Anda di halaman 1dari 16

ARSITEKTUR RELIGIUS: Arsitektur Gereja

Gereja Katolik Inkulturatif


Pangururan (GKIP)
Kota Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara
Gabriel Nicholaus S 15.A1.0008
Felix Astanu 15.A1.0037
Albertus Aditya P 15.A1.0051
Habib Jundi S 15.A1.0070
Hari Utama 15.A1.0158
Theo Krisnawan 16.A1.0062
ARSITEKTUR RELIGIUS: Arsitektur Gereja

Gereja Katolik Inkulturatif


Pangururan (GKIP)
Kota Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara

Nama Lain : Gereja Katolik Inkulturatif Paroki Santo Mikael Pangururan


Lokasi : Jl. Putri Lopian, Pangururan, Samosir, Sumatera
Utara (kompleks Paroki Santo Mikael Pangururan)
Kapasitas : ± 700 orang

• Gereja Katolik St Mikael Panguruan merupakan salah satu gereja inkulturasi


terbesar yang ada di Sumatera Utara. Dengan desain yang mengadopsi rumah
adat Batak Toba.

• Bangunannya berbentuk solu (perahu) yang merupakan ciri khas rumah adat
Batak Toba. Arsitektural mengadopsi vernakular tradisional Batak Toba,
dengan ruang dalamnya berbentuk empat persegi panjang. Elemen interior
mengadopsi filosofi Batak mulai dari dinding, tangga altar, beberapa perabot,
profil dinding dan sebagainya.
• Peta Lokasi Kompleks
• Skema Kompleks Paroki
Paroki Santo Mikael
Pangururan Santo Mikael Pangururan
Sejarah Gereja Katolik
Inkulturatif Pangururan (GKIP)
• GKIP dibangun antara tahun 1994-1997, dan diresmikan pada tanggal
27 Juni 1997 oleh Uskup Agung Medan Mgr. AGP Batubara, OFM Cap
dan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tapanuli Utara Drs TMH Sinaga.
• GKIP dibangun dengan dana sekitar 800 juta rupiah yang diperoleh
dari swadaya jemaat, instansi gereja (baik dalam dan luar negeri),
serta sumbangan pribadi dari para donatur
• Semua dana ini ditangani oleh Pastor Leo Joosten, OFM Cap (seorang
pastor asal Belanda). Beliau memimpin secara langsung
pembangunan gedung GKIP ini dan dibantu oleh dua arsitek
perencana yaitu:
• Bruder Anianus Snik, OFM Cap, seorang Belanda yang
bertanggung jawab untuk konstruksi bangunannya
• Toga Nainggolan, seorang Batak Toba yang bertanggung jawab
sebagai arsitek tradisional Batak Toba-nya
Museum Kapusin Bona
Pasogit Nauli
• Bangunan GKIP merupakan bangunan tiga lantai. Lantai dasar
digunakan sebagai museum, sedangkan lantai 1 dan 2
digunakan sebagai ruang ibadah.

• Museum di lantai dasar adalah Museum Kapusin Bona Pasogit


Nauli yang menampilkan koleksi-koleksi benda-benda
peninggalan nenek moyang dan dokumentasi-dokumentasi
mengenai budaya Batak, termasuk silsilah marga-marga
Batak, khususnya yang berasal dari pulau Samosir.
EXTERIOR
GEREJA KATOLIK INKULTURATIF PANGURURAN
DIMENSI
Bangunan memiliki panjang
40 meter, lebar 16,5 meter,
dengan tinggi bagian depan
33 meter, serta tinggi bagian
belakang 35 meter.
kapasitas ± 700 orang.
Secara keseluruhan wujud
bangunan ini menunjukkan
kemiripan dengan wujud Ruma
Batak Toba dengan 3 tingkat ide
kosmologinya yaitu Tri Tunggal
Banua yang terdiri dari banua toru
(dunia bawah), banua tonga (dunia
tengah), dan banua ginjang (dunia
atas).
ORIENTASI
INTEPRETASI: Konteks Fungsi
Personal
kebutuhan individu akan ekspresi pribadi

• Ekspresi tim perancang sebagai wujud implementasi


amanat Paus dalam Konsili Vatikan II: “…gereja local harus
menghias diri dengan tradisinya dan menunjukkan
identitas sebagai gereja lokal…”
• Tim Perancang:
• Pastor Leo Joosten (aliran Fransiskan): [1] Eksterior berupa
relief bertema kekristenan yang menampilkan profil Santo
Fransiskus; [2] Interior berupa penggunaan ornament salib
Mandaniano, khas aliran Fransiskan.
• Toga Nainggolan: Ekspresi arsitektural dan ragam hias Batak
Toba.
• Bruder Anianus: Mengejawantahkan konstruksi local berupa
kayu yang rumit menjadi bangunan modern konstruksi beton.
• Kesimpulan: suatu bangunan gereja Katolik dengan system
konstruksi modern dalam bentuk arsitektural tradisional
Batak Toba
INTEPRETASI: Konteks Fungsi
Sosial
kebutuhan social untuk display, perayaan, dan berkomunikasi

• GKIP sebagai tempat berdoa dan beribadah


(tempat yang kudus) dan tempat acara sosial.
• Sudut pandang:
• Ruang Interior: [1] Ruang sakral adalah area panti
imam dan balkon depan; [2] Ruang profan adalah
area panti umat, ruang Sakristi, kamar pengakuan,
dan balkon belakang.
• Ruang Arsitektur/Eksterior: [1] Ruang Sakral adalah
seluruh ruang interior; [2] Ruang Profan adalah
area museum, area sirkulasi/transisi dan area
eksterior.
INTEPRETASI: Konteks Fungsi
Fisik
kebutuhan fisik mengenai bangunan yang bermanfaat
• Sebagai wadah untuk tempat beribadah dan berdoa.
• Menyediakan kenyamanan:
• Kenyamanan jasmani pada ruang interior diperoleh karena: (1) ruang interior lewat keberadaan elemen-
elemennya, secara praktis mampu memenuhi kebutuhan aktivitas berdoa, beribadah dan berinteraksi antar
penggunanya (imam, pembantu imam dan umat); serta (2) mampu memenuhi aspek keamanan dan
perlindungan bagi para penggunanya ketika melaksanakan ibadah.
• Kenyamanan jasmani pada ruang eksterior diperoleh karena: (1)keberadaaan ruang eksterior
memungkinkan terjadinya aktivitas-aktivitas gerejani dan sosial yang tidak dapat tertampung dalam ruang
interior, yaitu antara lain pesta paroki (pesta anak-anak, kaum muda, kaum ibu, kaum bapak), acara misa
khusus (penyambutan pastor baru, upacara pernikahan), perlombaan gerejani (paduan suara, tari-tarian,
olah raga), tempat bermain anak-anak sekolah dan anak-anak sekitar, tempat bersantai (di Sopo), tempat
untuk berdoa dan melakukan renungan bersama dari suatu kelompok kecil (di Sopo); serta (2) mampu
memenuhi aspek privasi, walaupun merupakan ruang luar, namun karena masih dalam kompleks paroki
dengan pembatas yang jelas (tembok dan pagar), jadi masih terpisah dengan ruang publik umum.
• Kenyamanan rohani pada ruang interior dan eksterior diperoleh karena: (1) ruang interior dan eksterior
mampu berperan sebagai wadah aktivitas penggunanya untuk berhubungan dengan Tuhan, serta (2)
mampu menjadi sarana stimulasi panca-indera penggunanya karena aspek-aspek keindahan visual dari
elemen-elemen interior dan arsitekturalnya, terkhusus pada ornamen- ornamen ragam hiasnya

• Gereja inkulturatif yang dirancang mengadopsi konsep arsitektural tradisional Batak Toba
 dianggap sebagai situs budaya
INTEPRETASI Lanjutan

• GKIP menunjukkan sikap keterbukaan gereja Katolik terhadap kehidupan budaya


masyarakat Batak Toba. Artinya menjadi Katolik tidak harus menjadi Barat.
• Dalam pandangan budaya Batak Toba terdapat filosofis mengenai rumah bahwa dari rumah
akan lahir anak-anak, akan lahir kebiasaan-kebiasaan, yang pada akhirnya melahirkan suatu
budaya. Bangunan gereja dalam konteks sebagai rumah Tuhan bagi orang Batak
Toba, juga akan melahirkan umat-umat yang memiliki nilai religius dan spiritualitas
tinggi, yang dapat melahirkan suatu teologi baru lewat perpaduan ajaran Katolik dengan
budaya Batak Toba.
• Dalam wilayah yang lebih luas yaitu wilayah negara Indonesia, munculnya gereja-gereja
Katolik di berbagai wilayah nusantara dengan warna budaya lokal seperti GKIP ini akan
membawa gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia. Gereja Katolik yang
merupakan hasil dari proses inkulturasi yang dalam dengan budaya-budaya lokal di
nusantara.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai