Resume MBS
Resume MBS
1
Rekdale, Phlip. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah. Tersedia di : http://school-development.com/indexi.html
"Konsep desentralisasi pendidikan"
1. Pengertian desentralisasi pendidikan
Rondinelli (1983)
Arti desentralisasi menurut para ahli yang pertama datang dari Rondinelli (1983), baginya
desentralisasi merupakan penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan, ataupun
kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada suatu organisasi wilayah, satuan
administratif daerah, organisasi semi otonom, pemerintah daerah, ataupun organisasi
nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat.
PBB
Arti desentralisasi menurut para ahli berikutnya dilontarkan oleh PBB. Di mana
desentralisasi dalam pengertian PBB merupakan suatu hal yang merujuk kepada pemindahan
kekuasaan dari pemerintah pusat baik itu melalui dekonsentrasi (delegasi) pada pejabat
wilayah ataupun melalui devolusi pada badan-badan suatu otonom daerah.
Henry Maddick (1963)
Hendry Maddick (1963) juga mengungkapkan bahwa pandangannya mengenai arti
desentralisasi yang merupakan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk dapat menangani
bidang-bidang atau fungsi-fungsi tertentu kepada daerah otonom.
Desentralisasi pendidikan adalah pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada
pemerintah lokal atau kepada dewan sekolah untuk menggunakan input pembelajaran sesuai
dengan tuntutan sekolah dan komunitas lokal yang dapat dipertanggung jawabkan kepada
orang tua dan komunitas. Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan,
yaitu, Pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan
pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua,
desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di
tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
2. Urgensi dan tujuan desentralisasi pendidikan
Adapun tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi
berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara
Amerika Latin, di Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian
kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus
desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan kewenangan yang lebih
besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan Sekolah. Implisit ke dalam strategi
desentralisi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efisiensi dalam
penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan yang berasal dari pemerintah
dan masyarakat).2
Di lain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan
kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut,
maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi proses belajar-mengajar.
Partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah satu faktor
yang paling menentukan. Dalam kenyataannya, desentralisasi pendidikan yang dilakukan di
banyak Negara merupakan bagian dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan dan
tidak sekedar merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Desentralisasi pendidikan akan meliputi suatu proses pemberian kewenangan yang lebih luas
di bidang kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke
pemerintah lokal dan pada saat yang bersamaan kewenangan yang lebih besar juga diberikan
pada tingkat sekolah.
3. Desentralisasi Pendidikan di Indonesia (Revisi)
Sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia secara sentralistis yang hampir kasat mata
sudah kelihatan sejak rezim orde baru. Banyak yang menilai bahwa pendidikan pada masa
orba tersebut didesain untuk kepentingan politik kala itu. Beberapa mata pelajaran, pelatihan-
pelatihan, serta program pendidikan lain lebih diarahkan kepada peneguhan nilai-nilai yang
kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh rezim penguasa. Kondisi tersebut telah dikritik
secara habis-habisan oleh YB. Mangunwijaya. Tokoh yang satu ini banyak mengkritik
system pendidikan nasional pada masa rezim orba yang cenderung sentralistik dan banyak
diintervensi oleh penguasa. Pendidikan kemudian hanya berfungsi sebagai alat (media) untuk
melanggengkan kekuasaan rezim.3
Beberapa kelemahan dan ketimpangan pendidikan yang dikelola secara sentralistis ini
sudah kelihatan sejak dimulai dari pemberlakuan satu kurikulum secara nasional, sampai
dengan peranan pusat yang sangat dominan dalam pengelolaan guru (sekolah negeri).
Misalnya, Pusat sangat dominan dan menentukan dalam setiap keputusan tentang proses
rekrutmen, pengangkatan, penempatan, pembinaan dan mutasi guru. Demikian pula dari
aspek keuangan. Gaji guru sekolah negeri ditetapkan dan dibayarkan pemerintah, meskipun
2
Armida S. Alisjahbana, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, (Bandung: Universitas Padjadjaran,
2000), hlm 2
3
Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa, (Yogyakarta: Pinus, 2008),
hlm 7
gaji guru SD pengelolaannya dilaksanakan oleh Propinsi, sedangkan gaji guru SLTP dan
SLTA langsung oleh Pusat melalui KPKN. Dari segi dana di luar gaji yang dialokasikan
pemerintah ke masing-masing sekolah, diberikan dengan cara alokasi dana dari pusat ke
daerah (kabupaten/kota) berdasarkan jumlah sekolah yang ada di daerah tersebut. Mekanisme
alokasi dana dilakukan dengan perhitungan sejumlah dana yang sama untuk setiap sekolah
berdasarkan jenjang pendidikan, tanpa memperhitungkan jumlah murid, lokasi ataupun
tingkat kemakmuran ekonomi daerah tersebut. Cara seperti ini jelas mengandung banyak
kelemahan, karena tidak memperhatikan sisi pemerataan (equity) dalam pengalokasian dana
ke masing-masing sekolah.4
Memasuki Indonesia baru yang ditandai dengan gerakan reformasi total, maka pada
tahun 1999 mulailah dicetuskan berbagai agenda reformasi, termasuk reformasi dalam dunia
pendidikan yang ditandai dengan proses desentralisasi yang diimplementasikan pemerintah
melalui UU nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah kemudian diubah menjadi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Melalui Undang-Undang
tersebut dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah dalam pengelolaan sektor pendidikan
dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan
kabupaten/kota. Kewenangan tersebut yaitu:
1. Kewenangan Pemerintah Pusat
a. politik luar negeri
b. pertahanan
c. keamanan
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
2. Kewenangan Pemerintah Propinsi
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d. penyediaan sarana dan prasarana umum
e. penanganan bidang kesehatan
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
4
Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa, (Yogyakarta: Pinus, 2008),
hlm 7
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota
j. pengendalian lingkungan hidup
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota, dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
3. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d. penyediaan sarana dan prasarana umum
e. penanganan bidang kesehatan
f. penyelenggaraan pendidikan
g. penanggulangan masalah sosial
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
j. pengendalian lingkungan hidup
k. pelayanan pertanahan
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan
n. pelayanan administrasi penanaman modal
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
Dalam sistem desentralisasi pendidikan di Indonesia ini, ada satu pertanyaan terpenting
tentang arah desentralisasi pendidikan tersebut, yaitu sampai seberapa jauh sekolah-sekolah
akan diberi kewenangan yang lebih besar menentukan kebijakan-kebijakan organisasi dan
proses belajar-mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan di tingkat sekolah, dan
sumber-sumber pendanaan sekolah. Karena pada dasarnya desentralisasi pendidikan yang
efektif tidak hanya melibatkan proses pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih
besar dari pusat ke daerah, tetapi juga meliputi pemberian kewenangan yang lebih besar ke
sekolah-sekolah, sehingga mereka dapat merencanakan proses belajar-mengajar dan
pengembangan sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing sekolah.
Konsep desentralisasi pendidikan ini pada mulanya memang banyak membawa harapan
bagi kalangan pakar dan praktisi pendidikan kita. Orang banyak yang menaruh optimis jika
pendidikan di Indonesia akan mengalami perubahan-perubahan yang cukup signifikan.
Namun dalam praktiknya, masih banyak kalangan yang meragukan eksistensi kebijakan
pendidikan nasional Indonesia. Berbagai kebijakan pendidikan justru dianggap kontroversial
sehingga menuai kritik. Mulai dari Ujian Nasional, kasus privatisasi pendidikan, subsidi
pendidikan setelah kenaikan BBM, dan lain sebagainya. Belum lagi jika berbicara tentang
kualitas pendidikan tersebut. Untuk itu, sepertinya pemerintah perlu berbenah diri dalam
memaknai serta mengaplikasikan makna desentralisasi secara menyeluruh demi menciptakan
pendidikan yang berkualitas.
Meskipun demikian, kebijakan desentralisasi pendidikan tidak harus disimpulkan gagal
untuk dilaksanakan. Ada hal-hal yang merupakan kekuatan dan peluang bagi keberhasilan
implementasi berikutnya. Berikut ini disajikan hasil analisis SWOT terhadap implementasi
kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia. Analisis SWOT ini dibuat berdasarkan
kajian kualitatif, bukan kuantitatif. Analisis ini dibuat dengan merujuk hasil-hasil kajian dan
referensi tentang desentralisasi pendidikan yang sudah ada, termasuk buku dan publikasi
yang relevan.
4. Implementasi desentralisasi pendidikan
Desentralisasi merupakan suatu fenomena global. Di beberapa negara di Amerika
Latin seperti Brasil, Chile, Argentina, Bolivia, Ecuador, Colombia, Peru y Guatemala, tahun
1980-an adalah satu periode yang sangat penting sehubungan dengan proses desentralisasi.
Ada satu kesamaan karakter dalam proses desentralisasi di negara-negara, yaitu berkaitan
dengan krisis ekonomi yang terjadi pada dekade tersebut.
Selain itu, desentralisasi dipengaruhi oleh ketidakpuasan rakyat akibat krisis ekonomi
yang sangat parah yang terjadi pada dekade itu dan reformasi politik yang diajukan
pemerintah. Namun demikian, pelaksanaan desentralisasi juga disebabkan oleh tekanan pihak
internasional seperti Bank Dunia dan IMF yang berpendapat bahwa desentralisasi merupakan
salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan, memberantas korupsi, dan meningkatkan
efisiensi institusional. Bagi yang pro terhadap desentralisasi, istilah ini mengacu pada tiga
model yang berbeda, yaitu:
Dalam konteks politik: mengacu pada 'pendistribusian kembali kekuasaan'.
Dalam konteks ekonomi: mengacu pada 'efisiensi'.
Dalam konteks sosio-kultural: mengacu pada 'budaya pembelajaran'.
Dalam sektor pendidikan, desentralisasi pun merupakan agenda penting, terutama
dalam reformasi pendidikan dalam dekade terakhir. Disebutkan bahwa ada tiga jenis
desentralisasi pendidikan, yaitu:
a) Desentralisasi dalam tingkat sistem: didifinisikan sebagai perubahan dalam
pengambilan keputusan, dari tingkat nasional ke tingkat lokal.
b) Desentralisasi dalam tingkat organisasi: didefinisikan sebagai langkah pengambilan
keputusan dari otoritas pusat ke otoritas di tingkat sekolah.
c) Desentralisasi pasar: mengacu pada partisipasi orangtua murid dalam mengambil
keputusan.
Di beberapa negara berkembang muncul wacana bahwa desentralisasi pendidikan
dianggap menjadi solusi dalam pemecahan permasalahan kependidikan dewasa ini yang
demikian kompleks.
Jane Hannaway dan Martin Carnoy berpendapat bahwa kemungkinan untuk dapat
menyelesaikan permasalahan kependidikan sangat kecil. Akan tetapi, jika proses tersebut
didukung tuntutan yang tinggi dalam pelaksanaan, teknik yang baik dan terarah, serta
perhitungan yang jelas dan sistematik, dapat menghasilkan satu kontribusi yang penting bagi
perbaikan pendidikan.
5. Kritik atas implementasi desentralisasi pendidikan di Indo
Sekolah menjadi basis, dasar atau titik berangkat dari MBS. Setiap sekolah memiliki
karakteristik, kondisi, dan situasi yang berbeda. Mereka harus berkompetisi secara sehat di
samping harus bekerja sama. Jadi mutu dari mana harus mulai dan sampai ke mana akan
dicapai jelas bervariasi. Hanya sivitas akademika atau warga sekolah itulah yang memahami
secara sebaik-baiknya, maka seluruh perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program
diserahkan kepada putusan sekolah yang bersangkutan. Jadi MBS berarti pemberian otonomi
dan otoritas seluas-luasnya kepada sekolah, sebagai bagian dari otonomi pendidikan dan
otonomi daerah. Dengan otoritas penuhnya sekolah harus memberdayakan diri, bekerjasama
dengan keluarga, masyarakat (Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, LSM), dan pemerintah
serta dunia usaha untuk dapat menghasilkan keluaran yang memuaskan stakeholder.
"Sekolah efektif dalam konteks MBS"
1. Pengertian sekolah efektif
Sekolah berasal dari bahasa latin skhole, scola, scolae atau schola yang mempunyai arti
waktu luang atau waktu senggang. Krishnamurti (dalam Pora, 2004: 16) mengatakan bahwa
arti senggang mempunyai maksud waktu yang tidak terbatas bagi seseorang dalam belajar
baik sains, sejarah, matematik ataupun tentang dirinya. Maka kami menyimpulkan, sekolah
adalah lembaga yang dirancang dalam rangka penyelenggaraan proses belajar mengajar untuk
mentransfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kepada peserta didik yang telah mempunyai
aturan, kurikulum dan kelengkapan lainnya.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata efektif berarti ada efeknya (akibatnya,
pengaruhnya, kesannya); manjur atau mujarab; dapat membawa hasil; berhasil guna; mulai
berlaku. Sehingga efektif dapat didefinisikan suatu pencapaian tujuan yang dilakukan secara
tepat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Jadi sekolah efektif adalah sekolah yang memiliki tingkat kesesuaian antara hasil yang
dicapai dengan rencana dan target hasil yang ditetapkan terlebih dahulu. Sekolah efektif
adalah sekolah yang memiliki manajemen yang baik, transparan dan akuntabel yang mampu
memberdayakan semua komponen sekolah untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif. 5
2. Kriteria dan syarat sekolah efektif
Menurut Widodo (2011: 34), sekolah efektif mempunyai ciri-ciri yaitu:
1. Adanya standar disiplin yang berlaku bagi semua warga sekolah
2. Memiliki suatu keteraturan dalam rutinitas kegiatan di kelas
3. Mempunyai standar prestasi sekolah yang sangat tinggi
4. Peserta didik mampu mencapai tujuan yang telah direncanakan
5. Peserta didik lulus dengan menguasai pengetahuan akademik
6. Adanya penghargaan bagi siswa yang berprestasi
7. Peserta didik mau bekerja keras dan bertanggung jawab
8. Kepala sekolah mempunyai program inservice, pengawasan, supervisi dan membuat
rencana sekolah bersama-sama para guru
9. Adanya lingkungan yang nyaman
10. Penilaian yang secara rutin mengenai program yang dibuat siswa.
Menurut Heneveld(dalam Moerdiyanto, 2007:5) faktor-faktor sekolah efektif adalah
5
https://ernisusiyawati.wordpress.com/tag/pengertian-sekolah-efektif/
1. Dukungan orang tua siswa dan lingkungan
2. Dukungan efektif dari sistem pendidikan
3. Dukungan materi yang cukup
4. Kepemimpinan yang efektif
5. Pengajaran yang baik
6. Fleksibilitas dan otonomi
7. Waktu yang cukup di sekolah
8. Harapan yang tinggi dari siswa
9. Sikap positif dari para guru
10. Peraturan dan disiplin
11. Kurikulum yang terorganisir
12. Adanya penghargaan dan insentif
13. Waktu pembelajaran yang cukup
14. Variasi strategi pembelajaran
15. Frekuensi pekerjaan rumah
16. Adanya penilaian dan umpan balik
3. Implementasi sekolah efektif
1.MBS harus mendapat dukungan staf sekolah;
2.MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap. Kemungkinan diperlukan
lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil;
3.Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang
sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru;
4.Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk
bertemu secara teratur;
5.Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan
kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
4. Kritik dan saran sekolah kontemporer
Walaupun terdapat pro dan kontra tentang isu-isu pendidikan kontemporer, sebaiknya
masyarakat di berbagai pihak dari bidang pemerintah, pendidik dan peserta didik mengambil
hal positif dengan menjalankan sistem masa kini tersebut demi kemajuan bangsa dan
kesejahteraan hidup.
6
Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 54.
7
Vethzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 53
Dalam peranan sebagai pendidik, kepala sekolah harus berusaha menanamkan,
memajukan, dan meningkatkan sedikitnya empat macam nilai yaitu pembinaan mental,
moral, fisik, dan aristik bagi para guru dan staf di lingkungan kepemimpinannya.
b. Kepala Sekolah sebagai Manajer
Manajemen pada hakikatnya merupakan suatu proses merencana, mengorganisasikan,
memimpin dan mengendalikan upaya organisasi tercapai secara efektif dan efisien.19
Dikatakan suatu proses, karena semua manajer atau ketangkasan dan keterampilan yang
dimilikinya menguasakan dan mendayagunakan tenaga kependidikan dalam berbagai
kegiatan yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan.
c. Kepala Sekolah sebagai Administrator
Kepala sekolah sebagai administrator memiliki hubungan yang sangat erat dengan
berbagai aktifitas pengelolaan administrasi yang bersifat pencatatan, penyusunan,
pendokumenan program sekolah. Secara spesifik, kepala sekolah harus memiliki kemampuan
untuk mengelola kurikulum, mengelola administrasi peserta didik, mengelola administrasi
sarana pra sarana, mengelola administrasi keuangan dan mengelola administrasi kearsipan.
Kegiatan tersebut perlu dilakukan secara efektif dan efisien agar dapat menunjang
produktifitas sekolah.
d. Kepala Sekolah sebagai Supervisor
Salah satu tugas kepala sekolah sebagai supervisor adalah mensupervisi pekerjaan
yang dilakukan oleh tenaga kependidikan kepala sekolah sebagai supervisor harus
diwujudkan dengan kemampuan menyusun dan melaksanakan program supervisi pendidikan,
serta memanfaatkan hasilnya. Kemampuan menyusun program supervisi pendidikan harus
diwujudkan dalam penyusunan program supervisi kelas, pengembangan program supervisi
untuk kegiatan ekstrakurikuler, pengembangan program supervisi perpustakaan, laboratorium
dan ujian.Sehubungan dengan hal tersebut jelaslah bahwa fungsi pokok kepala sekolah
sebagai supervisor terutama ialah membantu guru-guru dan staf lainnya dalam
mengembangkan potensi-potensi mereka sebaik-baiknya. Untuk mengembangkan potensi-
potensi mereka dengan kecakapan.
e. Kepala Sekolah sebagai Motivator
Sebagai motivator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk
memberikan motivasi kepada para tenaga kependidikan dalam melakukan berbagai tugas dan
fungsinya. Motivasi ini dapat ditumbuhkan melalui pengaturan lingkungan fisik, pengaturan
suasana kerja, disiplin, dorongan dan penghargaan secara efektif dan penyediaan pusat
sumber belajar melalui pengembangan pusat sumber belajar.