Anda di halaman 1dari 10

Peran Liturgi dalam Pertumbuhan Spiritual dan Pembentukan Kepribadian Jemaat.

Latar belakang
Liturgi memiliki peran penting dalam pertumbuhan spiritual dan pembentukan
kepribadian. Liturgi adalah tata cara kebaktian yang disusun oleh pejabat gereja atau imam-
imam untuk memimpin jemaat dalam ibadah. Melalui liturgi, umat berpartisipasi secara aktif
dalam ibadah dan merespons kehadiran yang Maha Kudus melalui kegiatan yang
mencerminkan iman dan partisipasi komunal. Liturgi juga membantu umat menghadapkan
hati sepenuhnya kepada Allah Bapa dan meminta belas kasihan atas pengampunan dosa serta
mengakui dosa-dosa yang telah diperbuat di hadapanya-Nya. Mesikpun Liturgi memiliki
peran penting dalam pertumbuhan spiritual dan pembentukan kepribadian seseorang, ada akar
permasalahan dalam memerankan Liturgi dimana tidak menumbuhkan spiritual dan
pembentukan kepribadian. Yang menjadi permasalahan yang membuat peran liturgi tidak
efektif dalam menumbuhkan spiritualitas dan pembentukan kepribadian terjadi karena
kurangnya pemahaman dan keterlibatan dalam liturgi. Dari kurangnya memahami makna dan
tujuan dari setiap elemen liturgi, menjadi tidak dapat mengalami pertumbuhan rohani dan
tidak merasakan apa dampak dari liturgi secra pribadi seperti yang diharapkan. Kemungkinan
juga yang teradi Ketika mengalami kehidupan rohani yang dangkal, sehingga makna dari
liturgi tersebut tidak mampu menumbuhkan spiritualitas dan kepribadian yang kuat. Liturgi
hanya menjadi rutinitas tanpa makna yang mendalam bagi pribadinya dan tidak memiliki
hubungan yang erat dengan Tuhan.
Oleh karena itu, penting bagi individu untuk mengembangkan kehidupan rohani agar
liturgi dapat berdampak positif. Jika gereja tidak memberikan pengajaran yang memadai
tentang liturgi dan tidak melakukan pembinaan dalam menghayati liturgi, maka pribadi
mungkin tidak mampu mengalami pertumbuhan spiritual yang diharapkan. Penting bagi
gereja untuk menjalakan peran liturgi ini untuk memberikan pengajaran dan pembinaan yang
terus-menerus kepada jemaat agar dapat menghayati liturgi dengan baik. Dalam mengatasi
akar permasalahan ini, gereja perlu melakukan evaluasi dan refleksi terhadap liturgi yang ada.
Gereja juga perlu melibatkan jemaat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan liturgi, serta
memberikan pengajaran dan pembinaan yang memadai. Dengan demikian, liturgi dapat
menjadi sarana yang efektif dalam menumbuhkan spiritualitas dan kepribadian jemaat karena
liturgi berperan penting dan memiliki tujuan dalam kehidupan jemaat yakni; memuji dan

1
memuliakan Allah, mengalami pengudusan rohani, mendapatkan pengajaran rohani, serta
tumbuh dalam iman, melalui sakramen-sakramen ibadah.

PEMBAHASAN.
1. Pengertian liturgi
Secara etimologis asal kata “liturgi” adalah dari bahasa Yunani leitourgia, Paduan kata-
kata leit (dari leios-laos = bangsa/rakyat) berarti “publik/umum”, dan ergon (dari ergatsomai =
bekerja) berarti “karya”. Kata laos dan ergon diambil dari kehidupan masyarakat Yunani
sebagai kerja nyata rakyat kepada bangsa dan Negara, berupa bayar pajak, membela Negara
dari ancaman musuh atau wajib militer. Maka, bisa diartikan sebagai “karya untuk publik”
atau “karya publik”. Kata leitourgein (kata kerja) sendiri berarti “melaksanakan tugas-tugas
umum dalam kota/negara”. Dalam bahasa Latin, leitourgia diartikan sebagai opus
plebis/populi (karya rakyat/ umat). Lama kelamaan diterjemahkan dengan opus Dei,
maknanya: karya Allah yang
menebus manusia, dan karya manusia yang memuliakan Allah. Kata liturgi adalah sebutan
yang khas dan umum berterima untuk perayaan ibadah Kristen atau kebaktian kepada Tuhan
(Kis.13:2). Penggunaannya secara terintegralistik dapat ditelusuri dari istilah “leitourgos”
dalam Roma 13:6. Leitourgos adalah orang yang melaksanakan pekerjaan leitourgia, yang
dalam konteks ini menunjuk kepada pemerintah. Maka pemerintah dalam hal ini adalah
pelayan Allah yang bertanggung jawab untuk mengurus pajak demi kepentingan suatu bangsa.
Jadi pada mulanya istilah ini merupakan istilah politik, menunjuk kepada sebuah karya yang
dibaktikan kepada lembaga-lembaga politik, dan bukanlah istilah kultus.
Menurut James F. White, liturgi dapat diartikn sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh
orang-orang demi manfaat orang lain. Dengan kata lain, setiap pekerjaan atau tugas yang
dikerjakan bukan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan untuk kepentingan rakyat atau
umat. Dan juga Rasid Racham memberikan defenisi Liturgi yaitu bahwa sebisa mungkin
mengubah liturgi agar menjadi hidup. Maka, peserta utama dalam liturgi yang dituju ialah
umat, bukan imam. Dengan demikian, liturgi bukan sekadar tontonan, melainkan ibadah yang
hidup yang dirayakan oleh segenap umat dengan aktif dan memiliki pengertian.
Secara bibliologis, pemakaian istilah liturgi dalam Alkitab dijumpai dalam
Septuaginta, terjemahan Perjanjian Lama (PL) Ibrani dalam bahasa Yunani, serta dalam kitab-
kitab Perjanjian Baru (PB) yang notabene ditulis dalam bahasa Yunani. Dalam PL misalnya,
istilah liturgi merujuk kepada pelaksanaan tugas imam dan orang Lewi di Kemah Suci, dan

2
kemudian di Bait Allah, khususnya dalam kaitan tugas pelayanan mezbah.Sementara dalam
Yehezkiel 44:12 dan 2 Raja-raja 15:16, istilah liturgi merujuk kepada pengertian kultus kafir.
Dalam PB kata liturgi dipakai sebanyak 15 kali, tetapi dalam pengertian yang berbeda.
Fenomena tersebut dapat penulis jelaskan sebagai berikut: pertama, merujuk kepada tugas
imam (Luk. 1:23; Ibr. 9:21, 10:11); kedua, menguraikan pekerjaan Kristus sebagai imam (Ibr.
8:2, 8:6); ketiga, menjelaskan pekerjaan rasul dalam pekabaran Injil kepada orang kafir
(Roma 15:16); keempat, sebagai kiasan dalam hal percaya (Flp. 2:17); kelima, merujuk
kepada tugas pelayanan para malaikat (Ibr. 1:7, 14); keenam, mengacu pada jabatan
pemerintah (Roma 13:6); ketujuh, sebagai pengumpul persembahan untuk orang miskin
(Roma 15:27; 2 Kor. 9:12; Flp. 2:25, 30, 4:18); kedelapan, sebagai kumpulan orang yang
berdoa dan berpuasa (Kis. 13:2).6
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian liturgi dalam
Alkitab tidak hanya menunjuk kepada satu pengertian.Pemakaian kata liturgi merupakan
sebuah upaya bagaimana orang Kristen dapat menyampaikan pesan Injil dalam konteks
budaya Yunani, sehingga para pendengar dapat memahami berita yang disampaikan oleh
orang-orang Kristen tersebut. Realita ini merupakan sebuah upaya kontekstualisasi terhadap
pengaruh Helenisasi yang berkembang pada masa itu. Dengan harapan melalui upaya-upaya
transliterasi yang proporsional berita Injil dapat dimengerti dan pada akhirnya mengakar
dalam kehidupan jemaat. Dapat dipahami adanya pergeseran pemaknaan pengertian liturgi
dalam Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Dalam konteks Perjanjian Lama, liturgi
hanya dipahami terkait dengan tugas para imam dan orang Lewi dalam lingkup kemah suci
atau bait Allah, sementara dalam konteks Perjanjian Baru liturgi dimaknai dalam kaitannya
dengan pengertian ibadah yang holistik. Perjanjian Baru memandang seluruh kehidupan
sebagai sebuah kesempatan yang seharusnya dimaknai dalam koridor beribadah, sementara
dalam Perjanjian Lama peribadatan merujuk kepada aktivitas sakral di bait Allah.
Sejauh ini kata liturgi selalu diartikan menata kebaktian dan ibadah. Padahal orang
Kristen tidak hidup sebagai Kristen hanya pada hari minggu saja, melainkan setiap hari dan
setiap saat dalam kehidupannya. Kehidupan jemaat lebih luas daripada berkumpul pada hari
Minggu. Persekutuan orang kudus harus berfungsi setiap hari. Dan di tengah masyarakat pun
ada kewajibannya untuk melayani dan menyatakan kasih Kristus kepada sesamanya. Karena
itu liturgi haruslah juga menyentuh dimensi hidup sehari-hari, bukan saja orang Kristen bersaat
teduh atau mengadakan mezbah keluarga, tetapi karena seluruh kehidupan mengalami
perubahan karena diabdikan kepada Allah. Alkitab menjelaskan bahwa Tuhan memandang
seluruh kehidupan manusia.Keseluruhannya merupakan kesempatan yang seharusnya

3
memperkenan hati Tuhan. Karena, itu mustahil membagi kehidupan manusia menjadi dua
bagian, rohani dan duniawi, beribadah dan tidak beribadah. Pengertian serupa dijelaskan oleh
Riemer demikian: Kita tidak boleh memisahkan kehidupan menjadi dua bagian: satu bagian
untuk kehidupan biasa, dan satu bagian lagi untuk kehidupan ibadah. Perbuatan Tuhan juga
tidak terbatas, tidak hanya meliputi salah satu bagian kehidupan.Dan perbuatan Allah juga
tidak terkurung dalam gedung gereja.Dihadapan Tuhan kehidupan merupakan kesatuan yang
utuh. Yesus Kristus menyelamatkan bukan separo kehidupan kita, tapi seluruh kehidupan. Jadi
tidak boleh ada ruang dalam hidup orang Kristen yang boleh disiasiakan.Semuanya adalah
kesempatan yang harus dibaktikan kepada Tuhan. Dalam dimensi inilah liturgi harus bersifat
holistik.
Penghormatan terhadap Allah pada hari Minggu tidak boleh terbatas hanya di gereja
saja, melainkan harus menggarami seluruh kehidupan orang Kristen hari lepas hari.Kesaksian
orang Kristen tidak boleh hanya terkurung atau dibatasi oleh gedung gereja saja, melainkan
harus menembus aspek-aspek kehidupan secara konkrit.Ibarat sebuah ragi yang mengkamiri
seluruh adonan, demikianlah keindahan ibadah harus mewarnai seluruh kehidupan orang
percaya dimanapun dan kapanpun. Riemer mengatakan juga bahwa umat Tuhan yang telah
ditebus wajib memberlakukan pengakuan ini juga pada hari-hari lainnya secara konkret: di
jalan-jalan desa dan kota, di ladang-ladang, rumah-rumah tetangga dan tempat kerja.
Pengakuan ini menjadi sumber kuasa dan hikmat untuk menguduskan kehidupan sesuai
kehendak Allah. Hari Minggu berbeda dari hari-hari lain. Jikalau setiap hari dalam hidup
harus dimaknai dalam koridor beribadah, maka bukan berarti bahwa hari Minggu menjadi
sama seperti hari-hari lain. Umat Tuhan harus secara tepat dan teratur menghadap Tuhan
sesuai dengan petunjuk-Nya.Ada waktu dan tempat yang dikhususkan-Nya dimana umat
dapat berjumpa dengan pribadi-Nya. Itulah hari Minggu dan bertempat di gereja, dalam
rangka liturgi yang tidak sembarangan. Dengan begitu hari Minggu tidak dapat disamakan
dengan hari-hari lain, meskipun hari Minggu harus mewarnai hari-hari lain dalam hidup orang
percaya.
Makna dari liturgi jika ditinjau dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah tata
cara kebaktian yang disusun oleh pejabat gereja untuk memimpin jemaat dalam ibadah.
Melalui liturgi, umat berpartisipasi dalam perayaan iman, mengalami kehadiran Tuhan, dan
merenungkan Firman-Nya. Liturgi juga mengajarkan nilai-nilai agama dan moral yang
penting dalam membentuk kepribadian dan pertumbuhan spritualitas orang Kristen.

4
2. Korelasi Ibadah Dan Liturgi
Daryanto mengatakan” ibadah adalah perbuatan bakti kepada Allah, yang didasari
ketaatan mengerjakan perintahNya dan menjahui laranganNya.”111 Sedangkan Sirait
mengatakan “ibadah adalah respon atau tanggapan kita terhadap apa yang telah dikerjakan
Allah bagi kita. Selain kedua pandangan tersebut masih banyak pandangan ahli tentang
ibadah. Namun secara umum dapat disimpulkan bahwa ibadah adalah tanggapan yang penuh
kasih dari manusia yang mempunyai iman pribadi kepada Allah.
Ibadah dan liturgi ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Jika ibadah
sejati merupakan wujud respon syukur umat atas kemurahan Allah yang terimplementasi
melalui penyerahan hidup total kepada Allah dalam realita hidup sehari-hari bagi kemuliaan-
Nya, atau dengan kata lain tanggapan manusia atas karya keselamatan Allah dalam realita
hidup sehari-hari, maka tepat seperti pernyataan Hoon, bahwa kehidupan Kristen adalah
kehidupan liturgis. Artinya, kehidupan yang tertata-kelola dalam koridor beribadah. Karena
itu semua yang orang Kristen lakukan, baik secara individu maupun gerejawi, merupakan
perwujudnyataan ibadah yang bersifat liturgis.
Dalam surat Ibrani 8:1-2 menjelaskan demikian: “... kita mempunyai Imam Besar
yang demikian, yang duduk di sebelah kanan takhta Yang Mahabesar di sorga, dan yang
melayani ibadah (‘leiturgia’) di tempat kudus, Surat Ibrani menyebut Yesus Kristus sebagai
pelaksana liturgi yang agung.Karena itu liturgi di dunia ini haruslah juga memperhatikan
keterkaitannya dengan liturgi agung tersebut. Jika kita tidak mempedulikan itu, kita akan
terjerumus ke dalam bahaya ajaran yang masih mempertahankan pelayanan pendamaian di
dunia ini.
Dalam pengertian ini nampak relasi antara pekerjaan Kristus dan ibadah di dunia.
Kristus dihadapan Allah bertindak sebagai “pengantara” untuk jemaat di dunia, liturgi di
dunia terutama bersifat “menerima”, artinya menerima karya Imam Besar Kristus dari surga.
Bertolak dari pengertian tersebut ibadah yang sejati hanya dapat diwujudnyatakan melalui
liturgi yang benar. Karena itu peran liturgi tidak dapat dianggap remeh.Liturgi haruslah dapat
mencerminkan kesejatian dari ibadah itu sendiri. Dan liturgi yang demikian adalah liturgi
yang merepresentasikan liturgi agung yang dikerjakan oleh Kristus bagi umat pilihan-Nya,
umat perjanjian-Nya. Disini korelasi tersebut memiliki peran yang penting dalam “kelayakan
bakti” umat kepada Allahnya.
3. Peran Liturgi dalam Pertumbuhan Spiritual.

5
Spiritualitas adalah pengalaman hubungan seseorang dengan Tuhan dalam iman dan
bagaimana seseorang menghidupi iman itu. Spiritualitas sebagai cara seseorang menanggapi
Roh Allah, baik dalam doa maupun tindakannya. Sheldrake mengartikan Spiritualitas "adalah
seluruh kehidupan manusia yang dilihat dalam hal hubungan sadar dengan Allah, di dalam
Yesus Kristus, melalui berdiamnya Roh, dan di dalam komunitas orang percaya. Spritusl
menunjuk gaya atay cara hidup menghayati liturgi dalam kontek seluruh hidup orang Kristen
menurut pimpinan roh kudus sendiri. Kata spiritualitas yang berasal dari bahsa latin yaitu
“spiritus atau roh” beratii kehidupan yag dituntun atau di pinpin oleh roh. Roh (dalam bahsa
Yunani:pneuma) dalam teologi santo Paulus bisa dilawankan dnegan daging (Rm. 8:1-17; Gal
5:16-16). Namun, daging disini bukan dalam arti daging yang terdiri atas ogan-organ tubuh
manusia, melainkan soal cara hidup yang dikuasai oleh dosa. Rang yang hidup menurut
daging ialah orng yang hidup dalam dosa. Dan itu besrti kesudahannya adalah maut.
Sedangkan orang yang hidup dalam roh ialah orang yang hidup untuk Allah (Paulus menulis
dnegan jelas dalam Roma 8:6-7). Maka spiritualitas secraa kristiani berati kehidupan yang
dijiwai dan di pimpin oleh roh. Roh daam arti; roh kudus. Lalu spiritualitas dalam liturgi
menunjuk cara, sikap, gaya hidup yang menghayati perayaan berdasarkan tuntunan roh kudus
hingga menghasiakn buah pada ehidupan sehari-hari.

6
Dalam berbicara tentang kepribadian yang berbeda dari pribadi, kita memiliki sesuatu
yang jelas didefinisikan. Setiap manusia adalah seorang pribadi karena keberadaannya
pada dasarnya sadar; dan dia adalah seorang subjek yang terlibat dalam hubungan dengan
orang lain, dan yang tahu, menghendaki, dan mencintai. Seorang pribadi adalah seorang
yang "memiliki dirinya sendiri," yang tidak hanya ada tetapi secara aktif mencapai
keberadaannya, dan memiliki kekuatan untuk memilih dengan bebas

7
Apabila diindikasikan perbedaan antara dua elemen fundamental dalam pembentukan
kepribadian dan perkembangannya secara umum adalah, yang pertama terletak dasar
ontologis murni bagi perkembangan kehidupan pribadi, yang tidak dapat diberikan oleh
manusia pada dirinya sendiri. Sebab itu adalah Anugerah murni dari tangan Tuhan, di mana
kebebasan manusia tidak dapat berperan sama sekali. Dasar alami ini adalah eksistensi
manusia sebagai pribadi spiritual, kehadiran "organ-organ" spiritual seperti kekuatan
pengetahuan, keinginan, kasih. Dalam hal ini, harus ditambahkan kecenderungan alami
khusus yang diterima manusia melalui pewarisan. Dasar supernatural dari peniruan Kristus
adalah kehidupan ilahi yang tertanam melalui pembaptisan, dan yang dipulihkan, diperkuat,
atau dilengkapi dalam kita melalui sakramen-sakramen lainnya. Dalam kehidupan ini, yang
membuat kita anggota tubuh mistik Kristus dan yang bukan hanya ikatan moral tetapi juga
fisik yang misterius dengan Kristus yang dianugerahkan sebagai anugerah murni dari Tuhan
hingga ditemukan dasar ontologis untuk transformasi dalam Kristus, prinsip vitalitas semua
kesucian. Dianugerahi kehidupan supernatural ini mensyaratkan adanya dasar ontologis alami,
yaitu hakikat pribadi. Kehidupan supernatural semacam ini tidak pernah dapat diberikan
kepada sesuatu yang tidak bernyawa, atau kepada makhluk lainnya seperti
tanaman atau hewan.
Elemen kedua, tak kalah penting dan fundamental dalam semua pembentukan
kepribadian alami dan supernatural yaitu kontak sengaja dengan dunia nilai. Nilai-nilai moral
alami tidak muncul dengan sendirinya, seperti halnya sifat bawaan atau kecantikan fisik. Itu
hanya dapat tumbuh melalui pengenalan dan penegasan nilai-nilai, melalui respons yang sadar
terhadap mereka. Fakultas sederhana pengetahuan, kehendak, dan kasih belum menunjukkan
Kebajikan. Bagian spiritual ini tidak memberikan kerendahan hati, kemurnian, kasih.
Kebajikan mekar hanya dari persatuan sadar manusia dengan dunia nilai. Hal yang sama
berlaku untuk kehidupan supernatural manusia. Elemen fundamental dari "kehendak" dalam
pertumbuhan spiritual ini tidak dikecualikan dari ranah supernatural, dan bagi manusia
dewasa, ini adalah penerimaan sadar terhadap Allah bahkan untuk keanggotaan dalam Tubuh
Mistik Kristus, seperti yang ditunjukkan dalam volo (Aku mau) dari ritual pembaptisan, serta
dalam adanya pembaptisan keinginan dan pembaptisan darah. "Qui fecit te sine te, non te
justificat sine te" yang artinya “siapa yang menciptakanmu tanpa engkau, tidak akan
menghukummu tanpa engkau”, kata Santo Agustinus, dan apa yang benar tentang pembenaran
juga benar tentang penyucian. Tanpa pengetahuan tentang Kristus dan Bapa seperti yang
diungkapkan dalam Wajah Suci, tanpa kasih Kristus, tanpa mengikuti Kristus, tidak ada yang
dapat disucikan. "Aku adalah jalan, dan kebenaran, dan hidup," kata Tuhan; dan, "barangsiapa

8
yang melihat Aku, juga melihat Bapa." Tanpa kesediaan bebas yang akhir untuk
mendedikasikan diri kepada Kristus manusia, tanpa penyerahan total diri kepada Kristus,
tanpa memikul Salib-Nya, tanpa mengikuti perintah terbesar "yang menjadi dasar seluruh
hukum dan para nabi," kehidupan ilahi yang tertanam dalam kita melalui pembaptisan tidak
dapat mencapai perkembangan penuhnya dalam kita. "Jika seseorang mengasihi Aku, ia akan
memelihara firman-Ku. Dan Bapa-Ku akan tinggal di dalamnya, dan Kami akan datang
kepada dia, dan akan membuat kediaman Kami di dalamnya."
Makna Liturgi bagi pembentukan kepribadian akan dipertimbangkan di sini dari sudut
pandang hanya elemen fundamental kedua, akar kesucian yang sengaja, dan bukan dari sudut
pandang pengaruh ontologis. Dasar ontologis murni ini akan dianggap sebagai sesuatu yang
pasti, dan oleh karena itu lebih banyak tekanan akan diberikan secara alami pada Misa Kudus
dan Ibadah Ilahi daripada pada sakramen-sakramen di mana kausalitas ontologis menempati
tempat utama. Ketika kita menguji semangat yang terwujud dalam Liturgi, yang meresap ke
dalam pribadi yang berpartisipasi dalam Liturgi, tampak bahwa semangat ini diungkapkan
dalam tiga cara. Pertama, semangat Liturgi terungkap dalam tindakan liturgis itu sendiri,
dalam Persembahan Kudus Misa, persembahan kasih abadi Kristus; dalam sakramen-
sakramen, kasih berkomunikasi Kristus; dan dalam Ibadah Ilahi, penyembahan kasih dan
pujian abadi yang Kristus tawarkan kepada Bapa surgawi-Nya.
Kedua, semangat Liturgi mengekspresikan dirinya dalam makna dan atmosfer yang
disampaikan oleh doa-doa tunggal, antifon, himne, dan sejenisnya, dalam semua yang secara
eksplisit diucapkan oleh Liturgi, dalam pemikiran dan iklim spiritual yang menyelubungi
bentuk dan kata-katanya. Ketiga, semangat Liturgi diungkapkan dalam struktur dan
konstruksinya; dalam arsitektur Misa Kudus, dari ritus-ritus, dari berbagai sakramen, dari
Ibadah Ilahi, dalam penekanan berurutan pujian, syukur, dan doa, dalam struktur tahun liturgi,
dalam aturan-aturan menurut yang, misalnya, satu perayaan lebih diutamakan daripada yang
lain.
Beberapa fitur fundamental dari semangat homogen yang terungkap dalam tiga
sumber ini, dan untuk menunjukkan bahwa fitur-fitur fundamental ini sangat penting bagi
pembentukan kepribadian yang sejati. Kesatuan misterius mencakup semua yang
diekspresikan dalam semangat Gereja, Kristus yang terus hidup di antara individu, Liturgi
sebagai suara Gereja. Untuk membangun Gereja ini, bahan-bahan yang dikumpulkan dari
budaya-budaya dan zaman yang paling beragam; tetapi kesatuan yang bicarakan tidak rusak,
bahkan ketika alasan yang mendorong pengenalan elemen ini atau itu bersifat sekunder dan
kebetulan. Meskipun analisis historis yang dilakukan di tempat dan waktu yang tepat dapat

9
terbukti bermanfaat dan dibenarkan, tidak ada tempat untuknya dalam studi kami. Kami tidak
tertarik pada pembentukan manusia kuno atau abad pertengahan, manusia Romawi atau
Oriental, tetapi pada pembentukan kepribadian supernatural dalam diri kami, pembentukan
Kristus dalam diri kami, sebagaimana telah terjadi dalam setiap orang kudus—bukan dalam
kata-kata dan ajarannya, bukan dalam bentuk asketisme yang ia pilih, tetapi dalam kesucian
hidupnya—baik dalam Santo Agustinus maupun dalam Santa Thérèse dari Anak Yesus, dalam
Santo Benediktus maupun dalam Santo Fransiskus, dalam Santo Bernardus maupun dalam
Santo Vincent de Paul.

10

Anda mungkin juga menyukai