Anda di halaman 1dari 206

FIQH JINAYAH

HUKUM PIDANA ISLAM


Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
Session I
Bentuk-bentuk Pidana dalam tradisi Islam
- Tradisi pidana sebelum Islam
- Bentuk-bentuk pidana dalam Al-Qur’an
dan Hadits
Session 2
Sistem Pemidanaan dalam Islam (SPI)
- Hakekat pemidanaan dalam Islam
- Relevansi bentuk pidana Islam
Session 3
SPI – Pengertian umum relevansi bentuk pidana

Session 4
SPI – Teori modern mengenai pemidanaan

Session 5
SPI – Relevansi yuridis
- Relevansi filosofis
- Relevansi sosiologis
Session 6
SPI – Beberapa pilihan bentuk pidana

Session 7
Kedudukan Ilmu Hukum Pidana Islam (KIHPI)
- Hasil ijtihad ulama Indonesia tentang ilmu
hukum pidana Islam

Session 8 (KIHPI)
- Hubungan serta kontribusinya pada hukum
pidana nasional
Session 9 (KIHPI)
- Dimensi filosofis hukum pidana Islam

- Sesudah ikhtiar pengembangan HPI dalam


pembentukan hukum pidana nasional

Session 10
Jenis sanksi pidana dalam hukum pidana
Islam
- Jenis-jenis hukuman dalam HPI

- Perbedaan ijtihad ulama dalam


penerapannya
Session 11 (Idem)
- Prinsip-prinsip dasar hukum jinayat dan
permasalahan penerapan di masa kini

Session 12
Kedudukan HPI dan kontribusinya bagi
pembangunan hukum pidana nasional
- Menggagas hukum Islam berwawasan
Indonesia
Session 13 (Idem)
- Menggagas Hukum Islam dalam
pendekatan politik hukum Indonesia

Session 14 (Idem)
- Kemungkinan kontribusi Hukum Islam bagi
pembangunan hukum pidana Indonesia
Referensi Buku:
- Hanafi, Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1985.
- Hamka Haq, Syariat Islam Wacana dan
Penerapannya, Ujung Pandang Yayasan Al-
Ahkam.
- Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum
Pidana Indonesia, Angkasa Press, Jakarta,
1996.
- Jamal D. Rahman, Wacana Baru Fiqih,
Bandung, 1997.
- Muhammad Wahyuni Wafis, Konstektual
Ajaran Islam, Temprint, Jakarta, 1995.
- Abdurrohman Al-Maliki, Ahmad ad-Da’ur,
Sistem Sanksi dan Hukum Pemidanaan dalam
Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2004.
- Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,Sinar
Grafika, Jakarta, 2004.
- Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum
Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
- Ahmad Khisni, Essay-Essay Pemikiran dalam
Hukum Islam.
- Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika,
Jakarta, 2007.
Session I
Bentuk-bentuk Pidana
dalam tradisi Islam
- Tradisi pidana sebelum
Islam
- Bentuk-bentuk pidana
dalam Al-Qur’an dan Hadits
Pentingnya mempelajari HPI:
 1) kepentingan akademis;
 2) kepentingan praktis;
 3) meningkatnya aspirasi di daerah
terhadap hukum Islam;
 4) pentingnya mencari konsep-
konsep hukum baru.
Pengertian Hukum Pidana Islam
 Merupakan terjemahan dari kata fiqh dan
jinayah (Bhs Arab).
 Fikih secara bahasa berasal dari lafal
faqiha, yafqahu fiqhan, yang berarti
mengerti, paham.
 Fikih secara istilah adalah ilmu tentang
hukum-hukum sya’ra praktis yang diambil
dari dalil-dalil yang terperinci. Atau fikih
adalah himpunan hukum-hukum sya’ra
yang bersifat praktis yang diambil dari
dalil-dalil yang terperinci.
Pengertian Hukum Pidana Islam

 Tindak pidana dalam hukum Islam dikenal


dengan 2 istilah:
 Jinayah
 Jarimah (perbuatan tindak pidana)
 Jinayah menurut bahasa adalah nama bagi
hasil perbuatan seseorang yang buruk dan
apa yang diusahakan. (menurut Abdul
Wahab Khallaf dalam Ilmu Ushul Al Fiqh).
 Jinayah adalah suatu istilah untuk
perbuatan yang dilarang oleh
syara’, baik perbuatan tersebut
mengenai jiwa, harta atau lainnya
(menurut Abdul Qadir Audah dalam
At Tasyri’Al Jina’iy Al Islamiy)
Pengertian Hukum Pidana Islam

 Dalam konteks ini penggunaan


Jinayah sama dengan Jarimah.
 Jarimah adalah perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh syara’ yang
diancam oleh Allah dengan hukuman
had atau ta’zir. (menurut Abu Al
Hasan Ali ibn Muhammad Al Mawardi
dalam Al Ahkam As Sulthaniyah).
Pengertian Hukum Pidana Islam

 Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan


hukum mengenai tindak pidana atau
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh
orang-orang mukallaf (orang yang dapat
dibebani kewajiban), sebagai hasil dari
pemahaman atas dalil-dalil hukum yang
terperinci dari Al-Qur’an dan Hadits.
 Tindak kriminal yang dimaksud
adalah tindakan-tindakan kejahatan
yang mengganggu ketentraman
umum serta tindakan melawan
peraturan perundang-undangan
yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Hadits
ASAS-ASAS UMUM
HUKUM ISLAM
Asas Umum Hukum Islam meliputi
semua bidang dari hukum Islam
yakni :
1. Asas Keadilan. (S. Shad: 26; an-
Nisa’: 135, dan al-Maidah: 8)
2. Asas Kepastian Hukum.(al-Isra’:
15 dan al-Maidah: 95)
3. Asas Kemanfaatan. (al-Baqarah :
178)
Ciri Khas Hukum Islam
1. Merupakan bagian dan bersumber
dari wahyu Ilahi (Agama Islam).
2. Terkait erat dengan iman & akhlaq.
3. Dua istilah kunci: fikih dan syari ‘ah.
4. Terdiri dari 2 bidang: ‘ibadah dan
mu’amalah.
5. Struktur (sumber hukum) berlapis.
6. Dinamis
7. Jam’iyah (Kebersamaan)
Ciri Khas Hukum Islam:

8. Mendahulukan kewajiban daripada hak.


9. dibagi menjadi: (1) taklifi (ahkam al-
khamsah) yg tdr atas 5 kaidah jenis hukum,
yaitu; jaiz, sunnah, makruh, wajib, dan
haram dan hukum wadh’i (yg mengandung:
sebab, syarat, halangan terjadi atau
terwujudnya hubungan hukum).
10. bersifat universal.
11. menghormati martabat manusia secara
keseluruhan.
12. pelaksanaannya digerakkan oleh iman dan
akhlaq.
Ruang Lingkup Hukum Islam
 Hukum Islam tidak membedakan
secara zakelijk antara hukum privat
dan hukum publik. Dalam hukum
privat ada hukum publik dan
sebaliknya.
Ruang lingkup hukum Islam:
1) munakahat (perkawinan)
2) wirasah (kewarisan)
3) mu’amalat (secara khusus = hukum
kebendaan)
4) jinayah (pidana)
5) ahkam al-sulthaniyah (kepala negara dan
pemerintahan)
6) siyar (perang dan damai)
7) mukhashamat (peradilan, kehakiman dan
hukum acara)
Tujuan Hukum Islam:
(Ditinjau dari segi peringkat)

I. Tujuan Primer
- Memelihara Agama
- Memelihara Jiwa
- Memelihara Akal
- Memelihara Kehormatan atau
Keturunan
- Memelihara Harta
Tujuan Hukum Islam:
(Ditinjau dari segi peringkat)
II. Tujuan Sekunder
Terpeliharanya tujuan kehidupan manusia
seperti adat, muamalat, hukum pidana, dll.
III. Tujuan Tersier
Ditujukan untuk menyempurnakan hidup
manusia dengan melaksanakan apa-apa
yang baik dan layak menurut kebiasaan dan
akal sehat, seperti: budi pekerti, etika
beribadah, dll.
Tujuan Hukum Islam
(Maqashid al-Khamsah dilihat dari aspek manusia)

 1. Memelihara Agama.
 2. Memelihara Jiwa.
 3. Memelihara Akal.
 4. Memelihara Keturunan.
 5. Memelihara Harta.
Tujuan Hukum Islam
dilihat dari aspek Pembuat Hukum
 Untuk memenuhi keperluan hidup
manusia yang bersifat primer
(dzaruriyat = kemaslahatan hidup),
sekunder (hajjiyat = kemerdekaan,
keadilan, dan persamaan) dan
tersier (tahsiniyat = selain primer
dan sekunder ).
Sejarah Singkat Hukum Islam
1. Masa Nabi Muhammad Saw (610-
632 M)
2. Masa Khulafaurrasyiduun (632-662
M)
3. Masa Pembinaan, Pengembangan,
dan Pembukuan (abad VII – X M)
4. Masa Kelesuan Pemikiran (abad X-
XIX M)
5. Masa Kebangkitan Kembali (abad
XIX – sampai dewasa ini)
Teori-teori yang Berkaitan dengan Hukum
Islam yang berlaku di Indonesia:

TEORI RECEPTIO IN COMPLEXU


- dikemukakan pertama kali Van den
Berg (1845-1927)
- Orang Islam berlaku penuh terhadap
Hukum Islam sebab telah memeluk
Islam, meski dalam pelaksanaan masih
menyimpang. Contoh: dalam bidang
pewarisan dan perkawinan dijalankan
oleh hakim-hakim Belanda dengan
bantuan Qadhi Islam (penghulu).
Teori-teori yang Berkaitan dengan Hukum
Islam yang berlaku di Indonesia:

TEORI RECEPTIO
- Tokohnya: Van Vallenhoven, Teer
Haar, Snouck Hurgronye.
- Hukum Islam berlaku bagi rakyat
pribumi kalau norma Islam sudah
diterima oleh masyarakat sebagai
Hukum Adat
Teori-teori yang Berkaitan dengan Hukum
Islam yang berlaku di Indonesia:

TEORI RECEPTIO EXIT


- Tokoh: Hazairin

- Teori Receptio harus keluar dari tata


hukum Indonesia karena bertentangan
dengan Al-Qur’an, Hadits, dan UUD 1945
Teori-teori yang Berkaitan dengan Hukum
Islam yang berlaku di Indonesia:

TEORI RECEPTIO A CONTRATIO


- Tokoh: Sayuti Thalib

- Hukum Adat berlaku bagi orang Islam


kalau tidak bertentangan dengan
Hukum Islam (Agama Islam).
Teori-teori yang Berkaitan dengan Hukum
Islam yang berlaku di Indonesia:

TEORI EKSISTENSI
- Tokoh: Ichtijanto, SA

- Eksistensi Hukum Islam dalam Hukum


Nasional , yaitu:
(1) Sebagai bagian integral dari hukum
nasional
(2) Sebagai penyaring hukum-hukum
nasional
Lanjutan Teori Eksistensi:
(3) Diakui kemandiriannya,
kekuatannya, dan diberi status
sebagai hukum nasional
(4) Sebagai bahan utama dan unsur
utama dalam pembentukan hukum
nasional
Teori-teori yang Berkaitan dengan Hukum
Islam yang berlaku di Indonesia:
TEORI KREDO/SYAHADAT/PENERIMAAN
AUTORITA HUKUM
- Tokoh: H.A.R Gibb

- Mengharuskan pelaksanaan Hukum


Islam oleh mereka yang telah
mengucapkan dua kalimah syahadat
- Oleh karena itu, setiap orang bila
menerima Islam sebagai agamanya,
maka ia menerima otoritas Hukum
Islam terhadap dirinya.
ASAS-ASAS
HUKUM PIDANA ISLAM

1. Asas Legalitas : tidak ada


pelanggaran dan hukuman
sebelum ada undang-undang
yg mengaturnya. (al–Isra’: 15 dan al-
An’am: 19).
2. Asas larangan memindahkan
kesalahan kepada orang lain
(al-An’am: 64; Faathir: 18, az-Zumar: 7; an-
Najm: 38, dan al-Mudatsir: 38)
3. Asas praduga tidak bersalah. Sejalan
dengan asas larangan
memindahkan kesalahan kepada
orang lain. Asas praduga tak
bersalah adalah asas yg mendasari
bahwa seseorang yg dituduh
melakukan suatu kejahatan harus
dianggap tidak bersalah sebelum
hakim dg bukti yg meyakinkan
menyatakan dg tegas
kesalahannya.
SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM:

1. Al-Qur’an
2. Sunnah (Hadits) = perbuatan,
perkataan, dan perizinan Nabi
Muhammad SAW
3. Ar-Ra’yu = penggunaan akal
(penalaran) manusia dalam
menginterpretasi ayat-ayat Al-
Qur’an dan Hadits yg bersifat umum.
Ar-Ra’yu mengandung bbrp
pengertian diantaranya:
a. Ijma’ = kebulatan pendapat fuqoha mujtahidin pd suatu
masa atas sesuatu hukum sesudah masa nabi Muhammad
SAW
b. Ijtihad = perincian ajaran Islam yg bersumber dari Al-Qur’an
dan Hadits yg bersifat umum.
c. Qiyas = mempersamakan hukum suatu perkara yg belum ada
ketetapan hukumnya dg suatu perkara yg sdh ada ketetapan
hukumnya. Persamaan ketentuan hukum dimaksud didasari
oleh adanya unsur-2 kesamaan yg sdh ada ketetapan
hukumnya dg yg belum ada ketetapan hukumnya yg disebut
illat.
d. Istihsan = mengecualikan hukum suatu peristiwa dari hukum
peristiwa-2 lain yg sejenisnya dan memberikan kpdnya
hukum yg lain yg sejenis.pengecualian dimaksud dilakukan
karena ada dasar yg kuat.
e. Maslahat Mursalah = penetapan hukum berdasarkan
kemaslahatan (kebaikan, kepentingan) yg tdk ada
ketentuannya dari syara’ baik ketentuan umum
maupun ketentuan khusus.
f. Sadduz zari’ah = menghambat/menutup sesuatu yg
menjadi jalan kerusakan.
g. Urf = kebiasaan yg sudah turun temurun tetapi
tidak bertentangan dg ajaran Islam.
 Larangan-larangan hukum artinya melakukan
perbuatan hukum yang dilarang atau tidak
melakukan perbuatan yang diperintahkan.
 Dengan kata lain, melakukan atau tidak
melakukan perbuatan yang membawa kepada
hukuman yang ditentukan oleh syariat adalah
tindak pidana.
 Dengan demikian tindak pidana mengandung arti
bahwa tiada suatu perbuatan baik secara aktif
maupun secara pasif dihitung sebagai suatu
tindak pidana kecuali hukuman yang khusus
untuk perbuatan atau tidak berbuat itu telah
ditentukan dalam syariat.
Bentuk-bentuk pidana sebelum
Islam:
 Qisas
 Rajam
 Pidana mati lainnya yang diterapkan
sangat keras dan kadang berada di
luar peri kemanusiaan. Terutama
kepada hamba sahaya
Tradisi Pidana sebelum Islam
 Bersifat sangat keras
 Berorientasi kepada pembalasan
terhadap tingkah laku yang
menyimpang dari keharusan umum.
 Pro-elite, didominasi kaum
aristokrat dan borjuis
 Bentuk pidana sebagai alat bagi
penguasa untuk menjamin status
quo.
Pengertian-pengertian:
 Jarimah = suatu istilah untuk perbuatan yg dilarang syara’ baik itu
perbuatan tsb mengenai jiwa, harta, lainnya (perbuatan tindak
pidana).
 Jarimah Hudud = perbuatan pidana yang mempunyai bentuk dan
batas hukumannya di dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad
SAW.
 Jarimah ta’zir = memuliakan/menolong (scr harfiah); hukuman yg
bersifat mendidik yg tidak mengharuskan pelakunya dikenai had
dan tidak pula harus membayar kaffarah atau diat, perbuatan
pidana yg bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh
penguasa (hakim) sbg pelajaran kpd pelakunya.
 Qishash = memotong/membalas (scr harfiah); pembalasan
setimpal yg dikenakan kepada pelaku pidana sbg sanksi atas
perbuatannya.
 Diyat = denda dalam bentuk benda atau harta berdasarkan
ketentuan yg harus dibayar oleh pelaku pidana kpd pihak korban
sbg sanksi atas pelanggaran yg dilakukannya.
Bentuk-bentuk tindak pidana dalam
Hukum Pidana Islam:

1. Hudud (bentuk jamak dari kata had);


Al-Baqarah: 187, An-Nur: 2 dan 4.
2. Jinayat, yang didalamnya mewajibkan
Qisas/Diyat; Al-Baqarah: 178, An-
Nisa:92, Al-Ma’idah: 33,38,45
3. Ta’zir
4. Mukhalafat (mnrt Abdurrahman Al
Maliki dan Ahmad ad Da’ur dlm buku
Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian
dalam Islam)
Beda Ta’zir dan Mukhalafah menurut
Abdurrahman Al maliki dan Ahmad ad-Da’ur:

 Ta’zir: diperuntukkan bagi pelanggaran


thd perintah-2 dan larangan-2 Allah.
 Mukhalafat: pelanggaran thd perintah
Allah untuk mentaati penguasa. Jadi,
mukhalafat adl sanksi khusus yg
ditetapkan oleh penguasa sesuai dg
sanksi yg dijatuhkan atas pelanggaran
thd perintah dan larangannya.
Lanjutan Beda antara Ta’zir dg
Mukhalafat:
 Bentuk-2 perintah dan larangan
penguasa hanya terbatas pd
perkara yg telah ditetapkan syara’
bagi penguasa tsb utk mengatur
sesuai dg pendapat dan ijtihadnya.
 Seperti pengaturan baitul mal,
pembangunan pemukiman,
pembentukan pasukan, dll.
A. Tindak pidana Hudud
 Adalah setiap tindak pidana yang
sanksinya ditentukan oleh al-quran
maupun hadits nabi.
 Bentuk sanksinya: pidana mati atau
hukuman salib, dera, potong tangan
dan/atau potong kaki dan pengasingan
atau pembuangan (diasingkan dalam
jangka waktu tertentu), sanksi religius
(seperti memerdekakan budak atau
puasa kaffarah).
Bentuk sanksi Tindak Pidana Hudud
dikelompokkan menjadi 5 jenis pidana:

 1. Pidana atas jiwa


 2. Pidana atas anggota badan
 3. Pidana atas harta kekayaan
 4. Pidana atas kemerdekaan
 5. dan kewajiban puasa “Kaffarah”
Ad. 1. Pidana atas Jiwa berupa:

a. Pidana bunuh dengan pedang


b. Pidana mati dengan penyaliban
(salib)
c. Pidana mati dengan perajaman
(rajam)
Ad. 2. Pidana atas anggota badan
berupa:

a. Pidana potong tangan dan kaki


b. Pidana potong tangan atau kaki
c. Pidana cambuk (dera)
d. Pidana pemukulan dan/atau
penamparan dengan tangan
e. Pidana pemukulan dengan tongkat
Ad. 3. Pidana atas kemerdekaan
berupa:

a. Pidana pembuangan dan


pengusiran
b. Pidana penahanan atau pidana
penjara
Kesimpulan Hudud:

 Tindak pidana Hudud adalah kejahatan yang


paling serius dan berat dalam hukum pidana
Islam. Karena terkait erat dengan kepentingan
publik. Namun tidak berarti kejahatan hudud
tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama
sekali. Kejahatan hudud ini terkait dengan Hak
Allah
 Tindak pidana ini diancam dengan hukuman
hadd, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai
hak Allah. Ini berarti bahwa baik kuantitas
maupun kualitas ditentukan dan ia tidak
mengenal tingkatan serta harus dilaksanakan.
Tindak pidana dalam kategori Hudud:
1. Zina
2. Tuduhan (palsu) berbuat zina (al-
qadzaf)
3. Minum-minuman keras (Khamar)
4. Murtad (Riddah)
5. Pencurian
6. Pemberontakan (Al-Bagyu)
7. Perampokan
1. ZINA
 Dasar Hukum: QS An-Nuur ayat
(2), An-Nisa’ ayat 15, Al-Isra’ ayat
32, An-Nuur ayat 30-31
 Sanksi Hukum:
- Lajang (Ghairu Muhsan):
jilid/dera/cambuk 100 kali
- muhsan (sdh menikah): Rajam
sampai meninggal
Alat bukti zina ada 3, yaitu:

 4 orang saksi laki-laki yang langsung melihat


perzinaan tersebut.
 Tentu ini tidaklah mudah, karena adanya ancaman
pidana 80 x cambuk bagi mereka penuduh zina
yang tidak terbukti.
 Pengakuan.
 Rasulullah pernah menangguhkan rajam kepada
Ma’iz sampai ia mengaku empat kali, karena rasul
meragukan kesehatan akal Ma’iz. Bahkan Ma’iz
dikembalikan kepada sukunya untuk ditanya
apakah akalnya sehat dan setelah itu baru
dirajam.
 Indikasi-indikasi tertentu, semisal kehamilan.
2. Al-qadzfu
(Menuduh Berbuat Zina)
 Dasar Hukum: An-Nuur ayat 4, 13,
19, 23, 24.
 Sanksi Hukum: 80 kali dera
3. MURTAD (RIDDAH)
 Murtad = keluar dari agama Islam.
 Baik laki-laki maupun perempuan yg
telah baligh dan berakal, diajak kembali
kepada Islam hingga 3 kali disertai
peringatan. Jika kembali, maka akan
diterima. Jika menolak, maka akan
dibunuh.
 Sanksi Hukum: Dibunuh
 Dasar hukum: QS. Al-Baqarah: 217,
an-Nisa’: 137
4. PENCURIAN
 Definisi: mengambil barang milik orang lain secara
sembunyi-sembunyi.
 Dasar Hukum: QS Al-Maidah ayat 38.
 Sanksi Hukum: potong tangan, dg syarat:
a. Nilai harta yg dicuri mencapai satu nishab, yaitu kadar harta
ttt yg ditetapkan sesuai dg UU.
b. Barang curian dapat diperjualbelikan.
c. Barang dan/atau uang yg dicuri bukan milik baitul mal.
d. Pencuri usianya sdg dewasa.
e. Perbuatan dilakukan atas kehendaknya bukan atas paksaan
orang lain.
f. Tidak dalam kondisi krisis ekonomi.
g. Pencuri mencuri bukan karena untuk memenuhi kebutuhan
pokok.
h. Korban pencurian bukan orang tua, atau keluarga
dekat.
i. Pencuri bukan pembantu korbannya. Jika pembatu
rumah tangga mencuri perhiasan.
j. Ketentuan potong tangan, yaitu sebelah kiri. Jika
ia masih mencuri ke-2 kalinya maka yg dipotong
adl kaki kanannya. Jika masih mencuri ke-3
kalinya mk yg dipotong tangan kanannya. Jika ia
masih mencuri ke-4 kalinya maka yg dipotong
kaki kirinya. Jika ia masih mencuri ke-5 kalinya
maka ia harus dijatuhkan pidana mati. (Zainudin
Ali, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta,
h. 67)
5. PEMINUM KHAMAR
 Dasar Hukum : An-Nisa’ ayat 43,
QS Al-Maidah ayat 90-91, Al-
Baqarah ayat 219,
 Sanksi Hukum: dera 40 kali sampai
80 kali (Hamka Haq, Syariat Islam
Wacana dan Penerapannya, Ujung,
Pandang Yayasan Al-Ahkam, h. 216.
Contoh konkrit di Indonesia:
 Qanun (NAD)No.12 Tahun 2003 ttg Minuman khamar
dan sejenisnya.
 Pasal 5, berbunyi; Setiap orang dilarang
mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya.,
 Pasal 26, berbunyi; Setiap orang yg melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dlm pasal 5,
diancam dg ‘uqubat hudud 40 (empat puluh) kali
cambuk.
 Dalam penjelasan pasal-pasal dinyatakan ttg yg
dimaksud dg khamar dan sejenisnya adalah minuman
yg mempunyai sifat atau kebiasaan memabukkan
atas dasar kesamaan illat (sebab), yaitu
memabukkan, sepert ; bir brendi, wiski, tuak,dsbnya.
6. PEMBERONTAKAN
(AL-BAGYU)
 Yaitu mereka yg memberontak thd
negara dan menampakkan
perlawanannya melalui senjata dan
mengumumkan perang terhadap
Daulah Islamiyyah.
 Dasar hukum: QS Al-Hujurat ayat 9
7. PERAMPOK
 Dasar Hukum: QS Al-Maidah ayat
33 dan 34.
 Sanksi Hukum: dibunuh atau
disalib, dipotong tangan dan
kakinya secara bersilang, atau
dibuang dari negeri (tempat
kediamannya)
B. JINAYAT
 Jinayat (mnrt bahasa) bermakna
penganiyaan thd badan, harta, atau
jiwa.
 Jinayat (mnrt istilah) adalah
pelanggaran thd badan yg di
dalamnya mewajibkan qishash
atau harta (diyat). Juga bermakna
sanksi yg dijatuhkan thd tindak
penganiayaan.
Tindak pidana Qisas/Diyat.
 Tindak pidana dalam kategori ini
kurang serius dibanding yang
pertama (hudud) namun lebih berat
daripada ta’zir. Sasaran dari tindak
pidana ini adalah integritas tubuh
manusia, sengaja atau tidak
sengaja. Atau dalam hukum pidana
modern dikenal dengan kejahatan
terhadap manusia.
Bentuk Pembunuhan :

1. Pembunuhan disengaja
2. pembunuhan mirip disengaja
3. Pembunuhan tidak sengaja
4. Pembunuhan terjadi karena
ketidaksengajaan
Ad.1 Pembunuhan Disengaja
 Yaitu sesorang membunuh orang lain dg sesuatu –yg pd
umumnya- dapat membunuh orang lain; atau seseorang
memperlakukan orang lain –yg pd umumnya- perlakuan
itu dapat membunuh orang lain.
 Sanksi hukumnya: dibunuh (wajib dijatuhkan qishash
bagi pelakunya), jika wali orang yg dibunuh tidak
memaafkannya. Apabila ada pengampunan, maka diyat-
nya harus diserahkan kepada walinya, kecuali jika
mereka ingin bersedekah (tidak menuntut diyat).
 Diyat: 100 ekor unta terdiri 30 unta dewasa, 30 unta
muda, 40 unta yg sedang bunting. (HR Tirmidzi)
 Dasar hukumnya: QS Al-Isra’ ayat 33, Al-Baqarah ayat
179.
Kandungan QS Al-Baqarah: 179
 “Dan dalam qisas itu ada (jaminan)
kehidupan bagimu, wahai orang-orang
yang berakal, agar kamu bertakwa.”
 Dalam pidana qisas-diyat terkandung
unsur perlindungan hukum terhadap
korban, pelaku tindak pidana, dan
masyarakat. Pelaku tindak pidana akan
dikenai pidana mati, tetapi hal ini
disepakati terlebih dahulu oleh pihak
keluarga korban.
Kandungan QS Al-Baqarah: 179
 Namun apabila pembunuh dimaafkan oleh
keluarga korban maka dia akan bebas dari
pidana mati tetapi sebagai gantinya dia
harus membayar diyat (ganti rugi), yang
diberikan pada pihak keluarga korban. Hal
inilah mengapa penjatuhan pidana qisas-
diyat yang ada dalam konsep hukum
pidana Islam dikatakan lebih manusiawi
dan lebih adil bagi kelangsungan hidup
manusia.
Pembunuhan disengaja ada 3 macam:
1) memukul dg alat yg biasanya dpt membunuh
seseorang. Misal: pedang, pisau tajam, granat tangan,
besi, kayu besar. Dikenai hukum pembunuhan yg
disengaja.
2) Membunuh seseorang dg alat yg biasanya tidak dpt
membunuh seseorang akan tetapi ada indikasi lain yg
umumnya bisa menyebabkan terbunuhnya seseorang.
Misal batu yg pinggirnya dibuat lancip seperti pisau.
Termasuk dalam jenis pembunuhan yg disengaja.
3) Memperlakukan seseorang dg suatu perbuatan yg
biasanya perbuatan itu dapat membunuh seseorang.
Misal mencekik lehernya, dilempar dari tempat tinggi,
dijerat lehernya dg tali.
Qishash thd muslim karena
membunuh orang kafir
 Dibedakan antara kafir harbiy, dzimmiy, dan musta’min.
 Kafir harbiy = kafir yg tidak diberi jaminan keamanan
maupun hak-hak umum dari negara Islam dan juga
tidak ada jaminan khusus bagi orang kafir tersebut.
Seorang muslim itu tidak dibunuh karena membunuh
kafir itu, ia hanya dikenakan diyat yg jumlahnya
separuh dari diyat muslim. (diriwayatkan dari Amru bin
Syu’aib dari bapaknya dan dari kakeknya).
 Kafir dzimmiy = memperoleh perlakuan sama seperti
seorang muslim dalam hal penjagaan thd darah, harta
dan kehormatannya.
 Kafir Musta’min = kafir yg memiliki perjanjian. (Lihat QS
At-Taubah: 6)
Ad. 2 Pembunuhan Mirip Disengaja
 Adalah pembunuhan yg sengaja dilakukan,
akan tetapi menggunakan alat yg umumnya
tidak bisa membunuh seseorang. Kadang-2
maksudnya hy menyiksa atau memberi
pelajaran tp melampaui batas.
 Ia sengaja memukulnya tp tidak sengaja
membunuhnya. Tdp unsur sengaja dan tidak
sengaja.
 Pelakunya tidak dibunuh tp diyatnya berat
yakni 100 ekor unta, dan 40 ekor diantaranya
sedang bunting. (HR Bukhari, HR Ahmad, HR
Abu Dawud)
Ad. 3 Pembunuhan Tidak Disengaja
Ada 2 Bentuk:
1) Pelaku melakukan tindakan yg ia sendiri tidak bermaksud
menimpakan perbuatan itu kepada pihak yg terbunuh,
namun menimpa orang tsb, yg akhirnya membunuhnya.
Contoh: memundurkan mobil tp ternyata menabrak orang
lain hingga meninggal. Saksi: diyat 100 ekor unta dan
kafarat dg membebaskan budak (jk tidak menjumpai
budak maka puasa 2 bulan berturut-turut).
2) Pelaku membunuh seseorang di negeri kafir yg ia sangka
kafir harbiy ttp ternyata ia muslim namun menyembunyika
ke-Islamannya. Sanksi: kafarat saja, tidak wajib
membayar diyat.
Dasar Hukum: QS An-Nisa ayat 92.
Ad. 4 Pembunuhan yg terjadi
karena ketidaksengajaan
 Adalah seseorang melakukan sesuatu perbuatan
tanpa ia kehendaki, akan tetapi perbuatan itu telah
menyebabkan terbunuhnya seseorang. Misal
seseorang tergelincir dari tempat tinggi yg
mengenai orang lain dan menyebabkan orang tsb
meninggal dunia.
 Sanksi = membayar diyat 100 ekor unta dan wajib
membayar kafarat dg membebaskan budak. Jika ia
tidak membebaskan budak maka wajib puasa dua
bulan berturut-turut.
Pembuktian Pembunuhan

1. Pengakuan
2. Pembuktian: dg 2 orang saksi laki-
laki atau seorang laki-laki dan dua
orang saksi perempuan (QS Al-
Baqarah: 282)
Cara Membunuh Pelaku Pembunuhan
 Syarat:
- Ihsan al-qathlu (eksekusi yg paling baik), yaitu
melakukan eksekusi dg cara yg paling baik
sehingga mempermudah kematian. (HR Muslim)
- Tidak tergesa-gesa. Diundurkan sampai
beberapa waktu yg memungkinkan terjadinya
pemaafaan dari wali (pihak yg terbunuh). Sebab
mereka diberi kesempatan untuk memilih
membunuh (qishash), meminta diyat, atau
memberi pengampunan. (QS Al-baqarah:178)
Bentuk pidana Qisas / Diyat:
1. Pidana mati (Qisas atas jiwa)
2. Pidana perlukaan fisik/anggota
badan lainnya (qisas atas badan)
3. Pidana denda atas jiwa (Diyat atas
jiwa)
4. Pidana denda atas perlukaan
(Diyat perlukaan).
DIYAT
DIYAT ada dua macam:
1. Diyat Berat, yakni 100 ekor unta, 40 ekor unta
diantaranya bunting. Diambil dari pembunuhan
disengaja, asal walinya memilih untuk meminta
diyat. Juga diambil dari kasus pembunuhan mirip
disengaja.
2. Diyat yg tidak berat, yakni 100 ekor unta saja.
Diambil dari pembunuhan tidak disengaja, dan
pembunuhan yg terjadi tidak dg kesengajaan.

 Unta di dalam diyat, merupakan dasar diyat. Ia


tidak bisa dikonversikan.
DIYAT UANG
 Diukur dg emas sebanyak 1000
dinar, dan perak sebanyak 12.000
dirham.
 Dinar syar’i setara dg 4,25 kg
(4.250 gram) emas.
 Dirham syar’i setara dg 2.975 gram
perak. Setara dg 35.700 gram
perak.
Pihak yang Wajib Membayar Diyat
1. Untuk kasus pembunuhan disengaja, diambil dari harta
pembunuh, bukan aqilah-nya.
2. Pembunuhan mirip disengaja, tidak disengaja, dan
pembunuhan yg terjadi karena ketidaksengajaan, maka
diyatnya dibebankan atas aqilah. Jadi, aqilah saja yg
membayar diyatnya. Aqilah laki-laki adalah keluarga-2 dari
pihak laki-2, saudara-2nya, paman-2nya, anak-2 pamannya,
sampai kakek. Kemudian mulai dg sepupunya ke bawah.

 Aqilah = ashabah yg tidak mewarisi kecuali sebagian yg


diwariskan. Bapak dan anak tidak termasuk aqilah dalam
masalah diyat. Barang siapa tidak memilik aqilah, maka
diyatnya diambil dari baitul mal.
DIYAT JANIN
 Yaitu membebaskan seorang budak
laki-laki atau perempuan. Jika ia
tidak mendapatkan budak, diyatnya
10 ekor unta.
DIYAT ANGGOTA TUBUH DAN
TULANG MANUSIA
 ORGAN-ORGAN DI KEPALA
- Dua biji mata = diyat. Satu biji mata = ½
diyat. Sabda Rasulullah SAW, “Pada dua
biji mata dikenakan diyat. Pada satu
biji mata, diyatnya 50 ekor unta”.
- Dua daun telinga = diyatnya idem mata.
- Hidung = terdiri 3 bagian, yakni 2 lubang
hidung dan pemisah di antara keduanya.
(1/3, 2/3, 3/3 (diyat penuh)).
- ORGAN-ORGAN DI KEPALA
- Dua pelupuk mata = ada 4 (1/4, 2/4, ¾, 4/4)
- Dua alis mata = idem mata.
- Gigi geligi = setiap gigi diyatnya 5 ekor unta.
- Rambut = rambut kepala, kumis-cambang, jenggot, dan
rambut di alis mata, pada setiap rambut tsb dikenakan
diyat jika tjd penyerangan yg menyebabkan rambut tdk
bisa tumbuh lagi.
- Dua rahang = diyatnya idem mata.
- Akal = diyat.
- As-sha’r (wajahnya miring ke salah satu sisinya) = diyat.
 ORGAN TUBUH SELAIN KEPALA
- Dua tangan (tangan yg wajib dikenakan diyat, yaitu
tangan dari pergelangan tangan) = diyat. Lebih dari
pergelangan tangan = hukumah.
- Dua kaki (hingga mata kaki) = diyatnya idem mata.
Lebih dari mata kaki = hukumah.
- Jari jemari = setiap jari dua tangan dan dua kaki
diyatnya 10 ekor unta. Setiap ruas jari = diyatnya 1/3
diyat jari-jari (utuh). Ibu jari = diyatnya ½ diyat jari-jari
(utuh).
- Dua buah payudara = diyat (masing-masing ½).
- As-Sulbu (punggung adl tulang yg dimulai dari bahu atas
hingga tulang ekor = diyat.
 ORGAN TUBUH SELAIN DI KEPALA
- Rusuk = kumpulan rusuk mrpk organ yg satu, yakni dada =
diyat penuh. Untuk setiap rusuk dikenai diyat dg perkiraan.
- Dua buah pantat = diyat. Masing-masing ½ diyat.
- Perut = diyat.
- Kandung kemih = diyat.
- Penis = diyat.
- Skrotum (2 biji pelir) = diyat. Masing-masing ½ diyat.
- Labia (keduanya adl daging yg melekat pada farji, yg pd
kedua sisinya melekat mulut kemaluan) = diyat. Masing-
masing ½ diyat.
- Dubur = diyat.
- Tulang belulang (2 tulang selangka, 2 tulang lengan, 2 tulang
betis, 2 tulang paha, 2 tulang hasta, 2 tulang lengan, 2 lengan
(siku bahu), tulang dada, dll = hukumah/ganti rugi.
Mengapa Al-qur’an Perlu Mengatur
Hukum Qisas yang berakar dari
praktek hukum budaya lokal Arab?
 Turunnya Al-Qur’an melalui Pendekatan
Budaya
 Menginkulturasikannya dengan nilai-nilai
baru, seperti nilai keadilan, kesetaraan,
moralitas, dan pertanggungjawaban
individu.
 Prinsip rehabilitatif, bukan semata fungsi
kontrol tapi juga fungsi social engineering,
yaitu untuk menjaga kelangsungan hidup
manusia.
Jenis-jenis tindak pidana yang diancam
pidana mati

 Zina
 Perampokan (Hirabah)
 Murtad
 Pemberontakan
 Pembunuhan sengaja
Proses pengadilan
 Hukuman yang dijatuhkan terhadap
pelaku hanya dapat dilakukan apabila
telah memenuhi syarat-syarat yang ketat.
 Dalam kasus zina:
 Hukuman mati bagi pelaku muhsan (terikat
kawin) hanya dapat dilakukan setelah melalui
proses pembuktian yang ketat, sehingga
dimasa nabi dan sahabat penjatuhan hukuman
ini dapat dihitung dengan jari.
Eksekusi pidana mati
 Apabila perzinaan telah terbukti
maka hakim wajib menjatuhkan
hukuman had kepada para
pelakunya.
 Teori tadakhul:
 Jika seorang pelaku zina telah berkali-
kali melakukan perzinaan kemudian
tertangkap, maka baginya cukup
dijatuhi hukuman sekali saja.
 Akan tetapi jika ia melakukan perzinaan, di
samping itu juga melakukan tindak pencurian
atau tindak pidana lainnya, maka masing-masing
kejahatan dikenakan hukuman. karena kedua
macam tindak pidana itu berbeda tujuannya,
yakni yang satu memelihara kehormatan dan
yang lain menjaga harta.
 Eksekusi dilakukan oleh pemerintah atau orang
atau badan yang diberi wewenang oleh
pemerintah
 Pelaksanaan sanksi harus terbuka dan diketahui
umum, agar hukuman tersebut berdaya preventif.
Tindak pidana ta’zir dan
hukumah
 Adalah setiap tindak pidana yang tidak
ditentukan sanksinya oleh al-quran
maupun hadis nabi, yang berkaitan
dengan tindak pidana yang melanggar
hak Allah dan hak hamba.
 Merupakan bentuk pidana
pengembangan (pidana ijtihadi) yang
tidak didasarkan kepada ketentuan
pidana qisas,diyat maupun had (hudud)
Ta’zir
 Jarimah Ta’zir secara harfiah
bermakna memuliakan atau menolong
 Merupakan bentuk pidana yang
bertujuan mendidik
 Jarimah Ta’zir adalah perbuatan
pidana yang bentuk dan ancaman
hukumannya ditentukan oleh
penguasa (hakim) sebagai pelajaran
kepada pelakunya.
Tindak Pidana yang dikategorikan
dalam pembahasan Ta’zir:
 Tindak pidana ringan seperti
pelanggaran seksual yang tidak
termasuk zina
 Tuduhan berbuat kejahatan selain
zina
 Pencurian yang nilainya tidak
sampai satu nisab harta.
Jenis hukuman yang termasuk
Jarimah Ta’zir:
 Penjara
 Skorsing (pemecatan)
 Ganti rugi
 Pukulan
 Teguran dengan kata-kata
 Dan jenis hukuman lain yang sesuai
dengan pelanggaran dari pelakunya
Pidana Ta’zir dapat dilihat dari dua
segi:

1. Pidana ta’zir sebagai pidana


tambahan yang memberikan
pengajaran melalui pemberatan
thd kadar ancaman pidana atas
badan yang sudah ditentukan,
berupa:
- pemukulan atau penamparan
- penahanan atau kurungan
2. Ta’zir dilihat sebagai bentuk pidana
yang merefleksikan adanya peluang
bagi hakim, pejabat pembentuk UU,
maupun para ahli hukum untuk
melakukan pembaharuan atau
ijtihad (inovasi) thd berbagai
ketentuan mengenai bentuk pidana
yang sudah ditentukan dalam Al-
Quran dan Hadits.
Tindak pidana Ta’zir dibedakan
atas 3 bagian:
1. Tindak pidana hudud atau qisas yang
subhat atau tidak memenuhi syarat
namun sudah merupakan maksiat. Misal
percobaan pencurian, pencurian di
kalangan keluarga.
2. Tindak pidana yang ditentukan oleh
alquran dan hadits namun tidak
ditentukan sanksinya. Misal penghinaan,
saksi palsu, tidak melaksanakan amanah.
3. Tindak pidana yang ditentukan
pemerintah untuk kemaslahatan umum.
Dalam hal ini ajaran Islam dijadikan
pertimbangan penentuan kemaslahatan
umum.
 Landasan dan penentuan hukumnya
didasarkan pada ijma’ (konsensus)
kesepakatan manusia, berkaitan dengan
hak negara muslim untuk mencegah
tindakan dan menghukum semua
perbuatan yang tidak pantas, yang
menyebabkan kerugian atau kerugian
fisik, sosial, politik, finansial atau moral
bagi individu atau masyarakat secara
keseluruhan.
Hukumah
Merupakan pidana atas harta yang dikenakan
sebagai pengganti denda (diyat) atas
kasus-kasus delik yang diancamkan dg
pidana denda tetapi ketentuan mengenai
ancaman pidananya belum ditentukan
dalam Al-Qur’an dan Hadits. Umumnya,
hukumah dikenakan sebagai pidana atas
delik atas jiwa dan delik perlukaan yang
diancam dengan pidana qisas dan diyat.
 Dalam sejarah hukum pidana Islam
tindak pidana yang diancam dengan
hudud atau qisas/diyat hampir tidak
pernah dilakukan, kecuali dalam perkara
yang sangat sedikit.
 Pada umumnya tindak pidana yang
banyak terjadi adalah yang diancam
dengan ta’zir.karena perhatian ajaran
Islam atas kemaslahatan manusia sangat
besar.
Simpulan

 Praktek pemidanaan sebelum Islam


sangat ekstrem.
 Setelah Islam, sebagiannya
merupakan kelanjutan dari tradisi
sebelumnya dengan penghalusan
dan penyederhanaan
penerapannya, seperti tadisi qisas
dan rajam.
Simpulan

 Penyederhanaan mencerminkan
semangat untuk menerapkan sistem
pidana yang lebih rasional, adil, dan
manusiawi.
 Dalam rangka menyantuni
kepentingan korban dan
masyarakat pada umumnya, dan
kepentingan hukum itu sendiri.
Simpulan

 Bentuk-bentuk pidana dalam Al-


Qur’an dan Hadits sangat terbuka
untuk dikembangkan lebih lanjut.
Seperti Ta’zir dan Hukumah.
Asalkan sesuai dengan petunjuk Al-
Qur’an dan Hadits.
Session 2

Sistem Pemidanaan dalam Islam


(SPI)
- Hakekat pemidanaan dalam
Islam
- Relevansi bentuk pidana Islam
Sistem Pemidanaan dalam Islam

Hakekat Pemidanaan dalam


Islam
Konsep Pemidanaan dalam Tradisi Islam
meliputi:
1. Pidana atas jiwa

2. Pidana atas anggota badan

3. Pidana atas harta

4. Pidana atas kemerdekaan


Sanksi Hukum dalam Tradisi Islam
Memiliki Dua Kelebihan:

1. Mempunyai kaitan dengan sanksi


agama
2. Mempunyai dua sifat sekaligus,
yaitu pidana dan perdata
Contoh:

 Ad. 1. sanksi Puasa “Kaffarah” yang


semata-mata bersifat religius dapat
dikenakan baik dalam kasus
pelanggaran yang bersifat pidana,
perdata, maupun dalam kasus-
kasus yang sama sekali tidak
bersifat hukum seperti kasus
hubungan suami isteri di siang hari
di bulan Ramadhan.
Contoh:

 Ad 2. dalam konsep qisas dan diyat,


selain mengandung sifat pidana
juga perdata. Hak korban sangat
diperhatikan.
 Qisas dan Diyat dikelompokkan tersendiri
karena di dalamnya dianggap terkandung
hak manusia sehingga mengandung unsur
perdata
 Pidana Had (Hudud) dan Ta’zir dipisahkan.
Bentuk-bentuk pidana had (hudud) dalam
Al-Qur’an dan Hadits bersifat tetap, pasti
dan tidak dapat dirubah
 Untuk itu, perkembangan baru ditampung
melalui konsep pidana Ta’zir
Menurut Fazlur Rahman (Guru Besar
Studi Islam University of Chicago)
 Sanksi hukum pidana berpusat pada
konsep had (hudud) yang berarti:
 Pencegahan (deterrence)
 Pembinaan (Reformation)

Sehingga merupakan “fixed punishment”


o Oleh karena itu pidana yang bersifat
pengembangan dikelompokkan sendiri
sebagai pidana ta’zir, untuk menjawab
berbagai perkembangan baru yang belum
diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Relevansi Bentuk Pidana Islam – terhadap
Pembaharuan Bentuk-Bentuk Pidana di
Indonesia
 Jika jawabannya Positif --- maka tradisi
pidana Islam relevan dan menjadi
dasar adopsi dalam rangka
pembentukan hukum pidana nasional
 Jika jawabannya Negatif --- maka
tradisi pidana Islam tidak relevan
untuk dijadikan sebagai bahan dalam
rangka pembentukan hukum pidana
nasional khususnya berkenaan dengan
ketentuan mengenai bentuk pidana
Relevansi Tradisi Pidana Islam sebagai
bahan KUHP Baru harus memperhatikan:

 Landasan Historis
 Landasan Yuridis
 Landasan Filosofis
 Landasan Sosiologis
Masih Relevankan Hukum Pidana
Islam diterapkan?

 Jawabannya: Tentu masih.


 Sebagai sistem hukum yang telah
ada sejak abad ke 7 atau 14 abad
yang lalu, kini hukum Pidana Islam
dianggap sudah ketinggalan
dibandingkan sistem hukum pidana
barat, baik continental ataupun
common law.
Anggapan ini sangat tidak adil.
 Karena pada masa lalu hukum
Islam telah menjadi pionir dalam
penerapannya dengan landasan
yang valid, alquran dan sunnah
nabi. Bukan berdasarkan dugaan-
dugaan manusia semata mengenai
hal-hal yang dirasa adil.
Alasan yang sering mengemuka:
 Adalah masyarakat abad 20 telah
berubah dan tentu dengan tatanan
dan kebutuhan yang berbeda
dengan masa lalu termasuk
hukumnya. Lalu klaim itu meluas
dengan mengatakan syariat Islam
tidak lagi selaras dengan kehidupan
global karena ia terlalu keras bagi
masyarakat yang menjunjung tinggi
HAM.
Disinilah letak kesalahannya:
 Hukum pencipta tidak ada bandingannya
(Syariat Islam X man made law).
 Pencipta maha mengetahui masa lalu,
sekarang dan akan datang, paling
mengerti kebutuhan, sifat, tabiat,
kecenderungan dan segala aspek pada
manusia ciptaan-Nya.
 Tuhan tidak memiliki kepentingan pada
ciptaannya.
 Manusia dalam membuat hukum
memiliki kepentingan tertentu dan
sebagai makhluk ia adalah lemah.
Kesimpulan:
 Tidak sah mengklaim bahwa syariat
Islam ketinggalan zaman dan
hukum buatan manusia lebih baik.
Karena faktor pembandingnya tidak
satu tingkatan atau tidak relevan
untuk dibandingkan. Tidak mungkin
membandingkan antara produk
hukum pencipta dengan produk
hukum dari hasil ciptaannya.
Session 3

Sistem Pemidanaan
dalam Islam
Tujuan Pemidanaan dalam Islam:

1. Bersifat mencegah (ar-rad’u


wazzajru)
2. Mendidik (at-tahzib)
 Tujuan dan fungsi pemidanaan sama
dengan tujuan umum Hukum Islam
yaitu mewujudkan dan memelihara
kemaslahatan umat manusia demi
kebahagiaan dunia dan akherat.
Menurut Penelitian para ulama,
ada 2 macam Tujuan Pemidanaan:

1. Tujuan relatif (al-gharad al-qarib),


yaitu untuk menghukum (menimpa
rasa sakit) kepada si pelaku tindak
pidana yang pada umumnya dapat
mendorongnya melakukan taubat,
sehingga menjadi jera dan tidak
mau mengulangi kembali
melakukan jarimah dan orang
lainpun tidak berani mengikuti
jejaknya.
2. Tujuan absolut (al-gharad al-ba’it)
yaitu untuk melindungi masyarakat
umum.
Session IV

TEORI MODERN MENGENAI


TEORI PEMIDANAAN
Teori Modern Mengenai Teori
Pemidanaan:
1. Pandangan Retribusion (Pengimbalan
dan Pembalasan)
dalam pandangan ini diandaikan bahwa
setiap individu bertanggung jawab atas
perbuatannya sendiri.
2. Pandangan Utilitarian Prevention
(Deterrence)
Pandangan Utilitarian dianggap sebagai
reaksi terhadap pandangan klasik yang
bersifat restributif. Pandangan ini
melihat punishment sebagai cara untuk
mencegah atau mengurangi kejahatan.
3. Pandangan Behavioral Prevention
Pandangan ini bertitik tolak dari tingkah
laku pribadi si terpidana itu sendiri.
Proses pemidanaan dilakukan dg
orientasi murni kpd individu terpidana
(individualisasi pidana). Seperti pidana
atas kemerdekaan.
SESSION V

RELEVANSI BENTUK PIDANA


Relevansi Bentuk Pidana

1. Relevansi Filosofis dan Yuridis


Secara filosofis, tradisi pidana dari sumber
Fiqih Islam yang akrab di kalangan
mayoritas penduduk Indonesia, yang
menjadi landasan yg kuat untuk dijadikan
sumber bagi usaha pembaharuan hukum
pidana nasional. Secara yuridis-
konstituional tidak ada larangan untuk
menjadikan tradisi hukum pidana Islam
sbg sumber pembentukan KUHP nasional.
Relevansi Bentuk Pidana

2. Relevansi Sosiologis
a. Dari Kacamata Teori Kekuasaan
tergantung kpd kekuasaan politik
yang mendukung sistem pidana Islam
b. Dari Kacamata Teori Pengakuan
tergandung kpd sejauh mana
masyarakat mengakui dan
menerimanya sebagai bagian dr
kehidupan manusia.
Beberapa Pilihan Bentuk Pidana Islam yang
relevan dalam pembentukan KUHP Baru:

 Pidana mati – pelaksanaan bersifat


limitatif dan alternatif terakhir
 Pidana ganti rugi
 Pidana pengenaan kewajiban agama
Akar Historis dan Sosiologis
Hukum Islam di Indonesia
 Sejak berabad-abad yang lalu, hukum
Islam itu telah menjadi hukum yang
hidup di tengah-tengah masyarakat
Islam di negeri ini.
 Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat
dilihat dari banyaknya pertanyaan yang
disampaikan masyarakat melalui
majalah dan koran, untuk dijawab oleh
seorang ulama atau mereka yang
mengerti tentang hukum Islam.
 Ada ulama yang menerbitkan buku soal
jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan
jawaban mengenai hukum Islam yang
membahas berbagai masalah.
 Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul
Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin
mempunyai Himpunan Putusan Tarjih.
Buku Ustadz Hassan dari Persis, Soal
Jawab, dibaca orang sampai ke negara-
negara tetangga.
 tergantung kepada komposisi besar-
kecilnya komunitas umat Islam,
seberapa jauh ajaran Islam diyakini
dan diterima oleh individu dan
masyarakat, dan sejauh mana pula
pengaruh dari pranata sosial dan politik
dalam memperhatikan pelaksanaan
ajaran-ajaran Islam dan hukum-
hukumnya dalam kehidupan
masyarakat itu.
 perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara di masa lampau,
upaya untuk melaksanakan ajaran-
ajaran Islam, termasuk hukum-
hukumnya, nampak mendapat
dukungan yang besar, bukan saja dari
para ulama, tetapi juga dukungan
penguasa politik, yakni raja-raja dan
para sultan.
 Kesultanan Aceh, Deli, Palembang,
Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan,
Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta
Ternate dan Tidore. Juga di
Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan
Banten dan Cirebon di Jawa. Semua
kerajaan dan kesultanan ini telah
memberikan tempat yang begitu
penting bagi hukum Islam.
 Kerajaan juga membangun masjid besar
di ibukota negara, sebagai simbol betapa
pentingnya kehidupan keagamaan Islam
di wilayah kerajaan mereka.
 Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan
oleh para penghulu dan para kadi, yang
diangkat sendiri oleh masyarakat Islam
setempat.
 Contoh: di Batavia yang dikuasai
Belanda, masyarakatnya berasal
dari latar belakang suku yang
berbeda. Mereka memilih hukum
Islam yang dapat menyatukan
mereka dalam suatu komunitas
yang baru.
 Menyadari bahwa hukum Islam berlaku
di Batavia itu, maka Belanda kemudian
melakukan telaah tentang hukum Islam,
dan akhirnya mengkompilasikannya ke
dalam Compendium Freijer yang
terkenal itu. Compendium Freijer ditulis
dalam bahasa Belanda dan bahasa
Melayu tulisan Arab, diterbitkan di
Batavia tahun 1740.
 Compendium Freijer menghimpun
kaidah-kaidah hukum keluarga dan
hukum perdata lainnya, yang diambil
dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii,
tetapi juga menampung berbagai aspek
yang berasal dari hukum adat, yang
ternyata dalam praktek masyarakat di
masa itu telah diadopsi sebagai bagian
dari hukum Islam.
 Penguasa VOC di masa itu menjadikan
kompendium itu sebagai pegangan para
hakim dalam menyelesaikan perkara-
perkara di kalangan orang pribumi, dan
diberlakukan di tanah Jawa.
 Di pulau Jawa, masyarakat Jawa,
Madura, Sunda dan Banten
mengembangkan hukum Islam itu
melalui pendidikan, sebagai mata
pelajaran penting di pondok-pondok
pesantren.
 Benturan (terutama di bidang hukum waris
dan hukum tanah) antara Hk Adat dan Hk
Islam terjadi, namun proses menuju
harmoni pada umumnya berjalan secara
damai. Masyarakat lama kelamaan
menyadari bahwa hukum Islam yang
berasal dari “langit” lebih tinggi
kedudukannya dibandingkan dengan
hukum adat yang lahir dari budaya suku
mereka.
 Proses Menuju Harmoni Terusik ketika
Kolonial Belanda “menemukan” Hukum
Adat sebagai cara untuk
mempertahankan kolonialisme di
Indonesia dengan politik devide et
impera-nya.
 Hukum Adat akan membuat suku-suku
terkotak-kotak. Sementara hukum
Islam akan menyatukan mereka dalam
satu ikatan.
 Dari sini lahirlah ketentuan Pasal
131 jo Pasal 163 Indische
Staatsregeling, yang tegas-tegas
menyebutkan bahwa bagi penduduk
Hindia Belanda ini, berlaku tiga
jenis hukum, yakni:
1. Hukum Belanda untuk orang Belanda
2. Hukum Adat bagi golongan Timur Asing -–
terutama Cina dan India — sesuai adat
mereka
3. Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku
mereka masing-masing. Di samping itu
lahir pula berbagai peraturan yang
dikhususkan bagi orang bumiputra yang
beragama Kristen.
 Hukum Islam, tidak lagi dianggap
sebagai hukum, terkecuali hukum
Islam itu telah diterima oleh hukum
Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya
adalah hukum Adat, bukan hukum
Islam. Inilah teori resepsi yang
disebut Professor Hazairin sebagai
“teori iblis” itu.
 Debat mengenai Piagam Jakarta terus
berlanjut, baik dalam sidang
Konstituante maupun sidang MPR di
era Reformasi. Ini semua
menunjukkan bahwa sebagai aspirasi
politik, keinginan untuk mempertegas
posisi hukum di dalam konstitusi itu
tidak pernah padam, walau tidak
pernah mencapai dukungan mayoritas.
 Republik Indonesia yang
diproklamasikan tanggal 17 Agustus
1945 itu, dilihat dari sudut pandang
hukum, sebenarnya adalah
“penerus” dari Hindia Belanda. Jadi
bukan penerus Majapahit, Sriwijaya
atau kerajaan-kerajaan Nusantara
di masa lalu.
 Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD
1945 yang mengatakan bahwa “segala
badan negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut undang-
undang dasar ini”. Dalam praktek yang
dimaksud dengan peraturan yang ada
dan masih langsung berlaku itu, tidak
lain ialah peraturan perundang-undangan
Hindia Belanda.
Setelah MERDEKA
 Keinginan kuat untuk mengadakan
pembangunan hukum nasional.
 HTN dan HAN berkembang pesat
 Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata
peninggalan Belanda telah begitu banyak
diubah.
 Namun Wetboek van Sraftrechts atau KUH
Pidana masih tetap berlaku. Tetapi
berbagai norma hukum baru yang
dikategorikan sebagai tindak pidana
khusus telah dilahirkan.
Kaidah-kaidah dalam merumuskan
Hukum Positif:
 faktor-faktor filosofis bernegara
 jiwa dan semangat bangsa kita
 komposisi kemajemukan bangsa
kita
 kesadaran hukum masyarakat
 kaidah-kaidah hukum yang hidup,
tumbuh dan berkembang di tengah-
tengah masyarakat.
Keberlakuan Hukum Islam
di Indonesia
 Hukum Islam di Indonesia,
sesungguhnya adalah hukum yang
hidup, berkembang, dikenal dan
sebagiannya ditaati oleh umat Islam di
negara ini.
 Hukum-hukum di bidang peribadatan,
maka praktis hukum Islam itu berlaku
tanpa perlu mengangkatnya menjadi
kaidah hukum positif, seperti
diformalkan ke dalam bentuk peraturan
perundang-undangan.
 HAN : untuk memudahkan
pelaksanaan dari suatu kaidah
hukum Islam. Contoh di bidang
hukum perburuhan, aturan yang
memberikan kesempatan kepada
buruh beragama Islam untuk
menunaikan sholat Jum’at misalnya.
 Sebagai konsekuensi falsafah
bernegara kita, yang menolak asas
“pemisahan urusan keagamaan
dengan urusan kenegaraan” yang
dikonstatir ole Professor Soepomo
dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika
para pendiri bangsa menyusun
rancangan undang-undang dasar
negara merdeka.
 Terkait dengan hukum perdata
seperti hukum perkawinan dan
kewarisan, negara kita
menghormati adanya pluralitas
hukum bagi rakyatnya yang
majemuk, sejalan dengan prinsip
Bhinneka Tunggal Ika.
 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
misalnya, secara tegas menyebutkan
bahwa perkawinan adalah sah dilakukan
menurut hukum agamanya masing-
masing dan kepercayaannya itu. Di sini
bermakna, keabsahan perkawinan bagi
seorang Muslim/Muslimah adalah jika
sah menurut hukum Islam, sebagai
hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Contoh Transformasi kaidah-kaidah
hukum Islam ke dalam hukum positif:

 UU tentang Wakaf
 UU tentang Zakat
 UU tentang Perbankan Syari’ah
 UU tentang Asuransi Syari’ah
 Rancangan Undang-Undang tentang
Hukum Terapan Pengadilan Agama.
 Subyek hukum dari hukum positif
ini nantinya berlaku khusus bagi
warganegara yang beragama Islam,
atau yang secara sukarela
menundukkan diri kepada hukum
Islam.
“Krusial” = Kaidah Hk Pidana Islam
dikaitkan dengan Hk Pidana Positif
 Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam
syariat itu dapat dibedakan ke dalam
hudud dan ta’zir.
 Hudud adalah kaidah pidana yang secara
jelas menunjukkan perbuatan hukumnya
(delik) dan sekaligus sanksinya.
 Sementara ta’zir hanya merumuskan
delik, tetapi tidak secara tegas
merumuskan sanksinya.
 Kalau kita membicarakan kaidah-kaidah di
bidang hukum pidana ini, banyak sekali
kesalahpahamannya, karena orang
cenderung untuk melihat kepada
sanksinya, dan bukan kepada perumusan
deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain
hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam
kasus pembunuhan, rajam untuk
perzinahan, hukum buang negeri
(pengasingan) untuk pemberontakan
bersenjata terhadap kekuasaan yang sah.
 Kalau kita melihat kepada
perumusan deliknya, maka delik
hudud pada umumnya mengandung
kesamaan dengan keluarga hukum
yang lain, seperti Hukum Eropa
Kontinental dan Hukum Anglo
Saxon. Dari sudut sanksi memang
ada perbedaannya.
 Kaidah-kaidah syariat di bidang hukum
pidana, hanya mengatur prinsip-prinsip
umum, dan masih memerlukan
pembahasan di dalam fikih, apalagi jika
ingin transformasi ke dalam kaidah
hukum positif sebagai hukum materil.
Ayat-ayat hukum yang mengandung
kaidah pidana di dalam syariat belum
dapat dilaksanakan secara langsung,
tanpa suatu telaah mendalam untuk
melaksanakannya.
 Problem lain ialah jenis-jenis
pemidanaan (sanksi) di dalam
pidana hudud.
 Pidana penjara jelas tidak dikenal di
dalam hudud
 Pidana mati dapat diterima, walau ada
yang memperdebatkannya
 Pidana rajam, sebagian besar belum
menerima meski secara tegas ada
dalam hudud.
Ada 2 Pendapat:

1. Kelompok literalis mengatakan tidak


ada kompromi dalam melaksanakan
nash syar’iat yang tegas.
2. Sementara kelompok moderat,
melihatnya paling tinggi sebagai
bentuk ancaman hukuman maksimal
(ultimum remidium), yang tidak selalu
harus dijalankan di dalam praktik.
Kesimpulan Relevansi Hukum
Islam:
 syari’at Islam, hukum Islam maupun
fikih Islam, adalah hukum yang hidup
dalam masyarakat Indonesia.
Mengingat Indonesia adalah negara
dengan penduduk yang majemuk,
maka dalam hal hukum keluarga dan
kewarisan, maka hukum Islam itu
tetaplah dinyatakan sebagai hukum
yang berlaku.
 jika ada pemeluk agama lain yang
mempunyai hukum sendiri di bidang itu,
biarkanlah hukum agama mereka.
Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
hukum perdata lainnya, seperti hukum
perbankan dan asuransi, negara dapat
pula mentransformasikan kaidah-kaidah
hukum Islam di bidang itu dan
menjadikannya sebagai bagian dari
hukum nasional kita.
 Sementara dalam hal hukum publik,
syariat Islam itu sendiri hanya
memberikan aturan-aturan pokok,
atau asas-asasnya saja, maka
biarkanlah ia menjadi sumber
hukum dalam merumuskan kaidah-
kaidah hukum nasional.
 Di manapun di dunia ini, kecuali
negaranya benar-benar sekular,
pengaruh agama dalam
merumuskan kaidah hukum nasional
suatu negara, akan selalu terasa.
 Contoh: Hindu di India, Buddhisme
di Thailand dan Myanmar, Katolik di
Philipina
 Hukum Islam adalah hukum yang
hidup dalam masyarakat Indonesia,
maka negara tidak dapat
merumuskan kaidah hukum positif
yang nyata-nyata bertentangan
dengan kesadaran hukum
rakyatnya sendiri.
 Demokrasi harus mempertimbangkan
hal ini. Jika sebaliknya, maka negara
kita akan menjadi negara otoriter
yang memaksakan kehendaknya
sendiri kepada rakyatnya.
Session VI
SEJARAH DAN
KEDUDUKAN HUKUM
PIDANA ISLAM
Pengertian Hukum Pidana Islam

 Merupakan terjemahan dari kata fiqh dan


jinayah (Bhs Arab).
 Fikih secara bahasa berasal dari lafal
faqiha, yafqahu fiqhan, yang berarti
mengerti, paham.
 Fikih secara istilah adalah ilmu tentang
hukum-hukum sya’ra praktis yang diambil
dari dalil-dalil yang terperinci. Atau fikih
adalah himpunan hukum-hukum sya’ra
yang bersifat praktis yang diambil dari
dalil-dalil yang terperinci.
Pengertian Hukum Pidana Islam

 Tindak pidana dalam hukum Islam dikenal


dengan 2 istilah:
 Jinayah
 Jarimah (perbuatan tindak pidana)
 Jinayah menurut bahasa adalah nama bagi
hasil perbuatan seseorang yang buruk dan
apa yang diusahakan. (menurut Abdul
Wahab Khallaf dalam Ilmu Ushul Al Fiqh).
 Jinayah adalah suatu istilah untuk
perbuatan yang dilarang oleh
syara’, baik perbuatan tersebut
mengenai jiwa, harta atau lainnya
(menurut Abdul Qadir Audah dalam
At Tasyri’Al Jina’iy Al Islamiy)
Pengertian Hukum Pidana Islam

 Dalam konteks ini penggunaan


Jinayah sama dengan Jarimah.
 Jarimah adalah perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh syara’ yang
diancam oleh Allah dengan hukuman
had atau ta’zir. (menurut Abu Al
Hasan Ali ibn Muhammad Al Mawardi
dalam Al Ahkam As Sulthaniyah).
Pengertian Hukum Pidana Islam

 Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan


hukum mengenai tindak pidana atau
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh
orang-orang mukallaf (orang yang dapat
dibebani kewajiban, orang Islam yg sdh
baligh dan berakal sehat), sebagai hasil
dari pemahaman atas dalil-dalil hukum
yang terperinci dari Al-Qur’an dan
Hadits.
 Tindak kriminal yang dimaksud
adalah tindakan-tindakan kejahatan
yang mengganggu ketentraman
umum serta tindakan melawan
peraturan perundang-undangan
yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Hadits
Sejarah dan Kedudukan Hukum
Pidana Islam:
 Hk Pidana Islam (Fiqih Jinayah)
mrpk bag dari syariat Islam
 HPI berlaku sbg hk publik, yi hk yg
diatur dan diterapkan oleh
pemerintah selaku penguasa yang
sah (ulil amri), yg pd masa itu
dirangkap oleh Rosulullah kmd
diganti oleh Khulafaur Rasyidin
 Lihat QS. Al-Maidah: 48
(QS. Al-Maidah: 48)
 Artinya: “dan Kami telah turunkan
kepadamu Al-Qur’an dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya) dan batu ujian thd kitab-
kitab yang lain itu maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dg meninggalkan
kebenaran yang telah datang kpdmu”
Isi Kandungan QS Al-Maidah 48:
 Menegaskan ttg adanya kewajiban
utk menerapkan dan melaksanakan
hk syariat Allah yaitu Al-Qur’an
 Jadi, HPI bukanlah hukum yg
dilaksanakan oleh perorangan
(individu), melainkan diatur dan
dilaksanakan oleh ulil amri selaku
wakil dari seluruh rakyat.
Dasar Hukum Ulil Amri dalam
bertindak:
Dapat dilihat dalam hampir setiap ayat yang berkenaan
dg hukuman.
 Seperti hukuman Zina (QS. An-Nuur: 2)

 Penuduh Zina (Qadzaf) (QS. An-Nuur: 4)

 Minum Minuman Keras (Syurbul Khamr) (QS Al-


Baqaroh: 219, An-Nisa’: 43, Al-Ma’idah: 90).
 Pencurian (Al-Maidah: 38)

 Perampokan (QS Al-Maidah: 33)

 Pemberontakan (QS Al-Hujuraat: 9-10)

 Murtad / Riddah (QS Al-Baqaroh: 217)


1. ZINA
 Zina (QS. An-Nuur: 2) Artinya: Pezina
perempuan dan pezina laki-2, deralah
masing-2 dari keduanya seratus kali, dan
janganlah rasa belas kasihan kpd
keduanya mencegah kamu utk
menjalankan agama (hukum) Allah, jk
kamu beriman kpd Allah dan hari
kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh
sebagian orang-orang yg beriman.
2. PENUDUH ZINA (QADZAF)

 Penuduh Zina (QS. An-Nuur: 4) Artinya:


Dan orang-2 yang menuduh
perempuan-2 yg baik (berzina) dan
mereka tdk mendatangkan 4 org saksi,
mk deralah mereka 80 x, dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka untuk
selama-lamanya. Mereka itulah orang-2
yg fasik.
4. PEMINUM MINUMAN KERAS
(SYURBUL KHAMR)
 Mnrt Imam Malik dan Abu Hanifah,
hukuman utk khmar adl dera 80 x.
 Mnrt Imam Syafi’I, hukuman hadnya dera
40 x, hukuman ta’zir dera 40 x jk hakim
memandang perlu.
 Adanya perbedaan dlm penentuan
hukuman ini adl krn tdk ada nas yang
qath’i yg mengatur ttg hukuman had bg
peminum khamr.
Pelaksanaan Hukuman Dera kpd
Peminum Khamar
 Dari Anas ibn Malik ra bahwa seorang lelaki
yg telah minum Khamar dihadapkan kpd
Rosul, lalu dihukum dera (jilid) 40 x dg
menggunakan daun pelepah kurma (HR
Bukhari dan Muslim)
 Pd masa Khalifah Umar, perbuatan minum-
2an keras merajalela, shg Umar
mengadakan musyawarah dg para sahabat
(ijma’) utk menetapkan hukuman bagi
peminum khamar diputuskan 80 x jilid.
KHAMAR
 Walaupun Al-Qur’an scr tegas
mengharamkan khamr, namun utk
hukumannya sendiri tdk ditetapkan
secara pasti. Lihat ayat QS Al-
Baqaroh: 219, An-Nisa’: 43, Al-
Ma’idah: 90).
KHAMAR: QS Al-Baqaroh: 219
 Artinya: Mereka bertanya
kepadamu ttg khamr (segala
minuman yg memabukkan) dan
judi. Katakanlah: “Pada keduanya
itu tdp dosa besar dan bbrp
manfaat bagi manusia tetapi dosa
keduanya lebih besar dari
manfaatnya ….”
KHAMAR: QS. An-Nisa’: 43
 Artinya: “Hai orang-orang yg
beriman, janganlah kamu sholat,
sedang kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan
KHAMR: QS. Al-Ma’idah: 90
 Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum)
khamr, berjudi (berkorban) untuk
berhala, mengundi nasib dg panah,
adl perbuatan keji trmsk perbuatan
setan. Maka jauhilah perbuatan-2
itu agar kamu mendapat
keberuntungan
4. PENCURIAN
 Seperti hukuman pencurian (Al-
Maidah: 38). Artinya: “Adapun
orang laki-2 maupun perempuan
yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sbg) balasan atas
perbuatan yg mereka lakukan dan
sbg siksaan dr Allah. Dan Allah
Mahaperkasa, Mahabijaksana.
5. PERAMPOKAN (HIRABAH)

 Perbedaan pencurian dg perampokan:


- Pencurian: pengambilan harta milik
orla scr diam-diam (sirqah sughra)
- Perampokan: pengambilan harta milik
orla scr terang-2an dan kekerasan.
(Pencurian berat (sirqah kubra)
Dasar Hukum Perampokan:

 QS Al-Maidah: 33
“Sesungguhnya pembalasan thd orang-2
yg memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi,
hanyalah mereka dibunuh, atau disalib,
atau dipotong tangan dan kaki mereka
dg bertimbal balik atau dibuang dari
negeri (tempat kediamannya)…”
Bentuk-bentuk TP Perampokan
dan Sanksinya:
1. menakut-nakuti org yang lewat,
sanksinya diasingkan (dibuang)
2. Mengambil harta tanpa membunuh,
sanksinya dipotong tangan dan kakinya
scr bersilang
3. Membunuh Tanpa Mengambil Harta,
sanksinya dibunuh (hukuman mati)
tanpa disalib
4. Membunuh dan mengambil Harta,
sanksinya dibunuh dan disalib.
6. PEMBERONTAKAN

Pengertian Pemberontakan (Al-Baghyu)


mnrt arti bahasa adl mencari dan
menuntut sesuatu yang tidak halal, baik
karena dosa maupun kezaliman. Jadi,
pemberontakan adalah memerangi Allah
dan Rosul, ttp dg alasan (ta’wil) bukan hy
sekedar mengadakan kekacauan dan
mengganggu keamanan, melainkan
tindakan yg targetnya adl mengambil alih
kekuasaan atau menjatuhkan
pemerintahan yg sah.
Unsur-Unsur Jarimah Pemberontakan:
1. Pembangkangan thd Kepala Negara
(Imam)
2. Pembangkangan dilakukan dg
menggunakan kekuatan
3. Adanya niat yang melawan hukum
Dasar Hukum TP Pemberontakan:

 Al-Hujuraat: 9
“Dan jika dua golongan dari orang-orang
mukmin berperang maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan
itu berbuat aniaya thd golongan yg lain maka
perangilah golongan yg berbuat aniaya itu shg
golongan itu kembali kpd perintah Allah; jk
golongan itu telah kembali (kpd perintah
Allah), maka damaikanlah antara keduanya dg
adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-2 yg berlaku adil”
Dasar Hukum TP Pemberontakan:

 Al-Hujuraat: 10
“Sesungguhnya orang-orang
mukmin adl bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua
saudaramu dan bertakwalah kpd
Allah supaya kamu mendapat
rahmat.”
Dasar Hukum TP Pemberontakan:

 An-Nisa’: 59
“Hai orang-orang yg beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul-Nya dan ulil Amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat ttg sesuatu mk
kembalikanlah ia kpd Allah (Al-Qur’an dan
Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar
beriman kpd Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”
Dasar Hukum TP Pemberontakan:

 Hadits Nabi yg diriwayatkan Muslim dari


Abdullah ibn Umar ra:
“Barangsiapa yg telah memberikan
kepercayaan kpd imam (pemimpin) dg
kedua tangannya dan sepenuh hatinya mk
hendaklah ia menaatinya sesuai dg
kemampuannya. Apabila datang orang lain
yg menentang dan melawannya maka
pukullah leher orang lain tsb”
Dasar Hukum TP Pemberontakan:

 Hadits Nabi yg diriwayatkan Muslim


dari Arfajah ibn Syuraih”
“Saya mendengar Rosulullah SAW
bersabda: “Barangsiapa yg datang
kpd kamu sekalian, sdk kamu telah
sepakat kpd seorang pemimpin,
untuk memecah belah kelompok
kalian maka bunuhlah ia”
Dasar Hukum TP Pemberontakan:

 Hadits Nabi diriwayatkam Muslim


dari Arfajah ibn Syuraih:
“Nanti akan terjadi bbrp peristiwa,
barang siapa yang berkehendak
untuk memecah belah urusan umat
ini, yg sudah disepakati maka
bunuhlah ia dg pedang di manapun
ia berada”
Pertanggungjawaban TP
Pemberontakan:
1. Ptgjwaban Sebelum Mughalabah (Penggunaaan
Kekuatan, pertempuran) dan Sesudahnya --- Orang yg
melakukan pemberontakan dibebani ptgjwban atas
semua TP yg dilakukannya sebelum mughalabah, baik
perdata maupun pidana, sbg pelaku jarimah biasa. Ex:
membunuh di-qisas, mencuri di potong tangan.
2. Pertanggungjawaban atas Perbuatan pada Saat
Mughalabah
 TP yang berkaitan langsung dg pemberontakan --- dihukum mati
apabila tdk ada pengampunan (amnesti)
 TP yang tidak berkaitan dg pemberontakan. Seperti minum
minuman keras atau perkosaan dianggap sbg jarimah biasa,
dihukum dg hukuman hudud sesuai dg jarimah yg dilakukan.
7. RIDDAH (MURTAD)

Dasar Hukum:
 QS Al-Baqaroh: 217

“Barang siapa yg murtad di antara


kamu dari agamanya, lalu dia mati
dalam kekafiran maka mereka itulah
sia-sia amalannya di dunia dan
akherat, dan mereka itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya”
Hadits:

 Dari Ibn Abbas ra ia berkata: Rasulullah


SAW bersabda: “Barang siapa menukar
agamanya maka bunuhlah ia” (HR Bukhari)
 Dari Aisyah ra telah bersabda Rosulullah
SAW: “Tidak halal darah seorang muslim
kecuali karena 3 perkara, orang yang
berzina dan ia muhshan, atau orang yang
kafir setelah tadinya ia Islam, atau
membunuh jiwa shg karenanya ia harus
dibunuh pula (HR Ahmad, Nasa’i dan
Muslim)
Kesimpulan
 Setiap ayat yg berkenaan dg
hukuman selalu disampaikan dlm
bentuk amar (perintah) dan jamak
ini berarti bahwa perintah tsb bukan
ditujukan kpd individu (perorangan)
melainkan kpd pemerintah (ulil
amri) selaku wakil dari seluruh
masyarakat.
Contoh Pelaksanaan HPI di zaman
Rosulullah dan Khulafaur Rasyidin:
 Pelaksanaan Hukuman Rajam atas Ma’iz
Dari abu Hurairah ia berkata; Ma’iz dtg kpd
Rosulullah dan mengaku berzina. Ma’iz
mengulangi pernyataannya sebanyak 4 x.
Rosul pun bertanya,”Apakah engkau gila?”
Ma’iz menjawab “tidak”. Rosulpun
bertanya,”Apakah engkau muhshan?”. Ma’iz
menjawab “Ya”. Maka Rosul bersabda kpd
para sahabat,”Pergilah kamu sekalian
dengan laki-2 ini dan laksanakanlah hukum
rajam atas dirinya” (HR Bukhari dan Muslim)
 Hadits di atas menjelaskan bahwa
Rosul selaku ulil amri (hakim)
memerintahkan kpd para sahabat
utk melaksanakan hukum rajam
atas diri seorang laki-2 yg dtg kpd
Rosul dan mengakui perbuatannya
(zina), setelah mengadakan
pemeriksaan yg teliti.
Contoh Pelaksanaan HPI di zaman
Rosulullah dan Khulafaur Rasyidin:
 Pelaksanaan Hukuman Dera kpd Peminum
Khamar. HR Bukhari dan Muslim disebutkan
dari Anas ibn Malik ra bahwa seorang lelaki
yg telah minum Khamar dihadapkan kpd
Rosul, lalu dihukum dera (jilid) 40 x dg
menggunakan daun pelepah kurma.
 Pd masa Khalifah Umar, perbuatan minum-
2an keras merajalela, shg Umar
mengadakan musyawarah dg para sahabat
(ijma’) utk menetapkan hukuman bagi
peminum khamar diputuskan 80 x jilid.
ALHAMDULILLAH

SEMOGA RIDHO ALLAH MENYERTAI

 YAKIN USAHA SAMPAI


 TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai