LIMFOBLASTIK AKUT
Latar belakang
L-Asparaginase merupakan batu landasan dalam protokol
pengobatan ALL dan digunakan selama fase induksi dan
intensifikasi pada regimen pediatrik (American Cancer
Society, 2010).
L-Asparaginase telah digunakan sejak tahun 1970 untuk
pengobatan ALL. Data klinik yang luas menunjukan
pengobatan dengan L-Asparaginase meningkatkan
perbaikan luaran klinis pada pasien ALL (Pieter R, 2011).
Latar belakang
Efikasi penggunaan Asparaginase pada terapi ALL juga
didukung oleh banyak penelitian, yang menunjukkan
penggunaan L-asparaginase secara intensif sebagai terapi
ALL menghasilkan luaran survival rate 5 tahun yang
lebih tinggi dibandingkan yang tidak intensif.
Penelitian Pession (2005) menunjukan anak yang
diberikan asparaginase memiliki peningkatan 10 tahun
free survival disease yang bermakna (85,5% vs 78,7%)
dan survival secara umum (93,7% vs 88,6), penurunan
40% risiko relatif kegagalan dibandingkan pasien yang
tidak mendapatkan terapi asparaginase.
Penelitian Amylon menunjukan penggunaan
asparaginase dosis tinggi 25.000 UI/m2 seminggu selama
20 minggu selama fase konsolidasi, secara signifikan
meningkatkan kelanjutan remisi komplit pada pasien T
sel ALL dibandingkan dengan pasien yang diobati
dengan regimen asparaginase dosis rendah (71,3 % vs
57%).
Selain memiliki efikasi yang besar, L-Asparaginase juga
memiliki efek samping yang besar juga. Beberapa efek
samping yang pernah dilaporkan, antara lain, reaksi
hipersensitivitas, koagulopati, pankreatitis, hiperglikemia,
dan hepatotoksisitas sehingga pemberiannya masih
kontroversi (Hasyem A,2008).
Protokol Indonesian ALL 2006 dibagi atas fase induksi
(6 minggu), fase konsolidasi/ intensifikasi (6 minggu),
dan rumatan (109 minggu) (Balis et al, 2006).
Penggunaan L-asparaginase dalam terapi ALL adalah
selama fase induksi dan intensifikasi, bersama dengan
agen kemoterapi lainnya, yaitu vinkristin dan
glukokortikoid.
Mekanisme obat anti kanker (Neal, 2006)
Pada tahun 1963, Broome meneliti bahwa dalam serum
marmut (guinea pig) dan spesies lain yang sejenis terdapat
kandungan enzim L-asparaginase dalam konsentrasi tinggi.
Selanjutnya, DeLowrey mempurifikasi serum marmut (guinea
pig) untuk mengobati anak dengan ALL dan mendapatkan
respon objektif. Hanya saja, ekstraksi dari sel mamalia cukup
sulit dilakukan dan secara kuantitas tidak memadai untuk
diteliti dalam skala besar (McCredie et al 2001; Sahu et al,
2007).
Hingga pada tahun 1964, Mashburn dan Wriston
mengisolasi L-asparaginase dari bakteri Escherichia Coli.
Beberapa spesies bakteri tumbuhan juga diteliti memiliki
aktivitas L-asparaginase yang baik, termasuk Erwinia sp,
Bacillus sp, Cornyebacterium glutamicum, Streptomyces
albidoflavus dan Actinomycetes (Jayam dan Kannan, 2013;
Thirunavukkarasu et al, 2011; Sahu et al, 2007).
Sumber L aspar
Saat ini, di Amerika Serikat dan Eropa tersedia 3
formulasi asparaginase, yaitu yang diisolasi dari
Escherchia Coli (native L-asparaginase),
L-asparaginase E. Coli yang dikonjugasikan dengan
polyethylene glycol (PEG) (PEG-Asparaginase)
Erwinia chrysanthemi (Erwinia L-asparaginase)
Sediaan L aspar
Berat molekul L-asparaginase E. coli adalah 133-144 KDa; sedangkan L-asparaginase bakteri
lainnya berkisar 140-150 KDa (Jayam dan Kannan, 2013).
Seperti tampak pada gambar, enzim L-asparaginase terdiri dari 4 sub-unit yang identik. Sisi
aktif menahan asparagin (merah) dan menggunakan asam amino treonin (hijau) untuk
melakukan reaksi pemecahan. Enzim ini juga aktif dengan glutamin, namun memecah
kelompok asam amino secara lebih lambat (Goodsell, 2005).
JENIS
DOSIS DAN CARA PEMBERIAN
ASPARAGINASE
Waktu paruh L-asparaginase dalam plasma cukup singkat, bervariasi antara 8-30 jam pada
pasien yang berbeda, dan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, luas permukaan tubuh,
diagnosis, keparahan penyakit, maupun fungsi ginjal dan hati pasien. Waktu paruh juga tidak
dipengaruhi oleh terapi harian. Hal ini menjadi dasar alasan pemberian terapi mingguan.
Selain karena tidak berbedanya efek terapi antara terapi harian dan mingguan, juga
meminimalkan terjadinya resistensi klinis (McCredie et al 2001).
Asparagin dibutuhkan oleh sel, baik sel normal maupun sel kanker, untuk sintesis protein dan pertumbuhan
sel. Pada sel normal, asparagin disintesis dalam kuantitas yang memadai oleh enzim asparagine
synthetase. Kebanyakan sel limfoblas, memiliki sistem sintesis asparagin yang buruk dan bergantung pada
suplai eksogen asparagin dari sirkulasi (plasma). (Godfrin dan Bertrand, 2006).
L-asparaginase adalah enzim yang berperan sebagai katalisator proses hidrolisis asparagin menjadi asam
aspartat.Pemberian L-asparaginase akan mengurangi sumber bebas asparagin sehingga menghambat
proliferasi sel neoplasma, dan berakibat pada kematian sel neoplasma melalui aktivasi apoptosis (Jayam
dan Kannan, 2013).
Terapi L-asparaginase berkaitan dengan beberapa
kejadian negatif, diantaranya reaksi hipersensitivitas,
gangguan koagulasi, pankreatitis, hiperglikemia, dan
hepatotoksisitas (Earl, 2009).
Reaksi hipersensitivitas
Antihistamin dapat digunakan untuk mencegah atau
mengobati urtikaria. Namun, reaksi yang lebih berat
seringkali memerlukan penghentian terapi dan
penggantian dengan formulasi asparaginase alternatif.
Reaksi anafilaksis dapat diatasi dengan epinefrin atau
steroid. Kombinasi kemoterapi dengan vinkristin dan
glukokortikoid juga dapat menhindari terjadinya reaksi
alergi, melalui imunosupresi.
PENANGANAN
Penelitian eksperimental terbaru oleh Godfrin dan Bertrand tahun 2006, menemukan
bahwa L-asparaginase yang diintroduksikan ke dalam eritrosit, dapat memperanjang
waktu paruh (mencapai 28 hari), sehingga mengurangi administrasi berulang, yang
memicu reaksi alergi/ hipersensitivitas (Godfrin dan Bertrand, 2006).
Gangguan koagulasi terjadi pada sepertiga pasien yang
menerima L-asparginase. Efek negatif yang berkaitan dengan
gangguan koagulasi adalah akibat efek L-asparaginase
terhadap sintesis protein.
Temuan yang selalu didapat adalah reduksi dari plasminogen,
fibrinogen, antitrombin, dan faktor IX dan X dengan
pemanjangan dari activated Partial Thromboplastin Time
(aPTT). Defisiensi protein C dan S juga pernah dilaporkan.
Defisiensi dari protein antikoagulan ini mengganggu inhibisi
trombin atau berakibat pada berlebihnya kadar trombin.
Akibatnya, terjadi peningkatan risiko perdarahan atau
trombosis. Angka kejadian hipofibrinogenemia dilaporkan
berkisar 15-65% (Earl, 2009).
Gangguan koagulasi
TEMPAT GEJALA DAN TANDA KLINIS INSIDENSI
2%
Penanganan
respon dengan antikoagulan
Pemberian ulang asparaginase dibawah pemberian profilaksis
antikoagulan
Tromboembolisme jantung Terapi antikoagulan kronik selama 6 bulan
Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) terbukti tidak efektif
dalam mengatasi defisiensi faktor koagulasi terkait terapi L-
asparaginase. Dalam penelitian Nowak-Gottl et al (1995),
pemantauan laboratorium sebelum, selama, dan sesudah
pemberian FFP tidak menunjukkan adanya perbaikan jangka
pendek dan hanya mendemonstrasikan adanya kenaikan
minimal dari fibrinogen dan 2- antiplasmin. Kadar
antitrombin dan plasminogen dalam plasma tidak berubah.
Terlebih lagi, pemberian FFP tidak memiliki dampak pada
pembentukan thrombin, kompleks plasmin/ 2- antiplasmin
ataupun D-dimer (Nowak-Gottl et al, 1995).
PEMBERIAN FFP ?
Penyebab pankreatitis, hiperglikemia, dan
hepatotoksisitas belum diketahui secara jelas, namun
mungkin merupakan akibat dari efek L-asparaginase
terhadap sintesis protein. Angka kejadian pankreatitis
berkisar antara 2-16%, sedangkan hiperglikemia lebih
jarang terjadi, yaitu mencapai 10% (Earl, 2009).
Hiperglikemia dan ketosidosis diduga disebabkan
oleh hipoinsulinemia akibat inhibisi sintesis insulin
karena kekurangan ekstrim L-asparagin atau kerusakan
insulin yang telah dibentuk (Kudgi et al, 2007).
Hepatotoksisitas diduga akibat defisiensi glutamin,
berkurangnya sintesis protein hati, stress oksidatif, dan akibat
gangguan oksidasi-b mitokondria. Kerusakan secara
histologis jarang dilaporkan pada pasien yang mengalami
kelainan fungsi hati selama terapi L-asparaginase, namun
begitu steatosis hati makro- dan mikrovesikular telah
ditemukan. Steatosis mikrovesikular dapat berujung pada
kegagalan fungsi hati dan koma, dan berakibat pada kematian
pada beberapa kasus (Earl, 2009).
Pankreatitis terkait dengan terapi asparaginase biasanya tidak
mengancam jiwa dan memiliki respon yang baik terhadap
dekompresi nasogastrik dan hiperalimentasi intravena.
Penanganan pankreatitis
Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, pankreatitis
terkait asparaginase dapat mengancam jiwa dan
pemberian asparaginase harus dihentikan.
Namun begitu, selama terapi asparaginase masih
merupakan komponen kunci dalam pengobatan ALL yang
efektif, pemberian kembali asparaginase setelah periode
pankreatitis akut teratasi perlu dipertimbangkan.
Penanganan pankreatitis
Meningkatkan kontrol glikemik melalui diet dan
olahraga, pemantauan glukosa urin, dan pengaturan
glukosa darah dengan terapi insulin pada kasus yang
berat dianjurkan untuk memperbaiki luaran hiperglikemia
pada pasien dengan ALL yang diterapi dengan
asparaginase (Earl, 2009).
Penanganan hiperglikemia
Semua pasien yang akan menjalani kemoterapi memerlukan
penilaian fungsi hati secara cermat sebelum terapi dimulai
untuk menentukan agen kemoterapi yang tepat diberikan
atau yang dosisnya harus dimodifikasi.
Penting untuk membedakan antara kelainan hati akibat
keganasan atau akibat terapi. Sebagai tambahan, kondisi
komorbid lainnya, seperti hepatitis, harus diperhatikan.
Pada pasien yang diterapi dengan asparaginase,
pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan secara rutin
sebelum dan selama terapi; agen terapi lain (vinkristin dan
antraskilin) yang digunakan secara bersamaan untuk
mengobati ALL mungkin memerlukan penyesuaian untuk
menghindari/ mengurangi toksisitas (Earl, 2009).
Penanganan hepatotoksisitas
Asparaginase memiliki bukti yang kuat dan keuntungan
klinis karena kegunaannya
Asparaginase berhubungan dengan spektrum toksisitas
yang berhubungan dengan presdiposisi genetik
Kebanyakan toksisitas yang berhubungan dengan
asparaginase dapat ditangani dengan efektif
SIMPULAN
TERIMA KASIH