Anda di halaman 1dari 43

UVEITIS

Disusun Oleh :
Arif Rahman Hakim (712019031)

Dosen Pembimbing :
dr. Fera Yunita Rodhiyati, Sp.M
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
uveitis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses inflamasi
pada bagian mata yang dikenal sebagai uvea, yang terdiri dari iris, badan
siliaris, dan koroid

Sekitar 10% penyebab kebutaan di Amerika Serikat disebabkan oleh uveitis.


Insiden uveitis di negara maju sekitar 200 per 100.000 populasi, 50%
diantaranya mengalami komplikasi, dan 35% mengalami gangguan tajam
penglihatan.3 Insiden uveitis di negara berkembang sebanyak 714 per 100.000
populasi dan 25% diantaranya menjadi penyebab kebutaan
Latar Belakang
Etiologi uveitis sangat heterogen, 30-45% merupakan bagian dari penyakit
sistemik (autoimun, infeksi, keganasan), dapat pula akibat perluasan radang
kornea dan sklera, trauma, atau tidak diketahui (idiopatik). Gejala dapat
berkisar dari nyeri dan injeksi konjungtiva hingga kehilangan penglihatan total

Diagnosis uveitis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan mata menyeluruh dan


pemeriksaan fisik. Ketika telah teridentifikasi, uveitis dapat diobati dan
kemungkinan terjadinya komplikasi dapat dihindari. Munculnya komplikasi
dapat disebabkan karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan pasien
mengenai penyakit uveitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi

Traktus Uvealis
 Iris
 Korpus siliaris
 koroid

6
Anatomi

Lapisan Koroid

7
Definisi

Uveitis → peradangan uvea, meliputi iris,


badan siliar, dan koroid

Mengenai bagian depan jaringan uvea atau


iris→ iritis
Mengenai badan tengah → siklitis
Iritis dengan siklitis → iridosiklitis
Mengenai lapisan koroid → uveitis posterior /
koroiditis 8
Epidemiologi
Amerika
2,3 juta orang penderita uveitis dimana kasus
barunya ditemukan sebanyak 45.000
pertahun

Indonesia
Proporsi penderita terbanyak yaitu usia 45 –
64 tahun
Jenis kelamin terbanyak yaitu laki-laki
(54,5%)
Pasien yang tinggal di Denpasar paling
banyak menderita uveitis sebanyak 6 orang
(27.3%) pasien
Epidemiologi

• Uveitis anterior adalah bentuk yang paling umum, terjadi pada sekitar 50%
kasus uveitis, sedangkan uveitis posterior adalah yang paling jarang

• Insiden uveitis di negara berkembang sebanyak 714 per 100.000 populasi dan
25% diantaranya menjadi penyebab kebutaan

• Negara berkembang khususnya negara tropis memiliki iklim dan patogen yang
berbeda-beda dengan negara maju sehingga prevalensi penyakit uveitis akibat
infeksi seperti toxoplasma dan tuberculosis lebih tinggi
10
Etiologi

Idiopatik

Telah dikaitkan

 Traumatis → trauma mata


 Inflamasi → entitas terkait HLA-B27, artritis idiopatik remaja, penyakit radang usus,
sarkoidosis, Behcet’s Disease (BD) atau tubulo-interstitial nephritis (TINU).
 Infeksi → virus (HSV, VZV, CMV), bakteri (endophthalmitis, sifilis, TBC, dll), atau
parasit / cacing (toksoplasmosis, Penyakit Lyme, Toxocara, Bartonella sp. Atau infeksi
atipikal lainnya)
11
Patofisiologi
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan asalnya
 Eksogen → Traumatik uveitis, Uveitis terinduksi Lensa Intraokular (IOL)
 endogen → Masquerade Syndrome , idiopatik anterior

Klasifikasi berdasarkan Perjalanan Penyakitnya


 Akut
 Residif
 Kronik

Klasifikasi berdasarkan Etiologis (Duke Elder’s classification)


 Uveitis infeksius → Uveitis Toksoplasmosia, Uveitis Tuberkulosis, uveitis sifilis, infeksi
virus (HSV, VVZ, dan CMV), infeksi jamur.
Klasifikasi

RetinokoroiditisToksoplasmosis
Papil Bulat, Batas Tidak Tegas Nodul Koeppe di Tepi Pupil

dengan eksudat Berwarna Putih


Kekuningan di Daerah Makula
Klasifikasi

Nodul Busacca di
Nodul Koeppe di Tepi Pupil
Permukaan Iris
Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan Etiologis (Duke Elder’s classification)


 Alergika → uveitis yang paling sering ditemukan. Terdiri dari alergi mikrobiologi, uveitis
anafilaktik, uveitis atopik, uveitis autoimun maupun uveitis terasosiasi Human Leucocytic Antigen
(HLA)
 Uveitis toksik → Toksin yang menyebabkan uveitis dapat berupa endotoksin, toksin endokular,
toksin eksogen.
 Uveitis traumatika → pasien kecelakaan maupun pasca operasi yang menyebabkan luka pada
jaringan uvea
 Uveitis terasosiasi dengan penyakit sistemik non-inflamatory → sarcoidosis, penyakit yang
berhubungan dengan kolagen (poliartritis nodosa), rhematoid artritis, DM, gout artritis
 Uveitis idiopatik
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan Reaksi Radang yang Terjadi

  Non Granulomatosa Granulomatosa


Onset Akut Tersembunyi
Nyeri Nyata Tidak ada atau ringan
Fotofobia Nyata Ringan
Penglihatan kabur Sedang Nyata
Merah sirkumkorneal Nyata Ringan
Keratik presipitat Putih halus Kelabu besar (mutton fat)
Pupil Kecil dan teratur Kecil dan tak teratur (bervariasi)
Sinekia Posterior Kadang-kadang Kadang-kadang
Nodul iris Tidak ada Kadang-kadang
Lokasi Uvea anterior Uvea anterior, posterior atau difus
Perjalanan penyakit Akut Kronik
Kekambuhan Sering Kadang-kadang
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan Anatomis

Uveitis anterior
 inflamasi di iris dan badan siliar
 Uveitis anterior akut umumnya terjadi di satu mata namun pada kasus kronik dapat melibatkan
kedua mata
 Gejala → ringan-sedang dan dapat sembuh sendiri, namun pada uveitis berat, tajam penglihatan
dapat menurun. Gejala klinis dapat berupa mata merah, nyeri, fotofobia, dan penurunan tajam
penglihatan
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan Anatomis

Uveitis anterior
 Pemeriksaan → injeksi siliar akibat vasodilatasi arteri siliaris posterior longus dan arteri siliaris
anterior yang memperdarahi iris serta badan siliar. Di bilik mata depan terdapat pelepasan sel
radang, pengeluaran protein (cells and flare) dan endapan sel radang di endotel kornea (presipitat
keratik). Presipitat keratik halus umumnya akibat inflamasi nongranulomatosa dan presipitat
keratik kasar berhubungan dengan inflamasi granulomatosa
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan Anatomis

Uveitis Intermediet
 Peradangan di pars plana yang sering diikuti vitritis dan uveitis posterior
 Etiologi → idiopatik (69,1%), sarkoidosis (22,2%), multiple sclerosis (7,4%), dan lyme disease
(0,6%). Selain itu, dapat juga disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis, Toxoplasma,
Candida, dan sifilis
 Gejala → penurunan tajam penglihatan tanpa disertai nyeri dan mata merah, jika terjadi edema
makula dan agregasi sel di vitreus (snowballs) penurunan tajam penglihatan dapat lebih buruk.
Pars planitis berupa bercak putih akibat agregasi sel inflamasi dan jaringan fibrovaskular
(snowbank) yang menunjukkan inflamasi berat dan memerlukan terapi agresif.
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan Anatomis

Uveitis Posterior
 Peradangan lapisan koroid yang sering melibatkan jaringan sekitar seperti vitreus,
retina, dan nervus optik
 Etiologi → Infeksi (T.gondii, M.tuberculosis, sifilis, VHS, VVZ, cytomegalovirus (CMV),
dan HIV) Kasus non-infeksi (koroiditis multifokal, birdshot choroidopathy, sarkoidosis,
dan neoplasma. Uveitis posterior timbul perlahan namun dapat terjadi secara akut.
 Gejala → Penglihatan kabur yang tidak disertai nyeri, mata merah, dan fotofobia.
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan Anatomis

Panuveitis
 Peradangan seluruh uvea dan struktur sekitarnya seperti retina dan vitreus
 Etiologi → tuberkulosis, sindrom VKH, oftalmia simpatika, penyakit behcet, dan
sarkoidosis.
 Diagnosis → ditegakkan bila terdapat koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior
Diagnosis

Pemeriksaan Fisik
Anamnesis
ketajaman visual, biomikroskopi
Unilateral/bilateral, mata merah,
slit lamp, pengukuran TIO, dan
nyeri, ↓ visual, fotofobia
pemeriksaan mata dilatasi

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Tambahan


laju endap darah, serologi, Optical coherence tomography
urinalisis, dan antinuclear (OCT), USG Bscan, Fundus
antibody. fluoresen angiografi (FFA)
Tatalaksana

Prinsip → menekan reaksi inflamasi, mencegah dan memperbaiki kerusakan


struktur, memperbaiki fungsi penglihatan serta menghilangkan nyeri dan fotofobia

Uveitis anterior → terapi yang paling umum terdiri dari kortikosteroid topikal dan
sikloplegik

Uveitis intermediet, posterior, dan panuveitis → jauh lebih kompleks dan harus
dipandu oleh dokter spesialis mata
Tatalaksana

Prinsip → menekan reaksi inflamasi, mencegah dan memperbaiki kerusakan


struktur, memperbaiki fungsi penglihatan serta menghilangkan nyeri dan fotofobia

Uveitis anterior → terapi yang paling umum terdiri dari kortikosteroid topikal dan
sikloplegik

Uveitis intermediet, posterior, dan panuveitis → jauh lebih kompleks dan harus
dipandu oleh dokter spesialis mata
Tatalaksana
Rekomendasi antimikroba pada infeksi bilier akut (Tokyo
Guideline 2018)

26
Tatalaksana
 Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan bedah
 Kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya dilakukan secepatnya
(3 hari) atau ditunggu 6– 8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaaan
umum pasien lebih baik.

 Pada kasus akut, waktu optimal dilakukan pembedahan masih kontoversial, apakah
operasi awal langsung (dini) setelah masuk ke rumah sakit atau operasi elektif tertunda
setelah perawatan konservatif
 Koleksistektomi berdasarkan waktu pelaksanaan dibagi dalam 2 yaitu dini dan ditunda.
Tatalaksana

Kortikosteroid topikal
 Terapi pilihan untuk mengurangi inflamasi
 prednisolon 0,5%, prednisolon asetat 1%, betametason 1%, deksametason
0,1%, dan fluorometolon 0,1%
 Injeksi kortikosteroid periokular diberikan pada kasus yang membutuhkan
depo steroid dan menghindari efek samping kortikosteroid jangka panjang
 Kortikosteroid sistemik diberikan untuk mengatasi uveitis berat atau uveitis
bilateral
Tatalaksana

Imunosupresan
 Indikasi → bila peradangan tidak membaik dengan kortikosteroid atau
sebagai obat pendamping agar kortikosteroid tidak digunakan untuk jangka
waktu lama dan dosis tinggi.
 Imunosupresan dibagi menjadi golongan antimetabolit, supresor sel T, dan
sitotoksik.
 Golongan antimetabolit adalah azatioprin, metotreksat, dan mikofenolat
mofetil dan golongan sitotoksik adalah siklofosfamid dan klorambusil.
Tatalaksana

NSAID digunakan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi


Siklopegik
diberikan untuk mencegah sinekia posterior → siklopentolat 0,5-2% dan
homatropin
Toksoplasmosis Tatalaksana

Antibiotik
 Kotrimoksazol diberikan dengan dosis trimetoprim 160mg/sulfametoksazol
800mg dua kali sehari selama 4-6 minggu
 Klindamisin 300mg empat kali sehari atau pirimetamin dapat ditambahkan
pada pemberian kotrimoksazol
 Pilihan lain adalah azitromisin 250–500mg per hari dikombinasi dengan
pirimetamin, asam folinat dan prednisolon
Toksoplasmosis Tatalaksana

Asam Folat
 Asam folinat 5mg tiga kali seminggu diberikan untuk mengurangi
trombositopenia, leukopenia dan defisiensi asam folat.

Pirimetamin
 Pirimetamin diberikan dengan loading dose 75–100mg selama 1–2 hari diikuti
dosis 25–50mg per hari selama 4 minggu
Tuberkulosis Okular Tatalaksana

 Kortikosteroid topikal dan sistemik diberikan bersama obat anti tuberkulosis


(OAT) untuk mengurangi kerusakan jaringan mata akibat inflamasi terutama
pada minggu-minggu awal pengobatan.
 Kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa OAT karena mengakibatkan infeksi
meluas
 OAT kombinasi isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol sebagai
terapi awal selama dua bulan, dilanjutkan dengan regimen alternatif selama 4
bulan
Infeksi Bakteri Tatalaksana

 Antibiotik diberikan selama 2-3 hari, setelah itu dapat ditambahkan


kortikosteroid untuk menekan inflamasi.
 Penisilin merupakan antibiotik lini pertama untuk terapi sifilis dan diberikan
setiap 4 jam selama 10-21 hari disertai kortikosteroid untuk mengurangi
inflamasi. Penisilin G benzatin diberikan 2.000.000-4.000.000 U IM setiap 4
jam selama 10-14 hari dilanjutkan 2.400.000 U IM setiap minggu selama 3
minggu
Infeksi Virus Tatalaksana

 Pengobatan VZV berupa asiklovir 800mg 5 kali sehari dengan terapi suportif
midriatikum dan kortikosteroid untuk menekan inflamasi
 HSV diobati dengan asiklovir 400 mg 5 kali sehari atau famsiklovir dan
valasiklovir
 Prednisolon asetat 1% dan siklopegik diberikan sebagai terapi suportif.
Antivirus lainnya adalah valgansiklovir, gansiklovir, foskarnet, dan sidofovir
Infeksi Jamur Tatalaksana

 Tetes mata amfoterisin B 0,15% diberikan setiap jam


 Antijamur lainnya adalah tetes mata natamisin 5% tiap jam atau flukonazol
0,3% tiap jam dan salep mata natamisin 5% tiga kali sehari
 Obat antijamur oral yang dapat diberikan adalah flukonazol 400mg per hari
atau vorikonazol 2x200mg per hari, atau itrakonazol 400-600mg per hari pada
coccidiodimycosis.
Bedah Tatalaksana

 Operasi dilakukan pada kasus uveitis yang telah tenang (teratasi) tetapi
mengalami perubahan permanen akibat komplikasi seperti katarak, glaukoma
sekunder, dan ablasio retina
 Kortikosteroid diberikan 1-2 hari sebelum operasi dan steroid intraokular atau
periokular dapat diberikan pasca-operasi
Komplikasi

• Katarak, sinekia posterior, membran epiretinal (ERM),


edema makula cystoid (CME), band keratopathy, hipotonus,
glaukoma, dan edema saraf optik
Prognosis

Dalam kebanyakan kasus, prognosis uveitis adalah baik


dengan asumsi deteksi dini dan pengobatan yang tepat.
Sementara sebagian besar pasien akan mengalami komplikasi
mata, pengobatan dan pembedahan yang tepat, jika
diperlukan, membuat kehilangan penglihatan permanen jauh
lebih kecil kemungkinannya.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN

 Uveitis merupakan proses peradangan  Klasifikasi uveitis berdasarkan

uvea, meliputi iris, badan siliar, dan asalnya, berdasarkan perjalanan

koroid penyakitnya, berdasarkan etiologi,


berdasarkan reaksi radang yang

 Uveitis paling sering idiopatik tetapi terjadi, dan berdasarkan anatomis nya

telah dikaitkan dengan proses yang terbagi menjadi uveitis anterior,

traumatis, inflamasi, dan infeksi uveitis intermediet, uveitis posterior,


panuveitis
KESIMPULAN

 Diagnosis klinis mudah ditegakkan  Prinsip penatalaksanaan uveitis

tetapi diagnosis pasti berdasarkan adalah untuk menekan reaksi

etiologi merupakan tantangan bagi inflamasi, mencegah dan memperbaiki

dokter spesialis mata sehingga kerusakan struktur, memperbaiki

penatalaksaan uveitis yang cepat dan fungsi penglihatan serta

tepat untuk mencegah kebutaan juga menghilangkan nyeri dan fotofobia.

sulit.  Prognosis uveitis dalam kebanyakan


kasus baik
Thank you !

Anda mungkin juga menyukai