Anda di halaman 1dari 14

“Work-Life

Balance in
an MNE
Context”
bersam
a
FEBRIA NURMELIA MARLINA (I2A020014)
NURHANNA RISKA APRIANTI (I2A020028)
ZUL HAKIM (I2A020041)

2
RINGKASAN KASUS
Promosi perusahaan tentang keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance/WLB) telah
menarik minat secara global karena peran potensial dari upaya ini dalam mendorong rekrutmen, retensi,
dan produktivitas yang efektif di antara karyawan. Studi kasus ini memberikan contoh upaya WLB di
sekitar karyawan Lesblan , Gay, Bi-seksual dan Transeksual (LGBT) , dan menggunakan kerangka
ketegangan untuk memahami kemungkinan kompleksitas dan penyelesaian atas kesulitan-kesulitan
seputar masalah  LBGT. Kerangka kerja ketegangan seperti namanya dirancang untuk merespon sumber-
sumber konflik dan contradiction. Menerapkan pendekatan itu, masalah LBGT memberikan topik yang
ideal mengingat mereka telah menjadi controversial di AS, terutama perusahaan yang memiliki
keengganan yang kuat untuk begitu banyak membahas topik kesetaraan pernikahan untuk gay dan lesbian
hanya dalam dua dekade. 199 dari 500 perusahaan Fortune di AS mencapai peringkat indeks ekuitas
sempurna dari Kampanye Hak Asasi Manusia pada tahun 2017, dengan mayoritas kuat dari Fortune 500
termasuk kebijakan anti-diskriminasi "orientasi seksual" dan "identitas gender", dan setengah memberikan
tunjangan perawatan kesehatan transgender, seperti prosedur pembedahan (Kampanye Hak Asasi
Manusia 2017). Gerakan ini sangat kontras dengan tidak adanya perlindungan perumahan atau pekerjaan
bagi karyawan LGBT di AS yang menunjukkan bahwa ketegangan tetap ada. Banyak dari 500 kekayaan
MNE, dan IBM menonjol sebagai salah satu yang telah menyebarkan kebijakan WLB di seluruh operasi
globalnya, termasuk kebijakan LGBT-nya.

3
ISU ATAU
MASALAH
UTAMA Isu atau masalah utama dalam kasus yaitu membahas upaya WLB di sekitar karyawan
Lesblan, Gay, Bi-seksual dan Transeksual (LGBT), dan menggunakan kerangka kerja
ketegangan untuk memahami kemungkinan kompleksitas dan penyelesaian atas
kesulitan-kesulitan seputar masalah LBGT. Kerangka kerja ketegangan, seperti namanya
, dirancang untuk muncul dan menanggapi sumber konflik dan kontradiksi. Dengan

DALAM
menerapkan pendekatan itu, isu-isu LGBT memberikan topik yang ideal mengingat
mereka telah dan tetap kontroversial. Di AS, perusahaan-perusahaan besar beralih dari
memiliki keengganan yang kuat untuk membahas topik ke pelukan publik yang kuat
tentang kesetaraan pernikahan untuk gay dan lesbian hanya dalam dua dekade
(Socarides 2015). Memang, 199 dari 500 perusahaan Fortune di AS mencapai peringkat
indeks ekuitas sempurna dari Kampanye Hak Asasi Manusia pada tahun 2017, dengan

KASUS
mayoritas kuat dari Fortune 500 termasuk kebijakan anti-diskriminasi "orientasi seksual"
dan "identitas gender", dan setengah memberikan tunjangan perawatan kesehatan
transgender, seperti prosedur pembedahan (Kampanye Hak Asasi Manusia 2017)
Gerakan ini sangat kontras dengan tidak adanya perlindungan perumahan atau pekerjaan
bagi karyawan LGBT di AS (Ibid.), menunjukkan bahwa ketegangan tetap ada.

 
4
A. Work-life Balance (WLB)
Work-life balance merupakan faktor penting bagi tiap
karyawan, agar karyawan memiliki kualitas hidup yang
TEORI seimbang dalam berhubungan dengan keluarganya
dan seimbang dalam pekerjaan.
Secara garis besar WLB bisa ditinjau dari
PENDUKUN beberapa Konteks yaitu:
 Konteks Global
Konteks Nasional
G

 Konteks Oranisasi
 Konteks Sementara

5
Komponen-Komponen Work-Life
Balance
Ada 4 komponen penting yang menjadi alat ukur dalam Work-Life Balance menurut Fisher
dalam Valen (2017 : 12), yaitu :
Waktu
Prilaku
Ketegangan
Energi

6
 
Manfaat Dan Tujuan Program Work-Life
Balance :
Program keseimbangan hidup dan kerja dapat mempengaruhi karyawan secara positif
(Michelle Martinez). Tujuan dari program keseimbangan hidup dan kerja yaitu :
• mengurangi absensi
• mengurangi turnover
• meningkatkan produktivitas
• mengurangi biaya lembur
• mempertahankan klien

7
b. LGBT & Hak Asasi Kaum LGBT
LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender) telah menjadi fenomena
global yang ramai dibahas dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini dipicu oleh
banyaknya pemberitaan atau informasi dari media maupun aktivitas dari para
penganut LGBT yang cross border. Maraknya media-media yang juga memuat
pemberitaan dan mengangkat fenomena yang sebenarnya adalah fenomena lama,
kemudian membuat masyarakat kembali familiar dengan fenomena ataupun isu-
isu LGBT.
Istilah LGBT sendiri mulai digunakan pada sekitar tahun 1990 hingga
sekarang untuk menggantikan frasa para penganut gay, karena istilah LGBT dapat
mencakup semua jenis orientasi seksual tidak hanya untuk gay saja. Perubahan
orientasi seksual ini merupakan awal lahirnya pemikiran Teresa de Lauretis yaitu
queer theory. Teori queer memiliki definisi bahwa identitas itu tidak bersifat tetap
dan stabil. (Ardhanaryinstitute, 2015)

8
ANALISIS KASUS
1. Analisis tiga sumber umum ketegangan yang diidentifikasi dalam pengelolaan masalah
kehidupan kerja global
Bardoel (2016) menempatkan ketegangan organisasi di sepanjang tiga sumbu:
•strategis atau kebijakan vs. kepentingan operasional,
•sentralisasi vs. desentralisasi,
•dan kontekstual atau institusional vs. tujuan dan kendala organisasi.

9
2. Mengevaluasi berbagai resolusi yang dapat diterapkan pada
MNEs dalam kaitannya dengan karyawan LGBT
Bardoel (2016) yaitu memberikan lima jenis tanggapan organisasi terhadap ketegangan tersebut
melibatkan: tidak ada pengakuan, oposisi, pemisahan spasial, pemisahan temporal, dan sintesis.
Kesetaraan yang diharapkan oleh karyawan LGBT dalam hal tujuan hidup mereka untuk
keseimbangan kerja bisa terlaksana perusahaan harus melakukan beberapa penyelesaian
diantaantaranya menurut Mahtani dan Vernon (2010) menganalisis masalah LGBT bagi pengusaha
di HongKong , dan khususnya untuk MNE, dan memperluas banyak ketegangan yang muncul di
situ. Mereka memberikan daftar delapan jenis kebijakan dan praktik yang direkomendasikan,
termasuk: kebijakan peluang yang sama, pelatihan keragaman, struktur keragaman,
manfaat, budaya perusahaan, penentuan posisi pasar, pemantauan, dan komunitas dan advokasi.

10
3. Strategi mana yang menurut kelompok 2
paling efektif dalam studi kasus MNE yaitu : 
Strategi yang paling efektif dalam studi kasus MNE, Seiring makin bertambahnya jumlah pekerja yang mendapatkan tugas internasional,
perusahaan memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi karyawan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) mereka yang
mungkin mendapatkan tugas persekusi saat bertugas. Indonesia menjadi salah satu tujuan penugasan ekspatriat LGBT yang paling menantang
bagi perusahaan multinasional. Rusia, Nigeria, dan Arab Saudi juga termasuk di dalamnya. Hal ini sebagian karena beberapa Negara ini
menganjurkan hukuman mati untuk homoseksualitas. Penugasan internasional diantara perusahaan multinasional telah meningkat sebesar 25%
sejak tahun 2000 dan jumlahnya diperkirakan akan tumbuh lebih dari 50% sampai tahun 2020. Kesempatan bagi ekspatriat LGBT dan
keluarganya untuk menjadi bagian dari transfer intra-perusahaan secara statistic mungkin terjadi, tetapi karyawan yang melakukan tugas luar
negeri cendrung mengalami kesulitan tambahan dibandingkan dengan ekspatriat biasa. Sesuatu yang normal bagi Negara tujuan untuk menolak
visa pasangan jika pernikahan sesame jenis tidak sah di Negara tersebut. Dengan mempertimbangkan semua ini, pengalaman karyawan LGBT
mengenai tugas internasional bisa menjadi pengalaman yang membuat frustasi dan kesepian. Akibatnya, karyawan LGBT mungkin tidak
menerima penugasan internasioal karena takut mengalami stigmatisasi, tidak didukung atau didiskriminasi oleh rekan kerja dan system hokum
di Negara tuan rumah. Pada akhirnya, perusahaan multinasional memiliki dua pilihan. Salah satunya adalah menutup mata terhadap tantangan
yang dihadapi oleh karyawan LGBT dan kemudian menanggung konsekuensi dari tugas prematur dan biaya tugas yang gagal. Yang lainnya
mengambil jalan yang sama menantangnya dengan mengakui tantangan dan berkonsentrasi pada upaya untuk mendukung masyarakat LGBT
melalui pengalaman tugas internasional mereka.

11
4. Haruskah MNE ini memiliki kebijakan LGBT global ?
Tidak diragukan lagi, isu mengenai LGBT dan pernikahan sesama jenis adalah isu internasional yang sangat kontroversial dewasa
ini. Isu ini telah diperbincangkan dan diperdebatkan dalam banyak forum, baik di level domestic (nasional) maupun di level
internasional dan telah menggiring masyarakat dunia yang berasal dari berbagai lingkungan budaya, agama, dan negara ke dalam
perdebatan yang membelah pemikiran dan sikap mereka, apakah pernikahan sesama jenis harus dilegalkan atau justru dilarang?
Bisa dikatakan tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tidak memiliki tendensi atau pendapat tentang fenomena pernikahan
sesama jenis. Kalau tidak mendukung pasti ia menolaknya. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat Barat
(Eropa dan Amerika Utara) yang dikenal liberal dan sekular lebih mudah menerima fenomena LGBT dan pernikahan sesama
jenis, sementara masyarakat dari belahan dunia yang lain, utamanya negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dan negara-
negara Timur cenderung lebih sulit dan bahkan banyak diantaranya yang menolak keras fenomena tersebut. Tidak bisa dipungkiri
bahwa alasan atau background agama menjadi unsur dominan dalam banyak kasus penolakan LGBT dan pernikahan sesama
jenis, yakni bahwa agama-agama besar di dunia ini Seperti Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pada prinsipnya menolak LGBT
dan pernikahan sesama jenis. Itu artinya ada perbedaan nilai dan pandangan yang sangat tajam terkait fenomena LGBT dan
pernikahan sesama jenis antara negara-negara atau komunitaskomunitas yang ada di dunia; ada yang menerima dan mengakuinya
secara hukum dan banyak juga yang menolak dan melarangnya, bahkan mengancamnya dengan sanksi pidana. Dengan demikian,
LGBT dan pernikahan sesama jenis bukanlah suatu fenomena atau hak yang diterima dan diakui di semua negara, lingkungan
budaya, dan agama.

12
Lanjut.........................
Oleh karena itu LGBT dan pernikahan sesama jenis tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai hak
asasi manusia yang bersifat universal. Sebab fenomena tersebut memang tidak memiliki nilai universal
yang diterima pada semua ruang dan waktu layaknya hak asasi manusia yang bersifat universal lainnya
seperti hak untuk hidup, hak untuk bebas bebas dari penyiksaan, hak untuk memeluk agama /keyakinan
dan lain sebagainya. Untuk itu, tidak perlu ada paksaan atau tekanan dari negara atau komunitas atau
lembaga internasional tertentu terhadap negara lain untuk melegalkan pernikahan sesama jenis di negara
yang bersangkutan. Sebab kebijakan untuk melegalkan atau melarang pernikahan sesama jenis
sepenuhnya merupakan pilihan politik yang bersifat terbuka dan bebas dipilih oleh tiap-tiap Negara
berdaulat. Tidak ada kewajiban menurut hukum internasional untuk melegalkan atau melarangnya karena
hal tersebut bukan merupakan standar hak sasi manusia dan standar moral yang bersifat universal yang
dapat dipaksakan pengakuan dan pemenuhannya pada setiap negara.

13
Tampiasi
h!
14

Anda mungkin juga menyukai