Anda di halaman 1dari 57

INSTUSSUSEPSI

Tim Jaga Rabu 10 Februari 2021


Definisi
Intussusepsi: Masuknya segmen
usus proksimal (ke arah oral) ke
rongga lumen usus yang lebih
distal (ke arah anal) sehingga
menimbulkan gejala obstruksi
dapat berlanjut hingga strangulasi
usus.
Intusseptum : bagian usus yang
mengalami invaginasi
Intussucipient : bagian usus
yang dimasuki oleh intusseptum
Biasanya bagian proksimal masuk
ke usus bagian distal, namun
dapat terjadi sebaliknya
Epidemiologi
Pada anak, 95% penyebab tidak diketahui, hanya 2-
12 % yang memiliki kelainan pada ususnya sebagai
penyebab.
Sering terjadi pada anak-anak dibanding dewasa
 + 70% kasus invaginasi : usia 5 – 9 bulan
> 50% : usia 1 tahun
10 – 25% : usia > 2 tahun
Angka invaginasi pada dewasa sangat jarang, kurang
lebih 0,08% dari semua pembedahan lewat abdomen
Perbandingan kejadian pria:wanita 3:2
Daerah yang paling sering terjadi adalah ileocaecal
dimana ileum yang lebih kecil apat masuk ke dalam
rongga caecum yang longgar.
Klasifikasi intussusepsi
1. Secara umum
2. Secara Spesifik
3. Secara anatomis
4. Pembagian lain
Klasifikasi secara umum
1. Permanen (fixed)  80% dari intusussepsi
Biasanya symptomatic dan membutuhkan
penanganan.

2. Transient (Reduksi spontan)  20 % kasus


tereduksi spontan. Sebagian besar asymptomatic. Biasanya
ditemukan tidak sengaja pada pemeriksaan CT scan abdomen.
Tidak diperlukan penanganan khusus asalkan tetap
asimptomatic.
Klasifikasi secara anatomis :
Intususepsi dapat dibedakan menjadi 4 tipe :
1. Ileocolika(85%)  ileum prolaps melalui valvula
ileosekalis ke kolon
2. Ileosekal (39%)  valvula ileosekalis mengalami
invaginasi prolaps ke sekum dan menarik ileum di
belakangnya. Valvula tersebut merupakan apex dari
intususepsi.
3. Ileoileocolica (10%)  usus halus ke usus halus
kemudian ke kolon
4. Appendicolica, Caecocolica, Colocolika (2,5%)
5. Jejunjejunal, ileoileal (2,5%)
Klasifikasi secara spesifik
1. Idiopatik (tidak didapatkan Pathological Lead Point): 95%
kasus.
Dinding ileum terminal hipertropi jaringan limphoid akibat
virus (limfadenitis) yang mengikuti suatu gastroenteritis
atau infeksi saluran napas.
2. PLP: 1,5-12% kasus.
Divertikulum Meckel’s, Polyp usus, Duplikasi usus,
periappendicitis, appendecial stump, tumor jinak
(adenoma, leiomyoma, carcinoid, neurofibroma,
hemangioma), keganasan(limfoma sarcoma, leukemia),
trauma abdomen, cincin konstriksi spasme akibat
hiperperistaltik usus
3. Post Operasi : 1%
Bermanifestasi sebagai obstruksi usus halus. Tidak
didapatkan PLP. Biasa timbul setelah operasi diseksi
retroperitoneal (Wilms tumor, neuroblastoma), atau
operasi usus yang masif (abdominoperineal pull-through,
Patofisiologi
• Gangguan motilitas usus (satu komponen bergerak
bebas + satu komponen terfiksir)  arah peristaltik dari
oral ke anal  proksimal usus masuk ke distal usus

• Retrograd intususepsi  gangguan disritmik usus


(misal pada pasien post gastrojejunostomi ) arah dari
anal ke oral

• Perubahan patologi umumnya terjadi pada


intususeptum  kontraksi dari intususeptum 
mesenterium tertekan dan tertarik  aliran vasa
terganggu  edema dan bengkak  oozing lendir
dan darah ke dalam lumen  edema menutup lumen
 obstruksi
Etiologi
• Kasus <1 th
Berdasarkan kepustakaan 90-95% invaginasi pada usia <1
th karena idiopatik. Biasanya saat operasi hanya ditemukan
dinding ileum terminal hipertropi jaringan limphoid akibat
virus (limfadenitis) yang mengikuti suatu gastroenteritis atau
infeksi saluran napas.
• Kasus >2 th
Biasanya dapat dijumpai kelainan usus penyebabnya, misal
Diverticulum Meckel, hemangioma, polip
• Dewasa
Meskipun jarang, kasus dewasa kausa penyebab nya
terbanyak adalah kondisi patologis pada usus, umumnya
adalah neoplasma bak yang bersifat jinak atau ganas.
Etiologi lain seperti diare, lymfoma, riwayat bedah, trauma
juga bisa.
INTUSSUSEPSI
• Etiologi Lain
• Tindakan pijat bayi tradisional, berupa pijat perut
• Pemberian obat anti diare  abnormal peristaltik
• Infeksi rotavirus

Gambar. Pijat perut bayi tradisional


GAMBARAN KLINIS
• Gambaran klasik  TRIAS :
• nyeri perut hilang timbul
• feses “red currant jelly”
• teraba massa pada pemeriksaan fisik

 ditemukan pada ¼ kasus


GAMBARAN KLINIS
• Nyeri perut:
• Timbul mendadak
• Posisi anak menahan nyeri: posisi kaku, menekuk lututnya ke arah
abdomen, hiperekstensi, menggeliat, menahan napas dan muntah
• Serangan rasa nyeri hilang timbul dgn sendirinya scr tiba-tiba
• Interval bebas nyeri anak tenang dan aktivitas biasa, pd interval nyeri anak
tampak gelisah
GAMBARAN KLINIS
• Gerakan usus:
• Berhenti seiring dengan progresifitas dari obstruksi
• Muntah yang bilious
• Perut yang menjadi semakin distensi
GAMBARAN KLINIS
• Feses “red currant jelly” :
• Berwarna seperti darah
• Tanda dari impending iskhemia :
• Peluruhan mukosa
• Kompresi kelenjar mukosa  feses berwarna gelap, gumpalan berlendir
berwarna merah

Merupakan tanda-tanda akhir:


Sudah terjadi kekacauan nilai hasil
laboratorium
GAMBARAN KLINIS
Pitfall:
Jika kita menunggu tampak gambaran:
• feses red currant jelly
• Leukositosis
• gangguan elektrolit

telah terjadi iskhemik dari usus.


PEMERIKSAAN FISIK
• TV normal pada awal perjalanan penyakit
• Saat interval bebas nyeri 
• anak tampak tenang dan nyaman
• pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan
PEMERIKSAAN FISIK
• Interval nyeri :
• terjadi setiap 15-30 menit
• pemeriksaan fisik akan sulit dilakukan
• bising usus meningkat
• Obstruksi mekanis ditandai dengan darm steifung dan darm counter
• perabaan masa berbentuk sosis / massa melengkung bisa di bagian perut
mana saja
• terlihat gambaran gerak usus pada anak yang relatif kurus
• kuadran kanan bawah tampak datar atau kosong (dance sign)  massa
intususepsi tertarik ke arah cephal
PEMERIKSAAN FISIK
• Pemeriksaan colok dubur:
• Ditemukan lendir bernoda darah atau darah  tanda lanjut
• Proses obstruksi usus semakin buruk 
• Iskhemia usus
• Dehidrasi
• Demam
• Takikardia
• Hipotensi
terjadi kemudian secara berurutan  akibat
dari bakteremia dan nekrosis usus.
PEMERIKSAAN FISIK
• Strangulasi kemungkinan perforasi  peritonitis

• Invaginasi yang masuk jauh  dapat ditemukan pada


pemeriksaan colok dubur:
• Ujung invaginatum teraba seperti portio uterus pada
pemeriksaan vagina  pseudoportio atau porsio semu
PEMERIKSAAN FISIK
• Prolaps intususeptum sampai ke anus:
• Tanda serius: iskhemia pada intususeptum
• Bahaya besar: salah mendiagnosis dengan prolaps rectum melakukan
tindakan reduksi
• Pemeriksaan fisik yang cermat yang harus selalu dilakukan jika menemukan
kasus seperti ini:
1. Dengan memasukkan “tongue blade” yang dilumasi
di sepanjang sisi massa yang menonjol tersebut
sebelum dilakukan reduksi
2. Jika “tongue blade” dapat dimasukkan sampai lebih
dari 1-2 cm ke dalam anus sepanjang sisi massa,
maka kita harus mempertimbangkan bahwa ini
bukan prolaps rectum melainakan suatu intususepsi
KRITERIA DIAGNOSIS
1. Invaginasi definitif:
a. Kriteria bedah: ditemukannya invaginasi pada pembedahan
b. Kriteria radiologi:
• Adanya baik gas maupun cairan kontras pada enema pada usus halus
yang berinvaginasi
• Adanya massa intraabdominal yang dideteksi dengan USG.
c. Kriteria autopsi: ditemukan invaginasi pada autopsi
KRITERIA DIAGNOSIS
2. Mungkin invaginasi (probable):
Memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan
3 kriteria minor
3. Possible invaginasi:
 Memenuhi 4 kriteria minor
KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria mayor:
1. Bukti adanya obstruksi saluran cerna:
• Riwayat muntah kehijauan
• Distensi abdomendan tidak adanya bising usus atau bising
usus abnormal
• Foto polos abdomen: air fluid level dan dilatasi usus halus
KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria mayor:
2. Inspeksi:
• Massa di abdomen
• Massa di rectal
• Prolapsus intestinal
• Foto polos abdomen, USG, CT menunjukkan invaginasi
atau massa dari jaringan lunak
KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria mayor:
3. Gangguan vaskuler dan kongsti vena:
• Keluar darah per rectal
• Keluar feses red currant jelly
• Adanya darah saat pemeriksaan rectum
KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria minor:
• Usia <1 tahun
• Laki-laki • Foto polos abdomen:
• Nyeri perut menunjukkan pola gas
• Muntah
usus yang abnormal
• Letargi
• Hangat
• Syok hipovolemik
RADIOGRAFI
• Foto polos abdomen AP tegak dan supine:
• Pada 50% kasus
• Kelainan yg dicari berupa:
• gambaran massa intraabdomen
• distribusi udara usus yang abnormal
• isi feses dalam usus
• penyebaran udara di usus besar yang jarang
• Tanda obstruksi (+)  distribusi udara usus tidak merata, distensi, air fluid level,
herring bone appearance (plica circularis usus )
RADIOGRAFI
• Pertimbangan:
• Foto polos abdomen
memiliki keterbatasan dalam
mendiagnosis intususepsi
• Tidak digunakan sebagai
pemeriksaan penunjang
satu-satunya untuk
mendiagnosis intususepsi..
RADIOGRAFI
• USG:
• Mulai digunakan untuk evaluasi intususepsi pertama kali pada tahun 1977
• Banyak institusi menggunakan USG untuk menegakkan diagnosis
intususepsi dengan pertimbangan:
• Tidak ada bahaya radiasi
• Mampu mengidentifikasi lead point patologis
• Biayanya murah.
RADIOGRAFI

• Pot. Melintang: Target sign / doughnat sign


• Pot. Longitudinal: pseudokidney
• Sbg penuntun utk melakukan reduksi intususepsi
Collon in Loop / Barium Enema
Fungsi sebagai :
• Diagnosis  cupping sign atau coilspring, letak invaginasi
• Terapi  reposisi dengan tekanan tinggi, dilakukan bila belum ada tanda-tanda
obstruksi dan kejadian <24 jam. Reposisi dianggap berhasil jka setelah rectal
tube ditarik dari anus barium keluar bersama feces dan udara.
RADIOGRAFI
• MSCT dan MRI:

• Target sign/doughnat sign


• Mencari patologis penyebab intususepsi
LAPARASKOPI
• Laparaskopi dinilai sangat baik untuk evaluasi pasien
intususepsi jika intervensi bedah diperlukan.
Penatalaksanaan

Dasar pengobatan ;
1. Koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit, atasi asidosis bila
ada
2. Menghilangkan peregangan usus dan muntah dengan
pemasangan NGT
3. Sedatif/muscle relaxant/analgetik
4. Antibiotik

Keberhasilan tatalaksana invaginasi ditentukan oleh cepatnya


pertolongan yang diberikan, jika pertolongan kurang dari 24 jam
dari serangan pertama, maka prognosa akan lebih baik.
PENATALKSANAAN
• Non Operatif:
• Reduksi dengan barium enema
• Reduksi hidrostatik

Kontra indikasi:
– Keadaan umum yang buruk
– Obstruksi usus yang jelas
– Perforasi, dan peritonitis
PENATALKSANAAN

•Reduksi Barium Enema:


• WilliamLadd (1913)
• Tekhnik diagnostik dan terapi utk invaginasi ileokolik (75
% kasus)
• Angka keberhasilan yang besar jika gejala kurang dari
24 jam
• Kontras yang bersifat water-soluble lebih baik
dikarenakan resiko ekstravasasi barium dengan perforasi
• Dengan sedasi
PENATALKSANAAN
•Reduksi Barium Enema:
•Caranya:
•Kateter lurus yang di lubrikasi dimasukkan ke dalam rektum
•Bagian pantat anak di dekatkan untuk mencegah barium
keluar saat di masukkan
•Barium di masukkan melalui selang yang disambungkan ke
wadah pada ketinggian 3 meter diatas meja dan alirannya di
monitor dengan fluoroskopi sampai bantalan invaginasi
teridentifikasi
•Biasanya pada kolon ascending proksimal atau kolon
transversum
•Selama barium dapat masuk, maka reduksi terus dilanjutkan
•Reduksi barium enema dikatakan berhasil jika kontras dapat
PENATALKSANAAN
•Reduksi Hidrostatik dengan udara:
• Holt (1897)
• Monitoring fluoroskopi saat udara masuk melalui rektum
• Tekanan maksimum udara yang aman adalah 80 mmHg untuk
anak yang muda dan 110 – 120 mmHg untuk yang lebih dewasa
• Dipercaya lebih cepat, aman, menurunkan waktu paparan
radiasi dan angka keberhasilan reduksi lebih besar jika
dibandingkan dengan hidrostatik enema
PENATALKSANAAN
•Reduksi Hidrostatik dengan udara:
• Kekurangan penggunaan reduksi udara adalah:
• Kemungkinan berkembangnya tension pneumoperitoneum
• Tidak diketahuinya lead point
• Tidak diketahui keberhasilannya hasil positif palsu.
PENATALKSANAAN
• Reduksi Hidrostatik dengan udara:
• Usaha melakukan tekanan udara ataupun hidrostatik
dilakukan sepanjang tampak kemajuan
• Jika kondisi pasien memungkinkan, maka dua atau
tiga kali reduksi dapat dilakukan sebelum dihentikan.
• Keberhasilan reduksi menggunakan hidrostatik
(1980-1991): sekitar 50 – 78 %
• Dibandingkan dengan udara (1986-1991) : 75 – 94 %
• Perforasi kolon akibat reduksi udara: 0.16 – 2.8 %
• Setelah berhasil dilakukan reduksi dengan fluoroskopi
 observasi selama beberapa jam, infus, puasa 
informed consent keluarga mengenai kemungkinan
rekurensi.
PENATALAKSANAAN
• Open Laparatomi: dilakukan jika
• Reduksi gagal atau tidak tuntas
• Terdapat tanda-tanda peritonitis
• Adanya lead point
• Ditemukan pneumoperitoneum pada pemeriksaan foto polos abdomen
• Persiapan preoperatif:
• antibiotik spektrum luas
• resusitasi cairan
• pemasangan kateter uretra dan NGT utk dekompresi lambung
PENATALAKSANAAN
• Open Laparatomi:
• Insisi tradisional di RLQ  Pada umumnya caecum dan ileum terminal
terlibat dan dapat dijangkau
• Penting untuk memperkirakan panjang dari intususeptum sebelumnya 
pada kasus yang berat bisa sampai ke rectosigmoid  memerlukan insisi
yang lebih lebar
• Jika ujung dari intususeptum sudah teridentifikasi  dilakukan manipulasi
secara gentle ke arah lawannya ke arah posisi normal pada ileum
terminalis
• Gerakan tidak boleh memaksa  mencegah cidera atau perforasi dari
mukosa usus
PENATALAKSANAAN
• Open Laparatomi:
• Jika reduksi manual tidak dapat dilakukan, dan ditemukan bagian usus
yang mengalami iskhemik, atau teridentifikasi terdapat lead point 
reseksi anastomosis usus atau diversi (tergantung kondisi usus yang kita
nilai intraoperatif)
• Intususepsi berulang  ileopexy setelah dilakukan reduksi secara operatif.
PENATALAKSANAAN
• Open Laparatomi:
• Evaluasi setelah dilakukan reduksi:
• menilai viabilitas usus
• apakah ada perforasi
• apakah ditemukan lead point.
• Jika ditemukan bagian usus yang iskhemik  kompres dengan larutan
normal saline hangat menggunakan kasa laparatomi  re-evaluasi.
• Setelah reduksi intususepsi selesai, dilakukan appendectomi incidental
karena lokasi scar operasi ada di tempat yang sama dengan insisi
appendectomi.
PENATALAKSANAAN
• Laparaskopi:
• Pada awalnya dilakukan sebagai sarana diagnostik atau dilakukan pada
kasus yang melalui pemeriksaan penunjang diduga tidak terdapat lead
point
• Pada 70% kasus dilakukan konversi ke laparatomi.
• Belakangan ini dilaporkan nilai keberhasilan reduksi per laparaskopi
meningkat  menurunnya angka konversi laparatomi sampai 5,4%.
• Angka konversi laparaskopi ke laparatomi ada di range 12-40%.
PENATALAKSANAAN
• Laparaskopi:
• Konversi dari laparaskopi ke laparatomi kebanyakan disebabkan oleh
adanya lead point 
65 kasus yang tidak dapat direduksi per laparaskopik 33%
nya memiliki lead point yang mengharuskan dilakukan konvesi ke
laparatomi.
• Kontraindikasi:
• Peritonitis
• Hemodinamik yang tidak stabil
• Distensi usus berat  menyulitkan visualisasi pada saat dilakukan tindakan
laparaskopi
PENATALAKSANAAN
PENATALAKSANAAN
• Laparaskopi:
• Pendekatan per laparaskopik  3 port insisi pada abdomen
• satu insisi di infraumbilical
• dua insisi pada sisi lateral kiri abdomen.
• Reduksi per laparaskopi dilakukan dengan melakukan tekanan secara
gentle pada distal intususeptum menggunakan graspers atraumatik.
• Walaupun bertolak belakang dengan cara laparatomi konvensional,
diperlukan juga untuk melakukan traksi pada bagian proximal dari
intususipien agar reduksi bisa berhasil.
PENATALAKSANAAN
• Laparaskopi:
• Pada pendekatan per laparaskopi, appendectomi insidental tidak rutin
dilakukan.
• Evaluasi vitalitas usus  nilai tanda-tanda iskemia, nekrosis dan
perforasi.
PENATALAKSANAAN
• Laparaskopi:
• Kekurangan  berkurangnya sensasi taktil dari operator sehingga dapat
terjadi kesalahan interpretasi dari patologi organ.
• Jika diperlukan reseksi maka insisi pada infraumbilical diperluas, jika
masih tidak memungkinkan maka dianjurkan untuk melakukan konversi ke
laparatomi.
PENATALAKSANAAN
REKURENSI
• Angka kejadian rekurensi sebesar 4%
• Lebih sering terjadi setelah reduksi barium enema daripada
operasi.
• Durasi gejala pada invaginasi yang rekurens mempunyai waktu
lebih pendek daripada yang pertama kali.
REKURENSI
• Ein melaporkan:
• 35 kasus invaginasi rekurens pada 21 pasienternyata hanya 2 kasus
yang mempunyai spesifik lead point.
• Pada 21 kasus rekuren dilakukan terapi dengan barium enema (tanpa
memperhatikan spesifik lead point-nya pada saat operasi )
• Penatalaksanaan kasus rekurens harus dilihat secara individual.
REKURENSI
• kasus rekurens dapat di diagnosa secara awal, maka dapat
langsung dilakukan reduksi dengan barium enema.
• Karena hal itu dan karena jarang ditemukannya spesifik lead
point, maka beberapa ahli merekomendasikan  reduksi
barium enema sebanyak 4 – 5 kali.
REKURENSI
• Pada anak yang lebih dewasa, karena mempunyai insiden tinggi
tumor ( khususnya limfosarkoma ) maka jika terjadi rekurensi
harus dilakukan operasi segera.
• Pada anak di bawah usia 1 – 2 tahun, reduksi barium enema
berulang dapat dilakukan dan direkomendasikan untuk
dilakukan operasi jika terjadi rekurensi untuk kedua kalinya.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai