Anda di halaman 1dari 59

PENGARUH RUTE PEMBERIAN

TERHADAP BIOAVAIBILITAS
SUATU OBAT DENGAN MENGGUNAKAN
DATA DARAH

Kelompok 5 :
Niswatul Imro’ah 201310410311048
Ratna puspita sari 201310410311062
Meilan Hiviani 201310410311075
Andi Ilham Pratama N. 201310410311163
Rizky ilhamsyah pratama 201310410311192
Ivana Rambu Sada Rewa 201310410311257
Firdia Tsani 201310410311272
Wulan Megasari 201310410311287
Tujuan
 Tujuan umum : membandingkan bioavaibilitas suatu
obat dari rute pemakaian yang berbeda.
 Tujuan khusus :

- Melakukan uji bioavaibilitas suatu obat dari sediaan


suspensi (peroral) dan larutan injeksi (intramuscular dan
intravena) dengan menggunakan data darah.

- Menghitung dan menginterpretasikan bioavaibilitas


suatu obat.
prinsip

Rute pemakaian obat dapat mempengaruhi


bioavaibilitas obat dalam tubuh. Hal tersebut
disebabkan oleh perbedaan mekanisme pelepasan obat
dari bentuk sediaan pada tempat pemakaian dan
perbedaan fisiologik jalur yang ditempuh obat dari
bentuk sediaan pada tempat pemakaian dan perbedaan
fisiologik jalur yang ditempuh obat dari masing-
masing rute pemakaian menuju sirkulasi sistemik.
Oleh karena itu, pola kadar obat dalam darah setiap
waktu dari masing-masing rute pemakaian akan
berbeda, menyebabkan perbedan bioavaibilitas.
Dasar Teori
 Pemberian Enteral (Oral)
Sebagian absorbsi obat dari saluran pencernaan terjadi
melalui proses transport pasif, absorbs lebih mudah terjadi
jika obat dalam bentuk tidak terionisasi dan lebih lipofil.
Rute ini juga paling aman, nyaman dan murah. Kerugian
rute oral antara lain terbatasnya absorbsi beberapa obat
karena sifat-sifat fisik, muntah sebagai akibat iritasi pada
mukosa saluran pencernaan (Goodman and Gilman, Dasar
Farmakologi-volume1-ed 10).
Oral :
Bioavaibilitas
adalah jumlah dan kecepatan obat
yang diabsorbsi melalui rute pemberian tertentu
masuk kesirkulasi sistemik (batubara, 2008).

Untuk suatu dosis intravena dari obat


bioavaibilitas adalah sama dengan satu
(Holford, 2007), atau dianggap 100% masuk
kedalam tubuh (batubara, 2008).

Untuk obat yang diberikan peroral,


bioavaibilitas dapat berkurang 100% karena
absorbsi yang tidak lengkap dan eliminasi first
pass (Holford, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavaibilitas
dari suatu sediaan :

Faktor fisiologis meliputi waktu pengosongan


lambung, pengerakan usus dan luas permukaan
saluran cerna.

Faktor bentuk sediaan dan cara pemakaian


meliputi bentuk sediaan yang dipakai dan cara
pemakaian.

Faktor formulasi dan pabrikasi meliputi sifat fisika


kimia bahan obat dan eksipien, jumlah dan sifat
eksipien, ukuran partikel (Holford, 2007).
Pemberiaan dosis peroral terdapat faktor-
faktor yang mempengaruhi seperti luas area
saluran cerna, laju pengosongan lambung,
motilitas saluran cerna, dan aliran darah ke
site absorpsi semuanya mempengaruhi laju
dan jumlah absorpsi obat (shargel, 2005).

Dalam farmakokinetika, keselurahan laju


absorpsi obat dapat digambarkan baik
sebagai proses masukan order ke satu atau
order nol (shargel, 2005).
Bahan dan Alat
Bahan & Pereaksi Alat Spesifkasi
Sulfametoksazol Spektrofotometer 1
Asam Trikholoro Asetat 15 % Vortex mixture 1
Natrium Nitrit 0.1 % Alat pemusing 1

Ammonium Sulfamat Labu ukur, beker glass 10,50,100 ml


N (naftil ) etilen diamina Pipet volume 1,2,3,4,5,10 ml
dihidrokhlorida
Air suling Gelas ukur, 5,10, 20 ml
Cage (kotak kelinci) 1
Alat pencukur 1
Timbangan untuk binatang percobaan 1

Disposable syiring 1 cc 1
Feeding tube 1
Mounth block , dll. 1

Subjek Coba: Hewan coba kelinci


PROSEDUR KERJA
Pemakaian produk obat
a. Pemakaian peroral

Timbang berat kelinci

Hitung dosis dan volume suspensi yang diberikan


peroral. Dosis 50 mg/kg BB (1 ml suspensi = 48 mg
sulfametoksazol)

Berikan obat secara peroral


b. Pemakaian intramuscular

Timbang berat kelinci

Hitung dosis dan volume larutan yang diberikan


intramuskular. Dosis 50 mg/kg BB (1 ml larutan = 250
mg sulfametoksazol)

Berikan obat ke dalam paha atas dari kiri, gunakan


tempat injeksi berbeda
c. Pemakaian intravena

Timbang berat kelinci

Hitung dosis dan volume larutan yang diberikan


intravena. Dosis 50 mg/kg BB (1 ml larutan = 250 mg
sulfametoksazol)

Berikan obat ke dalam vena telinga marginal kelinci


Pengambilan sampel darah dengan disposable syringe

Ambil disposable syringe steril dan bilas dengan larutan


heparin

Bersihkan bulu-bulu pada daerah telinga sekitar vena


marginal

Olesi xylol pada daerah sekitar vena marginal

Ambil darah dengan disposable syringe kurang lebih 1 ml


darah. Kocok syringe untuk mencegah koagulasi
Lakukan pengambilan sampel darah pada waktu

i.v : 0, 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60, 75, 90, 105, 120, 135, 150, 165, dan
180 menit setelah pemberian obat
i.m : 0, 10, 20, 30, 45, 60, 90, dan 120 menit setelah pemberian
obat
p.o : 0, 10, 20, 30, 45, 60, 75, 90, 105, 120, 135,
150, 165, dan 180 menit setelah pemberian obat

Ambil satu sampel darah sebelum pemberian obat sebagai blanko


Perlakuan pada hewan coba

Puasakan kelinci malam hari sebelum percobaan

Timbang berat kelinci dan hitung dosis secara tepat

Berikan obat sulfametoksazol sesuai rute pemakaian yang


ditentukan

Ambil sampel darah sesui dengan waktu yang ditentukan


Metode penetapan kadar sulfametoksazol dengan
metode Azotasi dari Bratton Marshal

0,5 cuplikan darah + 7,5 ml air suling, dicampur homogen dan


didiamkan selama 15 menit

+ 2 ml TCA 15% kocok dan vortex selama 2 menit

Ambil 5 ml supernatant + 0,5 ml NaNo2 0,1% vortex selama 2 menit,


didiamkan selama 3 menit

+ 0,5 ml ammonium sulfamat 0,5% vortex selama 2 menit, didiamkan


sambil sesekali di kocok sampai gelembung hilang

+ 2,5 ml N (naftil) etilen diamina dihidroklorida 0,1%, didiamkan


selama 10 menit. Amati serapan
Tahapan Percobaan Pembuatan
larutan baku kerja sulfametoksazol

Buatlah larutan Baku Induk 1000 mcg/ml dari 100 mg sulfametoksazol

Dilarutkan dalam NaOH 0,1 N dan H2SO4 4 N (1:5), + air suling sampai
100 ml

Buatlah larutan Baku Kerja sulfametoksazol dengan mengencerkan larutan Baku


Induk dengan air suling sampai didapat larutan dengan kadar 10, 20, 30, 50, 100
mcg/ml
Penentuan panjang gelombang maksimum

Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan larutan Baku Kerja 10


dan 100 mcg/ml

Reaksikan larutan baku kerja 10 dan 100 mcg/ml dan amati nilai serapan
pada panjang gelombang 520 – 560 nm

Buatlah kurva serapan dari larutan Baku Kerja 10 dan 100 mcg/ml pada
kertas grafik berskala
Pembuatan Kurva Baku

Lakukan pengamatan serapan dari larutan Baku Kerja dengan metode


Azotasi di Bratton Marshal, pada panjang gelombang yang telah didapat

Buatlah table hasil pengamatan dan buat kurva kadar larutan Baku Kerja
terhadap serapan pada kertas grafik berskala sama

Hitung koefisien korelasinya dan buat persamaan garisnya


Penetapan kembali kadar sulfametoksazol
yang ditambahkan dalam darah (recovery)
0,5 cuplikan darah + 7,5 ml air suling, dicampur homogen dan
didiamkan selama 15 menit

+ 2 ml TCA 15% kocok dan vortex selama 2 menit

Ambil 5 ml supernatant + 0,5 ml NaNo2 0,1% vortex selama 2 menit,


didiamkan selama 3 menit

+ 0,5 ml ammonium sulfamat 0,5% vortex selama 2 menit, didiamkan


sambil sesekali di kocok sampai gelembung hilang

+ 2,5 ml N (naftil) etilen diamina dihidroklorida 0,1%, didiamkan


selama 10 menit. Amati serapan
 Buatlah table hasil pengamatan dan buat kurva kadar larutan Baku
Kerja terhadap serapan pada kertas grafik berskala sama

 Hitung prosen recovery dengan cara

a. Memasukkan nilai serapan larutan baku recovery pada persamaan


Kurva Baku sehingga diperoleh harga kadar sulfametoksazol yang
diperoleh kembali
b. Hitung prosen recovery dengan membagi perolehan kembali
sulfametoksazol dalam darah dengan kadar sebenarnya, kemudian
dikalikan 100%
% Recovery = C perolehan kembali x 100%
C sebenarnya
Pengumpulan sampel darah
i.v : 0, 5, 10, 15, 20, 30, 45, 60, 75, 90, 105, 120, 135, 150, 165, dan 180
menit setelah pemberian obat
i.m : 0, 10, 20, 30, 45, 60, 90, dan 120 menit setelah pemberian obat
p.o : 0, 10, 20, 30, 45, 60, 75, 90, 105, 120, 135, 150, 165, dan 180 menit
setelah pemberian obat

Penetapan kadar sulfametoksazol dalam


darah
 Tetapkan kadar sulfametoksazol dalam cuplikan darah dengan reaksi Azotasi
dari Bratton Marshal dan amati searapan pada panjang gelombang
maksimum

Masukkan data serapan ke persamaan garis recovery untuk mendapatkan data


kadar sulfametoksazol dalam darah dari setiap waktu pengambilan
Penimbangan Bahan

Jenis bahan yang Berat wadah +


No. Berat wadah Berat Bahan
ditimbang Bahan

Sulfametoksazol
1 12,6801 12,7809 0,1008
(Baku Kerja)

Su;fametoksazol
2 12,6801 12,7809 0,1008
(Recovery)
Perhitungan pembuatan baku kerja
sulfametoksazol

Baku induk = (100 mg ; 100 ml) x 1000 ml = 1000


ppm

Baku kerja 1 = N5xV5=N1xV1


100 ppm x V5= 10 ml x 10 ppm
V5= 1 ml dipipet dari BK 5

Baku kerja 2 = N5xV5=N2xV2


10 ml x 10 ppm= 100 ppm x V5
V5 = 2 ml dipipet dari BK 5
Baku kerja 3= N5xV5=N3xV3
10 ml x 30 ppm= 100 ppm x V5
V5= 3 ml dipipet dari BK5

Baku kerja 4= N5xV5=N4xV4


10 ml x 50 ppm= 100 ppm x V5
V5 = 5 ml dipipet dari BK 5

Baku kerja 5= N0xV0=N5xV5


50 ml x 100 ppm=1000 ppm x V0
V0 = 5 ml dipipiet dari BI
PERHITUNGAN KONSENTRASI
Baku induk = (100,8 mg : 100 mg) x 1000 ppm = 1008 ppm

Baku kerja 1 = N5 x V5 = N1 x V1
= (100,8 ppm x 1 ml): 10 ml= 10,08 ppm
Baku kerja 2 = N5 x V5 = N2 x V2

= (100,8 ppm x 2 ml): 10 ml=20,16 ppm


Baku kerja 3 = N5 x V5 = N3 x V3

= (100,8ppm x 3 ml): 10 ml=30,24 ppm


Baku kerja 4 = N5 x V5 = N4 x V4

= (100,8ppm x 5 ml): 10 ml=50,4 ppm


Baku kerja 5 = N0 x V0 = N5 x V5

= (1008ppm x 5 ml): 50 ml=100,8 ppm


Tabel nilai serapan Sulfametoksazol pada berbagai panjang
gelombanguntuk menentukan panjang gelombang maksimal

Panjang gelombang Serapan BK 3 Panjang gelombang


(nm) maksimal

Bake Kerja 0,222 536,0 nm

Recovery 0,222 536,0 nm


Kurva Baku Sulfametoksazol
BK Konsentrasi (ppm) absorbansi

1 10,08 0,072

2 20,16 0,145

3 30,24 0,224

4 50,4 0,362

5 100,8 0,725

Persamaan Kurva Baku


Y = bx + a
a = 1,65 x 10-3
b = 7,18 x 10-3
r = 0,9999
3. Pembuatan recovery
0,5 larutan baku kerja + o,5 ml darah + 7,0 ml air suling, campur
homogen,dan diamkan 15 menit.

Tambhakan 2 ml TCA 15%, kocok dan pusingkan


Ambil supernatan 5 ml + 0,5 ml NaNO2 0,1%, diamkan
selama 3 menit

Tmbahkan ke dalam 0,5 ml ammonium sulfamat 0,5%,


reaksikan selama 2 menit

Tambahkan 2,5 ml N (naftil) etilen diamina dihidrokhlorida


0,1%, diamkan selama 10 menit

Amati serapan pada panjang gelombang maksimum


Kurva Recovery
No Konsentrasi (ppm) Absorbansi
1 10,08 0,082
2 20,16 0,120
3 30,24 0,193
4 50,4 0,252
5 100,8 0,566

Persamaan Garis Regresi

Nilai : a = 0,0177
b = 5,32 x 10-3
r = 0,9944
Menghitung kadar yang didapat kembali (x)
Y= bx +a
a = 1,65 x 10-3
b = 7,18 x 10-3
r = 0,9999
x = y-a/b

Baku Kerja 1 :
y =bx+a
0,083 = (7,18 x 10-3)x + 1,65 x 10-3
X = 11,33 µg/ml
Baku Kerja 2 :
y =bx+a
0,120 = (7,18 x 10-3)x + 1,65 x 10-3
X = 16,48 µg/ml

Baku Kerja 3 :
y =bx+a
0,193 = (7,18 x 10-3)x + 1,65 x 10-3
X = 26,65 µg/ml
Baku Kerja 4 :
y =bx+a
0,252 = (7,18 x 10-3)x + 1,65 x 10-3
X = 34,87 µg/ml

Baku Kerja 5 :
y =bx+a
0,566 = (7,18 x 10-3)x + 1,65 x 10-3
X = 78,61 µg/ml
Menghitung % Recovery

% recovery =

BK 1 : % Recovery =

BK 2 : % Recovery =
BK 3 : % Recovery =

BK 4 : % Recovery =

BK 5 : % Recovery =

Rata-rata =

= 85,89%
BK Konsentrasi (ppm) Kadar perolehan % Recovery
kembali (µg/ml)

1 10,08 11,33 112,4 %

2 20,16 16,48 81,75%

3 30,24 26,65 88,13%

4 50,4 34,87 69,19%

5 100,8 76,61 77,99%

Rata-rata % Recovery 85,89 %


Konversi
  dosis
◦ Pemakaian oral
Bb kelinci = 2,5 kg
Dosis 50mg/kgBB (1ml suspensi = 48mg
sulfametoksazol)
Jadi dosis yg digunakan  =
x = 125mg
=
x = 2,60 ml
Tabel jumlah sulfametoksazol yang terekskresi dalam darah
tiap waktu

Cuplikan Volume darah Plasma


no Time (jam) (ml) absorbansi concentration
(mg/ml)
1 0 0,5 -0,043 -11,41
2 0,17 0,5 0,041 4,39
3 0,33 0,5 0,082 12,10
4 0,5 0,5 0,151 25,07
5 1 0,5 0,214 36,92
6 1,25 0,5 0,142 23,38
7 1,5 0,5 0,136 22,25
8 2 0,5 0,107 16,80
9 2,25 0,5 0,057 7,40
10 2,5 0,5 0,051 6,27
11 2,75 0,5 0,031 2,51
12 3 0,5 -0,602 -116,52
Kurva Waktu VS
Plasma concentration
(mg/ml)

Eliminasi

t ½ : 0,5 Jam
Kel : 1,39 / Jam

Absorbsi

t ½ : 0,25 Jam
Kab : 2,8 / Jam
Menghitung kadar (cu) obat sulfametoksazol dalam darah
Persamaan kurva recovery
A = 0,0177
B = 5,32 x 10-3
r = 0,9944

 Cuplikan 1  Cuplikan 3
Y = bx +a Y = bx +a
-0,043 = 5,32 x 10-3x+ 0,0177 0,082 = 5,32 x 10-3x+ 0,0177
X = -11,41ppm X = 12,10ppm
 Cuplikan 2

Y = bx +a  Cuplikan 4
0,041= 5,32 x 10-3x+ 0,0177 Y = bx +a
X = 4,39 ppm 0,151 = 5,32 x 10-3x+ 0,0177
X = 25,07 ppm
Cuplikan 5 Cuplikan 8
Y = bx +a Y = bx +a
0,214 = 5,32 x 10-3x+ 0,0177 0,107 = 5,32 x 10-3x+ 0,0177
X = 36,92 ppm x = 16,80 ppm

Cuplikan 9
Cuplikan 6
Y = bx +a
Y = bx +a
0.057 = 5,32 x 10-3x+ 0,0177
0,042 = 5,32 x 10-3x+ 0,0177
x = 7,40 ppm
x = 23,38ppm
Cuplikan 7
Cuplikan 10
Y = bx +a Y = bx +a
0,136 = 5,32 x 10-3x+ 0,0177 0.051 = 5,32 x 10-3x+ 0,0177
x = 22,25ppm x = 6,27 ppm
Cuplikan 11
y = bx +a
0,031 = 5,32 x 10-3x+ 0,0177
x = 2,51 ppm

Cuplikan 12
Y = bx +a
-0,602 = 5,32 x 10-3x+ 0,0177
x = -116,52 ppm
KURVA AUC
AUC
40
35
30
25
AUC
20
15
10
5
0
10 20 30 60 75 90 120 135 150 165
Menghitung AUC Sulfametoksazol dalam darah dengan rute per oral
•AUC 1=½Xaxt •AUC 4 = ½ x(a3+a4) x (t4-t3)
= ½ x 4,39 x 10 = ½ x 61.99 x 30
= 21,95 µg.menit/ml =929,85 µg.menit/ml

•AUC 2 = ½ x(a1+a2) x (t2-t1) •AUC 5 = ½ x(a4+a5) x (t5-t4)


= ½ x 16,49 x 10 = ½ x 60,3 x 15
= 82,45µg.menit/ml = 452,25 µg.menit/ml

•AUC 3 = ½ x(a2+a3) x (t3-t2) •AUC 6 = ½ x(a5+a6) x (t6-t5)


= ½ x 37,17 x 10 = ½ x 45,63 x 15
= 185,85 µg.menit/ml =342,23µg.menit/ml
AUC 7 = ½ x(a6+a7) x (t7-t6) AUC 9 = ½ x(a8+a9) x (t9-t8)
= ½ x 39.05 x 15 = ½ x 13,67 x 15
= 585,75 µg.menit/ml = 102,53 µg.menit/ml

AUC AUC 10 = ½ x(a9+a10) x (t10-t9)


8 = ½ x(a7+a8) x (t8-t7)
= ½ x 24,2 x 15 = ½ x 8,78 x 15
=65,85 µg.menit/ml
=181,5µg.menit/ml

•AUC TOTAL = 21,95 µg.menit/ml +82,45µg.menit/ml + 185,85


µg.menit/ml + 929,85 µg.menit/ml + 452,25
µg.menit/ml +342,23µg.menit/ml + 585,75 µg.menit/ml +
181,5µg.menit/ml +102,53
µg.menit/ml+ 65,85 µg.menit/ml
= 2950,21 µg.menit/ml
PEMBAHASAN
Sulfametoksazol merupakan antibiotik yang banyak
digunakan dalam klinik, dan termasuk golongan
sulfonamide yang kebanyakan diberikan melalui oral
karena absorpsinya cepat dilambung dan usus halus
serta didistribusikan keseluruh jaringan tubuh. Obat
yang di absorpsi akan berikatan dengan protein plasma
dalam jumlah besar dan sebagian akan disetilasi atau di
metabolisme menjadi tidak aktif, sehingga pemeriksaan
dengan menggunakan darah (whole blood) lebih baik
dari pada plasma atau serum (Katzung, 2005).
 Farmakokinetika dari obat golongan sulfonamide

 Absorpsi : absorpsi melalui saluran cerna mudah dan cepat, kecuali beberapa
macam sulfonamide yg khusus digunakan untuk infeksi lokal pada usus. Kira-
kira 70%-100% dosis oral sulfonamide di absorpsi melalui saluran cerna dan
dapat ditemukan dalam urine 30 menit setelah pemberian. Absorpsi terutama
terjadi pada usus halus, tetapi beberapa jenis sulfa dapat di absorpsi melalui
lambung.
 Distribusi : semua sulfonamide terikat pada protein plasma terutama albumin
dalam derajat yg berbeda-beda. Obat ini tersebar ke seluruh jaringan tubuh,
karena itu berguna untuk infeksi sistemik. Dalam cairan tubuh kadar obat bentuk
bebas mencapai 50%-80% kadar dalam darah.
 Metabolisme : dalam tubuh, sulfa mengalami asetilasi dan oksidasi. Hasil
oksidasi inilah yang sering menyebabkan reaksi toksik sistemik berupa lesi pada
kulit dan gejala hipersensitivitas, sedangkan hasil asetilasi menyebabkan
hilangnya aktivitas obat.
 Ekskresi : hampir semua obat di ekskresi melalui ginjal, baik dalam bentuk asetil
Pada praktikum dilakukan percobaan menggunakan kelinci
yang diberikan sulfametoksazol dengan beberapa rute, yakni
intravena, intramuskular dan per oral. Terdapat beberapa
parameter farmakokinetik yang dapat dibandingkan dari rute-
rute pemberian tersebut.
Per oral Intravena Intramuskular
Sejauh ini rute peroral Digunakan ketika Obat dapat diinjeksikan
merupakan rute yang dibutuhkan respon klinis pada lengan, paha atau
paling umum digunakan. yang cepat. Rute ini pantat. Karena adanya
Jalur lintasan obat dari membuat konsentrasi obat perbedaan vaskularisasi
saluran cerna hingga yang tepat didalam plasma besar absorpsi berbeda:
masuk kedalam darah seperti yang dimasukan, lengan > paha > pantat.
dipengaruhi oleh faktor sehingga bioavailabilitas Absorpsi obat dapat
biologis dan fisiko-kimia obat dengan rute intravena terjadi lmbat dan tidak
obat dan bentuk sediaan. sangat tinggi. Sebagian menentu. Volume dari
besar obat yang injeksi, osmolalitas
diinjeksikan antara 1-2 larutan, lipid solubility
menit untuk mencegah dan derajat ionisasi
konsentrasi obat yang mempengaruhi absorpsi.
sangat tinggi pada vena
FARMAKOKINETIKA ABSORPSI ORAL

Rute pengantaran ekstravaskuler, terutama pendosisan


oral, merupakan cara pemberian obat yang penting dan
populer. Model farmakokinetika dari pemberian obat
ekstravaskuler harus memperhitungkan absorpsi obat
sistemik dari site pemakaian misal paru-paru, usus dan
lain-lain, ke plasma.

Absorpsi obat sistemik dari saluran cerna atau dari


berbagai site ekstravaskuler lain bergantung pada sifat
fisika kimia obat, bentuk sediaan yang digunakan, dan
anatomi dan fisiologi dari site absorpsi. Untuk pendosisan
oral, faktor-faktor seperti luas area saluran cerna, laju
pengosongan lambung, mortilitas saluran cerna, dan aliran
darah ke site absorpsi semuanya mempengaruhi laju dan
jumlah absorpsi obat (Shargel, 2005).
PARAMETER FARMAKOKINETIK

Beberapa parameter farmakokinetik


dipengaruhi oleh rute pemberian obat
Parameter farmakokinetika yang Parameter farmakokinetika yang
dipengaruhi rute tidak dipengaruhi rute

- Absorpsi -Waktu paruh


- Bioavailabilitas - Klirens
- Konsentrasi serum puncak - Distribusi
- Waktu untuk mencapai konsentrasi - Metabolisme
puncak - Ikatan pada protein
DATA HASIL PRAKTIKUM DARI TIAP KELOMPOK

RUTE PEMBERIAN

IV IM P.O

1 2 3 4 5 6

Kd 0,3465 - -

K abs (/jam) - - - - 2,8 2,772

K eliminasi 0,92 0,053 - - 1,39 0,693


(/jam)

T ½ abs (jam) - - - - 0,25 0,25

T ½ eliminasi 0,75 0,21 - - 0,5 1


(jam)

Dosis (/kgBB) 20 mg 20 mg 50 mg 50 mg 50 mg 50 mg

AUC 2463,6 901,25 387,76 57,786 2950,21 2720,45


(mcg.menit/ml)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
bioavailabilitas obat saat diberikan pada berbagai rute
pemberian dan hasil yang didapatkan adalah:

1. Pada rute IV memiliki bioavailabilitas yang hampir 100%


mengingat seluruh obat langsung diinjeksikan kedalam
sirkulasi darah, hal ini menjadikan obat yang diberikan
melalui rute IV tidak akan mengalami first pass metabolism,
eliminasi langsung, atau mengalami kerusakan karena faktor
fisiologis tubuh, hal ini menjadikan obat yang diinjeksikan
itulah konsentrasi obat seluruhnya dalam darah.

Rute IV, sulfametoksazol mengikuti model kompartemen dua


dimana obat akan mengalami distribusi dan eliminasi. Model
kompartemen 2 menganggap bahwa tidak ada obat dalam
kompartemen jaringan pada t=0, setelah injeksi IV bolus, obat
berkesetimbangan dengan cepat dalam kompartemen sentral.
2. Pada rute IM obat tidak memiliki bioavailabilitas yang
sebesar BA dari IV namun rute IM memiliki BA yang jauh
lebih besar dibandingkan rute per oral. Karena rute IM
meskipun mengalami absorpsi, obat tidak memiliki jalur
lintasan sekompleks jalur per oral, selain itu pada rute IM
yang banyak berperan adalah difusi pasif dari obat melalui
otot dan obat tidak akan dieliminasi atau melalui first pass
metabolism yang dapat menurunkan BA obat secara
drastis.

3. Rute per oral merupakan rute dengan BA paling kecil


dibandingkan kedua rute lainnya, karena jalur lintasan obat
yang cukup panjang dari mulai saluran cerna, diabsorpsi,
didistribusikan menjadikan kemungkinan AUC atau
jumlah obat yang mampu masuk kedalam darah kecil atau
memilikki BA yang kecil.
Dari data hasil praktikum tentu tidak sepenuhnya
sempurna karena dimungkinkan adanya kesalahan-
kesalahan kecil saat pelaksanaan praktikum yang
dapat mempengaruhi absorpsi dan bioavailabilitas
yang diinginkan dan juga dapat dipengaruhi oleh
faktor lain. Seperti pada rute per oral dapat
dipengaruhi dari konsumsi makanan, interaksi kation,
pH lambung, intrinsik absorptive capability of GIT,
dan first pass metabolism oleh hati. Sedangkan pada
rute IM dapat dipengaruhi oleh daerah injeksi, pelarut,
kelarutan obat, konsentrasi obat, total surface area for
diffusion, dan aliran darah pada otot yang diinjeksi.
kesimpulan
Dari ptaktikum ini dapat disimpulkan bahwa :
Data darah dengan rute pemberian peroral dapat digunakan
untuk menentukan parameter farmakokinetika suatu obat ( k
eliminasi, k absorbsi, t ½ absorbsi ,t ½ eliminasi dan AUC)

Pada praktikum ini yang dapat mempengaruhi absorpsi dan


bioavailabilitas yang diinginkan yaitu pada rute per oral dapat
dipengaruhi dari konsumsi makanan, interaksi kation, pH
lambung, intrinsik absorptive capability of GIT, dan first pass
metabolism oleh hati.

Pada rute IV memiliki bioavailabilitas yang hampir 100%


mengingat seluruh obat langsung diinjeksikan kedalam
sirkulasi darah. Pada rute IM obat tidak memiliki
bioavailabilitas yang sebesar BA dari IV namun rute IM
DAFTAR PUSTAKA

Donatus, I.A., 2008, Strategi Penelitian Farmakokinetika, Cermin Dunia


Kedokteran No. 37, Jakarta.
Gholib, I.G., dan Rohman, A., 2012, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Hakim, Lukman, 2008, Farmakokinetik, Bursa Ilmu, Yogyakarta.
Katzung, Bertram, 1992, Farmakologi Dasar dan Klinik, EGC, Jakarta.
Mursyidi, Achmad dan Rohman, Abdul , Editor, 2006, Volumetri dan
Gravimetri, Yayasan Farmasi Indonesia, Yogyakarta.
Mutschler, Ernst, 1991, Dinamika Obat, ITB-Press, Bandung.
Neal, M.J., 2006, At a Glance Farmakologi Medis, Edisi V, Erlangga, Jakarta.
Ritschel, W.A., 1992, Handbook of Basic Pharmacokinetics, ed, Drug
Intelligence Publications, Inc., Hamilton.
Riski,2011,Pengujian in vivo (Uji biologi),
http://lordbroken.wordpress.com/2011/05/08/ pengujian-in-vivo-uji-biologi/,
diakses 7 Mei 2013, pukul 14.00 WIB.
Shargel, Leon, 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Airlangga
University Press, Surabaya.
Shargel, Leon, 2005, Applied Biopharmaceutics & Pharmacheutics, Appleton &
Lange, USA.

Anda mungkin juga menyukai