Rekonstruksi Pemikiran KH Ahmad
Rekonstruksi Pemikiran KH Ahmad
Selanjutnya, pada umat Islam terlihat ketidakmurnian amalan Islam, meluasnya pengaruh
kristenisasi, sementara lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam yang akan mencerdaskan
kehidupan bangsa sangat terbatas dan belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban
misi selaku khalifah Allah di muka bumi. Pada waktu itu, menurut Abuddin Nata sistem pendidikan
ditandai dengan adanya sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan
umum. Di satu segi terdapat pendidikan agama tanpa mengajarkan pengetahuan umum, dan di satu
sisi terdapat pendidikan umum yang tidak mengajarkan agama.
Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi sosial tersebut, dan telaah terhadap ajaran Islam
serta pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh pembaharuan Islam Timur Tengah seperti Ibn Qoyyim al-
Jauziyah, Ibn Taiymiyah, Syekh Muhammad Abduh Rasyid Ridho dan lain-lain, serta didorong oleh
teman-teman dari Budi Utomo, maka K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Melalui lembaga inilah beliau melaksanakan ide pembaharuan di segala bidang terutama bidang
pendidikan. Sebab menurut K.H. Ahmad Dahlan agama Islam tidak akan bisa tegak tanpa
diperjuangkan melalui organisasi yang rapi. Demikian pula untuk membebaskan bangsa Indonesia
dari penjajahan Belanda, harus dengan meningkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan melalui
lembaga pendidikan. Itulah sebabnya gerakan Muhammadiyah pada awal kelahirannya
memprioritaskan kegiatannya pada bidang pendidikan. Bahkan sampai sekarang amal usaha
Muhammadiyah bidang pendidikan lebih banyak dari pada bidang sosial lainnya yaitu memiliki 5755
lembaga pendidikan mulai dari tingkat SD sampat ke Perguruan Tinggi dan belum termasuk Taman
Kanak-Kanak. Sedangkan amal usaha bidang sosial dan ekonomi berupa, rumah sakit, balai
kesehatan, poliklinik, panti asuhan dan santunan keluarga, bank perkreditan rakyat, baitut tamwil
Muhammadiyah (BMT) koperasi warga Muhammadiyah, BUMM berupa PT berjumlah 1579 buah.
Begitu banyaknya amal usaha Muhammadiyah terutama bidang pendidikan seorang
antropolog Amerika James Peacock menyatakan bahwa apa yang dikerjakan Muhammadiyah
merupakan sesuatu yang pernah dikerjakan oleh para misionaris, para pendidik dan ahli strategi
dinegaranya. Muhammadiyah benar-benar menunjukkan sebagai sebuah organisasi moderen yang
ada di Indonesia. Bahkan, pada saat ini ide Muhammadiyah juga diterima dan dikembangkan oleh
umat Islam di beberapa negara tetangga dan belahan dunia. Muhammadiyah berdiri di Singapura,
Malaysia, Mesir, Belanda dan Australia.
Oleh karena seluruh amal usaha Muhammadiyah terutama bidang pendidikan merupakan
kontribusi Muhammadiyah terhadap agama bangsa dan negara, maka pemerintah menetapkan K.H.
Ahmad Dahlan sebagai pahlawan nasional, dan beliau juga dipandang sebagai tokoh pembaharuan
pendidikan Islam di Indonesia.
Berdasarkan hal yang demikian, maka mengkaji pemikiran K.H. Ahmad Dahlan sebagai
tokoh pembaharuan pendidikan Islam merupakan kajian menarik dan penting apalagi dalam
pengembangan pendidikan Islam dewasa ini.
Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 dan meninggal pada tanggal
1923. Sewaktu kecil ia diberi nama Muhammad Darwis. Ia berasal dari keluarga didaktis dan
terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib
masjid besar Kraton Yogyakiarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah putri K.H. Ibrahim yang
pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Sejak kecil Ahmad Dahlan dididik oleh ayahnya K.H. Abu Bakar seorang imam dan khatib
masjid besar Kraton Yogyakarta. Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar pendidikan dasarnya dimulai
dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur an dan kitab-kitab agama. Kemudian, beliau
juga belajar dengan K.H. Muhammad Saleh (ilmu Fiqh), K.H. Muhsin (ilmu Nahwu), KH. R. Dahlan
(ilmu falak), K.H. Mahfuz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri
(qiraat al-Qur an) serta beberapa guru lainnya.
Selanjutnya Ramayulis dan Samsul Nizar mengungkapkan, setelah beberapa tahun belajar
dengan gurunya beliau berangkat ke tanah suci pada tahun 1890 dan bermukim di sana selama
setahun. Merasa tidak puas dengan kunjungannya itu, pada tahun 1903 ia berangkat kembali dan
menetap di sana selama dua tahun. Selama berada di Mekkah ini ia banyak bertemu dan
bermuzakarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim disana, di antaranya Syekh
Muhammad Khatib Al-Minangakabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah dan Kiyai
Fakih Kembang. Pada saat itu pula ia mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan
melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh refomer Islam seperti Ibn Taimiyah, Ibn
Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Melalui penganalisaan
kitab-kitab yang dikarang oleh ulama reformer tersebut telah membuka wawasan Dahlan tentang
universalitas Islam. Ide-ide reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur an dan
Sunnah.
Ide pembaharuan yang berhembus di Timur Tengah sangat menggelitik hatinya, apalagi bila
melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang sngat stagnan. Untuk itu, atas saran beberapa orang
murid dan anggota Budi Utomo, maka Dahlan merasa perlu merealisasikan ide-ide pembaharuannya.
Untuk itu, pada tanggal 18 November 1912 beliau mendirikan organisasi Muhammadiyah di
Yogyakarta. Di samping Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan juga mendirikan organisasi wanita
yaitu ’Aisyiyah pada tahun 1917. Organisasi ini merupakan wadah untuk kegiatan perempuan dalam
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara murni dan konsekwen. Berdirinya
organisasi ini diawali dengan sejumlah pengajaran yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan mengenai
perintah agama. Kursus tersebut diadakan dalam perkumpulan ”Sopo Tresno” pada tahun 1914.
Perkumpulan inilah nanti yang berganti nama dengan ’Aisyiyah.
Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah, faktor
subjektif yaitu ingin melaksanakan hasil pemahaman K.H.Ahmad Dahlan terhadap frrman Allah
surat An-Nisa’ ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24 serta surat Ali Imran ayat 104. Faktor objektif
yang bersifat internal dan eksternal. Faktor objektif internal yaitu kondisi kehidupan masyarakat
Indonesia antara lain; ketidakmurnian pengamalan Islam akibat tidak dijadikan Al-Qur an dan as-
Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia. Kemudian, lembaga
pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban
misi selaku Khalifah Allah di atas bumi. . Karena itu, Muhammadiyah menitik beratkan gerakannya
kepada sosial keagamaan dan pendidikan.
Adapun faktor objektif yang bersifat eksternal antara lain, semakin meningkatnya Gerakan
Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan penetrasi bangsa-bangsa Eropah, terutama
bangsa Belanda ke Indonesia.
Di samping itu, politik kolonialis Belanda mempunyai kepentingan terhadap penyebaran
agama Kristen di Indonesia. Dengan program ini akan didapat nilai ganda yaitu di samping bernilai
keagamaan dalam arti telah dapat menyelamatkan domba-domba yang hilang, juga bernilai politis,
karena betapa eratnya hubungan agama (Kristen) dengan pemerintahan (Hindia Belanda) setelah
penduduk bumi putra masuk Kristen akan menjadi warga-warga yang loyal lahir dan batin bagi
pemerintah.
K.H. Sahlan Rosidi secara rinci menyebutkan faktor-faktor yang mendorong K.H.Ahmad
Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah, ialah: taklid yang begitu membudaya dalam
masyarakat Islam, khurafat dan syirik telah bercampur dengan akidah, sehingga kemurnian akidah
sudah tidak tampak lagi, bid’ah yang terdapat pada pengamalan ibadah, kejumudan berfikir dan
kebodohan umat, sistem pendidikan yang sudah tidak relevan, timbulnya kelas elit intelek yang
bersikap sinis terhadap Islam dan orang Islam, rasa rendah diri di kalangan umat Islam, tidak ada
program perjuangan umat Islam yang teratur dan terencana khususnya dalam pelaksanaan dakwah
Islam, tidak ada persatuan umat Islam, kemiskinan umat bila dibiarkan akan membahayakan karena
mudah dirongrong oleh golongan kafir yang kuat ekonominya, politik kolonialisme Belanda yang
menekan dan menghambat hidup dan kehidupan umat Islam di Indonesia, politik kolonialisme
Belanda menunjang kristenisasi di Indonesia. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, dan dorongan
orang-orang Budi Utomo dan Syekh Ahmad Syurkati K.H.Ahmad Dahlan dengan dibantu oleh
murid-muridnya, mendirikan organisasi yang diberi nama Muhammadiyah. Menurut catatan Alfian,
ada sembilan orang tokoh pendiri Muhammadiyah yaitu; K.H. Ahmad Dahlan, H. Abdullah Siradj,
Raden Ketib Cendana Haji Ahmad, Haji Abdurrahman, R. H. Sarkawi, H. Muhammad, R. H.
Djaelani, H. Anis, dan H. Muhammad Fakih.
Organisasi Muhammadiyah sampai tahun 1917 belum membuat pembagian kerja yang jelas.
Hal ini disebabkan wilayah kerjanya hanya Yogyakarta saja. Dalam kurun ini K.H. Ahmad Dahlan
sendiri aktif berdakwah, mengajar di sekolah Muhammadiyah dan memberikan bimbingan kepada
masyarakat seperti shalat dan bantuan kepada fakir miskin
Kemudian, pada tahun-tahun berikut, Muhammadiyah mengembangkan sayap operasi,
bahkan pada tahun 1921 telah meliputi seluruh Indonesia, Cabang utama dan pertama yang berdiri di
luar pulau Jawa adalah Minangkabau sekitar tahun 1923, Bengkulu, Banjarmasin dan Amuntai
sekitar tahun 1927 dan Aceh bersamaan dengan Makasar sekitar tahun 1929.
Dalam melaksanakan roda organisasi K.H. Ahmad Dahlan tidak bekerja sendirian, ia dibantu
oleh kawan-kawannya dari Kauman, seperti H. Sijak, H. Fakhruddin, H. Tamim, H. Syarkawi, dan
H. Abdul Gani. Sedangkan anggota Budi Utomo yang keras mendukung segera mendirikan sekolah
agama yang bersifat moderen adalah Mas Rasyidi dan R. Sosrosugondo. Kemudian, setelah
organisasi Muhammadiyah didirikan dan melaksanakan amal usahanya di bidang pendidikan, dan
sosial sampai tahun meninggalnya K.H. Ahmad Dahlan yaitu tanggal 23 Februari 1923.
KESIMPULAN
Dengan melihat gejala yang ada, yang berkelut di tubuh muhammadiyah mau tidak mau harus
segera di cari obat penawar agar muhammadiyah tetap dapat sehat seperti sedia kala, sementara di
sisi ideologi muhammadiyah sudah semestinya penyimpang dari pondasi awal pemikiran
pemberdayaan Ahmad Dahlan perlu adanya purifikasi kembali, agar nantinya tidak terjadi “matinya
institusi organisasi dalam hal ini muhammadiyah (The Death of Muhammadiyah) bukan hal yang
mustahil akan terjadi manakala muhammadiyah beserta warganya tidak lagi mampu menjawab
tantangan zaman. Lebih-lebih, bila tidak punya sense of belonging (rasa kepemilikan) terhadap
organisasi karena lemahnya ideologi dan minimnya informasi serta wawasan tentang ke-
muhammadiyahan.
Dengan demikian warga muhammadiyah masih perlu mempelajari gagasan dan pemikiran
KH.Ahmad Dahlan. Terutama yang berkaiatn dengan masalah sholat tepat waktu dan pengamalan
ayat-ayat al-qur’an, hal itu tidak dimaksud untuk mengikuti jejaknya secara dokmatik tetapi untuk
memberi makna kreatif dan inotvatif.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
- Din Syamsuddin (Ed), Muhammadiyah, Kini & Esok, (Jakarta : Panjimas, 1990
- Mushtafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gera- kan
Islam, Dalam Perspektif Historis dan Idilogis, Yogyakarta, 2000.
- Mulkham, Abdul Munir, Pemikiran, K.H. Ahmad Dahlan, dan Muhammadiyah Da- lam
Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta : Bumi Aksara, 1990.
- Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan, dan dan Amal Muhammadiyah, Yogyakarta,
Percetakan Persatuan 1990
- Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh
Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005
- Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era
Awal dan Indonesia, Jakarta : Quantum Teaching, 2005
- Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara Bekerjasama dengan Depag
RI, 1997.
- Mushtafa Kamal Pasha, Bed dan Ahmad Adabi Darban, SU, Muhammadiyah Sebagai
Gerakan Islam, Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, Yogyakarta : LPPI, 2000
- Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh
Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005
- Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era
Awal dan Indonesia, (Jakarta : Quantum Teaching, 2005.
- Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 Jakarta : LP3ES, 1982
- Fakhry Ali, dan Bakhtiar Efendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran
Indonesia, Masa Orde Baru, Bandung : Mizan, 1986.