Anda di halaman 1dari 72

Dra.

Kiaonarni
O.W, Apt
 Analgetik :
Obat yang menghilangkan rasa nyeri
dengan cara meningkatkan nilai
ambang nyeri di ssp. tanpa menekan
kesadaran.

 Antipiretik :
Obat yang dapat menurunkan panas
yang tidak normal (dalam keadaan
demam).
 Mekanisme penurunan panas :
Obat antipiretik bekerja pada
hypothalamus yang merupakan pusat
panas, yaitu dengan menyesuaikan
hipothalamus dengan panas di luar
(semacam termostat) sehingga
terjadi pengeluaran panas yang
bertambah dan produksi panas
tetap.

 Anti inflamasi :
Obat yang dapat menghambat
terjadinya keradangan.
I. Golongan SALISILAT : Aspirin, Sod.Salisilat,
Salisilamid, Diflunisal, Benorilat dlsb

II. Derivat P. AMINOFENOL : Paracetamol

III. Derivat QUINOLIN : Glafenin

IV. Devirat PIRAZOLON : Metampiron,


Phenylbutazon, Oxyphenbutazon

V. Gol. As. ORGANIK : Ibuprofen, Ketoprofen,


Piroxicam
” SKEMA BIOSINTESIS PROSTAGLANDIN ”
RANGSANGAN

Gangguan pada membrane sel

FOSFOLIPID
Hambatan kortikosteroid Enzim fosfolipase

ASAM ARAKODINAT
Enzim lipoksiginase Enzim siklo – oksigenase
Dihambat
obat-obat
“AINS”
HIDROPEROKSID HIDROPEROKSID
PGG2 / PGH
LEUKOTRIEN

Tromboksan Prostasiklin
PGE2, PGF2, PGD2
B2
Bekerjanya obat-obat golongan “NSAID”
Hypothalamus :
 Anterior  pengaturan pengeluaran panas
 Posterior  pengaturan produksi panas

Pengaturan pengeluaran panas dengan cara :


 Vasodilatasi sehingga terjadi sweating
(keringat berlebihan)
 Terjadi peningkatan frekuensi pernafasan

Mekanisme Antipiretik :
 mengembalikkan fungsi thermostat pada
hypothalamus ke keadaan normal
 menghambat pembentukkan Prostaglandin E1
(PGE1)
Prototype : Aspirin
 Efek farmakologis golongan Salisilat :
analgesic, anti piretik, anti inflamasi,
anti pirai

Mekanisme anti inflamasi :


 menghambat cyclo oxygenasi yang
dibutuhkan untuk pembentukkan
prostaglandin
 menghambat migrasi dari leukosit dan
macrophage sehingga terjadi pelekatan dari
granulosit – granulosit
 terjadinya vasodilatasi
 Gout : suatu penyakit dimana terjadi peningkatan
kadar asam urat
 Asam urat yang ada di ginjal ( tubulus proximalis)
selain mengalami sekresi juga mengalami
reabsorpsi di tubulus distalis.
 Pada dosis kecil : asam urat di tubulus proximalis
dihambat, sehingga kadar asam salisilat pada dosis
kecil justru meningkatkan kadar asam urat
didalam darah (o.k. ekskresi dihambat)
 Pada dosis besar : asam urat yang di tubulus
distalis reabsorpsinya dihambat, sehingga asam
urat banyak dikeluarkan melalui urine.
 o.k. itu sebagai anti pirai / anti gout ( uricosuric )
maka golongan salisilat harus diberikan dalam
dosis besar.
 Efek pada darah :
Terjadi perpanjangan waktu perdarahan
karena hambatan pembentukkan
Tromboksan A2  Hypoprothrombinemia
(prothrombine Ө)

 Efek pada ssp :


Pada dosis besar mula-mula terjadi
rangsangan, lama-lama terjadi depresi.

 Efek pada saluran cerna / GIT :


Terjadi rangsangan : iritasi lambung, mual,
muntah, ulcus pepticum
 Efek pada pernafasan : ( keseimbangan asam basa )
Pada dosis besar : merangsang pernafasan
(hyperventilasi), kemudian terjadi alkolosis,
selanjutnya terjadi depresi pernafasan  Acidosis
Respiratoral o.k. menumpuknya metabolit yang
bersifat asam dari salisilat sehingga terjadi acidosis
metabolik.
Pada dosis terapi : alkalosis respirasi terkompensasi.

 Efek pada kelenjar endokrin :


Terjadi rangsangan pada kelenjar-kelenjar tersebut
sehingga terjadi pelepasan banyak hormon
adrenocorticotropic  rangsangan pada hipothalamus
 banyak corticosteroid bebas dalam darah.

 Efek pada metabolisme :


Dosis besar menimbulkan perubahan metabol. daripada
KH  Hyperglycaemia dan Glucosuria
( seperti pada diabet )
 Pada dosis terapi, salisilat menyebabkan :
 ALKALOSIS RESPIRASI TERKOMPENSASI
Dimana : salsilat merangsang pernafasan
sehingga mempertinggi konsumsi O2 dan
produkdi CO2  ekskresi bikarbonat disertai
dengan Na+ dan K+ melaui ginjal juga
meningkat sehingga bikarbonat dalam plasma
menurun dan darah kembali normal.
 Keadaan ini disebut respirasi alkalosis
terkompensasi.

 Pada dosis toksis, perubahan as- bs. Dan


komposisi elektrolit akan melanjut dan
menimbulkan ACIDOSIS METABOLIK.
 Absorpsi :
 Per oral : cepat melalui lambung, usus.
 Per rectal
 Pada kulit beberapa preparat juga mengalami
absorpsi

 Distribusi : seluruh jaringan tubuh, ASI,


ludah, sawar – otak, sawar uri

 Metabolisme: hepar (dengan cara hidrolisis)

 Ekskresi : renal
 Ekskresi bertambah bila diberi Na.Bic
 Analgetik, anti piretik, anti rematik
 Anti thrombus, terutama untuk orang-orang yang
mempunyai tendensi terjadi throbus yi : orang-
orang yang sering mengalami kelainan pembuluh
darah otak dan jantung dengan dosis kecil
 Anti gout ( dengan dosis besar )
 Sebagai keratolytic agent pada penyakit jamur
dan sebagai counter irritant ( secara tropical )

 EFEK SAMPING :
 Alergi, iritasi lambung, hipoprothrombinemia
 Gejala-gejala kelainan fungsi ginjal dan hepar
 Kelainan pada pendengaran
 KONTRA INDIKASI :
 Ulcus pepticum
 Haemophyli
 Alergi

 DOSIS :
 Analgetic – antipiretik : 0,325g – 1g
 Demam rematik akut : 5g – 8g/hari
 Rheumatoid Arthritis : 5g – 6g/hari
 
 DOSIS TOXIC MENYEBABKAN :
 Salisilismus ( mual, muntah, rasa tidak enak,
bingung, tinnitus, vertigo )
 Hypertherm ( terjadi panas yang berlebihan )
 Kelainan perilaku ( bingung, agitasi, konvulsi )
 Respirasi alkalosis
 Respirasi asidosis
 Rash
 INTERAKSI DENGAN OBAT-OBAT LAIN :
Golongan salisilat karena dapat menyebabkan
acidosis maka dapat mengadakan i.a. dengan :
 Diamox & Ammonium Chlorida  E.S :asidosis
 Chlorpromazin  saling mendesak ikatan pada
plasma protein
 Phenylbutazone  s. d. a
 Phenytoin  s. d. a
 Probenecid  s. d. a
 Methotrexat  s. d. a
 Tolbutamid  s. d. a
 Corticosteroid meng - i efek dari salisilat
 Penicillin G meng - i sekresi dari salisilat
 Sulfinpirazon  mengurangi efek anti pirai
 SEDIAAN :

 Aspirin ( Acetosal )
 Salisilamid, Na. salisilat ( efek <, iritasi >)
 As. Salisilat, Metil salisilat ( iritasi >>>>>,
untuk topikal)
 Acetanilid *
 Phenacetin *
 Acetaminophen / Paracetamol
* tidak digunakan lagi ( E/S : kelainan ginjal)

 Paracetamol merupakan metabolit aktif


phenacetin ( toxisitas lebih rendah).
 Para aminofenol bersifat toxis 
disubstitusikan dengan OH / NH2 
Paracetamol : Ө toxis, khasiat tetap
(analgesic – antipiretik )
 Perbedaan dengan Aspirin ( Gol. I) :
 Efek anti inflamasi :Ө
 Efek anti gout :Ө
 Efek iritasi lambung :Ө
 Efek gangguan pernafasan :Ө
 Efek keseimbangan as.- bs. :Ө
 Efek metabolisme :Ө

 FARMAKODINAMIK : menghambat sintesa


Prostaglandin di sentral.
 FARMAKOKINETIK :
 Absorpsi : cepat di lambung dan usus
 Distribusi : seluruh jaringan
 Metabolisme : di hepar mengalami hidroksilasi dan
konjugasi dengan glucuronat dan sulfat
 Excresi : renal
 PENGGUNAAN KLINIS : analgetik – antipiretik
 TOXISITAS: hepatotoxis ( nekrosis pada hepar )
Nephrotoxis(nekrosis pada tub.renal)

 EFEK SAMPING :
 Meth haemoglobinemia
 Anemia hemolytic
 Interstitial nephritis
 Renal papillary necrosis
 Carcinogenesis agent pada : visicosurinaria dan pelvis
dan urinalis

 DOSIS :
anak-anak : 15 – 20 mg 3 – 4 x sehari
Dewasa : 500 – 1000 mg
GLAFENIN
 Merupakan derivat sintetis Chloroquin
 Khusus untuk analgetik

 Antipiretik dan Anti inflamasi : Ө 


 EFEK SAMPING : mual, muntah, urticaria,
angio neurotic oedema
 DOSIS : 2 – 3 x 200 mg
 SEDIAAN : Glifanan tablet, Glaphen tablet
 Antipyrin
 Aminopyrin
 Dipyron / Antalgin
 Phenybultazone
 Oxyphenbutazone

EFEK FARMAKOLOGI:(dibanding dgn salisilat)


 Analgetik : >
 Anti piretik : >
 Anti inflamasi : >
 Anti gout : Phenyl & Oxyphenbutazone
 Terutama digunakan untuk rheumatic fever,
bursitis dll.
 Sekarang antipyrin tidak digunakan lagi,
hanya untuk lab.  mengukur kadar air
dalam darah
 EFEK SAMPING :
 Carcinogenesis
 Agranulositosis
 Thrombocytopenia
 Aplastic anemia
 Hemolisis
 Anuria
 Mual, muntah ( iritasi lambung )
PHENYLBUTAZON &OXYPHENBUTAZON
 Oxyphenbutazone merupakan metabolit aktif
dari phenylbutazon
 Jadi, sifat-sifatnya = phenylbutazon, hanya saja
toxisitasnya lebih ringan.
 PENGGUNAAN :
 anti inflamasi
 anti gout
 FARMAKOKINETIK:
 Absorpsi : cepat
 Metabolisme : phenylbutazon  Oxyphenbutazon
(metabolit aktif)
 Excresi : renal ( lambat, o.k. protein
binding meningkat dan mengalami reabsorpsi
pada tubulus renalis )
 EFEK SAMPING :
 Alergi
 Iritasi lambung ( perforasi daripada usus 
terutama phenylbutazon )
 Vertigo
 Rash

 TOXISITAS :
 Hipertensi & oedema ( karena retensi Na &
air )
 Neuritis
 Dermatitis exfoliativa ( alergi berat )
 Ulcus pepticum
 Agranulositosis
 Kelainan hepar & ginjal
 KONTRA INDIKASI :
 Hipertensi
 Kelainan jantung, ginjal, dan hepar
 Alergi terhadap golongan pirazolon
 Ulcus pepticum

SEDIAAN :

 PHENYLBUTAZON :
 Irgapyrin
 Duplopyrin
 Enkapyrin
 OXYPHENBUTAZON :
 Tanderyl
 Sponderil
 Rheozon
 Efek :
 analgetic, antipiretik (Efek : < ; E/S : >)
 anti inflamasi
 anti gout
 Gol. Propionic. Acid :
 Ibuprofen (Axalan; Brufen )
 Ketroprofen (Profenid)
 Fenoprofen
 Naproxen (Naxen ; Synflex)
 Gol. Anthranilic Acid :
 Mefenamic Acid
 Flufenamic Acid (Movilisin)
 Meclofenamic Acid (Meclomen)
 Gol. Acetic. Acid :
 Indomethacin dan Diclofenac
IBUPROFEN Motrin, Brufen, Ifen
Hanya digunakan sebagai analgesic, anti
inflamasi
 Absorpsi : lambung ( cepat )
 Excresi : urine
 Efek samping :
Iritasi lambung, gangguan penglihatan : sukar
membedakan warna ( bersifat, reversible ),
bingung dan sakit kepala, thrombocytopenia,
retensi air.
 Kontra Indikasi : bumil & busui
 Interaksi dengan obat lain :
di + Warfarin  memperpanjang
di + Diuretika  mengurangi efek diuretik
 NAPROXEN
 Absorpsi : lambung
 Waktu paruh 14 jam ( jadi cukup 2x sehari )
 Interaksi dengan obat lain = Ibuprofen
 Efek samping : iritasi lambung, pusing, rasa lelah
 Dosis untuk rematik : 2 x 250 – 375 mg/hr

2 x 500 mg/hr
 MEFENAMIC ACID = Ponstan
 Digunakan untuk analgetik, anti inflamasi, anti rematik
 Tidak boleh digunakan untuk anak-anak kurang dari 14
tahun dan bumil karena bahaya yang ditakutkan adalah
Agranulositosis
 Efek samping : iritasi lambung, leukopenia, eritema
kulit, anemia hemolitik
 Dosis : 250mg tiap 6 jam (tidak boleh lebih dari 7 hari)
 Digunakan untuk analgesic, anti rematik
 E/S : = Ponstan
 Gangguan fungsi hati  peningkatan SGOT,
SGPT, alkali fosfat
 Kontra Indikasi :

 Illitis reginalis
 Ulceratic colic
 Kelainan hepar, renal
 Antipiretik, analgetik, anti inflamasi, anti gout  gol.
Salisilat
 E/S : >  digunakan khusus untuk anti inflamasi dan anti
gout akut
 Mekanisme kerja : mengurangi sintesa PG.
 Absorpsi : usus ( cepat )
 Distribusi : 90% terikat plasma protein
 Metabolisme : hepar
 Excresi : urine,faeces, empedu (enterohepatic cycle)
 Efek samping :
- Sal. Cerna : mual, muntah, diare, ulcus dicolon
& usus besar bagian bawah.
- SSP : halusinasi, vertigo, gangguan penglihatan,
sakit kepala
- Darah : agranulositosis, aplastic anemia, thrombocyte
ber Ө
- Alergi
 NSAID yang memiliki unsur baru  Oxicam
 Waktu paruh 45 jam  beri : 1 x sehari
 Absorpsi : lambung (cepat)
 E/S : iritasi lambung, pusing, tinitus, nyeri
kepala, eritema kulit
 INDIKASI : hanya untuk anti inflamasi sendi,
rheumatoid arthritis, osteoarthritis,
spondilitis ankilosa
 KONTRA INDIKASI : bumil, ulcus pepticum,
terapi, koagulan
 DOSIS : 10 – 20 mg/hari.
Ada 2 kelompok obat utk penyakit pirai yi:
 Obat yang menghentikan proses
inflamasi akut
Ex : kolkisin, fenilbutazon,oksifenbutazon,
indometazin

 Obat yang mempengaruhi kadar asam


urat.
Ex : probenesid, alopurinol, sulfinpirazon
 Obat-obat yang bekerjanya dengan
mempengaruhi kadar asam urat

 tidak berguna mengatasi serangan


klinis malahan kadang-kadang
meningkatkan frekuensi serangan pada
awal terapi.

 Oleh karena itu, kolkisin ( dalam dosis


profilaksis ) dianjurkan diberikan pada
awal terapi dengan alopurinol,
Sulfinpirazon & Probenesid.
 Farmakodinamik :

 analgesic :Ө

 merupakan anit inflamasi yang unik


terutama untuk penyakit pirai ( untuk
anti inflamasi yang bukan anti gout /
pirai : Ө )

 merupakan alkaloida Colichum


autumnale (sejenis bunga leli)
…………………. Lanjutan :
KOLKISIN

 Mekanisme Kerja : (diperkirakan dengan


cara-cara:)

 berikatan dengan protein mikrotubular dan


menyebabkan depolimerisasi dan
menghilangnya mikrotubul fibrilar
granulosit dan sel-sel bergerak lainnya 
sehingga menyebabkan penghambatan
migrasi granulosit ke tempat radang
sehingga penglepasan mediator inflamasi
juga dihambat dan respons inflamasi
ditekan

 mencegah penglepasan glikoprotein dari


leukosit yang pada penderita gout / pirai
menyebabkan nyeri dan radang sendi.
 FARMAKOKINETIK
 Absorpsi : saluran cerna ( baik )
 Distribusi :
secara luas dalam jaringan tubuh, terutama di
ginjal, hati, limfa dan saluran cerna.
 Tidak terdapat di otot rangka, jantung dan
otak
 Ekskresi :

- sebagian besar dalam bentuk utuh melalui


tinja
- 10% - 20% melalui urine
 Penderita dengan penyakit hati eliminasi
berkurang dan lebih banyak dieliminasi
melalui urine
 EFEK SAMPING :
Mual, muntah, kadang-kadang diare terutama
dengan dosis maximum, dosis berlebih :
oligouria, hematuria.
 INDIKASI :
 Diagnose gout / pirai
 Merupakan drug of choice untuk penyakit pirai
 Berguna pula untuk profilaktik serangan pirai
atau mengurangi beratnya serangan.
 Mencegah serangan yang dicetuskan oleh
urikosurik dan alopurinol
 Dosis :
 0,5 – 0,6 mg/jam atau 1,2 mg sebagai dosis
awal, diikuti 0,5 – 0,6 mg tiap 2 jam sampai
gejala penyakit hilang atau gejala saluran
cerna timbul.
 mengobati penyakit pirai dengan cara
menurunkan kadar asam urat.
 Jangka panjang : mengurangi efek serangan,
menghambat pembentukkan tofi,
memobilisasi asam urat, mengurangi besarnya
tofi (endapan asam urat).
 Terutama untuk mengobati pirai kronik
dengan insufisiensi ginjal dan batu urat
dalam ginjal
 Cara kerja : dengan menghambat enzim
xanthine oxidase yang berperan mengubah
hypoxanthine menjadi xanthine yang
selanjutnya menjadi asam urat
 Efek samping : alergi: kulit merah, demam,
menggigil, leukopenia / leukositosis,
eosinofilia, artralgia dan pruritus

 Dosis :
 Ringan : 0,2 – 0,4 g/hari
 Berat : 0,4 – 0,6 g/hari
 Untuk gangguan fungsi ginjal : 0,1 – 0,2
g/hari
 Untuk hiperurisemia sekunder : 0,1 – 0,2
g/hari
 Untuk anak 6 – 10 tahun : 0,3 g/hari
 Untuk anak < 6 tahun : 0,15 g/hari
 Mencegah dan mengurangi kerusakan sendi
serta pembentukkan tofi pada penyakit pirai
 Tidak aktif untuk mengatasi serangan akut
 Untuk pengobatan hiperurisemia sekunder
 Kombinasi dengan salisilat : mengurangi efek
probenesid
 Probenesid menghambat ekskresi melalui
renal obat-obat : Sulfinpirazon, Indometasin,
Penisilin, PAS dan Sulfonamida, o.k. itu
pemberian kombinasi obat-obat tersebut
perlu sesuaikan dosisnya
 Dosis : 2 x 250 mg/hari selama seminggu
Diikuti dengan 2 x 500 mg/hari
 mencegah dan mengurangi kelainan sendi dan tofi
pada penyakit pirai kronik berdasarkan hambatan
reabsorpsi tubular asam urat
 serangan pirai akut : Ө
 penurunan kadar asam urat lebih kecil daripada
Alopurinol
 tidak boleh diberikan pada pasien dengan riwayat
ulkus peptic
 hati-hati pemberian obat ini bila dikombinasikan
dengan obat-obat hipoglikemik oral karena
Sulfinpirazon dapat meningkatkan efek insulin
 E/S : gangguan saluran cerna, anemia, leucopenia,
agranulositosis
 Dosis : 2 x 100 – 200 mg/hari
Dapat dinaikkan ad 400 – 800 mg, kemudian
dikurangi pada dosis efektif minimal
 Yaitu :
obat yang dapat
mengurangi/menghilangkan rasa nyeri
dan dapat menimbulkan adiksi.

 Golongan Obat Opioid berasal dari :


Opium : Morfin
Seny. Semi sintetik morfin
Seny. Sintetik yang mempunyai efek
seperti morfin
 Opium / candu berasal dari getah buah Papaver
Somniferum yang telah dikeringkan.
 Alkaloida Opium dibagi 2 golongan :
 Gol. Phenantrene
 Morfin

 Codein

 Thebain

 mempengaruhi s.s.p ( depresi dan stimulasi )


 Gol. benzylisoquinoline
 Papaverin

 Narcotine ( Noscapin )

 Narceine

 mempengaruhi otot polos / relaksasi  anti


spasmodik
1. Natural Opium Alkaloida
 Morfin

 Codein ( Methyl Morphine )

2. Semi synthetic morphine


 Heroin ( diacetyl morphine )

 Hydromorphone ( dilaudid )

 Hydrocodon ( hycodon )
3. Snythetic Narcotic
 Meperidin = Pethidin, Demerol

 Methadone

 Butorphanol

 Diphenoxylate

 Pentazocine (paling ringan habituasi &

adiksinya)
 Propoxyphene

 Levorphanol

paling ringan habituasi dan adiksinya

4. Narcotic Antagonist
 Nalorphin
 Naloxon
 Naltrexon
 Pada S.S.P : analgesik et narcosis, rasa kantuk
MORFIN :
- Dosis kecil 5 – 10mg :
 Pada orang sakit, timbul keadaan Euphoria
 Pada orang normal (tidak sakit), timbul
Disphoria
(rasa takut, gelisah, mual, muntah, ngantuk,
penurunan kemampuan berfikir)
- Dosis terapetik 15 – 20mg : menyebabkan
tidur dengan mimpi indah et rasa nyeri hilang,
penurunan pernafasan, miosis, konstipasi /
sembelit
- Dosis besar (over dose) : keracunan et koma,
pupil semakin mengecil (pin point), depresi ,
pernafasan  death
 Pada pusat pernafasan
 Morfin menurunkan kepekaan pusat
pernafasan terhadap rangsangan CO2 
penimbunan CO2 diserum, darah, alveoli
 Kematian o.k. morfin pada umumnya
disebabkan karena : depresi saluran
pernafasan (kegagalan pernafasan)
 Pada pusat Batuk
 Morfin mendepresi pusat batuk  dipakai
sebagai obat batuk
 dosis obat batuk : tidak mengganggu pusat
pernafasan
 dosis lebih tinggi : menyebabkan gangguan
pernafasan
 Jadi : kepekaan morfin pada pusat batuk <
daripada pusat nafas
 Pada Chemoreseptor
Morfin menstimulir CTZ = Chemoreceptor
Trigger Zone, pada medulla oblongata
sehingga menyebabkan mual dan muntah.
 Pada Sistem Kardiovaskuler  Autostatic
Hypotensi
 Pada jantung:
 Dosis terapi tidak berpengaruh
 Dosis besar hambatan kontraksi

 Pada sistem pembuluh darah : relaksasi 


dilatasi  kemerahan pada kulit et muka,
hipotensi postural (penurunan TD posisi
berdiri)
 Pada Pupil
Merangsang musc. Konstriktor pupil dan
menghambat musc. Dilatator pupil  MIOSIS

 Pada Tract. Urinarius


Morfin menyebabkan oligouria ( sedikit urine
) et retention urinae ( spasme pada
sphincter )
 Pada GIT
 Penurunan tonus daripada otot-otot GIT et
 Penurunan kontraksi sphincter daripada
otot-otot GIT
 Akibatnya : konstipasi  dapat digunakan
diare pada anak
 Pada Sistem Metabolisme
 menghambat kecepatan metabolisme
(terutama metabolisme KH)
 penurunan penggunaan O2
 pada dosis cukup tinggi  penurunan suhu
tubuh
 Pada Kulit
 Pada menyebabkan urticaria ( bidur ),
kontak dermatitis karena adanya histamine
release.
 Pada saluran Empedu
 Menyebabkan spasme otot-otot saluran
empedu sehingga merupakan kontra indikasi
pada billiary colic
 ABSORPSI :
 p.o : baik
 juga melalui mukosa : hidung, paru-paru
 kulit utuh : Ө ; kulit lesi : 
 menembus sawar- uri dan placental barier

( mempengaruhi fetus )

 METABOLISME :
 di hepar mengalami konjugasi dengan asam
glukuronat
 sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas
 10% tidak diketahui nasibnya
 EKSKRESI :
 Lewat ginjal dalam bentuk sudah berubah
( konjugasi )
 Sebagian kecil morfin bebas ditemukan
dalam tinja et keringat
 Morfin yang terkonjugasi ditemukan dalam
empedu ( sebagian kecil )
 Juga pada urine dalam bentuk bebas
 Sebagai Analgesia
Menghilangkan rasa sakit yang hebat : trauma
hebat; patah tulang/fraktur; myocard infarct;
Colic pada ureter, empedu, usus; kanker
ganas untuk rasa sakit yang ringan tidak
dianjurkan penggunaannya
 Sebagai penenang ( bila disertai nyeri )
Sering digunakan untuk premedikasi
(kombinasi dengan Atropin)
 Sebagai obat batuk
Sangat potensi untuk menekan pusat batuk
 Sebagai obstipan
Untuk terapi diare  golongan anti spasmodik
 Penggunaan Obat-obat golongan
narkotika dapat menyebabkan :
 Habituasi
 Toleransi
 Adiksi
 HABITUASI :
keinginan untuk terus memakai obat
tersebut dan dapat menyebabkan psychic
dependence.

 Gejala-gejala psychic dependence


( ketergantungan psikis )
 Gelisah
 Keinginan untuk bunuh diri / membunuh
 Mencuri
 Lekas marah
 Merasa sedih
 TOLERANSI :
suatu keadaan dimana untuk mendapatkan
efek yang sama, diperlukan dosis yang selalu
meningkat
 ADIKSI :
keracunan kronis golongan narkotika dengan
sifat-sifat : habituasi, toleransi,
ketergantungan fisik ( physical dependence )
 Gejala-gejala physical dependence
( ketergantungan fisik ) :
 Badan terasa panas, kdg2 dingin sekali
 Timbul kejang-kejang, mual, muntah
opstipasi
 Air mata keluar trs seperti orang menangis
 MRS

 Subsitusi golongan narkotika berat diganti dengan golongan


yang lebih ringan dan efek adiksinya lebih kecil : METHADONE

 Institusi pesantren untuk diadakan psychotherapy

 Terapi kerja untuk membunuh


waktu selama ada di perawatan.
 Narkotika kuat :
 morphine
 methadone
 oxymorphone
 phenazocine
 heroine
 hydromorphone
 levorphanol
 Narkotika sedang :
 Meperidine / pethidine
 Alphaprodine
 Amileridine
 Diminodine
 Pentazocine

 Narkotika lemah
 Codein
 Propoxyphene
MORPHINE

 merupakan natural opium alkaloida


 dipakai sebagai analgetik ( sangat poten )
 dapat menghambat bekerjanya
cholinesterase
 Jadi Morphine adalah cholinesterase
inhibitor
 Khasiat morphine sebagai
analgesia :
 rasa sakit hilang bukan karena satu cara
kerja, tetapi kerja dari beberapa khasiat
sebagai rasa sakitnya hilang a.l. :

1. morfin dapat mengubah persepsi ( pain


stimuli ini masih ada tetapi ditanggapi bahwa
rasa sakit itu tidak ada )
meningkatkan nilai ambang rasa sakit /
nyeri

2. perasaan euphoria sehingga rasa sakitnya


hilang

3. Dapat menyebabkan tidur  hipnotik


HEROIN = Diacetylmorphine
 dibuat semi sintetik dari morfin
 khasiat analgesiknya : 5 – 10x morfin
 bahayanya : 4x morfin
 depresinya lebih hebat daripada morfin
 lebih cepat menimbulkan addict dibanding morfin

METHADON
 mempunyai duration of action ( lama kerja ) : lebih
panjang dari morfin
 efek addict
 efek euphoria < morfin
 efek sedasi
 Karena efek sedasi < : maka methadone tidak
dipakai sebagai premedikasi pada general anesthesi
MEPERIDIN = PETHIDINE
 Efek :
 Pada ssp :

- efek hipnotik
- efek analgesia : < morfin
- efek euphoria
- efek addict : > morfin
 tidak menimbulkan miosis dan tidak mendepresi
pusat batuk
 menyebabkan mual, muntah ( merangsang CTZ )
 dosis >> : excitment dan konvulsi
 pada otot polos : relaksasi ( seperti Atropin )
 pada saluran cerna : spasme ( lebih lemah
daripada morfin )
 bronchus : bronkhokonstriksi ( dosis >>>)
 Efek Samping :
 mulut kering, pandangan kabur
 sedasi seperti skopolamin
 dosis >>> : stimulasi ssp  konvulsi
 mual, muntah, keluhan sakit kepala dan efek-efek
seperti pada Atropin
 Indikasi : analgesia dan premedikasi anestesi

 KERACUNAN PETHIDIN :
 depresi ssp : coma  meninggal
 Konvulsi

 SEDIAAN :
 Tablet ( p.o ) : 50 – 100mg
 Ampul ( i.m ): 50mg /ml ( sering digunakan )
CODEIN

 Pada S.S.P :
 analgesia dan hypnose
 potensi : 1/6 . Morfin

 Pada pusat pernafasan :


 depresi
 potensi : 1/3 . Morfin

 Pada pusat batuk :


 depresi
Potensi : 1/3 . morfin
 Efek : <  Addict < ( daripada morfin )
 PENGGUNAAN KLINIK :
Analgesia ( untuk sakit-sakit yang
ringan dikombinasi dengan analgesia
golongan non narkotika )
Anti tussive
PROPOXYPHENE
 Penggunaan utama : analgesic dikombinasi
dengan non narkotika analgesic
 Efek samping :
 rasa berat dikepala
 ngantuk, mual, muntah
 obstipasi pada keadaan berat / over
dosis dapat timbul depresi pernafasan

DIPHENOXILATE
 Dikombinasikan dengan Loperamid  ANTI
DIARE ( kronik )
 = Nalorfin
 = Naloxon
 = Pentazocin
 = Levallorphone
 = Propiram

* Penggunaan Utama antagonist opioid :


- Anti dotum keracunan morfin / narkotika
terutama untuk mencegah terjadinya depresi
pernafasan
- Test untuk mengetahui addict atau tidaknya
( bila disuntik, timbul gejala-gejala
withdrawal dependence psychic dan physic,
maka ia jelas adalah narcotic addict )
NALORFIN
 Efek analgesik = morfin
 Depresi pernafasan
 Sedasi
 Adikasi : ringan ( lebih ringan morfin )

Drug of choice pada keracunan narkotika

 INDIKASI :
 Mengatasi depresi nafas karena morfin dan
intoksikasinya
 Bayi lahir, bila ibunya menggunakan morfin
 Terapi ketergantungan morfin
AGONIST PARTIAL
 PHENTAZOCINE
 Efek terhadap ssp : mirip dengan efek opioid :

Analgesia, sedasi dan depresi pernafasan


 Efek analgesia timbul lebih dini dan hilang lebih
cepat daripada morfin
 Efek terhadap saluran cerna : mirip efek opioid
 Efek terhadap uterus : mirip efek meperidin
 Respon kardiovaskuler terhadap pentazocine
berbeda dengan respon terhadap opioid morfin
yi pada dosis tinggi  peningkatan T.D. dan
frekuensi denyut jantung
 Indikasi : analgesia, premedikasi anestesi
 Toleransi terjadi terhadap efek analgesia
 Ketergantungan fisik dan psikis :<<<<
BUTORFANOL
 Turunan morfinon dan profil kerja mirip
Pentazocine
 Efek Samping :
kantuk
rasa lemah, mengambang dan mual
berkeringat
 Hanya digunakan untuk nyeri akut ( parenteral
)
Tidak untuk payah jantung dan infarct myocard
 Antidote : Naloxone ( Nalorfin dan Levallorphan :
tidak cocok )
 p.o : 4 – 16 mg
 p.i : 1 – 4 mg tiap 3 – 4jam per IM
0,5 – 2mg per IV
 preparat : Stadol 2mg/ml
TERIMA KASIH …… …

Anda mungkin juga menyukai