Anda di halaman 1dari 41

NASIB OBAT

DALAM TUBUH
Siti Mariam
Perjalan Obat Dalam tubuh
PERJALANAN OBAT DALAM TUBUH

Nasib obat di dalam


tubuh :
1. Absorpsi
2. Distribusi
3. Metabolisme/
Biotransformasi
4. Eliminasi /
Ekskresi
1. ABSORPSI

• Absorpsi adalah pengambilan obat (zat aktif) dari


permukaan tubuh (termasuk dari mukosa saluran
cerna atau tempat-tempat tertentu dari organ bagian
dalam) ke aliran darah atau sistem limfe setelah
melewati sawar biologik

• Absorpsi (yang dialami juga dalam distribusi dan


ekskresi) terjadi karena adanya transfor obat
(pergerakan obat)melalui membran biologik
Membran merupakan sawar absorpsi
Membran mempunyai 3 sifat dasar yaitu :
1. Permukaannya mempunyai tegangan muka
rendah
2. Lebih permeable terhadap zat-zat yang
larut dalam lemak
3. Resisten listrik tinggi
• Membran berbagai jaringan mempunyai struktur yang berbeda, tetapi
membran semua sel pada prinsipnya tersusun dengan cara yang sama.
Model struktur membran dikemukakan dengan konsep dari Stein dan
Danielle (1956) yang diperoleh dengan mikroskop elektron .

• Model membran dari Stein dan Danielle: membran terdiri dari 2 basal lipid
monomolekuler (terdiri dari fosfolipid dan kolesterol) kutub hidrofob
menghadap ke bagian dalam dan kutub hidrofil yang merupakan basal
protein berada pada fase berair, dengan ketebalan 75 Ao (secara umum
ketebalan membran beragam 70 – 100 Ao). Model berlapis ini relative dapat
diterapkan pada berbagai sifat membran.

• Model membran juga dikemukakan Singer dan Nicholson dengan konsep


model Mozaik.
MEKANISME ABSORPSI
 Perlintasan senyawa obat melalui membrane dapat terjadi
sebagai :

1. Filtrasi
2. Difusi Pasif
3. Difusi Sederhana
4. Transpor Aktif
5. Finositosis
1. FILTRASI
• Filtrasi/ difusi secara konvensional/ flux
liquiden : adalah mekanisme penembusan
pasif senyawa/ molekul melalui pori-pori
suatu membran.

• Filtrasi ini dilakukan oleh senyawa non


elektrolit yang sukar larut dalam lemak
serta senyawa yang terionisasi sempurna
dengan bobot molekul rendah (semua
senyawa yang berukuran molekul cukup
kecil dan larut dalam air dapat melewati
kanal membran.
• Sebagian besar membran (membran
seluler, epitel usus halus, dll berukuran
kecil; 4-10 Ao) dan hanya dapat dilalui oleh
senyawa dengan bobot molekul kecil
2. DIFUSI PASIF
Difusi pasif terjadi pada senyawa yang larut dalam
komponen penyusun membran.

Penembusan terjadi karena adanya perbedaan


konsentrasi tanpa memerlukan energi sehingga
mencapai keseimbangan di kedua sisi membran,
dimana konsentrasi senyawa yang berada pada fraksi
bebas di kedua sisi membran mempengaruhi proses
penembusan.

Waktu yang diperlukan untuk mencapai kesetimbangan


mengikuti hukum Difusi Fick : Ket : P : Tetapan permeabilitas
X dan A : Tebal membran dan luas
DAK permukaan.
V = P (Ce – Ci ) V = --------- (Ce – Ci) D : Koefisien Partisi
(Ce-Ci) : Perbedaan konsentrasi
X ekstrasel-intrasel.
Permeabilitas membran terkait dengan : ukuran molekul, dimana molekul
yang lebih kecil akan berdifusi lebih cepat dibanding ukuran yang lebih
besar. Permeabilitas membran berkaitan erat dengan koefisien partisi
antara fase lipid dan fase air yang terletak di kedua sisi membran.
C fase lemak
K = ----------------
C fase air

Bila K sangat tinggi atau sangat rendah akan menyebabkan hambatan pada
proses difusi.

Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, sehingga dalam
keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk terionkan dan
sebagian tak terionkan. Hanya zat aktif yang tak terionkan dan larut dalam
lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi pasif. Jumlah zat
aktif yang tak terionkan berbeda-beda pada setiap daerah saluran cerna
karena pH nya berbeda-beda (pH lambung 1-3,5 ; duodenum 5-6 dan
ileum 8). Zat aktif yang bersifat asam lemah akan terserap efektif dalam
lambung, sedangkan zat aktif yang bersifat basa lemah terserap efektif
dalam usus.
3. DIFUSI SEDERHANA
• Merupakan cara perlintasan
membran yang memerlukan
pembawa dengan karakteristik
tertentu (kejenuhan, spesifik
dan kompetitif).
• Perlintasan terjadi akibat
gradien konsentrasi dan tanpa
pembebasan energi.
• Contoh senyawa yang
mengalami absorpsi secara
difusi sederhana adalah
penetrasi glukosa ke bagian
dalam sel.
4. TRANSPOR AKTIF
• Transfor aktif memerlukan pembawa yang
merupakan bagian dari membran berupa enzim
atau senyawa protein yang dapat membentuk
kompleks pada permukaan membran (sama
seperti difusi sederhana)

• Sistem transfor ini bersifat jenuh artinya bila


semua molekul pembawa telah digunakan,
maka kapasitas maksimal tercapai. Sistem ini
juga menunjukkan suatu kekhususan untuk
semua molekul dimana akan terjadi persaingan
beberapa molekul yang berafinitas (mempunyai
kemampuan untuk berikatan) sama pada
pembawa tertentu. Molekul yang mempunyai
afinitas tinggi dapat menghambat proses
transfor.
Transfor aktif memerlukan energi yang diperoleh dari hidrolisa Adenosin
trifosfat (ATP) dibawah pengaruh ATP-ase, transfor aktif tidak tergantung pada
konsentrasi. Terjadi pada absorpsi; glukosa. Eliminasi penisilin, dll.
5. PINOSITOSIS
 Merupakan proses perlintasan membran oleh
molekul-molekul besar dan terutama oleh
molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi
dengan pembentukan vesikula (bintil) yang
melewati membrane, mekanisme ini mirip
dengan fagositosis bakteri oleh lekosit.
6. TRANSFOR PASANGAN ION
• Adalah suatu cara perlintasan
membran dari suatu senyawa
yang sangat mudah terionkan
pada pH fisiologik .
Perlintasan terjadi dengan
pembentukan kompleks netral
dengan senyawa endogen
seperti musin secara difusi
pasif. Senyawa yang
mengalami absorpsi secara
transfor pasangan ion yaitu
ammonium kwartener.
FAKTOR YG MEMPENGARUHI ABSORPSI
• Kecepatan absorpsi berhubungan dengan jumlah jumlah zat aktif yang diabsorpsi
dari jumlah yang diberikan, tergantung pada beberapa factor :
Aspek Fisika Kelarutan
Kimia Sifat stereokimia zat aktif (bentuk kristal, dll)
Ukuran partikel

Fase Absorpsi Obat Waktu kontak dengan permukaan absorpsi


Nilai pH tempat absorpsi

Faktor-faktor yang Besar dan luas permukaan yang mengabsorpsi


mempengaruhi Aspek Biologis Integritas membran
Kecepatan Absorpsi
Aliran darah pada organ yang mengabsorpsi

Dosis
Aspek Bentuk Sediaan Rute
dan Rute Pemberian Sifat Sediaan Obat
Aspek Fisika Kimia Zat Aktif
 Kelarutan  Untuk dapat diabsorpsi, bahan obat harus berada dalam
bentuk terlarut. Kecepatan larut bahan aktif (misalnya dalam saluran cerna
atau dalam tempat intramuskular) menentukan laju absorbsi

 Sifat Stereokimia zat aktif  bentuk kristal (kelarutan lambat), solvat dan
hidrat mempengaruhi kecepatan kelarutan

Ukuran partikel  perbedaan ukuran


partikel menyebabkan perbedaan
kecepatan kelarutan, ukuran partikel
semakin besar kelarutan semakin
lambat
Aspek Biologis
 Waktu kontak dengan permukaan absorpsi  Semakin lama waktu kontak zat aktif
dengan permukaan yang mengabsorpsi, semakin banyak jumlah zat aktif yang
diabsorpsi
 Nilai pH tempat absorpsi  zat aktif asam dan basa diabsorpsi terutama dalam bentuk
tak terionisasi dan dalam bentuk yang larut dalam lemak. Karena derajat disosiasi
bergantung kepada nilai pK senyawa dan angka pH lingkungan masing-masing, asam
yang lemah diabsorpsi lebih baik dalam lingkungan asam sampai netral, basa lemah
diabsorpsi lebih baik pada harga pH ≥ 7
 Besar dan luas permukaan yang mengabsorpsi  Semakin besar luas area
permukaan yang mengabsorpsi, semakin banyak jumlah zat aktif yang diabsorpsi
 Integritas membran Obat yang terlalu hidrofilik (misalnya atenolol) atau terlalu
lipofilik (misalnya asiklovir) juga mempunyai ketersediaan hayati yang rendah karena
absorbsi tidak lengkap. Jika terlalu hidrofobik, obat sukar menembus sel membran
yang bersifat lipid, dan jika terlalu lipofilik obat tersebut kurang melarut menembus
lapisan air di sekitar sel
 Aliran darah pada organ yang mengabsorpsi  Absorpsi zat aktif akan semakin
maksimal bila aliran darah pada organ yang mengabsorpsi semakin banyak
Aspek Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian
 Bentuk Sediaan  Perbedaan bentuk sediaan memberikan kecepatan
melarut yang berbeda sehingga respon yang dihasilkan pun akan berbeda-
beda pula. Untuk obat yang tahan getah lambung, kecepatan melarut dari
berbagai bentuk sediaan menurun dengan urutan sbb: Larutan – suspensi –
serbuk – kapsul – tablet – tablet film coated – dragee (tablet salut gula) –
tablet e.c – tablet kerja panjang (retard, sustained release, ZOC).
 Rute Pemberian  Perbedaan rute pemberian menghasilkan kecepatan
absorpsi yang berbeda-beda
 Dosis Dosis standar suatu obat untuk satu penderita dengan penderita
lainnya tidaklah sama, dan tentu akan menyebabkan adanya perubahan
konsentrasi dalam tempat kerja.
KECEPATAN ABSORPSI
Kecepatan Absorpsi
• Kecepatan absorpsi dapat dinaikkan (dengan memperkecil pembatas
kecepatan absorpsi) atau diturunkan/ menunda absorpsi untuk mendapatkan
aksi depot (diperlambat), pada keadaan (penyakit) tertentu sesuai dengan
maksud penggunaan, contohnya pengobatan hipotensi dan obat KB.

Kerja depot pada obat suntik dicapai dengan cara :


• Melarutkan / mensuspensikan dalam minyak
• Menambah makromolekul, untuk meningkatkan viskositas (kekentalan), sehingga dapat
memperlambat difusi.
• Obat diabsorpsikan pada molekul pembawa, contohnya Al(OH)2
• Suspensi Kristal

Kerja depot pada tablet


• Penyalutan dengan penyalut yang sukar larut
• Pembenaman zat aktif pada malam (Wax)
• Mengikat zat aktif dengan resin penukar ion.
PEMBATAS KECEPATAN ABSORPSI
Pembatas Kecepatan Absorpsi (Rate Limiting Step)
Terdapat 2 kecepatan yang mempengaruhi absorpsi untuk mencapai bioavailabilitas dari
zat aktif, yaitu kecepatan disolusi dan kecepatan absorpsi.

Senyawa Polar (larut air) : Kecepatan Disolusi  tetapi Kecepatan Absorpsi 

yang menjadi pembatas kecepatan kecepatan Absorpsi

Untuk menaikkan absorpsi secara keseluruhan harus diupayakan dengan meningkatkan


permeabilitas zat aktif terhadap dinding dengan mengubah zat aktif menjadi kompleks yang
mudah berpenetrasi, contohnya tetrasiklin HCl menjadi tetrasiklin fosfat kompleks.

Senyawa non polar (larut lemak) : Kecepatan Disolusi tetapi Kecepatan Absorpsi 

yang menjadi pembatas kecepatan kecepatan Disolusi

Untuk meningkatkan absorpsi secara keseluruhan harus diupayakan dengan cara


meningkatkan disolusi, contohnya dengan menggunakan bentuk polimorfnya, membentuk
kompleks garam, eutektik, dll sehingga zat aktif mudak larut.
2. DISTRIBUSI

Distribusi adalah
keseluruhan fenomena
yang berkaitan dengan
penyebaran zat aktif
atau metabolitnya di
dalam tubuh
Setelah obat mencapai
darah (pembuluh
darah) obat akan
ditransfor
(didistribusikan)
bersama aliran darah
sistem sirkulasi
DISTRIBUSI Lanjutan ……………

Berdasarkan fungsi
distribusinya, organisme
dapat dibagi dalam ruang
distribusi yang berbeda
yang disebut
kompartemen.
• Ruang Intra sel (75%
berat badan) terdiri dari
cairan intra sel dan
komponen padat
• Ruang Ekstra sel (25%
berat badan) terdiri dari
air plasma (4%) ruang
usus (16-20%) dan
cairan trans sel (1,5%)
terdiri dari cairan
cerebrospinal, limfa dan
cairan rongga tubuh.
DISTRIBUSI Lanjutan ……………

Berdasarkan penyebarannya terdapat 2 fase distribusi pada tubuh :


◦ Fase I : ke organ-organ yang perfusinya baik, contohnya ke hati, jantung, ginjal
◦ Fase II : ke jaringan lain yang lebih luas, contohnya otot, kulit, jaringan lemak.
Zat aktif yang larut dalam lemak lebih mudah menembus membran sehingga
terdistribusi ke dalam sel. Sedangkan obat yang sukar larut dalam lemak sulit
menembus membran dan akan ter distribusi pada cairan sel
Ikatan Obat dengan Protein

• Ikatan protein merupakan faktor penting untuk distribusi obat, terutama


ikatan dengan protein plasma (albumin), protein jaringan dan sel darah
sehingga obat akan mencapai target (tujuan).
Apabila konsentrasi zat aktif dalam bentuk bebas menurun karena
biotransformasi dan ekskresi, maka obat yang terikat plasma akan
dilepaskan menjadi bentuk bebas yang aktif.

• Obat yang terikat plasma :


• Tidak dapat berdifusi
• Tidak mengalami
biotransformasi
• Tidak mengalami eliminasi
• Obat yang terikat plasma :
Apabila konsentrasi zat aktif dalam
• Tidak dapat berdifusi
bentuk bebas menurun, obat yang
• Tidak mengalami biotransformasi
terikat plasma akan dilepaskan
• Tidak mengalami eliminasi
menjadi bentuk bebas yang aktif.

sehingga
obat yang terikat plasma merupakan
bentuk cadangan (depot) obat tidak aktif

• Ikatan protein mempengaruhi :


• Intensitas kerja obat

minum obat
Frekuensi
• Lama kerja obat
• Eliminasi obat

Bila pada waktu bersamaan di dalam


darah terdapat beberapa obat (zat aktif
obat), maka akan terjadi persaingan
tempat ikatan dengan protein plasma.
3. BIOTRANSFORMASI
 Biotransformasi atau metabolisme
obat ialah proses perubahan
struktur kimia obat yang terjadi di
dalam tubuh dan dikatalis oleh
enzim.

 Enzim yang berperan dalam dalam


biotransformasi obat dapat
dibedakan berdasarkan letaknya
dalam sel, yaitu
◦ Enzim mikrosom yang terdapat
dalam retikulum endoplasma halus
(yang pada isolasi invitro
membentuk kromosom )  Kedua enzim metabolisme ini terutama
mengkatalisis reaksi glukoronida, terdapat dalam sel hati, tetapi juga
sebagian besar reaksi oksidasi obat, terdapat dalam sel jaringan lain,
serta reaksi reduksi dan hidrolisis.
misalnya: ginjal, paru-paru, epitel
◦ Enzim non mikrosom  saluran cerna dan plasma. Di lumen
mengkatalisis reaksi konjugasi
saluran cerna juga terdapat enzim non
lainnya, beberapa reaksi oksidasi,
reaksi reduksi dan hidrolisis mikrosom yang dihasilkan flora usus.
Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan atas reaksi :

• Fase I : Reaksi ini meliputi biotransformasi suatu obat menjadi metabolit


yang lebih polar melalui pemasukan atau pembukaan (unmasking) suatu
gugus fungsional (misalnya –OH, -NH2, -SH).

• Fase II : reaksi konyugasi (penggabungan) disebut juga reaksi sintetik,


merupakan konyugasi zat aktif obat atau metabolit I dengan substrat
endogen (asam glukuronat) asam amino, asam sulfat dan asetat) yang
mengubah senyawa obat menjadi lebih polar, lebih terionisasi dan lebih
mudah diekskresikan.
REAKSI FASE I (Fase Non Sintetik)
Reaksi-reaksi yang termasuk dalam fase I antara lain:
Reaksi Oksidasi (Hidroksilasi aromatik , Hidroksilasi
alifatik , Dealkilasi , Desulfurasi, Dehalogenasi ,
Deaminasi oksidatif), Reaksi Reduksi (reduksi aldehid, azo
dan nitro), Reaksi Hidrolisis (deesterifikasi)
Reaksi fase I bertujuan untuk menyiapkan senyawa yang
digunakan untuk metabolisme fase II dan tidak menyiapkan
obat untuk diekskresi.
Sistem enzim yang terlibat pada reksi oksidasi adalah
sistem enzim mikrosomal yang disebut juga sistem Mixed
Function Oxidase (MFO) atau sistem monooksigenase.
Komponen utama yang berperan pada sistem MFO adalah
sitokrom P450, yaitu komponen oksidase terminal dari
suatu sistem transfer elektron yang berada dalam retikulum
endoplasma yang bertanggung jawab terhadap reaksi-reaksi
oksidasi obat dan digolongkan sebagai enzim yang
mengandung hem (suatu hem protein ) dengan
protoperfirin IX sebagai gugus prostatik.
REAKSI FASE II (Fase Sintetik)
Reaksi ini terjadi dalam hati dan melibatkan konjugasi suatu obat atau metabolit fase I
nya dengan zat endogen.
Konjugat yang dihasilkan hampir selalu kurang aktif dan merupakan molekul polar yang
mudah diekskresi oleh ginjal.
Reaksi konjugasi sesungguhnya merupakan reaksi antara molekul eksogen atau
metabolit dengan substrat endogen, membentuk senyawa yang tidak atau kurang toksik
dan mudah larut dalam air, mudah terionisasi dan mudah dikeluarkan.
Reaksi konjugasi bekerja pada berbagai substrat alamnya dengan proses enzimatik
terikat pada gugus reaktif yang telah ada sebelumnya atau terbentuk pada fase I.

Reaksi yang terjadi pada fase II ini ini


meliputi konjugasi glukoronidasi, asilasi,
metilasi, pembentukan asam merkapturat,
dan konjugasi sulfat
METABOLIT OBAT
 Produk hasil metabolisme ini disebut Metabolit

 Metabolisme obat mempunyai dua efek penting.


1. Obat menjadi lebih hidrofilik-hal ini mempercepat ekskresinya melalui ginjal
karena metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah direabsorpsi dalam
tubulus ginjal.
2. Metabolit umumnya kurang aktif daripada obat asalnya.

Akan tetapi, tidak selalu seperti itu, kadang-kadang metabolit sama aktifnya
(atau lebih aktif) daripada obat asli. Sebagai contoh, diazepam (obat yang
digunakan untuk mngobati ansietas ) dimetbolisme menjadi nordiazepam
dan oxazepam, keduanya aktif.
Prodrug bersifat inaktif sampai dimetabolisme dalam tubuh menjadi obat
aktif, contoh, levodopa, suatu obat antiparkinson, dimetabolisme menjadi
dopamin, sementara obat hipotensif metildopa dimetabolisme menjadi metil
norepinefrin-α

Metabolit Inaktif

Obat Metabolit Aktif

Metabolit menjadi aktif


4. ELIMINASI
 Adalah keseluruhan fenomena yang berhubungan dengan peniadaan zat aktif
(atau metabolitnya) secara progresif dari dalam tubuh

 Eliminasi dikarakterisasi oleh :


◦ Ekskresi (Pengeluaran)  ekstrahepatik
◦ Perubahan hayati zat aktif (Biotransformasi) intrahepatik
Organ-organ Ekskresi

 Organ Ekskresi pada tubuh manusia terdiri dari: :


◦ Ginjal → urin
◦ Empedu&usus → feses
◦ Paru-paru → gas/udara ekspirasi
◦ Kulit  Keringat
◦ Mata Air mata
Ekskresi minimal
◦ ASI
ELIMINASI LEWAT GINJAL
Tahap- tahap eliminasi lewat Ginjal
 Filtrasi glomerulus → tergantung dari ukuran partikel.
 Reabsorpsi tubulus → tidak semua partikel berukuran kecil tidak berguna.
 Sekresi tubulus → tidak semua zat berukuran besar berguna.

1. Filtrasi glomerulus
Faktor yang mempengaruhi:
◦ Laju filtrasi
◦ Ukuran partikel → ikatan protein plasma
◦ Kelarutan → umumnya zat lipofil atau hidrofil tidak mempengaruhi
karena kelarutan di dalam filtrasi glomerulus sama.
2. Reabsorpsi tubulus
Melibatkan difusi pasif.
Faktor yang mempengaruhi:
 pH urin
 Pka
 Kelarutan obat
 Obat basa lemah lebih mudah dieksresikan pada pH urin yang lebih asam. Obat
asam lemah lebih mudah dieksresikan pada pH urin yang basa, jika ingin lebih
dieksresikan, pH urin harus lebih besar daripada pKa.

3. Sekresi tubulus
Melibatkan transpor aktif
 Eksresi tergantung dari mekanisme transpor masing-masing bahan → dapat terjadi
kompetisi bahan obat dengan mekanisme yang sama.
 Contoh: penisilin vs befenezid (obat asam urat)
Eliminasi lewat empedu&usus
 Umumnya zat yang mempunyai BM > 500
 Bersifat lipofil karena tidak bisa melewati ginjal. Di dalam empedu harus
diemulsifikasikan terlebih dahulu agar dapat dieksresikan lewat usus menjadi
feses.
 Dapat siklus enterohepatik → absorpsi menjadi sulit, karena harus melewati
GI tract → absorpsi darah → hati → GI tract sehingga absorpsi sulit.
 Contoh obat: digitalis, obat jantung.

Eliminasi lewat paru-paru


 Untuk bahan yang bersifat gas.
 Tergantung pada volume pernapasan.
 Contoh: alkohol dan rokok.
TERIMA KASIH
• Faktor Fisiologik dan Patologik yang mengubah aktivitas obat
• Aktivitas obat
• Pemberian suatu sediaan obat pada seorang indivudi kadang-kadang
memberikan kadar obat dalam darah berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan
karena perbedaan genetik atau keadaan fisiologik dan patologi, yang berkaitan
dengan fungsi dari berbagai organ tubuh, misalnya persarafan, peredaran
darah, endoktrin dan pencernaan.
• Faktor Fisiologik
– First Pass Effect (efek lintas pertama / FPE) : seluruh darah vena saluran pencernaan
dan senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya, masuk ke vena hepatica, masuk
ke hati sebelum masuk ke jantung, paru-paru dan sirkulasi tubuh lain. Perlintasan obat
melalui jaringan hati terlebih dahulu ini disebut (FPE). Obat yang mengalami efek lintas
pertama (FPE) ini kadar zat aktif obatnya bisa berkurang bisa juga menjadi lebih aktif.
– Induksi dan Inhibisi Enzim : Zat-zat yang dapat menginduksi enzim (Contohnya
Fenobarbital, metilkolantren, nikotin, obat lain yang digunakan bersamaan) akan
meningkatkan metabolisme obat / senyawa lain sehingga dapat mempercepat
peniadaan obat. Sedangkan zat-zat yang dapat menghambat kerja enzim akan
menurunkan metabolisme.
– Peniadaan (eliminasi) : setiap individu mempunyai karakter air kemih yang berbeda, pH
air kemih berpengaruh terhadap proses peniadaan dan ionisasi molekul obat atau
metabolitnya

– Faktor individu :
• Umur
• Sangat berpengaruh terhadap kadar obat dalam tubuh. Kadar obat dalam
darah bayi akan sangat mudah mencapai maksimum, sehingga sangat rentan
untuk terjadinya efek samping toksik pada bayi. Hal ini disebabkan membran
sel bayi sangat permeabel sehingga banyak obat dengan mudah masuk dalam
sel, peniadaan obat pada proses metabolisme sangat kecil karena sistem
enzimatis pada bayi masih belum sempurna juga proses klirens pengeluaran
suatu senyawa melalui ginjal sangat rendah. Pada orang lanjut usia kadar obat
sering mengalami peningkatan kadar yang cukup tinggi, inipun dapat
menimbulkan efek samping toksik, karena pada orang lanjut usia pasokan
darah ke hati sudah berkurang, ikatan dengan plasma menurun karena
kurangnya albumin, sehingga obat dalam bentuk bebas meningkat, juga
terjadi serangkaian penurunan aktivitas fungsi tubuh, diantaranya penurunan
aktivitas enzimatik dan penurunan fungsi ginjal.
• Jenis Kelamin
• Perbedaan jenis kelamin pada beberapa binatang percobaan ternyata
menunjukkan aktivitas obat berbeda-beda untuk senyawa tertentu, meskipun
pada mnusia hal ini tidak begitu jelas perbedaannya. Perbedaan efek obat ini
disebabkan karena sistem hormonal yang berbeda. Wanita lebih rentan
terhadap senyawa-senyawa tertentu dari pada pria, begitupun sebaliknya.
• Kelainan Genetik
• Kelainan genetik dapat mempengaruhi metabolisme obat dalam tahap yang
berbeda untuk setiap obat. Kepekaan pada suksametonium (suksinil kholin)
untuk pembiusan total lebih sering terjadi, yang disebabkan adanya
pseudokholin esterase atipik yang aktivitasnya lebih lemah dibanding
pseudokholin esterase normal.
• Kehamilan
• Wanita hamil menunjukkan ketidakmampuan hati (bersifat sementara) akibat
banyaknya hormon luteal dalam tubuh, sehingga dapat terjadi penimbunan
senyawa obat. Sejumlah reaksi detoksifikasi berkurang, mekanisme oksidasi
tertentu menurun separohnya, glukurokonyugasi dihambat oleh hormon
progesteron.
• Keadaan Gizi
• Keadaan gizi mempengaruhi metabolisme obat terutama pada fase penyerapan
dan fase perubahan. Kekurangan protein dapat meningkatkan hepatotoksisitas
senyawa tertentu. Adanya makanan dalam saluran pencernaan dapat
mengurangi penyerapan obat karena terjadi pengenceran dan interaksi kimia
makanan dengan obat.


• Faktor Patologi
– Transit : penurunan transit akan menurunkan kontak obat dengan permukaan penyerap.
– Pengeluaran getah lambung : pengeluaran getah lambung akan mengahalangi penyerapan untuk
zat besi dan mengurangi absorpsi Vitamin B12, tetapi pengeluaran getah lambung akan
membantu penyerapan Vitamin K
– Keadaan mukosa : pelukaan pada mukosa usus akan mencegah penyerapan beberapa senyawa.
– Keadaan Hati : kegagalan fungsi hati, hepatitis, sirosis hati dan ikterus akan menurunkan
kemampuan hati (enzim-enzim) hati untuk melakukan reaksi-reaksi metabolisme dan
detoksifikasi senyawa obat, sehingga kadar obat aktif akan semakin meningkat
– Keadaan Ginjal : kegagalan fungsi ginjal akan menurunkan klirens oleh ginjal sehingga akan
mempertahankan keberadaan obat di dalam tubuh. Penimbunan obat terjadi lebih nyata dan
konsentrasinya akan meningkat sampai mencapai efek toksik.
• Faktor Lingkungan
– Makanan dan diet : kekurangan makanan (vitamin, garam-garam mineral, dll) dapat
menghambat fungsi tubuh dan metabolisme obat.
– Toksikomania (kecanduan) : pada pecandu alkohol dan rokok beberapa tahap metabolisme
tertentu dapat dipengaruhi. Alkohol dapat mempengaruhi klirens oleh ginjal dan merupakan
induktor pada alkohol dehidrogenase, dalam waktu lama alkohol dapar menyebabkan sirosis hati.
Rokok berbahaya terutama asapnya dan hidrokarbon yang dikandungnya karena berpengaruh
pada sitokrom P450 yang menurunkan hidroksilasi dan dapat bersifat induktor.

Anda mungkin juga menyukai