Disusun Oleh :
Arif Rahman Hakim (712019031)
Dosen Pembimbing :
dr. Fera Yunita Rodhiyati, Sp.M
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
uveitis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses inflamasi
pada bagian mata yang dikenal sebagai uvea, yang terdiri dari iris, badan
siliaris, dan koroid
Traktus Uvealis
Iris
Korpus siliaris
koroid
6
Anatomi
Lapisan Koroid
7
Definisi
Indonesia
Proporsi penderita terbanyak yaitu usia 45 –
64 tahun
Jenis kelamin terbanyak yaitu laki-laki
(54,5%)
Pasien yang tinggal di Denpasar paling
banyak menderita uveitis sebanyak 6 orang
(27.3%) pasien
Epidemiologi
• Uveitis anterior adalah bentuk yang paling umum, terjadi pada sekitar 50%
kasus uveitis, sedangkan uveitis posterior adalah yang paling jarang
• Insiden uveitis di negara berkembang sebanyak 714 per 100.000 populasi dan
25% diantaranya menjadi penyebab kebutaan
• Negara berkembang khususnya negara tropis memiliki iklim dan patogen yang
berbeda-beda dengan negara maju sehingga prevalensi penyakit uveitis akibat
infeksi seperti toxoplasma dan tuberculosis lebih tinggi
10
Etiologi
Idiopatik
Telah dikaitkan
RetinokoroiditisToksoplasmosis
Papil Bulat, Batas Tidak Tegas Nodul Koeppe di Tepi Pupil
Nodul Busacca di
Nodul Koeppe di Tepi Pupil
Permukaan Iris
Klasifikasi
Uveitis anterior
inflamasi di iris dan badan siliar
Uveitis anterior akut umumnya terjadi di satu mata namun pada kasus kronik dapat melibatkan
kedua mata
Gejala → ringan-sedang dan dapat sembuh sendiri, namun pada uveitis berat, tajam penglihatan
dapat menurun. Gejala klinis dapat berupa mata merah, nyeri, fotofobia, dan penurunan tajam
penglihatan
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan Anatomis
Uveitis anterior
Pemeriksaan → injeksi siliar akibat vasodilatasi arteri siliaris posterior longus dan arteri siliaris
anterior yang memperdarahi iris serta badan siliar. Di bilik mata depan terdapat pelepasan sel
radang, pengeluaran protein (cells and flare) dan endapan sel radang di endotel kornea (presipitat
keratik). Presipitat keratik halus umumnya akibat inflamasi nongranulomatosa dan presipitat
keratik kasar berhubungan dengan inflamasi granulomatosa
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan Anatomis
Uveitis Intermediet
Peradangan di pars plana yang sering diikuti vitritis dan uveitis posterior
Etiologi → idiopatik (69,1%), sarkoidosis (22,2%), multiple sclerosis (7,4%), dan lyme disease
(0,6%). Selain itu, dapat juga disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis, Toxoplasma,
Candida, dan sifilis
Gejala → penurunan tajam penglihatan tanpa disertai nyeri dan mata merah, jika terjadi edema
makula dan agregasi sel di vitreus (snowballs) penurunan tajam penglihatan dapat lebih buruk.
Pars planitis berupa bercak putih akibat agregasi sel inflamasi dan jaringan fibrovaskular
(snowbank) yang menunjukkan inflamasi berat dan memerlukan terapi agresif.
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan Anatomis
Uveitis Posterior
Peradangan lapisan koroid yang sering melibatkan jaringan sekitar seperti vitreus,
retina, dan nervus optik
Etiologi → Infeksi (T.gondii, M.tuberculosis, sifilis, VHS, VVZ, cytomegalovirus (CMV),
dan HIV) Kasus non-infeksi (koroiditis multifokal, birdshot choroidopathy, sarkoidosis,
dan neoplasma. Uveitis posterior timbul perlahan namun dapat terjadi secara akut.
Gejala → Penglihatan kabur yang tidak disertai nyeri, mata merah, dan fotofobia.
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan Anatomis
Panuveitis
Peradangan seluruh uvea dan struktur sekitarnya seperti retina dan vitreus
Etiologi → tuberkulosis, sindrom VKH, oftalmia simpatika, penyakit behcet, dan
sarkoidosis.
Diagnosis → ditegakkan bila terdapat koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior
Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Anamnesis
ketajaman visual, biomikroskopi
Unilateral/bilateral, mata merah,
slit lamp, pengukuran TIO, dan
nyeri, ↓ visual, fotofobia
pemeriksaan mata dilatasi
Uveitis anterior → terapi yang paling umum terdiri dari kortikosteroid topikal dan
sikloplegik
Uveitis intermediet, posterior, dan panuveitis → jauh lebih kompleks dan harus
dipandu oleh dokter spesialis mata
Tatalaksana
Uveitis anterior → terapi yang paling umum terdiri dari kortikosteroid topikal dan
sikloplegik
Uveitis intermediet, posterior, dan panuveitis → jauh lebih kompleks dan harus
dipandu oleh dokter spesialis mata
Tatalaksana
Rekomendasi antimikroba pada infeksi bilier akut (Tokyo
Guideline 2018)
26
Tatalaksana
Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan bedah
Kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya dilakukan secepatnya
(3 hari) atau ditunggu 6– 8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaaan
umum pasien lebih baik.
Pada kasus akut, waktu optimal dilakukan pembedahan masih kontoversial, apakah
operasi awal langsung (dini) setelah masuk ke rumah sakit atau operasi elektif tertunda
setelah perawatan konservatif
Koleksistektomi berdasarkan waktu pelaksanaan dibagi dalam 2 yaitu dini dan ditunda.
Tatalaksana
Kortikosteroid topikal
Terapi pilihan untuk mengurangi inflamasi
prednisolon 0,5%, prednisolon asetat 1%, betametason 1%, deksametason
0,1%, dan fluorometolon 0,1%
Injeksi kortikosteroid periokular diberikan pada kasus yang membutuhkan
depo steroid dan menghindari efek samping kortikosteroid jangka panjang
Kortikosteroid sistemik diberikan untuk mengatasi uveitis berat atau uveitis
bilateral
Tatalaksana
Imunosupresan
Indikasi → bila peradangan tidak membaik dengan kortikosteroid atau
sebagai obat pendamping agar kortikosteroid tidak digunakan untuk jangka
waktu lama dan dosis tinggi.
Imunosupresan dibagi menjadi golongan antimetabolit, supresor sel T, dan
sitotoksik.
Golongan antimetabolit adalah azatioprin, metotreksat, dan mikofenolat
mofetil dan golongan sitotoksik adalah siklofosfamid dan klorambusil.
Tatalaksana
Antibiotik
Kotrimoksazol diberikan dengan dosis trimetoprim 160mg/sulfametoksazol
800mg dua kali sehari selama 4-6 minggu
Klindamisin 300mg empat kali sehari atau pirimetamin dapat ditambahkan
pada pemberian kotrimoksazol
Pilihan lain adalah azitromisin 250–500mg per hari dikombinasi dengan
pirimetamin, asam folinat dan prednisolon
Toksoplasmosis Tatalaksana
Asam Folat
Asam folinat 5mg tiga kali seminggu diberikan untuk mengurangi
trombositopenia, leukopenia dan defisiensi asam folat.
Pirimetamin
Pirimetamin diberikan dengan loading dose 75–100mg selama 1–2 hari diikuti
dosis 25–50mg per hari selama 4 minggu
Tuberkulosis Okular Tatalaksana
Pengobatan VZV berupa asiklovir 800mg 5 kali sehari dengan terapi suportif
midriatikum dan kortikosteroid untuk menekan inflamasi
HSV diobati dengan asiklovir 400 mg 5 kali sehari atau famsiklovir dan
valasiklovir
Prednisolon asetat 1% dan siklopegik diberikan sebagai terapi suportif.
Antivirus lainnya adalah valgansiklovir, gansiklovir, foskarnet, dan sidofovir
Infeksi Jamur Tatalaksana
Operasi dilakukan pada kasus uveitis yang telah tenang (teratasi) tetapi
mengalami perubahan permanen akibat komplikasi seperti katarak, glaukoma
sekunder, dan ablasio retina
Kortikosteroid diberikan 1-2 hari sebelum operasi dan steroid intraokular atau
periokular dapat diberikan pasca-operasi
Komplikasi
Uveitis paling sering idiopatik tetapi terjadi, dan berdasarkan anatomis nya