Anda di halaman 1dari 72

Seksi Surveilans dan Imunisasi

Bidang Pencegahan & Pengendalian Penyakit (P2P)


Dinas Kesehatan Kota Lubuklinggau
Jl. Yos sudarso Kelurahan Taba Pingin Kecamatan
LLG Selatan II
Dasar Hukum
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/Menkes/SK/VIII/ 2004 tentang Pedoman


Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa
Peraturan Menteri Kesehatan No. 658/MENKES/PER/VIII/2009 tentang Jejaring
Laboratorium Diagnosis Penyakit Infeksi New-Emerging dan Re-emerging
Peraturan Menteri kesehatan No. 1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit
Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan
Peraturan Menteri Kesehatan No. 45 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans
Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan No. 82 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Penyakit
Menular
Peraturan Menteri Kesehatan No.92 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Komunikasi
Data Dalam Sistem Informasi Kesehatan Terintegrasi
Keputusan Menteri Kesehatan No.1479/Menkes/SK/ X/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemologi Penyakit Menular dan Tidak Menular
Terpadu
Keputusan Menteri Kesehatan No. 483/ MENKES/ SK/IV/ 2007 tentang Pedoman
Surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP)
KONSEP SURVEILANS
Pemberantasan
KEGIATAN UTAMA
ADALAH
ANALISIS &
INTERPRETASI

Penga- Deteksi Kesiap


Respon
matan Dini Siagaan

Pencegahan
Globalisasi

Perubahan A C Climate Change


Pola Hidup

Tantangan
Pengendalian
Penyakit

Perkembangan E D Pembangunan &


Agent Penyakit Pertumbuhan
Penddk
International Health Regulation
(IHR) 2005 Implementation
Negara harus mempunyai
kapasitasi inti terhadap
Core Capacities : ancaman penyakit
- Policy and legislation
- Risk Communication – Detection
- Coordination – Verification
- Surveillance – Investigation
- Human Resource
– Notification
- Laboratory
- Response – Response

Capacity for control of emerging diseases, food


safety, zoonosis, chemical, radiology

Capacities at Point of Entry


Indonesia has declared not to require extension for IHR (2005) implementation in 2014 -
> capacity building for operational and maintenance of IHR 2005.
Kebijakan Operasional dan Strategi

Memberdayakan Meningkatkan teknologi


sumber daya di komunikasi informasi yang
semua tingkatan terintegrasi dan interaktif

Meningkatkan Meningkatkan dukungan


profesionalisme laboratorium
tenaga epidemiologi

Meningkatkan
Kebijakan Koordinasi dan
Meningkatkan kualitas jejaring surveilans
respon KLB 1. Peningkatan epidemiologi
kemampuan surveilans
penyakit
2. Peningkatan
Mengembangkan kemampuan deteksi dini
sistem surveilans sesuai Meningkatkan mutu
dengan era
KLB dan respon KLB data dan informasi
desentralisasi epidemiologi
3. Peningkatan
kemampuan
penanggulangan KLB
SISTEM SURVEILANS
DALAM MENDUKUNG KESIAPSIAGAAN DAN RESPON

P2P KEMENKES,
PHEOC Verifikasi
& Analisis

Notifikasi Lapor Kebijakan/


KLB an Dinkes Provinsi Respon
dalam 24 Rutin
Jam
IBS : Lapor Kejadian
an KLB Diseminasi
STP Dinkes Kabupaten
Rutin Informasi
• SKDR
• Lap Lapor
PD3I an Puskesmas Sistem Surveilans
• dll Rutin
baik akan menjadi
EBS Lapor alat deteksi dini,
an Bidan Desa pencegahan dan
Notifikasi respon terhadap
Rutin
/ laporan ancaman kesehatan
/rumor (global health
Masyarakat threats)
Surveilans Pasif dan Aktif
 Berbasis masyarakat
dan berbasis RS
SURVEILANS
Permenkes 45/2014 Pasal 2
Tujuan Surveilans :
a) tersedianya informasi tentang situasi, kecenderungan penyakit,
dan faktor risikonya serta masalah kesehatan masyarakat dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya sebagai bahan
pengambilan keputusan;
b)terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap kemungkinan
terjadinya KLB/Wabah dan dampaknya;
c) terselenggaranya investigasi dan penanggulangan KLB/Wabah;
dan
d)dasar penyampaian informasi kesehatan kepada para pihak
yang berkepentingan sesuai dengan pertimbangan kesehatan.
Kebijakan
Permenkes 45/2014
o Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan dilakukan melalui
pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan
diseminasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan
untuk menghasilkan informasi yang :
a) objektif, terukur,
b) dapat diperbandingkan antar waktu, antar
wilayah, dan antar kelompok masyarakat
c) sebagai bahan pengambilan keputusan.
o Informasi digunakan sebagai pedoman untuk pengambilan
keputusan, meliputi:
a) besaran masalah; b) faktor risiko; c) endemisitas; Laboratorium
d)patogenitas, virulensi dan mutasi; e) status KLB/Wabah; &Teknologi
surveilans
f) kualitas pelayanan; g) kinerja program; dan/atau
h) dampak program.
Permenkes 45/2014
Indikator kinerja surveilans meliputi:
a. kelengkapan laporan;
b. ketepatan laporan; dan
c. indikator kinerja surveilans lainnya yang
ditetapkan pada masing-masing
program.
Agar Output Surveilans dapat diperoleh dan
dipertanggungjawabkan, maka Kelengkapan & Ketepatan
Laporan HARUS TINGGI : minimal 80% (WHO
menargetkan Kelengkapan 90%, ketepatan 80%)
Real time surveillance menurut JEE tool : Daily or max weekly
collection, consolidation and evaluation of public health
and/or veterinary data
STRATEGI PENGUATAN PELAKSANAAN KEGIATAN
SURVEILANS
 Sistem Kewaspadaan Dini dan  Pelatihan Tim Gerak Cepat
Respon (SKDR)
 Sistem Event Based Surveilans  Diklat:
(EBS) Basic/Intermediate/Advance
 Pelaksanaan simulasi/table top Field Epidemiology Training
KLB Polio  Jabfung Epidkes
 Public Health Emergency  Pelatihan surveilans (SKDR,
Operation Centre PD3I, ICS, Lab)
 Surveilans berbasis Pengembangan Penguatan  Ketersediaan Sarana dan
Laboratorium (Public sistem/ Sumber Daya Prasarana
Health Laboratorium) Penerapan  Keberlanjutan Pembiayaan
 Interkoneksi dengan SIZE (Sistem strategi (APBN, APBD, HLN, DAK)
Informasi Zoonotik dan EID)
 Memperkuat surveilans aktif (RS,
Masyarakat) Penguatan
legislasi/
kebijakan Penguatan
Jejaring
 Nasional: One Health. PMK,
Universitas, IndoHUN, Komite
 NSPK Ahli dan Profesi, Swasta
 JUKLAK/JUKNIS/PEDOMAN  Regional: ASEAN +3 on FETN,
 PERMENKES EID, EOCN, SAFETYNET,
 PERDA (Gubernur, TEPHINET
Walikota/Bupati)  Global: WHO, GOARN, CDC,
APHL
Target / Capaian
N
Indikator Ket
o
2015 2016 2017 2018 2019

1 Persentase penurunan 7% 41,1 10% 15,5 20% 51% 30% 40% Renstr
. kasus penyakit yang % % a
dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I) tertentu
dari tahun 2013
Penemuan kasus Non ≥2 2.02 ≥2 1,98 ≥2 2,06 ≥2 ≥2 RAP
Polio AFP rate per /100.0 /100.0 /100.0 /100. /100.0
100.000 anak < 15 th 00 00 00 000 00
Penemuan kasus ≥2 0.84 ≥2 0,96 ≥2 0,33 ≥2 ≥2 RAP
‘discarded campak’ /100.0 /100.0 /100.0 /100. /100.0
00 00 00 000 00
2 Persentase sinyal 65% 51,4 70% 60,1 75% 70,60 80% 90% Renstr
. kewaspadaan dini yang % % a
SURVEILANCE SYSTEM
Kajian
melibatkan ahli
Director Surveilans and
 Daily Report Command Post Health Quarantine
 Weekly Report Command Post Yes
 EWAR Weekly Feed Back
 Bulletin EWAR Monthy Yes
Responsible Program,
Health Port Office, BB/BTKL
Data Verification and Analize Prov Health Off

Laborato
ry
Command Post Routine Surveilance Investigation
(Event-based) (Indicator Based) & control

Private/public Media SMS


clinicians concern PUSKESMAS
Public services,
Community agencies PUSKESMAS
concern PUSKESMAS

TEKNOLOGI BIG
DATA
Mekanisme Kerja SKDR
UPT
Laboratory

Feedb
ack
Verifikasi/ Validasi

Kabupaten
aler
Penyelidikan t Kabupaten
Epidemiologi
Ke Field Provinsi al
er
SMS t
Provinsi

Pusat/Surveilans
ale
rt

Server SKDR
Kemkes
Puskesmas mengirimkan laporan SMS SKDR setiap minggu ke Server

Rencana Pengembangan
Feedb
ack
Kelengkapan dan Ketepatan Laporan skdr 2018
100 100 99 96 99
95 93 95
91 91 91
87 89
90 87
85
81 81 81
78 79 78 78
80 75 76
73 74 74 73 74
72
68
70
60
60

50 100 100 99 99 99 97 44
94 91 93 43 92
88 88 90
40 82 81 81 81
76 77 74
71 69 68
66 66 68 29 68
30 60 57 58
53
47 47
20 16

10 19
8
0

Kelengkapan Ketepatan
PHEOC
PUBLIC HEALTH EMERGENCY OPERATION CENTRE

• PHEOC  Pusat operasional


manajemen kedaruratan
kesehatan masyarakat,
• PHEOC  melakukan
koordinasi, komunikasi dan
kolaborasi dalam penanganan
KLB/Wabah/KKM melibatkan
lintas program, lintas sektor

Provinsi &
Kab/Kota
melakukan
fungsi yg sama
Public Health Emergency
Operation Center (PHEOC)
‐ Pusat operasional manajemen kedaruratan
kesehatan masyarakat dalam
mengumpulkan informasi terkait KLB/
wabah, menentukan keputusan prioritas
dan melakukan koordinasi serta
komunikasi yang diperlukan untuk respon
Sms/whatsapp : dalam penanggulangan KLB/ wabah.
+62 878 0678 3906 ;
+62 812 1924 1850 ‐ Dijalankan dengan menggunakan Incidence
Call : Management System (ICS) yaitu sistem
+621 425 7125 ; untuk mendeteksi secara dini adanya
+621 426 5974 gangguan atau ancaman penyakit yang
Email : berpotensi KLB.
poskoklb@gmail.com
DIAGRAM ALUR PHEOC
TINDAK
INPUT PROSES OUTPUT
LANJUT
Dipantau tiap hari

EWARS dari
Puskesmas
melalui SMS
gateway

Akses SKDR
http://skdr.surveilans.org/
DATA PHEOC bisa diakses masyarakat di www.infopenyakit.org

Mekanisme Kerja :
1. Laporan dari system
EBS,IBS diverifikasi setiap
hari oleh PHEOC;
2. Diumpanbalikan harian a)ke
EBS daerah melalui komunikasi SK
prov, b)ke email LP/LS DR
terkait,c) activasi TCG
3. Dinkes mengupdate
(kontak) PHEOC terkait TL
yg sdh dilakukan/belum
dilakukan
EBS
EBS
Jenis
kasus

Tindakan
yg sdh
dilakukan
Menu BOK Untuk Surveilans dan Respon KLB
Permenkes 71 tahun 2016 ttg Juknis DAK Non Fisik Bidkes 2018
No. Indikator Target / Capaian Ket

2015 2016 2017 2018 2019

1. Persentase penurunan kasus Target Capaia Target Capaian 20% 30% 40% Masuk
penyakit yang dapat dicegah 7% n 10% 37,7% dalam
dengan imunisasi (PD3I) tertentu 44,1% RPJMN
dari tahun 2013 Buku II
Penemuan kasus Non Polio AFP ≥2 2.02 ≥2 1,8 ≥2 ≥2 ≥2 RAP
rate per 100.000 anak < 15 th /100.000 /100.000 /100.000 /100.00 /100.000
0
Penemuan kasus ‘discarded ≥2 0.84 ≥2 0,46 ≥2 ≥2 ≥2 RAP
campak’ /100.000 /100.000 /100.000 /100.00 /100.000
0
2. Persentase sinyal kewaspadaan 65% 51,4% 70% 57,7% 75% 80% 90% Masuk
dini yang direspon dalam
Renstra
Indikator Surveilans
Terkait RPJMN 2015 - 2019
RPJMN : Persentase Penurunan DO
kasus PD3I tertentu
Penurunan kasus PD3I tertentu di seluruh Provinsi dalam satu tahun dari
baseline data tahun 2013, dinyatakan dalam persen. Yang dimaksud
dengan PD3I tertentu yaitu difteri, campak klinis, tetanus neonatorum,
pertusis (banyak menimbulkan KLB)
Data 2013
Difteri: 775 kasus Sangat dipengaruhi
Campak klinis: 11.521 kasus sensitifitas dan akurasi
laporan surveilans
TN: 78 kasus
Pertusis : 4681

7% 10% 20% 30% 40%


2015 2016 2017 2018 2019
Indikator Surveilans
Terkait Renstra - Indikator kinerja Kegiatan

IKK 15 -19
% Kab/ Kota yang merespon sinyal
kewaspadaan dalam SKDR DO
Jumlah sinyal SKDR Puskesmas yang direspon oleh Dinas
Kesehatan kabupaten/kota kurang dari 24 jam dibagi Jumlah
Sinyal Kewaspadaan SKDR Puskesmas yang terjadi di
kabupaten/kota dalam satu tahun yang sama

2015 65% 2016 70% 2017 75% 2018 80% 2019 90%
Penyelenggaraan
Surveilans Epidemiologi untuk SKD
Prinsip SKD-KLB

Sedia Payung Sebelum Hujan

Kapasitas yg diperlukan:
Kecepatan mendeteksi secara dini
Kecepatan melakukan respon
Kecepatan berbagi informasi/data
Tujuan Sistem Kewaspadaan Dini KLB
Umum
 Terselenggaranya kewaspadaan dan kesiapsiagaan
terhadap kemungkinan terjadinya KLB.
Khusus
 Teridentifikasi adanya ancaman KLB.
 Terselenggaranya peringatan kewaspadaan dini KLB.
 Terselenggaranya kesiapsiagaan menghadapi
kemungkinan terjadinya KLB.
 Terdeteksi secara dini adanva kondisi rentan KLB.
 Terdeteksi secara dini adanya KLB.
 Terselenggaranya penyelidikan dugaan KLB.
TUJUAN PENANGGULANGAN KLB

UMUM
Kejadian Luar Biasa (KLB) tidak menjadi masalah kesehatan
masyarakat

KHUSUS
1. Menurunnya frekwensi KLB
2. Berkurangnya jumlah kasus pada setiap KLB
3. Menurunnya jumlah kematian pada setiap KLB
4. Memendeknya periode KLB
5. Menyempitnya penyebarluasan wilayah KLB
KLB Tanpa SKD
Primary 1st case Report Samples Lab Response
Case at HC taken result begins

masalah

Kasus Kasus
dapat di
kontrol

Waktu
SKD- Berjalan Baik
HC REP

Potensi
Kasus Kasus dicegah

Waktu 29
Upaya penanggulangan
1. PE & surveilans ketat Konsep Pengendalian KLB dan Wabah
2. Penatalaksanaan penderita
3. Pencegahan & pengebalan
4. Pemusnahan penyebab
5. Penanganan jenazah
6. Penyuluhan
7. Upaya lainnya

Sumber Daya Asessment:


- Ketersediaan dana: sumber, besaran dan likuiditas
1. Dana
- Tenaga: medis, epidemiolog, laboran, perawat, penunjang medis dan
2. Tenaga/SDM
penunjang lainnya (termasuk driver)
3. Perbekalan kesehatan
- Perbekalan dan peralatan yang diperlukan, akses dan pemanfaatan
4. Sediaan farmasi
- Ketersediaan bahan habis pakai dan APD
5. Alat kesehatan
- Peralatan penunjang: komputer, printer, telepon, HP, email, internet
6. Fasilitas pelayanan
akses
7. Teknologi
Asessment:
Pelaporan - Sosialisasi ke toma, masyarakat, petugas keluarahan/desa
- Respon dan TL
Laporan Kewaspadaan

1. Laporan KLB (W1) Asessment:


‒Tertulis dan Berjenjang - Prosedur penetapan KLB
‒Selambatnya 24 jam sejak - Penugasan
diketahuinya penderita - PE awal
‒Upaya yang telah dilakukan - Panduan,juknis dan penatalaksanaan yang diperlukan
- Format yang diperlukan
KESIMPULAN
PENGUATAN SURVEILANS PERLU
Selalu meningkatkan kewaspadaan dini KLB dan melakukan
penanggulangan/ respon KLB sesuai standar
Meningkatkan kapasitas petugas surveilans di kab dan pusk
Mensinkronisasi data yang di laporkan (SKDR, PD3I, STP,dll)
untuk akurasi laporan
Meningkatkan sensitifitas penemuan kasus, meningkatkan
koordinasi dengan petugas surveilans RS dalam penemuan kasus,
mengaktifkan surveilans aktif RS
Melibatkan yankes swasta, org profesi untuk penemuan dan
melaporkan kasus
Meningkatkan kelengkapan dan ketepatan pelaporan
Melakukan pemetaan daerah yang beresiko
Melakukan evaluasi dan feed back laporan secara rutin
Detect

Respon !

Lapor !
Potensial Risiko

Maret 2014
Bebas dari WPV
Indigenous

Importasi masih mungkin

VDPV dan VAPP masih mungkin


1 thn
stlh
tidak
ditem
ukan
WVP

2019 -
2020 :
Stop all
OPV

Surv AFP
dan surv
polio
lingkunga
n tetap
dilakukan
sampai
wkt yg
ditentukan
Masih ada
negara endemis
polio (Nigeria,
Penguatan
Pakistan dan
Surveilans
Afganistan)
AFP
Vital!!!
Sejak tOPV
dihentikan di
seluruh dunia pada
bln April 2016,
Stock IPV tdk
cukup, Risiko
cVDPV tinggi
Potential Risk
for importation
Cakupan
case : WPV &
imunisasi rutin
cVDPV
belum merata,
masih banyak
daerah
kantong
Mengapa Surveilans AFP
Gejala polio adalah lumpuh layuh
akut
Banyak penyakit yg memp. gejala
sama dg polio, sulit dibedakan, mana
diantaranya yang disebabkan polio

Temukan semua kasus AFP,


buktikan dg pem lab.
AFP Surveillance System
Polio
AFP

Hospitals Case
APF Clinics Investigation and
cases Lab Analysis
Community

Non-Polio
APF

Non-polio AFP rate should be ≥2/100,000 <15 years


Definisi Kasus Polio Pasti
Kasus AFP yang pada hasil
pemeriksaan tinja di lab
ditemukan VPL (Virus Polio
Liar) atau cVDVP (Circ.
Vaccine Derived Polio Virus)
Definisi Kasus Polio Kompatibel
Kasus AFP yg tak cukup bukti secara
lab/virologis untuk diklasifikasikan
sbg kasus non Polio; karena:
Spec tak adekuat &
Kunj. Ulang : Sebelum Kunj. Ulang:
Kelumpuhan (+) Kasus meninggal/hilang
Diagnosis Penyakit yang
SELALU ditandai AFP

• Poliomyelitis
• Guillain-Barre Syndrome
• Transverse myelitis
• Traumatic neuritis
Seharusnya kasus ini lebih dari 60 %
1. Sindrom Guillain Barre DIAGNOSIS PENYAKIT
(SGB) DENGAN GEJALA AFP
2. Myelitis transversa (Komite Ahli S-AFP Nas)
3. Poliomyelitis
4. Polyneuropathy 13.Periodic Paralysis hipokalemi
5. Myelopathy 14.Spinal Muscular Atrophy
6. Dermatomyositis 15.Efek samping sitostatika (mis:
7. Hipokalemi vincristin)
8. Erb’s paralysis 16.Ensepalitis atau Ensefalopati
9. Foot drop paralysis 17.Meningitis
10.Stroke pada anak 18.Miastenia gravis umum
11.Todd’s paralysis 19.Metabolic myopathies
12.Duchene Muscular 20.Herediter Motor and Sensory
Dystrophy Neoropathy (HMSN)
INGAT:
Gejala AFP dapat ditemukan juga pada penyakit selain tersebut di atas.
Bila diagnosis pasti belum dapat ditegakkan dapat dituliskan suspek dan DD-
nya
Tujuan Surveilans AFP

1. Mengidentifikasi daerah berisiko


terjadinya transmisi virus-polio
2. Memantau perkembangan program
eradikasi polio.
3. Membuktikan Indonesia bebas polio.
Strategi Surveilans AFP

1. Menemukan kasus AFP minimal 2/100.000


penduduk < 15 tahun
2. Upaya penemuan (Rumah Sakit, Puskesmas dan
Masyarakat)
3. Pemeriksaan Laboratorium
4. Keterlibatan ahli
5. Pemeriksaan Ulang 60 hari
6. Zero Reporting
Hospital Based Surveillance (HBS) Community Based Surveillance (CBS)

Keterangan
Di laporkan
Di kunjungi
Mengamati semua AFP 
2/100.000/<15th. Konsep
Ambil 2 spec <14 hr stlh
Surveilans AFP
lumpuh dengan kondisi
baik (>= 80 %) Pemeriksaan
laboratorium
Biofarma, BLK
Sby, Litbang Jkt

Positif Hasil Negatif


Hasil Negatif
Polio 3 tahun
kinerja AFP
kinerja AFP
buruk
Kinerja Baik Kinerja Buruk baik

VPL
VPL
(terfokus)
(menyebar luas)

Silent Polio free


Mopping-up
PIN (luas) transmision
(terfokus)
Surveilans pd3i

SUBDIT SURVEILANS DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA


Target
Nasional :
Kontrol
Global Target Difteri

2014 : SEARO bebas polio (Indonesia)


Eradikasi Polio 2020 : DUNIA bebas polio

2020 : Target Eliminasi Indonesia


Eliminasi Campak 2020 : Target Eliminasi SEARO

Eliminasi 2015 : Tetanus Neonatorum Eliminasi


Tetanus Neonatorum di Seluruh Region
Literature
 Herd Immunity (Efek Individu Vs Efek
Populasi)

Efek
Populasi

Efek
Individu
Efek Herd Immunity

 Surveilans PD3I sangat diperlukan untuk melihat


apakahterjadi penurunan tingkat Mordbiditas dan
Mortalitas
Kriteria Mencapai Komitmen Global
Eradikasi polio
• Tidak ditemukan Virus polio selama
3 tahun berturut-turut yang
dibuktikan dengan Surveillans AFP
sesuai standar sertifikasi

Eliminasi Campak
• Tidak ditemukan wilayah endemis
campak selama >12 bulan, dengan
pelaksanaan surveillance campak
yang adekuat. (Regional consultation on Measles , SEARO,
New Delhi, 25 – 27 August 2009 & WHA, May 2010)
No
Kebijakan Operasional Surveilans silent
AFP area

Menemukan semua kasus Acute Flaccid Paralysis (AFP)  Surveilans Aktif


(kerjasama LP/LS) No silent areaLap nihil

Membuktikan kasus AFP tersebut polio/bukan polio dg pengujian virus polio


pada tinja  Spesimen Adekuat, Kunjungan Ulang, Resume Medis

Mendeteksi adanya kasus polio yang disebabkan oleh VPL maupun


berkaitan dengan vaksin (cVDPV dan VAPP)  Kewaspadaan , simulasi
Penanggulangan KLB

Membuktikan tidak ada transmisi VPL dan VDPV  surveilans AFP sensitif,
Kelengkapan- Ketepatan laporan, surv lingkungan

Mendeteksi virus polio yang bersirkulasi di lingkungan dengan memperkuat


surveilans polio lingkungan  2017 di 5 lokasi : Jakarta, Yogya, Surabaya,
Medan, Bandung (BBTKLPP Jkt, yogya, Sby, Medan, dan Litbangkes, BF)
Tujuan Khusus dari Rencana
Strategi :
1.Mendeteksi dan pemutusan
sirkulasi virus polio.
a)Memperkuat surveillance
AFP
RUJUKAN
b)Melaksanakan PIN yang
TARGET berkualitas
DAN c)Melaksanakan Surveilans
STRATEGI lingkungan
NASIONA d)Menyusun dan simulasi
L MENUJU
ERADIKAS
pedoman KLB Polio
I DAN
ENDGAM 2.Memperkuat program
E POLIO imunisasi dan penarikan vaksin
polio oral
Kelumpuhan yang
Mendadak
sifatnya lemas
dalam 1–14 harI
(flaccid)

Bila Ragu
Anak usia < 15 Tetap Bukan karena
tahun Laporkan! ruda paksa

Indikator Surveilans AFP


• Non-polio AFP rate
AFP
Minimum Target: ≥2/100,000
populasi <15 thn
• 2 spesimen adekuat (diambil
dg interval ≥24 jam dalam
waktu ≤14 hari sejak onset
kelumpuhan)
Minimum Target: ≥80%
KEBIJAKAN DALAM ETN
Status ETN ditetapkan di Kab/Kota
 Insidens rate TN < 1/1000
kelahiran hidup per tahun
Surveil
ans Satu kasus/kematian TN = KLB 
TN penyelidikan epidemiologi ke lapangan
dalam 24 jam pertama

Ditemukan semua kasus/kematian


bayi di masyarakat

Surveilans ZERO report


Strategi etn

Imunisa • Rutin
si • Tambahan

• Penemuan kasus
Surveilans • Investigasi
• Rekomendasi

• Persalinan Nakes
KIA • Perawatan tali pusat
higienis
Target Nasional Eliminasi
Campak
Surveilans
campak
Target Campak:
Eliminasi campak nasional pada tahun 2020

Tujuan khusus:
1. Cakupan campak dosis pertama minimal 95% secara nasional dan
kab/kota
2. Cakupan campak dosis kedua minimal 95%
3. Fully investigated semua kasus KLB campak
4. Surveilans Campak Berbasis Kasus Individu (CBMS) diterapkan dengan
100% pemeriksaan spesimen secara bertahap mulai tahun 2014
BATASAN KLB
CAMPAK
 Tersangka KLB: Adanya 5 atau lebih kasus klinis
suspek campak dalam waktu 4 minggu berturut-turut
yang terjadi secara kluster dan dibuktikan adanya
hubungan epidemiologi.

 KLB Campak Pasti: Apabila minimum 2 spesimen


positif IgM campak dari hasil pemeriksaan kasus
pada tersangka KLBRubella
Kriteria KLB campak.=
KLB Campak
Surveilans Difteri
Difteri
Kuman Penyebab Corynebacterium diphtheriae
Sumber penularan Manusia (Penderita/Carrier)
Cara penularan Kontak dengan penderita pada
masa inkubasi
Kontak dengan Carrier
Melalui pernafasan (droplet
infection, muntahan, luka (difteri
kulit)
Masa Inkubasi 2 – 5 hari (1 – 10 hr)
Masa penularan  Dari penderita : 2 – 4 minggu (sejak
masa inkubasi)
 Dari Carrier bisa sampai 6 bulan
Kematian  Komplikasi (Myocarditis)
 Rata2: 5-10%
Definisi Operasional Kasus
Difteri

 Suspek Difteri adalah orang dengan gejala faringintis,


tonsilitis, laringitis, trakeitis, atau kombinasinya disertai
demam tidak tinggi dan adanya pseudomembran putih keabu-
abuan yang sulit lepas, mudah berdarah apabila dilepas atau
dilakukan manipulasi.
 Kasus konfirmasi laboratorium adalah kasus suspek Difteri
dengan hasil kultur positif Corynebacterium diphtheriae atau
PCR (Polymerase Chain Reaction) positif Corynebacterium
diphtheriae yang dikonfirmasi dengan Elek test strain toxigenic .
 Kasus konfirmasi hubungan epidemiologi adalah kasus
yang memenuhi kriteria suspek Difteri dan mempunyai
hubungan epidemiologi dengan kasus konfirmasi laboratorium.
LANJUTAN DO.....
 Kasus kompatibel klinis adalah kasus yang memenuhi
kriteria suspek Difteri, hasil lab negatif, tidak mempunyai
hubungan epidemiologi dengan kasus konfirmasi
laboratorium maupun kasus konfirmasi hubungan
epidemiologi.
 Kasus kontak adalah orang serumah, teman bermain,
teman sekolah, termasuk guru dan teman kerja dll, yang
kontak erat dengan kasus dalam masa 10 hari sebelum onset
sakit.
 Kasus carrier adalah orang yang tidak menunjukkan gejala
klinis, tetapi hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
positif Corynebacterium diphteriae.
Kebijakan Surveilans
Difteri
 Setiap satu kasus suspek dinyatakan sebagai KLB dan dilaporkan 1 x 24
jam
 Setiap suspek difteri dilakukan penyelidikan epidemiologi
 Setiap suspek dilakukan pemeriksaan laboratorium, Standar baku adalah
lab kultur. Untuk kasus indeks diperiksa kultur dan elek tes di Lab rujukan
nasional (BBLK Sby dan Puslitbangkes). Kasus hubg epidemiologis
pemeriksaan kultur dapat dilakukan di Lab UPT lain (BBTKL Jkt, BBTKL
Sby, BBTKL Yogya, BBTKL Banjarbaru, dll) dan Labkesda provinsi.
 Penyediaan antibiotika untuk pengobatan dan profilaksis disediakan oleh
pemerintah daerah (pemerintah pusat menyediakan bila diperlukan buffer
stock)
 Penyediaan ADS untuk kasus oleh pemerintah pusat dan daerah
 Pencatatan dan pelaporan kasus pada form W1 dan list kasus difteri serta
form PD3I terintegrasi
Strategi Pencegahan dan
Penanggulangan KLB
1) Penguatan imunisasi rutin difteri
2) Penguatan surveilans untuk deteksi dini kasus
3) Semua suspek difteri harus dilakukan penyelidikan
epidemiologi utk :
– konfirmasi kasus secara klinis dan laboratorium
– mencari kasus tambahan dalam radius 200 m
– Menelusuri kontak erat, pemeriksaan laboratorium terhadap kontak
untuk menemukan karier
– Memutus penularan melalui pemberian obat profilaksis kpd kontak
erat dan karier.
– Melakukan kajian faktor resiko untuk penanggulangan dan
menghentikan penularan ORI
4) Semua kasus difteri dirujuk ke rumah sakit dan
dirawat di ruang isolasi.
5) Pengambilan spesimen dari kasus dan kasus
kontak erat. Specimen kasus indeks dikirim ke
laboratorium rujukan nasional difteri untuk
dilakukan pemeriksaan kultur, atau PCR &
dikonfirmasi elek tes. Kasus tambahan dan kontak
erat diperiksa di lab regional atau lokal
6) Melakukan outbreak response immunization (ORI)
di daerah KLB.
Penanggulangan KLB Difteri
Tujuan: Untuk mencegah penularan penyakit dari kontak yang
mungkin sudah terinfeksi dengan kuman Corynebacterium
diphtheria dan memberikan kekebalan jangka menengah dan
KEGIATAN UTAMA :
Melibatkan Peran Masyarakat

panjang terhadap penyakit


Komunikasi Risiko dan

1. Deteksi Dini Kasus Suspek Difteri dan


Penyelidikan Epidemiologi
2. Pencarian Kontak dan Pemberian Obat
Profilaksis
3. Pencarian Aktif Kasus Baru

4. Imunisasi Respon KLB


Bagan Penanggulangan KLB Difteri
Manajemen Pengawasan minum obat
Detek Kasus dilaporkan Kasus
si (dg Format W1) (PMO) thdp ESO dan pencegahan
(Rujuk ke RS) DO
Dini Ambil spesimen,
Pengobatan (AB &
Kasus ADS), dan vaksinasi
Penelus
setelah 1 bln ADS Kontak Erat Kasus
Penyelidi
uran Identifikaksi Karier
kan Ambil spesimen, Membun
Epidemiol Prophylaxis, dan vaksinasi
uh kuman
ogi menghent
(Form PE) ikan
Identifikasi Faktor Kontak Erat Karier penularan
Identifikaksi
Resiko: !!
Deteksi penularan/karier lain
-Status vaksinasi kasus, Ambil spesimen, Prophylaxis,
kasus kontak & Karier dan vaksinasi
tambahan -Cakupan imunisasi di
secara wilayah terjangkit,
dini di berdasarkan laporan rutin
komunitas maupun survei.
dan Melindungi
-Manajemen Kelompok Rentan  memberi
Coldchain
fasilitas kekebalan populasi !!
kesehatan Outbreak Response SEGERA , jenis vaksin sesuai
.
Immunization (ORI) umur sasaran, minimal satu wily
kec + an. PE, sampai usia
Algoritme
Tatalaksana Kasus, Kontak dan
Karier
Kas Cari kasus lain
• Serumah , Tetangga, Sekolah,
us & karier Tempat kerja, Pertemuan
Inde Tertula
ks Gejala r?? Tanpa
dan gejala &
tanda tanda
(+)
Antibiotik yang sesuai Ambil
spes
(-) (+) (+) (-)
Kasus Kasus Karier Kontak
klinis Konfirm
Test Resistensi
Profilaksis Beri
Pengobatan
Imunisasi
Eritromisin Eritromisin : DPT < 5
Kasus: 14 hr Karier & th , DT 5 –
Kontak: 7 - 10 hr 7 th , Td >
(+) (+) Ambil spes ulang (-) 7 th
Kasus Sembuh
 Sebulan kemudian
Tatalaksana Kontak
& Karier
Kontak –
Corynebacterium diphtheriae
Karier mati

* ERITROMISIN secepatnya
• dosis anak2 <6 thn: 40 mg/kg Penular
an
BB/hari Berhen
• waktu pemberian : 4xsehari ti
• lama pemberian : 7 – 10 hari
• cara pemberian : sehabis
makan
• anak2 >6 thn : 250 mg x 4
/hari
Catt: Eritromisin sebaiknya
• dewasa : 500 mg x
Penanganan Kasus
Kontak
 Mengidentifikasi kasus kontak dari setiap suspek difteri :
anggota keluarga (setiap orang yg tinggal di rumah yg sama
dgn kasus dalam 10 hari terakhir sebelum kasus mulai sakit),
setiap orang yg berhubungan erat (kurang dari satu meter)
dalam waktu lama (lebih dari satu jam) dalam 10 hari
sebelum kasus timbul gejala sakit (cth: pengasuh, keluarga,
atau teman yg teratur mengunjungi rumah), demikian pula
petugas kesehatan yg terpapar sekret oral atau sal.pernafasan
kasus
 Kumpulkan identitas, alamat dan nomor kontak untuk
pemantauan
Mengetahui sumber penularan &
 Informasikan tentang KLB dan penyakit
Menghentikan Penularan !!
LANJUTAN PENANGANAN
KASUS.....
 Berikan antibiotika profilaksis erytromycin untuk 7-10 hari
dan imunisasi penta/DT/Td
 Kontak sebaiknya tidak beraktifitas keluar rumah (kerja,
sekolah) hingga 48 jam sesudah minum antibioktika
profilaksis, pergunakan APD (masker bedah)
 Meminta kontak memperhatikan timbulnya gejala difteri
dalam 7 hari, dan segera ke pelayanan kesehatan bila
timbul gejala sakit menelan dengan demam

Mengetahui sumber penularan &


Menghentikan Penularan !!
PETA SEBARAN KASUS DIFTERI 2017-2018

Data sampai dengan 4 Maret i 2018


TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai