Anda di halaman 1dari 34

ASKEP

STEVENS JONSHON SYNDROME


Dosen:
DINNY RIA PERTIWI, S.Kep.,Ners.,M.Kep

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA


FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
PSDKU GARUT
Definisi :

• American Association of Critical-Care Nurses (2012), mendefenisikan sindrom


Stevens-Johnson (SSJ) sebagai suatu penyakit akibat reaksi obat yang
langka dan berpotensi fatal yang menyebabkan terjadinya nekrosis sel
epidermal. Penentuan diagnosis awal dari sindrom ini sangat penting untuk
mencegah terjadinya komplikasi atau keparahan lebih lanjut (Cooper, 2012).
• Menurut Djuanda dan Mochtar (2010), sindrom Stevens Johnson merupakan
sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari ringan sampe berat; kelainan pada kulit
berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.
EPIDEMIOLOGI :

• Insiden SJS, SJS / TEN-overlap dan TEN adalah sekitar satu hingga dua kasus per 1
juta penduduk per tahun, sedangkan SSSS muncul lebih jarang, dengan sekitar
satu kasus per 10 juta penduduk per tahun. Angka kematian yang dilaporkan
untuk TEN bervariasi, dari 20 hingga 80%. Dalam sebuah penelitian berbasis
populasi Jerman, SJS memiliki tingkat kematian kurang dari 10%, SJS / TEN-
overlap memiliki tingkat kematian sekitar 25%, dan TEN sekitar 45%.(Hilbert,
2010)
• Di palembang penelitian yang dilakukan oleh M. Athuf Thaha menunjukkan
Jumlah kasus SSJ lebih tinggi dari kasus SJS / TEN dan TEN, sebagian besar pasien
SSJ berada pada kelompok usia 26-36 tahun (11 pasien atau 25,5%), dengan rasio
pria / wanita: 55,8%: 44,2%.
• Penelitian yang di lakukan di RSHS Bandung dari tahun 2009-2013 Sebanyak 57
pasien terdaftar dalam penelitian. Tiga puluh sembilan kasus SJS (21 pria dan 18
wanita), 7 kasus SJS TEN yang tumpang tindih (4 pria dan 3 wanita), dan 11 kasus
TEN (5 pria dan 6 wanita) dilaporkan.
ETIOLOGI :
Infeksi  
Virus Herpes simpleks, Mycopplasma pneumoniae, vaksinia
Jamur Koksidioidomikosis, histoplasma
Bakteri Streptokokus, staphylococcs haemoliticus, Mycobacterium
  tuberculosis, Salmonela
Parasit Malaria
Obat Slasilat, Sulfa, Penisilin, Etambutol, Tegretol, Tetrasikin, Digitalis,
  Kontraseptif, Klorpromazin, Karbamazepin, Kinin,
alagetik/antipiretik
Makanan Coklat
Fisik Udara dingin, Sinar matahari, Sinar X
Lain Penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

(Dikutip dengan modifikasi sari SL Moschella dan HJ Hurley, 1985 / dalam buku Ajar Alergi
Immunologi Anak, edisi ke II, IDAI 2008)
(Kellen & Berlin, 2018) Golongan obat tersering yang dilaporkan
sebagai penyebab adalah sebagai berikut :
• Anticonvulsants : Phenobarbital, Carbamazepime, Phenytoin,
Lamotrigine
• Sulfonamides : Trimethoprim-sulfamethoxazole, Silver
Sulfadiazine, sulfamethoxazole eye drop.
• Antibiotics : Penicillins, Tetracycilines, Fluoroquinolones, Macrolides
• Obat-obat lain : Allupurinol, NSAIDs (non-steriod anti inflammatory
drugs), Sertraline
MANIFESTASI KLINIS
• Gejala klinis yang tampak pada pasien Stevens-Jhonson
Syndrome bervariasi dari ringan hingga berat.
• Awal mula pada kondisi akut biasanya disertai gejala
prodormal berupa
• Demam Kelainan klinis SSJ biasanya timbul
• Malaise cepat dan menakutkan dengan keadaan
umum yang berat, disertai demam,
• batuk produktif dehidrasi, gangguang pernapasan,
• Koriza muntah diare, melena, pembesaran
kelenjar getah bening dan
• sakit kepala hepatosplenomegali, sampai pada
• sakit menelan penurunan kesadaran dan kejang.
(Creamer et al., 2016)
• nyeri dada
• Muntah
• pegal otot, dan arralgia yang sangat bervariasi dalam
derajat berat dari kombinasi gejala tersebut
Kelainan Kulit :
• Kelainan kulit dapat timbul dengan cepat berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara
simestris berupa lesi keci satu-satu atau kelainan luas pada hampir seluruh tubuh. Lesi kulit
biasanya pertama kali terlihat dimuka, leher, dagu, dan badan. Sering timbul perdararahan
pada lesi yang menimbulkan gejala fokal berbentuk target, irirs, atau mata sapi. Kulit juga
menjadi lebih mudah terkena infeksi sekunder.
Kelainan Mukosa / Selaput Lendir
• Kelainan selaput lendir yang
tersering ialah pada mukosa mulut
(100%). Kemudian kelainan pada
lubang alat genital (50%),
sedangkan dilubang hidung dan
anus jarang (masing-masing 6%
dan 4%). Pada selaput mukosa
mulut, tenggorokan, dan genital
dapat ditemukan vesikel, bula,
erosi, eskoriasi, perdarahan, dan
krusta berwarna merah. Terkadang
lidah juga menunjukkan kelainan
tersebut. Pada faring dapat
terbentuk pseudomembran
berwarna putih atau keabuan yang
menimbulkan kesukaran menelan.
(Creamer et al., 2016)
Kelainan Mata

• Kelainan mata, merupakan 80% diantara


semua kasus, yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat
beruoa konjungtivitis purulen, perdarahan,
simblefaron, ulks kornea, iritis, dan
iridosiklitis. Pada kasus berat dapat terjadi
erosi dan perforasi kornea.(Creamer et al.,
2016)
Klasifikasi
Klasifikasi pada SCAR ( Severe Cutaneos Adverse reactions)
(Bastuji-Garin et.al, 1993) dalam (Hilbert, 2010)

Kriteria EM mayor SJS SJS/TEN- TEN with TEN on large


Overlap maculae erythema
Skin detachment (% of < 10% <10% 10-30% >30% >10%
TBSA)          
Typical target Lesions + - - - -
Atypical target lesions Raised Flat Flat Flat -
Macule - + + + -
Distribution Mainly Limbs Wide-spread Wide-spread Wide-spread Wide-spread
 
Klasifikasi keterlibatan mata akut dalam Stevens-Johnson sindrom / nekrolisis epidermal
toksik, di kutip dari U.K Guidlines for the management of stevens jhonson syndrome /
toxic epidermal necrolysis in adults 2016.

Mild Eyelid Oedema


  ± Mild Conjungtiva Injection
  ± chemosis
   
Moderate Membranous Conjungtivits
  ± Corneal epithelial defects (> 30% Healing with medical therapy
  ± Corneal Ulceration
  ± Corneal Infiltrates
   
Sever Symblepharon formation
± non healing corneal epithelial defects
± visual loss
± conjungtivital fornix foreshortening
Patogenesis

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi
kulit dapat ditemukan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar
dalam sirkulasi.(Dodiuk-gad et al., 2015)
Stevens–Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis (SJS/TEN) pathway of
care. MDT, multidisciplinary team; ICU, intensive care unit.
(Creamer et al., 2016)
Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksann fisik,


dan laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisik ditujukan
terhadap kelainan yang dapat sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata serta hubungannya dengan faktor penyebab. Secara
klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan
pada mukosa, demam dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ.
(Creamer et al., 2016)
PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK

• Pemeriksaan Laboratorium, mencari hubungan dengan faktor


penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum.
• Pemeriksaan darah rutin: pemeriksaan darah tepi (hemoglobin,
leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED).
• Anemia dapat terjadi pada kasus berat yang menunjukkan
adanya gejala perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit
meninggi (biasanya karena infeksi bakterial), pada hitung jenis
terdapat peninggian eosinofil (kemungkinan karena alergi).
• Pemeriksaan imunologik: kadar imunoglobulin, komplemen C3
dan C4, kompleks imun).
PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
• Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit
menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar.
• Biakan kuman
• Uji resistensi dari darah dan tempat lesi
• Pemeriksaan hispatologik biopsi kulit: hasil biopsi dapat
menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan
kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis. Nekrosis
epidermis yang terjadi dapat sebagian atau menyeluruh, adanya
edema intrasel, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar
dari pembuluh darah dermis superfisial.
• Pemeriksaan imunoflouresen dapat memperlihatkan adanya endapan
IgM, IgA, C3 dan fibrin (untuk memperoleh hasil pemeriksaan
imunoflouresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari
lesi yang baru berumur < 24 jam.
Penatalaksanaan/Pengobatan
• Identifikasi tepat dan penghentian secara dini obat yang dicurigai merupakan
langkah paling penting dalam tatalaksana pasien dengan SJS/TEN. Terapi suportif
merupakan terapi dasar paling penting, ini mencakup assessment dan tatalaksana
luka pada kulit, tatalaksana cairan dan status nutrisi, keseimbangan elektrolit, fungsi
jalan napas dan ginjal, dan kontrol nyeri yang adekuat. Untuk perawatan luka pada
kulit. Terdapat kontroversi apakah kulit yang mengelupas harus dibiarkan sebagai
pelindung biologis atau harus di debridement untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya infeksi dan hambatan penyembuhan luka. (Kumar, et.al, 2018)
• Penggunaan kortikosteroid merupakan life saving, dapat digunakan deksametason
secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5mg sehari (Kumar, et.al, 2018)
• Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis setara.
Kelebihan metilprednisolon iala efek sampinhnya lebih sedikit dibandingkan dengan
deksametason karena termasuk golongan kerja sedang
• Tapering off hendaknya dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ ialah
eksogen (alergi), jadi berbeda dengan penyakit autoimun (endogen). (Kumar, et.al,
2018)
• Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin
garam dan tinggi protein, karena kortikosteroid bersifat katabolik. Setelah
seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terjadi penurunan
K dapat diberikan KCl 3x500 mg per hari.(Hilbert, 2010)
• Hal yang perlu diperhatikan ialah mmengatur keseimbangan cairan/elektrolit
dan nutrisi, terlebih-lebih karena pasein sukar atau tidak dapat menelan
akibat lesi dimulut dan di tenggorokan dan kesaran menurun. Untuk itu dapat
diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, nacl 0.9% dan Ringer Laktat
berbanding 1:1:1 dalam1 labu yang diberikan 8 jam sekali. Jika dengan terapi
tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari.(Hilbert, 2010)
• Pada kasus purpura yang luas dapat diberikan vit C 500mg atau 1000 mg
perhari. Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan
ekskoriasi dapat diberikan krif sulfodiazin-perak. Untuk lesi dimulut dapat
diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle. Untuk bibir yang biasanya
kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya
krim urea 10%.(Hilbert, 2010)
Algoritma penatalaksanaan
pasien dengan Sindrom
Stevens Johnson
Skala SCORTEN

SCORTEN  
Faktor Prognostik Nilai
Usia >40 tahun 1
Heart rate >120 x/menit 1
Kanker atau keganasan hematologis 1
BSA yang terkena >10% 1
Kadar urea serum > 10mM (BUN >27 mg/dL) 1
Kadar bikarbonat serum <20 mEq/L 1
Kadar glukosa serum > 14 mM (<250 mg/dL) 1
 

SCORTEN Mortality rate %


0–1 3.2
2 12.1
3 35,3
4 58,3
>5 90

Sumber: Bastuji-Garin et al. SCORTEN: A severity-of-illness


score for toxic epidermal necrolysis. J Invest Dermatol.
2000;115:149
Catat luasnya eritema dan tingkat detasemen epidermis secara
terpisah pada peta tubuh; untuk setiap parameter, perkirakan
persentase BSA yang terlibat menggunakan grafik Lund dan
Browder. Detasemen harus mencakup epider yang dapat dilepas
(mis. Nikolsky positif), serta epidermis yang terlepas; angka ini,
bukan jumlah eritema, yang memiliki nilai prognostik.
(Creamer et al., 2016)

Skema peta tubuh dari keterlibatan kulit dalam SJS / TEN. (Sebuah)
Luasnya eritema kulit (berwarna merah muda) = 65% luas permukaan
tubuh (BSA); tingkat detasemen epidermis (merah) = 10% BSA. (b)
Luasnya eritema (berwarna merah muda) = 90% BSA; tingkat detasemen
epidermis (dalam merah) = 45% BSA
Management pasien dgn SJS/TEN
Suportif Care

Thermoregulation: Thermoregulation kulit terganggu oleh penghalang kulit yang dikompromikan; dengan demikian,
meningkatkan suhu kamar menjadi 28-32 ° C adalah penting, terutama untuk pasien dengan pelepasan epidermis
dalam jumlah besar. (Dodiuk-gad et al., 2015)

Perlindungan Airway: Keputusan untuk intubasi dan ventilasi keterlambatan dibuat atas dasar pertimbangan
berikut: tingkat keterlibatan mukosa jalan napas atas, potensi obstruksi jalan napas, keparahan gangguan
pernapasan, dan antisipasi kebutuhan analgesia dan sedasi. (Dodiuk-gad et al., 2015)

Penggantian Cairan dan Penilaian Keseimbangan Cairan: Manajemen cairan berbeda dari pasien dengan luka
bakar; kebutuhan cairan dan elektrolit kurang dari untuk luka bakar pada tingkat yang sama. Penggantian cairan
dengan larutan elektrolit (0,7 mL / kg /% area yang terkena) dan larutan albumin (5% albumin manusia, 1 mL / kg /
% area yang terkena) disarankan. Tujuannya adalah untuk mempertahankan output urin 0,5-1 mL / kg / jam.
(Dodiuk-gad et al., 2015)
Penatalaksanaan Nyeri: Penatalaksanaan nyeri adalah hal utama, sering diremehkan, dan mengharuskan
penilaian serta perawatan medis yang sesuai. Penggunaan morfin harus dipertimbangkan, dengan pemantauan
pernapasan yang tepat. Jika tersedia, analgesia yang dikontrol pasien disarankan. Penempatan pasien pada kasur
udara bertekanan bolak-balik juga dapat mengurangi rasa sakit.(Dodiuk-gad et al., 2015)

Pemantauan untuk Infeksi: Profilaksis antibiotik tidak dianjurkan. Namun, pemantauan untuk infeksi adalah wajib,
dan jika kecurigaan klinis muncul, kultur bakteri harus diperoleh dari kulit, urin, dan darah, dan pengobatan
empiris dengan antibiotik yang diberikan sampai hasil kultur tersedia. Beberapa pedoman menyarankan
melakukan kultur bakteri dan jamur dari kulit, urin, dan darah secara teratur (2-3 kali per minggu). Dukungan
Psikologis: Dukungan psikologis profesional pelabuhan bagi pasien dan anggota keluarga adalah penting.(Dodiuk-
gad et al., 2015)

Dukungan Nutrisi: Enteral dan nutrisi hypercaloric dukungan diet tinggi protein disarankan untuk mencegah
kehilangan protein dan meningkatkan penyembuhan. Nutrisi enteral melalui selang nasogastrik harus
dipertimbangkan pada pasien yang tidak dapat menelan makanan
Wound Care
Perawatan Kulit: Tidak ada pedoman klinis untuk perawatan kulit pasien dengan SJS / TEN. Debridemen epidermis
nekrotik direkomendasikan jika sesuai dengan indikasi. Penelitian terbaru menyarankan menghindari debridemen
(yang dapat menyebabkan bekas luka hipertrofik) dan merekomendasikan mempertimbangkan epidermis terpisah
sebagai pembungkus biologis alami yang mendukung epitelisasi ulang.

Sebuah laporan baru-baru ini tentang manajemen SJS / TEN di pusat rujukan Prancis yang berpengalaman
menggambarkan perawatan berikut: perawatan luka sekali sehari dengan manipulasi minimal untuk mencegah
detasemen kulit, termasuk rendaman yang mengandung larutan chlorhexidine 1/5000 (morfin diberikan sebelum
rendaman dan / atau campuran equimolar oksigen dan nitrogen monoksida selama rendaman); jika mandi tidak
memungkinkan, larutan klorheksidin disemprotkan 2-3 kali sehari pada kulit; cairan blister disedot sambil
mempertahankan atap blister; petrolatum diterapkan secara sistematis di semua area kulit yang terpisah; obat
yang mengandung sulfa topikal dihindari; dan dressing nonadhesif hidroseluler atau penyerap diterapkan
setidaknya sekali sehari untuk menutupi titik-titik tekanan. Protokol lain yang baru-baru ini diterbitkan
berdasarkan algoritma manajemen luka pada tahap denudasi dan kehilangan kulit, mengkategorikan empat tahap
kulit dengan perawatan khusus sesuai. (Dodiuk-gad et al., 2015)
intravensous imunoglobulin (IVIG)
• Imunoglobulin Intravena (IVIg): Penggunaan IVIg tidak menghasilkan manfaat bertahan hidup pada orang dewasa dengan SJS / TEN.

• Siklosporin: Dalam uji label terbuka, fase II untuk menentukan keamanan dan kemungkinan manfaat siklosporin, siklosporin ditemukan menurunkan
angka kematian dan perkembangan detasemen pada orang dewasa (dosis: 3 mg / kg / hari untuk 10 hari dan meruncing lebih dari sebulan). Publikasi
lain juga melaporkan penggunaan siklosporin bermanfaat dalam SJS / TEN.

• Kortikosteroid sistemik: Ini dikaitkan dengan manfaat klinis menurut studi EuroSCAR (Studi Eropa tentang Reaksi Kutan Parah) dan dilaporkan
menjadi pengobatan yang paling umum untuk SJS / TEN dalam survei terbaru terhadap 50 ahli hipersensitivitas obat dari 20 negara. . Salah satu
protokol yang disarankan adalah terapi denyut nadi 1,5 x / kg intravena intravena (diberikan selama 30-60 menit) selama tiga hari berturut-turut.

• Inhibitor TNF: Pengobatan dengan agen biologis anti-TNF tampaknya sangat menjanjikan untuk manajemen. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini
pada sepuluh pasien berurutan dengan TEN, 50 mg etanercept diberikan dalam satu injeksi subkutan tunggal. Semua pasien segera menanggapi
pengobatan, mencapai epitelisasi lengkap tanpa komplikasi atau efek samping. Selain itu, hasil awal dari percobaan prospektif, acak, label terbuka
saat ini sedang berlangsung di Taiwan, membandingkan etanercept dengan kortikosteroid sistemik pada pasien dengan SJS / TEN, menunjukkan
bahwa waktu rata-rata untuk mencapai detasemen kulit maksimal dan penyembuhan kulit lengkap lebih pendek di kelompok etanercept. Juga,
penyelidikan in vitro menunjukkan bahwa etanercept, kortikosteroid, dan thalidomide secara signifikan menurunkan ekspresi granulysin dari sel-sel
blister. Etanercept tidak, bagaimanapun, meningkatkan efek sitotoksik pada keratinosit yang ditemukan bersama thalidomide.

• Perawatan Imunomodulator Sistemik pada Anak: Sebagian besar literatur tentang manajemen SJS / TEN termasuk orang dewasa, dan temuan ini
mungkin tidak hanya diekstrapolasi untuk anak-anak. Berdasarkan literatur kualitas yang sedikit pada anak-anak, IVIg dan kortikosteroid sistemik
tampaknya meningkatkan hasil anak-anak dengan SJS / TEN.
DIAGNOSA KEPERAWATAN

• Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak


• Gangguan Pertukaran Gas (00030)
• Kekurangan Volume Cairan (00027)
• Kerusakan Integritas Kulit (00046)
• Nyeri Akut (00132)
• Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh (00002)
• Risiko Infeksi (00004)
INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan 2. Gangguan Pertukaran Gas (00030)


Otak
• NOC : status pernapasan:
• Manajemen edema serebral (2540) pertukaran gas, respon ventilasi
• Monitor tekanan intra kranial (2590) mekanis
• NIC :
• Monitor pernafasan (3350)
• Terapi Oksigen
INTERVENSI KEPERAWATAN

3. Kekurangan Volume Cairan (00027) 4. Kerusakan Integritas Kulit (00046)


• NOC : Keseimbangan cairan NOC: Integritas jaringan kulit
• NIC : dan membran mukosa:
• Manajemen hipovolemi (4180)
penyembuhan luka
• Manajemen cairan (4120)
• Perawatan demam NIC :
a. Pengecekan kulit (3590)
b. Perawatan luka (3660)
INTERVENSI KEPERAWATAN

5. Nyeri Akut (00132) 6. Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang


dari Kebutuhan Tubuh (00002)
• NOC: Kontrol nyeri NOC : Status nutrisi
• NIC: NIC :
Manajemen nyeri (1400) • Manajemen nutrisi (1100)
• Bantuan peningkatan berat badan
(1240)
INTERVENSI KEPERAWATAN

7. Risiko Infeksi (00004)


• NOC : Kontrol Risiko Infeksi
• NIC :
• Kontrol Infeksi (6540)
KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI JARINGAN OTAK

NOC : Status sirkulasi


NIC :
• Analisa pola TIK
• Manajemen edema serebral (2540) • Monitor status pernapasan: frekuensi, irama,
• Monitor adanya kebingungan, perubahan pikiran, kedalaman pernapasan, PaO2, PCO2, pH, bikarbonat.
keluhan pusing, pingsan. • Monitor TIK pasien dan respon neurologi terhadap
• Monitor status neurologi dengan ketat dan aktivitas perawatan.
bandingkan dengan nilai normal. • Kurangi stimulus dalam lingkungan pasien.
• Monitor tanda-tanda vital. • Rencanakan asuhan keperawatan untuk memberikan
• Monitor karakteristik cairan serebrospinal: warna, periode istirahat.
kejernihan, konsistensi. • Catat perubahan pasien dalam berespon terhadap
stimulus.
• Monitor CVP, PAWP, dan PAP sesuai kebutuhan. • Hindari fleksi leher, atau fleksi ekstrem pada
• Monitor TIK dan CPP. lutut/panggul.
• Hindari falsava manuver.
KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI JARINGAN OTAK

NOC : Status sirkulasi


NIC :
• Analisa pola TIK
Manajemen edema serebral (2540) • Monitor status pernapasan: frekuensi, irama,
• Monitor adanya kebingungan, perubahan pikiran, kedalaman pernapasan, PaO2, PCO2, pH, bikarbonat.
keluhan pusing, pingsan. • Monitor TIK pasien dan respon neurologi terhadap
• Monitor status neurologi dengan ketat dan aktivitas perawatan.
bandingkan dengan nilai normal. • Kurangi stimulus dalam lingkungan pasien.
• Monitor tanda-tanda vital. • Rencanakan asuhan keperawatan untuk memberikan
• Monitor karakteristik cairan serebrospinal: warna, periode istirahat.
kejernihan, konsistensi. • Catat perubahan pasien dalam berespon terhadap
stimulus.
• Monitor CVP, PAWP, dan PAP sesuai kebutuhan. • Hindari fleksi leher, atau fleksi ekstrem pada
• Monitor TIK dan CPP. lutut/panggul.
• Hindari falsava manuver.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai