1
• SKEMA HUKUM PIDANA
HP
HP UMUM
MATERIAL
-Perbuatan yang
HUKUM dilarang
PIDANA
HP KHUSUS
-Sanksi pidana
HP FORMAL
SISTEMATIKA KUHP
KUHP TERDIRI DARI TIGA BUKU, YAITU:
Buku I
Aturan Umum
Pasal 1-103, Bab I - IX
4
SUMBER-SUMBER HUKUM
PIDANA DI INDONESIA
• KUHP (beserta UU
yang merubah &
menambahnya)
• UU Pidana di luar
KUHP
• Ketentuan Pidana dalam
Peraturan perundang-
undangan non-pidana
PEMBAGIAN HUKUM PIDANA
HK. PIDANA
SUBYEKTIF HK. PIDANA
(IUS PUNIENDI) UMUM
HUKUM
HK. PIDANA
PIDANA
MATRIIL
HK. PIDANA
HK. PIDANA
KHUSUS
OBYEKTIF
(IUS PUNALE)
HK. PIDANA H.P. MILITER
FORMIL H.P. PAJAK
Fungsi Hukum Pidana
8
HUKUM PIDANA MATERIIL
SANKSI
PIDANA
PERTANGGUNG
PERBUATAN
JAWABAN
PIDANA PIDANA
Tindak Pidana
9
SEJARAH PEMBENTUKAN KUHP
Crimineel Wetboek voor Het dibuat : 1795
Koninkrijk Holland berlaku : 1809-1811
Wetboek van Strafrecht Nederlansch Koninklijk Besluit (Titah Raja) No. 33,
Indie (WvSNI) 15 Oktober 1915
berlaku : 1 Januari 1918
Total : 136
11 tahun
SEJARAH HUKUM PIDANA
• Zaman penjajahan Belanda terdapat dualisme hukum, yaitu:
- Untuk orang Belanda/Eropah, berlaku mulai 1 January 1867
- Untuk orang Indonesia/Timur asing, berlaku mulai 1 January
1873.
• Tahun 1886 di negeri Belanda diberlakukan KUHP baru yang
sebagian besar mencontoh KUHP Jerman.
• Tanggal 1 Januari 1918, dengan asas konkordansi, KUHP
Belanda itu diberlakukan untuk semua penduduk Indonesia,
dengan nama Wetboek van Straftrech voor Netherlandsch Indie
untuk Indonesia
SEJARAH HUKUM PIDANA
Saat penjajahan Jepang, pemerintah Jepang tetap
memberlakukan Wetboek van Strafrech voor Netherlandsch
Indie untuk Indonesia.
Saat Indonesia merdeka, dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945, Wetboek van Strafrech voor Netherlandsch Indie tsb
dinyatakan pula tetap berlaku.
Dengan UU No.1 Tahun 1946 diadakan penegasan tentang
hukum pidana itu berlaku di Indonesia. Namanya diubah
menjadi Wetboek van Strafrech (WvS) atau biasa disebut
KUHP. Beberapa pasal dihapuskan dan diciptakan beberapa
delik baru yang dimuat dalam Pasal IX s/d Pasal XVI.
SEJARAH HUKUM PIDANA
Akan tetapi sejak berlakunya UU No.1 Tahun 1946 tidak semua
daerah dikuasai secara de facto oleh pemerintah RI, sehingga
UU No.1 Tahun 1946 itu tidak berlaku untuk daerah yg masih
dikuasai/diduduki oleh Belanda yg tetap mempertahankan
Wetboek van Strafrech voor Netherlandsch Indie.
Dengan UU No.1 Tahun 1946 tetan peraturan hukum pidana
berlaku untuk seluruh wilayah RI.
ASAS LEGALITAS
Asas legalitas diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.
Asas legalitas menentukan bahwa tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan
terlebih dahulu dalam perundang-undangan
Bahasa latin: Nullum delictum nulla poena praevia lege
(tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu).
Pasal 1 (1) KUHP:
Konsekuensi :
1. Tindak pidana harus disebutkan dalam peraturan perundang-undangan.
Konsekuensi:
a. Yang tidak tercantum dalam undang-undang tidak dapat dipidana.
b. Larangan analogi
2. UU itu harus ada sebelum terjadi tindak pidana.
Konsekuensi: aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif)
Anselm
Anselmvonvon Feuerbach
Feuerbach
Lehrbuch
Lehrbuchdes
despeinlichen
peinlichenRecht
Recht(1801)
(1801)
“nullum
“nullumdelictum
delictumnulla
nullapoena
poenasiena
siena
praevia
praevialege
legepoenali”
poenali”
21
PERBUATAN PIDANA
FIGURE 1–1 Crime,Deviance, and Norm Violation. Although there are many
ways rules can be violated, only a select few offenses are actually “criminal” acts.
ASAS LEX TEMPORIS DELIKTI
23
• RUU KUHP :
• 1. Jika terdapat perubahan undang-undangan sesudah
perbuatan dilakukan, maka diterapkan peraturan perundang-
undangan yang paling menguntungkan.
• 2. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap perbuatan yang dilakukan tidak lagi
merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-
undangan yang baru, maka narapidana dikeluarkan dari
lembaga pemasyarakatan.
• 3. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperolej kekuatan
hukum tetap, perbuatan yang dilakukan diancam dengan pidana
yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan
yang baru, maka putusan pemidanaan tersebut disesuaikan
dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang-
undangan yang baru
ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
MENURUT TEMPAT (LOCUS DELIKTI)
Asas Teritorial Aturan pidana dalam UU Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang melakukan suatu tindak pidana di wilayah
Indonesia (Pasal 2 KUHP)
Perluasan Pasal 3
• Strafbaar feit
• Perbuatan pidana
• Peristiwa pidana
• Tindak pidana
• Delict / Delik
• Criminal act
• Jinayah
Tindak Pidana: Definisi
• Simons : “kelakuan yg diancam dg pidana, yg bersifat
melawan hukum yg berhubungan dg kesalahan &
dilakukan oleh orang yg mampu bertanggung jawab”
49
• Alasan pembenar
(rechtsvaardigingsgronden):
menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yg
benar
• Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden):
menghapus sifat kesalahan terdakwa meski
perbuatannya bersifat melawan hukum tapi
tidak pidana
• Alasan penghapus Penuntutan
(onvervolgbaarheid): pernyataan tidak
menuntut karena tidak dapat diterima oleh
badan penuntut umum, karena konflik
kepentingan dengan lebih mengutamakan
kemanfaatannya untuk tidak menuntut
Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana
52
4. Daluwarsa (Pasal 78)
a. pelanggaran dan kejahatan percetakan 1 tahun
b. kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara
maksimal 3 tahun 6 tahun
c. kejahatan yang diancam pidana penjara >3 tahun 12 tahun
d. kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur
hidup 18 tahun
53
Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana
3. Grasi
1. terpidana meninggal dunia.
RUU KUHP 2. Presiden memberikan amnesti atau grasi yang
berupa pembebasan terpidana dari kewajiban
menjalankan pidana.
3. kedaluwarsa.
54
Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
JIWA
TUBUH
SESEORANG
KEMERDEKAAN
BENDA KEHORMATAN
PRIBADI
TINGKAH LAKU
TERHADAP TINGKAH LAKU
SUSUNAN TERHADAP
KETURUNAN KESUSILAAN
DAN
PERKAWINAN
MACAM-MACAM PIDANA
PASAL 10 KUHP
P. Mati
P. Penjara PIDANA TAMBAHAN:
P. Kurungan 1.Pencabutan hak-hak
P. Denda tertentu;
2.Perampasan/ penyitaan
barang-barang tertentu;
3.Pengumuman putusan
PIDANA
hakim
POKOK
Pidana Mati
• Dijalankan oleh algojo dengan cara digantung (Pasal 11)
• Diubah dengan “tembak mati” (UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer)
sementara/waktu tertentu
• 1 hari - 15 tahun
• 20 th jika ada alternatif mati/seumur
hidup/waktu tertentu tu ada
pembarengan/pengulangan
58
Pidana Percobaan • dipidana penjara/kurungan maksimal 1
tahun, bukan kurungan pengganti
• tidak melakukan tindak pidana lagi sebelum
masa percobaan habis
• mengganti segala kerugian
59
Pidana Kurungan • minimal 1 hari, maksimal 1 tahun
• jika ada pembarengan, pengulangan, atau
dilakukan oleh pejabat maka maksimal 1
tahun 4 bulan
60
• minimal Rp. 3,75
Pidana Denda • jika tidak dibayar dapat diganti kurungan
pengganti
• kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal 6
bulan. Tapi jika ada perbarengan, pengulangan,
atau dilakukan pejabat maka maksimal 8 bulan
• persamaan denda dan kurungan, Rp 7,50/kurang
= 1 hari, jika lebih dari Rp 7,50 maka dilipatkan.
Sisanya dihitung 1 hari
61
Penjatuhan Pidana (Sentencing)
• Upaya yang sah
• Yang dilandasi oleh hukum
• Untuk mengenakan nestapa/penderitaan
• Pada seseorang yang melalui proses
peradilan pidana
• Terbukti secara sah dan meyakinkan
• Bersalah melakukan suatu tindak pidana
Pidana (Punishment)
• Nestapa/derita
• Yang dengan sengaja
• Dikenakan pada seseoarng
• Oleh negara
• Melalui proses peradilan pidana
Proses Peradilan Pidana
(the Criminal Justice Process)
• Struktur, fungsi dan proses pengambilan
keputusan
• Oleh sejumlah lembaga (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan
• Yang berkenaan dengan penanganan dan
pengendalian
• Kejahatan dan pelaku kejahatan
Tindak Pidana
(delict)
Vooronderzoek
Ps. 1 Butir 4 – 5 jo
Ps. 4 – 5 jo Penyelidikan
Ps. 102 – 105 KUHAP
Ps. 1 Butir 1 – 3 jo
Ps. 6 – 12 jo
Penyidikan Ps. 106 – 136 KUHAP
Ps. 14 b jo Ps. 110
Ay (3) – (4) jo. Ps. Prapenuntutan Ps. 1 Butir 6 – 7 jo
138 KUHAP Ps. 13 – 15 jo
Penuntutan Ps. 137 – 144 KUHAP
Ps. 1 Butir 8 – 9 jo
Ps. 1 Butir 10 jo
Ps. 145 – 232 KUHAP
Ps. 77 – 83 KUHAP
Eindonderzoek
Praperadilan
Peradilan
(Sidang Pengadilan)
Eksekusi
Jaksa Hakim/ Terdakwa /
Penuntut Umum Majelis Hakim Penasihat Hukum
Sidang Dibuka
Dakwaan Eksepsi
Pertama
Tahap I
Sidang
Tanggapan (Replik) Tanggapan (Duplik)
Putusan Sela
Pemeriksaan Bukti Pemeriksaan Bukti
Pembuktian
Tahap II
Sidang
• Saksi A Charge • Saksi A Decharge
• Ahli • Ahli
• Surat • Surat
• Barang Bukti Pemeriksaan Terdakwa • Barang Bukti
Requisitor Pleidooi
Sidang Tuntutan
& Pembelaan
(Tuntutan Pidana) (Pembelaan)
Tahap III
Replik Duplik
Putusan
Sidang
Pernyataan Sikap: Pernyataan Sikap:
- Menerima Putusan - Menerima
- Pikir-pikir - Pikir-pikir
- Upaya Hukum - Upaya Hukum
Sidang Ditutup
Mengapa pidana perlu dijatuhkan?
• KELOMPOK KONSEKUENSIALIS
Pidana dijatuhkan bila benar-benar ada
konsekuensi positif yang mengikutinya:
Membawa kebaikan
Mencegah kejadian yang lebih buruk
Tidak ada alternatif lain yang setara efeknya
KELOMPOK NON-KONSEKUENSIALIS
Pidana merupakan respons yang patut
(appropriate response) terhadap tindak
pidana
Karena pelaku sudah melanggar norma yang
berlaku
Karenanya pidana harus proporsional
DOKTRIN PEMIDANAAN
• TEORI RETRIBUTIVE
Penjahat layak dihukum
Sesuai dengan cerminan perasaan kolektif
masyarakat
Menyatukan masyarakat melawan penjahat
Harus dilihat dalam konteks sosial budaya
• TEORI DITERRENCE
Konsep aliran klasik
Reaksi terhadap pemidanaan yang semena-
mena
Utilitarian, forward looking
Manusia itu rasional
General deterrence
TEORI REHABILITASI
Individualisasi pemidanaan
Tekanan pada
treatment/pembinaan/memperbaiki pelaku
Anti-punishment
Model medis
TEORI INTEGRATIF
Multi fungsi pemidanaan:
Membuat pelaku menderita
Mencegah terjadinya tindak pidana
Memperbaiki pelaku
Perkembangan Teori Pemidanaan
1. Retributif
Pidana adalah akibat mutlak yang harus ada
sebagai suatu pembalasan pada pelaku tindak
pidana
Sanksi pidana adalah pemberian derita dan
petugas dinyatakan gagal bila penderitaan tidak
dirasakan oleh terpidana
dapat dibedakan menjadi:
retributif yang negatif
…..lanjutan
2. Deterrence
Pidana dijatuhkan dengan tujuan untuk
pencegahan
dapat dibedakan menjadi:
general deterrence
special deterrence
3. Rehabilitasi
Pidana dijatuhkan untuk mereformasi atau
memperbaiki pelaku
sering dimasukkan ke dalam sub kelompok
deterrence, padahal dalam kajian kriminologi
latar belakang ke dua teori pemidanaan ini
berbeda; sehingga dalam pandangan deterrence
pelaku adalah orang bersalah yang harus
dijerakan supaya tidak mengulangi tindak pidana,
sedangkan rehabilitasi memandang seorang
pelaku tindak pidana sebagai orang yang perlu
ditolong
4. Incapacitation
membatasi orang dari masyarakat selama waktu
tertentu dengan tujuan perlindungan terhadap
masyarakat pada umumnya
Ditujukan untuk pelaku TP yang sangat berbahaya
bagi masyarakat
Andrew Ashworth, pendekatan incapacitation :
hanya dijatuhkan terhadap pelaku yang
membahayakan masyarakat
bentuk sanksinya adalah mengisolasi atau
memisahkan pelaku dari masyarakat untuk jangka
waktu tertentu (biasanya untuk waktu yang lama)
…..lanjutan
5. Resosialisasi
Melihat bahwa pemidanaan dengan cara
desosialisasi (memisahkan pelaku dari kehidupan
sosial masyarakat dan membatasinya untuk dapat
berkomunikasi dengan masyarakat) dapat
menghancurkan pelaku
Resosialisasi adalah proses yang mengakomodasi
dan memenuhi kebutuhan pelaku tindak pidana
akan kebutuhan sosialnya, yaitu kebutuhan untuk
bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan
masyarakat
6. Reparasi, Restitusi dan Kompensasi
Fokus perhatian bukan hanya pada pelaku atau
masyarakat; tetapi mulai perhatikan korban sebagai
bagian yang penting untuk dipertimbangkan dalam
penjatuhan pidana
reparasi:
- the act of making amends for a wrong
- compensation for benefits derived from a wrong done
to another
- compensation or reparation for the loss caused to
another
restitusi: return or restoration of some specific thing to
its rightful owner or status
kompensasi: payment of damages, or another act that a
• Hybrid Theory (Teori Integratif)
Berangkat dari kenyataan bahwa masing-masing
teori sangat sulit untuk dipilah-pilah secara
tersendiri dalam prakteknya. Dengan penerapan
satu pidana terdapat lebih dari satu teori yang
tercakup di dalammya
Packer: pidana merupakan suatu kebutuhan yang
juga merupakan bentuk kontrol sosial yang
disesalkan, karena ia mengenakan derita atas nama
tujuan-tujuan yang pencapaiannya merupakan
kemungkinan
Oleh karena itu, dalam praktek bisa jadi perumusan
tujuan pemidanaan merupakan kombinasi antara
satu teori dengan teori lainnya