Anda di halaman 1dari 13

POTENSI KERUGIAN

YANG DAPAT TIMBUL


AKIBAT GANGGUAN
REPRODUKSI TERNAK
RUMINANSIA

Oleh: kelompok 1

Dody Adia Sanjaya

Dedenria Agusta

Fiki Arif Musyaffa


Pendahuluan

– peforma reproduksi merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang produksi ternak,
lima puluh tahun yang lalu, kematian embrio dini yang menyebabkan kegagalan kebuntingan
merupakan faktor kegagalan terbesar dalam menghasilkan pedet (Wiltbank et. Al., 2007).
Penelitian dari (Bahonar et al., 2009) menjelaskan bahwa gangguan reproduksi berpengaruh
terhadap fertilitas, kesehatan, dan produksi ternak atau dengan kata lain gangguan reproduksi
menurunkan peforma reproduksi.
– reproduktivitas ternak perah tersebut yang lebih lanjut akan menurunkan pendapatan
peternak karena kan bertambahnya biaya produksi seperti biaya pakan, tenaga kerja, biaya
inseminasi, dan sebagainya.
– Selain itu kerugian yang diperoleh peternak, juga dapat dilihat dari kerugian yang diperoleh
ternak itu sendiri atau dampak yang dirasakan oleh ternak akibat gangguan reproduksi
– Beberapa gangguan reproduksi pada ternak (sapi,kambing,dan kerbau) yang
mengakibatkan penurunan produktivitas dan kualitas susu.
1. Corpus Luteum Perisisten
2. Abnormalitas selang beranak.
3. Penyakit Brucellosis (Keluron Menular)
4. Repeat breeder (kawin berulang)
Corpus Luteum Perisisten.

Korpus Luteum adalah penghasil progensteron yakni hormon yang berperan dalam
proses menyiapkan dan menjaga kebuntingan, keadaan korpus luteum perisiten
bisa didiagnosa dengan palpasi rektaldimana didalam uterus ada cairan nanah bila
menderita piometra, fetus yang telah kering bila terjadi mumifikasi, fetus
menggembung berisi udara bila terjadi emfisema.
Penyebab
1. Korpus luteum perissiten bisa berasal dari korpus luteumnormal, KL periodikum yang ada
pada setiap satu siklus birahi, kemudian mengecil menjadi korpus luteum albikan (putih)
karena lisis (meluruh) yang diakibatkanoleh pengaruh Prostaglandin PGF2Alfa yang
membanjiri pada masa akhir birahi.
2. KLP bisa juga berasal dari KL graviditatum (kebuntingan), yaitu setelah induk melahirkan
secara normal akan mengalami lisis juga akibat kerja PGF2Alfa.
3. Bisa juga terjadi pada induk sapi setelah melahirkan, disebabkan adanya patologi di uterus
(piometra, maserasi fetus, mumifikasi fetu, emfisema fetu) dan kematian embrio dini.
4. Induk sapi perah yang berproduksi susu banyak >30 liter/hari, juga sering diikuti oleh adanya
KLP. Ini disebabkan hormon LTH yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa anterior pasca
melahirkan, menghambat proses lisis dari korpus luteumgraviditatum
– Akibat/ kerugian yang timbul akibat Korpus Luteum Perisisten
1. Dengan adanya gangguan sekresi hormon progesteron yang tinggi dalam darah
diluar masa kebuntingan, yang dihasilkan oleh KLP, maka akan terjadi
gangguan birahi menjadi tidak birahi (anestrus)
2. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya umpan balik negatif (negatif feedback
mechanism) terhadap kelenjar hipofisa anterior sehingga sekresi (pengeluaran
suatu zat yang masih didalam tubuh) hormon FSH (folicle stimulating
hormone) dan LH Lutenizing Hormone) yang menyebabkan terjadinya ovulasi
(lepasnya sel telur) terhambat
3. Induk sapi yang mengalami KLP selalu diikuti keadaan anestrus
berkepanjangan bisa berbulan bulan bahkan bisa setahun lebih
4. Pada sapi perah bisa berjalan antara 30 – 90 hari pasca melahirkan, bahkan
bisa lebih lama lagi bila tidak terdeteksi dan diterapi.
5. KLP yang disebabkan adanya faktor patologi di uterus, menyebabkan
endometrium tidak mampu menghasilkan PGF2Alfa sehingga KL tidak lisis.
Abnormalitas selang beranak

– Indikator performa reproduksi sapi betina yang berhubungan dengan produksi susu salah satunya
yaitu selang beranak.
– Selang beranak ditentukan oleh lamanya sapi induk menjalani masa kosong (masa setelah induk
melahirkan sampai dikawinkan kembali). Selang beranak pada sapi perah adalah waktu yang
diperlukan dari sejumlah induk sejak beranak pertama hingga beranak berikutnya (Triwulanningsih,
dkk., 2009).
– Selang beranak yang baik adalah 13 bulan (rentang 12-14 bulan) dengan persentase kebuntingan
sebesar 95% yang artinya mendekati satu kali konsepsi perkawinan untuk menghasilkan kebuntingan
atau S/C mendekati 1,00 (Hafez, 2000).
– Selang beranak lebih dari 13 bulan dilihat dari produksi susu selama masa laktasi berjalan akan
menaikkan jumlah produksi susu akan tetapi secara kumulatif selama umur produktif sapi perah
tersebut menghasilkan pedet lebih sedikit dan produksi susu rata-rata selama umur produktif
menurun, dengan demikian dalam jangka panjang diperkirakan penerimaan peternak dari penjualan
susu dan pedet menurun sehingga peternak diperkirakan mengalami kerugian finansial
Penyakit Brucellosis (Keluron
Menular)

Brucellosis adalah penyakit ternak menular yang secara primer menyerang


sapi, kambing, babi dan sekunder berbagai jenis ternak lainnya serta manusia.
Pada sapi penyakit ini dikenal sebagai penyakit Kluron atau penyakit Bang
Bruce (1887) telah berhasil mengisolasi jasad renik penyebab dan ditemukan
Micrococcus melitensis yang selanjutnya disebut pula Brucella melitensis. Terdapat
3 spesies, yaitu Brucella melitensis, yang menyerang pada kambing, Brucella
abortus, yang menyerang pada sapi dan Brucella suis, yang menyerang pada babi
dan sapi.
Infeksi Brucellosis pada hewan terjadi persisten seumur hidup, dimana kuman
Brucella dapat ditemukan didalam darah, urin, susu dan semen. Penyakit ini
menyebabkan kerugian ekonomi yang besar (Rp. 138,5 Milyar/tahun) akibat
penurunan angka kelahiran karena abortus, penurunan produksi susu, gangguan
reproduksi (infertilitas dan sterilitas), penurunan prestasi kerja akibat nyeri pada
persendian lutut, penurunan nilai jual susu dan nilai jual sapi (Dijennak, 1981).
– Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh brucellosis sangat besar, walaupun mortalitasnya
kecil.
– Pada ternak kerugian dapat berupa kluron, anak ternak yang dilahirkan lemah, kemudian mati,
terjadi gangguan alat-alat reproduksi yang mengakibatkan kemajiran temporer atau
permanen.
– Kerugian pada sapi perah berupa turunnya produksi air susu.
– Pada ternak jantan terjadi kebengkakan pada testes dan persendian lutut.
– Pada kambing, brucellosis hanya memperlihatkan gejala yang samar-samar. Kambing kadang-
kadang mengalami keguguran dalam 4 - 6 minggu terakhir dari kebuntingan.
– Kambing jantan dapat memperlihatkan kebengkakan pada persendian atau testes.
Repeat breeder (kawin berulang)

– Repeat breeder mengakibatkan rendahnya efisiensi reproduksi pada sapi perah.


– Reapeat breeding adalah sapi yang mempunyai siklus estrus normal dan sudah dikawinkan
lebih dari tiga kali namun belum bunting.
– Repeat breeder ditandai
1. Panjangnnya Calving interval 18-24 bulan
2. Rendahnya angka kosepsi (<40%)
3. Tingginya Service per Conception (>3)
( Rustamaji,2004)
Angka repeat breeder yang tinggi menyebabkan rendahnya Produksi susu yang dihasilkan.
Tingginya kejadian kawin berulang ini tentunya suatu permasalahan gangguan reproduksi yang
merugikan peternak.
Kerugian yang dapat timbul akibat gangguan
reproduksi ternak pada ruminansia

– Abortus
– Lemahnya kelahiran anak
– Mumifikasi
– Penis yang kecil
– Semen yang berkualitas rendah/ tingginys tingkat mortalitas spermatozoa
– Menurunkan produksi susu
– Selang beranak yang panjang
– Rendahnya keberhasilan IB
– Penurunan pendapatan peternak

Anda mungkin juga menyukai