (self-governing
school). Sedangkan Depdiknas merumuskan pengertian MBS sebagai model manajemen
yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan
keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala
sekolah, karyawan, orang tua, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Dalam otonomi pendidikan, sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam
mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Konsep MBS Departemen Agama RI
mengembangkan “Madrasah Mandiri”. Mandiri dalam mengelola program dan sumberdaya
seperti: pengetahuan, teknologi, kekuasaan, material, manusia, waktu dan keuangan. Dengan
sistem ini, sekolah-sekolah dideregulasi oleh pemerintah pusat, sementara kontrol dan
pengaruh lokal diperluas dengan tujuan sekolah diberi tanggungjawab yang lebih besar untuk
mengurus segala keperluan dan mengembangkan programnya.
2. Macam macam prinsip MBS dan Relasi antar Prinsip MBS
Pedoman yang digunakan manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk mengelola sekolah
didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat mendukung ketercapaian tujuan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Nurkolis (2005: 52-55) bahwa prinsipprinsip MBS adalah (1) ekuifinalitas
(equifinality), (2) desentralisasi (decentralization), (3) pengelolaan mandiri (self-managing
system), (4) Inisiatif manusia (human initiative).
A. Prinsip ekuifinalitas berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda-beda
untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan fleksibilitas sehingga sekolah harus
dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi masing-masing, walaupun sekolah yang
berbeda dihadapkan masalah yang sama, cara penanganannya akan berlainan antara
sekolah yang satu dengan yang lain.
B. Prinsip desentralisasi adalah efisiensi dalam pemecahan masalah, bukan menghindari
masalah. Desentralisasi pendidikan memberikan peluang yang luas kepada
sekolahuntuk mengelola sumberdaya sekolah menurut strategi-strategi yang unik
dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.
C. Prinsip pengelolaan mandiri, memberikan kewenangan sekolah untuk mengelola
secara mandiri dengan kebijakan yang telah ditetapkan secara kolaboratif. Dengan
demikian, sekolah memiliki otonomi untuk mengembangkan tujuan pengajaran,
strategi manajemen, distribusi sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya,
memecahkan masalah, dan mencapau tujuan berdasarkan kondisi masing-masing.
E. Prinsip inisiatif manusia, mengakui bahwa manusia bukanlah sumberdaya yang statis,
melainkan Diinamis. Karena itu potensi sumberdaya manusia harus selalu digali,
ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Lembaga pendidikan harus menggunakan
pendekatan human resources development, yang memiliki Konotasi dinamis dan
menganggap serta memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting
dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan.
Secara lebih operasional, Depdiknas (2001: 6--7) menetapkan prinsip-prinsip manajemen
berbasis sekolah (MBS) sebagai berikut: (1) keterbukaan, (2) kebersamaan, berkelanjutan, (3)
menyeluruh, (4) zpertanggungjawaban, (5) demokratis, (6) demokratis, (7) kemandirian, (8)
berorientasi pada mutu, (9) pencapaian standar pelayanan minimal, (10) Pendidikan untuk
semua.
Prinsip-prinsip dimaksud apabila dapat dipenuhi, makaiimplementasi manajemen berbasis
sekolah dapat meningkatkan pelayanan dan mutu pendidikan di sekolah Dengan melibatkan
sumberdaya sekolah dan masyarakat.
3. Kritik Terhadap MBS
Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai bentuk reformasi pendidikan menuntut
adanya dukungan dan aspirasi dari pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan
lainnya. Reformasi pendidikan muncul karena adanya ketidakpuasan dalam penyelenggaraan
pendidikan dan hasil yang dicapai.Kajian tentang implementasi manajemen berbasis sekolah
memberikan gambaran keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam bidang
pendidikan. Untuk mengukur keberhasilan MBS harus dilihat dari perspektif yang lebih luas
baik prestasi akademik maupun nonakademik siswa, kuantitas dan kualitas layanan
pendidikan, efisiensi, efektivitas dan produktivitas penyelenggaraan pendidikan dan kualitas
kerja guru, staf dalam menjalankan tugas di sekolah serta terciptanya demokratisasi dalam
penyelenggaraan pendidikan.Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah suatu alat dan bukan
tujuan akhir. Tujuan akhirnya untuk membentuk manusia yang berkualitas.
"TEORI DAN IMPLEMENTASI MBS"

1. MBS Dalam Teori


MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada
tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber
dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. MBS merupakan
paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan
maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. Pada sistem MBS sekolah dituntut
secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan
mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun
pemerintah. MBS juga merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang
menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai
bagi siswa. Hal ini juga berpotensi untuk meningkatkan kinerja staf, menawarkan partidipasi
langsung kepada kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman kepada
masyarakat terhadap pendidikan. Pengertian MBS “Suatu konsep yang menempatkan
kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat
yang paling dekat dengan proses belajar mengajar “ Tujuan MBS Tujuan utama penerapan
MBS pada intinya adalah untuk penyeimbangan struktur kewenangan antara sekolah,
pemerintah daerah pelaksanaan proses dan pusat sehingga manajemen menjadi lebih efisien.
Kewenangan terhadap pembelajaran di serahkan kepada unit yang paling dekat dengan
pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu sekolah. Disamping itu untuk
memberdayakan sekolah agar sekolah dapat melayani masyarakat secara maksimal sesuai
dengan keinginan masyarakat tersebut. Tujuan penerapan MBS adalah untuk memandirikan
atau memberdayakan sekolah melalui kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong
sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif.
Lebih rincinya MBS bertujuan untuk:
1. meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola
dan memberdayakan sumber daya yang tersedia;
2. meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan
pendiikan melalui pengambilan keputusan bersama;
3. meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah
tentang mutu sekolahnya; dan
4. meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan
dicapai.
2. Aliran aliran MBS
A. Aliran Nativisme
Tokoh aliran ini adalah Arthur Schoupenhauer, ia berpendapat bahwa perkembangan
manusia itu telah ditentukan oleh faktor- faktor yang dibawa manusia sejak lahir, Pembawaan
yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangan. Jadi,
pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan dengan kata lain faktor lingkungan
maupun faktor pendidkan kurang berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak.
B. Aliran Naturalisme
Aliran ini dipelopori oleh J.J Rosseau. Rosseau berpendapat bahwa semua anak baru
dilahirkan mempunyai pembawaan BAIK. Pembawaan baik akan menjadi rusak karena
dipengaruhi lingkungan. Pendidikan yang diberikan orang dewasa malah dapat merusak
pembawaan baik anak itu. Sehingga faktor lingkungan dan faktor pendidikan sangat
berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak.
C. Aliran Empirisme
Aliran ini dipelopori oleh John Locke, yang bertolak belakang dengan aliran
nativisme, karena aliran empirisme berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi
manusia dewasa itu ditentukan oleh lingkungan, pendidikan, dan pengalaman yang
diterimanya sejak kecil. Sehingga sifat bawaan dari lahir tidak menentukan perkembangan
anak.
D. Aliran Konvergensi
Aliran Konvergensi dipelopori oleh William Stern, ia berpedapat bahwa seorang anak
dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Proses
perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama sama
mempunyai peranan sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan
berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan
anak itu.Ngalim Purwanto, 2007, Ilmu pendidikan Teoretis dan Praktis, Remaja Rosdakarya,
Bandung, hlm 59-60.
3. Relevansi implementasi MBS
Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah. Sebagaimana telah disebut, manajemen
pendidikan berbasis sekolah yang biasa disingkat menjadi manajemen berbasis sekolah
(school-based management) yang oleh Danim (2002: 175) juga disebut school-site
management menjadi populer dengan sebutan MBS. Juga telah disebut di depan bahwa MBS
merupakan bagian dari paradigma baru manajemen pendidikan. Adapun karakteristik dari
paradigma baru manajemen pendidikan tersebut adalah: desentralistik, kebijakan yang bottom
up, orientasi pengembangan yang holistik, multi inteligen, berkesadaran budaya, moralitas
kemanusiaan, kreatif, produktif, berkesadaran hukum, meningkatkan peranserta masyarakat
secara kuantitatif dan kualitatif, yang mencakupi keluarga, Lembaga Swadaya Masyarakat,
pesantren, dan dunia usaha (Siahaan – Khairuddin – Nasution, 2006: 22). Agak berbeda dan
dapat melengkapi, Raharjo (2003: 7) menyebut karakteristik paradigma baru manajemen
pendidikan sebagai: merumuskan/melaksanakan program, keputusan bersama/partisipatif,
ruang gerak yang fleksibel, basis profesional, desentralistik, mandiri, deregulasi, memotivasi,
memfasilitasi, mengelola resiko bukan menghindari, efisien, kerjasama, informasi terbuka,
pemberdayaan, dan oragnisasi horisontal.
Perlu ditegaskan kembali bahwa MBS merupakan wujud dari otonomi sekolah,
sebagai tindak lanjut dari otonomi pendidikan, dan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah.
Otonomi daerah dicanangkan berlaku secara nasional sejak awal 2001. Otonomi daerah tidak
dapat ditawar-tawar lagi (Kompas, Senin, 27 April 2000, halaman 10, kolom 4-9). Landasan
konstitusional pelaksanaan otonomi daerah terurai dalam Undang-Undang Otonomi Daerah
1999, yang mencakup:
(a) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,
(b) UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, dan
(c) UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Otonomi pendidikan dalam kaitannya dengan otonomi daerah dapat diartikan sebagai
desentralisasi pendidikan (autonomy of education) dan otonomi dalam pendidikan (autonomy
in education). Desentralisasi pendidikan mencakupi konsep-konsep pokok: implikasi
implementasi otonomi daerah, dukungan terhadap gerakan reformasi, pemberdayaan potensi
daerah yang memerlukan kesiapan mental-spiritual, material-finansial, struktural-mekanikal,
visi dan misi, serta sistem kontrol. Otonomi pendidikan ditandai oleh unsur-unsur: kebebasan
dan kemerdekaan, kemandirian dan tanggung jawab, demokrasi dan partisipasi, serta
persamaan (equality) dan pemerataan (equity). Desentralisasi pendidikan berfungsi ganda,
yakni: sebagai ”roda gila” pembangunan daerah, perekat persatuan, identitas dan integritas
bangsa, yang menahan arogansi, eforia dan egoisme daerah serta menangkal bahaya
disintegrasi bangsa, seraya mengingkatkan pencapaian otonomi dalam pendidikan (Soegeng
Ysh., 2003: 1-10).
Menurut J.C. Tukiman Taruna (Kompas, Oktober 2000) konsep MBS dipicu oleh (a)
empat pilar tujuan pendidikan: belajar untuk mengetahui (learning to know); belajar untuk
melaksanakan (learning to do); belajar untuk hidup bersama (learning to life together), dan
belajar untuk kemandirian (learning to be), yang tidak terlaksana dengan baik karena
manajemen pendidikan yang sentralistik, (b) kepala-kepala sekolah yang tidak mengurusi
kegiatan belajar-mengajar melainkan administrasi dan kedinasan, (c) suasana kelas yang
tidak bebas, proses pembelajaran yang formal dan kaku, dan (d) kualitas pendidikan menjadi
rendah karena akumulasi dari tiga hal di atas (Soewandi, 2000: v). Otonomi daerah di
Indonesia mulai marak sejak runtuhnya pemerintah Orde Baru (1998) digantikan oleh ”Orde
Reformasi”. Bersamaan dengan munculnya ”Orde Reformasi” itulah terjadi reformasi bidang
pendidikan, yang sedang berlangsung hingga sekarang, yang tampaknya tidak mudah dan
masih banyak masalah. Itulah tantangan bagi MBS sebagai paradigma baru.
Sebagai bagian dari paradigma baru manajemen pendidikan, MBS bertugas untuk
mewujudkan nilai-nilai yang dicakupi paradigma baru tersebut. Hal itu bukanlah tugas yang
ringan. Sebagai rangkaian dari era global telah lahir neoliberalisme dalam bidang pendidikan
(Tilaar, 2005: 141-144). Neoliberalisme dalam bidang pendidikan tersebut di Indonesia telah
menimbulkan (a) tuntutan kebebasan individu secara penuh, (b) lemahnya peran negara
dalam bidang pendidikan, utamanya yang terkait dengan pembiayaan dengan contoh
terjadinya tarikulur tentang anggaran pendidikan yang 20% dari APBD dan APBN di luar
gaji guru dan dosen, yang dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan
permohonanRahmatiah Abbas dan Badryah Rifai (Kompas, Senin, 3 Maret 2008, halaman
14, kolom 1-5), (c) masuknya peran industri besar dalam budaya sekolah/perguruan tinggi,
(d) pembentukan Badan Hukum Pendidikan, yang kini masih dalam proses.
Kebebasan penuh individu yang terkait dengan semangat demokratisasi telah menimbulkan
berbagai bentuk praktik penyelenggaraan pendidikan, seperti sekolah internasional, investasi
modal asing dalam pendidikan di Indonesia, sekolah unggul yang marak di kabupaten/kota,
sekolah akselerasi, quantum teaching dan quantum learning, CTL (Contextual Teaching
Learning), pembelajaran tematis, pembelajaran terpadu, dan lain-lain. Lemahnya peran
negara dalam bidang pendidikan yang terkait dengan pembiayaan pendidikan dalam hal mana
pemerintah cenderung ingin lepas tangan akan berakibat tidak berdayanya lembaga-lembaga
pendidikan, utamanya pihak swasta/masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan.
Sementara itu MBS menuntut peran serta masyarakat secara kuantitatif dan kualitatif dalam
penyelenggaraan pendidikan, dengan munculnya dewan pendidikan dan komite sekolah.
Masuknya peran industri besar dalam budaya sekolah/perguruan tinggi menimbulkan
tiga bahaya besar, yaitu: (a) menjadikan anak didik sebagai obyek, sebagai produk yang harus
memuaskan pencari tenaga kerja, sebagai barang atau produk pesanan, (b) menimbulkan jiwa
dan semangat kapitalistik yang mengejar keuntungan, anak didik menjadi lahan pemasaran,
dan (c) mengembangkan jiwa dan semangat materialistik, konsumtif, hedonis, bahkan dapat
menjadi ateis dan menggeser pendidikan nilai.
4. Kritik terhadap teori dan implementasi MBS
Setelah berbicara tentang manajemen berbasis sekolah melalui paradigma lama dan
paradigma baru manajemen pendidikan kiranya dapat disimpulkan bahwa MBS merupakan
bagian dari paradigma baru dalam manajemen pendidikan. MBS berarti mengelola
pendidikan yang berangkat dari situasi dan kondisi sekolah menuju kepada tercapainya tujuan
pendidikan secara bermutu. Jadi MBS pada dasarnya adalah manajemen mutu. Sekolah
menjadi basis, dasar atau titik berangkat dari MBS. Setiap sekolah memiliki karakteristik,
kondisi, dan situasi yang berbeda. Mereka harus berkompetisi secara sehat di samping harus
bekerja sama. Jadi mutu dari mana harus mulai dan sampai ke mana akan dicapai jelas
bervariasi. Hanya sivitas akademika atau warga sekolah itulah yang memahami secara
sebaik-baiknya, maka seluruh perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program diserahkan
kepada putusan sekolah yang bersangkutan. Jadi MBS berarti pemberian otonomi dan otoritas
seluas-luasnya kepada sekolah, sebagai bagian dari otonomi pendidikan dan otonomi daerah.
Dengan otoritas penuhnya sekolah harus memberdayakan diri, bekerjasama dengan keluarga,
masyarakat (Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, LSM), dan pemerintah serta dunia usaha
untuk dapat menghasilkan keluaran yang memuaskan stakeholder.
Di perguruan tinggi, implementasi MBS terwujud dalam program penjaminan mutu
yang dilaksanakan oleh suatu badan (lembaga, kantor) penjaminan mutu yang dibentuk oleh
Rektor dan bertugas membantu Pembantu Rektor bidang akademik dalam melaksanakan
audit internal. Audit internal terwujud dalam EPSBED atau MonEvIn. Perlu diperhatikan
bahwa ada paradigma lama dan ada paradigma baru dalam manajemen pendidikan. Hal itu
mengingatkan kita bahwa akan ada paradigma yang lain lagi, yang lebih baru atau yang
terbaru. Setiap masa memiliki gaya manajemennya sendiri; setiap masa melakukan tindakan
reformasi, masing-masing memiliki keunggulan sekaligus kelemahan, tidak ada yang dapat
dikatakan yang paling baik dan paling benar, kecuali hanya baik dan benar untuk zamannya.
Penulis berkeyakinan bahwa pada saatnya akan timbul gaya manajemen pendidikan yang
lain. Sekarang pun telah ada manajemen berbasis masyarakat (MBM) atau lebih lengkapnya
manajemen pendidikan berbasis masyarakat (MPBM) dan manajemen pendidikan berbasis
industri, yang tidak sempat disebut dalam paparan di muka.
Pada gilirannya nanti wajar bila muncul manajemen pendidikan berbasis keluarga,
karena keluarga adalah pendidik utama dan pertama, dan manajemen pendidikan berbasis
anak, karena anaklah yang seharusnya menjadi pusat segala aktivitas pendidikan.
Akhirnya disarankan (1) agar MBS masuk dalam kurikulum LPTK untuk mempersiapkan
calon guru yang berkompetensi untuk melaksanakan MBS di sekolah di mana mereka akan
bekerja, (2) Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) diprogram menerapkan pembelajaran: aktif,
kreatif, efektif, dan menyenagkan (PAKEM) atau pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan (PAIKEM); contextual teaching learning(CTL); how to think,
how to learn, how to create (TLC); learning to know, learning to do, leraning to be, learning
to life together, dan leraning how to learn; competitive learning; thematic learning; quantum
learning; accelerated learning, yang being excellent, being men and women for others, dan
sharing personal care for each person, (3) dibentuk Pusat Kajian MBS, di bawah Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), bersama Badan / Lembaga / Kantor
Penjaminan Mutu melakukan penelitian, publikasi, pelatihan, pendampingan, seminar,
lokakarya tentang MBS, (4) dibentuk forum kerjasama LPTK dengan stakeholder (Orangtua,
Pemerintah, Masyarakat/LSM, dan Pengusaha) untuk merencanakan, melaksanakan,
mengevaluasi, dan mengembangkan program MBS.
"Karakteristik dan motivasi Implementasi MBS"
1. Pengertian Karakteristik dan motivasi MBS
Ciri-ciri manajemen berbasis sekolah, bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah
tersebut dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan sumber daya
manusia, proses belajar-mengajar dan sumber daya. manajemen berbasis sekolah memiliki
karakter yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya, karakteristik tersebut
merupakan ciri khas yang dimiliki sehingga membedakan dari sesuatu yang lain. Menurut
Irawan 2004:14 manajemen berbasis sekolah memiliki karakteristik sebagai berikut: 1
Adanya otonomi yang luas kepada sekolah. 2 Adanya partisipasi masyarakat dan orang tua
siswa yang tinggi. 3 Kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional. 4 Adanya team
work yang tinggi, dinamis dan profesional. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah dapat
dilihat pula melalui pendidikan sistem. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah
merupakan. Sebuah sistem sehingga penguraian karakteristik MPMBS berdasarkan pada
input, proses dan output (Depdiknas. 2001:9) yaitu; 1 Input Pendidikan, dalam input
pendidikan ini meliputi: memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas, sumber
daya yang tersedia dan siap, staff yang kompeten dan berdedikasi tinggi, memiliki harapan
prestasi yang tinggi, dan fokus pada pelanggan. 2 Proses, dalam proses terdapat sejumlah
karakter yaitu: proses belajar mengajar yang memiliki tingkat efektifitas yang tinggi,
kepemimpinan sekolah yang kuat, lingkungan sekolah yang aman dan tertib, pengelolaan
tenaga kependidikan yang efektif, sekolah memiliki budaya mutu, dan sekolah memiliki team
work yang kompak, cerdas, dan dinamis. 3 Output yang diharapkan, output Sekolah adalah
Prestasi sekolah yang dihasilkan melalui proses pembelajaran dan manajemen di sekolah.
Pada umumnya output dapat di klasifikasikan menjadi dua yaitu output berupa prestasi
akademik yang berupa NEM, lomba karya ilmiah remaja, cara-cara berfikir Kritis, Kreatif,
Nalar, Rasionalog, Induktif, Deduktif dan Ilmiah. Dan output non akademik, berupa
keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik, toleransi, kedisiplinan,
prestasi olah raga, kesenian dari para peserta didik dan sebagainya. Karakteristik manajemen
berbasis sekolah bisa diketahui juga antara lain dari bagaimana sekolah dapat
mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan sumber
daya manusia, dan pengelolaan sumber daya administrasi. Sementara itu, menurut Depdiknas
PP. No. 19 tahun 2005 fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah adalah sebagai
berikut: 1 Perencanaan dan evaluasi program sekolah Sekolah di beri kewenangan untuk
melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, sekolah juga diberi kewenangan untuk
melakukan evaluasi khususnya evaluasi internal atau evaluasi diri. 2 Pengelolaan Kurikulum
Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku
secara nasional yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Sekolah juga di beri kebebasan
untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.
2. Motivasi implementasi MBS
Tujuan program Manajemen Berbasis Sekolah adalah (1) mengembangkan
kemampuan kepala sekolah bersama guru, unsur komite sekolah/mejelis madrasah dalam
aspek manajemen berbasis sekolah untuk peningkatan mutu sekolah, (2) mengembangkan
kemampuan kepala sekolah bersama guru, unsur komite sekolah/majelis madrasah dalam
melaksanakan pembelajaran yang aktif dan menyenangkan, baik di lingkungan sekolah
maupun di masyarakat setempat, (3) mengembangkan peran serta masyarakat yang lebih aktif
dalam masalah umum persekolahan dari unsur komite sekolah dalam membantu peningkatan
mutu sekolah.
Strategi pengelolaan program dengan menggunakan pendekatan ini dapat ditempuh
antara lain dengan langkah-langkah (1) memberdayakan komite sekolah/majelis madrasah
dalam peningkatan mutu pembelajaran di sekolah, (2) unsur pemerintah Kab/Kota dalam hal
ini instansi yang terkait antara lain Dinas Pendidikan, Badan Perencanaan Kab/Kota,
Departemen Agama (yang menangani pendidikan MI, MTs dan MA), Dewan Pendidikan
Kab/Kota terutama membantu dalam mengkoordinasikan dan membuat jaringan kerja (akses)
ke dalam siklus kegiatan pemerintahan dan pembangunan pada umumnya dalam bidang
pendidikan., (3) memberdayakan tenaga kependidikan, baik tenaga pengajar (guru), kepala
sekolah, petugas bimbingan dan penyuluhan (BP) maupun staf kantor, pejabat-pejabat di
tingkat kecamatan, unsur komite sekolah tentang Manajemen Berbasis Sekolah, pembelajaran
yang bermutu dan peran serta masyarakat, (4) mengadakan pelatihan dan pendampingan
sistematis bagi para kepala sekolah, guru, unsur komite sekolah pada pelaksanaan
peningkatan mutu pembelajaran, (5) melakukan supervisi dan monitoring yang sistematis dan
konsisten terhadap pelaksanaan kegiatan pembelajaran di sekolah agar diketahui berbagai
kendala dan masalah yang dihadapi, serta segera dapat diberikan solusi/pemecahan masalah
yang diperlukan, (6) mengelola kegiatan yang bersifat bantuan langsung bagi setiap sekolah
untuk peningkatan mutu pembelajaran, rehabilitasi/pembangunan sarana dan prasarana
pendidikan, dengan membentuk tim yang sifatnya khusus untuk menangani dan sekaligus
melakukan dukungan dan pengawasan terhadap tim bentukan sebagai pelaksana kegiatan
tersebut.
Sekarang, di beberapa propinsi di Indonesia sudah dapat dilihat kemampuan
sebenarnya dari MBS karena dukungan yang diberikan dari Pemerintah Daerah dan Dinas
Pendidikan. Transformasi yang dilaksanakan luar biasa. Etos kerja MBS membuat semua
komponen pendidikan dan stakeholder menjalankan fungsi dan peranannya secara maksimal.
3. Sekolah dalam dilema Indonesia
Salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi dewasa ini adalah rendahnya mutu
pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan khususnya pendidikan dasar dan
menengah. Berbagai usaha telah dilakukan, antara lain melalui berbagai pelatihan dan
peningkatan kualifikasi guru, penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana pendidikan, serta
peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan
belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagaian sekolah, terutama di kota-kota,
menunjukkan peningkatan mutu yang cukup menggembirakan, dan sebagian lainnya masih
memprihatinkan. Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang
menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata yaitu (1)
kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational
production function yang tidak dilaksanakan secara konsekuen, (2) penyelenggaraan
pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan
sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan
tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat, (3) sangat minimnya peran serta masyarakat,
khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan.
Salah satu upaya yang sekarang sedang dikembangkan adalah reorientasi penyelenggaraan
pendidikan, melalui manajemen sekolah (School Based Management).1

1
Rekdale, Phlip. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah. Tersedia di : http://school-development.com/indexi.html
"Konsep desentralisasi pendidikan"
1. Pengertian desentralisasi pendidikan
 Rondinelli (1983)
Arti desentralisasi menurut para ahli yang pertama datang dari Rondinelli (1983), baginya
desentralisasi merupakan penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan, ataupun
kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada suatu organisasi wilayah, satuan
administratif daerah, organisasi semi otonom, pemerintah daerah, ataupun organisasi
nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat.
 PBB
Arti desentralisasi menurut para ahli berikutnya dilontarkan oleh PBB. Di mana
desentralisasi dalam pengertian PBB merupakan suatu hal yang merujuk kepada pemindahan
kekuasaan dari pemerintah pusat baik itu melalui dekonsentrasi (delegasi) pada pejabat
wilayah ataupun melalui devolusi pada badan-badan suatu otonom daerah.
 Henry Maddick (1963)
Hendry Maddick (1963) juga mengungkapkan bahwa pandangannya mengenai arti
desentralisasi yang merupakan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk dapat menangani
bidang-bidang atau fungsi-fungsi tertentu kepada daerah otonom.
Desentralisasi pendidikan adalah pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada
pemerintah lokal atau kepada dewan sekolah untuk menggunakan input pembelajaran sesuai
dengan tuntutan sekolah dan komunitas lokal yang dapat dipertanggung jawabkan kepada
orang tua dan komunitas. Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan,
yaitu, Pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan
pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua,
desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di
tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
2. Urgensi dan tujuan desentralisasi pendidikan
Adapun tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi
berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara
Amerika Latin, di Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian
kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus
desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan kewenangan yang lebih
besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan Sekolah. Implisit ke dalam strategi
desentralisi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efisiensi dalam
penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan yang berasal dari pemerintah
dan masyarakat).2
Di lain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan
kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut,
maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi proses belajar-mengajar.
Partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah satu faktor
yang paling menentukan. Dalam kenyataannya, desentralisasi pendidikan yang dilakukan di
banyak Negara merupakan bagian dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan dan
tidak sekedar merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Desentralisasi pendidikan akan meliputi suatu proses pemberian kewenangan yang lebih luas
di bidang kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke
pemerintah lokal dan pada saat yang bersamaan kewenangan yang lebih besar juga diberikan
pada tingkat sekolah.
3. Desentralisasi Pendidikan di Indonesia (Revisi)
Sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia secara sentralistis yang hampir kasat mata
sudah kelihatan sejak rezim orde baru. Banyak yang menilai bahwa pendidikan pada masa
orba tersebut didesain untuk kepentingan politik kala itu. Beberapa mata pelajaran, pelatihan-
pelatihan, serta program pendidikan lain lebih diarahkan kepada peneguhan nilai-nilai yang
kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh rezim penguasa. Kondisi tersebut telah dikritik
secara habis-habisan oleh YB. Mangunwijaya. Tokoh yang satu ini banyak mengkritik
system pendidikan nasional pada masa rezim orba yang cenderung sentralistik dan banyak
diintervensi oleh penguasa. Pendidikan kemudian hanya berfungsi sebagai alat (media) untuk
melanggengkan kekuasaan rezim.3
Beberapa kelemahan dan ketimpangan pendidikan yang dikelola secara sentralistis ini
sudah kelihatan sejak dimulai dari pemberlakuan satu kurikulum secara nasional, sampai
dengan peranan pusat yang sangat dominan dalam pengelolaan guru (sekolah negeri).
Misalnya, Pusat sangat dominan dan menentukan dalam setiap keputusan tentang proses
rekrutmen, pengangkatan, penempatan, pembinaan dan mutasi guru. Demikian pula dari
aspek keuangan. Gaji guru sekolah negeri ditetapkan dan dibayarkan pemerintah, meskipun
2
Armida S. Alisjahbana, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, (Bandung: Universitas Padjadjaran,
2000), hlm 2

3
Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa, (Yogyakarta: Pinus, 2008),
hlm 7
gaji guru SD pengelolaannya dilaksanakan oleh Propinsi, sedangkan gaji guru SLTP dan
SLTA langsung oleh Pusat melalui KPKN. Dari segi dana di luar gaji yang dialokasikan
pemerintah ke masing-masing sekolah, diberikan dengan cara alokasi dana dari pusat ke
daerah (kabupaten/kota) berdasarkan jumlah sekolah yang ada di daerah tersebut. Mekanisme
alokasi dana dilakukan dengan perhitungan sejumlah dana yang sama untuk setiap sekolah
berdasarkan jenjang pendidikan, tanpa memperhitungkan jumlah murid, lokasi ataupun
tingkat kemakmuran ekonomi daerah tersebut. Cara seperti ini jelas mengandung banyak
kelemahan, karena tidak memperhatikan sisi pemerataan (equity) dalam pengalokasian dana
ke masing-masing sekolah.4
Memasuki Indonesia baru yang ditandai dengan gerakan reformasi total, maka pada
tahun 1999 mulailah dicetuskan berbagai agenda reformasi, termasuk reformasi dalam dunia
pendidikan yang ditandai dengan proses desentralisasi yang diimplementasikan pemerintah
melalui UU nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah kemudian diubah menjadi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Melalui Undang-Undang
tersebut dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah dalam pengelolaan sektor pendidikan
dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan
kabupaten/kota. Kewenangan tersebut yaitu:
1. Kewenangan Pemerintah Pusat
a. politik luar negeri
b. pertahanan
c. keamanan
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
2. Kewenangan Pemerintah Propinsi
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d. penyediaan sarana dan prasarana umum
e. penanganan bidang kesehatan
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial

4
Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa, (Yogyakarta: Pinus, 2008),
hlm 7
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota
j. pengendalian lingkungan hidup
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota, dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
3. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d. penyediaan sarana dan prasarana umum
e. penanganan bidang kesehatan
f. penyelenggaraan pendidikan
g. penanggulangan masalah sosial
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
j. pengendalian lingkungan hidup
k. pelayanan pertanahan
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan
n. pelayanan administrasi penanaman modal
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
Dalam sistem desentralisasi pendidikan di Indonesia ini, ada satu pertanyaan terpenting
tentang arah desentralisasi pendidikan tersebut, yaitu sampai seberapa jauh sekolah-sekolah
akan diberi kewenangan yang lebih besar menentukan kebijakan-kebijakan organisasi dan
proses belajar-mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan di tingkat sekolah, dan
sumber-sumber pendanaan sekolah. Karena pada dasarnya desentralisasi pendidikan yang
efektif tidak hanya melibatkan proses pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih
besar dari pusat ke daerah, tetapi juga meliputi pemberian kewenangan yang lebih besar ke
sekolah-sekolah, sehingga mereka dapat merencanakan proses belajar-mengajar dan
pengembangan sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing sekolah.
Konsep desentralisasi pendidikan ini pada mulanya memang banyak membawa harapan
bagi kalangan pakar dan praktisi pendidikan kita. Orang banyak yang menaruh optimis jika
pendidikan di Indonesia akan mengalami perubahan-perubahan yang cukup signifikan.
Namun dalam praktiknya, masih banyak kalangan yang meragukan eksistensi kebijakan
pendidikan nasional Indonesia. Berbagai kebijakan pendidikan justru dianggap kontroversial
sehingga menuai kritik. Mulai dari Ujian Nasional, kasus privatisasi pendidikan, subsidi
pendidikan setelah kenaikan BBM, dan lain sebagainya. Belum lagi jika berbicara tentang
kualitas pendidikan tersebut. Untuk itu, sepertinya pemerintah perlu berbenah diri dalam
memaknai serta mengaplikasikan makna desentralisasi secara menyeluruh demi menciptakan
pendidikan yang berkualitas.
Meskipun demikian, kebijakan desentralisasi pendidikan tidak harus disimpulkan gagal
untuk dilaksanakan. Ada hal-hal yang merupakan kekuatan dan peluang bagi keberhasilan
implementasi berikutnya. Berikut ini disajikan hasil analisis SWOT terhadap implementasi
kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia. Analisis SWOT ini dibuat berdasarkan
kajian kualitatif, bukan kuantitatif. Analisis ini dibuat dengan merujuk hasil-hasil kajian dan
referensi tentang desentralisasi pendidikan yang sudah ada, termasuk buku dan publikasi
yang relevan.
4. Implementasi desentralisasi pendidikan
Desentralisasi merupakan suatu fenomena global. Di beberapa negara di Amerika
Latin seperti Brasil, Chile, Argentina, Bolivia, Ecuador, Colombia, Peru y Guatemala, tahun
1980-an adalah satu periode yang sangat penting sehubungan dengan proses desentralisasi.
Ada satu kesamaan karakter dalam proses desentralisasi di negara-negara, yaitu berkaitan
dengan krisis ekonomi yang terjadi pada dekade tersebut.
Selain itu, desentralisasi dipengaruhi oleh ketidakpuasan rakyat akibat krisis ekonomi
yang sangat parah yang terjadi pada dekade itu dan reformasi politik yang diajukan
pemerintah. Namun demikian, pelaksanaan desentralisasi juga disebabkan oleh tekanan pihak
internasional seperti Bank Dunia dan IMF yang berpendapat bahwa desentralisasi merupakan
salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan, memberantas korupsi, dan meningkatkan
efisiensi institusional. Bagi yang pro terhadap desentralisasi, istilah ini mengacu pada tiga
model yang berbeda, yaitu:
 Dalam konteks politik: mengacu pada 'pendistribusian kembali kekuasaan'.
 Dalam konteks ekonomi: mengacu pada 'efisiensi'.
 Dalam konteks sosio-kultural: mengacu pada 'budaya pembelajaran'.
 Dalam sektor pendidikan, desentralisasi pun merupakan agenda penting, terutama
dalam reformasi pendidikan dalam dekade terakhir. Disebutkan bahwa ada tiga jenis
desentralisasi pendidikan, yaitu:
a) Desentralisasi dalam tingkat sistem: didifinisikan sebagai perubahan dalam
pengambilan keputusan, dari tingkat nasional ke tingkat lokal.
b) Desentralisasi dalam tingkat organisasi: didefinisikan sebagai langkah pengambilan
keputusan dari otoritas pusat ke otoritas di tingkat sekolah.
c) Desentralisasi pasar: mengacu pada partisipasi orangtua murid dalam mengambil
keputusan.
Di beberapa negara berkembang muncul wacana bahwa desentralisasi pendidikan
dianggap menjadi solusi dalam pemecahan permasalahan kependidikan dewasa ini yang
demikian kompleks.
Jane Hannaway dan Martin Carnoy berpendapat bahwa kemungkinan untuk dapat
menyelesaikan permasalahan kependidikan sangat kecil. Akan tetapi, jika proses tersebut
didukung tuntutan yang tinggi dalam pelaksanaan, teknik yang baik dan terarah, serta
perhitungan yang jelas dan sistematik, dapat menghasilkan satu kontribusi yang penting bagi
perbaikan pendidikan.
5. Kritik atas implementasi desentralisasi pendidikan di Indo
Sekolah menjadi basis, dasar atau titik berangkat dari MBS. Setiap sekolah memiliki
karakteristik, kondisi, dan situasi yang berbeda. Mereka harus berkompetisi secara sehat di
samping harus bekerja sama. Jadi mutu dari mana harus mulai dan sampai ke mana akan
dicapai jelas bervariasi. Hanya sivitas akademika atau warga sekolah itulah yang memahami
secara sebaik-baiknya, maka seluruh perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program
diserahkan kepada putusan sekolah yang bersangkutan. Jadi MBS berarti pemberian otonomi
dan otoritas seluas-luasnya kepada sekolah, sebagai bagian dari otonomi pendidikan dan
otonomi daerah. Dengan otoritas penuhnya sekolah harus memberdayakan diri, bekerjasama
dengan keluarga, masyarakat (Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, LSM), dan pemerintah
serta dunia usaha untuk dapat menghasilkan keluaran yang memuaskan stakeholder.
"Sekolah efektif dalam konteks MBS"
1. Pengertian sekolah efektif
Sekolah berasal dari bahasa latin skhole, scola, scolae atau schola yang mempunyai arti
waktu luang atau waktu senggang. Krishnamurti (dalam Pora, 2004: 16) mengatakan bahwa
arti senggang mempunyai maksud waktu yang tidak terbatas bagi seseorang dalam belajar
baik sains, sejarah, matematik ataupun tentang dirinya. Maka kami menyimpulkan, sekolah
adalah lembaga yang dirancang dalam rangka penyelenggaraan proses belajar mengajar untuk
mentransfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kepada peserta didik yang telah mempunyai
aturan, kurikulum dan kelengkapan lainnya.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata efektif berarti ada efeknya (akibatnya,
pengaruhnya, kesannya); manjur atau mujarab; dapat membawa hasil; berhasil guna; mulai
berlaku. Sehingga efektif dapat didefinisikan suatu pencapaian tujuan yang dilakukan secara
tepat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Jadi sekolah efektif adalah sekolah yang memiliki tingkat kesesuaian antara hasil yang
dicapai dengan rencana dan target hasil yang ditetapkan terlebih dahulu. Sekolah efektif
adalah sekolah yang memiliki manajemen yang baik, transparan dan akuntabel yang mampu
memberdayakan semua komponen sekolah untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif. 5
2. Kriteria dan syarat sekolah efektif
Menurut Widodo (2011: 34), sekolah efektif mempunyai ciri-ciri yaitu:
1. Adanya standar disiplin yang berlaku bagi semua warga sekolah
2. Memiliki suatu keteraturan dalam rutinitas kegiatan di kelas
3. Mempunyai standar prestasi sekolah yang sangat tinggi
4. Peserta didik mampu mencapai tujuan yang telah direncanakan
5. Peserta didik lulus dengan menguasai pengetahuan akademik
6. Adanya penghargaan bagi siswa yang berprestasi
7. Peserta didik mau bekerja keras dan bertanggung jawab
8. Kepala sekolah mempunyai program inservice, pengawasan, supervisi dan membuat
rencana sekolah bersama-sama para guru
9. Adanya lingkungan yang nyaman
10. Penilaian yang secara rutin mengenai program yang dibuat siswa.
Menurut Heneveld(dalam Moerdiyanto, 2007:5) faktor-faktor sekolah efektif adalah

5
https://ernisusiyawati.wordpress.com/tag/pengertian-sekolah-efektif/
1. Dukungan orang tua siswa dan lingkungan
2. Dukungan efektif dari sistem pendidikan
3. Dukungan materi yang cukup
4. Kepemimpinan yang efektif
5. Pengajaran yang baik
6. Fleksibilitas dan otonomi
7. Waktu yang cukup di sekolah
8. Harapan yang tinggi dari siswa
9. Sikap positif dari para guru
10. Peraturan dan disiplin
11. Kurikulum yang terorganisir
12. Adanya penghargaan dan insentif
13. Waktu pembelajaran yang cukup
14. Variasi strategi pembelajaran
15. Frekuensi pekerjaan rumah
16. Adanya penilaian dan umpan balik
3. Implementasi sekolah efektif
1.MBS harus mendapat dukungan staf sekolah;
2.MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap. Kemungkinan diperlukan
lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil;
3.Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang
sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru;
4.Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk
bertemu secara teratur;
5.Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan
kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
4. Kritik dan saran sekolah kontemporer
Walaupun terdapat pro dan kontra tentang isu-isu pendidikan kontemporer, sebaiknya
masyarakat di berbagai pihak dari bidang pemerintah, pendidik dan peserta didik mengambil
hal positif dengan menjalankan sistem masa kini tersebut demi kemajuan bangsa dan
kesejahteraan hidup.

"KEPEMIMPINAN SEKOLAH DALAM KONTEKS MBS"


1. Pengertian Kepemimpinan sekolah dalam konteks MBS
Kepemimpinan mempengaruhi perilaku orang lain kearah tujuan tertentu sebagai
indikator keberhasilan seesorang pemimpin. Penerapan kepemimpinan sangat ditentukan oleh
situasi kerja atau keadaan anggota/bawahan dn sumber daya pendukung organisasi.
Kepemimpinan dalam bidang pendidikan lebih mengarah kepada pemberdayaan seluruh
potensi organisasi dan menempatkan bawahan sebagai penentu keberhasilan pencapaian
organisasi, maka sentuhan terhadap faktor-faktor yang dapat menimbulkan moral kerja dan
semangat untuk berprestasi menjadi perhatian utama. Perasaan dihargai, dilibatkan dalam
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan bidang tugasnya dan perhatian pimpinan
terhadap keluhan, kebutuhan, saran dan pendapat bawahan merupakan pra syarat bagi
terciptanya iklim kerja yang kondusif. Melaksanakan program-program untuk merealisasikan
rencana jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Dalam pelaksanaan, semua input yang
diperlukan untuk berlangsungnya proses (pelaksanaan) manajemen berbasis sekolah harus
siap. Jika input tidak siap/tidak memadai, maka tujuan situasional tidak akan tercapai. Yang
perlu diperhatikan dalam pelaksanaan adalah pengelolaan kelembagaan, pengelolaan
program, dan pengelolaan proses belajar mengajar. Tujuan utama manajemen berbasis
sekolah (MBS) adalah meningkatkan efisiensi mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan
efisiensi dicapai melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi
masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi
orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningakatan profesionalisme guru, adanya
hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuh kembangkan
suasana yang kondusif. Menurut Kustini Hardi, ada tiga tujuan manajemen berbasis sekolah
(MBS).
Pertama, mengembangkan kemampuan kepala sekolah bersama guru dan unsur
komite sekolah dalam aspek manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk meningkatkan mutu
sekolah. Kedua,mengembangkan kemampuan kepala sekolah bersama guru dan unsur komite
sekolah dalam pelaksanaan pembelajaran yang aktif dan menyenangkan, baik di lingkungan
sekolah maupun di lingkungan setempat. Ketiga, mengembangkan peran serta masyarakat
yang lebih aktif dalam masalah umum persekolahan dari sekolah untuk membantu
peningkatan mutu sekolah. Kementerian Pendidikan Nasional mendeskripsikan bahwa tujuan
pelaksanaan MBS adalah meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif
sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia, meningkatkan
kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam peyelenggaran pendidikan melalui
pengambilan keputusan bersama, meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua,
masyarakat dan pemerintah tentang mutu sekolahnya, serta meningkatkan kompetensi yang
sehat antar sekolah tetang mutu pendidikan yang akan dicapai.6
2. Peran dan fungsi
Fungsi artinya jabatan (pekerjaan) yang dilakukan atau kegunaan sesuatu hal atau kerja
suatu bagian tubuh. Sedangkan fungsi kepemimpinan berhubungan langsung dengan situasi
sosial dalam kehidupan kelompok atau organisasi masingmasing yang mengisyaratkan bahwa
setiap pemimpin berada di dalam bukan di luar situasi tersebut. Fungsi kepemimpinan
merupakan gejala sosial, karena harus diwujudkan dalam interaksi antar individu di dalam
situasi suatu kelompok atau organisasi.7
Kepala sekolah yang berusaha menjalankan fungsinya secara tepat, akan dapat membina
perkembangan sekolah sesuai dengan tuntutan tujuan yang hendak dicapai sejalan dengan
perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang secara
dinamis.
Untuk menjawab tuntutan tersebut di atas, maka dalam paradigma baru manajemen
pendidikan, kepala sekolah sedikitnya harus mampu berfungsi sebagai educator, manager,
administrator, supervisor, leader, inovator, motivator (EMASLIM).Dalam praktek sehari-hari
fungsi dan peran kepala sekolah tersebut di atas tidak dapat dibedakan dan dipisah-pisahkan,
karena antara satu dengan yang lain saling terkait dan saling mempengaruhi.
4. Tugas Sebagai Kepala Sekolah
Pihak sekolah dalam menggapai visi dan misi pendidikan perlu ditunjang oleh kemampuan
kepala sekolah dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Meskipun pengangkatan kepala
sekolah tidak dilakukan secara sembarangan, bahkan diangkat dari guru yang sudah
berpengalaman atau mungkin sudah lama menjabat sebagai wakil kepala sekolah, namun
tidak sendirinya membuat kepala sekolah menjadi profesional dalam melaksanakan tugasnya.
Berbagai kasus masih banyak menunjukkan masih banyak kepala sekolah yang terpaku
dengan urusan-urusan administrasi yang sebenarnya bisa dilimpahkan kepada tenaga
administrasi. Dalam pelaksanaan pekerjaanya kepala sekolah merupakan pekerjaan berat
yang menuntuk pekerjaan ekstra.
a. Kepala Sekolah sebagai Educator (pendidik)

6
Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 54.
7
Vethzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 53
Dalam peranan sebagai pendidik, kepala sekolah harus berusaha menanamkan,
memajukan, dan meningkatkan sedikitnya empat macam nilai yaitu pembinaan mental,
moral, fisik, dan aristik bagi para guru dan staf di lingkungan kepemimpinannya.
b. Kepala Sekolah sebagai Manajer
Manajemen pada hakikatnya merupakan suatu proses merencana, mengorganisasikan,
memimpin dan mengendalikan upaya organisasi tercapai secara efektif dan efisien.19
Dikatakan suatu proses, karena semua manajer atau ketangkasan dan keterampilan yang
dimilikinya menguasakan dan mendayagunakan tenaga kependidikan dalam berbagai
kegiatan yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan.
c. Kepala Sekolah sebagai Administrator
Kepala sekolah sebagai administrator memiliki hubungan yang sangat erat dengan
berbagai aktifitas pengelolaan administrasi yang bersifat pencatatan, penyusunan,
pendokumenan program sekolah. Secara spesifik, kepala sekolah harus memiliki kemampuan
untuk mengelola kurikulum, mengelola administrasi peserta didik, mengelola administrasi
sarana pra sarana, mengelola administrasi keuangan dan mengelola administrasi kearsipan.
Kegiatan tersebut perlu dilakukan secara efektif dan efisien agar dapat menunjang
produktifitas sekolah.
d. Kepala Sekolah sebagai Supervisor
Salah satu tugas kepala sekolah sebagai supervisor adalah mensupervisi pekerjaan
yang dilakukan oleh tenaga kependidikan kepala sekolah sebagai supervisor harus
diwujudkan dengan kemampuan menyusun dan melaksanakan program supervisi pendidikan,
serta memanfaatkan hasilnya. Kemampuan menyusun program supervisi pendidikan harus
diwujudkan dalam penyusunan program supervisi kelas, pengembangan program supervisi
untuk kegiatan ekstrakurikuler, pengembangan program supervisi perpustakaan, laboratorium
dan ujian.Sehubungan dengan hal tersebut jelaslah bahwa fungsi pokok kepala sekolah
sebagai supervisor terutama ialah membantu guru-guru dan staf lainnya dalam
mengembangkan potensi-potensi mereka sebaik-baiknya. Untuk mengembangkan potensi-
potensi mereka dengan kecakapan.
e. Kepala Sekolah sebagai Motivator
Sebagai motivator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk
memberikan motivasi kepada para tenaga kependidikan dalam melakukan berbagai tugas dan
fungsinya. Motivasi ini dapat ditumbuhkan melalui pengaturan lingkungan fisik, pengaturan
suasana kerja, disiplin, dorongan dan penghargaan secara efektif dan penyediaan pusat
sumber belajar melalui pengembangan pusat sumber belajar.

Anda mungkin juga menyukai