Anda di halaman 1dari 19

TINDAK PIDANA EKONOMI DALAM UU

DRT NO. 7 TAHUN 1955

Muhammad Iftar Aryaputra


TINDAK PIDANA EKONOMI

APA ITU DIMANA


TINDAK PENGATURAN
PIDANA? TP?
BAGAIMANA
KUALIFIKASI
YURIDIS TP?

Secara Luas diatur dalam perundang-undangan pidana khusus

Secara sempit diatur dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang


Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi (selanjutnya disingkat UU TPE)
PENDAHULUAN
 Undang-undang Drt. No. 7 Tahun 1955 sebenarnya merupakan
copy dari Wet op de Economische Delicten (WED) Belanda, yang
diundangkan pada tanggal 22 Juni Tahun 1950.
 Pada tahun 1958, UU TPE mengalami penambahan materi melalui
UU Drt. No. 8 Tahun 1958.
 Dalam perkembangannya, disahkan menjadi UU melalui UU No. 1
Tahun 1961.
 Pasal-pasal dalam UU TPE banyak yang merupakan terjemahan
langsung dari WED.
 UU TPE adalah UU impoten.
 Dikatakan impoten karena delik yang diatur di golongan I UU TPE
sudah banyak yang dicabut (terakhir rechten ordonnantie yang
digantikan UU Kepabeanan).
 UU TPE bersifat khusus.
 Terdapat ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari KUHP
maupun KUHAP.
LATAR BELAKANG LAHIRNYA UU TPE
1. bahwa perlu diadakan peraturan yang efektif tentang
pengusutan, penuntutan dan pengadilan perbuatan-perbuatan
yang merugikan perekonomian;
2. bahwa berhubung dengan itu, untuk mempermudah
penyelenggaraannya dianggap perlu diadakan kesatuan dalam
perundang-undangan ekonomi
Formulasi Delik dalam UU TPE
Pasal 1e (GOLONGAN I):
1. Ordonnantie Gecontroleerde Goederen (Ordonansi Perdagangan Barang-
barang dalam pengawasan ) 1948 (dicabut dengan Perppu No. 8 Tahun
1962)
2. Prijs beheersing Ordonnantie (Ordonansi Pengendalian Harga) 1948
(dicabut dengan Perppu No. 9 Tahun 1962)
3. Undang-undang Penimbunan Barang-barang 1951 (dicabut dengan
Perppu No. 8 Tahun 1962)
4. Rijster Ordonnantie (Ordonansi Beras) 1948 (dicabut dengan Perppu No.
8 Tahun 1962)
5. Undang-undang Darurat Kewajiban Penggilingan Padi dan Perdagangan
Bahan Makanan (dicabut dengan Perppu No. 8 Tahun 1962)
6. Deviezen Ordonnantie (Ordonansi Devisa) 1940 (dicabut dengan Perppu
No. 8 Tahun 1962)
Formulasi Delik dalam UU TPE
DELIK GOLONGAN I (Pasal 1e):
1. Ordonnantie Gecontroleerde Goederen (Ordonansi Perdagangan Barang-
barang dalam pengawasan ) 1948 (dicabut dengan Perppu No. 8 Tahun
1962)
2. Prijsbeheersing Ordonnantie (Ordonansi Pengendalian Harga) 1948
(dicabut dengan Perppu No. 9 Tahun 1962)
3. Undang-undang Penimbunan Barang-barang 1951 (dicabut dengan
Perppu No. 8 Tahun 1962)
4. Rijsterdonnantie (Ordonansi Beras) 1948 (dicabut dengan Perppu No. 8
Tahun 1962)
5. Undang-undang Darurat Kewajiban Penggilingan Padi dan Perdagangan
Bahan Makanan (dicabut dengan Perppu No. 8 Tahun 1962)
6. Deviezen Ordonnantie (Ordonansi Devisa) 1940 (dicabut dengan Perppu
No. 8 Tahun 1962)
Formulasi Delik dalam UU TPE
CATATAN:
Dalam perkembanganya, melalui UU Drt No. 8 Tahun 1958 tentang
Penambahan UU Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, delik golongan I
ditambah dengan:
a. Crisis Uitvoerordonnantie (Ordonansi Krisis Ekspor) 1939
b. Rechten Ordonnantie (Ordonansi Bea)
c. Scheepvaartverordening 1936
Formulasi Delik dalam UU TPE
DELIK GOLONGAN II (Pasal 2e):
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 26, 32, dan 33 UU drt No. 7
Tahun 1955

Delik GOLONGAN III (Pasal 3e):


Pelanggaran dalam UU lain apabila disebutkan sebagai tindak pidana
ekonomi.
Delik Golongan II dalam UU TPE
Pasal 26 :
Dengan sengaja tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusut,
berdasarkan suatu aturan dari undang-undang darurat.
Pasal 32 :
Barangsiapa sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan suatu hukuman tambahan sebagai tercantum
dalam pasal 7 ayat 1 sub a, b atau e, dengan suatu tindakan tata tertib
seperti tercantum dalam pasal 8, dengan suatu peraturan seperti
termaksud dalam pasal 10, atau dengan suatu tindakan tata tertib
sementara, atau menghindari hukuman tambahan, tindakan tata tertib,
peraturan, tindakan tata tertib sementara seperti tersebut di atas.
Pasal 33:
Barangsiapa sengaja, baik sendiri maupun dengan perantaraan seorang
lain, menarik bagian-bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-
tagihan atau pelaksanaan suatu hukuman, tindakan tata tertib atau
tindakan tata tertib sementara, yang dijatuhkan berdasar undang-
undang darurat.
Kesimpulan Mengenai Formulasi Delik
dalam UU TPE
1. Pasal 1 sub 1e UU DRT 7/1955 dikualifikasikan sebagai kejahatan dan
pelanggaran sesuai dengan ordonansinya. Kecuali ordonansi tidak
menentukan, maka kualifikasinya sebagai berikut: Kejahatan
dimaksudkan sebagai perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 1 sub
1e yang dilakukan dengan sengaja. Sedangkan pelanggaran
dimaksudkan sebagai perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 1 sub
1e yang dilakukan dengan kelalaian;
2. Pasal 1 sub 2e dikualifikasikan sebagai kejahatan;
3. Pasal 1 sub 3e dikualifikasikan sebagai kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan apabila memuat anasir kesengajaan. Pelanggaran apabila
memuat anasir kealpaan. Namun apabila dalam UU TPE tidak
dikualifikasikan, maka mengikuti perundang-undangan yang
mengaturnya.
PERLUASAN ASAS TERITORIAL DALAM UU TPE
PASAL 3 UU Drt. No. 7/1955:
Barangsiapa turut melakukan suatu tindak pidana ekonomi,
yang dilakukan di dalam daerah hukum Republik Indonesia,
dapat dihukum pidana; begitu pula jika ia turut melakukan
tindak pidana ekonomi itu di luar negeri.

bandingkan

PASAL 2 KUHP:
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan
bagi setiap orang yang melakukan sesuatu delik di Indonesia.
TENTANG PERCOBAAN DAN PEMBANTUAN
DALAM UU TPE
PASAL 4 UU Drt. No. 7/1955:
Jika dalam undang-undang darurat ini disebut tindak-pidana ekonomi
pada umumnya atau suatu tindak-pidana ekonomi pada khususnya, maka
di dalamnya termasuk pemberian bantuan pada atau untuk melakukan
tindak-pidana itu dan percobaan untuk melakukan tindak-pidana itu,
sekadar suatu ketentuan tidak menetapkan sebaliknya.

PENJELASAN PASAL 4:
Pasal ini menyimpang dari Pasal 54 dan 60 KUHP. Hal ini dianggap perlu
mengenai tindak-pidana ekonomi yang dipandang pelanggaran.
Maksimum hukuman pokok yang mengancam pelanggaran ekonomi itu
dikurangi dengan sepertiga, jika dilakukan percobaan atau ikut
membantu perbuatan itu
SANKSI DALAM TINDAKAN TATA
SANKSI PIDANA UU TPE TERTIB
PIDANA POKOK Pasal 10 KUHP 1. Penempatan perusahaan di
bawah pengampuan;
PIDANA TAMBAHAN 2. Pembayaran uang jaminan;
3. Kewajiban membayar
1. Pencabutan hak (mengacu Pasal 35 sejumlah uang sebagai
KUHP); pencabutan keuntungan
2. penutupan perusahaan si terhukum; menurut taksiran dari suatu
3. Perampasan barang-barang tetap atau TP;
tidak tetap; 4. Mewajibkan mengerjakan
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak apa yang dilalaikan tanpa
tertentu; hak.
5. Pengumuman putusan hakim.

Catatan: Baik pidana tambahan dan tindakan tata tertib, sifatnya


accesoir (baru dapat dijatuhkan setelah dijatuhkan pidana pokok)
SANKSI PIDANA DALAM UU DRT NO.7/1955 :
PASAL 1 SUB 1e
1. Kejahatan : maks 6 tahun penjara dan/atau denda maks Rp. 1.000.000,00
2. Pelanggaran : maks 1 tahun kurungan dan/atau denda maks Rp. 100.000,00

PASAL 1 SUB 2e
Kejahatan : maks 2 tahun penjara dan/atau denda maks Rp. 100.000,00

PASAL 1 SUB 3e

1. Kejahatan : maks 2 tahun penjara dan/atau denda maks Rp. 100.0000,00


2. Pelanggaran : maks 6 bulan kurungan dan/atau denda maks Rp. 50.000,00

CATATAN:
Setelah keluarnya UU No. 5.Pnps/1959 dan UU No. 21/Prp/1959, TPE dalam
UU Drt. No. 7/1955 tidak mengenal lagi kualifikasi kejahatan dan pelanggaran.
SUBYEK HUKUM
 Orang alamiah (naturlijk persoon)
 Badan hukum/korporasi (legal person)

Catatan: UU drt. No. 7 Tahun 1955 tidak menggunakan istilah


korporasi, tetapi menggunakan istilah: badan hukum,
perseroan, perserikatan,dan yayasan.
SUBYEK HUKUM KORPORASI (PASAL 15):
TPE dilakukan oleh korporasi, apabila: dilakukan oleh orang-orang
yang memiliki hubungan kerja atau berdasar hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut.

SIAPA YANG DIPERTANGGUNGJAWABKAN?


1. Korporasinya (badan hukum, perseroan, perserikatan, atau
yayasan);
2. Orang yang memberi perintah atau pemimpinnya;
3. Kedua-duanya.

 Dalam proses peradilannya, korporasi diwakili oleh seorang


pengurus (Pasal 15 ayat (3));
 Segala bentuk panggilan (relaas) untuk menghadap dan segala
penyerahan surat-surat, ditujukan kepada kepala pengurus atau di
tempat tinggal kepala pengurus itu atau di tempat pengurus
bersidang atau berkantor (Pasal 15 ayat (4)).
PEMERIKSAAN IN ABSENTIA DALAM TPE:
 Dasar hukum: Pasal 16 UU drt. No. 7 Tahun 1955
 Istlah in absentia berasal dari bahasa latin in absentia atau
absentium, yang berarti dalam keadaan tidak hadir atau
ketidakhadiran;
 Pemeriksaan in absentia dapat diartikan sebagai suatu upaya
memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara tanpa
dihadiri oleh terdakwa;
 Dalam UU drt. No.7 Tahun 1955, tidak hadirnya terdakwa dalam
persidangan bisa dikarenakan: terdakwa meninggal atau
terdakwa tidak dikenal;
 Asas yang dikecualikan dalam pemeriksaan in absentia adalah
asas peradilan langsung dan asas hapusnya kewenangan
menunutut/mengadili karena matinya terdakwa;
 Dalam hal terdakwa kabur, dan muncul setelah hakim
menjatuhkan putusan atas kasusnya, terdakwa tidak bisa
mengajukan banding atau kasasi. Terdakwa hanya dapat
mengajukan peninjauan kembali.
PEMERIKSAAN IN ABSENTIA DALAM TPE:
 Pasal 16 ayat (6) menegaskan bahwa pemeriksaan dalam
TPE dapat dilakukan kepada orang yang tidak dikenal.
 Apa maksudnya “orang yang tidak dikenal”? Dapat diartikan
sebagai:
1. Diketahui nama, tapi alamat di luar negeri, sudah
dipanggil secara patut tapi tidak datang;
2. Diketahui nama, tapi alamatnya tidak diketahui, sudah
dipanggil secara patut tapi tidak datang.

Anda mungkin juga menyukai