Anda di halaman 1dari 2

Peluang dan Tantangan Jurnalisme di Era Digital

Saat ini insan pers berada di titik "at the point of no return" di tengah majunya teknologi
penyebaran informasi. Mungkin ini bisa diterjemahkan bahwa media dan insan pers dituntut
untuk bisa beradaptasi dengan cepat mengikuti inovasi digital dan ekosistem yang turut berubah
seiring bertambah canggihnya teknologi.

Inilah yang terjadi sekarang ketika perkembangan era digital berjalan cepat, tanpa kita sadari dan
tanpa bisa dihentikan, berjalan parallel dituntut kemajuan zaman. Tepatnya, masyarakat
sendirilah yang meminta dan menuntut segala sesuatu menjadi lebih praktis dan efisien.

Terkait inilah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menilai jurnalistik memiliki
tantangannya sebab harus mampu mempertahankan kualitasnya di era digital. Kompetisi di
media digital tidak menurunkan kualitas jurnalisme. Ada dua hal penting dalam jurnalistik di era
digital, pertama, menghadirkan Hak Cipta Jurnalistik atau Publishers Right agar bisa
menciptakan kebebasan pers yang lebih optimal di Indonesia. Adapun regulasi ini tengah
digodok di Dewan Pers sejak awal 2021 agar dapat memberikan peluang bagi media untuk bisa
mendapatkan posisi yang setara di tengah persaingan bisnis. Artinya, media akan bekerja sama
secara sejajar dengan penyedia layanan digital agar bisa memenuhi kebutuhan informasi
masyarakat.

Disinilah kemudian peran penting kedua, media jurnalistik diharapkan mempersiapkan dan
menghadirkan informasi yang cepat tanpa harus mengorbankan akurasi informasi. Sebab, era
digital atau dunia tanpa batas bukan tidak memiliki konsekuensi.

Kemajuan zaman itu ibarat mata uang koin yang memiliki dua sisi. Di satu sisi dapat membawa
kebaikan, tetapi disisi lainya bisa menikam. Sehingga terkait arus informasi menjadi sangat
penting di tengah internet yang cepat, jurnalisme yang terbangun jurnalisme yang berkualitas.
Artinya, informasi yang disajikan haruslah akurat dan berdasarkan data.

Miris, kerap kali ditemui media melakukan umpan klik atau clickbait. Judul sengaja dibuat
bombastis agar orang tertarik meng-klik tautan dan membaca berita tersebut. Ternyata isinya
sangat jauh berbeda dari judul. Ibarat langit dan dasar sumur, pembaca tertipu mentah-mentah.

Kemudian, tidak kalah pentingnya adalah tanggungjawab menyajikan informasi akurat dan
sesuai data. Bukan tanpa alasan untuk mengkhawatirkan kondisi ini, karena di era disrupsi
teknologi, informasi di internet kerap dimanipulasi oleh opini-opini publik. Dimana mereka
yang kurang literasi atau "tidak bertanggungjawab" melakukan manipulasi opini publik secara
sistematis sehingga berujung sesuatu yang sebenarnya tidak ada akhirnya dianggap publik ada.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini menjadikan semua orang bisa
dengan mudah membuat artikel dan membagikannya. Hal ini membuat posisi jurnalis dan
masyarakat menjadi setara. Dengan menghasilkan produk jurnalistik yang baik maka para
jurnalis profesional bisa menunjukkan dirinya berbeda dengan masyarakat awam.
Di era teknologi digital ini proses membuat dan menyajikan berita diminta berlangsung cepat.
Namun, para awak media tetap menjaga kualitas artikel yang dihasilkannya. Bukan hanya soal
kecepatan dan akurasi tapi juga makna dari peristiwa itu. Apa yang dibutuhkan publik.

Para jurnalis harus melatih dirinya sendiri agar dapat memberikan laporan berkualitas yang
dibutuhkan publik. Imbasnya, publik akan mengapresiasi dan tidak beralih ke media sosial. Tapi
kalau gak bisa menghasilkan artikel yang baik, yang komprehensif, yang memberikan nilai,
maka jurnalisme tidak lagi penting bagi publik.

Sayangnya, saat ini banyak media ingin berlomba-lomba dalam menyiarkan informasi. Hal ini
berimbas pada menurunnya kualitas artikel yang dihasilkan. Akhirnya solusi satu-satunya adalah
para pekerja harus mematuhi standar tertentu dalam membuat berita.

Para jurnalis membentuk serikat pekerja di perusahaan media masing-masing. Keberadaan


serikat pekerja ini berguna untuk mengadvokasi agar hak-hak para pewarta dipenuhi perusahaan
termasuk komitmen menjaga kualitas berita yang dibuat. Di Australia, kode etik jurnalistik
dimasukkan dalam perjanjian kerja bersama antara pekerja dan perusahaan.

Agar kondisi para pekerja juga menjadi perhatian dalam menjaga mutu produk jurnalistik.
Berdasarkan survei jaringan jurnalisme Asia Tenggara (SEAJU) pada 2018, dua hal yang
menjadi kekhawatiran terbesar para jurnalis adalah upah yang kecil dan lingkungan kerja yang
buruk.

Referensi:
https://nasional.tempo.co/read/1232778/tantangan-jurnalis-di-era-digital
https://www.kompasiana.com/desyana58165/6130fa8806310e0611426a12/tantangan-jurnalistik-
di-era-digital

Anda mungkin juga menyukai