Anda di halaman 1dari 29

PSIKOLOGI INTERIOR 1

1 7 Sept 2019
PSIKOLOGI INTERIOR
mempelajari interaksi antara manusia dengan
lingkungan ruang tempat aktivitas , terdiri dari
lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan
fisik adalah batas ruang interior serta benda-
benda yang ada, sedangkan lingkungan sosial
adalah kumpulan manusia di dalamnya. Interaksi
interior merupakan sumber berbagai rangsang
atau stimulus yang mempengaruhi persepsi,
kognisi, dan motivasi dalam sistem kepribadian,
sehingga mengarahkan pola kegiatan dan perilaku
manusia tersebut.
Dalam proses merancang ruang interior, Desainer
memerlukan wawasan psikologi untuk membuat asumsi-
asumsi tentang kebutuhan manusia pengguna ruang,
perkiraan aktivitas dan atau perkiraan bagaimana ia
berperilaku, bagaimana manusia itu bergerak dalam
ruang yang dirancang. Kemudian desainer akan
memutuskan bagaimana ruang tersebut akan dapat
melayani pemakai sebaik mungkin. Yang harus
dipertimbangkan tidak hanya bagaimana ruang akan
melayani kebutuhan pemakai secara fungsional, rasional,
ekonomis, dan ergonomis, tetapi ruang tersebut juga
harus dapat mengakomodasi kebutuhan akan ekspresi
emosionalnya termasuk ketika bersosialisasi dengan
sesama pengguna ruang.
Karena desain interior ditujukan untuk manusia,
maka agar mendapatkan hasil yang baik desainer
perlu memahami apa yang menjadi kebutuhan
manusia terhadap ruang. Mengerti dulu perihal
perilaku manusia dalam kaitan dengan interaksinya
secara sosial ataupun secara psikologis dengan
membentuk persepsi. Hasil desain interior harus
mampu memperhitungkan hal-hal yang sifatnya
teraga (tangible) maupun yang tak teraga (intangible)
dalam lingkungan ruang yang menjadi obyeknya.
Tujuannya agar memberikan atmosphere yang
mendukung tujuannya, serta menampilkan citra
pemakainya sebaik mungkin.
Desain Interior, adalah upaya membina lingkungan
manusia dalam realitas sehari-hari sebagai ruang multi
dimensional. Ruang dalam bangunan mendukung
aktivitas manusia, mengarahkan pergerakan dari satu
titik ke titik lain, menciptakan tekanan di ruang satu
dengan ruang lain sesuai fungsinya. Interior merupakan
susunan konfigurasi bentuk yang menjadi batasan ruang
dan mempengaruhi persepsi serta imajinasi. Yang tidak
teraga (intangible) dari konfigurasi itu pemberi nafas
dan jiwa dari ruang interior, memberi makna bahwa
komponen-komponen ruang bukanlah sekedar elemen
tangible. Desain interior mengejawantahkan hal-hal yang
bersifat tidak fisik sebagai bagian dari realitas, kongkrit
maupun yang simbolik.
Gambar 1 memperlihatkan susunan komponen ruang yang terdiri atas dinding, lantai, ceiling, dan
kolom di ruang interior kantor Sydney Harbour Forrshore Authority di Darling Harbour,sebagai
tanda konotatif yang menyampaikan image atau citra tentang aktivitas didalamnya dan citra
organisasi
dan korporasi pemilik dibelakangnya .

Gambar 2 adalah susunan komponen ruang terdiri atas dinding kaca dengan
gambar besar yang di ’sandblasting’, lantai, ceiling, kolom dari ruang interior
Pusat pertokoan Wesfield di Liverpool Street Sydney, sebagai tanda konotatif
yang akan menyampaikan image atau citra tentang aktivitas didalamnya dan
citra korporasi pemilik dibelakangnya .
Ruang interior dalam interaksinya dengan pemakai,
merupakan sumber stimulus visual, suara, kimiawi, panas,
mekanisme pergerakan manusia. Namun manusia juga
memberikan pengaruh atas keberadaan dan kegiatannya bagi
pembentukan suasana ruang (atmosphere). Interaksi antar
manusia dalam ruang merupakan hal penting untuk
diperkirakan dan diperhitungkan dalam desain interior. Interaksi
sosial bergantung pada stimulasi sosial dan respons yang
diberikan, yang kemudian menjadi stimulus bagi adanya
respons lain, baik untuk memenuhi kebutuhan secara simbolis
maupun kebutuhan instrumental. Tatanan ruang, lay out dan
komposisi furniture mempengaruhi hubungan intersubyektivitas
satu sama lain, yang mempengaruhi proses psikologis.
Ruang interior sebagai bagian dalam dari bangunan
merupakan perwujudan dari citra (image) dan penilaian
terhadap kegiatan atau aktivitas yang hidup di dalamnya.
Selain merupakan sesuatu yang berbentuk fisik dan bersifat
keras, solid, terjamah, juga merupakan ungkapan makna-
makna ataupun pesan dalam bahasa, yang ditransfer
melaui konfigurasi penyusunan unsur-unsurnya, untuk
dipersepsi oleh pengamatnya secara personal. Interaksi
manusia dalam konteks desain interior merupakan
kompleksitas masalah yang penting untuk dimengerti oleh
desainer. Bagaimana manusia menghayati ruangnya dan
bagaimana manusia memberi respons terhadap persepsi
tersebut, secara personal maupun kelompok pengguna.
Ruang dan Perilaku.

Aktifitas manusia di ruang interior bangunan secara langsung


maupun tidak langsung berkaitan dengan unsur-unsur
perilaku yang bersifat ’sosiologis’, ’anthropologis’, ’psikologis’
serta ’psikologi lingkungan’. Mendesain ruang interior atau
merencanakan fasilitas untuk interaksi dan kegiatan
manusia , juga mempunyai relasi dengan keempat disiplin tsb.
Selama ini pengertian yang banyak dianut sejak jaman dulu
adalah bahwa penataan ruang arsitektural tergantung pada
kualitas “tatanan, keselarasan perbandingan, simetri, dan
kecocokan”. Kendati masih banyak dipakai sebagai dasar
kajian dalam ilmu arsitektur dan desain interior, kini harus
dikembangkan sampai keluar dari bidang kajian utama dan
bersinggungan dengan berbagai disiplin sosiologi, antropologi,
psikologi, politik; dan kedalam juga harus berkompromi
dengan konstruksi / struktur, estetika, dan bahasa (linguistik).
Psikologi selalu berbicara mengenai kepribadian
(personality). Perilaku dilihat sebagai suatu keluaran
(output) dari kepribadian seseorang ketika
berinteraksi dengan lingkungan ruang. Kepribadian
dan perilaku yang dimunculkan pada diri manusia
sangat erat hubungannya dengan ruang dan
lingkungan. Perilaku bagian dari proses interaksi
antara kepribadian manusia dengan ruang dan
lingkungan. Karena ruang dan lingkungan mengandung
rangsang-rangsang (stimuli) yang ditanggapi dengan
respons-respons oleh kepribadian manusia.
Robert Gifforg : Psikologi lingkungan mengenal
tiga kategori rangsang atau stimulus hubungan antara
lingkungan dengan perilaku manusia, yaitu
1. rangsang yang dirasakan oleh sensor / indera
manusia, berupa temperatur, warna, cahaya, dan
lain-lain.
2. rangsang sosial, yang ditimbulkan akibat adanya
interaksi dengan orang lain.
3. rangsang yang diakibatkan oleh pergerakan
(movement ); perubahan-perubahan dalam
intensitas; keragaman serta pola yang terdapat pada
lingkungan
ruang interior ditata secara arsitektural sebagai
lingkungan buatan untuk fungsi pelindung dan wadah
aktifitas, sekaligus wahana ekspresi kultural manusia.
Sebagai lingkungan buatan yang berinteraksi dengan
kepribadian manusia, tatanan ruang interior menjadi
salah satu fasilitator perilaku, juga bisa menjadi
penghalang terjadinya perilaku. Susunan unsur ruang :
dinding, lantai langit-langit, kolom, furniture dalam
kualitasnya masing-masing membentuk atmosphere yang
memberikan rangsang (stimuli) terhadap persepsi dan
kegiatan manusia. Demikian pula sebaliknya kegiatan
atau tingkah laku manusia dapat berpengaruh kepada
pembentukan suasana ruang.
Desain interior menentukan bagaimana seluruh
unsur fisik ruang diatur dalam satu program yang
memfasilitasi kegiatan atau tujuan tertentu.
Pertimbangan yang dimaksud adalah terjemahan
fisik dari aspek-aspek tata nilai, sosial, ekonomi
dan tata hidup manusia, serta merupakan
ungkapan budaya, karena desain itu juga
merupakan bagian dari aktifitas kehidupan
manusia.
Ruang interior ’berhadapan’ dengan aktifitas
manusia di dalamnya akan berkontribusi
terhadap terbentuknya suasana ruang. Karena itu
rancangan ruang interior dimaksudkan untuk
memfasilitasi kegiatan, agar suasana ruang yang
terbentuk mendukung secara psikologis kegiatan
tersebut sehingga berlangsung optimal. Tapi
kegiatan kelompok manusia itu juga memberikan
pengaruh terhadap suasana ruang. Ada proses
yang bersifat timbal balik saling mempengaruhi
antara kegiatan manusia dan atmosphere.
Ruang interior merupakan medan kegiatan
DESAINER yang mengkomposisikan unsur ruang
berupa titik, garis, bidang, material, warna,
sebagai elemen kasat mata. Inilah sebab orang
sering menyimpulkan bahwa ruang interior
merupakan wujud materi belaka. Ketika sampai
pada pemikiran estetika arsitektural pada akhir
abad ke XIX baru dinyatakan bahwa esensi
arsitektur adalah eksistensi ruang.
Ruang interior berpengaruh dalam persepsi manusia,
bukan sesuatu yang secara fisik membatasi dimensi panjang,
lebar, dan tinggi saja, tetapi juga lebih abstrak daripada sekedar
tempat. Ruang menjadi ‘tempat’ saat manusia mengenalnya
dengan baik (memiliki wujud dan dimensi) dan memberikan
penilaian. Mengenal ruang berarti bahwa manusia melakukan
pergerakan di dalamnya. Yi-Fu Tuan : ruang adalah suatu
abstraksi perwujudan yang memungkinkan adanya pergerakan
(orang,barang,udara,cahaya) di dalamnya, tempat adalah
merupakan perhentian geraknya. Maka pengertian ruang tidak
memperlihatkan keterikatan dengan dimensi-dimensi fisik,
karena ia diartikan sebagai entitas yang berada dalam konstruksi
pemikiran manusia.
Penglihatan mempengaruhi manusia saat mengalami ruang,
tiga hal lain membentuk pengalaman manusia akan ruang
interior, yaitu penciuman, kepekaan kulit dan pendengaran.
Dengan penciuman manusia dapat mengerti akan massa dan
volume. Dengan kulit, dapat merasakan tekstur, ukuran, dan
bentuk suatu obyek, dapat memberikan pengertian akan
massa dan volume. Suara memperkaya perasaan manusia
bahkan dapat membawa seseorang yang terlatih dan
berpengalaman akan ukuran dan perkiraan jarak yang
menentukan batas ruang. Kemampuan bergerak, melihat,
menyentuh, mencium dan mendengar yang memungkinkan
seseorang memiliki pengalaman ruang tidak akan pernah
dapat dilakukan jika ia tidak memiliki tubuh.
Tubuh manusia menghubungkan semua proses dalam
sistem kepribadiannya dengan semua hal yang ada di
alam semesta. Tubuh itu pula yang menghubungkan batin
dan rokh manusia itu dengan ruang, baik ruang dalam
pengertian yang tidak terbatas, maupun ruang yang
memiliki batas-batas sebagai pengertian dari tempat.
Kemampuan manusia secara totalitas berinteraksi dengan
ruang adalah karena ia mahluk bertubuh yang memiliki
perasaan dan pikiran, jiwa dan raga (psiko-fisik). Interaksi
dan pengalaman dengan ruang itu diperoleh sebagai hasil
penggabungan aspek jasmaniah dan ruhaniah manusia
terhadap segala sesuatu mengenai ruang.
Dengan tubuh manusia mampu bergerak
menjelajahi ruang dan dengan ruh maka ia hidup
dengan perasaan dan pikiran, sehingga akan
membuatnya mampu memberikan penilaian-
penilaian terhadap apa-apa yang diterimanya secara
kualitatif. Unsur-unsur ruang secara visual yang
ditangkap dalam interaksi merupakan informasi
bagi pola pergerakan dan perilaku. Tapi ada makna
yang ditangkap secara spiritual dari penilaian
tersebut dalam bentuk imaji yang kemudian
disimpan dalam memori atau pengalaman.
Setiap unsur interior yang memiliki informasi akan
mendapat penilaian sehingga mempunyai makna, maka ia
menjadi tanda. Karena itu perencanaan ruang interior
menyusun komponen-komponen ruang untuk dinilai
berarti ‘berbahasa’ dengan ruang. Susunan unsur-unsur
ruang adalah tanda yang memberikan informasi dan makna
kepada pengamat yang berinteraksi dengan susunan tersebut
ketika menjelajahinya. Melalui susunan unsur-unsur ruang
ada sesuatu nilai yang ingin dikomunikasikan kepada
imajinasi pengamat. Manusia pemakai ruang yang akan
menangkap, merasakan, mengalami apa yang ingin
dikomunikasikan tadi. Makna dalam ruang interior perlu
dimengerti dari sudut pandang manusia yang merasakan
atau mengalaminya, serta berinteraksi di dalamnya.
Ruang memiliki 3 dimensi panjang, lebar serta tinggi,
dan satu dimensi lagi yaitu waktu. Ketiga dimensi
ruang tersebut diolah dalam otak dan memungkinkan
manusia menerima dan membangun ruang persepsi
(perceptual space). Ruang persepsi tidak memiliki
kaitan panjang, lebar dan tinggi, tetapi merupakan
hasil dari kompleksitas bekerjanya syaraf (complex
neurocomputation) di dalam otak berdasarkan signal
dari indera manusia. Jadi ruang yang digambarkan
sebagai sebuah tanda menjadi titik awal untuk
mengartikan pengamatan dan persepsi manusia atau
pengalamannya, bukan sebuah abstraksi matematis.
Area melingkar yang dibentuk oleh batas-batas dari berdirinya manusia-manusia secara berdekatan
membentuk ruang persepsi. Keberadaan ruang ini bukan karena dimensi dari diameter lingkaran dan
tinggi badan-badan manusia pembatasnya, tetapi merupakan persepsi yang dibentuk oleh manusia-
manusia itu sendiri yang menjadi batas ruang dan juga pengamat.
Ruang lebih abstrak dari pengertian tempat. Ruang berubah menjadi
tempat jika ia telah dikenali dengan baik dan ada nilai pada ruang tsb. Ruang
dapat disadari dengan mengeksplorasi batasnya, ruang imajiner sebagai
suatu hasil pengalaman. Ruang imajiner mengandung dimensi ke empat
(Charles Moore dan Gerald Allen) yaitu dimensi waktu. Selain itu ruang
imajiner dapat berupa ruang hasil khayalan imajinatif dan futuristik.
Fisika klasik didasarkan pada dua gagasan, ruang mutlak tiga dimensional,
serta waktu sebagai dimensi terpisah yang juga mutlak. Di Barat, gagasan
ruang dan waktu seperti ini berakar pada pikiran para filsuf dan ilmuwan.
Keyakinan bahwa geometri melekat di alam berasal dari pemikiran Yunani,
sehingga langit dianggap mestilah merupakan bentuk geometris sempurna
karena benda-benda langit mesti bergerak dalam lingkaran-lingkaran yang
bergerak dalam satu kesatuan dengan bumi sebagai pusatnya. Geometri
dianggap sifat sejati ruang selama lebih dari dua ribu tahun, sampai
relativitas Einstein menyadarkan bahwa geometri tidak inheren di alam,
namun dikonstruksi oleh pikiran. Relativitas berdasarkan pada penemuan
bahwa semua pengukuran tentang ruang dan waktu itu adalah relatif.
Capra dari nasihat Asywaghosya, : “... Pahamilah dengan
jernih bahwa ruang di alam tiada lain hanyalah cara kita
memperinci sesuatu dan tidak memiliki eksistensi nyata
pada dirinya sendiri.... Ruang alamiah hanya ada dalam
hubungannya dengan kesadaran kita yang gemar
memperinci”. Capra melihat hal yang sama juga terjadi
pada gagasan tentang waktu. Para mistikus Timur
mengaitkan gagasan tentang ruang dan waktu pada
keadaan-keadaan kesadaran tertentu. Karena mampu
melampaui kesadaran biasa melalui meditasi, mereka
menyadari bahwa gagasan konvensional tentang ruang
dan waktu bukanlah kebenaran hakiki. Gagasan ruang dan
waktu yang muncul dari pengalaman mistis mereka tampak
serupa dalam banyak hal dengan gagasan fisika modern,
seperti dicontohkan melalui teori relativitas.
Ilustrasi relativitas koordinat oleh Capra dilakukan dengan
membayangkan dua orang pengamat yang melayang dalam
ruang dan mengamati sebuah payung. Pengamat A
melihat payung itu disebelah kirinya dan agak miring
sehingga ujung atasnya lebih dekat kepadanya. Pengamat B
disisi lain, melihat payung disebelah kanannya dan dengan
ujung atasnya tampak lebih jauh. Dengan memperluas
contoh dua dimensional ini kepada tiga dimensi, maka jadi
jelas bahwa seluruh spesifikasi parsial – seperti ‘kiri’,
‘kanan’, ‘atas’, ‘bawah’,’miring’ dan lain-lain – bergantung
pada posisi pengamat, sehingga semua itu bersifat relatif.
Fenomena Payung

Memperlihatkan dua orang pengamat, A dan B


yang mengamati sebuah
payung dengan posisi yang relatif, sehingga
persepsi yang terbentuk menjadi relatif juga
Teori relativitas menunjukkan bahwa ruang bukanlah tiga
dimensional dan waktu bukanlah entitas terpisah. Keduanya
terkait sangat erat dan tak terpisahkan untuk membentuk
kontinum empat dimensional yang biasa disebut ’ruang-
waktu’. Fisika relativistik tak pernah berbicara soal ruang
tanpa berbicara soal waktu dan sebaliknya, dalam deskripsi
fenomena yang melibatkan kecepatan tinggi. Namun semua
efek ini tidak bisa dialami dengan indra manusia kecuali
’bayangan’ tiga dimensionalnya, karena kerangka acuan yang
berbeda. Objek-objek yang bergerak satu sama lain melibatkan
waktu, tampak berbeda dengan yang diam dan dirasakan
sebagai tiga dimensional tanpa melibatkan waktu (kecepatan).
Padahal semua yang tampak tiga dimensional ini adalah
proyeksi dari fenomena ruang-waktu empat dimensional.
Pertunjukan teater ”Song of the Sea” di Sentosa Island Singapore, menggunakan konsep
ruang persepsi (perceptual space) dengan mengkonstruksikan laut, pantai, langit pada
malam hari sebagai ruang pertunjukan, dengan bantuan teknologi sinar laser,
hollogram, asap serta sound system yang rintegrasi.Keberadaan ruang bukan karena
berbatas panjang, lebar dan tinggi, tetapi merupakan hasil dari complex
neurocomputation di dalam otak berdasarkan signal-signal yang diperoleh indera-indera
manusia pengamat yang dirangsang oleh teknologi laser, hologram dan suara-suara
tersebut. Jadi, ruang disini digambarkan sebagai sebuah tanda yang menjadi titik awal
untuk mengartikan pengamatan dan persepsi manusia atau pengalamannya, dan bukan
sebagai sebuah abstraksi matematis
persiapan pertunjukan dan pengaturan penonton pada teater ”Song of the
Sea” dilakukan pada saat langit masih terang di sore hari. Tribun di pantai yang
menurun bertahap sebagai area penonton, laut sebagai panggung
pertunjukannya, dan langit yang terbuka menjadikan ruang pertunjukan hanya
terbentuk dengan batas-batas persepsi pengunjung (perceptual space).

Anda mungkin juga menyukai