Anda di halaman 1dari 59

KEBIJAKAN

PROGRAM SURVEILANS

DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH

Disampaikan pada
Pelatihan Bagi Petugas Puskesmas 2021
1. Latar Belakang

2. Kebijakan Imunisasi
OUTLINE
3. Kebijakan Surveilans PD3I

4. Kesimpulan
Latar Belakang
Kriteria Mencapai Komitmen Global

Eradikasi polio
Tidak ditemukan Virus polio selama 3 tahun
berturut-turut yang dibuktikan dengan Surveilans
AFP sesuai standar sertifikasi

Eliminasi Campak
Tidak ditemukan wilayah endemis campak selama
>12 bulan, dengan pelaksanaan surveilans
campak yang adekuat. (Regional consultation on Measles , SEARO, New
Delhi, 25 – 27 August 2009 & WHA, May 2010)
Kebijakan Penyelenggaraan
Surveilans
Dasar Hukum
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/Menkes/SK/VIII/ 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar
Biasa

Peraturan Menteri Kesehatan No. 658/MENKES/PER/VIII/2009 tentang Jejaring Laboratorium Diagnosis Penyakit Infeksi New-Emerging
dan Re-emerging

Peraturan Menteri kesehatan No. 1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan
Upaya Penanggulangan

Peraturan Menteri Kesehatan No. 45 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan No. 82 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Penyakit Menular

Peraturan Menteri Kesehatan No.92 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Komunikasi Data Dalam Sistem Informasi Kesehatan Terintegrasi

Keputusan Menteri Kesehatan No.1479/Menkes/SK/ X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemologi Penyakit
Menular dan Tidak Menular Terpadu

Keputusan Menteri Kesehatan No. 483/ MENKES/ SK/IV/ 2007 tentang Pedoman Surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP)
Global Public Health
• Penyakit baru / muncul kembali & kecepatan
penyebaran meningkat.
• Globalisasi : masalah kesehatan masyarakat
di satu wilayah / negara menjadi ancaman
bagi wilayah / negara lain.
• Penyebaran yang disengaja dengan
menggunakan unsur biologi & kimia,
bencana industri & laboratorium.
• Dampak kesehatan, ekonomi & keamanan.
 Merupakan kesepakatan 193 negara anggota WHO
 Wajib diberlakukan pada 15 Juni 2007, termasuk di Indonesia
 Setiap negara diberi waktu 5 tahun untuk meningkatkan kapasitas inti (core
capacity) sehingga dapat menerapkan IHR secara penuh
 Negara – negara yang belum mampu diberi waktu 2 tahun untuk mencapai
kondisi tersebut
IHR (2005) -
-
Mengurangi risiko penyakit masuk & keluar
Mencegah, mendeteksi, menilai, melaporkan,
menanggulangi

PLBD
KLB N

Pelabuhan

Nasional

Bandara KLB
Pelabuhan

KLB
Internasional
Memastikan sistem
surveilans & lab dapat
mendeteksi ancaman
Inte rnatio nal He alth Re g ulatio ns (2005)
potensial

Kerjasama
dgn negara
Respon thd lain
kejadian
kesmas

Melaporkan penyakit
tertentu, plus setiap
KKMD
Global Health Security Agenda (GHSA): Pendekatan Global Untuk Menyikapi
Ancaman Masalah Kesehatan Akibat Agen Biologi

- Peningkatan lalu lintas Ancaman : Dampak :


hewan & manusia lintas - Wabah - Sosial
negara (termasuk haji & penyakit
umrah) menular - Ekonomi
- Perubahan iklim Bioterorism -Keamanan

Butuh kemampuan untuk :


• Deteksi
Kewaspadaan &
• Pencegahan Respon
• Respons
WHO: Global Health
International
Health Regulation Security
(IHR) 2005 Agenda (GSHA)
Promoti Preventi
f f
Komunikasi Pengendalian
risiko faktor risiko
Upaya Pengendalian
Penyakit
Edukasi Pengebalan

sim a lkan
k
Mema city
Capa
Meminimalkan
Hazard dan
Vulnerability SURVEILANS

Deteksi Respon
Health
Early Promotion
Specific
DiagnosisProtection
and Prompth
Treatment Surveilans
Tatalaksana kasus
penyakit

Memutus rantai
Surveilans sindrom penularan

Surveilans
Melindungi
berbasis kelompok risti
kejadian
Knowledge Management

INTERVENTION

POLICY MAKING
STRATEGI MENCAPAI SASARAN KEGIATAN

• Surveilans Berbasis Indikator · Jafung Epidkes


• Surveilans Berbasis Kejadian · Pelatihan Tim Gerak
• Penyusunan Rencana Cepat
Kontinjensi di Kab/Kota yang · Diklat: FETP, PAEL
terhubung dengan pintu masuk · Pembiayaan (APBN,
internasional 2.Pengembangan APBD, HLN, DAK)
• Pelaksanaan simulasi/ table top sistem & 3. Penguatan · Sarana dan Prasarana
• PHEOC Penerapan
• Tim Respon Multisektoral Sumber Daya
• Penilaian resiko
• Komunikasi resiko

1. Penguatan 4. Penguatan
legislasi/ • Nasional : LP,LS, jejaring lab,
kebijakan Jejaring komite ahli, org profesi dll
• NSPK • Regional, global: FETP,
JUKLAK/JUKNIS/PEDOMAN SAFETYNET, TEPHINET, ASEAN
• PERMENKES PLUS3 on EID
• PERDA (Gubernur,
Walikota/Bupati)
BAGAIMANA MENDETEKSI ADANYA
KLB/ WABAH/ KKMMD BAIK DI POE DAN
WILAYAH???

Melalui Surveilans dengan dukungan

Laboratorium
SURVEILANS YANG BAGAIMANA DAPAT
MENDETEKSI SECARA CEPAT ADANYA
KLB/ WABAH/ KKMMD?

REAL TIME SURVEILLANCE


Real Time Surveillance
(Salah satu Indikator dalam Join External Evaluation Tools)

 Indicator-Based and Event-Based Surveillance


Systems
 Inter-operable, interconnected, electronic real-time
reporting system
 Analysis of surveillance data
 Syndromic surveillance systems
SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN
RESPON
(SKDR)
Darimana sumber data SKDR?
PUSKESMAS  sudah berjalan
Laboratorium
Rumah Sakit Sedang
KKP dikembangkan
Penyakit/ Sindrom dalam SKDR
Mekanisme SKDR
Aplikasi SKDR berbasis Web

Sudah diverifikasi, dilakukan PE, pengambilan sampel


diperiksa ke BBVet Bogor. Tantangan Kabupaten tdk
ada biaya pemeriksaan. Periksa di BBVet tdk gratis.
Sayang
Hasil verifikasi tdk dientri oleh kabupaten
EBS
Event Based Surveillance
Menangkap informasi KLB dari media cetak, online,
elektronik, laporan masyarakt
Verifikasi data ke Dinas Kesehatan Provinsi/ Kabupaten/
Puskesmas.
Laporan W1 (1x 24 jam): salah satu bentuk laporan EBS
dari jajaran kesehatan.
EBS sebagai pelengkap dari Indicator Based Surveillance
dalam deteksi dini KLB.
PHEOC menjalankan EBS maupun IBS
Kebijakan Imunisasi
FOKUS KEMENTERIAN KESEHATAN TAHUN 2019
(ARAHAN MENTERI KESEHATAN PADA RAKERKESNAS 2019)

1 Pkematian
enurunan angka 2 Pencegahan
pengendalian
&
3 Penurunan
ibu penyakit prevalensi stunting
dan neonatal tidak menular

4 Percepatan 5 Peningkatan
eliminasi cakupan dan
Tuberkulosis mutu imunisasi

26
PENDEKATAN PELAYANAN IMUNISASI

1. DI KELUARGA –  CATAT STATUS IMUNISASI


PIS PK  IDENTIFIKASI DROP OUT
2. DI  BERIKAN, LENGKAPI STATUS
MASYARAKAT – IMUNISASI
UKBM  CATAT DAN RUJUK KIPI, BILA
DIBUTUHKAN
3. DI FASKES
PRIMER
 CATAT STATUS IMUNISASI
4. DI FASKES  IDENTIFIKASI DROP OUT
SEKUNDER dan  BERIKAN, LENGKAPI
STATUS IMUNISASI
TERSIER  TATALAKSANA KIPI

27
KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN
IMUNISASI

Dilaksanakan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat, dengan prinsip


keterpaduan.

Anggaran terpadu (APBD, APBN, LSM dan Swasta).

Perhatian khusus diberikan untuk wilayah rawan sosial, rawan penyakit


(KLB) dan daerah-daerah sulit secara geografis.

Melaksanakan kesepakatan global : Eradikasi Polio, Eliminasi Tetanus


Manternal dan Neonatal, Eliminasi Campak dan Rubella serta Mutu
Pelayanan Sesuai Standar.
28
IMUNISASI RUTIN LENGKAP
IMUNISASI DASAR LENGKAP yang diperoleh
pada usia bayi TIDAK CUKUP, diperlukan
IMUNISASI RUTIN LENGKAP agar kekebalan
tetap optimal

IMUNISASI RUTIN LENGKAP terdiri dari:


(1) Imunisasi dasar pada usia 0-11 bulan,
(2) Imunisasi Lanjutan berupa DPT-HB-Hib dan Campak Rubela pada usia 18
bulan,
(3) Imunisasi Lanjutan Campak Rubela dan DT pada Kelas 1 Sekolah Dasar/
Madrasah Ibtidaiyah/sederajat, dan
(4) Imunisasi Td pada kelas 2 dan 5 Sekolah Dasar/ Madrasah
Ibtidaiyah/sederajat
29
KERANGKA KONSEP PENINGKATAN CAKUPAN DAN
MUTU IMUNISASI

30
TANTANGAN DAN STRATEGI
Meningkatkan Presentasi Kab/Kota Meningkatkan presentasi anak anak usia 12-24 bulan
yang mencapai 80% Imunisasi Dasar usia 0-11 bulan yang mendapat mendapat imunisasi DPT-
Lengkap (IDL) pada anak usia 0 – 11 Imunisasi Dasar Lengkap HB-Hib lanjutan dari 56
bulan dari 85,4% menjadi 95% dari 92 % menjadi 93% % menjadi 70%

Tantangan dan Hambatan

Disparitas cakupan Layanan kualitas : Propaganda Negatif : • Komitmen


imunisasi, banyak anak • Kompetensi Petugas Isu Halal dan haram. Pemda
belum imunisasi lengkap (Kuantitas dan kualitas) Kejadian Ikutan Pasca • Harga vaksin
– KLB PD3I, daerah sulit • Ketersediaan cold chain Imunisasi (KIPI) - baru
terjangkau Rumors di media

STRATEGI

• Pelaksanaan DOFU dan Sweeping Imunisasi dan • Pembiayaan : APBN, APBN, Dekon, DAK
Sustainable Outreach Services (SOS) di daerah sulit Non Fisik, sumber dana lainnya
terjangkau terintegrasi dengan Malaria - KIA • Kemitraan dengan swasta, lembaga profesi,
• Pemanfaatan PWS dalam rangka mengatasi masalah di dll
tempat • Adsos pemangku kebijakan
• Penempatan nakes, Nusantara Sehat • Monev terpadu
• Diseminasi KIE Imunisasi, PIS - PK • Ketersediaan dan keterjangkauan vaksin
Strategi Penguatan Program Imunisasi

Peningkatan
Peningkatan Peningkatan
Akses
Cakupan Pengetahuan Peningkatan
Masyarakat
melalui dan Kualitas
dengan
Analisa PWS Kesadaran Imunisasi
Pendekatan
dan RTL Masyarakat
PIS-PK

Menjangkau sasaran  Pendekatan kpd masy,  Pelaksanaan pengelolaan


dan memastikan  Wilayah sulit (hambatan
memanfaatkan materi KIE vaksin yang efektif sesuai
terbentuknya herd geografis): Menjangkau
 Sosialisasi melalui ILM TV dengan pedoman Effective
immunity: sasaran dengan strategi SOS
dan Radio Vaccine Management
– Sweeping dan Drop- (Sustainable Outreach
 Sosialisasi aktif dan massal (EVM).
out Follow Up Services), integrasi dengan
melalui media sosial  Mengoptimalkan prosedur
(DOFU) lintas program merupakan
 Pelibatan LS, LSM terkait penyuntikan aman.
– Pelaksanaan kuncinya
bahkan individu-individu  Memastikan kualitas data
Defaulter Tracking  Wilayah perkotaan,
yang mendukung imunisasi dengan validasi data
kumuh dan padat  Pembentukan forum sasaran, DQS, dan RCA.
– Backlog Fighting
(BLF) penduduk: Menjangkau komunisasi masyarakat  Monitoring imunisasi
sasaran yaitu: anak-anak peduli imunisasi secara berkala (Supervisi
– Crash Program yang tidak memiliki akte, Supportif)
– Catch Up Campaign tidak terdaftar di registrasi
kependudukan, anak-anak
yang tinggal di wilayah-
wilayah ilegal, dll.
Kebijakan Surveilans PD3I
Target Eradikasi Polio

Mempertahankan “Indonesia Bebas Polio” dan


Mencapai Eradikasi Polio Global Tahun 2023
Menutup immunity gap dengan mencapai cakupan imunisasi rutin
polio (bOPV dan IPV) yang tinggi dan merata
• Menguatkan sistem kekarantinaan  skrining status imunisasi
pendatang dari negara endemis (Afghanistan, Pakistan, Nigeria)
dan status imunisasi warga yang akan bepergian ke negara
endemis, berikan imunisasi jika status imunisasi tidak lengkap
(imunisasi khusus)
• Memperkuat surveilans AFP dan surveilans polio lingkungan

08/27/2021
GOAL ERADIKASI POLIO

Tidak ada lagi kasus polio

Tidak ada transmisi virus polio liar

Tidak ada transmisi virus polio vaksin


(VDPV/VAPP)

Dibuktikan dengan Surveilans AFP yang


adekuat selama 3 thn berturut-turut
Ditetapkan secara bertahap per regional
Masih ada POTENSI RISIKO Setelah Sertifikasi
Bebas Polio

Bebas dari VPL Indigenous


014
2
r et
a
M
27

Importasi masih mungkin


VDPV dan VAPP masih mungkin
Tonggak Sejarah Kesehatan Masyarakat
Sertifikasi Bebas Polio
SEAR 27 Maret 2014

INDONESIA mendapat
sertifikat bebas dari virus
polio liar tahun 2014  namun
Tahun 2019 ditemukan KASUS
POLIO di kab Yahukimo

5th SEAR ITAG Meeting, 25-29 August 2014, New Delhi


KLB POLIO DI PAPUA

VDPV 1

MENGAPA TERJADI KLB POLIO DI PAPUA??

karena CAKUPAN IMUNISASI RENDAH DAN ATAU


TIDAK MERATA DLM KURUN WAKTU YG LAMA 
Akibatnya BANYAK ANAK YG TIDAK KEBAL  menjadi
TEMPAT YANG PALING BAIK UTK VIRUS POLIO
UNTUK BERKEMBANG BIAK
Indonesia Outbreak cVDPV tipe 1

1 kasus positif VDPV1 dari Distrik Dekai, Kab. Yahukimo, Prov. Papua. Spesimen 2 anak sehat positif VDPV
Kasus berusia 2 tahun 6 bulan, mengalami kelumpuhan di tungkai kiri tipe 1 dan memiliki hubungan
Published 25 January 2019 pada 27 November 2018. Kasus selama ini belum pernah diimunisasi genetic dengan kasus VDPV1
polio.
SITUATION REPORT POLIO DI PROVINSI PAPUA
21 MEI 2019

Sebaran kasus VDPV 1 dan AFP di Provinsi


Papua
S.D 20 Mei 2019
Cakupan Sub Pin Polio Putaran 1
Prov. Papua : Cakupan Sub Pin Polio Cakupan Sub Pin Polio
70,76% Putaran 1 Putaran 2
Prov. Papua Barat : Prov. Papua Barat
104,4% 108%
Cakupan Sub Pin Polio Putaran 2
Prov. Papua :
23,69%

VDPV
1
Distribusi kasus AFP menurut kabupaten/kota di Provinsi Papua
UPAYA YANG PERLU DILAKUKAN
1. Meningkatkan Kinerja Surveilans AFP untuk mendeteksi adanya kasus baru dan dengan
6 onset Tahun 2018 – 20 Mei 2019.
5
penguatan SKDR 5 4 4 4
2. Melakukan tatalaksana kasus sesuai SOP 4
3. Talaksana kontak erat sesuai SOP 3 3 3
3 2 2 2
4. Melakukan Penyelidikan Epidemiologi pada setiap kasus AFP, identifikasi daerah dan
kelompok umur berisiko 2 11 1 1 1 1 1 1 1 1
5. Memberikan KIE kepada kasus, keluarga dan masyarakat (melibatkan program terkait) 1
6. Evaluasi manajemen program imunisasi 0
7. Melakukan Sub PIN Polio di Prov. Papua dan Papua Barat sebanyak 2 putaran dengan
target cakupan ≥95% dan merata
8. Memperkuat dan meningkatkan cakupan imunisasi rutin mencapai target ≥95% dan
merata.
Hasil pemeriksaan polio lingkungan di Puslitbang PBTDK yang berasal dari sampel air limbah
Kali Komba, Kali Konya, Kotaraja Kabupaten Jayapura hasilnya negative (-)
2019 2018
0878-0678-3906 0877-7759-1097 poskoklb@yahoo.com #PHEOCIndonesia
Target Eliminasi Campak dan Rubella/CRS

Mencapai Eliminasi Campak dan


Rubella/Congenital Rubella Syndrome (CRS)
Tahun 2026

• Melaksanakan introduksi vaksin rubella ke dalam program imunisasi


rutin nasional
• Mencapai cakupan imunisasi Campak/MR dosis pertama dan kedua yang
tinggi (minimal 95%) dan merata
• Melaksanakan investigasi penuh (full investigation)untuk semua kasus
KLB campak
• Melaksanakan penguatan Surveilans Campak Berbasis Kasus Individu
(Case Based Measles Surveillance), dengan 100% pemeriksaan spesimen
• Melaksanakan penguatan surveilans rubella & pengembangan surveilans
CRS

08/27/2021
GOAL ELIMINASI CAMPAK
Tidak ditemukan wilayah endemis
campak selama >12 bulan

Dibuktikan dengan surveilans campak yang


adekuat.

Discarded rate campak CBMS 100%


≥2/100.000 penduduk (bertahap sejak 2014)

Ditetapkan secara bertahap per regional


Strategis Surveilans Campak-Rubela/CRS
Indonesia 2026
• Melaksanakan imunisasi rutin MR pada usia 9 bulan, lanjutan pada usia 18
bulan dan usia anak sekolah dengan cakupan 95% merata di seluruh
kab/kota.
• Melakukan surveilans campak berbasis kasus individu (Case Based Measles
Surveillance/CBMS): 100% spesimen diperiksa tahun 2020
• Melakukan fully investigated setiap KLB campak
• Penguatan surveilans CRS di 18 RS di 15 provinsi
• Penguatan jejaring laboratorium nasional campak dan rubela
• Pengembangan pelaporan campak individual melalui web
• Penguatan kesiapsiagaan, respon dan manajemen kasus KLB
SURVEILANS CAMPAK-RUBELLA
( MENCAPAI GOAL ELIMINASI 2026)
• Eliminasi campak akan dicapai secara bertahap per regional
sebagaimana pencapaian eliminasi TN.
• Kegiatan surveilans akan dilaksanakan dalam 2 strategi (hijau
dan merah) berdasarkan pencapaian kinerja imunisasi dan
surveilans per kab/kota
• Kriteria kab/kota hijau dan merah akan ditentukan oleh
provinsi sesuai tools yang berlaku.
STRATEGI
SURVEILANS CAMPAK-RUBELLA
DAERAH MERAH DAERAH HIJAU
Definisi operasional Suspek Demam dan ruam (rash makulopapular) disertai dengan Demam dan ruam (rash makulopapular)
Campak-Rubella salah satu atau lebih batuk, pilek atau mata merah
(conjungtivitis)
Sumber pelaporan 1. Puskesmas 1. Puskesmas
2. RS potensial 2. RS potensial
3. ≥ 50% fasyankes swasta potensial: 3. 100% fasyankes swasta potensial:
Pengambilan spesimen • Spesimen serum diambil 100% dari suspek campak - • Spesimen serum diambil 100% dari
rubella suspek campak - rubella
• Spesimen urine pada kasus rutin tidak perlu diambil • Spesimen urine pada kasus rutin
• Spesimen urine diambil hanya untuk kasus KLB diambil minimal 2 per tahun di setiap
sebanyak maksimal 5 kab/kota
• Spesimen urine pada kasus KLB diambil
sebanyak maksimal 5

Penyelidikan Epidemiologi <48 Dilakukan setiap ditemukan 1 suspek campak-rubella Dilakukan setiap ditemukan 1 suspek
jam campak-rubella
Kelengkapan Laporan 90% 90%
Mingguan Puskesmas
Kelengkapan Laporan 90% 90%
Mingguan RS
PENGUATAN SURVEILANS CAMPAK-
RUBELLA
1. Peningkatan sensitifitas penemuan suspek campak
 melibatkan fasyankes, praktek swasta, sosialisasi ke ikatan profesi dan
masyarakat
2. Peningkatan Case Based Measles Surveillance (CBMS) secara bertahap  20% tahun 2017 s.d 100%
tahun 2020
CBMS menilai status eliminasi setelah dilakukan kampanye MR
3. Fully Investigated KLB Campak
 Deteksi dini KLB melalui SKDR, PHEOC, pemeriksaan lab dan penghentian
transmisi virus
4. Penguatan Jejaring Lab
 Mengupayakan 3 Lab Sub Nasional mulai berfungsi sejak thn 2018
5. Pengembangan pelaporan PD3I berbasis web secara bertahap
 Laporan individu sampai pusat
6. Pengembangan surveilans CRS sentinel ( skrg ada 13 RS di 10 prov)
7. Penguatan kesiapsiagaan, respon dan manajemen kasus KLB ( TGC, PHEOC)
Pengembangan RS sentinel CRS th 2019 :
1. Sumbar : RSUP M.Djamil
RS Sentinel Surveialns CRS 2. Riau : RSUD Ahamd Arifin
3. Malang : RSUD Saiful Anwar
4. Aceh : RSUD. Zainal Abidin
5. Kalsel : RSUD Ulin
Sumatera Utara 6. Kalimantan Timur : RSUD Abdul
RS Adam Malik Sulawesi Utara Wahab Syahrani
RS dr. Kandou

Sumatera Selatan
RS Moh. Hoesin

Jawa Barat
• RS Hasan Sadikin
DKI Jakarta • RS Mata Cicendo Sulawesi Selatan
• RS Cipto Bali RS Wahidin
Mangunkusumo RS Sanglah Soedirohusodo
• RSIA Harapan Kita

Jawa Tengah
RS dr. Kariadi Yogyakarta Jawa Timur
RS dr. Sardjito • RS dr. Soetomo

CRS Surveillance provinces

Hospital

Reference Lab
Target Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal

Mempertahankan status Eliminasi Maternal dan


Neonatal (MNTE)
• Cakupan imunisasi rutin yang tinggi dan merata
• Imunisasi Td pada WUS (status imunisasi T5, perlindungan seumur
hidup)
• Persalinan yang bersih dan oleh tenaga kesehatan
• Kinerja Surveilans Tetanus Neonatorum yang adekuat

08/27/2021
Kebijakan dalam Eliminasi Tetanus Neonatal

Status ETN ditetapkan di Kab/Kota  < 1 /1000 KH


Satu kasus/kematian TN = KLB  penyelidikan
epidemiologi ke lapangan dalam 24 jam pertama
Temukan semua kasus/kematian bayi di masyarakat
Surveilans zero report

• Penemuan kasus
Strategi
• Investigasi
Operasional
Surveilans ETN • Rekomendasi
Kebijakan & Strategi Surveilans Pertusis
 Penemuan kasus : RS dan Puskesmas dan fasyankes lainnya
 1 kasus Pertusis  KLB, dilakukan penyelidikan dalam
waktu 1x 24 jam
 Manajemen kasus dan kontak erat : AB (eritromisin),
isolasi (imun neg/tdk lengkp)
 Pengambilan dan pengiriman spesimen ke laboratorium
terhadap kasus dan kontak
 Melakukan kajian faktor risiko untuk penanggulangan dalam
menghentikan penularan  analisa dan rekomendasi
 Penanggulangan : imunisasi masal/selektif
 Pencatatan dan pelaporan pd form W1 dan list kasus pertusis
serta form PD3I terintegrasi
Target dan Strategi Pengendalian Difteri

Mencapai Pengendalian Difteri


• Mempertahankan Cakupan imunisasi rutin yang tinggi dan merata
• . Satu kasus suspek difteri perlu sesegera mungkin penanggulangan untuk
menghentikan penularan.
• Setiap suspek difteri dilakukan penyelidikan epidemiologi dan
dilaporkan dalam 1 x 24 jam:
• Deteksi dini kasus secara klinis dan laboratorium serta
tatalaksana kasus dan kontak erat untuk mencegah
kematian (ADS) dan penularan (Antibiotika) sesuai dengan
protokol pengobatan difteri;
• Pemeriksaan laboratorium kasus difteri dengan kultur dan hasil
kultur positif dilakukan pemeriksaan ELEK Test.
• Edukasi Masyarakat
• Outbreak Response Immunization (ORI) dengan cakupan minimal
95%
Surveilans Polio Lingkungan
Suatu upaya menemukan virus polio baik virus polio liar ataupun virus polio
berasal dari vaksin dari limbah rumah tangga (tinja) secara dini beserta upaya-
upaya penanggulangannya dalam rangka menjaga kondisi negara bebas polio.

Fungsi:
 Mendeteksi virus polio yang bersirkulasi di lingkungan sebagai suplemen
surveilans AFP
 Bila pemakaian OPV telah dihentikan total (ditargetkan tahun 2020),
surveillans lingkungan dapat dipakai untuk memonitor menghilangnya virus
vaksin sabin di lingkungan
 Memberikan bukti untuk sertifikasi status bebas polio
JEJARING LABORATORIUM PD3I

 Program PD3I salah satunya ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium, seperti Polio, Campak- Rubela, CRS
dan Difteri:
 Dalam upaya menuju eradikasi polio, setiap kasus AFP dilakukan pemeriksaan tinja  membuktikan
kasus tsb BUKAN polio
 Dalam upaya menuju eliminasi campak dan pengendalian rubela, setiap kasus campak dilakukan
surveilans campak berbasis kasus individu (Case Base Measles Surveilans/CBMS)  konfirmasi
serologis/IgM untuk campak.
 Jika hasil IgM campak negatif  dilanjutkan konfirmasi serologis/IgM untuk rubella
 Pada KLB campak, selain pemeriksaan serologis (IgM) dilakukan pula pemeriksaan virology untuk
menentukan tipe virus
 Dalam sistem surveilans CRS diagnosis kasus CRS klinis dibuktikan melalui pemeriksaan laboratorium
serologis (IgG dan IgM)
 Dalam upaya pengendalian difteri, setiap kasus difteri dilakukan pemeriksaan kultur
Strengthening laboratory network measles - rubella

= NMRL
= Sub-NMRL

PLB-PHL
MKS-PHL
6%
7%

JKT-PHL

17%

11 % 19 % 15 % 25 %
NIHRD BF YGY-PHL SBY-PHL
Laboratorium Difteri

Dibedakan atas :
1. Lab Pemeriksa  semua lab
di Indonesia yang dapat
melakukan pemeriksaan
kultur bakteri (BBTKL,
LABKESDA DLL)
2. Lab Nasional Rujukan
Regional  Balitbangkes
dan BBLK Surabaya
PERAN DINAS KESEHATAN
 Melakukan advokasi dan sosialisasi secara berjenjang pada setiap kesempatan tentang penguatan surveilans
AFP;
 Memastikan pelaksanaan surveilans AFP di setiap jenjang sesuai SOP;
 Memastikan petugas surveilans Provinsi/Kab/Kota melakukan SARS dengan melakukan Hospital Record
Review (HRR) minimal setiap minggu;
 Memperkuat Surveilans Aktif RS (SARS) melalui surat edaran untuk pembentukan tim surveilans RS yang
ditetapkan dengan SK Direktur RS;
 Membangun komunikasi secara intensif dengan pihak yang berpotensi menemukan kasus AFP (dokter anak,
dokter syaraf, dokter umum, perawat, tokoh masyarakat, dll);
 Meningkatkan kerja sama dengan Lintas Program (Imunisasi, KIA, Yankes, Promkes, dll) dan Lintas
Sektor (IDAI, IDI, IBI, PPNI, dll) dalam penemuan kasus AFP;
 Menyediakan media KIE untuk tenaga kesehatan & masyarakat  setiap anak usia <15 tahun yang
lumpuh mendadak harus segera dilaporkan ke Puskesmas.
KESIMPULAN
 Indonesia merupakan daerah risiko tinggi munculnya Polio baik dari dalam maupun importasi.
 Cakupan imunisasi harus tinggi dan merata untuk mencegah penyakit Polio, Campak-Rubella,
Difteri, TN, Pertusis.
 Surveilans yang kuat sangat penting dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit,
sebagai bukti dalam program eliminasi-eradikasi
 Kelengkapan dan ketepatan laporan termasuk zero report
 Penemuan semua kasus PD3 Segera laporkan

 Ingatkan kembali dokter/perawat untuk menemukan kasus AFP dan PD3I lainnya di
RS
 Lakukan surveilans aktif RS /HRR
 RS sebaiknya mempunyai petugas yang ditunjuk untuk surveilans
 Koordinasi Dinkes dengan fasyankes baik pemerintah maupun swasta sangat penting dalam
pelaksanaan surveilans
 Pemeriksaan laboratorium menjadi hal yang sangat penting  spesimen harus adekuat
“Without high quality surveillance, the billion
dollar program effort is flying blind’.

Anda mungkin juga menyukai