Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak permasalahan yang dihadapi manusia. Terkadang


banyak sesuatu yang bertentangan dengan akal dan pikiran manusia. Dalam menyelesaikan
masalah tersebut Allah telah menurunkan wahyu yang berfungsi sebagai pedoman, petunjuk,
serta pengatur kehidupan bagi umat-umatnya.

Wahyu merupakan suatu yang dituangkan Allah SWT yang disampaikan kepada nabi-nabi-
Nya, yang berupa pemberitahuan yang tersembunyi dan cepat yang khusus di berikan tanpa
diketahui orang lain dan prosesnya bisa melalui suara yaitu berupa firman atau melalui mimpi
dan merupakan pedoman bagi umat-umatnya.

Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul pada saat itu, wahyu merupakan
hubungan gaib yang tersembunyi antara Allah dengan orang-orang yang telah disucikan-Nya
(rasul dan nabi) dengan tujuan menurunkan kitab-kitab suci samawi dengan perantara
malaikat yang membawa wahyu yaitu Jibril. Dan Al-Qur’an merupakan salah satu wahyu
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai wahyu terakhir untuk
penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya.

Rumusan Masalah

1. Pengertian wahyu
2. Definisi wahyu secara etimlogis dan terminologis
3. Dalil logis dan teologis tentang kemungkinan adanya wahyu
4. Macam-macam wahyu
5. Perbedaan wahyu dengan alquran, ilham, dan intuisi
6. Hakikat keumian Nabi Muhamad.saw
7. Konsep kemaksuman Nabi Muhamad dalam doktrin islam
8. Proses dan mekanisme turunnya wahu kepada Nabi Muhamad.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Wahyu

Khilaf berarti perbedaan, perselisihan, kontraversi, dan kontradiksi. Secara umum “khilaf”
berarti perbedaan pendapat di antara para ulama dalam berbagai permasalahan, baik
permasalahan agama maupun permasalahan lainnya. Karena pendapat merupakan buah pikir
dari manusia jadi sangat mungkin sekali setiap pendapat itu mengalami perbedaan.

Dalam fiqih Islam, khilaf (disebut juga ikhtilaf) adalah perbedaan pendapat ulama mengenai
masalah-masalah fiqih yang tidak prinsipil. Perbedaan itu melahirkan mazhab-mazhab fiqih,
seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, azh-Zhahiri, Zaidiah, dan Syi’ah. Perbedaan
pendapat itu pun bahkan terjadi juga dalam satu mazhab.

Dalam studi hukum Islam, khilaf atau akhtilaf telah berkembang menjadi ilmu tersendiri,
yaitu ilmu al-khilaf (ilmu perbedaan pendapat fiqih). Ilmu al-khilaf adalah ilmu tentang
masalah-masalah yang berhubungan dengan ijtihad. Terkadang ilmu ini juga membahas
masalah-masalah praktis di kalangan para mujahid. Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu
khilaf disebut juga “al-fiqh al-muqaran” (fiqih perbandingan).

Mungkin, untuk orang awam permasalahan ini agak membingungkan, mengapa harus terjadi
perbedaan pendapat, mengapa dalam Islam ada berbagai mazhab padahal agama Islam adalah
satu, syariatnya satu, dan sumbernya satu, yaitu wahyu Ilahi? Mengapa tidak satu mazhab
saja sehingga umat Islam bisa berjalan dalam satu alur mazhab karena umat Islam adalah
umat yang satu? Sampai-sampai ada yang berkeyakinan bahwa perbedaan mazhab-mazhab
pada dasarnya adalah perbedaan syariat dan sumbernya, bahkan akidahnya. Semisal
perbedaan yang terjadi di kalangan non-Islam, yaitu Kristen Ortodok, Katolik, dan Protestan.

Semua itu merupakan pandangan yang keliru. Sesungguhnya, perbedaan-perbedaan tadi bisa
jadi justru memudahkan umat Islam, bahkan dalam kondisi-kondisi tertentu bisa menjadi
rahmat dan kekayaan syariat, yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi umat Islam. Hal itu
disebabkan hakikat khilaf para ulama yang sebenarnya adalah dalam hal-hal furu’iyah dan
ijtihad-ijtihad ilmiah, bukan dalam hal-hal yang prinsipil, semisal dasar-dasar agama dan
akidah. Oleh karena itu, kita tidak mendengar dalam sejarah Islam bahwa perbedaan mazhab-
mazhab fiqih di kalangan para ulama itu menjadikan persaudaraan dan persatuan di antara
mereka pecah.

Untuk itu ulama fiqih bersepakat bahwa perbedaan pendapat dalam hal ijtihad itu
diperbolehkan, sejauh tidak menyebabkan terjadinya perpecahan dan rusaknya persaudaraan
Islam. Dasarnya adalah sabda Rasulullah saw.

“Apabila seorang hakim berijtihad dalam memutuskan suatu perkara dan hasil ijtihadnya itu
benar, maka dia mendapat dua pahala, dan apabila hasil ijtihadnya salah, maka dia
mendapat satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim dari ‘Amr bin ‘Ash dan Abu Hurairah).
Hadits ini menjelaskan bahwa dalam berijtihad seseorang bisa benar bisa salah, tetapi orang
yang salah pun tetap mendapat pahala atas ijtihad yang dilakukannya.
2. Definisi wahyu secara etimologis dan terminologis

a. Definisi wahyu secara Etimologi

 Memberikan sesuatu dengan cara yang samar dan cepat


 Al-wahyu adalah kata masdar dan materi itu menunjukan dua pengertian dasar,
yaitu tersembunyi dan cepat.
 Maka dikatakan wahyu ialah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepatyang
khusus di tunjukan kepada orang yang di beritahu tanpa diketaui orang lain.

b. Definisi wahyu secara Terminologi

 Wahyu adalah pemberitahuan tuan kepada nabinya tntang hukum-hukum tuhan,


berita-berita dan cerita ceita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan kepada
nabi / rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah dari allah
sendiri.
 Isyarat yang cepat dengan tangan dan suatu isyarat yang dilakukan bukan dengan
tangan, juga bermakana surat, tulisan, sebagaimana bermakna pula segala yang
kita sampaikan kepada orang lain untuk diketauinya.
 Sbutan bagi sesutau yang diuntungkan dengan cara yang tepat dari allah kedalam
dada nabi-nabinya, sebagaimana dipergunakan juga untuk lafadz al-quran.

3. Dalil logis dan teologis tentang kemungkinan adanya wahyu

Anda mungkin juga menyukai