OPTIMUM:
KAJIAN AKADEMIK*
Oleh
Tim UI
TimUGM
Rofikoh Rokhim
Rimawan Pradiptyo
Banoon Sasmitasiwi Maria Ulpah
Gumilang Aryo Sahadewo IAA
Faradynawati
*Kajian akademik ini merupakan hasil dari kerjasama penelitian oleh dosen dan asisten dosen dari FE UI
dan FE UGM. Kami ucapkan terimakasih kepada para civitas akademika UGM yang aktif berpartisipasi di
z
dalam eksperimen. Terimakasih juga kami ucapkan kepada tim SIFE FEB‐UGM yang membantu peneliti
dalam mendesain software untuk eksperimen. Penelitian ini merupakan draft kedua dan masih akan
dilakukan revisi untuk menyempurnakannya. Terima kasih kepada ISEI Cabang Jakarta yang telah
menyelenggarakan diskusi dan kami mendapatkan masukan untuk perbaikan kajian ini. Kritik dan saran
sangat kami harapkan. Kontak: rofikoh.rokhim@ui.ac.id dan rimawan@feb.ugm.ac.id
DRAFT III
23 Agustus 2010
Kajian mengenai alternatif struktur otoritas jasa keuangan (OJK) yang optimum ini disusun
terkait dengan penyusunan RUU OJK sebagai mandat yang diamanatkan pasal 34 UU tentang
Bank Indonesia (BI). Bentuk-bentuk OJK hingga kini masih menjadi bahan diskusi dengan
mengacu pada best practice yang terjadi di luar negeri yang disesuaikan dengan kondisi di
Indonesia.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang maka pembentukan OJK harus dilakukan dengan
mendasarkan pada salah satu dari lima bentuk pendekatan yaitu institutional, functional,
integrated, twin peak dan an exception. Kelima bentuk stuktur pengawasan yang ada dan
telah diterima secara worldwide meskipun tidak ada contoh negara yang menerapkan sama
persis sesuai dengan pendekatan tersebut. Setiap pendekatan tersebut distrukturisasi
berdasarkan keunikan sejarah, politik, budaya, perkembangan ekonomi, dan struktur bisnis
lokal salam suatu negara. Selain itu patut dipertimbangkan dari survei cross country yang
diselenggarakan oleh IMF dengan hasil bahwa pengawasan keuangan di bawah OJK ternyata
tidak sepenuhnya menjamin sistem keuangan berjalan lancar.
Untuk mencari bentuk optimum dari OJK yang akan diterapkan, maka dilakukan pemodelan
hubungan antar lembaga dalam struktur pengawasan di Indonesia dengan memakai
Modelling Game Theory. Hasil menunjukkan bahwa individu Indonesia cenderung untuk
bersikap rasional dalam pengambilan keputusan. Dengan desain payoffs tertentu, sebagian
besar lebih memilih untuk tidak mau berkoordinasi. Walaupun strategi ini merupakan Nash
Equilibrium, dampaknya tidak optimal bagi masyarakat secara umum karena setiap pemain
lebih mengutamakan kepentingannya sendiri. Selan itu, hasil eksperimen menunjukkan
bahwa pemain memberikan respon yang berbeda seiring perubahan payoffs. Fakta tersebut
menjelaskan bahwa biaya koordinasi di Indonesia tinggi. Menarik untuk dicatat bahwa
pemberlakuan framing effects memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan pemain
secara signifikan.
Pada bagian akhir dari penelitian ini akan diestimasi besarnya biaya pembentukan dan
pengoperasian OJK versi RUU OJK apabila nantinya RUU OJK disetujui oleh DPR sesuai
2
dengan RUU yang diajukan. Nilai estimasi biaya pembentukan dan operasional OJK versi
RUU tentunya didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu. Estimasi biaya dibuat sekonservatif
mungkin dengan harapan untuk memberikan gambaran berapa kira-kira minimum
irreducable biaya yang diperlukan untuk membentuk dan mengoperasikan OJK versi RUU
OJK sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam RUU. Tentu saja biaya estimasi
ini akan berubah jika nantinya terdapat perubahan dalam pasal-pasal yang mengatur tugas
dan fungsi dari OJKversi RUU OJK.
Dengan melihat best practices reformasi struktur pengawasan di Negara-Negara lain dan
melakukan review prasyarat sebuah struktur pengawasan yang optimum, maka kajian ini
mengusulkan bahwa Bapepam-LK menjadi satu lembaga independen—tidak dibawah
Departemen Keuangan—yang merupakan pengejawantahan OJK.
Selain itu, pengawasan makro dan mikro sektor perbankan tetap dilaksanakan oleh Bank
Indonesia yang telah memiliki tenaga ahli dan teknologi yang dibutuhkan dengan mendirikan
lembaga pengawasan perbankan yang berada di bawah bank sentral. OJK
melaksanakan fungsi pengawasan mikro di semua sektor keuangan kecuali bank dan fungsi
pengawasan laku bisnis di semua sektor keuangan termasuk bank. Pembagian tugas
antara BI dan OJK yang sedemikian rupa tidak akan menimbulkan biaya transaksi
yang tinggi karena saat ini Bapepam-LK telah melaksanakan fungsi tersebut.
3
Daftar Isi
Abstrak................................................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................................... iv
Bab 1: Pendahuluan................................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
1.2. Permasalahan .................................................................................................................. 2
1.3. Pertanyaan Penelitian...................................................................................................... 6
1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 6
1.5. Metodologi ...................................................................................................................... 7
1.5.1. Data........................................................................................................................ 8
Bab 2: Struktur Industri dan Sistem Pengawasan Lembaga
Keuangan ........................... 9
2.1. Struktur Industri Lembaga Keuangan ............................................................................. 9
2.1.1. Kinerja Pengawasan Perbankan ......................................................................... 15
2.1.2. Kinerja Pengawasan di Lembaga Keuangan Non‐Perbankan ......................... 18
Bab 3: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ................................................................................. 21
3.1.Latar Belakang Pembentukan OJK ................................................................................ 21
3.2.Fungsi dan Tujuan Lembaga Pengawas......................................................................... 23
3.3.Rencana Pembentukan OJK di Indonesia ...................................................................... 29
Bab 4: Perbandingan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan ...................................... 36
4.1 Skala Ekonomi dan Sistem Pengawasan Keuangan ...................................................... 36
4.2.Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan di Berbagai Negara....................................... 38
4.3.Perbandingan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan................................................ 41
4.4. Biaya Transaksi Perubahan Sistem Pengawasan .......................................................... 48
4.5.Peran Bank Sentral......................................................................................................... 50
4.6.Pengalaman Negara Lain ............................................................................................... 55
4.6.1.Pengalaman Negara Prancis ...............................................................................55
4.6.2.Pengalaman Negara Inggris ...............................................................................57
4.6.3.Pengalaman Negara Korea Selatan ................................................................... 59
4.6.4.Pengalaman Negara Jepang ............................................................................... 61
4
4.6.5.Pengalaman Negara Jerman .............................................................................. 65
4.6.6.Pengalaman Negara Finlandia .......................................................................... 66
4.6.7.Pengalaman Negara Denmark .......................................................................... 69
4.6.8.Pengalaman Negara Kanada .............................................................................. 71
4.6.9.Lesson Learned dari Negara Dengan Sistem Pengawasan tunggal ................72
Bab 5: Usulan Struktur dan Tugas OJK di Indonesia ....................................................... 74
5.1.Pendahuluan ................................................................................................................... 74
5.2.Kompleksitas Sistem Pengawasan di
Indonesia ............................................................ 74
5.2.1 Kompleksitas SDM Sistem
Pengawasan........................................................ 86
5.3.Usulan Sistem Pengawasan yang
Optimum .................................................................. 89
5.4. Model Pengawasan Pasar
Modal .................................................................................. 95
5.5.Usulan Skema Koordinasi untuk Pencegahan
Krisis..................................................... 96
Bab 6: Kompleksitas Koordinasi Antar Lembaga Pemerintah; Analisis Eksperimen
Proses Evolusi Prisoners’ Dilemma .................................................................................... 99
6.1. Pendahuluan .................................................................................................................. 99
6.2. Desain Eksperimen ..................................................................................................... 125
6.3. Hasil Eksperimen ........................................................................................................ 131
6.3.1. Kecenderungan Berkoordinasi.......................................................................... 131
6.3.2. Dampak Variabilitas Payoffs Terhadap Perilaku Subyek.............................. 138
6.4. Implikasi Hasil Ekperimen ......................................................................................... 145
Bab 7: Estimasi Biaya Pengubahan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan............... 148
7.1. Pendahuluan ................................................................................................................ 148
7.2. Biaya Peralihan Sistem Pengawasan di Inggris .......................................................... 150
7.3. Biaya Pengalihan ke OJK versi RUU OJK................................................................. 152
7.4. Mungkinkah Biaya OJK RUU Ditanggung Lembaga
Keuangan? ............................. 168 7.5. Biaya Pengalihan ke Usulan Skema I dan II
OJK ...................................................... 172
Bab 8: Kesimpulan dan
Saran ........................................................................................... 174
8.1 Kesimpulan ..................................................................................................................
174
5
8.2 Saran ............................................................................................................................
175
Referensi ..........................................................................................................................
Lampiran 4. Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Menengah ................ xxv
Lampiran 5. Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Besar...................... xxxv
6
Bab 1: Pendahuluan
Krisis ekonomi selalu menelan biaya yang tidak sedikit, baik dilihat dari biaya ekonomi
maupun biaya sosial yang diakibatkannya. Krisis ekonomi di tahun 1997-1998, misalnya,
membebani perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan
pertumbuhan ekonomi minus 13%. Di sisi lain, diperlukan waktu yang tidak singkat untuk
mengembalikan perekonomian ke kondisi sebelum krisis.
Belajar dari krisis ekonomi akhir dekade 1990-an, beberapa perubahan mendasar telah
dilakukan pemerintah untuk mengidentifikasi secara dini kemungkinan krisis ekonomi dan
kalaupun krisis terjadi dampak yang ditimbulkan dapat diminimasim, antara lain melalui
pembentukan Lembaga Pinjaman Simpanan (LPS) yang berperan sebagai bank insurance.
LPS mulai beroperasi sejak 22 September 2005 yang pendiriannya disahkan melalui UU
24/2004. Peran Bank Indonesia (BI) pasca Orde Baru diatur di dalam UU Nomor 23/1999
yang kemudian disempurnakan melalui UU Nomor 3/2004.
1
Pembentukan OJK tidak terlepas dari situasi di perekonomian dunia pada saat terjadi krisis
ekonomi di tahun 1997/1998. BI dipandang tidak optimal dalam melakukan fungsi
pengawasan. Di sisi lain, di negara maju, terdapat kecenderungan adanya pemisahan fungsi
pengawasan perbankan dari bank sentral untuk kemudian ditangani khusus oleh lembaga
pengawas keuangan yang bersifat independen, misalnya Financial Service Authority (FSA) di
Inggris.
1.2. Permasalahan
Hingga saat ini, BI berperan sebagai pengawas perbankan sekaligus sebagai regulator di
bidang moneter. Dengan struktur yang ada saat ini, BI berperan aktif dalam dua hal sekaligus,
yaitu macro-prudential supervision dan micro-prudential supervision. Macro-prudential
supervision merupakan kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas lembaga
keuangan, khususnya perbankan, yang memiliki pengaruh signifikan pada sistem keuangan
atau perekonomian. Di sisi lain, micro-prudential supervision merupakan kewajiban untuk
melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan, khususnya perbankan, dengan tujuan
untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu.
Bentuk-bentuk sistem pengawasan OJK hingga kini masih menjadi bahan diskusi dengan
mengacu pada best practice yang terjadi di luar negeri. Selain itu patut dipertimbangkan dari
survei cross country yang diselenggarakan oleh IMF dengan hasil bahwa pengawasan
keuangan di bawah OJK ternyata tidak sepenuhnya menjamin sistem keuangan berjalan
lancar. Jikalaupun akan dibentuk maka OJK disarankan mengadop sistem Prancis, Korea
Selatan, Jepang, Jerman atau Inggris yang telah direvisi.
Jika Rancangan Undang-Undang (RUU) OJK disetujui dan RUU OJK benar-benar dibentuk
sebagai badan independen lepas dari BI, maka peran serta BI sebagai pengawas perbankan
akan hilang dan BI akan fokus sebagai regulator pada bidang moneter. Implikasinya adalah
bahwa fungsi penjaga stabilitas keuangan diserahkan kepada RUU OJK, sementara BI hanya
bertugas untuk menjaga stabilitas moneter. Permasalahan yang muncul kemudian adalah
bahwa stabilitas moneter seringkali tidak bisa dipisahkan terhadap stabilitas sistem keuangan.
Krisis ekonomi akibat subprime-mortgage yang kemudian memaksa pemerintah Amerika
Serikat mem-bailout Bear Stern, AIG, maupun pemerintah Inggris mem-bailout Northern
Rock, Lloyd TSB, Royal Bank of Scotland, dan pemerintah Jerman mem-bailout Hyppo Real
Estate membuktikan bahwa instabilitas sistem keuangan berdampak terhadap instabilitas
moneter. Di lain pihak, krisis moneter yang dialami Inggris di tahun 1992, maupun krisis
2
moneter di Asia di tahun 1997/1998 menunjukkan instabilitas moneter berdampak kepada
instabilitas sistem keuangan.
Jika peran pengawasan sistem keuangan diberikan sepenuhnya kepada OJK sementara .
regulator moneter diemban oleh BI, maka akan muncul beberapa permasalahan:
1. Meski RUU OJK mungkin bisa segera dibentuk, namun karena lembaga baru ini
terdiri dari berbagai komponen (misalnya BI, Departemen Keuangan, dan lain-lainya),
diperlukan waktu cukup panjang untuk bisa mulai beroperasi dengan sempurna.
Belajar dari lembaga ad-hoc lain, pembentukan KPK dilandasi UU Nomor 30/2002,
namun lembaga tersebut baru terbentuk tahun 2004 dan mulai beroperasi penuh pada
tahun 2005. Contoh lain adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang
didirikan berdasarkan UU Nomor 24/2007. Sesuai amanat konstitusi, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) didirikan disemua provinsi dan
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Hingga saat ini BPBD Tingkat I telah terbentuk
di 28 provinsi. Masih ada lima provinsi lain yang belum memiliki BPBD Tingkat I,
meskipun provinsi tersebut sering terkena gempa (misalnya DIY dan Papua). Dari
total 399 kabupaten se Indonesia, sampai ini hanya 104 kabupaten saja yang telah
didirikan BPBD Tingkat II, padahal idealnya semua kabupaten di Indonesia didirikan
BPBD.
2. Koordinasi antara RUU OJK dan BI cenderung akan suboptimal, karena masing-
masing lembaga cenderung untuk fokus kepada tugas pokok fungsi masing-masing
sementara seringkali tugas pokok fungsi masing-masing lembaga cenderung
bertentangan. Seperti halnya teori public choice, hubungan antar lembaga pemerintah
bisa dimodelkan sebagai 2x2 prisoners dilemma game. Pada game tersebut, pareto
optimum bukanlah pilihan yang rasional, karena setiap pemain selalu memiliki
insentif untuk beralih dari strategi yang menghasilkan pareto optimum.
3. Lemahnya koordinasi dan pertukaran informasi antara RUU OJK dan BI akan
meningkatkan kerentanan ekonomi Indonesia terhadap krisis ekonomi, baik yang
disebabkan oleh krisis moneter maupun krisis sistem keuangan.
4. Fungsi lender of the last resort dari BI tidak akan optimal selama BI tidak memiliki
informasi yang memadai tentang kondisi sistem keuangan di tingkat lembaga
keuangan individual. Kasus ini terjadi di Inggris yaitu ketika Northern Rock, sebuah
lembaga keuangan yang diawasi oleh FSA, akhirnya kolaps dan di-bailout oleh Bank
of England (BOE) dan bank sentral tersebutlah yang selama ini tidak tahu tentang
3
sepak terjang pengelola Northern Rock yang terlalu berani melakukan ekspansi
pengucuran kredit, dipaksa untuk mengambil keputusan sulit ketika kasus tersebut
dilimpahkan oleh FSA untuk di-bailout.
5. Hingga saat ini otoritas yang bertanggung jawab dalam mengambil keputusan penting
di saat krisis adalah KSSK dan KK yang terdiri dari BI, Kementrian Keuangan dan
LPS. Jika OJK dipisahkan dari BI, maka jumlah lembaga di KSSK dan KK menjadi
empat. Hal ini akan meningkatkan masalah koordinasi untuk pengambilan keputusan
penting di saat krisis.
Tidak dipungkiri bahwa rancangan awal RUU OJK yang beredar di masyarakat adalah
mengikuti struktur terintegrasi sebagaimana yang dianut oleh Inggris dengan FSA sebagai
satu satunya lembaga yang mengawasi seluruh industri keuangan. Akan tetapi, jika melihat
penerapan di beberapa negara di dunia, sistem integrasi ini hanya diterapkan oleh negara-
negara yang memiliki universal banking di mana produk-produknya merupakan produk
hibrida antara produk bank dan lembaga keuangan lain. Di negara-negara yang memiliki
universal banking tersebut pengawasan lembaga keuangan menjadi krusial untuk berada
dalam satu atap karena produk-produk yang dihasilkan lembaga-lembaga keuangan sudah
sedemikian menyatu, sehinga sulit menentukan apakah suatu produk keuangan termasuk
produk keluaran perbankan atau non perbankan. Sementara itu di Indonesia, mayoritas bank
adalah bank komersial (commercial banking) dan jikapun terdapat produk hibrida, jumlahnya
masih sedikit dibanding dana di sektor perbankan, sehingga struktur pengawasan yang
terpisah per industri boleh jadi merupakan struktur pengawasan yang lebih tepat bagi
Indonesia dan negara berkembang lainnya (Grenville, 2005).
Tabel 1.1 menunjukkan kelima bentuk stuktur pengawasan yang ada dan telah diterima
secara worldwide meskipun tidak ada contoh negara yang menerapkan sama persis sesuai
dengan pendekatan tersebut. Setiap pendekatan tersebut distrukturisasi berdasarkan keunikan
sejarah, politik, budaya, perkembangan ekonomi, dan struktur bisnis lokalnya. Maka,
keefektifannya dalam penerapannya untuk setiap negara lebih didasarkan pada keunikan
faktor-faktor lokalnya sehingga tidak ada satu model yang pasti cocok dan optimal untuk
diterapkan di setiap negara. Konsensus yang berlaku menyatakan bahwa pemilihan
pendekatan mana yang sesuai dalam pembentukan struktur model pengawasan sistem
keuangan haruslah berdasarkan pada:
4
1. Kebutuhan untuk mengkonsolidasi dan meringkas sebuah struktur yang kompleks
2. Penekanan pada kejelasan prinsip-prinsip dasar regulasi
3. Kebutuhan untuk menjalankan koordinasi internasional terkait dengan standar dan
regulasi
4. Adanya peraturan yang fleksibel untuk mengadaptasi jenis institusi baru dan
instrumen keuangan baru
5. Adanya independensi antar politik antara pasar dalam otorisasi regulasi nasional
6. Peran bank sentral dalam penciptaaan stabilitas keuangan harus didukung oleh
otoritas dan kapasitas yang cukup
7. Kualitas sumber daya manusia yang memiliki integritas dan kompetensi
Tabel 1.1. Bentuk Struktur Pengawasan Lembaga Keuangan
Tipe Definisi
Aplikasi Negara
Institutional Yang menentukan regulator mana yang akan mengawasi RRC, Hongkong,
sebuah institusi adalah status badan hukum dari perusahaan dan Meksiko
tersebut (misal : status perusahaan A adalah sebagai bank,
broker-dealer, atau perusahaan asuransi), baik dalam hal
safety dan soundness serta pelaksanaan bisnis.
Functional Yang menentukan regulator mana yang akan mengawasi Brazil, Perancis,
sebuah institusi adalah transaksi bisnis yang dilakukan oleh Italia, dan Spanyol
perusahaan, tanpa mempedulikan status hukum dari
perusahaan tersebut. Masing-masing lini bisnis diawasi oleh
regulator masing-masing
Twin Peaks Bentuk regulation by objective, yaitu pemisahan antara Australia dan
fungsi regulatory menjadi dua (2) regulator: salah Belanda
menjalankan fungsi supervisi safety dan soundness,
sementara yang lainnya fokus pada conduct of business
5
3. Pertanyaan Penelitian
Terkait dengan beberapa potensi masalah yang mungkin muncul dengan keberadaan OJK di
atas, beberapa pertanyaan penelitian yang perlu segera mendapat jawaban adalah:
4. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan kinerja supervision dan monitoring perbankan yang selama ini dilakukan
oleh pihak BI dan Bapepam-LK dan mengidentifikasi berbagai kekurangan dan
kelebihan yang ada serta memformulasikan perbaikan kedepan.
2. Menganalisis kelebihan dan kekurangan dari beragam sistem pengawasan dan
mencari lesson learned dari berbagai pengalaman yang terjadi di negara lain.
3. a. Memformulasikan bentuk lembaga OJK versi RUU OJK beserta tugas pokok
fungsinya yang paling tepat bagi perekonomian Indonesia.
6
1.5. Metodologi
Untuk mengetahui berbagai macam tipe pengawasan dan memperoleh lesson learned dari
efektivitas berbagai sistem pengawasan dilakukan studi literatur. Studi literatur akan
dilakukan dengan mengkaji berbagai paper dan buku yang terkait dengan pelaksanaan
berbagai sistem pengawasan lembaga keuangan yang telah dilakukan di berbagai negara.
Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan mendasar yaitu bagaimana Ilmu Ekonomi
menganalisis keberaan sistem pengawas lembaga keuangan yang dimanifestasikan ke dalam
RUU OJK yang telah diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR. Untuk menjawab pertanyaan
di atas diperlukan analisis dengan berbagai teori yang ada di ilmu Ekonomi secara exhaustive.
Beberapa alat analisis yang dipakai di penelitian ini adalah Public Economics, Behavioural
Game Theory, Experimental Economics, Public Choice Theory, serta Transaction Costs.
Modelling dengan menggunakan behavioural game theory akan sangat berguna untuk
mengevaluasi sistem pengawasan dan monitoring lembaga keuangan yang ada saat ini. Hal
yang sama akan dapat dilakukan untuk mengestimasi efektivitas fungsi pengawasan dan
monitoring serta kaitannya dengan kerentanan terhadap krisis jika fungsi tersebut diemban
oleh OJK versi RUU OJK. Terlepas dari struktur OJK versi RUU OJK yang akan dibentuk,
jelas akan ada dua otoritas di bidang moneter yaitu OJK versi RUU OJK yang berfungsi
melakukan pengawasan dan monitoring, sementara BI hanya fokus kepada pengaturan
moneter. Pemisahan kedua fungsi ini untuk dilaksanakan oleh dua lembaga yang terpisah
berpotensi untuk menimbulkan coordination failure.
7
struktur hubungan yang mungkin terjadi antara OJK dan lembaga terkait. Eksperimen akan
dilaksanakan terhadap model game theory yang telah dibuat pada tahap sebelumnya, untuk
kemudian diujikan kepada manusia untuk melihat struktur game seperti apa yang paling
kondusif mencegah miscoordination. Didasarkan pada design experiment, akan dilakukan
analisis terhadap prediksi teori ekonomi terhadap design experiment. Hasil ini akan
dibandingkan dengan hasil eksperimen jika eksperimen tersebut langsung dimainkan oleh
pelaku ekonomi riil. Namun demikian, karena keterbatasan sumberdaya yang ada, terutama
keterbatasan waktu, maka penggunaan metoda eksperimen akan digunakan setelah kajian
literature dilakukan dalam penelitian ini.
Idealnya hubungan antar lembaga--seperti tercantum dalam OJK versi RUU OJK--dan BI
adalah pure coordination game, namun hal seperti ini sulit terjadi karena masing-masing
lembaga cenderung tunduk terhadap tugas pokok fungsi. Permasalahan menjadi semakin
kompleks ketika kata ‘koordinasi’ seringkali tidak ada di dalam tugas pokok fungsi. Alhasil,
dua lembaga yang seharusnya aktif berkoordinasi, cenderung untuk tidak berkomunikasi
karena masing-masing hanya berusaha memenuhi tugas pokok dan fungsi mereka tanpa
memikirkan dampaknya terhadap perekonomian.
Modelling game theory dari struktur hubungan antara lembaga yeng tercantum dalam OJK
versi RUU OJK dan lembaga terkait lain akan dilakukan di dalam penelitian ini. Analisis
game theory dan behavioural game theory akan digunakan untuk mencari model game
terbaik yang mampu mengatasi masalah miscoordination antara lembaga terkait.
1.5.1. Data
Data yang diperlukan untuk studi ini diperoleh dari berbagai data sekunder yang relevan serta
data primer. Data sekunder diperoleh dari informasi sistem pengawasan dan monitoring
perbankan yang selama ini dilakukan oleh pihak BI dan Bapepam-LK. Data lain yang
dibutuhkan adalah literatur terkait dengan pelaksanaan berbagai model sistem pengawasan
lembaga keuangan yang ada di dunia. Hal ini bisa diperoleh melalui online journal yang
dapat diakses oleh tim peneliti. Informasi lain yang diperlukan adalah perundang-undangan
terkait dengan pendirian OJK seperti termaktub dalam RUU OJK.
8
Bab 2: Struktur Industri dan Sistem Pengawasan
Lembaga Keuangan
Pertumbuhan perekonomian yang pesat tidak lepas dari perkembangan sistem keuangan yang
semakin canggih (Gambar 2.1). Secara global, pentingnya stabilitas sistem keuangan dalam
perekonomian didorong oleh empat hal, yaitu pertumbuhan sektor keuangan yang lebih besar
dibandingkan dengan sektor riil, integrasi sistem keuangan global dan regional, kompleksitas
sistem keuangan dan perubahan komposisi dalam proses sistem keuangan yang disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat dimana komposisi aset nonmoneter menjadi lebih penting
(Houben, 2004).
Gambar 2.1
Pendekatan Teoritis Dampak Perkembangan Sektor Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Fungsi keuangan:
‐ mobilisasi tabungan
‐ alokasi sumberdaya
‐ penggunaan pengawasan perusahaan
‐ fasilitasi manajemen risiko
‐ kemudahan perdagangan barang, jasa, dan dan kontrak
Mekanisme ke pertumbuhan:
‐ akumulasi modal
‐ inovasi teknologi
Pertumbuhan
9
Lembaga keuangan di Indonesia secara umum dibagi dua yaitu lembaga keuangan bank dan
lembaga keuangan nonbank. Lembaga keuangan bank di Indonesia meliputi bank umum,
bank syariah, dan BPR (umum dan syariah). Lembaga keuangan nonbank meliputi
perasuransian, pasar modal, perusahaan pegadaian, dana pensiun, koperasi, dan lembaga
penjaminan dan pembiayaan. Perusahaan yang dapat dikategorikan menjadi lembaga
pembiayaan antara lain perusahaan sewa guna usaha (leasing), perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan modal ventura. Tabel 2.1 menunjukkan jumlah perusahaan untuk
setiap kategori lembaga keuangan yang sebagian besar merupakan perbankan.
Tabel 2.1 menunjukkan bahwa jumlah lembaga keuangan perbankan mencakup 56,71% dari
jumlah total lembaga keuangan. Sementara itu lembaga keuangan non-perbankan hanya
mencakup 43,29% saja. Perbankan tidak hanya mendominasi jumlah perusahaan tetapi juga
pangsa aset terhadap aset total sektor keuangan (Gambar 2.2). Pangsa aset perbankan
mencapai 87% sedangkan 13% pangsa aset terdiri dari enam lembaga keuangan lainnya yaitu
perusahaan pembiayaan, dana pensiun, reksa dana, pegadaian, asuransi, dan modal ventura.
Menarik untuk dicatat pangsa lembaga pembiayaan yang relatif besar dibandingkan lembaga
keuangan lain di luar perbankan.
10
Gambar 2.2 Pangsa Aset Lembaga Keuangan Terhadap Total Aset Sektor Keuangan
Aset total lembaga keuangan di Indonesia mencapai Rp2.671 triliun pada tahun 2008 (Tabel
2.2). Rasio aset total lembaga keuangan terhadap PDB nominal yang mencapai 47,6% pada
tahun 2008 menjelaskan ukuran sektor keuangan yang besar. Jika melihat perkembangan
masing-masing lembaga, pegadaian, perusahaan pembiayaan, dan perbankan mengalami
kenaikan aset tertinggi selama 2006-2008. Aset pegadaian meningkat sebesar 114,9%
sedangkan aset perusahaan pembiayaan dan perbankan masing-masing meningkat sebesar
54,7% dan 36,7% selama tahun 2006-2008.
11
Nilai aktivitas utama sektor keuangan yang meliputi kredit, pembiayaan, pinjaman, dan
investasi tumbuh 24,2% dan mencapai Rp1.827,5 triliun pada tahun 2008. Lembaga yang
mengalami kenaikan nilai aktivitas utama tertinggi selama 2006-2008 adalah modal ventura
(233,3%), pegadaian (83,7%), dan perbankan (62,5%). Kenaikan nilai aktivitas utama sektor
keuangan secara umum menggambarkan perkembangan sektor tersebut dalam perekonomian
Indonesia. Peran intermediasi sektor tersebut meningkat seiring kenaikan kebutuhan
masyarakat terhadap pembiayaan.
Regulasi dan pengawasan sektor keuangan yang kuat sangatlah krusial melihat
perkembangan sektor tersebut. Sektor keuangan merupakan “pusat” dari sistem dalam sebuah
perekonomian: kegagalan sektor keuangan dapat melemahkan kinerja seluruh sistem dalam
perekonomian (Stiglitz, 1994). Sebagai contoh, krisis sektor keuangan pada tahun 1997-1998
merupakan yang termahal di dunia. Biaya penyelamatan sektor perbankan mencapai 50% dari
PDB Indonesia pada waktu itu. Hancurnya sektor keuangan juga menyebabkan penurunan
pertumbuhan ekonomi yang tajam (World Bank, 2009). Chowdhury (2010) menjelaskan
bahwa regulasi sektor keuangan harus ditinjau kembali pasca krisis keuangan tahun 1998
untuk mencegah kegagalan sistemik berikutnya.
Regulasi dan pengawasan sektor keuangan juga krusial melihat potensi pelanggaran yang
dapat dilakukan oleh lembaga keuangan. Perkembangan kompetisi di sektor keuangan
mendorong institusi individu untuk terus melakukan inovasi produk. Namun, inovasi yang
dilakukan terkadang melanggar ketentuan yang berlaku karena desakan kompetisi yang ketat.
Pelanggaran potensial lainnya meliputi laporan yang tidak transparan, insider trading, dan
pencucian uang.
Bank Indonesia memiliki tugas mengawasi lembaga keuangan bank. Tugas pengawasan
merupakan salah satu pilar utama dalam mencapai tujuan utama Bank Indonesia yaitu nilai
rupiah yang stabil. Lembaga keuangan nonbank seluruhnya diawasi oleh Bapepam-LK yang
merupakan lembaga di bawah Kementrian Keuangan (Tabel 2.3). Menarik untuk dicatat
bahwa Bapepam-LK sedang menyusun RUU Pegadaian yang memungkinkan pemain baru
dalam pasar keuangan khususnya pegadaian.
12
Tabel 2.3. Lembaga Pengawas Berdasarkan Lembaga Keuangan
13
Tabel 2.4. Profil Lembaga Keuangan Mikro Indonesia, sampai dengan 2009
Formal
Bank
BRI (BRI, 2009) 4.029 4.918.000 130.266 30.000.000 32.000
Danamon DSP (Danamon, 2009) 1.200 - 12.300 - -
Bank Mandiri Micro Business Unit (Mandiri,
2009) 976 430.000 5.400 - -
BTPN (BTPN, 2010) 105 160.000 250 - -
Bank Mega Syariah (Bank Mega, 2009) 210 - 1.000 - -
Bank BNI SKC (Bank BNI, 2009) 169 339.000 3.590 - -
BPR (Maret 2004) 2.296 2.718.000 25.746 5.610.000 9.254
BKD (Profi GTZ, 2005) 5.345 675.000 233 507.000 39
Total Bank (A) 14.330 9.240.000 178.785 36.117.000 41.293
Nonbank
KSP (Kemeneg KUKM, 2009) 3.200 655.000 531 - 85
USP (Kemeneg KUKM, 2009) 66.352 - 3.629 - 1.157
KJKS (Kemeneg KUKM, 2009) 264 - - - -
UJSK (Kemeneg KUKM, 2009) 524 - - - -
BK3D (Desember 2003) 965 964.000 3236 199
Swamitra (2003) 177 32.000 127 55.000 56
LDKP (Profi GTZ, 2005)) 239 1.326.000 1076 - 334
Pegadaian (Pegadaian, 2009) 3.100 14.300.000 49.000 -
UlaMM (PNM, 2009) 184 13.021.000 800 - -
LKM LSM 1047 286.000 449
Total Nonbank (B) 76.052 30.584.000 58.848 55.000 1.831
Total Formal (X=A+B) 90.382 39.824.000 237.633 36.172.000 43.124
Nonformal
14
Program pinjaman mikro Indonesia juga hadir di Indonesia, selain LMK formal dan
nonformal. Menurut Ashari (2006), jumlah program mencapai 35.135 yang tersebar di
seluruh Indonesia. Selain jumlah program yang besar, jumlah nasabah mencapai lebih dari 16
juta dengan pinjaman sebesar Rp2,8 triliun (Tabel 2.5).
Tabel 2.5. Profil Program Pinjaman Mikro Indonesia, sampai dengan 2003
Posisi Kredit
Jenis Lembaga Jumlah (unit) Total
Nasabah (Rp miliar)
Program
Kukesra (Juni 2002) - 10.300.000 754
PPK (Desember 2002) 15.481 300.000 243
P4K (Mei 2002) 15.481 300.000 243
P2KP (September 2003) 2.227 3.200.000 500
PKM (Juni 2003) 1.140 2.300.000 649
PEMP (Desember 2003)1 481.000 - 308
IMS-NTAADP (Desember (2003) 214 58.000 42
IMS SAADP 592 94.000 100
Total Program 35.135 17.033.000 2.839
Sumber: diolah dari Ashari (2006); PPK = Program Pengembangan Kecamatan; P4K =
Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petaninelayan Kecil; P2KP = Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan; PKM = Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat; PEMP =
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir; IMS = Inisiatif Masyarakat Setempat.
15
BOKS 2.1: Industri BMT yang Terus Berkembang
Perkembangan BMT sebagai lembaga keuangan mikro di Indonesia sangatlah vital terutama bagi
UMKM. Jumlah BMT pada tahun 2004 mencapai 3.038 unit dan menyalurkan kredit kepada 1,2 juta
nasabah dengan jumlah total Rp157 miliar. Selain itu, BMT mampu menghimpun dana mencapai
Rp209 miliar (Ashari, 2006). Jumlah BMT meningkat sebesar 5,4% menjadi 3.200 unit selama tahun
2004-2006 dan 3,3% menjadi 3.307 unit selama tahun 2006-2008 (SMECDA, 2006; Segara, 2008).
Patut dicatat, jumlah aset BMT pada tahun 2008 mencapai Rp1,5 triliun (Segara, 2008).
Perkembangan BMT yang pesat tidak diikuti dengan pembentukan sistem pengawasan yang mapan.
Dalam praktiknya, sebagian besar BMT berbadan hukum koperasi oleh karena itu BMT tunduk pada
UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Dalam hal ini, pengawasan BMT dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Menteri 39/Per/M.KUKM/XII/2007 tentang Pedoman Pengawasan Koperasi
Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi (UJKS).
Lembaga lain yang berkepentingan terhadap BMT seperti Asosiasi BMT Se-Indonesia (Absindo),
Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (Pinbuk), BMT Center, dan Induk Koperasi Syariah belum
berperan sebagai pengawas (fungsi regulasi dan pengawasan) BMT. Lembaga tersebut cenderung
fokus pada pengembangan kompetensi BMT sebagai unit usaha. Sebagai contoh, BMT Center fokus
pada:
Dari pembahasan di atas, BMT menghadapi dua kompleksitas sebagai berikut. Pertama, tidak ada
lembaga pengawas BMT yang bertugas menyusun regulasi dan melaksanakan pengawasan.
Implikasi dari kompleksitas ini adalah tingginya potensi penyalahgunaan dalam pelaksanaan usaha
BMT. Kedua, tidak ada basis data BMT yang komprehensif sehingga menyulitkan pemetaan dan
pemantauan usaha BMT.
16
Tabel 2.6. Hasil Investigasi Perbankan, 2004-2009
Jenis Pelanggaran %
1. Masalah perkreditan (loan swap, debitur fiktif, kredit topengan, trade finance,
30%
untuk menghindari BMPK)
rekayasa
2. Masalah pendanaan 17%
3. Masalah rekayasa laporan/pembukuan/pencatatan 17%
4. Masalah tidak melakukan pencatatan 11%
5. Masalah biaya fiktif dan mark-up biaya 7%
6. Masalah penggelapan 5%
7. Masalah lainnya (pengambilan aset, transfer dana, perpajakan, penghimpunan dana tanpa
izin, permodalan, transaksi valas, penyalahgunaan wewenang, cyber fraud, praktek bank 13%
dalam bank
Sumber: BI (2007)
17
Tabel 2.8 menunjukkan jumlah sengketa antara nasabah dan bank berdasarkan jenis produk
selama tahun 2008 dan 2009. Sejak Januari sampai dengan Desember 2009, Bank Indonesia
telah menerima 231 sengketa yang disampaikan nasabah di 50 bank. Sengketa nasabah
dengan bank ini sebagian besar diajukan oleh nasabah bank umum (224 kasus) sedangkan
sisanya adalah sengketa yang diajukan oleh BPR. Dari 2.231 kasus yang diterima pada tahun
2009 sebanyak 215 sengketa dan 16 sengketa masih dalam proses penyelesaian. Dari data-
data diketahui bahwa sebagian besar sengketa yang disampaikan terkait dengan produk/jasa
di bidang sistem pembayaran.
Tabel 2.8. Jumlah Sengketa Nasabah Berdasarkan Jenis Produk Tahun 2008-2009
Upaya lain terkait dengan aktivitas pengawasan dan penegakan hukum, khususnya di pasar
modal Indonesia adalah terbentuknya Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan
Hukum di bidang Pengelolaan Investasi (Satgas). Keanggotaan Satgas yang dibentuk pada
tanggal 20 Juni 2007 tidak hanya berasal dari Bapepam LK tetapi juga berasal Bank
Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementrian
Perdagangan, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka dan Komoditi (Bappebti), dan
Bareskrim POLRI.
18
Tabel 2.9 menunjukkan data penegakan hukum di pasar modal yang dilaksanakan oleh
Bapepam LK pada tahun 2006-2008. Hukuman yang diberikan kepada emiten meliputi sanksi
moneter, pembekuan usaha, dan pencabutan izin usaha. Data menunjukkan bahwa jumlah
perusahaan dan emiten yang didenda mengalami peningkatan dari tahun 2006 ke tahun 2008.
Jumlah emiten saham mencapai 499 pada tahun 2008 sedangkan jumlah emiten yang didenda
mencapai 212 (42,5%). Jumlah perusahaan efek yang didenda selama tahun 2008 bahkan
mencapai 237 walaupun jumlah perusahaan efek hanya 158. Angka tersebut menunjukkan
bahwa satu perusahaan efek melakukan pelanggaran dengan rerata 1,5 pada tahun 2008.
Bapepam-LK juga melakukan penegakan hukum di lembaga keuangan selama tahun 2006-
2008 (Tabel 2.10). Penegakan hukum di lembaga keuangan meliputi sanksi moneter, denda
keterlambatan penyampaian laporan, peringatan, dan pencabutan izin usaha. Jumlah
pelanggaran di lembaga keuangan relatif lebih kecil dibandingkan di pasar modal selama
tahun 2006-2008. Pada rentang waktu yang sama, sanksi moneter yang dikenakan kepada
lembaga keuangan juga relatif lebih kecil. Walaupun demikian, tidak dapat disimpulkan
bahwa tingkat pelanggaran di lembaga keuagan relatif lebih kecil dibandingkan di pasar
modal.
19
Tabel 2.10. Penegakan Hukum di Lembaga Keuangan, 2006-2008
20
Bab 3: Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Lembaga keuangan cenderung memilih investasi pada instrumen yang diawasi oleh lembaga
pengawas dengan penerapan aturan yang relatif tidak ketat. Hal tersebut mendorong
kompetisi antara lembaga pengawas untuk menarik lembaga keuangan. Pembentukan
lembaga pengawasan ditujukan untuk meningkatkan netralitas persaingan antar lembaga
pengawas.
Pembentukan lembaga pengawas juga bertujuan untuk menciptakan fleksibilitas dan efisiensi
peraturan dan akuntabilitas. Hadirnya beberapa lembaga pengawas berpotensi menciptakan
arogansi sektoral (turf wars) dan pengalihan tanggung jawab (pass the buck) sehingga
penerapan peraturan tidak efektif. Selain itu, duplikasi proses pengambilan dan pengolahan
data menyebabkan penerapan aturan yang tidak efisien antara lembaga pengawas. Blame
disbursement strategy (pengalihan wewenang/pengalihan kesalahan) juga dapat muncul
apabila terdapat beberapa lembaga pengawas keuangan sekaligus (Tabel 3.1).
21
Tabel 3.1. Argumen Pembentukan Lembaga Pengawas
Abrams dan Taylor (2000) juga mengidentifikasi argumen yang tidak mendukung penyatuan
lembaga pengawas. Tujuan lembaga yang tidak jelas karena munculnya beberapa tujuan yang
harus dicapai untuk jenis lembaga keuangan yang berbeda. Diseconomies of scale juga
dikhawatirkan muncul dalam pelaksanaan kegiatan lembaga pengawas karena lembaga
pengawas tunggal cenderung lebih birokratis (hierarki vertikal yang lebih tinggi).
Pembentukan satu lembaga pengawas juga dapat menimbulkan kebijakan antarlembaga yang
tidak sinkron karena setiap lembaga keuangan yang berbeda memiliki implikasi yang
berbeda. Potensi penyalahgunaan juga hadir, misalnya, depositor perbankan dijamin dananya
oleh lembaga pengawas. Lembaga keuangan lain memiliki asa bahwa mereka akan dijamin
oleh lembaga pengawas tersebut sehingga prinsip prudential cenderung diabaikan.
Pembentukan lembaga pengawas akan menemui hambatan seperti yang diidentifikasi oleh
Abrams dan Taylor (2000). Hambatan yang muncul adalah sebagai berikut.
1. Praktik kekuatan politik: politikus yang memiliki kekuatan politik kuat cenderung
menilai pembentukan lembaga pengawas sebagai sebuah kesempatan untuk
meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan. Oleh karena itu, politikus tersebut
berusaha untuk mendapatkan jabatan di lembaga pengawas tersebut.
2. Tarik menarik kepentingan: penciptaan lembaga pengawas baru membutuhkan
peraturan baru. Penyusunan peraturan baru cenderung diwarnai kesenjangan waktu
yang relatif lama dan tarik menarik kepentingan politik.
3. Potensi kehilangan kapabilitas: sumberdaya manusia kunci yang menilai proses
pembentukan lembaga pengawas adalah sulit dan memakan waktu dapat memilih
untuk mencari pekerjaan lain.
22
4. Proses change management yang rumit: manajemen mendapatkan tantangan berat
dalam proses pembentukan lembaga pengawas tunggal dari beberapa lembaga
23
prinsip kehati-hatian dan melakukan pengawasan melalui dua pendekatan yaitu : (i)
analisis laporan bank (off-site analysis) dan pemeriksaan setempat (on-site visit)
untuk menilai kinerja dan profil risiko serta kepatuhan lembaga keuangan terhadap
peraturan yang berlaku
3. Conduct of Business Supervision; menekankan pada keselamatan konsumen sebagai
klien atas kecurangan dan ketidakadilan yang mungkin terjadi
perlindungan konsumen
pemantauan transaksi antarlembaga
insider trading
Laku bisnis
praktik pencucian uang
fair dealing (transparansi, keterbukaan informasi,
kesesuaian, dan perlindungan investor)2
Sumber: House of Lords (2009); 1European Central Bank (2001);2 The Group of Thirty (2008)
Fungsi-fungsi dasar yang dimiliki lembaga pengatur dan pengawasan, meliputi: (Llewellyn,
2006)
25
BOKS 3.1: Tujuan Pengawasan Sektor Perbankan
Pengawasan sektor perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia sesuai amanat UU Nomor 6 tahun
2009. Mengawasi dan mengatur sektor perbankan merupakan salah satu tugas untuk mencapai
kestabilan nilai tukar rupiah. Sektor perbankan diawasi oleh Bank Indonesia karena sektor tersebut
memiliki keterkaitan yang erat dengan kebijakan moneter. Pertama, sistem pembayaran yang
optimal penting dalam pengendalian moneter. Kedua, sistem pembayaran yang optimal memerlukan
sistem perbankan yang sehat. Ketiga, pelaksanaan kebijakan moneter dilakukan melalui sistem
perbankan yang sehat.
Sektor perbankan perlu diawasi karena beberapa faktor yaitu: (1) bank menghimpun dana dari
masyarakat dengan dasar kepercayaan; (2) bank merupakan bagian penting dalam kerangka sistem
pembayaran dan efektifitas transmisi kebijakan moneter; (3) sektor perbankan menyumbang peran
besar dalam pembangunan ekonomi; (4) bank rentan terhadap berbagai macam risiko. Pengawasan
efektif yang meliputi deteksi risiko dan permasalahan bank dan pengambilan tindakan yang tepat
diperlukan oleh sektor perbankan. Tujuan dari pengawasan adalah membangun sistem perbankan
yang sehat dengan memelihara kepentingan masyarakat, bermanfaat bagi perekonomian khususnya
pengendalian moneter, dan mampu mengembangkan usaha bank secara wajar.
Bank Indonesia memiliki empat kewenangan untuk mencapai pengawasan bank yang optimal.
Pertama, kewenangan terkait perizinan kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank. Kedua,
kewenangan untuk mengatur kegiatan usaha. Ketiga, kewenangan untuk mengawasi kegiatan usaha
bank. Keempat, kewenangan untuk mengenakan sanksi.
Squam Lake Working Group (2009) atau SLWG menjelaskan bahwa tugas lembaga
pengawas pasar keuangan adalah menjaga stabilitas sistem keuangan secara menyeluruh.
Secara umum, SLWG menjelaskan peran regulator sistem keuangan adalah sebagai berikut.
26
Tabel 3.3. Struktur Pegawasan Sektor Perbankan
Struktur
Jumlah Pengawas
Peran Lingkup
Negara Penduduk Lembaga Pengawas Bank Tunggal
Bank Pengawasan2
atau
Sentral1
Majemuk
Fungsi utama lembaga keuangan di atas bertujuan untuk mencapai empat tujuan (goals)
secara umum (The Group of Thirty, 2008). Empat tujuan tersebut meliputi: (1) keamanan dan
ketahanan (safety and soundness) lembaga keuangan; (2) pencegahan risiko sistemik; (3)
keadilan dan efisiensi pasar; (4) perlindungan terhadap konsumen dan investor.
Tujuan pertama dicapai melalui penerapan peraturan yang ketat dan prinsip kehati-hatian
yang mengedepankan pendekatan persuasi. Tujuan pencegahan risiko sistemik merupakan
tantangan bagi pengawas yang diberi mandat karena penyebab risiko sistemik tidak dapat
diprediksi. Walaupun demikian, pengawas tersebut dapat mengurangi kemungkinan risiko
sistemik melalui penerapan aturan yang telah dibentuk. Pencapaian tujuan ketiga lebih
kepada pendekatan penegakan aturan (enforcements) yang meliputi sanksi, denda,
pembekuan usaha, pencabutan izin usaha, dan hukuman lainnya.
27
Otoritas sektor keuangan, baik bank sentral maupun OJK, lebih fokus pada pengawasan
sektor perbankan pada awalnya. Pengawasan sektor perbankan di masing-masing negara
dapat dilaksanakan oleh bank sentral atau OJK (tunggal) atau keduanya (majemuk). Tabel 3.3
juga menjelaskan lingkup pengawasan sektor keuangan selain perbankan yaitu asuransi dan
pasar modal. Lingkup bisnis sektor keuangan yang semakin kompleks mendorong reformasi
pengawasan sektor keuangan. Kriteria utama yang harus dipenuhi untuk menjamin struktur
lembaga pengawasan yang kuat menurut Nier (2009) dijelaskan dalam Tabel 3.4.
Kriteria Keterangan
Tanggung jawab pelaksanaan fungsi pengawasan sistemik dan
Pembagian fungsi dan tujuan
laku bisnis (perlindungan konsumen) harus ditugaskan secara
yang jelas
jelas kepada lembaga.
Setiap lembaga yang bertanggung jawab dalam pengawasan
Konsistensi fungsi dan tujuan sektor keuangan harus memiliki fungsi yang konsisten untuk
menciptakan sinergi dan menghindari konflik antar lembaga.
Tersedianya mekanisme formal untuk resolusi konflik antar
Resolusi konflik
lembaga
Penyediaan sumberdaya untuk Setiap lembaga memiliki sumberdaya untuk mencapai tujuan
mencapai tujuan sehingga meningkatkan akuntabilitas dan efektifitas kinerja.
Pencipataan sinergi sumberdaya antarlembaga untuk
Penciptaan sinergi sumberdaya
menghindari konflik fungsi dan tujuan
Mengurangi jumlah lembaga dan menciptakan mekanisme
kerjasama antarlembaga yang kuat. Kriteria ini juga
Minimisasi konflik antarlembaga bermanfaat untuk mengurangi duplikasi &overlapping tugas
dan biaya (termasuk biaya administrasi dan biaya kepatuhan
industri)
Konsistensi dengan fungsi dan Fungsi dan tujuan baru harus konsisten dan sejalan dengan
tujuan yang telah ada fungsi, tujuan, dan sumberdaya yang telah ada.
Sumber: Nier (2009)
Sementara itu, Nasution (2003) menyebutkan bahwa lembaga yang berwenang dalam
melakukan fungsi pengawasan dan pengaturan sektor keuangan, moneter, dan fiskal harus
mampu memformulasikan dan menerapkan kebijakan yang :konsisten, integrated, forward
looking, dan cost effective, dapat mempertahankan kompetisi yang sehat dan dapat
mendukung inovasi sektor keuangan.
Peneliti yang lain yaitu Llewellyn (2006) melihat bahwa lembaga pengawasan harus
memiliki ketahanan dalam menghadapi masa krisis, memiliki tingkat efisiensi dan efektivitas
tinggi yang tercermin dalam biaya dan adanya kejelasan pembagian tanggung jawab dan
fungsi serta memiliki persepsi yang baik dimata publik.
28
3.3.Rencana Pembentukan OJK di Indonesia
Pemerintah berencana menyatukan pelaksanaan fungsi regulasi dan pengawasan dalam satu
lembaga yaitu OJK dalam rangka memperkuat sektor keuangan. Rencana pembentukan OJK
telah lama dicanangkan melalui pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Namun, OJK belum dibentuk sampai saat ini walaupun telah diamanatkan bahwa OJK
dibentuk sebelum akhir tahun 2002. UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan UU Nomor
3 Tahun 1999 menjelaskan bahwa OJK akan dibentuk selambat-lambatnya 31 Desember
2010 (Tabel 3.5). Sementara itu, Pokok dan tugas OJK berdasarkan UU dapat dilihat pada
Tabel 3.6.
Ayat Penjelasan
“Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa
Ayat 1
keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.
Berdasarkan Pasal 32 Ayat 1 RUU OJK disebutkan rencana kerja dan anggaran OJK akan
dibiayai dari fee industri jasa keuangan. Sedangkan industri keuangan adalah lembaga dan
kegiatan jasa keuangan. Penetapan fee terhadap industri jasa keuangan dilakukan secara wajar
proporsional antara lain didasarkan atas nilai kekayaan, laba operasional, arus kas dan ekuitas
industri jasa keuangan. Jenis fee yang akan ditetapkan antara lain berupa fee perizinan,
persetujuan, pendaftaran, pengawasan, pemeriksaan, penelitian, perdagangan efek, dan biaya
lainnya. Fee itu bisa ditagih secara bulanan, tahunan atau sewaktu-waktu sesuai dengan
karakteristiknya. Dana pungutan itu sendiri hanya diperbolehkan untuk membiayai
operasional OJK dan pembentukan cadangan. Adapun dari sisi cadangan hanya bisa
ditempatkan ke surat berharga pemerintah dan Bank Indonesia.
Sementara itu terkait dengan koordinasi antar lembaga pengawas, dalam Pasal 37 RUU OJK
ditekankan OJK wajib berkoordinasi dengan BI, Kementerian Keuangan dan LPS melalui
forum stabilitas sektor keuangan dalam rangka menunjang tugas dan wewenang masing-
masing lembaga. Koordinasi dengan BI antara lain diperlukan untuk mendukung kebijakan
moneter yang mencakup operasi pasar terbuka, giro wajib minimum, sistem pembayaran, dan
fasilitas likuiditas. Untuk memastikan dan memelihara stabilitas sistem keuangan dimaksud,
29
dalam pengawasan bersama BI dapat melakukan on-site atau off-site supervision terhadap
bank.
Bidang perbankan
· Menetapkan ketentuan persyaratan dan tata cara pendirian bank, perizinan bank, ketentuan persyaratan dan tata cara
pembukaan kantor bank, serta pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu dan kantor perwakilan di luar negeri.
· Menetapkan ketentuan sanksi pidana dan sanksi administrasi dan atau wewenang lain sebagaimana diatur dalam UU perbankan.
· Tugas OJK tidak mencakup sistem pembayaran, lender of last resort, dan kebijakan moneter.
Bidang pasar modal
· Mengatur sebagaimana dimaksud dalam UU di pasar modal.
Bidang industri keuangan nonbank
· OJK berwenang memeriksa dan menyidik. OJK bisa mempekerjakan penyidik kepolisian dan kejaksaan dalam jangka
waktu tertentu.
· OJK dipimpin dewan komisioner yang beranggotakan tujuh orang, terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota, satu
anggota independen, satu orang ex officio dari Dewan Gubernur BI, satu orang ex officio pejabat Kementerian Keuangan
setingkat eselon I dan masing-masing satu orang kepala eksekutif dari tiga bidang pengawasan.
· Menteri Keuangan berwenang mengusulkan anggota komisioner independen dan ex officio Kementerian Keuangan. Komisioner
ex officio kepala eksekutif dari internal, yakni deputi kepala eksekutif.
· OJK wajib berkoordinasi dengan BI, Kementerian Keuangan dan LPS melalui forum stabilitas sektor keuangan
Sumber : RUU OJK (Juni, 2010)
Perdebatan yang muncul adalah sejauh mana lingkup fungsi yang diamanatkan kepada OJK.
Saat ini, fungsi regulasi pengawasan sektor keuangan di Indonesia telah dilaksanakan oleh
beberapa lembaga. Regulasi dan pengawasan sektor perbankan dilaksanakan oleh Bank
Indonesia sedangkan regulasi dan pengawasan pasar modal, lembaga asuransi, dan lembaga
pembiayaan dilaksanakan oleh Bapepam-LK. Sesuai rencana, OJK akan mengambil alih
fungsi regulasi dan pengawasan seluruh sektor keuangan di Indonesia (Gambar 3.2).
30
Gambar 3.2. Pengalihan Fungsi Pengawasan Sektor Keuangan ke OJK
Pasar Modal
(Bapepam-LK)
31
Gambar 3.3. Biaya Transaksi Pembentukan OJK Tinggi
Tugas
Penga
wasan Legalitas
Bank
OJK
Sumberdaya
Faktor eksternal
Bapep
am
LK
Biaya Transaksi
Tinggi
Selain biaya transaksi yang tinggi, Martinez dan Rose (2003) menunjukkan biaya waktu yang
dihadapi oleh lembaga pengawas di 14 negara (Gambar 3.4). Biaya tersebut meliputi
penetapan struktur organisasi, kerangka hukum, rencana strategik, penyatuan sistem IT,
alokasi pegawai dan tugasnya, integrasi proses penganggaran, dan penetapan pemimpin di
setiap divisi. Waktu penyesuaian penyatuan lembaga pengawas berada pada kisaran 0,7 tahun
sampai dengan dua tahun. Enrich dan Norman (2010) melaporkan bahwa perkiraan waktu
yang dibutuhkan untuk mengalihkan pengawasan dari FSA ke lembaga adalah dua tahun.
32
Gambar 3.4. Biaya Waktu dalam Penyatuan Lembaga Pengawas Keuangan
Penyatuan sistem IT
Sumber: Martinez dan Rose (2003) dan Enrich dan Norman (2010), diolah
Menurut Seelig (2009) pada umumnya ada dua risiko yang terkait erat dengan pembentukan
OJK, yaitu risiko pada masa transisi (Transition Risk) dan risiko penanganan krisis (Crisis
Management Risk). Pelaksanaan pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari
Bank Indonesia kepada OJK perlu dilakukan seksama agar tidak menimbulkan gangguan
pada kontinuitas pelaksanaan pengawasan bank. Masalah terkait SDM menjadi kunci penting
dalam masa transisi terutama terkait dengan bentuk organisasi yang baru, kesetaraan jabatan,
remunerasi, jenjang karir dan pengembangan kompetensi. Selain itu, efisiensi dan arus
informasi pelaporan harus menjadi hal yang diperhatikan dalam masa transisi pengalihan
fungsi pengawasan dari BI kepada OJK.
Sementara itu terkait dengan risiko pengelolaan krisis, BI sebagai lender of the last resort
(LOLR) akan membutuhkan informasi mendalam mengenai lembaga keuangan untuk
menunjang perannya sebagai LOLR. Dengan adanya struktur pengawasan yang baru
diharapkan tidak akan menyebabkan komplikasi arus informasi dan proses pengambilan
keputusan pada saat krisis.
33
Rencana pembentukan OJK dengan struktur pengawasan terintegrasi sebagaimana
diamanatkan oleh pasal 34 Undang Undang tentang Bank Indonesia patut dibahas ulang
melihat pengalaman Financial Service Authority (FSA) di Britania Raya. FSA gagal
melakukan pengawasan terhadap Northern Rock yang menyebabkan lembaga tersebut
mengalami kegagalan pada saat krisisi keuangan tahun 2008. FSA juga dinilai gagal
melakukan koordinasi dengan Bank of England (BOE) terkait Northern Rock (House of
Lords, 2009; Bernanke, 2010). Kegagalan koordinasi oleh FSA yang dimaksud adalah tidak
adanya diseminasi informasi (data sharing) terkait lembaga keuangan dan koordinasi dengan
BOE terutama pada saat krisis (Gambar 3.5). FSA juga dinilai lebih fokus pada salah satu
fungsinya yaitu pengawasan laku bisnis sedangkan fungsi regulasi sektor keuangan
cenderung diabaikan (House of Lords, 2009). Kegiatan pengawasan laku bisnis bahkan
mencapai 70% dari waktu kerja staf di FSA (European Central Bank, 2001).
Periode Krisis
FSA BOE
Tidak ada diseminasi informasi (data sharing) oleh FSA terutama terkait bank
bermasalah
Tidak ada lembaga (baik BOE, FSA, maupun Treasury di Britania Raya) yang diberi
Kegagalan FSA mendorong inisiatif berbagai pemerintah untuk mengevaluasi fungsi dan
struktur lembaga pengawas sektor keuangan (Bernanke, 2010). Guardian (2009) menjelaskan
bahwa Perdana Menteri Inggris terpilih, David Cameron, berencana mengalihkan fungsi
regulasi dan pengawasan sektor keuangan dari FSA ke BOE. BOE akan memiliki divisi
khusus untuk pengawasan sektor keuangan dan FSA akan berperan sebagai Consumer
Protection Agency (CPA). Rencana tersebut telah diimplementasikan dan fungsi pengawasan
bank telah dialihkan kembali ke BOE.
34
perbankan dan lembaga keuangan lainnya akan dilakukan oleh lembaga subsidiari dibawah
BOE. Sedangkan fungsi pengawasan makro, yang meliputi stabilitator sistem keuangan dan
kebijakan moneter, dilaksanakan oleh BOE. Pemerintah Inggris berencana membentuk
lembaga baru untuk melaksanakan fungsi laku bisnis dan penegakan hukum di bidang
keuangan.
35
Bab 4: Perbandingan Sistem Pengawasan Lembaga
Keuangan
Frag m en ted :
I n st i t u ti o n a l d a n F u n g s i o n a l
P en yatu a n Fu ng si P en g a w a sa n
T w in P e a k s
In te g r a t e d
P e n y a tu a n p e n g a w as a n se m u a le m b a g a k e u a n g a n
Tabel 4.1 menunjukkan korelasi antara struktur pengawasan dan ukuran perekonomian yang
dilihat melalui jumlah penduduk. Hasil perhitungan mengindikasikan bahwa semakin besar
perekonomian (semakin besar jumlah penduduk), struktur lembaga pengawas cenderung ke
lembaga pengawas berganda. Hasil estimasi probit juga mengindikasikan bahwa
kemungkinan penerapan lembaga pengawas berganda meningkat apabila jumlah
penduduknya meningkat. Semakin besar sebuah perekonomian, semakin diversifikasi
perilaku lembaga keuangan. Oleh karena itu, penugasan beberapa lembaga yang berbeda
akan meningkatkan fokus pengawasan sektor keuangan di perekonomian yang relatif besar.
36
Tabel 4.1. Korelasi antara Struktur Pengawasan dan Ukuran Perekonomian
37
4.2.Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan di Berbagai Negara
Pengawasan lembaga keuangan, baik bank, asuransi, dan pasar modal, dikelola oleh lembaga
tunggal dibandingkan lembaga yang terpisah untuk setiap jenis perusahaan keuangan (Tabel
4.2). Lembaga tunggal tidak hanya mengawasi perusahaan keuangan, namun juga meliputi
pengawasan laku bisnis dan perlindungan konsumen. Contoh dari lembaga tunggal adalah
FSA di Inggris. Pendekatan pengawasan tradisional terdiri dari beberapa lembaga terpisah
yang masing-masing mengatur bank, asuransi, dan pasar modal. Pendekatan tradisional
meliputi pendekatan institusi dan fungsional. Semenjak krisis keuangan global pada tahun
2008, banyak negara yang cenderung menerapkan pendekatan twin peaks maupun hibrida.
28 5 7 34
8
Catatan : (*) mengindikasikan pengawasan dilakukan oleh Bank Sentral
Sumber: Kawai dan Pomerleano(2010)
38
Tabel 4.3 menunjukkan pembagian pengawasan di beberapa Negara berdasarkan industri
yang menjadi objek pengawasan.
Keterlibatan
Negara Populasi Perbankan Asuransi Pasar Modal
Bank Sentral
Bangladesh 162.221.000 CB CB S
Jerman 81.757.600 FSA FSA FSA Ya
Perancis 65.447.374 FSA FSA FSA Ya
UK 62.041.708 CPMA CPMA CPMA Ya
Italia 60.340.328 CB I S Ya
Spanyol 46.030.109 CB I Ya
Australia 22.376.769 FSA FSA S
Belanda 16.615.950 CB IS F Ya
Belgia 10.827.519 BSS IS SA Ya
Portugis 10.636.888 CB I IS Ya
Swedia 9.354.462 FSA FSA BSS Ya
Austria 8.372.930 FSA FSA S Ya
Denmark 5.540.241 FSA FSA FSA Tidak
Finlandia 5.363.200 BSS IS FSA Ya
Singapura 4.987.600 FSA FSA FSA Tidak
Irlandia 4.459.300 CB G BSS Ya
Luksemburg 502.207 BS I FSA Tidak
Keterangan : CB
BS asuransi (I) dan pasar
FSA: Pengawasan Terpadu; CB:Bank Sentral; B, I, S: pengawas khusus untuk perbankan (B),
modal (S) bisa kombinasi ketiganya ; G: departemen pemerintah
CPMA: Consumer Protection and Market Authority
Sumber : Darlap & Grünbichler (2003) disesuaikan
Sementara itu Tabel 4.4 menjelaskan negara yang menerapkan struktur pengawasan terpadu.
Dalam struktur pengawasan terpadu, lembaga pengawas mengawasi seluruh lembaga
keuangan di negara tersebut yang meliputi bank, asuransi, dana pensiun, lembaga kredit,
perusahaan sekuritas, dan perusahaan investasi. Menarik untuk dicatat bahwa sebagian besar
lembaga pengawasan sektor keuangan berada pada koordinasi kementrian keuangan masing-
masing negara.
39
Tabel 4.4. Struktur Pengawasan Terpadu (Integrated)
Britania Financial Services Authority, 1997, Bank, perusahaan Tidak terikat kepada
Raya asuransi, perusahaan pemerintah, melaporkan
investasi, dana pensiun kepada Menteri Keuangan
dan secara tidak langsung
www.fsa.gov.uk
kepada Parlemen, FSA dapat
memberlakukan sanksi
keuangan (dari April 2001
sampai April 2002, sanksi
mencapai 5 juta pounds), FSA
dibiayai oleh honorarium
perusahaan yang diawasi
Irlandia Irish Financial Services Regulatory Seluruh lembaga Bergantung pada Menteri
Authority, 2003, keuangan Keuangan
www.ifsra.ie
40
4.3.Perbandingan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan
Tercatat empat jenis pendekatan yang telah didirikan oleh negara-negara di dunia antara lain
pendekatan institusi, fungsional, terpadu (integrated), dan twin peaks. Tabel 4.5 menjelaskan
pendekatan lembaga pengawas sektor keuangan. Amerika Serikat memiliki pendekatan
lembaga pengawas yang unik yaitu gabungan pendekatan fungsional dan institusional.
Pengawasan sektor keuangan di Amerika Serikat melibatkan banyak lembaga antara lain
Federal Reserve Board, Office of the Comptroller of the Currency, Federal Deposit Insurance
Corporation, Office of Thrift Supervision, National Credit Union Administration, dan
Security and Exchange Commission. Struktur pengawasan di Amerika Serikat dianggap tidak
efisien karena sistem pengawasan rangkap yang dilaksanakan menimbulkan biaya yang
sangat tinggi (The Group of Thirty, 2008).
41
Tabel 4.6. Keunggulan dan Kelemahan Berbagai Sistem Lembaga Pengawas Sektor
Keuangan
Pendekatan twin peaks menutupi kelemahan yang terdapat dalam pendekatan terpadu. Dalam
pendekatan twin peaks, fungsi pengawasan regulasi sistem keuangan dan pengawasan laku
bisnis dilaksanakan oleh lembaga yang berbeda. Pendekatan ini juga memudahkan koordinasi
dengan pengambil kebijakan makro dan moneter terutama dalam mengatasi
ketidakseimbangan sektor keuangan. Namun, fungsi pengawasan bank sentral dalam
pendekatan ini cenderung kabur khususnya pada kasus bank sentral tidak diberikan tugas
pengawasan salah satu sektor keuangan seperti perbankan (Nier, 2009). Gambar 4.2 sampai
dengan Gambar 4.5. memberikan ilustrasi empat pendekatan beserta keunggulan dan
kelemahan masing-masing pendekatan.
43
Gambar 4.2. Pendekatan Institusional
Kemanfaatan Kompleksitas
44
Gambar 4.3 Pendekatan Fungsional
Bank Lembaga
Asuransi
Pembiayaan Dana Pensiun Pasar Modal Sekuritas
Kemanfaatan Kompleksitas
‐ Peraturan pengawasan setiap fungsi bisnis yang ‐ Jumlah lembaga pengawas banyak sehingga
lebih “established” dan konsisten koordinasi cenderung sulit dilakukan
‐ Knowledge‐ dan information‐gathering antar ‐ Biaya pengawasan cenderung tinggi karena jumlah
lembaga pengawas lembaga pengawas cenderung banyak
45
Gambar 4.4 Pendekatan Terpadu (Integrated)
Perusahaan Lembaga
Dana Pensiun Pembiayaan
Sekuritas
Kemanfaatan Kompleksitas
‐ Minimalisasi konflik antar sektor dengan ‐ Besarnya biaya pengawasan sangat sensitive
sentralisasi pengawasan terhadap jumlah, jenis lembaga keuangan
yang diawasi dan dan sebaran geografis
‐ Fokus optimal dan menyeluruh (holistik)
dalam regulasi dan pengawasan: pengawasan ‐ Kecenderungan pengawasan lebih fokus
sistemik dan laku bisnis pada kegiatan rutin (fungsi laku bisnis)
sementara fungsi micro dan macro prudential
‐ Cenderung lebih responsif terhadap sering terabaikan (kasus FSA di Britania
perkembangan produk dan jenis transaksi Raya)
keuangan
‐ Fungsi Bank Sentral sebagai lender of the last
‐ Information sharing akan resort menjadi sulit untuk diterapkan
lebih mudah dilakukan
‐ Kecenderungan excessive power yang dapat
menimbulkan arogansi
sektoral:meningkatkan potensi kegagalan
koordinasi dengan bank sentral maupun
kementrian keuangan terutama saat krisis
46
Gambar 4.5 Pendekatan Twin Peaks
Kemanfaatan Kompleksitas
47
Penentuan pendekatan lembaga pengawas di setiap perekonomian bergantung pada situasi
sektor keuangan di setiap perekonomian. Nier (2009) menjelaskan tiga faktor utama yang
harus dikaji untuk menentukan pendekatan lembaga pengawasan yang optimal. Ketiga faktor
tersebut antara lain:
Perekonomian yang memiliki sektor keuangan yang maju, seperti di Amerika Serikat,
disarankan untuk fokus pada pengawasan laku bisnis. Selain itu, perekonomian yang
memiliki bank dalam jumlah besar seperti Amerika Serikat disarankan untuk membentuk
lembaga pengawas khusus. Sebagai contohnya adalah Federal Deposit Insurance Committee
(FDIC) di Amerika Serikat. Bank sentral dalam kasus ini fokus dalam menjalankan tugasnya
sebagai pengawas makro dan mikro sektor keuangan secara menyeluruh (Nier, 2009).
Pendekatan lembaga pengawas sektor keuangan terpadu dan twin peaks disarankan untuk
perekonomian yang memiliki distribusi aset keuangan di berbagai sektor yang tinggi serta
tingkat konglomerasi yang tinggi. Barth et al.(2002) menyarankan bahwa lingkup
pengawasan yang luas dianjurkan pada situasi tersebut.
Walaupun demikian, menarik untuk dicatat bahwa fungsi dan struktur lembaga pengawas
sektor keuangan yang optimal akan berbeda di setiap negara (The Group of Thirty, 2008).
Nier (2009), Cervellati dan Fioriti (2007), Barth et al. (2004), Barth et al. (2002) dan
Crockett (2001) menjelaskan bahwa tidak terdapat best set of practices terkait pengawasan
sektor keuangan yang berlaku secara umum di setiap negara. Selain itu, Barth et al. (2004)
membuktikan bahwa fungsi regulasi dan pengawasan yang lebih banyak dan rinci tidak akan
lebih baik.
48
biaya transaksi bisa berupa peningkatan biaya operasional, mutasi pegawai dari satu lembaga
ke lembaga lain, hingga resiko peningkatan kerentanan perekonomian terhadap krisis.
Berbeda dengan sistem institusional dan fungsional, sistem terpadu cenderung tidak memiliki
masalah coordination failure ini. Kenyataan bahwa dalam sistem terpadu pengawasan
dilakukan oleh satu lembaga pengawas jelas akan menghilangkan miscoordination tersebut.
Meski demikian, seperti halnya yang terjadi di Inggris, sentralisasi pengawasan menciptakan
beban kerja yang sangat berat bagi lembaga pengawas tersebut. Fungsi macro prudential,
micro prudential dan business conduct harus ditangani oleh satu lembaga. Proporsi kasus-
kasus yang terkait dengan business conduct cenderung mendominasi pekerjaan lembaga
pengawas relatif dibandingkan kedua fungsi lain. Akibatnya, fokus dan alokasi sumberdaya
lembaga pengawas bisa terserap untuk mengawasi business conduct. Implikasinya, fungsi
pengawasan micro and macro prudential seringkali terbengkalai. Tak pelak lagi, hal
semacam ini meningkatkan kerentanan ekonomi terhadap krisis.
Biaya transaksi lain yang perlu dipertimbangkan adalah peningkatan biaya pengawasan.
Apabila pengawasan perbankan dan lembaga nonbank dijadikan satu, maka untuk melakukan
micro prudential maupun business conduct keberadaan kantor cabang di daerah-daerah
mutlak diperlukan. Hal ini terjadi jika sistem pengawasan mensyaratkan pelaksanaan
pengawasan langsung di lokasi lembaga keuangan tersebut. Implikasinya, tidak saja terjadi
49
peningkatan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk melakukan pengawasan, namun juga
diperlukan kantor-kantor baru di daerah-daerah agar memungkinkan pengawasan langsung
dilakukan.
Biaya transaksi lain yang tidak kalah mahal dan secara teknis seringkali menciptakan masalah
yang pelik adalah mengenai mutasi sumberdaya manusia antar lembaga. Jika terjadi transisi
dari sistem pengawasan twin peaks menuju ke sistem pengawasan terpadu, maka mau tidak
mau akan dilakukan relokasi sumberdaya manusia dari satu lembaga ke lembaga yang lain.
Hal ini memerlukan suatu mekanisme yang jelas yang mungkin berdampak pada pembuatan
SOP yang cukup rumit dan banyak di lembaga pengawas yang baru tersebut. Perasaan
karyawan yang cenderung menghadapi ketidakpastian selama proses transisi, perlu untuk
dipertimbangkan pula.
Di atas semua biaya transaksi yang telah disebutkan tadi, masih ada biaya transaksi yang
cukup besar yaitu jika sistem pengawasan sering berubah dalam waktu yang tidak lama. Apa
yang terjadi di Inggris perlu dicermati dan dijadikan bahan pelajaran. Pendirian FSA sebagai
lembaga pengawas, tentu menyerap sumberdaya yang tidak sedikit. Saat ini pemerintahan
partai Konservatif mengembalikan lagi sistem pengawasan kepada Bank of England (BOE).
Hal ini pun membawa implikasi yang sangat besar pada sumberdaya. Bahkan pada kasus
Inggris, tidak saja mereka harus membayar mahal biaya pengubahan sistem pengawasan
sebanyak dua kali, namun juga mereka harus membayar mahal dengan shock yang terjadi
akibat collapse-nya Northern Rock di tahun 2007. Belum selesai di situ, pasca Northern Rock
di-bailout, pemerintah Inggris terpaksa mengucurkan dana untuk penyelamatan empat bank
lain.
50
Tabel 4.7. Argumen Penyatuan Pengawasan Lembaga Keuangan Kepada Bank Sentral
Ada beberapa argumen yang mengatakan bahwa sebaiknya supervisi terhadap bank dan
lembaga keuangan lainnya sebaiknya berada di bawah bank sentral. Goodhart (2000), Barth
et al (2002), dan Ingves (2007) menyebutkan alasan-alasan agar pengawasan tetap berada di
bawah Bank Sentral sebagai berikut :
- Bank merupakan lembaga yang sangat penting dalam sistem keuangan. Aktivitas
bank yang kompleks menyebabkan peningkatan kebutuhan akan supervisi yang
berkualitas tinggi dan resource-intensive. Bank Sentral dianggap memiliki
keunggulan komparatif dalam merekrut dan mempertahankan staf-staf terbaik, karena
sistem kompensasi dan pengembangan profesional yang baik pula.
- Akses Informasi. Bank Sentral membutuhkan informasi yang akurat dan tepat waktu
mengenai kondisi dan kinerja bank supaya bisa melakukan pelaksanaan kebijakan
moneter yang sesuai. Tanpa adanya wewenang melaksanakan pengawasan, maka
tidak akan mendapatkan informasi yang memadai ketika menetapkan suatu kebijakan
moneter. Selain itu, akses informasi mengenai kondisi solvency dan liquidity dari
bank tersebut juga sangat penting untuk menjalankan fungsi bank sebagai LOLR. Hal
ini dilakukan untuk mencegah terjadinya ancaman penyalahgunaan ketika terjadinya
ketidakstabilan sistemik. Walaupun informasi ini dapat diminta kepada institusi lain
yang berwenang mengawasi bank, namun tetap saja bank sentral akan memiliki posisi
yang lebih baik apabila fungsi pengawasan berada di bawahnya. Alasan informasi ini
juga erat kaitannya dengan sistem pembayaran. Salah satu tanggung jawab bank
sentral adalah memastikan berfungsinya berbagai macam sistem pembayaran dalam
perekonomian. Tidak tertutup kemungkinan akan mengundang keganjilan apabila
Bank Sentral memiliki tanggung jawab terhadap sistem pembayaran namun tidak
51
memiliki akses terhadap informasi mikro mengenai lembaga-lembaga keuangan yang
terlibat dalam sistem pembayaran.
Berbagai macam riset yang telah dilakukan mendukung agar peran pengawasan
berada di bawah bank sentral. Sebagai contoh, dalam Barth et al (2000) disebutkan
hasil penelitian dari Peek, Rosengren, dan Tootle (1999) yang mengatakan bahwa
akses yang cepat terhadap informasi rahasia dari bank akan meningkatkan keakuratan
kemampuan forecasting kondisi makroekonomi. Selain itu, Goodhart dan
Schoenmaker (1995) dengan menggunakan data di 24 negara menemukan bahwa
kegagalan bank lebih sedikit terjadi di negara dengan fungsi pengawasan berada di
bawah Bank Sentral
- Independensi. Faktor ini sangat penting bagi otoritas yang melakukan pengawasan
terhadap bank agar dapat mengambil tindakan tepat. Bank Sentral dianggap memiliki
independensi yang sangat kuat sehingga dengan menyerahkan wewenang pengawasan
kepada Bank Sentral diharapkan supervisi terhadap sistem perbankan lebih optimal.
Selain itu, bagi negara-negara berkembang, strategi ini dianggap tepat untuk
mencegah politisasi pengaturan bank (Abrams dan Taylor, 2001)
Ditambahkan pula oleh Kashyap (2010) bahwa dengan mengambil pelajaran dari krisis yang
terjadi di Amerika Serikat dan Eropa mengakibatkan perlunya melakukan evaluasi terhadap
struktur sistem pengawasan yang ada. Bank Sentral masih merupakan salah satu LOLR yang
paling kredibel dan dengan memindahkan pengawasan perbankan ke lembaga lainnya tidak
otomatis akan menurunkan biaya yang akan dikeluarkan untuk penyelesaian bank dan
institusi keuangan yang bermasalah. Seandainya bahwa bank sentral bukan merupakan
pengawas lembaga perbankan maka perlu dibentuk lembaga lain yang akan menjalankan
fungsi yang telah dijalankan oleh bank sentral. Pengalaman Negara Inggris dengan FSA
sebagai pengawas tunggal mengakibatkan adanya saling lempar tanggung jawab dalam
penyelesaian krisis yang terjadi. Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya sistem
pengawasan tunggal memerlukan kondisi adanya sharing informasi antar lembaga yang kuat.
Jika bank sentral bukan merupakan pengawas perbankan tapi masih memiliki fungsi sebagai
LOLR dapat dipastikan bank sentral akan memiliki kesulitan dalam mengontrol neraca jika
pengawas yang berwenang membuat keputusan independen dalam masa krisis (Goodhart,
2005). Kashyap (2010) juga menyatakan bahwa dengan adanya bank sentral sebagai
pengawas sektor perbankan dalam sebuah sistem pengawasan keuangan akan meningkatkan
kinerja bank sentral melalui : (1) informasi langsung mengenai kondisi sistem perbankan
52
akan meningkatkan pelaksanaan kebijakan moneter dan akan meningkatkan proses
pengawasan, (2) dengan adanya hubungan antara kebijakan moneter dan pengawasan sektor
perbankan akan memudahkan penjaminan stabilitas sistem keuangan, dan (3) pengalaman
bank sentral dan perannya sebagai LOLR akan memudahkan bank sentral dalam menyusun
fasilitas pendanaan khusus dalam masa krisis.
Sementara itu, argumen yang mengatakan bahwa supervisi terhadap bank dan lembaga
keuangan lainnya berada di luar kendali Bank Sentral juga dibahas oleh Goodhart (2000),
Barth et al (2002), dan Ingves (2007). Adapun alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut.
- Adanya konfik kepentingan (conflict of interest). Ketika Bank Sentral memegang
peranan dalam pengawasan, maka muncul potensi terjadinya konflik kepentingan
antara peranan Bank Sentral sebagai pelaksana kebijakan moneter dan pengawasan.
Kebijakan moneter yang diambil dikhawatirkan terlalu longgar demi mencegah
dampak buruk terhadap pendapatan bank dan kualitas kredit. Sebagai contoh, tingkat
suku bunga ditekan serendah mungkin agar bank terhindar dari masalah yang akut.
- Potensi penyalahgunaan jika bank sentral bertindak sebagai pengawas adalah
kemungkinan lembaga yang diawasi untuk memiliki risiko yang berlebihan karena
berharap akan menyelamatkan jika terjadi krisis likuiditas, misalnya melalui
penurunan suku bunga antar bank dan LOLR. Potensi penyalahgunaan lainnya adalah
pengawasan bank sentral yang terlalu longgar karena dapat sewaktu-waktu merubah
kebijakan maupun implementasi LOLR terhadap lembaga yang gagal atau mengalami
krisis
- Adanya risiko reputasi. Persepsi publik terhadap kredibilitas bank dapat terkena imbas
negatif. Kegagalan dalam supervisi dapat menyebabkan reputasi Bank Sentral di mata
masyarakat menjadi buruk.
- Independensi: Briault (1999) dalam Barth et al. (2002) mengatakan bahwa semakin
lebar peranan Bank Sentral, maka semakin rentan mendapat tekanan politik yang
dapat mengancam independensi.
- Perubahan struktur dalam sistem finansial. Batasan-batasan yang membedakan antara
lembaga keuangan yang satu dengan yang lainnya saat ini semakin tidak jelas. Oleh
karena itu, dibutuhkan sebuah lembaga yang dapat mengawasi seluruh lembaga
keuangan tersebut, dan akan sulit bagi Bank Sentral untuk menjalankan peranan ini.
Hal ini dikarenakan secara historis bank sentral tidak memiliki keahlian untuk
menjalankan pengawasan bagi lembaga-lembaga lainnya.
53
SLWG menyarankan bank sentral untuk menjalankan fungsi manajemen sistemik (regulasi
sektor keuangan) dan OJK untuk menjalankan fungsi manajemen persaingan usaha dan
perlindungan konsumen (Gambar 4.6).
Pendekatan yang diusulkan dari pembagian tugas di atas adalah twin peaks atau hibrida.
Alasan pembagian tugas tersebut adalah sebagai berikut.
1. Bank sentral memiliki akses dan pengetahuan yang luas terhadap arus sistem
keuangan
2. Stabilitas sistem keuangan memiliki kaitan erat dengan stabilitas makroekonomi
3. Bank sentral adalah lembaga yang memiliki tingkat independensi tinggi
4. Bank sentral memiliki peran LOLR sehingga dapat menyediakan dana pada saat krisis
sistem keuangan.
Krivoy (2000) mengedepankan pentingnya peran bank sentral dalam menjaga stabilitas
sistem keuangan khususnya sektor perbankan. Sinclair (2000) dan Blanchard et al. (2009)
menyatakan bahwa konflik kepentingan antara bank sentral dan regulator lain dapat timbul
apabila peran stabilitas sistem keuangan diberikan kepada regulator lain. SLWG memberikan
rekomendasi terkait fungsi lembaga pengawas pasar keuangan.
1. Bank sentral diberikan tugas untuk menjaga stabilitas sistem keuangan khususnya
pada periode krisis
54
2. Lembaga pengawas pasar keuangan memiliki tugas untuk menjaga stablitas sistem
keuangan secara menyeluruh
3. Bank sentral tidak dilibatkan dalam manajemen persaingan usaha antara lembaga
keuangan serta perlindungan konsumen.
Nier (2009) menjelaskan model pengawasan hibrida (hybrid) yang mengintegrasikan bank
sentral, lembaga pengawas sistemik sektor keuangan, dan pengawas laku bisnis sektor
keuangan. Pada model ini, pembagian tugas dan fungsi yang jelas untuk setiap lembaga
terkait pengawasan sektor keuangan sangatlah penting. Selain itu, mekanisme kerjasama
antara ketiga lembaga di atas perlu dibentuk. Hal tersebut ditujukan untuk menghindari
konflik kepentingan serta membangun komunikasi antarlembaga.
Kasus Northern Rock di Britania Raya, Hypo Real dan IKB di Jerman, Fortis di Belgia, serta
Lehman Brothers di Amerika Serikat terjadi karena tidak ada mekanisme special resolution
regime (Nier, 2009). Special resolution regime merupakan bagian penting dari kerangka
pengawasan sektor keuangan terutama pada saat krisis. Mekanisme ini memungkinkan
pencegahan kegagalan institusi sektor keuangan individu yang dapat berdampak sistemik.
Bank sentral memegang peran utama dalam mekanisme special resolution regime karena dua
hal: (1) merupakan LOLR; (2) memiliki kemampuan untuk analisis dampak sistemik
kegagalan institusi keuangan individu terhadap sektor keuangan secara menyeluruh, sistem
pembayaran, dan pasar (Nier, 2009). Bank sentral harus mendapatkan dukungan di bawah ini
agar optimal dalam menjalankan peran dalam special resolution regime.
55
yang disupervisi. Otoritas baru ini dibentuk dari merger antara badan perijinan Perancis
dengan otoritas pengawasan sektor perbankan dan asuransi dimana otoritas baru ini akan
berada di bawah Bank Sentral Perancis (Banque de France). Chairman dari ACP adalah
Gubernur Bank Sentral Perancis.
Tujuan dibentuknya ACP ini adalah untuk membentuk koneksi yang erat antara prudential
supervision dengan fungsi-fungsi utama lain pada bank sentral dan juga dengan industri
asuransi yang memegang peranan cukup besar pada sektor keuangan. Hubungan operasional
yang erat ini tentunya sangat diperlukan dalam mengambil keputusan terutama disaat krisis.
Dengan demikian bank sentral memiliki informasi penting dari seluruh lembaga keuangan
yang akan memperkuat baik macro maupun micro prudential supervision.
ACP merupakan penggabungan dari lembaga yang telah ada sebelumnya telah berdiri, yaitu
the insurance firms committee (CEA), the credit institutions and investment firms committee
(CECEI), the authority for insurance and mutual insurance entities (ACAM) dan the banking
commission (CB). ACP di supervisi oleh Bank de France dan diketuai oleh gubernur Bank de
France, sedangkan wakil dari lembaga ini berasal dari industri asuransi.
Untuk menentukan hubungan yang erat antara otoritas baru ini dengan bank, Gubernur
Banque de France menetapkan bahwa ACP tidak memiliki kapasitas hukum untuk membuat
kontrak atau perjanjian sendiri. Kontrak atau perjanjian tersebut harus ditandatangi oleh
Banque de France. Pegawai dari otoritas ini adalah pegawai bank sentral, pegawai yang
dikontrak oleh bank sentral, dan pegawai yang diperbantukan. Semua ketentuan pegawai
mengikuti ketentuan kepegawaian Bank de France. Sementara itu, untuk pembiayaan
otoritas berasal dari kontribusi lembaga yang disupervisi dan jika diperlukan maka pendanaan
bisa juga berasal dari anggaran tambahan bank sentral
Entitas yang disupervisi oleh ACP dibagi menjadi dua sektor yaitu :
1.Sektor perbankan, jasa pembayaran dan investasi, dimana anggotanya adalah lembaga
kredit, perusahaan investasi, lembaga pembayaran, dan bureaux de change.
2.Sektor asuransi, dimana anggotanya adalah perusahaan asuransi dan reasuransi, asuransi
mutual, dan provident institution.
ACP ini nantinya akan dipimpin oleh Gubernur Bank Sentral Perancis atau Deputi Gubernur
yang ditunjuk dan terdiri dari 16 anggota yaitu :
56
- Chairman
- Vice Chairman dengan pengalaman pada bidang perasuransian dan dua anggota
lainnya. Ketiganya ditunjuk berdasarkan kompetensinya dalam perlindungan konsumen
atau kompetensinya pada bidang lain yang terkait dengan misi ACP.
- Perwakilan dari tiga pengadilan tinggi
- Chairman dari Accounting Standards Board ; dan
- Delapan anggota yang dipilih berdasarkan keahliannya dalam bidang perbankan dab
asuransi (masing-masing empat dari tiap bidang)
Sekretaris Jenderal ACP akan ditunjuk oleh Menteri Ekonomi berdasarkan nominasi yang
diajukan oleh Chairman. Sekretaris Jenderal ini bertanggung jawab terhadap organisasi dan
pengelolaan departemen-departemen dalam otoritas. Chairman memiliki kekuasaan penuh
untuk menunjuk anggota staf.
Model struktur ACP ini sebenarnya agak mirip dengan struktur pengawasan twin peaks,
namun bedanya pada ACP lembaga pengawas keuangan dan lembaga perlindungan
konsumen dilebur menjadi satu pada satu lembaga otoritas yang berada di bawah Bank
Sentral. Model ini dapat mengatasi kekurangan pada struktur twin peaks yaitu adanya potensi
miskoordinasi antara lembaga pengawas regulasi (sistemik) dengan laku bisnis terutama saat
krisis karena berada dalam satu lembaga sementara dalam twin peaks terdapat dua lembaga
yang berdiri sendiri.
Apabila Indonesia mengadopsi sistem ini maka akan terbentuk suatu otoritas yang berada di
bawah Bank Indonesia dan dipimpin oleh Gubernur Bank Indonesia. Otoritas ini merupakan
gabungan antara lembaga pengawas perbankan dalam hal ini Bank Indonesia dan Bapepam-
LK yang merupakan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan non bank. Otoritas ini
juga nantinya tidak memiliki kekuatan untuk membuat kontrak atau perjanjian, dimana
pembuatan kontrak atau perjanjian harus melalui Bank Indonesia.
57
1. Satu lembaga baru “ Prudential Regulatory Auhority” yang akan menangani
Macro prudential Supervision dan Oversight Micro Prudential Supervision
yang akan menjadi anak perusahaan dari BOE
2. Dua lembaga baru yang terpisah dari BOE, yaitu (1) Economic Crime Agency
yang menangani masalah kriminal di bidang ekonomi dan (2) Consumer
Protection termasuk melakukan penyidikan terhadap indikasi kejahatan.
Consumer Protection and market authority yang bertanggung jawab dalam
melakukan :
a. Perlindungan investor
b. Pengawasan dan regulasi terhadap pasar
c. Melakukan pengawasan terhadap perilaku (business conduct) terhadap
usaha bank dan jasa keuangan
Secara khusus, Banking Commision diberikan tugas dan tanggung jawab untuk
memformulasikan rekomendasi kebijakan terkait hal-hal sebagai berikut :
58
memastikan bahwa pengembangan bank tetap dapat mendapatkan
competitive advantage walaupun tanpa persepsi too big too fail
FSC MOFE
SFC
FSS
59
perdana menteri dan independen dari menteri keuangan. FSC membawahi Securities and
Futures Commision (SFC) dan Financial Supervisory Services (FSS) yang kemudian
membawahi seluruh lembaga keuangan. Namun pada Maret 2008 posisi chairman FSC dan
Gubernur FSS dipisahkan untuk meningkatkan efisiensi dan untuk membedakan secara jelas
antara pembuatan kebijakan dengan pengawasan pasar keuangan. FSC juga berubah dari
Financial Supervisory Commision menjadi Financial Services Commision.
FSC dibentuk dengan tujuan untuk melindungi integrasi pasar keuangan Korea dengan
meningkatkan kesehatan sistem kredit dan praktek bisnis yang jujur. FSC bertindak sebagai
badan penghasil kebijakan terkonsolidasi yang terkait permasalahan pengawasan industri
keuangan secara keseluruhan. FSC terdiri dari sembilan komisioner yang terdiri dari
Chairman, Vice Chairman, Vice Minister of Strategy and Finance, Deputy Governor of the
Bank of Korea, President of the Korea Deposit Insurance Corporation, Governor of the
Financial Supervisory Service, dua orang yang direkomendasikan oleh Chairman dari FSC,
dan satu orang dari Chairman of the Korea Chamber of Commerce and Industry. Chairman,
ditunjuk oleh Presiden Korea, melalui rapat FSC. Fungsi-fungsi utama dari FSC adalah :
Melakukan pembahasan dan resolusi dari isu-isu keuangan yang penting. Isu-isu
mengenai kemajuan dalam industri keuangan, stabilitas pasar keuangan, dan
mempromosikan sistem kredit yang sehat dan praktik bisnis yang jujur.
Mengarahkan dan mensupervisi Financial Supervisory Services (FSS) terkait dengan
pasal-pasal penyatuan dan persetujuan anggaran dan laporan keuangan.
SFC merupakan sebuah badan dalam FSC yang diketuai oleh Vice Chairman FSC. FSC
terdiri dari lima komisioner, yaitu Vice Chairman, satu standing commissioner dan tiga non-
standing commissioners, ditunjuk berdasarkan rekomendasi dari FSC Chairman. Tugas
pokok SFC adalah sebagai berikut :
Sementara itu, FSS sendiri dibentuk pada 2 Januari 1999 yang merupakan gabungan dari
Banking Supervisory Authority, Securities Supervisory Board, Insurance Supervisory Board,
60
and Non-bank Supervisory Authority. Tugas pokok FSS adalah menguji dan mensupervisi
dari lembaga keuangan namun tidak boleh diluar fungsi yang ditetapkan oleh FSC dan SFC.
FSS dipimpin oleh Gubernur dan memiliki 25 departemen dan 16 kantor yang dibagi menjadi
sembilan divisi utama yaitu : (1) strategic planning, (2) management support and consumer
protection, (3) supervisory service coordination, (4) banking service, (5) nonbanking service,
(6) insurance service, (7) financial investment service, (8) capital market investigation, and
(9) accounting service. Internal Audit Office bertanggung jawab untuk audit internal FSS.
Untuk menjaga stabilitas sistem keuangannya, Pemerintah Jepang membentuk suatu lembaga
yang disebut Financial Services Agency (FSA) pada tahun 1998 (Gambar 4.8). FSA
bertanggung jawab mengawasi dan mengatur perbankan, pasar modal, dan asuransi. FSA
merupakan sebuah lembaga yang independen oleh seorang komisioner dan bertanggung
jawab pada Menteri Keuangan. Berikut adalah struktur organisasi FSA
61
Gambar 4.8. Struktur Organisasi FSA di Jepang
Minister of Financial
Planning Division
Evaluation Division
Inspection Administrator
Supervisory Bureau
Exchange Chairperson
Bank Division I
Surveillance
Commission Commissioner Bank Division II
Planning Division
Executive Bureau
62
Komisioner membawahi administrative law judge dan tiga biro. Biro-biro tersebut adalah
Planning and Coordination Bureau, Inspection Bureau, dan Supervisory Bureau. Planning
and Coordination Bureau bertugas melakukan koordinasi kebijakan, mengatur hubungan
internasional, membuat perencanaan terkait permasalahan legal, pasar keuangan, dan
corporate accounting and dislosure. Sementara Inspection Bureau bertugas melakukan
inspeksi dan evaluasi. Sedangkan Supervisory Bureau membawahi Supervisory Coordination
Division, Bank division I & II, Insurance Business Division, dan Securities Business
Division.
FSA juga membawahi Securities and Exchange Surveillance Commission dan Certified
Public Accountants and Auditing Oversight Board. Securities and Exchange Surveillance
Commission dipimpin oleh seorang chairperson, dua orang komisioner dan biro eksekutif
yang membawahi coordination division, market survellaince division, inspection division,
inspection administrator, civil penalties investigation and disclosure documents inspection
division, dan investigation division. Sementara Certified Public Accountants and Auditing
Oversight Board juga dipimpin oleh seorang chairperson, sembilan orang komisioner dan
sebuah biro eksekutif yang membawahi office of coordination and examination dan office of
monitoring and inspection.
Struktur pengawasan tunggal yang ditetapkan oleh Pemerintah Jepang dengan membentuk
FSA terbukti cukup berhasil dalam melakukan tugasnya untuk menjaga stabilitas sistem
keuangan. Salah satu faktor pendukung yang memegang peranan kunci dalam keberhasilan
FSA ini adalah adanya koordinasi yang kuat, baik antar lembaga di bawah FSA maupun
dengan lembaga lain diluar FSA seperti lembaga penjamin simpanan Jepang atau Deposit
Insurance Corporation Japan (DICJ). Koordinasi ini sangat diperlukan terutama saat
terjadinya krisis keuangan (Gambar 4.9).
63
Gambar 4.9. Skema Penanganan Krisis di Jepang
E
n
d
o Share Transfer,
f
Banks S
p Financial Assistance (Art 59 and Art
e 118, “Special Rules on Financial
c
Assistance to Banks under Special
i
a Crisis Management.”)
l
C
Sumber : diolah
r dari Deposit Insurance Corporation Jepang (2010)
i
s
i
s
M
a
n 64
a
g
e
m
e
4.6.5.Pengalaman Negara Jerman
Banking Banking
Advisory Council
Securities
Insurance
Cross Sector
Bundeslander Supervise
State Level Stock Exchanges
Banking Act of 1961 menugaskan Federal Banking Supervisory Office untuk bertanggung
jawab dalam mensupervisi lembaga pemberi kredit dan lembaga keuangan lainnya. Lembaga
ini merupakan otoritas independen yang bertanggung jawab pada Federal Minister of
Economics (sejak akhir 1972 kepada Federal Minister of Finance) dan memulai kegiatannya
pada 1 January 1962. Dengan adanya peraturan terkait dengan pengawasan terintegrasi pada
1 Mei 2002, Federal Banking Supervisory Office, Federal Supervisory Office for Insurance
Enterprises dan Federal Supervisory Office for Securities Trading digabungkan dan
membentuk German Federal Financial Supervisory Authority (Bundesanstalt für
Finanzdienstleistungsaufsicht atau BaFin).
65
BaFin memiliki beberapa fungsi pokok yaitu solvency supervision, market supervision dan
investor protection. Dalam melakukan tugasnya dalam solvency supervision, BaFin
bertanggung jawab untuk memastikan bahwa lembaga kredit, perusahaan asuransi dan
penyedia jasa keuangan dapat memenuhi kewajiban pembayarannya setiap waktu. Sementara
melalui market supervision BaFin selalu meningkatkan penyelenggaraan praktek
perdagangan yang sehat dan transparan. Selain dua fungsi itu BaFin juga bertanggung jawab
untuk melakukan proteksi terhadap konsumen. Tugas memberikan perlindungan konsumen
ini dilakukan dengan membuka helpline dimana konsumen dapat memberikan pengaduannya.
Khusus untuk pengawasan perbankan, BaFin membagi tugasnya dengan Bank Sentral Jerman
yaitu Deutsche Bundesbank. Kerjasama dua lembaga ini diatur dalam Section 7 of the
Banking Act, yang menetapkan bahwa Bundesbank sebagai bagian dari proses pengawasan,
menganalisis laporan yang disampaikan oleh bank secara reguler untuk menilai apakah bank
tersebut memiliki kecukupan modal dan apakah prosedur manajemen risikonya sudah
memenuhi standar. Laporan evaluasi perbankan ini diserahkan pada BaFin. Bundesbank
jugalah yang menetapkan peraturan-peraturan umum seperti prinsip-prinsip dan peraturan
perbankan terkait. Sementara BaFin nantinya akan mengevaluasi kembali laporan yang
diberikan Bundesbank dan menetapkan apakah suatu bank sudah dikatakan dapat memenuhi
standar ketentuan minimum permodalan dan standar manajemen risikonya. BaFin memiliki
kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan terkait sektor perbankan dan jasa keuangan
yang melangggar ketentuan dan laku bisnis yang dapat membahayakan perekonomian secara
keseluruhan. BaFin jugalah yang memiliki wewenang untuk menentukan prosedur dan skema
proteksi simpanan. Pemisahan tugas antara BaFin dan Bundesbank diatur dalam sebuah
Memorandum of Understanding. BaFin bekerjasama dengan BundesBank mengeluarkan
sebuah panduan pengawasan yaitu "Guideline on the execution and quality assurance of the
ongoing supervision of credit and financial services institutions by the Deutsche
Bundesbank."
66
Operasional FIN-FSA dibiayai 95% nya oleh lembaga keuangan yang disupervisi dan sisanya
dibiayai oleh Bank of Finland.
Tujuan dari didirikannya FIN-FSA adalah untuk menjaga stabilitas pasar keuangan dengan
menjaga keseimbangan operasional lembaga pemberi kredit, asuransi, perusahaan dana
pensiun, dan lembaga lain yang disupervisi. FIN-FSA juga didirikan untuk melindungi hak
pemegang polis asuransi dan mengembangkan kepercayaan publik terhadap aktivitas pasar
keuangan. Selain itu, FIN-FSA bertugas untuk mempromosikan aspek kepatuhan pada pasar
keuangan dan menyebarluaskan pengetahuan umum terkait dnegan pasar keuangan.
FIN-FSA dapat menggunakan penasehat ahli dari luar sebagai penasihat dalam melakukan
tugas pengawasannya. Selain itu FIN-FSA juga dapat menunjuk penasehat hukum yang akan
membantu apabila terdapat ketidakcakapan, pengabaian, atau penyalahgunaan manajemen
yang dilakukan oleh lembaga yang disupervisi. Jika lembaga yang disupervisi terlikuidasi
atau menyatakan bangkrut, FIN-FSA dapat menunjuk penasehat hukum untuk mengawasi
likuidasi aset. Wewenang FIN-FSA juga termasuk mengenakan sanksi administratif,
termasuk teguran dan peringatan terhadap publik. Pada keadaan tertentu, FIN-FSA hingga
lima tahun dapat melarang seseorang menjadi anggota deputi board of directors, managing
director, deputy managing director atau anggota manajemen senior dari lembaga yang
disupervisi. FIN-FSA pada kondisi tertentu juga dapat menarik hak yang diberikan pada
67
lembaga yang disupervisi atau melarang lembaga yang disupervisi melakukan kegiatan bisnis
tertentu. Berikut adalah struktur organisasi FIN-FSA.
Parliamentary
Supervisory Council
General Secretariat
Director General
Administration Unit
Communications
68
Aktivitas FIN-FSA disupervisi oleh Parliamentary Supervisory Council. The Board of the
Financial Supervisory Authority menetapkan tujuan dari pengawas, menetukan prinsip-
prinsip operasional, dan panduan serta mengawasi pencapaian dari, serta kepatuhan terhadap
tujuan serta prinsip-prinsip ini.
Director General bertanggung jawab untuk mengelola aktivitas dari pengawas dan
melakukan pengambilan keputusan selain yang merupakan wewenang Board. Director
General dibentuk sebuah advisory management group, terdiri dari ketua departemen dan
karyawan yang ditunjuk langsung oleh Director General.
Bagan organisasi Financial Supervisory Authority terdiri dari empat departemen yaitu :
Institutional Supervision, Prudential Supervision, Market Supervision dan Conduct of
Business Supervision. Departemen ini dibagi menjadi 3-5 divisi. Seperti halnya departemen,
unit-unit ini juga melapor langsung pada Director General yaitu Administration, General
Secretariat dan Communication.
69
Gambar 4.12 Struktur Pengawasan Denmark
The Minister
Sementara itu, Bank of Canada bertanggung jawab dalam melaksankan kebijakan moneter
dengan menentukan target suku bunga dan penyesuaian penawaran kredit. Bank of Canada
juga berperan dalam sistem pembayaran dengan menyediakan fungsi check-clearing dan
berperan sebagai lender of last resort.
71
Gambar 4.12 Struktur Pengawasan Kanada
Parlieament of Canada
Koordinasi langsung
Agensi independen
Minister of Finance
72
2. Pengalaman negara-negara di Skandinavia yang menganut sistem pengawasan tunggal
(dimulai oleh Norwegia pada tahun 1988 kemudian diikuti oleh negara-negara
lainnya) memperlihatkan bahwa tidak ada struktur pengawasan yang menghilangkan
pengawasan perbankan dari bank sentral dengan pertimbangan bahwa bank sentral
memiliki keahlian dalam mengawasi sektor perbankan.
3. Dalam proses transisi dari struktur pengawasan yang terspesialisasi ke struktur
pengawasan terintegrasi dipastikan akan adanya kaji ulang peraturan tetapi tidak
dengan perubahan radikal terhadap peraturan yang ada yang akan menimbulkan risiko
transisi yang besar, sebagaimanayang dicontohkan oleh Norwegia.
4. Proses transisi juga terkit dengan dua isu utama, yaitu alokasi sumber daya dan
perubahan budaya. Ketentuan sumber daya manusia yang meliputi status, remunerasi
dan keahlian yang harus dimiliki oleh pegawai dalam lembaga tunggal tersebut.
5. Adanya MoU yang tegas mengatur peranan tiap regulator dalam situasi krisis
sehingga tidak adanya saling menyalahkan peran sebagaimana yang terjadi di Britania
Raya.
73
Bab 5: Usulan Struktur dan Tugas OJK di Indonesia
5.1.Pendahuluan
Perkembangan sektor keuangan di Indonesia, baik lembaga keuangan bank dan nonbank,
sangatlah pesat. Hal ini mengindikasikan meningkatnya keterkaitan dan transaksi satu
lembaga keuangan dengan lainnya. Pengawasan lembaga keuangan yang longgar atau
terpisah dapat menimbulkan penyalahgunaan yang berakibat fatal terhadap kesehatan
lembaga keuangan tersebut. Sebagai contoh, seorang nasabah dapat mengajukan permohonan
kredit ke bank dan pada saat yang sama mengajukan kredit ke koperasi (Gambar 5.1).
Tindakan tersebut dimungkinkan karena bank dan koperasi diawasi oleh lembaga berbeda
yaitu BI dan Bapepam-LK. Dualisme pengawasan tersebut diperburuk dengan tidak adanya
koordinasi data antara BI dan Bapepam-LK.
Pembentukan sistem pengawasan merupakan salah satu solusi dari permasalahan di atas.
Penyatuan lembaga pengawas dinilai dapat mengurangi penyalahgunaan yang ada dari
dualisme pengawasan. Lebih dari itu, aliran informasi menjadi terpusat sehingga pemantauan
lembaga keuangan yang menyeluruh dapat tercapai.
74
Gambar 5.1. Ilustrasi Potensi Penyalahgunaan dari Dualisme Pengawasan Sektor Keuangan
Bank BI
Koperasi Bapepam‐LK
Hingga saat ini tidak ada sistem data sharing maupun data interfacing untuk mendeteksi
nasabah yang meminjam uang di bank dan pada saat yang bersamaan meminjam uang di
koperasi. Jika total pinjaman di kedua lembaga keuangan tersebut masih dalam batas aman
bagi rumah tangga untuk membayar cicilan hutang dan bunganya, maka hal ini tentunya tidak
akan bermasalah. Permasalahan biasanya timbul ketika nasabah cenderung impulsif dan
mengajukan kredit kepada bank dan koperasi dengan jumlah yang melebihi kemampuan
mereka untuk melunasinya. Jika praktik ini terjadi secara meluas, maka dampaknya tidaklah
berbeda dengan sub-prime mortgage dengan ninja lender-nya.
Kasus Antaboga adalah contoh lain munculnya permasalahan akibat tidak adanya data
sharing, data interfacing dan bahkan koordinasi antara Bank Indonesia dan Bapepam-LK.
Jika saja terdapat sistem informasi dan koordinasi antar lembaga pengawas yang efektif,
maka kasus Antaboga sebenarnya tidak perlu terjadi.
Struktur sektor keuangan di Indonesia lebih didominasi oleh sektor perbankan. Sektor
tersebut memiliki lebih dari 1.900 perusahaan yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia
(Gambar 5.2). Luasnya lingkup sektor keuangan merupakan catatan khusus dalam
pembentukan sistem pengawasan. Selain biaya pengawasan yang besar, waktu yang
dibutuhkan relatif lama untuk sistem pengawasan dapat mapan dalam mengawasi bank, baik
sumberdaya manusia maupun teknologi.
75
Gambar 5.2. Jumlah Bank di Indonesia, 2010
Bank Pemerintah
Unit Usaha Syariah
(2)
Sumber: BI (2010a)
Sektor perbankan harus diawasi setiap saat karena perannya yang sentral dalam sektor
keuangan. Kegagalan yang terjadi pada satu bank dapat berdampak buruk bagi sektor
keuangan secara keseluruhan. Hal tersebut diminimalisasi dengan pemantauan secara terus
menerus oleh lembaga yang berwenang. Saat ini, pengawasan perbankan dilakukan oleh BI
pusat dan KBI di masing-masing daerah. Pengawasan tersebut meliputi pengawasan on- dan
off-site. Gambar 5.3 menjelaskan skema pengawasan bank oleh BI. Apabila ditinjau lebih
dalam, kompleksitas pengawasan sangat tinggi karena jumlah bank beserta cabangnya yang
besar dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
76
Gambar 5.3 Skema Pengawasan Bank oleh BI
BI PUSAT
BI KANTOR CABANG
DAERAH
Pengawasan Off‐site:
Dilakukan secara berkala
Jumlah bank dan kantor yang ditunjukkan pada Tabel 5.1 diawasi oleh 1.437 staf pengawas:
871 staf di pusat dan 566 staf di KBI daerah (BI, 2010f). Staf pengawas di BI pusat dan KBI
wajib melakukan pengawasan on-site minimal satu kali dalam setahun: (1) bank umum
beserta sampel kantor cabang; (2) BPR. Jika diasumsikan satu bank memiliki minimal satu
cabang, staf pengawas minimal harus mengawasi 244 kantor bank umum (kantor pusat dan
sampel kantor cabang), 68 kantor bank syariah (pusat dan sampel cabang), serta 1.712 kantor
BPR. Jumlah bank yang harus diawasi dalam satu tahun mencapai 2.024 bank, artinya rasio
staf pengawas dan jumlah bank adalah 1:1,4. Patut dicatat bahwa pengawasan bank kategori
besar, aset lebih dari Rp10 triliun, meliputi 7 kantor cabang.
Selain itu, pengawasan terhadap bank minimal dilakukan dalam waktu 4-6 hari, dengan
catatan bank tersebut dalam keadaan normal. Apabila bank yang diawasi bermasalah, lama
pengawasan akan bertambah. Fakta tersebut mengindikasikan kompleksitas dan besarnya
biaya pengawasan perbankan. Oleh karena itu, usulan pembentukan sistem pengawasan perlu
mengkaji kompleksitas tersebut untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh.
77
Tabel 5.1. Jumlah Bank dan Kantor menurut Jenis Bank
Des
JUMLAH BANK
Bank Umum Konvensional
Bank Persero 5 5 5 5 4 4 4 4 4
BUSN Devisa 34 35 35 32 34 35 35 35 35
BUSN Non Devisa 37 36 36 36 31 30 30 30 31
BPD 26 26 26 26 26 26 26 26 26
Bank Campuran 18 17 17 15 16 16 16 16 16
Bank Asing 11 11 11 10 10 10 10 10 10
Total Bank Umum (A) 131 130 130 124 121 121 121 121 122
Bank Syariah
Total Bank Syariah (B) 22 23 29 32 30 31 32 33 34
Bank Perkreditan Rakyat
Total Bank Perkreditan Rakyat (C) 2.009 1.880 1.817 1.772 1.733 1.735 1.718 1.718 1.712
Total Bank (A+B+C) 2.162 2.033 1.976 1.928 1.884 1.887 1.871 1.872 1.868
Kenaikan (%) -6,0 -2,8 -2,4 -2,3 0,2 -0,8 0,1 -0,2
JUMLAH KANTOR
Bank Umum Konvensional
Bank Persero 2.171 2.548 2.765 3.134 3.854 3.881 3.884 3.884 3.887
BUSN Devisa 4.113 4.395 4.694 5.196 6.181 6.187 6.214 6.234 6.240
BUSN Non Devisa 709 759 778 875 976 969 978 978 979
BPD 1.107 1.217 1.205 1.310 1.358 1.365 1.369 1.369 1.369
Bank Campuran 64 77 96 168 238 238 239 238 239
Bank Asing 72 114 142 185 230 230 230 230 230
Total Kantor Bank Umum (X) 8.236 9.110 9.680 10.868 12.837 12.870 12.914 12.933 12.944
Bank Syariah
Total Kantor Bank Syariah (Y) 436 509 568 790 998 1.108 1.146 1.233 1.230
Bank Perkreditan Rakyat
Total Kantor Bank Perkreditan Rakyat (Z) 3.110 3.173 3.250 3.367 3.644 3.663 3.671 3.718 3.750
Total Kantor Bank (X+Y+Z) 11.782 12.792 13.498 15.025 17.479 17.641 17.731 17.884 17.924
Sumber:
Kenaikan (%) Statistik Perbankan Indonesia (2010e) 8,6 5,5 11,3 16,3 0,9 0,5 0,9 0,2
78
BOKS 5.1 Sistem Pengawasan Sektor Perbankan
Pengawasan sektor perbankan yang dilakukan Bank Indonesia bukanlah tugas yang mudah,
melainkan tugas yang kompleks, memerlukan waktu dan biaya besar, dan membutuhkan ketelitian.
Sistem pengawasan bank memerlukan “know how” yang tidak dapat dibangun dalam waktu 1-2
tahun. Penjelasan berikut memberikan gambaran mengenai sistem pengawasan perbankan di
Indonesia.
Sektor perbankan yang diawasi BI meliputi bank umum konvensional, bank syariah, BPR, dan BPR
syariah dan jumlahnya mencapai 1.868 pada tahun 2010. Pengawas yang didedikasikan untuk
mengawasi sektor tersebut mencapai 1.437 staf. Pengawas secara umum melakukan dua tugas
pengawasan yaitu off-site dan on-site. Selain itu, pengawas juga harus mengikuti program pelatihan
& seminar dan ikut terlibat dalam pembahasan ketentuan & RUU.
Jika ditelaah lebih rinci, pengawasan off-site dilakukan setiap saat dan meliputi pengawasan laporan
harian, mingguan, bulanan, kuartalan, semesteran, dan tahunan, laporan pelaksanaan good corporate
governance, dan laporan pelaksanaan manajemen risiko. Pengawasan on-site menggunakan temuan
dan rekomendasi pengawasan off-site dan dilakukan di kantor pusat dan sampel kantor cabang.
Jumlah kantor cabang yang diawasi disesuaikan dengan size dari bank tersebut, sebagai contoh BI
mengawasi tujuh kantor cabang dari bank dalam kategori besar (aset lebih besar dari Rp10 triliun).
Satu bank diawasi oleh satu tim yang jumlahnya bervariasi bergantung pada size dan keadaan bank
tersebut. Bank kategori besar diawasi oleh 13 orang pengawas; bank kategori menengah (aset Rp1
triliun s.d. Rp10 triliun) diawasi oleh tujuh-delapan orang; bank kategori kecil (aset kurang dari Rp1
triliun) diawasi oleh lima-enam orang; BPR diawasi oleh dua-tiga orang. Pengawasan kantor pusat
memerlukan 35 hari dalam satu tahun sedangkan pengawasan kantor cabang memerlukan waktu
empat-enam hari. Jumlah pengawas dan periode pengawasan dapat meningkat apabila sebuah bank
mengalami permasalahan khusus. Tim tersebut melakukan pengawasan off-site dan on-site suatu
bank secara paralel dan bertanggun jawab penuh terhadapnya (dedicated team).
Pengawas menggunakan pendekatan berbasis kepatuhan dan risiko (dimulai tahun 2003) dalam
pengawasan bank. Pengawasan dengan pendekatan berbasis risiko memerlukan waktu yang lebih
panjang karena terdiri dari banyak kriteria. Tantangan utama yang dihadapi pengawas adalah sistem
inti (core banking system) yang berbeda antara satu bank dengan lainnya. Artinya, BI menghadapi
121 sistem inti bank umum dan profil risiko yang berbeda, belum lagi sistem inti BPR yang
jumlahnya ribuan. BI secara konsisten mengembangkan sistem informasi yang dimilikinya, seperti
SIM-SPB, SID, dan SIMWAS BPR, untuk menjawab tantangan pengawasan yang kompleks.
79
Sesuai dengan struktur organisasi OJK yang diusulkan dalam RUU OJK terdapat
beberapa hal yang perlu dicermati dan membutuhkan diskusi lebih dalam :
1. Dalam naskah akademik RUU OJK disebutkan bahwa tempat kedudukan OJK berada
di ibukota Negara Republik Indonesia dan mempunyai kantor-kantor di dalam dan di
luar wilayah Negara Republik Indonesia yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
Apabila terdapat kantor-kantor untuk setiap provinsi atau kabupaten diperkirakan
akan membutuhkan dana yang sangat besar dan waktu yang lama dalam pendiriannya
Belajar dari pendirian KPK, diperlukan waktu minimal dua tahun untuk membentuk
KPK dan membuatnya berfungsi dengan baik. Perlu dicatat bahwa KPK hanya ada di
Jakarta. Pendirian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di setiap provinsi
dan kabupaten adalah contoh lain yang perlu digunakan sebagai pelajaran.
Pembentukan BNPB di Pusat dan BPBD di masing-masing daerah membutuhkan
waktu lama. Sejak diamanatkan di UU Nomor 24/2007, hingga saat ini BPBD Tingkat
I telah terbentuk di 28 provinsi. Masih ada lima provinsi lain yang belum memiliki
BPBD Tingkat I, meskipun provinsi tersebut sering terkena gempa (misalnya DIY dan
Papua). Dari total 399 kabupaten se Indonesia, ternyata hanya 104 kabupaten saja
yang telah didirikan BPBD Tingkat II, padahal idealnya semua kabupaten di
Indonesia didirikan BPBD.
2. Disebutkan dalam RUU OJK Pasal 5 bahwa terdapat tiga anggota Dewan Komisioner
merangkap Kepala Eksekutif memimpin masing-masing otoritas yang ditetapkan oleh
Presiden berdasarkan usulan Dewan Komisioner, melalui Menteri keuangan.
Kemudian disebukan pula dalam salah satu fungsi Dewan Komisioner adalah
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pengawasan yang dilakukan oleh
Kepala Eksekutif. Hal ini berarti bahwa tiga orang Dewan Komisioner yang juga
merangkap sebagai Kepala Eksekutif juga melakukan pengawasan terhadap dirinya
sendiri sebagai Kepala Eksekutif. Hal ini perlu dijelaskan kriteria independensi dan
pelaksanaan good governance karena adanya rangkap tugas dan fungsi.
3. Sesuai dengan struktur yang diusulkan dalam RUU OJK maka akan ada beberapa
pihak yang terlibat dalam pengawasan Bank (sebagaimana terlihat dalam garis merah
dalam Gambar 5.4), yaitu Bank Indonesia sendiri, anggota Dewan Komisioner yang
merupakan Ex Officio Dewan Gubernur BI, dan Anggota Dewan Komisioner yang
merangkap Kepala Eksekutif Pengawasan Bank. Dengan banyaknya pihak yang
80
mengawasi industri perbankan maka dikhawatirkan terjadi lempar tanggung jawab
(blame disbursement strategy dan pass the bucket) pada saat ada bank gagal atau
terjadi fraud yang dikarenakan lemahnya sistem pengawasan. Hal lain yang juga
harus diperhatikan adalah apabila ternyata kedepannya terjadi permasalahan
kegagalan bank maka siapakah pihak yang akan bertanggung jawab atas
permasalahan tersebut, apakah Bank Indonesia, atau OJK yaitu anggota Dewan
Komisioner yang merupakan Ex Officio Dewan Gubernur BI, atau Anggota Dewan
Komisioner yang merangkap Kepala Eksekutif Pengawasan Bank, atau ketiga-
tiganya, atau dapat juga BI dan OJK harus secara bersama-sama bertanggung jawab.
4. Dalam naskah akademik yang menunjang RUU OJK disebutkan juga : ”Untuk
mendukung kinerja dan pelaksanaan tugas dari masing-masing anggota Dewan
Komisioner serta pejabat, dan pegawai OJK, diatur mekanisme penetapan sistem
remunerasi dengan mempertimbangkan sistem penggajian yang berlaku pada
industri jasa keuangan dan regulator jasa keuangan, baik nasional maupun
internasional.” Perlu diperhatikan bahwa remunerasi dalam jasa keuangan sangat
variatif. Dalam skala nasional saja antara satu perusahaan dan perusahaan lain bisa
sangat jauh berbeda, apalagi jika dibandingkan dengan perusahaan skala internasional
pasti akan lebih banyak lagi variasinya.
5. Dalam RUU OJK Pasal 48 ayat (1) Disebutkan bahwa ” Terhitung sejak tugas dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), beralih pada Otoritas Jasa
Keuangan, status kepegawaian pegawai Bank Indonesia yang melaksanakan tugas
dan wewenang di bidang pengaturan dan pengawasan beralih seluruhnya atau
sebagian menjadi pegawai Otoritas Jasa Keuangan.” Pertanyaaan yang muncul
terkait dengan kata seluruhnya atau sebagian, apakah hal tersebut berarti bahwa
pegawai Bank Indonesia bisa memilih status apakah tetap menjadi pegawai Bank
Indonesia atau OJK. Apabila nantinya ditetapkan siapa saja yang harus berganti status
dari pegawai BI menjadi pegawai OJK, maka kriteria apa yang digunakan dalam
menetapkan tersebut. Selain itu, potensi benturan antara staf BI dan OJK adalah besar
pada saat masa transisi karena masing-masing lembaga memiliki tupoksi yang
berbeda
81
Gambar 5.4 Struktur OJK Berdasarkan RUU OJK Tahun 2010
INDUSTRI
KEUANGAN
BANK PASAR
NONBANK
MODAL
82
Gambar 5.5 menjelaskan kompleksitas terhadap struktur OJK yang diusulkan dalam RUU
OJK. Struktur tersebut identik dengan struktur FSA di Britania Raya yang terbukti gagal
dalam melaksanakan fungsinya. Dalam struktur tersebut, masing-masing kepala eksekutif
bertugas untuk menjalankan fungsi pengawasan mikro sekaligus laku bisnis di sektor
perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank (IKNB). Hal tersebut patut ditinjau
ulang melihat pengalaman FSA: FSA lebih fokus pada pengawasan laku bisnis dan
mengabaikan fungsi pengawasan mikro. Kegagalan pengawasan mikro cenderung berakibat
lebih buruk dibandingkan kegagalan pengawasan laku bisnis, misalnya fungsi pengawasan
mikro FSA gagal mengantisipasi jatuhnya Northern Rock yang menimbulkan goncangan
terhadap sistem keuangan dan kepercayaan nasabah keuangan di Britania Raya.
Struktur yang diusulkan RUU OJK juga sangat lemah karena belum menimbang
pembentukan kantor OJK di daerah yang berbiaya besar dan waktu lama pembentukan OJK
daerah. Basis data lembaga keuangan di daerah sangat minim, khususnya lembaga keuangan
informal. Lingkup pengawasan yang sangat luas terutama dengan jumlah lembaga keuangan
informal yang cenderung sangat banyak dan seringkali tersebar hingga ke daerah-daerah
terpencil. Penjelasan biaya pengalihan pengawasan dari BI ke OJK dibahas lebih rinci di Bab
6.
Skema RUU OJK mengalihkan fungsi pengawasan sektor perbankan dari BI ke OJK.
Pengalihan ini memerlukan biaya yang sangat besar, mengingat SDM dan teknologi yang
dibutuhkan dalam pengawasan bank di seluruh Indonesia. Selain itu, peralihan memerlukan
waktu lama: penelitian di 14 negara menunjukkan waktu peralihan mencapai 0,7-2 tahun.
Penelitian tersebut dilakukan di negara maju, sedangkan Indonesia merupakan negara
berkembang dengan infrastruktur dan arus informasi minim serta fakta bahwa wilayah
Indonesia sangat luas dan terdiri dari banyak pulau-pulau.
83
mungkin permasalahan relatif ringan, namun ketika hal yang sama terjadi di seluruh wilayah
Indonesia, maka kompleksitas ini perlu mendapat perhatian khusus.
Kompleksitas lain dari konsep ’bedhol desa’ tersebut adalah OJK harus membentuk berbagai
SOP untuk mengatur berbagai masalah keseharian yang mungkin timbul. Tentunya SOP dan
sistem kerja yang ada di BI tidak bisa dibawa seluruhnya ke OJK, karena akan ada interaksi
antara pengawas yang berasal dari BI dan pengawas yang semula dari Bapepam. Setiap
lembaga memiliki tradisi dan sistem kerja yang seringkali berbeda dan tentunya ketika kedua
hal tersebut berinteraksi, tentu diperlukan mekanisme untuk mengakomodasi keduanya.
Perbankan merupakan sektor keuangan terbesar di Indonesia (87%). Hal ini mengindikasikan
bahwa stabilitas keuangan Indonesia erat kaitannya dengan sektor perbankan. Saat ini,
stabilitas (fungsi pengawsasan makro) sektor keuangan dilakukan oleh BI. Apabila fungsi
pengawasan mikro perbankan dialihkan dari BI ke OJK, biaya koordinasi stabilitas akan
menjadi tinggi dan rentan terhadap miskoordinasi. Keadaan sektor keuangan yang didominasi
oleh perbankan membutuhkan fungsi stabilitas dan pengawasan mikro perbankan
dilaksanakan oleh satu lembaga agar optimum.
Struktur RUU OJK menawarkan kemanfaatan yaitu: (1) pencapaian economies of scope
pengawasan sektor keuangan; (2) mengurangi kecenderungan moral hazard dari produk
lintas lembaga; (3) penciptaan basis data (database) sektor keuangan yang terintegrasi.
Walaupun demikian, kompleksitas struktur tersebut memiliki biaya yang lebih besar
dibandingkan kemanfaatan yang diperoleh. Setiap kompleksitas yang timbul dari struktur
tersebut merupakan potensi besar penyebab sektor keuangan rentan terhadap kejutan
eksternal dan krisis apabila lembaga pengawas mengalami kegagalan sekecil apapun.
84
Gambar 5.5. Kompleksitas Terhadap Struktur yang Diusulkan RUU OJK
DEWAN KOMISIONER
Kemanfaatan: Kompleksitas:
‐ Integrasi memungkinkan economies of scope ‐ Setiap lini pengawas (perbankan, pasar modal,
pengawasan sektor keuangan. dan IKNB) menjalankan fungsi pengawasan
‐ Mengurangi kecenderungan penyalahgunaan mikro dan laku bisnis secara bersamaan.
yang timbul dari pelaku sektor keuangan Sistem ini terbukti gagal di FSA Britania
karena diawasi oleh dua lembaga pengawas Raya karena suatu lini pengawas akan cenderung
berbeda (Gambar 5.1). fokus pada satu fungsi pengawasan saja dan
‐ Penciptaan basis data (database) sektor cenderung mengabaikan fungsi lainnya. FSA di
keuangan yang terintegrasi Britania Raya cenderung fokus pada fungsi
pengawasan laku bisnis dan mengabaikan
fungsi pengawasan mikro.
‐ Belum mencantumkan struktur OJK di
daerah:
Biaya besar dan waktu lama dalam
pembentukan OJK daerah
Lingkup pengawasan yang sangat luas
untuk lembaga yang belum mapan: jumlah
lembaga keuangan informal di daerah
jumlahnya cenderung sangat banyak.
Basis data sektor keuangan yang minim di
daerah
‐ Peralihan SDM pengawas perbankan dari BI
berbiaya tinggi dan memerlukan waktu relatif
lama
‐ Biaya koordinasi tinggi apabila fungsi
pengawasan makro dan mikro sektor
perbankan (sektor keuangan terbesar)
dilakukan oleh dua lembaga berbeda.
85
Peraturan di Indonesia seringkali terdiri dari undang-undang yang berlapis dan hal ini juga
terjadi di pengaturan pengawasan sektor keuangan. Gambar 5.6 menunjukkan undang-undang
yang mengatur pengawasan sektor keuangan: (1) UU OJK; (2) UU Perbankan; (3) UU Pasar
Modal; (4) UU Usaha Perasuransian; (5) UU Dana Pensiun; (6) UU terkait lainnya.
Banyaknya jumlah UU yang mengatur berpotensi menimbulkan tumpang-tindih peraturan
dan konflik. UU OJK disarankan menjadi cetak biru pengaturan sektor keuangan yang
memuat peraturan komprehensif mengenai sektor keuangan.
Organisasi dan tata kelola Ketentuan jenis produk, lingkup kegiatan, syarat kecukupan dan
otoritas pengaturan dan
kriteria, tingkat kesehatan, prinsip kehati‐hatian lembaga
pengawasan industri jasa
keuangan
keuangan.
Setiap staf pengawas akan menjalani proses pembelajaran yang panjang sejak pertama kali
bertugas. Tidak hanya harus mengerti teknik-teknik tertulis, seorang staf pengawas akan
mengembangkan tacit knowledge yang tidak mudah untuk dipelajari oleh staf lain. Oleh
karena itu, pembelajaran seorang staf pengawas merupakan “investasi” pengetahuan dan
keterampilan yang sangat besar dan memerlukan proses panjang.
86
Gambar 5.7 memberikan gambaran umum tahap penting yang dialami seorang staf pengawas
dalam proses pengembangan pengetahuannya. Pertama, seorang pengawas harus mengerti
misi yang diemban oleh lembaga pengawas tempatnya bernaung (know the mission). Staf
pengawas diikutkan dalam pelatihan dan seminar terkait tugas pokoknya dalam mengawasi
lembaga keuangan. Patut dicatat, misi lembaga pengawas dapat berubah seiring perubahan
industri yang diawasi, sehingga staf pengawas wajib melakukan penyesuaian kembali.
K n o w your
mission
Know
Kualifikasi your
Know technique
Pengawas
your and how
Lembaga
entity t o d o it
Keuangan
Build your
character:
I nt e g r i t a s ,
P ro f e s i o n a l i t a s ,
dan
Kepemimpinan
Kedua, seorang pengawas harus mengerti perusahaan yang diawasinya (know the entity). Staf
pengawas tidak cukup mengerti teknik pengawasan untuk satu industri yang spesifik,
misalnya perbankan atau perasuransian. Staf pengawas wajib mengerti seluk beluk
pengawasan sampai ke jenjang perusahaan. Argumennya, setiap perusahaan memiliki sistem
inti (core system) yang unik yaitu berbeda antara satu dengan lainnya. Akan sangat sulit bagi
seorang staf untuk mengawasi dua perusahaan dalam satu industri, apalagi mengawasi dua
jenis industri yang berbeda.
87
Sebagai contoh, BPK setiap tahunnya harus melakukan pengawasan terhadap lebih dari 100
objek pembinaan yang memiliki karakteristik unik. Oleh karena itu, setiap staf atau kelompok
pengawas harus fokus pada pengawasan satu objek pembinaan. Hal ini memungkinkan staf
pengawas untuk mendapatkan continous learning process dan mengerti seluk beluk objek
pembinaannya.1
Ketiga, staf pengawas harus mengerti teknik pengawasan dan bagaimana untuk
melakukannya (know supervision technique and how to do it). Staf akan melewati
pembelajaran mengenai teknik pengawasan dan pengetahuan lain terkait pengawasan sebuah
lembaga. Staf dituntut untuk mengimplementasikan teknik dan pengetahuan yang telah
dipelajarinya dalam pengawasan sebuah lembaga secara langsung. Pengalaman staf yang
didapat selama proses pengawasan merupakan core value seorang pengawas yang sulit untuk
ditransfer maupun dipelajari oleh pengawas lain dalam waktu singkat.
Keempat, staf pengawas harus membangun karakter yang kuat (character building). Staf
pengawas dituntut lebih dari melakukan tugas dengan baik, namun melakukan tugas dengan
integritas dan profesionalitas. Staf juga dituntut untuk memiliki sifat kepemimpinan karena
proses pengawasan sering dilakukan dalam satu kelompok. Selain itu, lembaga keuangan
merupakan industri yang dinamis yang memungkinkan perubahan dalam waktu yang cepat.
Oleh karena itu, staf dituntut memiliki kecakapan dalam pengambilan keputusan. Traits
individual di atas bukanlah sesuai yang inheritance dalam diri seorang pengawas, namun
outcome dari proses pembelajaran yang panjang.
1
Lihat BPK (2010), http://www.bpk.go.id/web/?page_id=41
88
Tabel 5.2. Penjenjangan Kompetensi BPK RI
89
keuangan rentan karena lembaga pengawas belum dapat melaksanakan tugas dengan optimal
pada masa peralihan.
Gambar 5.8. Usulan Skema Pembagian Tugas antara BI dan Sistem Pengawasan
Pasar Modal
& Lembaga
Perbankan
keuangan
nonbank
LEMBAGA KEUANGAN
Sumber: BI (2010c)
6. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang lembaga
keuangan
7. Pelaksanaan kebijakan di bidang lembaga keuangan, sesuai
dengan ketentuan perundangan yang berlaku
8. Perumusan standar, norma, pedoman kriteria dan prosedur
di bidang lembaga keuangan
9. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang lembaga
keuangan
10. Pelaksanaan tata usaha badan
Gambar 5.9 menjelaskan usulan struktur sistem pengawasan di Indonesia dan pembagian
tugas dengan BI. BI tetap memegang fungsi pengawasan makro karena memiliki tugas
pengaturan sistem pembayaran serta LOLR. Selain itu, pengawasan mikro sektor perbankan
tetap dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang telah memiliki tenaga ahli dan teknologi yang
dibutuhkan. Penugasan fungsi pengawasan makro dan pengawasan mikro sektor perbankan
kepada BI memberikan keleluasaan untuk memadukan dengan kebijakan moneter yang
dijalankan.
90
Sistem Pengawasan dibentuk berdasarkan fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis. Sistem
Pengawasan melaksanakan fungsi pengawasan mikro di semua sektor keuangan kecuali bank
dan fungsi pengawasan laku bisnis di semua sektor keuangan termasuk bank. Pembagian
tugas antara BI dan sistem pengawasan yang sedemikian rupa tidak akan menimbulkan biaya
transaksi yang tinggi karena saat ini Bapepam-LK telah melaksanakan fungsi tersebut. Skema
tersebut memungkinkan Bapepam-LK meningkatkan independensi dengan berada di luar
Departemen Keuangan. Pada praktiknya di seluruh negara, keberadaan lembaga pengawas
adalah di luar kementrian untuk meningkatkan independensinya.
Skema ini memberikan kemanfaatan yang besar terutama dalam meminimalisasi biaya yang
timbul dari transisi fungsi pengawasan dari BI ke sistem pengawasan. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, transisi pengawasan bank dari BI ke sistem pengawasan memerlukan
biaya dan waktu yang sangat besar. Selain itu, skema di bawah meminimalisasi dampak
negatif lamanya waktu transisi terhadap kerentanan sektor keuangan dalam menghadapi
kejutan eksternal. Misalnya, lembaga pengawas baru belum memiliki SDM dan teknologi
yang mapan, sehingga kinerja pengawasan berkurang. Lembaga pengawas tidak dapat
mengetahui data dan keadaan terbaru industri sehingga tidak dapat merumuskan kebijakan
yang tepat dalam menghadapi kejutan eksternal.
Skema ini menawarkan pengawasan laku bisnis yang terintegrasi yaitu di bawah sistem
pengawasan. Pengawasan yang terintegrasi memudahkan sistem pengawasan mengawasi
produk-produk lintas lembaga. Kasus Antaboga, sebagai contoh, terjadi karena produk
ditawarkan merupakan integrasi dua lembaga yang diawasi oleh dua lembaga pengawas yang
berbeda. Perbedaan pengawasan dalam kasus tersebut merupakan celah yang menimbulkan
penyalahgunaan pelaku perbankan. Skema ini mengurangi kecenderungan tidak adanya
pengawasan terhadap produk lintas lembaga.
Skema tersebut tetap memiliki kompleksitas: (1) ada kecenderungan konsentrasi kekuatan ke
lembaga pengawas yang memiliki SDM dan teknologi yang lebih superior; (2) biaya timbul
dari pengalihan fungsi pengawasan laku bisnis dari BI ke sistem pengawasan. Walaupun
demikian, patut dicatat bahwa potensi krisis yang ditimbulkan dari kompleksitas adalah
sangat kecil.
91
Gambar 5.9. Usulan Struktur Sistem Pengawasan dan Pembagian Tugas dengan BI: Skema I
Koordinasi
Bank Sentral Bapepam‐LK
Lembaga
Pasar Modal
Pembiayaan
Bank
Perusahaan Asuransi
Dana Pensiun
Sekuritas
Kemanfaatan Kompleksitas
‐ Minimalisasi biaya pengalihan fungsi pengawasan dari ‐ Terdapat kemungkinan konsentrasi kekuatan
BI keBapepam‐LK
pada suatu lembaga, misalnya pada bank
‐ Minimalisasi dampak lamanya waktu transisi terhadap
kerentanan sektor keuangan dalam menghadapi sentral, karena faktor tenaga ahli dan
kejutan eksternal yang dapat menimbulkan krisis teknologi
‐ Struktur OJK dapat dibentuk secara unik berdasarkan ‐ Ada kemungkinan biaya timbul dari
karakteristik sektor keuangan di perekonomian pengalihan fungsi pengawasan laku bisnis
tersebut
dari BI ke Bapepam‐LK
‐ Pembagian fungsi pengawasan lembaga keuangan
yang jelas (antara pengawasan sistemik dan laku ‐ Perlu adanya koordinasi dan arus informasi
bisnis) yang sempurna antara bank sentral dan
‐ Penyatuan lembaga yang menjalankan fungsi Bapepam‐LK terkait dengan pengawasan laku
pengawasan makro dan mikro perbankan (sebagai
bisnis lembaga perbankan dalam rangka
sektor keuangan terbesar) memudahkan terciptanya
harmonisasi kebijakan terutama kebijakan moneter.
mengurangi pelanggaran pidana maupun
‐ Penyalahgunaan penciptaan produk lintas industri perdata oleh bank karena lemahnya
(misalnya Antaboga) dapat diminimalisir dengan koordinasi antar lembaga di Indonesia
adanya satu lembaga pengawas laku bisnis yaitu
Bapepam‐LK.
Gambar 5.10 menunjukkan usulan struktur sistem pengawasan skema II. Fungsi pengawasan
mikro dan laku bisnis, dalam skema II, dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Sistem
92
Pengawasan melaksanakan fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis lembaga keuangan
nonbank dan pasar modal. Skema ini memberikan kemanfaatan yang sama dengan skema I
yaitu menghindari biaya transaksi tinggi yang timbul karena transisi fungsi pengawasan dari
BI ke sistem pengawasan. Ada beberapa kemanfaatan dan kompleksitas lain yang menarik
untuk dicatat dalam skema II. Pertama, Indonesia tidak akan mengubah struktur pengawasan
yang telah ada: pengawasan bank oleh BI dan pengawasan lembaga keuangan nonbank dan
pasar modal oleh sistem pengawasan. Walaupun demikian, akuntabilitas serta transparansi
pengawasan khususnya bank oleh BI harus ditingkatkan.
Kedua, struktur ini menggabungkan fungsi pengawasan makro sektor keuangan dan
pengawasan mikro perbankan yang merupakan lembaga keuangan terbesar di Indonesia.
Sistem ini memberikan kesempatan besar kepada pengawas untuk menjaga stabilitas sektor
keuangan secara keseluruhan.
Ketiga, struktur ini memungkinkan kelemahan pengawasan laku bisnis antar lembaga
keuangan khususnya produk lintas lembaga. BI fokus pada pengawasan bank sedangkan OJK
fokus pada pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan nonbank. Dalam kenyataan,
antar lembaga keuangan dapat bekerja sama mengembangkan sebuah produk. Kompleksitas
ini dapat diminimalisasi dengan koordinasi rutin antara BI dan Bapepam-LK, salah satunya
adalah pembentukan basis data bersama.
Seperti halnya skema I, skema ini menawarkan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan
kompleksitas. Kemanfaatan yang memiliki proporsi besar dari kedua skema adalah
minimalisasi risiko krisis. Selain itu, kedua skema meminimalisasi biaya transaksi yang
tinggi dari penggabungan fungsi pengawasan dalam sistem pengawasan di Indonesia.
93
Gambar 5.10. Usulan Struktur Sistem Pengawasan dan Pembagian Tugas dengan BI: Skema
II
Koordinasi
Bank Sentral Bapepam‐LK
Lembaga
Pasar Modal
Pembiayaan
Bank Perusahaan
Dana Pensiun Asuransi
Sekuritas
Kemanfaatan Kompleksitas
‐ Tidak merubah struktur pengawasan yang ada di ‐ Terdapat kemungkinan konsentrasi kekuatan pada
Indonesia suatu lembaga, misalnya pada bank sentral, karena
‐ Struktur sistem pengawasan dapat dibentuk secara faktor tenaga ahli dan teknologi
unik berdasarkan karakteristik sektor keuangan di ‐ Kemungkinan timbul penyalahgunaan dari bank
perekonomian tersebut
maupun lembaga keuangan apabila koordinasi BI dan
‐ Pembagian fungsi pengawasan lembaga keuangan
Bapepam‐LK minimal atau buruk: penciptaan
yang jelas (antara pengawasan sistemik dan laku
produk lintas lembaga, misalnya, produk Antaboga
bisnis)
‐ Penyatuan lembaga yang menjalankan fungsi oleh Bank Century.
pengawasan makro dan mikro perbankan (sebagai ‐ Perlunya penekanan terhadap transparansi dan
sektor keuangan terbesar) memudahkan terciptanya konsistensi pelaporan data di masing‐masing
harmonisasi kebijakan terutama kebijakan moneter. lembaga pengawas baik bank sentral maupun
‐ Menghindari penyatuan lembaga pengawas yang Bapepam‐LK
berbiaya tinggi dan menyebabkan sistem keuangan
terkekspos risiko krisis yang tinggi.
94
5.4. Model Pengawasan Pasar Modal
Fungsi pengawasan pasar modal yang dilaksanakan oleh sistem pengawasan dapat mengikuti
tiga model umum yang ada, yaitu government led model, flexibility model dan cooperation
model.
Dengan adanya lembaga pengawasan perbankan yang berada di bawah Bank Sentral, hal ini
akan meminimalisir risiko yang terjadi selama masa transisi terutama risiko hilangnya
kontinuitas pengawasan perbankan. Dengan berada tetap di bawah bank sentral, maka akan
mempermudah pengelolaan krisis dengan adanya linkage antara pengawasan
macroprudential dan microprudential.
Adanya komunikasi dan arus informasi serta pembagian tugas yang jelas antar lembaga
dalam struktur pengawasan yang baru diharapkan bisa menjamin struktur optimum struktur
pengawasan yang akan menjaga kestabilan sistem keuangan baik dimasa stabil maupun jika
menghadapi masa krisis. beberapa hal pokok yang harus di pertimbagankan dengan
pembentukan struktur yang baru ini adalah dengan tetap mengedepankan struktur yang fokus
untuk melindungi kepentingan konsumen, meminimalisir miskomunikasi antar lembaga
pengawas dan ketahanan dalam menghadapi kemungkinan situasi krisis.
Dalam prakteknya saat ini, Bapepam-LK sebagai pengawas pasar modal mengikuti
government led model, dimana adanya peran serta pemerintah yang cukup besar dalam
penentuan peraturan pasar modal. Model pengawasan ini juga diterapkan oleh Negara Jepang
dan Jerman, dimana Japan Financial Services (FSA) dan Bundesbank menjadi badan
pengawas primer dalam pengawasan pasar modal dalam aspek pembuatan peraturan,
monitoring dan enforcement.
95
Britania Raya dan Hongkong mengaplikasikan flexible model dalam pengawasan pasar
modal, dimana dalam prakteknya memungkinkan partisipan pasar untuk membuat struktur
atas aktivitas yang dilakukan dengan tetap memenuhi kewajiban pengawasan. Sementara itu
US yang mengadopsi cooperation model memberikan keleluasan yang cukup bagi institusi
pasar modal untuk menjalankan aktivitas operasi dipasar dengan diberikan kewenangan
dalam pembentukan regulasi di pasar modal.
Item
No Negara Model yang Keberadaan berada di
Lembaga Pengawas Pasar Modal
dipakai bawah
1 Jerman Government The Federal Financial Supervisory Lembaga independen di
led model Authority atau BaFin bawah Federal Ministry
of Finance
2 Jepang Government Financial Services Agency Ministry of Finance
led model
Oleh karena itu struktur sistem pengawasan yang dikembangkan hendaknya merupakan
struktur pengawasan yang juga tahan mengatasi krisis yang mungkin terjadi di masa yang
akan datang dan mampu menjaga kestabilan sistem keuangan. Pada dasarnya, beberapa
96
prinsip yang harus dimiliki regulator yang akan menjamin kestabilan sistem keuangan
(Kawai dan Pomerleano, 2010) adalah sebagai berikut :
1. Pengawas harus memiliki tujuan dan wewenang yang jelas, diantaranya dalam
memonitor risiko sistemik dan melakukan pengukuran adanya kemungkinan adanya
risiko sistemik
2. Pengawas memiliki sumber daya yang menunjang utuk mencapi tujuan dan
melaksanakan tugas dan wewenang
3. Memiliki instrumen dan perangkat yang akan menunjang implementasi dalam
pencapain kestabilan sistem keuangan
4. Adanya struktur yang mampu melaksanakan kewajiban melaksanakan fungsi menjaga
kestabilan sistem keuangan dengan efekif dan efisien
Dalam prakteknya, lembaga pengawas sektor keuangan yaitu BI dan sistem pengawasan
harus melakukan koordinasi rutin untuk memantau perkembangan sektor keuangan setiap
saat (Gambar 5.7). Koordinasi tersebut disusun berdasarkan memorandum of understanding
(MOU) mengenai fungsi dan tugas BI dan sistem pengawasan dalam keadaan normal dan
lebih penting lagi pada saat krisis. Koordinasi tersebut juga harus melibatkan Lembaga
Penjaminan Simpanan (LPS) yang berfungsi menangani bank yang gagal berfungsi. Dimana
pada saat ini, LPS tidak memiliki kewenangan dalam melakukan pengawasan dan hanya
diberikan waktu yang cukup singkat dalam menjawab surat dari bank sentral jika ada bank
yang mengalami kegagalan. Koordinasi rutin meliputi pertemuan berkala dan pertukaran
informasi harian.
Terkait dengan penanganan krisis, maka sebaiknya setelah adanya struktur yang baru,
Pemerintah harus segera mengesahkan RUU Jaring Pengaman Stabilitas Keuangan (JPSK)
yang disesuaikan dengan struktur yang akan dibentuk. Dalam Undang Undang tersebut
dibahas bagaimana mekanisme penanganan krisis dan peran masing masing lembaga
97
pengawas dalam penanganan krisis. Gambar 5.10 menunjukkan usulan skema koordinasi
yang harus dilakukan oleh BI, LPS, dan Bapepam-LK untuk mencegah dan meminimalisasi
risiko krisis.
Gambar 5.10. Usulan Skema Koordinasi Rutin dan Terintegrasi BI, Bapepam-LK, dan LPS
BI
Koordinasi
Koordinasi
Bapep LPS
am-LK
Koordinasi
Koordinasi Umum
1. Penetapan MOU mengenai fungsi dan tugas masing‐masing lembaga pada keadaan normal dan
krisis.
2. Pertemuan berkala
Pembahasan kebijakan sektor keuangan
Pembahasan perkembangan pasar keuangan
Pembahasan isu‐isu yang dapat mempengaruhi stabilitas sektor keuangan baik dari dalam maupun
luar negeri
Koordinasi penyelesaian permasalahan maupun kasus yang sedang dihadapi salah satu lembaga
3. Arus informasi: integrasi basis data dan pembaharuan basis data dalam day‐to‐day basis dari seluruh
lembaga keuangan
BI LPS Bapepam‐LK
Koordinasi
Penanganan
Bank gagal
98
Bab 6: Kompleksitas Koordinasi Antar
Lembaga Pemerintah; Analisis Eksperimen
Proses Evolusi Prisoners’ Dilemma
6.1. Pendahuluan
Terlepas dari apapun bentuk OJK yang nantinya akan digunakan, satu hal mendasar yang
akan berperan besar dalam hal pengawasan lembaga keuangan adalah adanya koordinasi
antar lembaga terkait. Koordinasi akan semakin penting ketika menyangkut prosedur
antisipasi dan penanggulangan terhadap bahaya krisis ekonomi. Bahkan dalam cakupan yang
lebih luas lagi, yaitu penerapan kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia, koordinasi dan
kerjasama antara BI dan Kemenkeu sangatlah krusial.
Coleman (1996) menyatakan bahwa di berbagai belahan dunia kemungkinan terjadi rivalitas
antara bank sentral dan kementrian keuangan adalah sangat besar. Hal ini terjadi karena pada
umumnya kedua lembaga tersebut mengelola bidang yang sama, namun diantara keduanya
memiliki perspektif yang berbeda dalam penyusunan kebijakan. Pemerintah harus dapat
menyeimbangkan dua perspektif yang berbeda untuk menghindari penyusunan kebijakan
yang non-optimal. Walaupun demikian, BI dan Kementrian Keuangan memiliki sejarah
ketegangan yang panjang, misalnya kebijakan utang, regulasi lembaga keuangan, dan
pencetakan uang. BI dan Kementrian Keuangan juga mengalami konflik terkait Pakto 1988
dan kebijakan BLBI (Boks 5.2).
Keadaan di atas jelas lebih menggambarkan ketidakhadiran koordinasi antara dua lembaga.
Idealnya hubungan antar lembaga pemerintah, seperti halnya OJK dan BI, maupun antara
Kemenkeu dan BI, dapat dimodelkan seperti halnya 2x2 pure coordination game (game
dimainkan dua pemain yang masing-masing memiliki 2 strategi) sebagai berikut:
99
Gambar 6.1.2x2 Pure Coordination Game
Departemen 2
A B
A
(0,0) (b1,b2)
B
Pada game di atas, masing-masing departemen memiliki dua strategi, yaitu A dan B. Kedua
pemain akan sama-sama diuntungkan jika mereka memilih strategi yang sama (A,A) atau
(B,B), yang berarti keduanya harus melakukan koordinasi. Namun demikian, apabila masing-
masing pemain memilih strategi yang berbeda, yaitu (A,B) atau (B,A), maka pilihan
keduanya tidak akan optimum karena terjadi miscoordination dan masing-masing pemain
hanya akan memperoleh hasil 0. Dengan demikian game tersebut memiliki multiple Nash
equilibria, yaitu (A,A) dan (B,B). Nash equilibrium (A,A) cenderung lebih dominan
dibandingkan Nash equilibrium yang lain yaitu (B,B).
Meski idealnya koordinasi dan kerjasama selalu mewarnai hubungan antar lembaga
pemerintah, namun tidak dipungkiri bahwa di dunia nyata terjadi rivalitas antar lembaga
pemerintah tersebut. Rivalitas ini seringkali disebabkan oleh egosentris institusi yang
bersumber pada penentuan tugas pokok fungsi (TUPOKSI) lembaga pemerintah. Tupoksi
sebuah institusi akan menjadi dasar bagi penentuan tugas, tanggung jawab dan wewenang
dari masing-masing aparat yang bekerja di institusi tersebut. Tugas, tanggung jawab dan
wewenang aparat ini pada akhirnya akan membentuk outcome measures yang akan
digunakan untuk mengevaluasi kinerja aparat tersebut. Permasalahan koordinasi semakin
kompleks ketika TUPOKSI seringkali tidak mensyaratkan pelaksanaan koordinasi dengan
lembaga lain atau dengan kata lain bahwa koordinasi dengan lembaga lain tidak dianggap
sebagai kinerja sebuah lembaga maupun aparat yang bekerja di dalamnya. Implikasinya para
100
aparat hanya fokus pada tugas mereka pribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan yang
lebih besar yang hanya akan bisa diraih jika terjadi koordinasi antar lembaga pemerintah.
Apabila ditelaah menurut ekonomi politik bahwa wacana pembentukan (OJK) di Indonesia akan
menjadi puncak gunung es ketegangan antara dua lembaga, yaitu Departemen Keuangan dan Bank
Indonesia. Coleman (1996) menengarai bahwa hampir di seluruh dunia terjadi persaingan dan
ketegangan antara departemen keuangan dan bank sentral, karena mereka mengelola bidang yang
sama.
Studi yang dilakukan oleh Lukman Hakim (2004) menunjukkan bahwa ketegangan antara
Departemen Keuangan dan Bank Indonesia kelihatan sangat jelas ketika berurusan dengan kebijakan
utang dan regulasi lembaga keuangan. Untuk masalah utang, pihak Departemen Keuangan
menganggap telah terjadi ketidakadilan, dimana pihak yang melakukan negoisasi dengan lembaga
donor adalah Departemen Keuangan tetapi pihak yang menikmati bunganya adalah Bank Indonesia.
Demikian pula dalam kasus kebijakan regulasi perbankan, pengawasan lembaga yang
menguntungkan seperti perbankan dilakukan oleh Bank Indonesia sedangkan pengawasan lembaga
keuangan bukan bank dilakukan oleh Departemen Keuangan (Hakim, 2004).
Selain itu, ketegangan antara dua lembaga tersebut juga muncul pada kasus Pakto 1988.Sejatinya
Bank Indonesia tidak setuju terhadap pandangan liberalisasi perbankan, karena sesungguhnya
infrastruktur pengawasan perbankan belum kuat. Oleh karena itu, Bank Indonesia membatasi jumlah
bank hanya sekitar 50 bank sejak tahun 1970. Namun, dengan adanya Pakto 1988 menyebabkan
pendirian bank dipermudah hingga hampir 250 bank, yang oleh pengamat dianggap sebagai salah
satu penyebab krisis ekonomi. Melihat kemungkinan penolakan oleh Bank Indonesia, maka
Sumarlin merekayasa agar Gubernur Bank Indonesia yang baru adalah “kadernya” sehingga
dipilihlah Adrianus Mooy yang sebelumnya adalah wakilnya di Bappenas. Meminjam istilah Cole &
Slade (1996), Mooy adalah “protege of technocrat.” Oleh karena itu, ketika Pakto 1988 diberlakukan
Bank Indonesia berada dalam kondisi yang terdesak sehingga selama periode ini pengawasan Bank
Indonesia terhadap perbankan menjadi sangat lemah, sementara percepatan pendirian bank sangat
tinggi (Hakim, 2004).
Konflik berikutnya terjadi dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Keputusan untuk
mengeluarkan BLBI adalah keputusan Departemen Keuangan sebagai otoritas keuangan dimana
Bank Indonesia masih berada di dalamnya.Kemudian muncul ketegangan siapa yang menanggung
kerugian (Hakim, 2004).
101
Ilustrasi rivalitas antara BI dan Kementrian Keuangan telah dijelaskan di atas. Hal ini sesuai
dengan proposisi dari Public Choice Theory terkait dengan proses pengambilan kebijakan di
negara demokratis. Di negara demokratis, kebijakan pemerintah tidak bisa dilepaskan dari
pemilu sebagai salah satu proses demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, proses pembuatan
dan implementasi kebijakan pemerintah merupakan interaksi antar berbagai kelompok yang
terlibat dalam proses demokrasi antara lain rakyat pemilih (voters), politisi, partai politik,
birokrat dan kelompok-kelompok masyarakat (interest groups). Pemilih yang rasional akan
cenderung memaksimumkan utilitas mereka. Politisi, di sisi lain, memiliki tujuan untuk
terpilih sebagai anggota dewan perwakilan atau senat. Partai politik bertujuan untuk
memenangkan pemilu, baik di tingkat daerah maupun di pusat. Birokrat memiliki tujuan
utama memaksimumkan anggaran, yang nantinya akan dialokasikan untuk pembangunan.
Kelompok-kelompok masyarakat memiliki tujuan memaksimumkan tujuan mereka, ada yang
cenderung bertujuan distribusi pendapatan (misalnya LSM-LSM yang memperjuangkan hak-
hak kaum minoritas, perlindungan anak, lingkungan hidup, dll), namun juga ada pula yang
memperjuangkan anggota kelompoknya, misalnya asosiasi pengusaha (Mueller, 1983).
Proposisi teori Public Choice adalah bahwa kebijakan pemerintah cenderung suboptimum
karena proses pengambilan kebijakan itu sendiri dilakukan oleh berbagai pihak yang
seringkali memiliki tujuan yang saling bertentangan. Didasarkan pada pemikiran di atas,
maka adalah sulit mengharapkan bahwa kebijakan pemerintah akan berdampak optimum
(first best) namun dampak kebijakan yang dihasilkan cenderung suboptimum.
Interaksi antar lembaga yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan di teori Public
Choice, dapat dimodelkan secara sederhana sebagai permainan 2x2 (dua pemain dengan
masing-masing menghadapi dua strategi) prisoners’ dilemma (Pradiptyo, 1998).
Implikasinya adalah bahwa hubungan antara OJK dan BI di masa datang, terkait dengan
pengawasan lembaga keuangan, bisa dimodelkan dalam 2x2 prisoners’ dilemma game
tersebut.
121
Gambar 6.2.2x2 Prisoners’ Dilemma Pure Game
Departemen 2
A B
A
Departemen 1
(c1,c2) (d1,d2)
B
Dimana: c>a>d>b
Jika permainan dimainkan sekali (one shot game) secara simultan dan masing-masing pemain
tidak diperkenankan berkomunikasi baik sebelum maupun selama permainan (cheap talk atau
non-binding commitment), maka sesuai dengan analisis game theory, B adalah strategi yang
dominan terhadap strategi A. Karena diasumsikan setiap pemain adalah rasional dan
rasionalitas masing-masing pemain berterima umum, maka kedua pemain akan memilih
strategi B, sehingga Nash equilibrium adalah (B,B). Selama permainan dimainkan secara
simultan dalam sistem informasi yang sempurna, maka beliefs masing-masing pemain
terhadap strategi yang dipilih lawan bisa digantikan oleh aksioma rasionalitas dan common
knowledge (Binmore, 1987, Romp, 1997, Samuelson, 1997).
Perlu dicatat bahwa Nash Equilibrium (B:B) dalam permainan ini tidak identik dengan
Pareto Optimal. Hasil Pareto optimal dalam prisoners’ dilemma adalah (A:A). Sejak konsep
equilibrium di game theory dikenalkan oleh John F. Nash di tahun 1951, terjadi revolusi di
teori ekonomi. Konsep Pareto Optimal yang selama ini menjadi acuan di teori ekonomi,
ternyata belum tentu menawarkan equilibrium yang sama apabila permasalahan dianalisis
dengan menggunakan game theory.
Jika permainan dilakukan berulang dengan perulangan yang terbatas (finitely repeated game),
secara teoritis strategi B tetap merupakan strategi yang dominan. Dengan menggunakan
metoda backward induction, setiap pemain akan cenderung memilih strategi B sejak di awal
permainan hingga akhir permainan. Solusi backward induction merupakan implikasi
langsung dari asumsi bahwa setiap pemain adalah rasional dan mereka cenderung
memaksimumkan kepentingan pribadi mereka. Didasarkan analisis game theory, baik pure
122
coordination game, maupun prisoners’ dilemma memiliki best response correspondent.
Artinya adalah bahwa dominan strategi pada kedua game tersebut akan selalu dipilih oleh
pemain yang rasional meskipun nilai payoffs berubah meskipun struktur dari game tidak
berubah (Rasmusen, 2004, Romp, 1997, Osborne, 2007).
Meskipun secara teoritis strategi B dalam prisoners’ dilemma adalah strategi yang dominan,
beberapa hasil eksperimen prisoners’ dilemma ternyata berlawanan dengan solusi yang
ditawarkan game theory. Cooper et al (1991) melakukan eksperimen one shot prisoners’
dilemma. Subyek dalam eksperimen-nya memainkan sebuah prisoners’ dilemma game
selama dua puluh kali, dan setiap kali memainkan game tersebut masing-masing pemain
dilawankan dengan pemain lain secara acak. Dengan demikian, tidak ada seorang pemainpun
yang memainkan game dengan pemain yang sama lebih dari sekali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam limagame pertama, koordinasi dimana setiap
pemain sama-sama memilih strategi A, muncul sebanyak 43%. Namun demikian pada game
ke 16-20, koordinasi (A,A) hanya terjadi 20% saja. Hasil eksperimen ini tidak memberikan
dukungan terhadap kesahihan asumsi rasionalitas dan common knowledge yang disyaratkan
dalam analisis game theory.
Seperti halnya penelitian yang dilakukan Cooper et al (1991), penelitian yang dilakukan oleh
Selten dan Stoecker (1986) kurang memberikan bukti bahwa strategi B selalu dominan dipilih
oleh pemain. Selten and Stoecker (1986) melakukan eksperimen supergame prisoners’
dilemma, dimana setiap tahap dua pemain memainkan sebuah prisoners’ dilemma selama
sepuluh kali dan kemudian pemain berganti pasangan untuk memainkan 25 tahapan.
Selten and Stoecker (1986) melaporkan bahwa hasil penelitian menunjukkan pemain
memiliki kecenderungan memilih strategi A (berkooperasi) hingga salah satu berkhianat
dengan memilih B, dan selanjutnya solusi permainan cenderung (B,B) hingga permainan
berakhir. Metoda pemilihan strategi ini lebih dikenal sebagai trigger strategy. Kecenderungan
koordinasi antar pemain di awal permainan sering disebut dengan tacit coordination, karena
keputusan untuk sama-sama memilih strategi A dilakukan tanpa adanya perundingan
sebelumnya.
123
faktor ekonomi sajalah yang menjadi pertimbangannya. Tacit coordination menunjukkan
gugurnya asumsi bahwa manusia adalah homo economicus semata, namun ternyata faktor-
faktor sosial dan psikologi banyak mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pelaku
ekonomi. Beberapa faktor sosial dan psikologi yang berperan dan dapat menjelaskan
mengapa tacit coordination terjadi adalah adanya altruism (kedermawanan), fairness
(keadilan), dan juga reciprocity (hubungan timbal balik).
Deviasi perilaku pelaku ekonomi dari proposisi game theory, membuat para pakar game
theory melakukan penyempurnaan (refinement) pada konsep Nash
equilibrium.Pengembangan teori ini kemudian menciptakan cabang teori baru yang disebut
dengan behavioural game theory. Analisis dalam behavioural game theory mencoba
memasukkan faktor-faktor psikologis dan sosial ke dalam analisis game theory misalnya
cinta kasih, kedengkian, kedermawanan, keadilan, dan lain sebagainya.
Tak kurang dari peraih Nobel ekonomi Reinhard Selten (1975 dalam Fudenberg and Tirole,
1993) melakukan penyempurnaan konsep Nash equilibrium dengan mengasumsikan bahwa
pemain tidak sepenuhnya rasional namun dimungkinkan untuk membuat kesalahan
(trembling hands effect). Teori ini menyatakan bahwa pada setiap extensive-form game selalu
mengandung asumsi bahwa pemain diperkenankan untuk membuat kesalahan.
Pakar game theory lain yaitu Kreps dan Wilson (1982) mengajukan konsep equilibrium
alternatif di game theory yang dikenal dengan trembling hand Nash equilibrium. Bernheim
(1984) dan Pearce (1984) melakukan penelitian terpisah namun menghasilkan alternatif teori
yang hampir sama tentang penjelasan deviasi perilaku pelaku ekonomi di permainan
prisoners’ dilemma yang disebut dengan rationalisable strategy. Berbeda dengan analisis
standard di game theory, rationalisable strategy mengasumsikan bahwa pelaku memilih
strategi tidak semata-mata didasarkan pada aksioma rasionalitas semata namun juga
memasukkan unsur kepercayaan atau prediksi (beliefs) dari pemain terhadap strategi yang
akan dipilih pemain lain.
Rabin (1993) memasukkan faktor psikologi dan sosial ke dalam analisis game theory dengan
memperkenalkan konsep fairness equilibrium. Rabin (1993) mengkritisi bagaimana para
ekonom mendefinisikan kedermawanan (altruism). Ekonom cenderung mendefinisikan
bahwa seseorang dianggap dermawan jika yang bersangkutan tidak saja mementingkan faktor
materi bagi diri sendiri namun juga mempertimbangkan kepentingan bagi orang lain (social
needs). Para pakar psikologi, di sisi lain, mendefinisikan kedermawanan sebagai kemurahan
124
hati perilaku orang lain, yang pada dasarnya mengandung faktor hubungan timbal balik
(reciprocity). Konsep kedermawanan ini berimplikasi bahwa orang cenderung dermawan
kepada mereka yang dermawan kepadanya, namun disisi lain orang cenderung menyakiti
orang yang telah menyakiti mereka (Rabin, 1993).
Implikasi lain dari hasil penelitian Selten and Stoecker (1986) dan Cooper et al (1991)
menunjukkan adanya kecenderungan dari tiap-tiap pemain untuk belajar memainkan game
secara strategis. Temuan ini sekaligus menolak asumsi di game theory bahwa setiap pemain
adalah rasional. Adanya kecenderungan untuk belajar dari pemain menunjukkan bahwa para
pemain tidak sepenuhnya rasional, namun mereka cenderung memiliki bounded rationality.
Desain eksperimen menggunakan setting seperti halnya analisis pada evolutionary game
theory. Dalam analisis evolutionary game theory, sebuah permainan dimainkan secara
berulang (repeated games) oleh banyak pemain. Pada setiap permainan, sepasang pemain
hanya bisa bertemu dan memainkan permainan hanya sekali saja. Metoda alokasi pasangan
dilakukan secara acak dan setiap pasang pemain tidak pernah bertemu lebih dari sekali
hingga permainan berhenti dilakukan. Dalam analisis evolutionary game theory, struktur
permainan tetap, namun demikian dimungkinkan adanya perubahan payoffs (payoffs
perturbation) yang tidak mengubah struktur permainan itu sendiri. Equilibrium konsep yang
digunakan di sini terletak pada berapa proporsi strategi yang dipakai oleh para pemain di
setiap tahap permainan.
Eksperimen dilakukan sebanyak tiga kelas dengan total peserta berjumlah 96 orang dan
masing-masing kelas dilakukan selama satu jam. Pada masing-masing kelas, diperlukan 32
orang subyek yang kemudian dibagi secara acak menjadi dua kelompok sama besar, yaitu
kelompok Majapahit dan kelompok Sriwijaya. Pada layar monitor setiap pemain diberi kode,
misalnya S2 atau M15, yang berarti bahwa si pemain berada di group Sriwijaya (Majapahit)
dan bernomor anggota 2 (15).
Pada setiap kelas dilakukan dua tahap eksperimen, dan pada setiap tahapan terdiri dari 16
permainan. Setiap pemain akan memainkan 16 permainan yang berbeda dan dalam setiap
permainan tersebut, seorang pemain akan memainkan permainan dengan pemain lain dari
group lawan. Setiap pemain hanya akan memainkan satu jenis permainan dengan seorang
lawan dari kelompok lain dan mereka tidak akan pernah bertemu lagi hingga sesi permainan
selesai.
125
Pada dasarnya permainan pada tahap satu dan tahap dua adalah sama. Namun demikian pada
tahap satu, setiap pemain hanya memiliki strategi A dan B. Pada tahap kedua nama strategi
tersebut diubah dari yang semula A menjadi ‘Berkoordinasi’ sementara strategi B diganti
nama menjadi ‘Tidak Mau Berkoordinasi.’
Karena setiap pemain hanya bertemu dengan seorang pemain lawan dan memainkan salah
satu jenis permainan sekali saja dan tidak pernah berulang selama satu tahapan, maka analisis
dari game tersebut bisa dianalisis sebagai one-shotgame. Di sisi lain, eksperimen yang ada
dapat pula dianalisis dalam konteks sebagai evolutionary game yang memungkinkan analisis
adanya proses pembelajaran (learning process) selama tahapan tersebut.
Keenam belas permainan dalam setiap tahapan eksperimen memiliki struktur prisoners’
dilemma, namun demikian untuk setiap sesi permainan terjadi variasi besarnya payoffs atau
secara teknis disebut dengan payoffs perturbation. Payoffs perturbation dilakukan untuk
mengetahui apakah perilaku pemain berubah dengan adanya perubahan distribusi payoffs,
meskipun payoffs perturbation tersebut tidak mempengaruhi struktur permainan.
126
Tabel 6.1. Distribusi Payoffs dari Keenambelas Prisoners’ Dilemma
d/a 25%
(Manfaat dan b = 0
Berkoordinasi (Manfaat Berkoordinasi
Rendah) Tinggi)
(Biaya Koordinasi Tinggi) (Sesi I, V, IX, XIII) (Sesi II, VI, X, XIV)
(Biaya Koordinasi Rendah) (Sesi III, VII, XI, XV) (Sesi IV, VIII, XII, XVI)
Keterangan:
- Nilai a = Rp100,000.-, untuk klasifikasi [(c-a)/a] 75%, maka nilai maksimum c adalah Rp200,000,-
sementara nilai terendah c adalah Rp175. Untuk klasifikasi [(c-a)/a] 25%, maka nilai tertinggi c adalah
Rp125,000 dan nilai terendah c adalah Rp105,000. Untuk klasifikasi d/a 75%, maka nilai tertinggi d adalah
Rp95,000 dan nilai terendah d adalah Rp75,000. Untuk klasifikasi d/a 25%, maka nilai tertinggi d adalah
Rp25,000 dan nilai terendah d adalah Rp5,000.
Variabilitas distribusi payoffs dilakukan dengan menggunakan metoda yang analog dengan
Goldfeld–Quandt testdalam mendeteksi heteroskedastisitas di Econometrics. Hal tersebut
dilakukan dengan menggunakan payoffsa sebagai reference point. Berapapun nilai a, maka
jika nilai a dilipatkan gandakan dua kali, maka kenaikan 100% tersebut dianggap sebagai
total distribusi dari a. Jika distribusi a dibagi menjadi empat sama besar, maka akan
membentuk kuartil. Seperti halnya metoda Goldfeld–Quandt test, quartil kedua dan ketiga
dihapuskan dan peningkatan variabilitas payoffs hanya menggunakan dua distribusi ekstrem,
yaitu kuartil pertama ([c-a]/a dan d/a maksimum adalah 25%) dan keempat (([c-a]/a dan d/a
maksimum adalah 75%). Diharapkan perubahan payoffs dengan menggunakan dua distribusi
payoffs yang ekstrem ini akan memudahkan kita menguji hipotesis apakah keputusan pemain
dipengaruhi oleh variabilitas payoffs meskipun struktur permainan sebenarnya tidak berubah.
Gambar 6.3 dan 6.4 merupakan contoh dari payoffs perturbation yang mengikuti aturan pada
Tabel 6.1. Pada Gambar 6.3. seorang pemain dimungkinkan memperoleh Rp200.000. Di sisi
127
lain, jika pemain berorientasi untuk memilih Nash equilibrium strategy, maka ada
kemungkinan yang bersangkutan hanya akan menerima Rp5.000.
Sriwijaya
A B
Didasarkan pada kriteria Tabel 6.1. payoffs pada Gambar 6.3 termasuk pada kombinasi S,
yaitu memiliki biaya koordinasi tinggi dan manfaat koordinasi yang tinggi pula. Biaya
koordinasi diukur berdasarkan pada rasio ([c-a]/a) 75%, yang pada Tabel 6.2 nilai rasio
tersebut adalah 100%. Di sisi lain, permainan pada Gambar 6.3. memiliki manfaat koordinasi
yang tinggi pula d/a 25% , yang pada kasus ini nilai rasio d/a = 95%.
Sriwijaya
A B
128
Permainan pada Gambar 6.4. memiliki distribusi payoffs yang berbeda dibanding permainan
pada Gambar 6.3. distribusi payoffs ini tergolong ke dalam kombinasi U dimana memiliki
biaya koordinasi rendah dan manfaat koordinasi rendah. Sisa keempat belas payoffs
perturbations bisa dilihat pada Lampiran.
Tes hipotesis akan menguji apakah distribusi pilihan strategi di permainan-permainan yang
tergabung dalam kombinasi R akan berbeda secara statistik terhadap pilihan strategi di
permainan-permainan yang tergabung di kombinasi U. Uji statistik juga akan dilakukan untuk
mengetahui apakah distribusi strategi di kombinasi R atau U berbeda dengan distribusi
strategi di kombinasi S maupun T. Apabila tidak ditemukan perbedaan yang secara statistik
signifikan antar distribusi strategi di masing-masing kombinasi, maka bisa disimpulkan
bahwa pemain berperilaku sepenuhnya rasional seperti yang diasumsikan di teori ekonomi.
Namun demikian jika terbukti sebaliknya, maka asumsi rasionalitas di teori ekonomi kurang
memiliki landasan pijak pembuktian di level empiris. Dengan kata lain, mungkin saja pelaku
ekonomi sebenarnya berperilaku rasional, namun konsep rasionalitas yang digunakan berbeda
dengan konsep rasionalitas yang di kenal di teori ekonomi (von Neumann-Morgenstern
Expected Utility Function).
Tidak dipungkiri bahwa perilaku pelaku ekonomi di dunia nyata tidak serasional yang
diasumsikan di teori ekonomi. Pelaku ekonomi didefinisikan berperilaku rasional jika pelaku
tersebut memilih strategi mengikuti von Neumann-Morgenstern Expected Utility Function
(EU) (Mas-Collel et al, 1995). Berbagai hasil eksperimen, baik di bidang pengambilan
keputusan individu2 maupun di bidang game theory3 menunjukkan bahwa tidak cukup bukti
yang mendukung hipotesis bahwa pelaku ekonomi memilih strategi sesuai dengan EU.
Dengan kata lain adalah bahwa pelaku ekonomi di dunia nyata berperilaku rasional, hanya
saja definisi rasionalitas yang dipakai pelaku ekonomi bukanlah konsep rasionalitas yang
dikenal di teori ekonomi neo klasik (von Neumman-Morgenstern Expected Utility)
(Pradiptyo, 2006).
2
Allais (1954), Tversky dan Kahneman (1979), Knetsch (1994), Knetsch dan Sinden (1989) untuk decision
making under risk, Elsberg (1961) untuk decision making under uncertainty, dan Holt (1979) untuk
preference reversal.
3
Cooper et al (1991), Selten and Stoecker (1986), Pradiptyo (1998)
129
apabila tidak bisa dikatakan sebagai mustahil (Pradiptyo, 2006). Pertanyaan yang perlu
diajukan kemudian adalah apakah keputusan pemain dipengaruhi oleh variabilitas distribusi
payoffs? Pembagian distribusi payoffs seperti pada Tabel 6.1 sengaja di desain untuk
mengakomodasi kemungkinan tersebut.
Pada tahap pertama eksperimen, setiap pemain hanya mengetahui bahwa alternatif strategi
yang dihadapi berlabel A dan B. Namun pada tahap kedua, label A dan B pada kedua strategi
ini diganti berturut-turut dengan ‘Berkoordinasi’ dan ‘Tidak Mau Berkoordinasi’. Pilihan
kata-kata ini tidak muncul demikian saja tanpa tujuan. Tujuan penggantian nama strategi
pada tahap ke dua dimaksudkan untuk menguji hipotesis apakah pengambilan keputusan dari
responden dipengaruhi oleh framing effect (Kahneman and Tversky, 1986). Framing effect
adalah fenomena dalam proses pengambilan keputusan, dimana keputusan pengambilan
keputusan akan cenderung berbeda jika permasalahan pengambilan keputusan disajikan
dengan kata-kata yang berbeda, meskipun secara substansi tidak berbeda.
Dalam struktur asli prisoners’ dilemma game, strategi yang ada adalah ‘cooperate’ atau
berkooperasi dan ‘defect’ atau berkhianat. Sengaja kata ‘berkhianat’ diganti dengan kata
‘tidak mau berkooperasi’ dengan alasan sebagai berikut:
Subyek pada eksperimen ini terbuka bagi semua civitas akademika di lingkungan Universitas
Gadjah Mada. Maksimum hadiah diberikan sebesar Rp200.000 dan minimum remunerasi
yang diberikan adalah sebesar Rp0. Remunerasi ini akan dibayarkan bergantung pada
keputusan subyek di setiap permainan dan berapa hasil yang diperoleh. Dari 32 sesi
130
permainan, subyek akan memilih salah satu sesi secara acak dan berapapun nilai yang
diperoleh di sesi tersebut akan dibayar oleh tim peneliti. Remunerasi maksimal sebesar
Rp200.000 tentu sangat menarik bagi para mahasiswa. Angka ini cukup signifikan di
kalangan mahasiswa. Sebagai perbandingan, harga satu porsi lontong opor di kantin FEB-
UGM hanyalah Rp5.000.
3. Hasil Eksperimen
1. Kecenderungan Berkoordinasi
Tabel 6.2 menunjukkan proporsi hasil permainan pada tahap-tahap tertentu. Pada Tahap 1
rata-rata proporsi munculnya koordinasi atau Pareto Optimum (A:A) adalah sebanyak 5,1%.
Di sisi lain rata-rata proporsi munculnya Nash Equilibrium (B:B) adalah sebesar 83,2%.
Terlihat bahwa tidak ada perbedaan angka yang mencolok antara tahap 1 dan tahap 2. Pada
Tahap 2 dari eksperimen, rata-rata proporsi Pareto Optimum (A:A) dimainkan sebanyak
5,2%, sementara Nash Equilibrium (B:B) dimainkan sebanyak 84,8%.
A:B&
Tahap 1 A:A
B:B
B:A
Game 1-4 1,05 22,9 76,0
Game 5-8 2,10 16,7 81,3
Game 9-12 1,1 20,4 78,6
Game 13-16 0,5 8,4 91,2
Game 1-16 1,2 17,1 81,8
A:B&
Tahap 2 A:A
B:B
B:A
Game 1-4 3,2 16,2 80,7
Game 5-8 0,0 13,6 86,5
Game 9-12 0,0 16,7 83,3
Game 13-16 0,0 11,5 88,5
Sumber: Hasil eksperimen diolah
Game 1-16 0,8 14,5 84,8
Proporsi Pareto Optimum (A,A) yang dimainkan di game 1-4 hingga 13-16 pada kedua
tahapan eksperimen adalah cenderung kecildan tidak menunjukkan perbedaan yang kontras.
Pada tahap 1 Pareto Optimum (A,A) dihasilkan hanya sekitar 1% dari total outcome yang
dihasilkan baik di game 1-4 hingga game 13-16. Hasil yang serupa dihasilkan pada tahap ke
2.
Hasil di atas menunjukkan bahwa tidak ada permasalahan dengan pemahaman pemain
terhadap game. Keberadaan learning process tidak terbukti di hasil eksperimen ini dan
131
temuan ini berbeda dibandingkan dengan hasil eksperimen sebelumnya (Cooper et al, 1991,
1996, Selten and Stoecker, 1986, Pradiptyo, 1998). Satu hal yang terjadi pada semua
eksperimen di atas adalah bahwa semua subyek memainkan sesi latihan sebelum permainan
utama dilakukan.
Dominasi outcome permainan oleh Nash Equilibrium strategi (B,B) menunjukkan bahwa
hipotesis pengaruh faktor kedermawanan berpengaruh terhadap perilaku subyek di
eksperimen ini tidak terbukti. Satu argumen yang masih berperan dan mampu menjelaskan
hasil eksperimen di atas adalah bahwa subyek cenderung berperilaku rasional seperti yang
diasumsikan oleh teori ekonomi. Hal ini berarti bahwa perilaku subyek cenderung seperti
homo economicus yang hanya mementingkan besaran-besaran hitungan ekonomis semata
dalam proses pengambilan keputusannya. Artinya adalah bahwa subyek dalam penelitian ini
memiliki kecenderungan yang kuat untuk tidak mempertimbangkan faktor lain dalam
pengambilan keputusan, misalnya faktor-faktor sosial, budaya dan psikologi.
Permasalahan ini menjadi semakin serius ketika peserta eksperimen ini terbuka bagi seluruh
civitas akademika di lingkungan UGM. Peserta tidak saja berasal dari mahasiswa dan
karyawan dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, namun banyak diantara peserta adalah
mahasiswa dari fakultas lain di lingkungan UGM, baik dari sosial maupun non-sosial.
Argumen alternatif yang mungkin bisa menjelaskan hasil di atas mungkin adalah besarnya
proporsi peserta yang pernah mengambil mata kuliah game theory. Argumentasi inipun,
sayangnya, mudah sekali dipatahkan, mengingat di UGM game theory hanya diajarkan di dua
tempat yaitu di Jurusan Matematika dan Jurusan Ilmu Ekonomi. Tidak ada seorang
pesertapun yang berasal dari Jurusan Matematika, dan mahasiswa Ilmu Ekonomi yang
berpartisipasi di eksperimen inipun tidak banyak.
Didasarkan pada pertimbangan pemikiran di atas, maka hanya ada satu argumen yang bisa
menjelaskan hasil eksperimen di atas adalah bahwa subyek cenderung berfikir seperti halnya
homo economicus. Terlepas dari latar belakang pendidikan mereka, hasil penelitian
menunjukkan bahwa mayoritas subyek memilih Nash Equilibrium strategi (D) karena mereka
fokus pada satu hal, yaitu faktor ekonomi semata. Artinya pertimbangan faktor moneter dan
keakuan dari subyek merupakan dua hal yang menjadi fokus dalam pengambilan keputusan
mereka. Hasil ini patut menjadi perhatian kita semua karena temuan ini menunjukkan adanya
kecenderungan bahwa subyek eksperimen cenderung bersifat materialistik dan cenderung
132
egois. Pertanyaan yang perlu dijawab kemudian adalah, bagaimana dengan hasil eksperimen
serupa yang dilakukan di negara lain?
Hasil eksperimen di studi ini ternyata sangat berbeda dengan hasil eksperimen yang
dilakukan oleh Cooper et al (1991) seperti terlihat pada Tabel 6.3 berikut. Hasil eksperimen
yang dilakukan oleh Cooper et al (1991) di USA membuktikan adanya proses belajar untuk
memainkan strategi Nash Equilibrium. Di awal sesi permainan, game 1-5, Nash Equilibrium
dimainkan 43%, dan sejalan dengan makin seringnya permainan dilakukan, terjadi penurunan
proporsi strategi kooperasi dimainkan. Pada permainan ke 16-20, proporsi outcome Pareto
Optimum yang dihasilkan hanya 20%.
Hasil eksperimen Cooper et al (1991) juga menunjukkan bahwa subyek eksperimen mereka
cenderung memiliki rasa altruism yang jauh lebih tinggi dibandingkan subyek eksperimen di
penelitian ini. Artinya, subyek di studi Cooper et al (1991) di USA cenderung
mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan psikologi dalam pengambilan keputusan mereka.
Beberapa faktor sosial dan psikologi yang mungkin bias digunakan untuk menjelaskan hasil
eksperimen Cooper et al (1991) adalah adanya faktor kedermawanan (altruism), keadilan
(fairness) dan juga proses pembelajaran untuk memainkan suatu strategi.
Implikasi dari temuan di penelitian ini cukup mengejutkan, yaitu bahwa subyek di penelitian
ini cenderung lebih berorientasi kepada faktor ekonomi dan lebih egois dibandingkan dengan
subyek penelitian yang dilakukan oleh Cooper et al (1991) di USA. Hasil ini cukup
mengejutkan karena selama ini bangsa Indonesia seakan percaya bahwa sifat bangsa kita
adalah suka menolong, suka gotong royong dan ramah. Namun demikian, hasil eksperimen
ini tidak memberikan dukungan sedikitpun terhadap jargon-jargon yang selama ini dipercayai
oleh sebagian bangsa Indonesia.
133
Tabel 6.4. Proporsi Memainkan Strategi Kooperatif
Tabel 6.4. menunjukkan hasil eksperimen cooper et al (1996) dan hasil ini mendukung hasil
eksperimen oleh Cooper (1991) sebelumnya. Meski pada sepulih periode terakhir prisoners’
dilemma, proporsi strategi kooperatif masih 22%. Angka ini jauh dari hasil eksperimen pada
studi ini dimana strategi kooperatif hanya dimainkan antara 1-2% saja meski di awal
permainan.
Jika permainan dilakukan secara berulang terbatas (finitely repeated atau FR), maka
kecenderungan berkooperasi semakin besar yaitu di atas 50%. Hal ini terjadi karena subyek
pada eksperimen berulang terbatas (FR) cenderung berusaha menjaga reputasi mereka
masing-masing dihadapan lawan. Perlu dicatat, bahwa pada skenario FR, maka dua orang
pemain akan memainkan satu game berulang-ulang dengan perulangan terbatas, sehingga
tidak terelakkan terdapat efek reputasi dalam permainan seperti itu.
134
Tabel 6.5 menunjukkan hasil yang menarik dari penelitian Cooper et al (1996). Pada sepuluh
permainan awal, proporsi pemain yang bersifat altruist adalah 15% saja, sementara proporsi
pemain egois adalah 62,5%. Sejalan dengan semakin banyaknya permainan yang dilakukan,
di 10 permainan terakhir, komposisi jenis pemain tersebut berubah cukup drastic. Pada 10
permainan terakhir, proporsi pemain egois meningkat menjadi 85%, sementara jumlah
pemain altruist turun sedikit dari 15% menjadi 12,5%. Proporsi pemain lain-lain turun drastis
di 10 permainan akhir yang hanya dimainkan oleh 2,5% total pemain (40 orang) dari yang
semula proporsinya mencapai 22,5%.
Namun temuan pada hasil eksperimen ini ternyata bertentangan dengan studi-studi serupa
yang notabene dilakukan di USA dan Eropa. Apakah kecenderungan subyek di eksperimen
ini cenderung untuk berperilaku materialistik dan egois karena mereka hidup di negara
sedang berkembang yang sistemnya banyak mengandung ketidaktentuan? Ataukah karena
ada unsur-unsur sosial dan budaya yang menyebabkan subyek di eksperimen ini cenderung
berperilaku materialistik dan egois? Spekulasi-spekulasi ini muncul akibat anomali hasil
eksperimen ini relatif terhadap hasil-hasil studi di bidang yang sama. Untuk mampu
menjawab berbagai alternatif hipotesis tersebut, penelitian lebih mendalam perlu dilakukan di
masa mendatang untuk lebih mengetahui pola pikir dan rasionalitas bangsa Indonesia.
Gambar 6.5 sampai dengan Gambar 6.7 menggambarkan persentase strategi yang diambil
oleh pasangan pemain pada setiap game di tahap 1 dan 2. Gambar 6.5 menunjukkan
persentase strategi A:Ayang diambil oleh pasangan pemain. Persentase tertinggi strategi A:A
yang diambil adalah 2,1% sedangkan persentase terendah strategi A:A adalah 0%. Tidak
terlihat pola kecenderungan yang signifikan dari game 1 s.d. 16 pada kedua tahap. Namun,
4
Lihat Cooper, et al (1991, 1996), Selten and Stoecker (1986) dan Pradiptyo (1999).
5
Simon (1955) menyebut fenomena tersebut sebagai bounded rationality.
135
persentase strategi A:A tertinggi tercapai pada kombinasi S dan U (game ke-2, 4, 6, dan 8)
yang mengindikasikan bahwa pemain cenderung memilih koordinasi saat manfaat koordinasi
tinggi. Menarik untuk dicatat bahwa pasangan pemain lebih banyak tidak memilih strategi
A:A (0%) di tahap kedua, atau setelah framing effect dijalankan.
Gambar 6.6 menunjukkan persentase strategi A:B dan B:A yang diambil oleh pasangan
pemain pada kedua tahap. Pola kecenderungan yang terlihat dari pengambilan strategi A:B
dan B:A adalah: prosentase cenderung tinggi di kombinasi R, kemudian menurun di
kombinasi S dan T.
136
Gambar 6.6. Persentase Strategi A:B dan B:A Tahap 1 dan 2
Gambar 6.7 menunjukkan persentase strategi B:B yang diambil pasangan pemain di kedua
tahap. Pola kecenderungan yang terlihat adalah persentase B:B cenderung meningkat dari
kombinasi R, S, dan T namun menurun di kombinasi U. Persentase cenderung menurun di U
karena biaya berkoordinasi rendah dan manfaat yang diperoleh dari berkoordinasi tinggi.
Perubahan persentase strategi B:B yang diambil pasangan pemain menunjukkan bahwa
pemain merespon perubahan payoffs.
137
6.3.2. Dampak Variabilitas Payoffs Terhadap Perilaku Subyek
Pada bagian sebelumnya analisis hanya dilakukan tanpa melihat pengelompokan variabilitas
payoff (payoff perturbations). Pada bagian ini akan dibahas mengenai kemungkinan payoff
perturbations dan dampaknya terhadap perilaku subyek dalam berkoordinasi. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, diantara keempat kombinasi payoffs (R,S,T dan U), kombinasi R dan
U adalah dua kombinasi yang paling ekstrem. Kombinasi R adalah kombinasi payoffs yang
memiliki biaya berkoordinasi tinggi dan manfaat koordinasi rendah, sebaliknya kombinasi U
memiliki distribusi payoffs yang memiliki biaya koordinasi rendah dan manfaat koordinasi
tinggi.
Gambar 6.8 sampai dengan Gambar 6.10 menunjukkan persentase strategi yang diambil
pasangan pemain dalam setiap kombinasi payoffs (R, S, T, & U) pada kedua tahap permainan.
Gambar 6.8 menunjukkan persentase strategi A:A yang diambil dalam setiap kombinasi,
namun tidak terlihat pola kecenderungan dalam setiap kombinasi. Walaupun demikian,
persentase strategi A:A di kombinasi U cenderung lebih tinggi. Kecenderungan ini sesuai
dengan Gambar 6.5, kecenderungan pasangan pemain berkoordinasi meningkat saat biaya
koordinasi rendah dan manfaat koordinasi tinggi.
Hasil ini menunjukkan bahwa meski subyek di eksperimen ini cenderung materialistik dan
egois, namun karena orientasi materialism yang tinggi itulah maka perilaku berkoordinasi
mereka sangat dipengaruhi oleh distribusi payoffs. Tacit cooperation mungkin dilakukan
138
meskipun dalam non-cooperative game seperti prisoners’ dilemma jika distribusi payoffs
dalam game tersebut cenderung mendukung perilaku kooperatif.
Gambar 6.9 menunjukkan persentase strategi A:B& B:A yang diambil pasangan permainan
dalam setiap kombinasi payoffs. Pola yang terbentuk relatif sama dengan pola pada Gambar
6.6. Pada saat biaya koordinasi rendah dan manfaat koordinasi rendah (R), kecenderungan
salah satu pemain untuk tidak berkoordinasi meningkat. Menarik untuk dilihat adalah
kombinasi U: persentase salah satu pemain memilih berkoordinasi lebih tinggi pada tahap 1
dibanding pada tahap 2. Hal ini mengindikasikan dua hal yaitu pemain mengalami learning
process dan pemain cenderung rasional pada tahap akhir permainan.
Gambar 6.9. Persentase Strategi A:B & B:A Pada Setiap Kombinasi Payoffs
Pola pada Gambar 6.10 identik dengan pola pada Gambar 6.7: persentase pasangan pemain
yang tidak berkoordinasi relatif kecil pada kombinasi U di tahap pertama. Hal ini
mengindikasikan bahwa pilihan tidak berkoordinasi cenderung menurun saat biaya
koordinasi rendah dan manfaat koordinasi tinggi.Walaupun demikian, persentase pasangan
pemain tidak berkoordinasi pada kombinasi U meningkat di tahap kedua. Perbandingan
persentase kombinasi U pada kedua tahap memberikan indikasi indikasi bahwa pemain
cenderung rasional pada tahap akhir permainan.
139
Gambar 6.10. Persentase Strategi B:B Pada Setiap KombinasiPayoffs
Tabel 6.6 menunjukkan proporsi strategi yang diambil dalam kombinasi payoffs di setiap
tahap. Sebagian besar pemain di tahap 1 memilih strategi B dengan rentang 86,2-95,1% dan
persentase tertinggi terjadi pada kombinasi T. Pada tahap kedua, pemain yang tidak mau
berkoordinasi memiliki proporsi yang lebih besar yaitu 89,1-96,1% pada kombinasi payoffs.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa setiap pemain lebih memilih strategi B atau tidak mau
berkoordinasi.
Strategi Tahap 1 R S T U
A 11,7 8,3 4,9 13,8
B 88,3 91,7 95,1 86,2
Strategi Tahap 2 R S T U
Berkoordinasi 10,9 7,6 3,9 9,6
Tidak Mau Berkoordinasi 89,1 92,4 96,1 90,4
Sumber: Hasil eksperimen diolah
Gambar 6.11 menunjukkan pola strategi yang diambil oleh pemain dalam kombinasi payoffs
pada tahap 1. Proporsi strategi A terbesar terjadi dalam kombinasi U sedangkan terendah
terjadi pada kombinasi T. Pola proporsi strategi B adalah kenaikan persentase dari kombinasi
R, S, dan T kemudian menurun pada kombinasi U. Pola yang sama juga muncul di Gambar
6.8.
140
Gambar 6.11. Persentase Strategi A & B dalam Kombinasi Payoffs Tahap 1
Tabel 6.6 menunjukkan uji statistika yang membandingkan satu kombinasi payoffs dengan
kombinasi lainnya di tahap 1. Jika tingkat signifikansi adalah 5%, maka proporsi kombinasi
yang memiliki perbedaan signifikan adalah kombinasi R & T, S & T, S & U, dan T & U.
Perbedaan signifikan antara kombinasi R & T, S & T, dan S & U menunjukkan bahwa biaya
koordinasi yang berbeda dapat mempengaruhi keputusan yang diambil pemain. Kombinasi T
& U yang berbeda secara signifikan menunjukkan bahwa perbedaan manfaat koordinasi
memiliki pengaruh terhadap keputusan yang diambil pemain. Menarik untuk dicatat bahwa
kombinasi R & S tidak berbeda secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan
manfaat koordinasi tidak mempengaruhi keputusan pemain.
141
Tabel 6.7 menunjukkan uji statistika antara kombinasi payoffs di tahap kedua yaitu setelah
framing effect dijalankan. Hasil uji tidak jauh berbeda dengan tahap 1 kecuali kombinasi S
dan U. Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan biaya dapat mempengaruhi keputusan
pemain, dengan asumsi manfaat koordinasi yang sama.
Perbandingan antar kombinasi payoffs sebelum dan sesudah framing effect ditunjukkan oleh
Tabel 6.7. Kombinasi R, S, dan T sebelum dan sesudah framing effecttidak berbeda secara
signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa framing effect tidak mempengaruhi pemain dalam
mengambil keputusan.Kombinasi U sebelum dan sesudah framing effect berbeda secara
signifikan.
Tabel 6.8. Perbandingan Antar KombinasiPayoffs Sebelum dan Sesudah Framing Effect
Proporsi strategi A berbeda secara signifikan dengan proporsi strategi B di tahap pertama,
demikian pula di tahap kedua, proporsi berkoordinasi berbeda secara signifikan dengan
142
proporsi tidak mau berkoordinasi. Hal ini mengindikasikan bahwa proporsi strategi B atau
tidak mau berkoordinasi lebih dominan selama kedua tahap.
Tahap 1
Tahap 2
Proporsi Tidak
Permainan Berkoordinasi Tidak Mau Proporsi Mau Signifikansi
Berkoordinasi Koordinasi Berkoordinasi
Tabel 6.9 merinci proporsi strategi diambil di setiap permainan. Hasil uji statistika
menunjukkan bahwa proporsi A dan B berbeda secara signifikan di semua permainan di tahap
1. Proporsi berkoordinasi dan tidak mau berkoordinasi juga berbeda secara signifikan di
semua permainan tahap 2. Hal ini mengindikasikan bahwa strategi B dan tidak mau
berkoordinasi tidak lebih dominan.
Tahap 1 Tahap 2
Frekuensi
Proporsi Frekuensi Strategi Proporsi Strategi
Strategi Strategi
Tidak
Tidak
Signifi Mau
Game A B A B
kansi Mau
Berkoor Berkoord Berkoord Berkoor
Signifi Game dinasi inasi inasi
dinasi kansi
1 15 81 0,16 0,84 0,000 1 16 80 0,17 0,83 0,000
2 9 87 0,09 0,91 0,000 2 10 86 0,1 0,9 0,000
3 5 91 0,05 0,95 0,000 3 5 91 0,05 0,95 0,000
4 19 77 0,20 0,80 0,000 4 12 84 0,13 0,88 0,000
5 6 90 0,06 0,94 0,000 5 6 90 0,06 0,94 0,000
6 11 85 0,11 0,89 0,000 6 9 87 0,09 0,91 0,000
7 6 90 0,06 0,94 0,000 7 4 92 0,04 0,96 1430,000
8 17 79 0,18 0,82 0,000 8 7 89 0,07 0,93 0,000
9 18 78 0,19 0,81 0,000 9 12 84 0,13 0,88 0,000
10 7 89 0,07 0,93 0,000 10 5 91 0,05 0,95 0,000
11 5 91 0,05 0,95 0,000 11 3 93 0,03 0,97 0,000
12 13 83 0,14 0,86 0,000 12 12 84 0,13 0,88 0,000
13 6 90 0,06 0,94 0,000 13 8 88 0,08 0,92 0,000
14 5 91 0,05 0,95 0,000 14 5 91 0,05 0,95 0,000
15 3 93 0,03 0,97 0,000 15 3 93 0,03 0,97 0,000
16 4 92 0,04 0,96 0,000 16 6 90 0,06 0,94 0,000
1
binomial test
Perbandingan strategi yang diambil sebelum dan sesudah framing effect ditampilkan pada
Tabel 6.10. Uji statistika mengindikasikan bahwa framing effect signifikan pada tingkat
signifikansi 10%. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan nama strategi menjadi
berkoordinasi dan tidak mau berkoordinasi dapat mempengaruhi keputusan yang diambil oleh
pemain, meskipun dampaknya cenderung lemah.
Hasil ini menarik karena memiliki implikasi yang cukup panjang. Jika subyek cenderung
terpengaruh oleh framing effect, maka koordinasi antar individu yang memiliki tujuan yang
berlawanan seperti halnya di prisoners’ dilemma masih dimungkinkan selama dilakukan
framing effect yang mendukung pemilihan strategi untuk berkoordinasi. Bagi pengambil
kebijakan, maka adalah krusial untuk memahami bagaimana rasionalitas manusia Indonesia
mengambil keputusan dan framing effect seperti apa saja yang bisa digunakan untuk
meningkatkan kemungkinan koordinasi.
Aspek lain yang perlu dianalisis dari kecenderungan berkoordinasi adalah peran gender.
Persentase laki-laki dan perempuan yang memilih strategi B di tahap 1 meningkat di tahap 2.
Persentase laki-laki yang memilih strategi B meningkat 0,02% sedangkan persentase
perempuan meningkat 0,01%. Perbedaan pengambilan keputusan antar gender ini jelas tidak
signifikan.
144
Gambar 6.12. Persentase Strategi B di Tahap 1 dan Tidak Mau Berkoordinasi di Tahap 2
Sesuai Gender
145
dengan pencitraan dan anggapan terhadap manusia Indonesia pada umumnya, ternyata
subyek cenderung berperilaku materialistik dan egois.
Patut dicatat bahwa desain eksperimen yang digunakan adalah menyerupai evolutionary
game theory yang mempelajari tentang bagaimana kemunculan suatu budaya dilihat dari
analisis matematis. Apabila analisis evolutionary game theory digunakan, dan jika subyek
tadi representative, maka implikasinya cukup serius, yaitu bahwa masyarakat Indonesia
mungkin memiliki rasa kepercayaan atau prasangka baik terhadap orang lain yang cenderung
sangat rendah. Kedengkian melihat orang lain memperoleh hasil yang lebih tinggi, meskipun
tidak merugikan kita, ternyata sangat kuat. Hal ini diperparah oleh kecenderungan yang tinggi
untuk mengejar besaran-besaran yang bersifat materialistis semata dalam proses pengambilan
keputusan.
Dalam konteks koordinasi antar lembaga di Indonesia, maka hasil eksperimen ini perlu
mendapat perhatian serius karena terbukti bahwa kecenderungan untuk tidak mempercayai
orang lain relatif tinggi. Jika asumsi bahwa manusia Indonesia adalah cenderung
materialistis, egois dan tidak bisa melihat orang lain bahagia, maka hal ini tentu membuat
sulit koordinasi. Implikasinya adalah bahwa koordinasi antar instansi pemerintah sebenarnya
tak lebih dari sekedar pemanis bibir semata. Permasalahan menjadi semakin pelik, ketika
TUPOKSI (tugas pokok fungsi) dari masing-masing departmen pemerintah sangat jarang
sekali mencantumkan kata ‘koordinasi’. Kalaupun toh di dalam TUPOKSI terdapat kata
‘koordinasi’ namun pada praktiknya di Indonesia kata koordinasi seringkali diartikan hanya
sebatas pertemuan saja.
Apapun bentuk OJK yang nantinya akan dibuat oleh pemerintah, koordinasi antar lembaga-
lembaga yang terlibat dalam pengawasan LKB dan LKNB tentunya berperan sangat krusial.
146
Didasarkan pada hasil eksperimen pada studi ini, maka biaya transaksi (transaction costs)
untuk berkoordinasi antar lembaga pemerintah sebenarnya sangat tinggi. Implikasinya adalah
apakah akan dilakukan penggabungan dua atau lebih lembaga pemerintah dalam struktur
OJK, ataukah OJK lebih condong sebagai perbaikan sistem pengawasan yang merevitalisasi
peran-peran lembaga pengawas yang telah ada, maka faktor koordinasi berperan sangat
krusial.
Ketika koordinasi akan diterapkan di masyarakat yang cenderung tidak mempercayai orang
lain dan cenderung egois serta materialistik, maka diperlukan perencanaan hubungan antar
lembaga agar koordinasi tersebut bisa efektif. Pada kondisi seperti ini, seringkali pendekatan
dari bawah ke atas (bottom up) untuk koordinasi akan sulit dilakukan. Konsekuensinya,
koordinasi harus diatur secara formal dari atas ke bawah (top down) secara komprehensif dan
harus ditegakkan bahkan kadang harus dengan melibatkan sanksi hukum.
147
Bab 7: Estimasi Biaya Pengubahan Sistem
Pengawasan Lembaga Keuangan
7.1. Pendahuluan
Lebih dari seabad lalu, sekelompok ekonom terkemuka dunia mengemukakan madzab ilmu
ekonomi yang disebut dengan Austrian Economics. Dimotori oleh Hayek, Bohm Bawerk dan
kawan-kawan, di akhir tahun 1800-an hingga awal 1900-an madzab ini mulai dikenal di
khasanah ilmu ekonomi.
Berbeda dengan para ekonom madzab Klasik, Neo-Klasik maupun Keynesian, ketika itu,
para ekonom Austrian Economics tidak mempercayai analisis comparative static. Menurut
mereka, perekonomian tidak semudah pindah dari satu equilibrium ke equilibrium lain dalam
suatu rentang waktu tertentu. Mereka berpendapat, bahwa perekonomian selalu berubah
setiap saat, dan pelaku ekonomi dituntut memiliki kemampuan adaptasi dan antisipasi
terhadap perubahan yang terjadi setiap waktu tersebut.Perubahan di dalam kehidupan dan
kondisi perekonomian adalah hal yang tidak dielakkan.Dalam kondisi ini pelaku ekonomi
yang mampu bertahan adalah mereka yang mampu mengantisipasi dan beradaptasi dengan
perubahan perekonomian.
Terkait dengan masalah moral hazard yang timbul di industri keuangan, keberadaan lembaga
pengawas tentunya tidak bisa ditawar-tawar lagi.Namun demikian, apakah formatnya harus
seperti yang terdapat di RUU OJK yang diajukan pemerintah? Jawabannya jelaslah belum
tentu mengingat banyaknya alternatif struktur OJK yang ada dan tidak adanya bukti empiris
bahwa satu bentuk OJK lebih unggul daripada bentuk OJK lain di semua negara. Apa yang
terjadi bukanlah pada OJK bukanlah one fits for all, namun lebih cenderung menggunakan
148
pendekatan kasus per kasus. Implikasinya adalah bahwa kuranglah tepat jika struktur OJK
didesain berdasarkan struktur OJK yang ada di negeri lain. Pertanyaan yang paling tepat
dilontarkan adalah, bagaimanakah struktur OJK yang paling optimum untuk INDONESIA??
FSA
RUU OJK
OJK
Efisien
dan
Efektif?
Gambar 7.1. menunjukkan konteks pengambilan keputusan yang saat ini dihadapi oleh
bangsa Indonesia terkait dengan OJK. Rencana pembentukan OJK telah dicanangkan melalui
UU Nomor 23 tahun 1999. Ketika itu perekonomian Indonesia masih terkena dampak krisis
Asia yang dimulai tahun 1997. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat itu disebabkan
oleh mismanagement bank-bank umum. Pada periode itu pulalah di negara-negara maju
dibentuk lembaga pengawas lembaga keuangan dengan berbagai macam alternatif struktur.Di
Inggris dibentuk FSA seperti yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu.Perlu dicatat bahwa
semua kejadian ini terjadi sebelum krisis 2007 dan 2008.
Krisis ekonomi tahun 2007 dan 2008, akibat sub-prime mortgage, membuktikan kegagalan
peran FSA di Inggris. Biaya kegagalan FSA sangat tinggi. Tidak saja Bank of England (BOE)
terpaksa melakukan bailout terhadap Northern Rock, namun juga harus melakukan paket
penyelamatan terhadap bank-bank umum seperti halnya Lloyd TSB, Royal Bank of
Scotland, dan building society misalnya Hallifax serta Bradford and Bingley. Krisis ekonomi
149
di Inggris berkepanjangan dan menyebabkan banyak terjadi penutupan cabang-cabang di
sektor retail seperti yang dialami oleh Argos dan toko buku Borders.
Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah, bagaimana mencari struktur
sistem pengawasan lembaga keuangan yang efektif dan efisien. Apakah strukturnya harus
sama dengan di RUU OJK yang telah terbukti gagal di Inggris tersebut? Tentu saja
jawabannya adalah belum tentu. Banyak alternatif cara untuk menciptakan sistem
pengawasan yang efektif dan efisien dan sesuai dengan situasi di Indonesia, tanpa harus
menggunakan metoda copy and paste sistem pengawasan dari negara lain, terlebih sistem
pengawasan yang telah terbukti gagal. Pada bab ini, pembahasan akan lebih diarahkan pada
efisiensi sistem pengawasan dan biaya yang diperlukan selama proses transisi dari satu sistem
ke sistem yang lain.
Ketika FSA didirikan pada akhir decade 1990-an, maka bisa dibayangkan bahwa FSA
tentunya harus memiliki kantor sendiri. Ketentuan bahwa FSA melakukan microprudential,
menyebabkan FSA harus melakukan off- and on-site supervision. Itu berarti kantor FSA tidak
saja berdiri di London, tapi juga tersebar minimal ke kota-kota besar di Inggris. Biaya
pembuatan kantor dan juga pengadaan barang-barang kelengkapan pengoperasian kantor
tentunya memerlukan investasi yang tidak sedikit.
Pengalihan fungsi pengawasan dari BOE kepada FSA tentu berimplikasi pada pemindahan
para pengawas dari BOE ke FSA. Di sisi lain, tentu saja diperlukan rekrutmen terhadap
sumberdaya manusia baru untuk memenuhi kebutuhan FSA terhadap tenaga pengawas
150
maupun staf pendukung operasionalisasi kantor. Lagi-lagi hal ini pun memerlukan
pembiayaan yang tidak sedikit.
Sebagai lembaga baru di mana FSA harus menampung para pengawas dari BoE, namun juga
tenaga baru yang direkrut, diperlukan pembuatan berbagai juklak (SOP) yang berlaku secara
intern. Tidak dipungkiri biaya pembuatan SOP ini juga besar, karena diperlukan waktu yang
tidak pendek untuk membangun SOP yang baik. Di sisi lain, SOP harus terus direvisi karena
penyempurnaan SOP didasarkan pada kejadian-kejadian yang terjadi di FSA dan perlu
diadakan pengaturan secara formal.
Implikasi dari pengalihan pengawasan kepada FSA adalah bahwa semua sistem informasi
yang terkait dengan pengawasan di BOE harus dipindahkan ke FSA. Biaya yang dikeluarkan
tidak saja pemindahan sistem dari kantor-kantor BOE ke kantor-kantor FSA, namun sangat
mungkin bahwa FSA harus memiliki jaringan, server dan bahkan sistem IT sendiri yang tidak
murah untuk disediakan.
Ketika FSA terbukti gagal menjalankan perannya dalam hal microprudential dan
macroprudential, dampaknya adalah bahwa perekonomian Inggris mengalami krisis. Akibat
kegagalan ini, BOE, sebagai LOLR, harus mengeluarkan biaya besar untuk
melakukanbailouting terhadap Northern Rock. Tidak berhenti di sini, BOE juga terpaksa
mengucurkan dana talangan untuk penyelamatan beberapa bank dan building society yang
terancam kolap dan harus diselamatkan jika tidak ingin resiko sistemik penurunan
kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan merembet lebih lanjut. Akibat krisis
ekonomi ini, pemerintah Inggris juga melakukan ekspansi kebijakan fiskal untuk menjaga
agar perekonomian tetap bergairah dan laju pengangguran dapat diminimasi.
151
perekonomian. Belajar dari pengalaman Inggris, diperlukan studi yang komprehensif dan
kearifan serta kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan untuk melakukan pengubahan
sistem pengawasan lembaga keuangan dan struktur pengawasan yang dipandang terbaik
untuk diterapkan di Indonesia.
Perlu dicatat bahwa estimasi biaya yang dilakukan di bagian ini didasarkan pada skenario
yang ditetapkan di RUU OJK. Estimasi yang dilakukan di sini semata-mata mengikuti
skenario yang telah diatur di dalam RUU OJK yang telah diatur secara detil dari pasal ke
pasal di dalam RUU OJK tersebut. Beberapa pos biaya yang timbul akibat pendirian OJK
versi RUU OJK dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Biaya tetap pendirian OJK versi RUU OJK. Biaya ini meliputi segala investasi
pendirian OJK, misalnya biaya pendirian perwakilan OJK di berbagai daerah, biaya
rekruitmen pengawas baru untuk LKNB, biaya pembangunan sistem IT di tubuh OJK
dan pengalihan sistem IT pengawasan perbankan dari BI kepada OJK.
2. Biaya operasional OJK versi RUU OJK. Biaya ini meliputi seluruh biaya yang setiap
tahun dikeluarkan oleh OJK untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan semua
lembaga keuangan. Biaya ini antara lain mencakup biaya training pengawas OJK,
biaya operasional pengawasan semua lembaga perbankan dan LKNB, biaya gaji,
biaya perawatan dan penggunaan IT.
Biaya-biaya di atas bersifat tangible dan observable.Meski demikian, bukan berarti nantinya
pengalihan sistem pengawasan perbankan dari BI ke OJK versi RUU OJK tidak memendam
kemungkinan munculnya biaya yang bersifat intangible atau unobservable. Biaya tersebut
adalah hilangnya sebagian atau juga kemungkin keseluruhan dari tacit knowledge dalam hal
pengawasan perbankan.Kemungkinan timbulnya biaya ini berpotensi muncul dari dua
sumber:
1. Asumsi bedhol desa berjalan mulus tentu saja adalah terlalu kuat. Konsep ’bedhol
desa’ pengawas perbankan BI berpindah seluruhnya ke OJK versi RUU OJK,
sepertinya lebih merupakan jargon daripada upaya untuk melihat realitas pengambilan
152
keputusan di dunia nyata yang kompleks. Pihak BI tentu tidak bisa memaksa para
pengawasnya untuk pindah ke OJK tanpa resiko BI akan dituntut di PTUN oleh para
pengawasnya yang merasa dirugikan dengan perpindahan tersebut. Hal yang paling
logis yang dilakukan BI adalah memberikan opsi kepada para pengawas untuk pindah
ke OJK, atau kembali melamar ke BI di bidang yang lain, atau bahkan memberikan
opsi para pengawas untuk meniti karir sesuai keinginan mereka namun di luar BI
maupun OJK. Seberapa besar kemungkinan semua pengawas BI akan bersedia pindah
ke OJK tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor pertimbangan. Kenyataan bahwa
rasionalitas manusia tidaklah sesederhana konsep rasionalitas yang dipreskripsikan
oleh Teori Ekonomi, menunjukkan bahwa seringkali keputusan untuk pindah ke
lembaga baru atau tidak, seringkali dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologi seperti
uncertainty aversion6, loss aversion7, status-quo bias8, relatif dibandingkan faktor
ekonomis semata. Sebagai contoh, jika sebagian pengawas BI memiliki persepsi
bahwa ’bedhol desa’ ini meningkatkan ketidaktentuan terhadap karir, remunerasi
maupun iklim kerja yang selama ini biasa dialami di BI, maka hal ini akan
menyebabkan sebagian pengawas tersebut enggan untuk bergabung ke OJK.
Permasalahan menjadi semakin pelik ketika persepsi subyektif individu ini seringkali
sulit berubah meskipun telah diadakan sosialisasi maupun persuasi kepada yang
bersangkutan.
2. Sistem training yang telah dikembangkan di BI untuk pengawasan perbankan telah
terbangun dari pengalaman melakukan pengawasan bertahun-tahun. Pengalaman yang
diperoleh selama melakukan pengawasan menjadi materi pembelajaran yang
kemudian diajarkan di training-training bagi pengawas di BI. Jika nantinya konsep
’bedhol desa’ benar-benar diterapkan, hal ini tidak menjamin bahwa untuk
pengawasan perbankan, semua sistem dan materi training yang telah terbangun bagi
pengawas di BI akan langsung tertransformasikan sempurna ke OJK. Perlu diingat,
staf OJK terdiri dari beberapa lembaga yang memiliki budaya organisasi sendiri-
sendiri. Ketika benturan antar budaya organisasi yang dibawa oleh masing-masing
pengawas terjadi, maka akan ada kompromi untuk mengakomodasi semua
kepentinga. Bagaimanapun hasil kompromi, pastilah terjadi distorsi terhadap sistem
training bagi pengawas bank yang selama ini telah dibangun di BI.
6
Lihat Allais (1961),
7
Tversky and Kahneman (1979), Kahneman and Tversky (1991, 1992)
8
Zackhauser (1988), Knetsch (1989), Knetsch and Synden (1994)
153
3. Biaya lain yang bersifat intangible adalah hilangnya waktu yang diperlukan untuk
membuat SOP bagi OJK versi RUU OJK. Pengalaman pembentukan lembaga baru
pasca reformasi seperti KPPU, KPK, PPATK, LPS dan BNPB, memberikan pelajaran
berharga kepada bangsa Indonesia bahwa di awal pendirian lembaga-lembaga tersebut
kegiatan kurang berjalan optimum karena disibukkan untuk membuat SOP.
Permasalahan menjadi semakin kompleks, ketika selama waktu mengkonsolidasi
lembaga baru ini pengawasan kepada lembaga keuangan akan cenderung mengendur
dan hal ini tentu akan meningkatkan kemungkinan praktik moral hazard yang
mungkin meningkatkan kerentanan perekonomian terhadap potensi krisis ekonomi.
4. Pada RUU OJK tidak disebutkan pembatasan skala usaha LKB dan LKNB yang akan
menjadi tanggung jawab OJK versi RUU OJK untuk diawasi. Konsekuensinya
peneliti berasumsi bahwa semua jenis dan skala usaha LKB dan LKNB akan diawasi,
baik on and off sides supervisions, oleh OJK. Jika asumsi ini yang digunakan, maka
implikasinya adalah bahwa OJK RUU harus memiliki perwakilan di daerah-daerah
karena banyaknya jenis dan jumlah LKB dan LKNB di Indonesia yang tersebar di
seluruh Indonesia. Apabila perwakilan OJK RUU harus dibuka di berbagai daerah,
maka biaya intangible yang akan muncul adalah lamanya waktu pembentukan OJK
RUU perwakilan di daerah-daerah. Pengalaman BNPB menunjukkan bahwa meski
lembaga tersebut diamanatkan sejak pengesahan UU Nomor 24/2007, namun hingga
sekarang dari 399 kabupaten baru 108 kabupaten yang telah memiliki BPBD.
154
BOKS 7.1: Studi Kasus Australian Prudential Regulation Authority (APRA)
APRA adalah otoritas pengawas sektor keuangan di Australia yang APRA mengambil alih tugas
Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Superannuation Committee (ISC). Lembaga
yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 1998 menjalankan fungsi pengawasan micro-prudential lembaga
keuangan yang terdiri dari bank, credit union, building society, dan perusahaan asuransi. Selain itu,
APRA juga menjalankan pengawasan terhadap industri dana pensiun (superannuation funds).
APRA menghadapi risiko kegagalan pengawasan pada saat restrukturisasi organisasi. Pada tahun
pertama pembentukan, APRA harus menyerap SDM dari RBA dan ISC. Sampai dengan tahun 2002,
APRA menyerap SDM dari sembilan dinas pemerintah Australia beserta tupoksi dan sistem
informasi dan teknologi. Selain itu, APRA kehilangan ahli pengawas senior selama proses
restrukturisasi organisasi. Selama 1999-2002, APRA belum dapat memenuhi target organisasi yang
ditetapkan pada tahun 1999 (Carmichael, 2002).
Carmichael (2002) menyatakan bahwa tantangan utama APRA dalam restrukturisasi organisasi
adalah pembentukan budaya kerja. APRA belajar dari restrukturisasi organisasi otoritas pengawas di
Kanada yang memerlukan waktu delapan tahun. Walaupun APRA memberlakukan change
management sedemikian rupa, waktu yang diberlakukan untuk pemenuhan target organisasi
mencapai lebih dari 3 tahun.
Kompleksitas lain dari pembentukan APRA adalah biaya yang besar. Dilihat dari lingkup
kegiatannya, APRA mengawasi 327 perusahaan yang terdiri dari bank, credit union, building
society, dan perusahaan asuransi. Selain itu, APRA juga mengawasi 291 dana pensiun (APRA,
2009). Pengawasan sektor keuangan dilakukan oleh enam kantor APRA yang berada di ibukota
negara bagian terbesar di Australia: Sydney, Canberra, Melbourne, Brisbane, Perth, dan Adelaide.
Pada tahun 2009, anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pengawasan sektor keuangan
mencapai Rp784,3 miliar (AUS$103,2 juta). Pengeluaran terbesar digunakan untuk pembiayaan
SDM yaitu Rp553,3 miliar atau sekitar 71%. Biaya pembentukan APRA juga memakan biaya besar
(proksi biaya pembentukan adalah total aset ditambah dengan biaya operasional pengawasan selama
satu tahun): AUS$155,9 miliar atau Rp1,2 triliun (APRA, 2009).
Bayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membentuk OJK versi RUU OJK di
Indonesia? Patut dicatat, jumlah lembaga keuangan di Indonesia mencapai 3.673 perusahaan (Tabel
2.1), selain itu, masih terdapat 94.320 lembaga keuangan mikro (Tabel 2.4). Artinya, OJK di
Indonesia harus mengawasi lembaga keuangan sebanyak 158 kali perusahaan yang harus diawasi
APRA. Jumlah kantor OJK pun selayaknya menyesuaikan wilayah Indonesia yaitu 33 kantor,
dengan asumsi minimal 1 kantor di setiap 33 provinsi (5,5 kali lebih banyak dibanding kantor
APRA).
155
Didasarkan pada aturan-aturan tentang OJK yang ada di pasal-pasal pada RUU OJK, maka
konsekuensi pembentukan OJK berimplikasi pada biaya peralihan dan biaya jangka panjang
akibat pembentukan OJK.
Tabel 7.1. Biaya Peralihan Pengawasan Lembaga Keuangan ke OJK versi RUU OJK
Jenis Biaya Alasan Pembiayaan
BIAYA TRANSISI
Biaya pengalihan sistem informasi (IT) Sistem IT di BI hanya untuk mengawasi
dan pembangunan sistem IT yang bank
Bank umum
Umumdengan 3.041
dan BPR kantor cabang dan 1861
(122
sesuai dengan fungsi OJK BPR)
Sistem IT OJK harus mengakomodasi data untuk lembaga keuangan
non-bank dan pasar modal. Jumlah perusahaan non-bank adalah 1.670
buah ditambah dengan lembaga keuangan mikro non-bank sebanyak
86.504 (data tahun 2009), sehingga jumlah total adalah 86.504
perusahaan
Biaya rekrutmen pengawas lembaga Dengan asumsi tidak ada pengawas BI yang keluar karena adanya
keuangan non-bank dan lembaga penggabungan ke OJK, tetap diperlukan biaya rekrutmen untuk
keuangan mikro non-bank melakukan off and onside supervisions kepada lembaga non-bank
sejumlah 86.504 perusahaan.
Biaya training pengawas baru dan Akibat tambahan 86.504 lembaga keuangan yang perlu disupervisi,
biaya training tingkat lanjut bagi OJK memerlukan tambahan tenaga pengawas dan staf administrasi
pengawas yang sudah ada pendukung. Diperlukan biaya untuk melakukan training terhadap
pegawai yang baru direkrut, baik sebagai pengawas maupun staf
pendukung administrasi. Di sisi lain, berbagai perjenjangan training
yang telah dilakukan di BI untuk para pengawas yang telah ada harus
dilakukan di OJK..
Biaya pendirian OJK di tingkat daerah OJK tidak mungkin hanya beroperasi di Pusat, namun juga di daerah-
(biaya pembebasan tanah dan biaya daerah. Hal ini terkait dengan micro prudential yang mensyaratkan
pembangunan kantor, biaya perabot pelaksaan off and on side supervisions. Jika diasumsikan KBI yang ada
kantor, dan berbagai pendukung kantor sekarang tetap berperan melakukan pengawasan kepada bank-bank
termasuk mobil) umum dan BPR, maka OJK harus tetap mendirikan tambahan kantor-
kantor OJK ditingkat daerah untuk melakukan off and on side
supervision kepada 86.504 lembaga keuangan non-bank berbagai
skala.
156
Biaya pembentukan juklak dan SOP Jika struktur OJK adalah penggabungan antara tenaga pengawas BI
dan Bappepam-LK, maka diperlukan berbagai juklak dan SOP untuk
mendukung kerja karyawan di OJK dan upaya untuk penyelesaian
masalah jika ada dispute. Di berbagai lembaga yang baru dibentuk
Pemerintah, seperti LPS, KPK, PPATK, BNPB dan lain sebagainya,
waktu untuk membentuk SOP bisa berkisar antara satu-dua tahun.
Selama waktu transisi tersebut, fungsi dari lembaga yang bersangkutan
tentunya belum akan efektif.
Kerentanan perekonomian terhadap Konsekuensi OJK bertanggung jawab pada micro dan macro
krisis ekonomi meningkat prudentials serta business conduct, menyebabkan segala upaya
pencegahan dan pendeteksian dini kemungkinan krisis ekonomi berada
pada OJK . Ketika proses transisi, tentunya OJK belum akan berperan
efektif, sehingga pada periode tersebut kerentanan perekonomian
terhadap krisis akan meningkat tajam
Selain biaya-biaya yang bersifat jangka pendek seperti pada Tabel 7.1 di atas, pendirian OJK
versi RUU OJK berpotensi mengakibatkan munculnya biaya jangka panjang seperti pada
Tabel 7.2 berikut:
Tabel 7.2. Biaya Jangka Panjang Pembentukan OJK versi RUU OJK
Alasan Pembiayaan
Jenis Biaya
Potensi pindahnya para pengawas Perubahan status pengawas BI menjadi pengawas OJK seringkali akan
senior BI ke lembaga lain mendorong para pengawas senior dan berkualifikasi tinggi untuk
keluar dan pindah ke lembaga lain. Jika kecenderungan ini terjadi pada
pengawas yang berpengalaman dengan reputasi yang baik, maka hal
ini akan berdampak pada kinerja OJK dalam jangka panjang.
Potensi hilangnya tacit knowledge Keahlian sebagai seorang pengawas yang handal tidak bisa dibangun
tentang pengawasan dalam sekejap. Diperlukan training berjenjang dan praktik di lapangan
dalam waktu yang cukup lama untuk membentuk seorang pengawas
yang handal.
Pengetahuan dan pengalaman di bidang pengawasan akan
berakumulasi sejalan dengan waktu, dan membentuk tacit knowledge
di bidang pengawasan. Pengalihan fungsi pengawasan kepada OJK
RUU tidak menjamin bahwa tacit knowledge yang selama ini
dibangun akan terjaga maupun tertransfer penuh ke OJK.
Peningkatan biaya operasional akibat Biaya operasional pengawasan akan meningkat tajam dengan adanya
peningkatan jumlah lembaga yang OJK. Hal ini terjadi karena 86.011 perusahaan yang selama ini tidak
harus diawasi perlu mendapat supervisi langsung nantinya harus diawasi secara
langsung. Itu artinya diperlukan tambahan kapasitas OJK untuk
mampu melakukan pengawasan terhadap tambahan 86.504 lembaga
keuangan yang sekarang harus diperiksa diseluruh pelosok tanah air.
Perlu dicatat bahwa biaya pengawasan yang dilakukan BI untuk mengawasi bank-bank
umum dan BPR adalah cukup tinggi. Tingginya biaya pengawasan terjadi karena untuk
157
mengawasi suatu bank umum tidak mungkin cukup hanya dengan mengunjungi kantor pusat
dari bank tersebut. Diperlukan kunjungan ke daerah-daerah untuk melakukan pengawasan
langsung ke kantor-kantor cabang di daerah. Permasalahan atau pun potensi pelanggaran
mungkin tidak terjadi di kantor pusat maupun di kantor cabang di tingkat propinsi misalnya,
namun besar kemungkinan pelanggaran justru terjadi di kantor cabang kecil di daerah
terpencil.
Didasarkan pada sistem pengawasan seperti itu, maka pilihan metode sampling untuk
melakukan monitoring langsung ke kantor-kantor cabang adalah sangat penting. Tingginya
detection rate dari pengawas pada kondisi seperti tersebut sangat ditentukan oleh seberapa
representativeness dari metoda sampling yang digunakan.
Didasarkan pada sistem pengawasan perbankan yang dilakukan BI selama ini, maka bisa
diestimasi beban kerja BI untuk mengawasi bank-bank umum dan BPR. Metoda pengawasan
yang dilakukan BI terhadap bank-bank umum menggunakan pendekatan dedicated team.
Bank-bank besar dengan nilai aset lebih dari Rp10 triliun diawasi oleh tim beranggotakan 13
orang. Untuk bank-bank skala besar, visitasi atau pengawasan on-site, dilakukan terhadap
kantor pusat dan tujuh kantor cabang. Didasarkan informasi di atas, diasumsikan bahwa
bank-bank umum skala menengah akan divisitasi kantor pusatnya ditambah empat kantor
cabang. Sementara untuk bank-bank umum skala kecil akan divisitasi kantor pusat ditambah
dua kantor cabang. Untuk BPR, visitasi dilakukan di masing-masing BPR, dan untuk BPR
skala kecil setiap pengawas membawahi lima BPR. Dengan asumsi seperti ini, maka beban
kerja 1.437 orang pengawas di BI yang tersebar di 41 Kantor Bank Indonesia (KBI)
mencakup 2.902 unit visitasi.
Perlu dicatat bahwa dalam OJK RUU nantinya pengawas lembaga keuangan nantinya akan
terdiri dari tiga komponen yaitu: 1) pengawas BI, 2) pengawas Bapepam dan 3) pengawas
tambahan. Pada tabel 7.3. Bapepam mengawasi 1.670 LKNB yang berskala menengah dan
besar dan beban kerja tersebut ditangani oleh 860 orang pengawas. Tenaga pengawas
tambahan diperlukan dalam hal ini untuk mengawasi LKNB berskala mikro yang berjumlah
86.504 dan tersebar di seluruh Indonesia. Angka LKNB mikro ini pun bersifat konservatif
karena beberapa jenis jumlah LKNB mikro belum diketahui. Misalnya, data jumlah BMT
didasarkan pada data tahun 2006, sementara pada beberapa tahun terakhir kita mungkin
mengamati bahwa BMT bermunculan bahkan di lingkungan tempat kita tinggal. Upaya
memperoleh data jumlah BMT di tahun 2009 maupun di tahun 2010 sulit diperoleh karena
tidak adanya satu lembaga pun yang memiliki catatan jumlah BMT yang solid.
158
Tabel 7.3. Estimasi Beban Pengawasan OJK RUU
Total Kantor
Kantor yang yang
Jenis LK Klasifikasi Jumlah disupervisi disupervisi
Bank Besar 42 8 336
Bank Menengah 55 5 275
Bank Kecil 24 3 72
Bank Syariah 169 3 507
BPR 1.712 1 1.712
LKB
Sub-Total (A) 2.902
Asuransi 144 1 144
Pasar modal 499 1 499
Pasar obligasi 184 1 184
Perusahaan efek 158 1 158
Perusahaan pegadaian 1 1 1
Dana Pensiun 406 1 406
Perusahaan Pembiayaan 212 1 212
Perusahaan modal ventura 66 1 66
LKNB (Non-Mikro) Sub-Total (B) 1.670 1.670
LKNB-Mikro (Sub-Total)
LKNB (Mikro) (C ) 86.504 1 86.504
Tenaga Pengawas Tambahan: RASIO [C/(10*(A+B))]
(Skenario Rendah)
8.650
Tenaga Pengawas Tambahan: RASIO [C/(5*(A+B))]
Sumber: BI (2010a; 2010e), Bapepam-LK (2009), Biro Dana Pensiun (2009), Biro Perasuransian
(Skenario Tinggi) 17.301
(2008)
Catatan:
*) Untuk bank besar, visitasi dilakukan di kantor pusat dan tujuh kantor cabang. Diasumsikan untuk bank
menengah dan kecil masing-masing lima dan tiga kantor divisitasi. Diasumsikan BPR tidak memiliki cabang
dan setiap BPR divisitasi. Untuk LKNB Non-Mikro diasumsikan skalanya setara dengan Bank Kecil dan Bank
Menengah dan berturut-turut dilakukan visitasi ke tiga dan lima kantor. Seperti halnya BPR, setiap LKNB
Mikro akan divisitasi.
**) Untuk skenario rendah diasumsikan setiap LKNB Non-Mikro memiliki skala mirip dengan Bank Kecil,
sehingga untuk masing-masing unit usaha akan divisitas tiga kantor.
~) Untuk skenario rendah diasumsikan setiap LKNB Non-Mikro memiliki skala mirip dengan Bank Kecil,
sehingga untuk masing-masing unit usaha akan divisitasi lima kantor.
Pada Tabel 7.3 diasumsikan bahwa satu pengawas akan mengawasi lima hingga 10 LKNB
skala mikro. Untuk skenario rendah, diasumsikan setiap pengawas akan membawahi 10
LKNB mikro. Di dasarkan pada skenario tersebut, maka untuk skenario rendah diperlukan
tambahan tenaga pengawas sebanyak 8.650 orang. Di sisi lain, jika diasumsikan bahwa
seorang pengawas membawahi lima LKNB mikro, maka pada skenario tinggi ini jumlah
tambahan tenaga pengawas yang diperlukan adalah 17.301 orang. Perlu dicatat bahwa angka
ini tergolong konservatif karena para pengawas tentu tidak bisa bekerja sendiri tanpa
159
didukung staf pendukung, baik staf administratif maupun staf dari divisi lain, misalnya divisi
hukum, SDM maupun IT.
Perlu dicatat bahwa estimasi kebutuhan tenaga pengawas di atas didasarkan pada asumsi
bahwa beban pengawasan LKB identik dengan beban pengawasan LKNB. Tentu saja asumsi
ini terlalu kuat dan mungkin kurang mencerminkan variabilitas beban pengawasan untuk
LKB dan LKNB. Variabilitas jenis usaha di LKNB dan juga skala usaha yang dimiliki
tentunya akan berdampak pada perbedaan beban kerja pengawasan yang harus dilakukan.
Untuk mendapatkan estimasi yang lebih komprehensif mengenai beban kerja pengawas LKB
dan LKNB diperlukan penelitian yang lebih mendalam melibatkan tenaga-tenaga pengawas
senior dari BI, Bapepam maupun BPK.
Biaya lain yang perlu diestimasi adalah besarnya biaya rekruitmen pengawas baru, biaya
pembekalan, dan biaya training bagi para pengawas baru OJK versi RUU OJK beserta staf
pendukung para pengawas baru tersebut, yaitu staf administrasi dan staf divisi lain. Biaya
rekruitmen dan biaya pembekalan tidak bisa dipandang sebelah mata karena minimum
terdapat antara 8.650-17.301 orang pengawas baru yang harus direkrut dan kemudian
diberikan pembekalan. Pasca pembekalan dasar dimulailah proses training bagi para
pengawas baru.
Pendidikan bagi para pengawas tidaklah sederhana dan tidak bisa dilakukan dalam waktu
singkat. Di BPK misalnya, untuk mencetak seorang pengawas yang handal diperlukan waktu
tiga sampai lima tahun dan selama periode tersebut pengawas harus melalui beberapa kali
training dan bergabung ke dalam tim auditing. Meski demikian, waktu selama tiga sampai
lima tahun tersebut belum cukup untuk membuat seorang pengawas bisa menjadi ketua tim
maupun penanggung jawab proses audit. Diperlukan pengalaman dan training lanjutan yang
memakan waktu cukup lama agar seseorang bisa menjadi ketua tim maupun penanggung
jawab auditing.
Sama seperti di BPK, seorang pengawas di BI harus mengikuti tujuh level training. Setiap
tahun, para pengawas BI akan menghabiskan waktu 15 hari kerja untuk mengkuti berbagai
training yang diperuntukkan bagi para pengawas. Tentunya training ini pun tidak cukup
untuk membuat seseorang menjadi pengawas yang handal, jika tidak diikuti oleh praktik
pengawasan di lapangan secara intensif. Seorang pengawas yang handal tidak saja harus
mampu memahami teknik pengawasan, namun lebih dari itu insting pengawasan akan
160
terbentuk sejalan dengan semakin banyaknya pengalaman dan pengetahuan tentang
pengawasan.
Perlu dicatat, bahwa seorang pengawas harus memahami dengan benar detail dari bisnis dari
obyek yang diawasi. Di BPK misalnya, terdapat divisi-divisi yang membawahi sektor-sektor
tertentu, misalnya infrastruktur, kehutanan, pertambangan dan lain sebagainya. Pembagian
divisi ini diperlukan karena masing-masing bidang memiliki keahlian yang spesifik yang
terkait dengan bidang yang diawasi tersebut. Hal yang sama akan berlaku di OJK versi RUU
OJK ini. Seorang tenaga pengawas perbankan tidak akan bisa melakukan pengawasan untuk
koperasi ataupun asuransi, demikian pula sebaliknya. Misalnya OJK membawahi tujuh jenis
lembaga keuangan yang memiliki karakter bisnis yang berbeda, maka diperlukan kualifikasi
dari tujuh kelompok pengawas yang berbeda, dan masing-masing kelompok tidak bisa
melakukan pengawasan untuk bidang yang lain tanpa ada training terlebih dahulu.
Potensi biaya lain yang timbul akibat pendirian OJK versi RUU OJK adalah biaya
pengembangan teknologi informasi (TI). Untuk pengawasan perbankan, selama ini, informasi
tersimpan di server BI. Jika nantinya para pengawas BI ’bedhol desa’ ke OJK versi RUU
OJK, maka tidak saja tenaga pengawas BI yang berpindah, namun juga sistem informasi
teknologi-pun juga harus disiapkan di OJK versi RUU OJK. Implikasinya adalah bahwa
semua informasi terkait dengan pengawasan perbankan di server BI harus ditransfer ke server
OJK versi RUU OJK.
Pertanyaan yang harus dijawab kemudian adalah, berapa biaya untuk membangun sistem TI
dan juga biaya operasional beserta pemeliharaan sistem TI di OJK versi RUU OJK? Untuk
mengetahui beban kerja sistem TI, maka estimasi terhadap total akun dan rekening, baik yang
ada di LKB maupun LKNB mutlak dilakukan.
Tabel 7.4 menunjukkan bahwa jumlah rekening/akun untuk nasabah LKB mencapai 83 juta.
Sementara jumlah akun total dari LKNB berjumlah 141.887.323 atau tambahan 171%
dibandingkan total akun yang ada di LKB. Perlu dicatat bahwa jumlah akun ini adalah
konservatif, karena informasi mengenai jumlah akun di koperasi belum diketahui. Jumlah
akun BMT juga didasarkan pada data tahun 2006 sementara data termutakhir belum
diperoleh.
Pada tahun 1999-2001 terjadi merger dari beberapa bank BUMN dan membentuk Bank
Mandiri. Selama proses merger tersebut, Bank Mandiri menginvestasikan dana sebesar
US$200juta untuk menggabungkan sistem TI (Bank Mandiri, 2001). Sistem TI ini melayani
161
dan menghubungkan 1.108 kantor cabang Bank Mandiri yang tersebar di seluruh Indonesia.
Perlu dicatat bahwa dari tahun 2001 hingga sekarang, teknologi komputer berkembang sangat
pesat. Dengan pertimbangan ini, maka dapat diasumsikan bahwa kebutuhan dana OJK versi
RUU OJK untuk membangun sistem TI diperlukan pula dana sebesar US$200 juta atau
sekitar Rp2 triliun (didasarkan asumsi konservatif kurs dollar adalah Rp10.000).
Potensi biaya lain yang muncul akibat pembentukan OJK versi RUU OJK adalah pembukaan
perwakilan OJK versi RUU OJK di daerah-daerah. Hal ini tentunya adalah hal yang tidak
162
bisa ditawar-tawar lagi mengingat OJK versi RUU OJK harus melakukan off and on side
supervisions. Tabel 7.3 menunjukkan bahwa BI mengawasi 2902 unit visitasi sementara
Bapepam mengawasi 1.670 LKNB. Total tenaga pengawas LKB dan LKNB saat ini adalah
2.297 orang yang terdiri dari 1.437 pengawas BI dan 860 pengawas Bapepam. Apabila
diperlukan tambahan pengawas sebanyak 8.650 hingga 17.301 pengawas tambahan, maka
bisa dimodelkan bahwa diperlukan kantor perwakilan setara KBI sebanyak 8.650/2.297 =
3,77 kali lipat jumlah KBI atau 155 buah (untuk skenario rendah) atau 17.301/2297 = 7,54
kali lipat jumlah KBI atau 310 buah (dengan skenario tinggi). Perhitungan ini didasarkan
pada asumsi bahwa tenaga pengawas di KBI-KBI akan direlokasikan ke kantor-kantor
perwakilan OJK versi RUU OJK tersebut.
Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah berapa kantor perwakilan OJK versi RUU
OJK yang harus didirikan di daerah-daerah? Dengan mempertimbangkan jumlah dan sebaran
lembaga keuangan yang harus diawasi oleh OJK versi RUU OJK, maka idealnya di setiap
kabupaten/kota di seluruh Indonesia didirikan perwakilan OJK. Dalam hal ini kita bisa
menggunakan skenario rendah dan tinggi terkait dengan pembentukan perwakilan OJK versi
RUU OJK di daerah. Skenario rendah didasarkan pada asumsi bahwa jumlah OJK didirikan
disetiap kabupaten saja. Artinya semua lembaga keuangan yang ada di wilayah kota, menjadi
tanggung jawab pengawasan dari kantor perwakilan OJK di tingkat kabupaten tersebut.
Didasarkan pada skenario rendah ini, diperlukan 399 perwakilan OJK di 399 kabupaten di
seluruh Indonesia. Jika digunakan skenario tinggi, maka diperlukan 502 perwakilan OJK
yang didirikan di 502 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Nilai aset BPK di tahun 2004 adalah sekitar Rp204,51 miliar. Didasarkan pada harga 2009,
maka nilai aset riil BPK pada tahun 2004 tersebut adalah Rp284,27 miliar. Pada tahun 2009
nilai aset BPK membengkak menjadi Rp2,764 triliun. Untuk menghitung biaya pendirian
perwakilan di daerah, maka hanya nilai tanah (A), nilai peralatan dan mesin (B), nilai gedung
(C) dan nilai aset tetap lain (E) yang relevan untuk diperhitungkan. Jika nilai subtotal
komponen (A+B+C+E) di tahun 2009 dikurangi dengan komponen aset yang sama di tahun
2004 dengan harga konstan 2009, maka nilai peningkatan aset adalah sebesar Rp
1.888.557.572.289 (atau Rp2.272.659.980.332 - Rp284.102.308.043). Selama periode 2004-
2009 terjadi peningkatan jumlah perwakilan sebanyak 26 kantor perwakilan.
Didasarkan pada estimasi di atas, tidak dapat diasumsikan bahwa semua peningkatan aset
terjadi karena pembukaan perwakilan baru. Hal ini terjadi karena peningkatan aset juga
terjadi akibat perbaikan dan pemutakhiran sarana maupun prasarana di kantor pusat BPK.
Jika digunakan scenario konservatif dimana diasumsikan bahwa dari jumlah peningkatan aset
tersebut 80% diantaranya dialokasikan untuk pembukaan kantor perwakilan baru. Dengan
scenario tersebut maka nilai pembangunan kantor perwakilan baru BPK senilai
Rp1.510.846.057.831. Jika angka ini dibagi dengan 26 kantor perwakilan, maka untuk setiap
pembangunan kantor perwakilan diperlukan dana antara Rp58,11 miliar. Biaya ini
diasumsikan terdiri dari biaya pembebasan tanah, pembangunan gedung, pembelian
kelengkapan kantor dan mobil untuk mendukung operasional.
164
Tabel 7.6: Estimasi Biaya Pembentukan dan Biaya Operasional OJK RUU
Biaya Perwakilan OJK RUU Rp58,11 miliar 155 310 Rp9.007 miliar Rp18.014 miliar
Biaya Rekrutmen dan
Pendidikan Awal
Pengawas BI^ Rp50 juta 0 359 0 Rp17,95 miliar
Pengawas Bapepam Rp50 juta 0 0 0 0
Pengawas
Tambahan
Rp50 juta 8650 17301 Rp432,50 miliar Rp865,05 miliar
Biaya set up Rp1.800 miliar 1 1 Rp1.800 miliar Rp1.800 miliar
IT Sub Total Rp11,240 triliun Rp 20,697 triliun
(A)
Jenis Pengeluaran
Operasional per Tahun
Biaya Training Karyawan di
Dalam Negeri**
Pengawas BI Rp25 juta 1,437 1,437 Rp35,93 miliar Rp35,93 miliar
Pengawas Bapepam Rp25 juta 863 863 Rp21,58 miliar Rp21,58 miliar
Pengawas Tambahan Rp25 juta 8650 17301 Rp216,25 miliar Rp432,53 miliar
Pengawas Bapepam Rp765 juta 863 863 Rp660,61 miliar Rp660,61 miliar
Pengawas Bapepam Rp139 juta 863 863 Rp120 miliar Rp120 miliar
165
Beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam modeling estimasi biaya pembentukan dan
biaya operasional OJK versi RUU OJK di atas adalah sebagai berikut:
1. Beban pengawas LKNB disamakan dengan beban pengawas LKB. Asumsi ini
mungkin terlalu keras dan kurang membumi, namun hingga saat ini belum ada
penelitian yang mengestimasi beban riil pengawas baik untuk LKB maupun LKNB.
Jenis usaha LKNB yang sangat bervariatif tentunya masing-masing memiliki
keunikan sendiri-sendiri sehingga beban kerja pengawasan untuk setiap jenis LKNB
tentu berbeda.
2. Biaya rekrutmen dan pendidikan pengawas tambahan pada scenario tinggi
diasumsikan bahwa 20% dari total pengawas BI tidak akan bergabung ke OJK.
Asumsi ini adalah konservatif, karena keinginan pengawas BI untuk bergabung ke
OJK sangat ditentukan oleh persepsi subyektif dari masing-masing pengawas dalam
melihat proses penyatuan tersebut. Apabila proses penyatuan ini dianggap sebagai hal
sarat dengan ketidaktentuan (uncertainty) atau pengawas BI memiliki status quo bias,
maka kemungkinan untuk bergabung ke RUU akan cenderung kecil.
3. Biaya penyusutan bangunan dan juga IT diasumsikan 10% per tahun. Angka ini
cenderung konservatif karena berdasarkan KepMen Kimpraswil Nomor
332/KPTS/M/2002 untuk perawatan kerusakan ringan biayanya maksimal adalah
30% dari harga satuan tertinggi pembangunan baru.
4. Biaya pembangunan system IT menggunakan biaya yang dikeluarkan oleh Bank
Mandiri ketika melakukan merger sebesar US$200 juta. Jika digunakan asumsi kurs
yang konservatif sebesar Rp9.000 per US$1, maka nilai pembangunan system IT OJK
sebesar Rp1,8 triliun. Ketika proses merger Bank Mandiri, bank-bank umum yang
kemudian membentuk Bank Mandiri sebenarnya telah memiliki perangkat keras dan
lunak. Penggabungan sistem di Bank Mandiri cenderung pada penggabungan system
dan bukan pengadaan perangkat keras IT. Pada sistem IT OJK, tidak saja perangkat
lunak baru yang dibutuhkan namun juga perangkat keras untuk menciptakan network
untuk 155-310 kantor perwakilan.
5. Biaya gaji rata-rata bagi pengawas Bapepam dan pengawas tambahan di OJK
nantinya diasumsikan sama dengan pengeluaran BI rata-rata untuk pengawasan.
Asumsi ini digunakan untuk untuk memenuhi incentive compatibility dan
participation constraint karena terjadi penggabungan pengawas dari berbagai instansi.
166
Apabila biaya gaji di OJK tidak disetarakan dengan pengawas BI, maka akan lebih
sulit mengharapkan bagi pengawas BI untuk bergabung menjadi pengawas OJK.
Tabel 7.6. menunjukkan rekapitulasi biaya pendirian OJK versi RUU OJK. Biaya pengalihan
pengawasan dari BI ke OJK menelan biaya sebesar Rp 11,240 triliun hingga Rp20,697
triliun. Hal ini masih ditambah biaya operasional antara Rp 11,286 triliun hingga Rp20,252
triliun per tahun. Patut dicatat bahwa hasil estimasi ini didasarkan pada ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam RUU OJK. Tentunya hasil estimasi ini akan berbeda jika terjadi perubahan
dalam isi RUU OJK, misalnya bahwa OJK RUU hanya mengawasi seluruh LKB dan LKNB
skala non-mikro, misalnya. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa beban kerja pengawas
LKB diasumsikan sama dengan beban kerja pengawas LKNB. Estimasi biaya pengawasan
tentunya akan berbeda jika digunakan asumsi yang berbeda, yaitu misalnya beban kerja
pengawas LKB lebih besar daripada beban pengawas LKNB.
Pertanyaan yang diajukan selanjutnya adalah darimana sumber biaya pembentukan OJK
berasal? Jika biaya pembentukan dan operasional tahun pertama dibebankan pada APBN
2011, maka beban biaya tambahan ke RAPBN 2011 adalah sebesar Rp22,526 triliun –
Rp40,949 triliun atau proporsinya mencapai 1,87%-3,40% (dengan asumsi RAPBN 2011
Rp1.204 triliun). Proporsi ini relatif besar, sebagai perbandingan: (1) proporsi gaji dan
tunjangan terhadap APBN 2010 mencapai 7,4%; (2) proporsi anggaran departemen kesehatan
terhadap APBN 2010 sebesar 2%; (3) proporsi subsidi pupuk dan benih terhadap APBN 2010
sebesar 1,3%; (4) proporsi subsidi pangan terhadap APBN 2010 sebesar 1,2%; (5) proporsi
subsidi obat generik terhadap APBN 2009 sebesar 0,034% (Departemen Keuangan, 2010).
Alternatif kedua adalah pembiayaan dari utang. Namun, alternatif ini patut ditinjau ulang
karena penambahan utang Indonesia pada tahun 2010 mencapai Rp48 triliun. Rentang
penambahan utang Indonesia dari selama tahun 2006-2009 adalah Rp13,3-Rp46,9 triliun.
Apabila asumsi utang tahun 2011 sama dengan tahun 2010 dan ditambah biaya pembentukan
OJK, utang Indonesia akan meningkat antara 30,03%-54,60% pada tahun 2011 mencapai
sekitar Rp75 triliun. Jumlah tersebut pun jauh dari rentang utang yang pernah diambil oleh
Indonesia.
167
Gambar 7.2. Total Utang dan Penambahan Utang (miliar rupiah)
Logika yang digunakan dalam argumen di atas sekilas mirip dengan logika pembayaran
premi penjaminan yang ditarik oleh LPS kepada pihak perbankan. Namun demikian ada
perbedaan yang sangat mencolok antara premi LPS dengan iuran OJK versi RUU OJK.Tidak
dipungkiri bahwa apapun jenis iuran yang dikenakan kepada suatu lembaga keuangan,
pastilah terdapat upaya untuk mengalihkannya kepada nasabah. Hal ini telah terjadi pada
kasus pajak dan analisis beban pajak (tax incidence) selalu menekankan pada siapa yang
168
sebenarnya menanggung beban pajak/iuran? Pemerintah atau otoritas bisa saja membebankan
pajak atau iuran kepada perusahaan, namun perusahaan pastilah akan berusaha mentransfer
beban tersebut, seleruhnya maupun sebagaian, kepada konsumen.
Premi LPS dibebankan kepada bank-bank umum dan BPR sejumlah proporsi tertentu dari
nilai uang yang disimpan di lembaga perbankan tersebut. Kalaupun toh premi ini dialihkan
sepenuhnya kepada nasabah misalnya, maka hal inipun tidak akan merugikan pihak nasabah.
Mengapa? Alasannya cukup jelas, yaitu adalah dengan terbebani premi LPS, para nasabah
tidak akan keberatan karena uangnya yang ada di bank ditanggung oleh LPS, baik seluruhnya
(bagi nasabah kecil) maupun sebagian (bagi nasabah besar).
Untuk kasus iuran OJK versi RUU OJK, logika yang berlaku pada pembayaran premi LPS
tidak bisa diterapkan. Iuran ke OJK pasti akan dialihkan dibeban pembayarannya oleh
lembaga-lembaga keunagan, melalui berbagai cara, kepada para nasabah mereka. Jika ini
dilakukan, maka akan terdapat berbagai kompleksitas terkait dengan cara pendanaan ini,
yaitu:
1. Bagi para nasabah, apakah manfaat langsung yang mereka terima dengan adanya
iuran tersebut?
3. Bagi OJK, apakah penerimaan sumber dana dari lembaga keuangan yang diawasi
tidak justru melemahkan posisi tawar dan independensi OJK terhadap lembaga
keuangan yang mereka awasi sendiri? Apakah mekanisme ini tidak membawa
dampak munculnya hubungan OJK dan lembaga-lembaga keuangan yang akhirnya
bersifat transaksional dan cenderung menjurus ke penyalahgunaan?
Teori yang dapat menjelaskan pemberlakuan iuran oleh OJK adalah theory of clubs. Pada
awal kemunculannya, teori tersebut mempelajari ukuran optimal suatu kelompok yang
mengkonsumsi barang atau jasa secara bersamaan dan penyediaan optimal dari barang dan
jasa tersebut. Konsumsi barang atau jasa secara bersamaan dapat menciptakan economies of
scale bagi penyedia. Di lain pihak, konsumsi tersebut menimbulkan biaya yang ditanggung
bersama oleh kelompok tersebut. Manfaat dan biaya yang muncul dan ditanggung bersama
merupakan sebuah network effects (Lacker, 2006).
Dalam konteks sektor keuangan, lingkup lembaga keuangan saat ini menciptakan economies
of scale bagi OJK dalam menjalankan kegiatan. Biaya yang timbul dari pengawasan sektor
169
keuangan akan ditanggung oleh lembaga keuangan. Namun, apa manfaat yang dapat
diperoleh konsumen? Pertanyaan tersebut muncul karena besar kemungkinan konsumen ikut
menanggung beban iuran lembaga keuanga kepada OJK.
Konsumen dapat memperoleh manfaat apabila OJK tidak hanya bertindak sebagai pengawas
namun juga sebagai LOLR. Fungsi LOLR identik dengan fungsi LPS sebagai penjamin
deposito: OJK akan memberikan bantuan kepada lembaga keuangan yang mengalami
permasalahan. Skema ini mengurangi moral hazard dari sisi OJK yaitu OJK akan mengawasi
setiap lembaga dengan effort maksimal tanpa memperhatikan besarnya fee dari masing-
masing lembaga. Manfaat yang diperoleh konsumen adalah meminimisasi risiko kegagalan
lembaga keuangan akibat kesalahan struktural maupun sistemik.
Fakta yang ada saat ini, lembaga pengawas sebagian besar dibiayai oleh industri yang
diawasi. PA Consulting Group atau PACG (2009) melaporkan bahwa sebagian besar lembaga
pengawas sektor keuangan di negara yang tergabung dalam G20 dibiayai oleh industri
keuangannya. APRA (Australia), AMF (Perancis), BRSA (Turki), BaFin (Jerman), SB
(Afrika Selatan), FSC (Korea Selatan) dibiayai oleh industri keuangan. Proporsi pembiayaan
lembaga pengawas yang diambil dari 108 sampel adalah: industri (56%), pemerintah (22%),
campuran (16%), dan tidak disebutkan (6%).
Jika OJK membebankan biaya pengawasan ke industri keuangan, OJK perlu menyusun
mekanisme pendanaan yang sedemikian rupa untuk meminimalisasi penyalahgunaan.
Mekanisme tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik industri keuangan di Indonesia.
Usulan tersebut merujuk pada laporan PACG (2009) yang menjelaskan bahwa setiap negara
menganut mekanisme pendanaan yang berbeda. Tabel 6.7 menjelaskan berbagai mekanisme
pendanaan lembaga pengawas sektor keuangan.
Model Karakteristik
Basis Transaksi Fee pengawasan didasarkan pada jenis transaksi pada industri
keuangan tertentu: fixed fee atau % dari nilai transaksi
Basis alokasi biaya Fee pengawasan didasarkan pada biaya yang dikeluarkan OJK untuk
mengawasi suatu industri
Basis tetap tahunan Fixed fee dibebankan kepada lembaga di suatu pasar tanpa
memerhatikan ukuran lembaga tersebut
Basis volume tahunan Fee berdasarkan volume transaksi suatu lembaga dalam
satu tahun
170
Basis jasa inti OJK membebankan fee berdasarkan biaya jasa pengawasan inti yang
dilaksanakan di suatu lembaga
Basis risiko Fee dibebankan berdasarkan profil risiko suatu lembaga
Pendapatan denda Biaya OJK ditutup oleh pemasukan denda pelanggaran peraturan
industri keuangan
Pendapatan dari aktivitas lain Biaya OJK ditutup oleh pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan
lain, misalnya pelatihan
Sumber: diolah dari PACG (2009)
1
Lihat Lampiran 1 untuk kemanfaatan dan kompleksitas dari masing-masing model
Model pendanaan yang paling banyak diaplikasikan adalah basis tetap tahunan.Lembaga
keuangan membayar biaya pengawasan berdasarkan volume transaksi yang terjadi dalam satu
tahun. Model pendanaan lain yang banyak dianut adalah basis jasa inti dan pendapatan dari
aktivitas lain (Gambar 7.3).
Berbagai model di atas memiliki kemanfaatan dan kompleksitas. Kajian mengenai model
pendanaan yang sesuai untuk Indonesia, yaitu model yang meminimalisasi penyalahgunaan,
perlu dilakukan. Kajian tersebut patut menganalisis berbagai hal sebagai berikut. Pertama,
manfaat yang diperoleh konsumen (nasabah) terkait pendanaan OJK oleh industri keuangan.
Kedua, sejauh mana industri akan membebankan biaya OJK ke konsumen (nasabah). Ketiga,
willingness to pay atau ability to pay dari setiap industri keuangan khususnya industri
keuangan skala kecil. Keempat, tahapan skema pendanaan untuk masing-masing industri
171
karena setiap industri memiliki lingkup, kegiatan, dan keterkaitan yang berbeda. Kelima,
fungsi OJK sebagai lender of the last resort.
Biaya transisi maupun jangka panjang dari usulan Skema I dan II OJK relatif lebih murah
dibandingkan biaya peralihan ke OJK versi RUU OJK. Meski pada Skema I OJK, salah satu
tugas OJK tetap melakukan supervisi terhadap business conducts baik di perbankan maupun
non-perbankan, namun biaya resiko kerentanan perekonomian dari krisis serta biaya jangka
panjang tidak akan terjadi.
Skema II OJK menawarkan biaya peralihan yang paling ekonomis, karena pada dasarnya
pengawasan perbankan sepenuhnya tetap dilakukan oleh BI, sementara Bapepam-LK perlu
ditingkatkan kewenangannya untuk mengawasi semua lembaga non-perbankan. Skema II
OJK tidak akan menyebabkan tacit knowledge yang selama ini telah terbangun di bagian
pengawasan BI akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali (hal yang sama berlaku bagi
biaya jangka panjang lainnya).
172
Tabel 7.8. Perbandingan OJK menurut RUU OJK dengan Skema II
Kendala besarnya biaya pembentukan lembaga baru: Minimalisasi kendala biaya: peningkatan biaya
biaya transisi, biaya jangka panjang, biaya terjadi karena peningkatan transparansi dan
operasional, dan biaya sumberdaya akuntabilitas kinerja
Bapepam-LK tetap akan mengeluarkan biaya
untuk meningkatkan lingkup pengawasan industri
keuangan nonbank seperti BMT dan koperasi
yang jumlahnya sangat banyak.
Kendala waktu peralihan lembaga: transisi Kendala waktu minimal: BI dan Bapepam-LK
memerlukan waktu yang lama menginvestasikan waktu untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas kinerjanya.
Kendala pembangunan sistem informasi yang baru BI dan Bapepam-LK hanya memerlukan
koordinasi sistem informasi untuk integrasi
informasi dan data, tanpa membangun sistem
informasi baru
Kendala pembiayaan operasional OJK: perlu kajian Sumber dan mekanisme pendanaan sesuai
mendalam mengenai sumber dan mekanisme prosedur yang telah berlaku
pendanaan
Kendala risiko krisis pada saat masa transisi: posisi BI dan Bapepam-LK memiliki waktu untuk
pengawasan belum mantap sehingga overview sektor memperkuat kelembagaan dan sumberdaya untuk
keuangan masih lemah dan rentan terhadap ancaman menghindari risiko krisis
krisis
Satu hal yang pasti akan membebani baik BI maupun Bapepam-LK terkait dengan Skema II
OJK adalah biaya pembangunan sistem IT yang mampu menghubungkan server antara BI
dan Bapepam-LK. Data sharing dan data interfacing tidak saja membutuhkan perangkat
keras maupun perangkat lunak yang memunginkan kedua server terhubung dan beroperasi
bersama. Lebih dari itu data sharing dan data interfacing membutuhkan juklak/SOP dan
bahkan mungkin adanya MOU atau payung hukum yang lebih tinggi misalnya UU. Namun
demikian, apapun bentuk OJK yang nantinya akan dibuat, pengeluaran akibat data sharing
dan data interfacing tidak akan terhindarkan.
173
Bab 8: Kesimpulan dan Saran
8.1 Kesimpulan
1. Pengawasan lembaga keuangan bank dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan
bahwa selama tahun 2004-2009, hasil investigasi pelanggaran perbankan
menunjukkan bahwa jumlah pelanggaran perbankan sebanyak 1.139 kasus dengan
jenis pelanggaran meliputi masalah perkreditan, pendanaan, rekayasa laporan, biaya
fiktif, dan penggelapan.
2. Pengawasan lembaga keuangan non-bank dan pasar modal dilakukan oleh Bapepam-
LK dengan menerapkan sistem pengawasan berbasis risiko (risk-based supervision).
Selama tahun 2006-2008, jumlah perusahaan dan emiten yang didenda mengalami
peningkatan. Misalnya, jumlah emiten saham mencapai 499 pada tahun 2008
sedangkan jumlah emiten yang didenda mencapai 212 (42,5%). Jumlah perusahaan
efek yang didenda selama tahun 2008 bahkan mencapai 237 walaupun jumlah
perusahaan efek hanya 158. Angka tersebut menunjukkan bahwa satu perusahaan efek
melakukan pelanggaran dengan rerata 1,5 pada tahun 2008
4. Struktur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diusulkan oleh RUU OJK
identik dengan struktur FSA di Britania Raya yang terbukti gagal dalam
melaksanakan fungsinya. Selain itu, struktur ini mengalihkan fungsi pengawasan
sektor perbankan dari BI ke OJK sehingga memerlukan biaya yang sangat besar
174
terkait dengan sumber
daya manusia dan teknologi serta membutuhkan waktu yang lama. Selain itu, struktur
ini belum menimbang pembentukan kantor OJK di daerah yang berbiaya besar dan
membutuhkan waktu lama guna pembentukan OJK daerah.
8.2 Saran
1. Dengan melihat keadaan sektor keuangan di Indonesia, lembaga pengawasan
perbankan sebaiknya tetap dilaksanakan oleh BI sedangkan pengawasan pasar modal
dan IKNB dilaksanakan oleh OJK yang dikembangkan dari lembaga Bapepam-LK
yang telah ada dan berjalan. Argumennya adalah biaya yang besar dan waktu transisi
yang lama. Namun, argumen yang lebih utama adalah pencegahan risiko krisis yang
disebabkan oleh pengawasan yang nonoptimal pada saat masa transisi.
2. Struktur BI dan OJK yang telah ada dipertahankan. BI yang telah memiliki tenaga ahli
pengawasan dan teknologi meningkatkan transparansi dalam hal pengawasan,
terutama transparansi pelanggaran. Di lain pihak, OJK diharapkan terus membangun
sistem pengawasan lembaga keuangan nonbank yang mapan dan komprehensif,
artinya teknik dan sumberdaya pengawasan satu industri berbeda dengan industri
lainnya. OJK juga diharapkan terus meningkatkan lingkup pengawasan terhadap
175
lembaga keuangan nonbank, terutama koperasi dan lembaga keuangan mikro yang
belum memiliki sistem pengawasan.
3. BI dan OJK membangun sistem informasi sebagai sarana koordinasi dan penyusunan
kebijakan bersama. Sistem informasi tersebut menjadi prioritas utama menghindari
risiko krisis yang timbul karena kegagalan antisipasi dan miskoordinasi lembaga
pengawas. Selain itu, BI, OJK, Kementrian Keuangan, dan LPS patut menyepakati
fungsi dan tugas masing-masing lembaga dalam kerangka koordinasi untuk
meningkatkan transparansi koordinasi.
176
Referensi
Abrams, R. dan Taylor, M.W., 2000, “Issues in the Unification of Financial Sector
Supervision,” International Monetary Fund Working Paper, 213.
Ashari, 2006, “Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam Pembangunan Ekonomi
Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya,” Analisis Kebijakan Pertanian, 4:2, hal.
146-164, diakses Juni 2010 dari pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART4-2c.pdf.
Australian Prudential Regulation Authority (APRA), 2009, “Annual Report 2009,” diakses
Juli 2010 dari http://www.apra.gov.au/AboutAPRA/Annual-Report-2009.cfm
, 2004a, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia,” diakses Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C7402D01-
A030-454A-BC75-9858774DF852/13447/uu_bi_no0304.pdf
, 2004b, Laporan Pengawasan Perbankan 2004, diakses Mei 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi
, 2005, Laporan Pengawasan Perbankan 2005, diakses Mei 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi
, 2007, Booklet Perbankan Indonesia 2007,Vol. 4.
, 2009, Laporan Pengawasan Perbankan 2008, diakses Mei 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Perbankan+dan+Stabilitas+Keuangan/Laporan+P
engawasan+Perbankan/LPP_2008_17042008.htm
, 2010a, Laporan Keuangan Publikasi Bank, diakses Mei 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Keuangan+Publikasi+Bank/Bank/Bank
+Umum+Konvensional/
, 2010b, Laporan Pengawasan Perbankan 2009, diakses Mei 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Perbankan+dan+Stabilitas+Keuangan/Laporan+P
engawasan+Perbankan/lpp_2009.htm
Bank Indonesia, 2010c, “Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank,” diakses dari
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Pengaturan+dan+Pengawasa
n+Bank/Tujuan+dan+Kewenangan.
, 2010d, “Tujuan dan Tugas Bank Indonesia,” diakses Mei 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/
, 2010e, “Statistika Perbankan Indonesia April 2010,” diakses Juni 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Statistik/Statistik+Perbankan/Statistik+Perbankan+Indonesi
a/spi_0410.htm
v
, 2010f, Dinamika Transformasi Pengawasan Bank di Indonesia, Humas
Bank Indonesia: Jakarta.
Banque de France, 2010, “Presentation of the French Prudential Supervisory Authority.”
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2007, “Agenda Strategik: Pusdiklat
Pegawai Badan Pemeriksaa Keuangan.”
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2010, “Bidang Tugas Pimpinan BPK RI,”
diakses Juli 2010 dari http://www.bpk.go.id/web/?page_id=41
Bank Mandiri, 2001, “Annual Report 2001,” diakses Juli 2010
dari www.bankmandiri.co.id/english/corporate01/pdf/202826836886.pdf.
Bapepam-LK, 2009, Laporan Tahunan 2008, diakses Mei 2010 dari
http://www.bapepam.go.id/bapepamlk/annual_report/AR-BAPEPAM-LK_2008.pdf
Bapepam-LK, 2010, “Pengawasan Lembaga Keuangan,” diakses Mei 2010
dari
http://www.bapepam.go.id/p3/index.htm
Barth, J.R., D.E. Nolle, T. Phumiwasana, G. Yago, 2002, “A Cross-Country Analysis of the
Bank Supervisory Framework and Bank Performance,” Economic and Policy Analysis
Working Paper, 2002.
Barth, J.R., G. Caprio Jr., R. Levine, 2004, “Bank Regulation and Supervision: What Work
Best?” Journal of Financial Intermediation, 13, 2005-248.
Barth, R. James, D.E. Nolle, T. Phumiwasana, and G. Yago, 2002, “A Cross Country
Analysis of the Bank Supervisory Framework and Bank Performance”. Economic and
Policy Analysis Working Paper, 2002-2.
Bernanke, B., 2010, “The Federal Reserve’s Role in Bank Supervision,” diakses April 2010
dari http://www.federalreserve.gov/newsevents/testimony/bernanke20100317a.htm
Binmore, K. G., 1987, “Modeling Rational Players I,” Economics and Philosophy, 3, 179-214
Biro Dana Pensiun, 2009, Laporan Tahunan Dana Pensiun 2008, diakses Mei 2010 dari
http://www.bapepam.go.id/dana_pensiun/publikasi_dp/annual_report_dp/Laptah2008/la
Biro ptahdapen2008.pdf
Perasuransian, 2008, Perasuransian Indonesia, diakses Mei 2010
dari http://www.bapepam.go.id/bapepamlk/others/Perasuransian_Indonesia_2008_part1.pdf
Blanchard, O., G. Dell’Ariccia, P. Mauro, 2009, “Rethinking Macroeconomic Policy,”
International Monetary Fund Staff Position Note, 03.
Borio, C., 2009, Ímplementing the Macroprudential Approach to Financial Regulation and
Supervision,” Banque de France: Financial Stability Review No. 13.
Briault, C., 1999, “The Rationale for a Single National Financial Services Regulator, FSA
Occasional Paper, 2, diakses dari www.fsa.gov.uk/pubs/occpapers/OP02.pdf
Brunnermeier, M., A. Crockett, C. Goodhart, A. Persaud, and H.S. Shin, 2009, “The
Fundamental Principles of Financial Regulation,” Geneva and London: International
vi
Center for Monetary and Banking Studies (ICMB), and Centre for Economic Policy
Research (CEPR), London.
Carmichael, J., 2002, “APRA-The Way Forward,” diakses Juli 2010 dari
http://www.apra.gov.au/speeches/02_12.cfm
Cervellati, E.M., dan E. Fioriti, 2007, “Financial Supervision in EU Countries,” working
paper, diakses Mei 2010
dari
http://www.efmaefm.org/0EFMAMEETINGS/EFMA%20ANNUAL%20MEETINGS/2
007-Vienna/Papers/0522.pdf
Chowdhury, A., 2010, “Financial Sector Regulation in Developing Countries: Reckoning
After the Crisis,” diakses Mei 2010 dari
http://www.ideaswebsite.org/featart/feb2010/Anis_Chowdhury.pdf
Coleman, W.D., 1996, “Financial Services, Globalization and Domestic Policy Change,” hal.
67, Macmillan Press Ltd, London dalam Lukman Hakim dkk, 2003, “Studi Dasar-Dasar
Ekonomi Politik OJK,” Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha Indonesia
(LSPEUI) Jakarta dan PPSK BI
Cole, D.C. dan B.S. Slade, 1996, “Building A Modern Financial System: The Indonesian
Experience,” Cambridge University Press, New York dalam Lukman Hakim dkk, 2003,
“Studi Dasar-Dasar Ekonomi Politik OJK,” Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha
Indonesia (LSPEUI) Jakarta dan PPSK BI
Cooper et.al, 1991, “Selection Criteria in Coordination Games: Some Experimental Results,”
Games Econ. Behav. 3, 25-59
Cooper et.al, 1996, “Cooperation Without Reputation: Experimental Evidence from
Prisoner’s Dilemma Games,” Games Econ. Behav, 12, No. 0013, 187-218
Crockett, A., 2001, “Banking Supervision & Regulation: International Trends,” diakses April
2010 dari www.bis.org/speeches/sp010330.htm
Debt Management Office, 2010, “Perkembangan Utang Negara,” diunduh Juli 2010 dari
http://www.dmo.go.id.
Demaestri, E. dan F. Guerrero, 2002, “The Rationale for Integrating Financial Supervision in
Latin America and the Carribean,” diakses Juni 2010 dari
http://www.aaep.org.ar/espa/anales/PDF_03/Demaestri_Guerrero.pdf
Departemen Keuangan, 2010, “Data Pokok APBN 2005-2010,” diunduh Agustus 2010 dari
www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/download/datapokok-ind2010.pdf.
Deposit Insurance Corporation Japan, 2010, “Scheme for Special Crisis Management,”
diakses Juni 2010 dari http://www.dic.go.jp/ english/e_katsudou/e_katsudou2-4.html
Enrich, D. dan L. Norman (2010), “U.K. Shakes Up Its Bank Regulation: Once-Proud FSA
Will Be No More, Folded Into Other Entities; More Power for Central Bank,” diakses
Juni 2010 dari
http://online.wsj.com/article/SB10001424052748704198004575310451098811086.html
vii
European Central Bank, 2001, “The Role of Central Banks in Prudential Supervision,”
diakses Mei 2010 dari www.ecb.int/pub/pdf/other/prudentialsupcbrole_en.pdf
Financial Services Agency Japan, 2010, “The Organization of the FSA,” diakses Juni 2010
dari www.fsa.go.jp/en/index.html
Goodhart, C.A.E., 2000, “The Organisational Structure of Banking Supervision”. FSI
Occasional Papers No. 1 – November 2000-10-25.
Goodhart, Charles dan Schoenmaker, Dirk, 1995, “Should the Functions of Monetary Policy
and Banking Supervision Be Separated?,” Oxford Economic Papers, Oxford University
Press, Vol. 47(4) pp. 539-60
Grenville, Stephen, 2005, “Financial Sector Supervision: What We Have Learned So Far,”
diakses Agustus 2010 dari www.oecd.org/dataoecd/12/54/35497307.pdf
Group of Thirty, The Structure of Financial Supervision : Approaches and Challenges in
Global Market Place, January 2009
G30 Financial Regulatory Systems Working Group, 2008, The Structure of Financial
Supervision : Approaches and Challenges in Global Market Place
Grunbichler, A. dan P. Darlap, 2003, “Regulation and Supervision of Financial Markets and
Institutions: A European Perspective,” diakses Juni 2010 dari
www.fep.up.pt/disciplinas/pgaf924/.../Texto_7_Grunbichler_Darlap.pdf
Guardian, 2009, “David Cameron Unveils Plan to Scrap Financial Watchdog,” diakses Mei
2010 dari http://www.guardian.co.uk/politics/2009/jul/20/david-cameron-financial-
regulation
Gugler, P., 2005, “The Integrated Supervision of Financial Markets: The Case of
Switzerland,” The Geneva Papers, 30, (128-143)
Herring, R. J., dan J. Carmassi, 2008, “The Structure of Cross-Sector Financial Supervision,”
Financial Markets, Institutions, and Instruments, 17, hal. 51-76.
Hoenig, T. M., 2004, “Exploring the Macro-Prudential Aspects of Financial Sector
Supervision,” Meeting for Heads of Supervision Bank for International Settlements
Basel.
Houben, A., J. Kakes, dan G. Schinasi, 2004, “Toward a Framework for Safeguarding
Financial Stability,” IMF Working Paper, 04/101, diakses Juni 2010 dari
www.ksri.org/bbs/files/research02/wp04101.pdf
House of Lords, 2009, “Banking Supervision and Regulation,” Select Committee on
Economic Affairs: 2nd Report Session 2008-2009.
Ingves, S., 2007, “Housing and Monetary Policy: A View from an Inflation-Targeting Central
Bank,” Paper dipresentasikan pada the Federal Reserve Bank of Kansas City Annual
Conference on Housing, Housing Finance, and Monetary Policy, Jackson Hole,
Wyoming diakses dari
www.kansascityfed.org/publicat/sympos/2007/pdf/Ingves_0415.pdf
viii
International Organization of Securities Commissions, 2010, “Ordinary Members of
IOSCO,” diakses 27 Juni 2010 http://www.iosco.org /lists/display_members.
cfm?memID=1&orderBy=none
Ioannidou, V.P., 2003, “Does Monetary Policy Affect the Central Bank’s Role in Bank
Supervision?” Journal of Financial Intermediation 14 (2005) 58-85.
Jackson, James K., 2009, “Canada’s Financial System: an Overview,” Congressional
Research Service
Kashyap, Anil K, 2010, “ Testimony on “ Examining the Link between Fed Bank
Supervision and Monetary Policy”, House Financial Services Committee, diakses Juli
2010 di http://www.house.gov/apps/list/hearing/financialsvcs_dem/kashyap.pdf
Kawai, M. dan M. Pomerleano, 2010, “ Regulating Systemic Risk,” Asian Development Bank
Institute, diakses Juni 2010 dari http ://ssrn.com/abstract=1581303
Kementrian Negara Koperasi dan UKM, 2009, “PP Simpan Pinjam Koperasi Segera
Disempurnakan,” diakses Mei 2010 dari
http://www.depkop.go.id/Media%20Massa/659-pp-simpan-pinjam-koperasi-segera-
disempurnakan.html
Kompas, 2010, “Pembentukan OJK Tidak Tepat,” Kompas cetak 14 Juni 2010, hal. 19.
Kreps, D., P. Milgrom, J. Roberts, and R. Wilson (1982), “Rational Cooperation in the
Finitely Repeated Prisoner’s Dilemma,” Journal of Economic Theory, 17: 245‐252
Krivoy, R., 2000, “Reforming Bank Supervision in Developing Countries,” working paper,
diakses Mei 2010 dari www.bos.frb.org/economic/conf/conf44/cf44_10.pdf
de Larosiere Group, 2009, Report on Financial Supervision: High-Level Group on Financial
Supervision in the EU (February), diakses Juni 2010 dari http://
www.ec.europa.eu/internal_market/finances/docs/de_larosiere_report_en.pdf.
Lacker, J.M, 2006, “Central Bank Credit in the Theory of Money and Payments,” diakses Juli
2010 dari http://www.richmondfed.org/press_room/speeches/president_jeff_lacker/
2006/lacker_speech_20060329.cfm.
Levine, R., 1997, “Financial Development and Economic Growth: Views and Agenda,”
Journal of Economic Literature, Vol. 35, 688-726.
Llewellyn, D. T, 2006, “Institutional Structure of Financial Regulation and Supervision: The
Basic Issues,” Paper dipresentasikan pada World Bank seminar “Aligning Supervisory
Structures with Country Needs” tanggal 6 dan 7 Juni 2006, Washington DC
Martinez, J.L. dan T.A. Rose, 2003, “International Survey of Integrated Financial Sector
Supervision,” World Bank: Policy Sector Working Paper, 3096, diakses dari
http://www.wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2003/08/23/0000
94946_03080904015686/Rendered/PDF/multi0page.pdf
Mas-Colell, A., M. D. Whinston, J. R. Green, 1995, Microeconomic Theory, Oxford
University Press, Oxford, UK
ix
Mihalca, G., 2007, “The Relation between Financial Development and Economic Growth in
Romania”. The 2nd Central European Conference in Regional Science, diakses Juni
2010 dari www.cers.tuke.sk/cers2007/PDF/Mihalca.pdf
Mueller, Dennis C.,1983, The Political Economy of Growth, Yale University Press: New
Haven
Nasution, A., 2003, “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda
kedepan”. Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl, Denpasar: 14-
18 Juli 2003.
Nier, E.W., 2009, “Financial Stability Frameworks and The Role of Central Banks: Lessons
From the Crisis,” International Monetary Fund Working Paper, 09/70, diakses Mei
2010 dari http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2009/wp0970.pdf
PA Consulting Group, 2009, Financial Services Authority: Researching Regulatory Funding
Models, diakses Juli 2010 dari www.fsa.gov.uk/pubs/other/reg_funding.pdf.
Peek, J., E.S. Rosengren, dan G.M.B. Tootell, 1999, “Is Bank Supervision Central to Central
Banking?,” The Quarterly Journal of Economics, CXIV(2), pp. 629-653
Pegadaian, 2010, Laporan Tahunan 2009, diakses Mei 2010 dari
http://www.pegadaian.co.id/k.annual.php?uid=
Pemerintah Republik Indonesia, 2010, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-undang tentang
Otoritas Jasa Keuangan: Jakarta.
Pradiptyo, R., 2006, “Does Punishment Matter? A Refinement of the Inspection Game,”
German Working Papers in Law and Economics: Vol. 2006: Article 9 diakses dari
http://www.bepress.com/gwp/default/vol2006/iss1/art9
Pradiptyo, R., 1998, “Experimental Test of Interlinked-Prisoner’s Dilemma: Incorporating
Fairness in Public Choice Theory,” MSc Dissertation, unpublished, Department of
Economics and Related Studies, University of York, UK
Rabin, M., 1993, “Incorporating fairness into game theory and economics,” American
Economic Review 83, 1281-1302
Romp, G., 1997, Game Theory: Introduction and Applications, Oxford University Press:
Oxford, UK
Samuelson, P.A., 1997, “Wherein Do the European and American Models Differ?,” Papers
320, Banca Italia-Servizio di Studi
Seelig, Steven A. dan Alicia Novoa, 2009, “Governance Practices at Financial Regulatory
and Supervisory Agencies,” IMF Working Paper No. 09/135
Segara, E., 2006, “Saatnya BMT Berbenah Diri,” diakses Juli
2010 dari http://edosegara.blogspot.com/2008/02/saatnya-bmt-berbenah-diri.html
x
Selten, R. dan Stoecker, R., 1986, “End Behavior in Sequences of Finite Prisoner’s Dilemma
Supergames,” J. Econ. Behav. Organ. 7, 47-70
Sinclair, P.J.N., 2000, “Central Banks and Financial Stability,” Bank of England Quarterly
Bulletin, 2000, hal. 377-91.
SMECDA, 2006, “BMT Sebaiknya Tetap Berbadan Hukum Koperasi,” diakses Juli 2010 dari
http://www.smecda.com/deputi7/BERITA%20KUKM%202006/REPUBLIKA_020820
06.pdf
Squam Lake Working Group on Financial Regulation, 2009, “A Systemic Regulator for
Financial Markets,” Working Paper, Council on Foreign Relations: Center for
Geoeconomic Studies.
Stiglitz, J. (1994), “The Role of the State in Financial Markets”, Prosiding dalam World
BankAnnual Conference on Development Economics Supplement, 1993, 19-61.
Suharto, S., 2008, “Peranan Permodalan BMT dalam Pemberdayaan Sektor UMK (3),”
diakses Juli 2010 dari
http://www.niriah.com/opini/detail.php?cid=2&id=816&pageNum=3
Taylor, Michael dan Alex Fleming, 1999, “Integrated Financial Supervision: Lessons of
Northern European Experience,” Policy Research Working Paper, 2223, The World
Bank
Tsay, Chin-Tsair, “Overcoming Crisis and The Role of Deposit Insurance,” Central Deposit
Corporation, diakses Juni 2010 dari
www.cdic.gov.tw/public/Attachment/4111614353171.pdf
Tversky, A. dan D. Kahneman, 1986, “Rational Choice and the Framing Decision,” Journal
of Business, 59: S251-278
World Bank, 2009, “Agenda Perbaikan Sektor Keuangan Indonesia,” diakses Mei 2010 dari
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-
1106130305439/617331-1110769011447/810296-1110769073153/financialsector.pdf
xi
Lampiran
Basis alokasi biaya Kesamarataan: industri yang Transparansi untuk pihak yang
Misal: SFMSA (Swiss), BaFin memiliki lingkup kegiatan luas diawasi berkurang karena tidak
(Jerman) memerlukan pengawasan yang lebih memiliki kontrol terhadap
komprehensif sehingga biaya lebih variabel biaya
tinggi; industri yang memiliki Model ini aplikatif di tingkat
lingkup kegiatan lebih kecil industri dan harus didukung
membayar lebih kecil model lain untuk aplikasi di
tingkat perusahaan
Basis tetap tahunan Sederhana dan transparan Ketimpangan apabila diterapkan
Misal: DFSA (Dubai) Merefleksikan biaya pengawasan pada industri yang lingkup
tetap untuk lembaga yang lebih kegiatan dan ukuran sangat
kecil heterogen.
xii
Pendapatan denda Lembaga yang patuh membayar Lembaga pengawas terjebak
biaya pengawasan lebih kecil dalam pencarian pelanggaran
namun meninggalkan tugas inti
pengawasan
Pendapatan dari kegiatan Mengurangi beban pendanaan bagi Lembaga keuangan berpotensi
lain industri keuangan meninggalkan tugas pengawasan
inti untuk mengejar pemasukan
Contoh: pelatihan, pengadaan dari kegiatan nonpengawasan.
forum diskusi, publikasi, dan
lainnya
xiii
Lampiran 2. Panduan Eksperimen
Terimakasih atas partisipasi anda di eksperimen ini. Anda akan berpartisipasi di eksperimen
pengambilan keputusan secara interaktif. Anda dimohon mengikuti instruksi eksperimen ini
dengan seksama dan mengambil keputusan yang terbaik menurut pendapat anda.
Keputusan yang anda buat akan menentukan berapa besarnya uang yang akan anda terima
dari memainkan permainan di setiap sesi. Nilai uang yang anda menangkan akan
dibayar tunai di akhir eksperimen ini. Jika anda memilih strategi dengan tepat, anda
mungkin akan memperoleh uang sebesar Rp200.000. Namun jika pilihan anda kurang
tepat, anda mungkin tidak mendapatkan hadiah apa-apa.
Misalnya, jika Anda mendapat nomor M3, maka anda adalah anggota Kelompok M nomor
urut 3. Jika Anda mendapat nomor S5, maka anda adalah anggota Kelompok S nomor
urut 5. Masing-masing anggota Kelompok M, hanya akan memainkan satu kali
permainan dengan masing-masing anggota Kelompok S, demikian pula sebaliknya.
Dengan demikian, setiap pemain di setiap kelompok hanya akan memainkan SEKALI
permainan dengan masing-masing anggota kelompok lain tanpa ada peluang untuk
bertemu ulang.
Strategi Permainan
Pada setiap permainan, setiap pemain menghadapi dua pilihan, yaitu A dan B. Setiap pemain
memilih strategi dengan menekan klik strategi yang dianggapnya paling tepat.
Kemudian pemain akan ditanya pertanyaan berikut:
xiv
APAKAH ANDA SUDAH MANTAP DENGAN JAWABAN ANDA?
Jika anda merasa belum mantap dengan jawaban anda dan ingin mengubah jawaban anda,
pilihkan ‘TIDAK’ dan anda akan bisa mengganti jawaban anda sebelumnya. Apabila
anda sudah mantap dengan jawaban anda, maka pilihlah ‘YA’ dan jawaban anda akan
dicatat oleh komputer tanpa anda mampu mengubahnya lagi.
Jika kedua pemain sama-sama telah menjawab, pada Tabel kanan atas akan diumumkan
strategi yang diambil masing-masing pemain dan berapa uang yang dihasilkan oleh
setiap pemain pada permainan tersebut. Permainan akan dilakukan sebanyak 16 kali. Di
setiap kali permainan, masing-masing pemain akan memainkan satu jenis permainan
melawan satu orang pemain dari kelompok lain. Baik jenis permainan maupun lawan
main hanya akan dihadapi sekali tanpa pernah berulang.
Anda hanya memiliki waktu 30 detik untuk memilih strategi mana yang anda pilih
Eksperimen Tahap II
Eksperimen tahap ke dua hampir sama dengan ekperimen tahap pertama. Perbedaan hanya
terdapat pada jenis strateginya. Strategi A akan diganti nama sebagai ‘Berkoordinasi’,
sementara strategi B adalah ‘Tidak Mau Berkoordinasi’. Selain penamaan strategi di
atas, semua game akan sama dengan eksperiment tahap 1.
Metoda Remunerasi
Dari tiga puluh dua permainan, satu permainan akan dipilih secara acak oleh peserta dan anda
akan dibayar sesuai dengan hasil yang anda peroleh pada permainan tersebut.
Maksimum pembayaran adalah Rp200.000, dan jika anda kurang beruntung minimum
pembayaran adalah Rp0. Tidak ada seorang pemainpun yang akan harus membayar
dalam bentuk apapun kepada experimenter.
Tahap latihan
Latihan akan dilaksanakan setelah moderator menyelesaikan instruksi permainan dan
dilakukan sebelum eksperimen utama dilakukan. Sesi latihan akan dilaksanakan untuk
tiga jenis permainan. Pastikan anda memahami sepenuhnya bagaimana permainan
berjalan. Jika anda belum faham, mohon tidak segan-segan meminta pengulangan sesi
latihan.
xv
Lampiran 3. Tugas Pokok Pengawas LKB untuk Bank Skala Kecil
Tabel A.X: Tugas Pokok Pengawas LKB untuk Bank Skala Kecil
xvi
Tugas Pokok Jadwal Tugas
4 Memberikan rekomendasi Merger,
Konsolidasi dan Akuisisi (MKA) bank umum
konvensional serta evaluasi pelaksanaannya
- Membuat analisis kinerja keuangan bank 3 tahunan
sebelum dan setelah MKA
- Meneliti kelengkapan persyaratan MKA 3 tahunan
- Catatan dan surat menyurat terkait 3
tahunan dengan persyaratan dan kelengkapan
MKA
- Pertemuan dengan satker terkait 3 tahunan
- Menyiapkan bahan pertemuan dengan 3
tahunan bank
- Pertemuan dengan bank dan Konsultan 3
tahunan MKA
- Membuat risalah pertemuan. 3
tahunan
- Memorandum rekomendasi 3
tahunan
6 bank-bank
Melakukanumum konvensional
pemantauan khusus dalam
terhadap PwB21
program rekapitalisasi
- Evaluasi realiasasi performa
- milestone
- Surat pembinaan kepada bank
- Informasi kepada pemegang saham -
- Informasi perkembangan pelaksanaan
- dan permasalahan yg berkaitan dgn
rekap bank.
Bersambung….
xvii
Tugas Pokok Jadwal Tugas
7 Evaluasi RKAT dan Business Plan
- Stress testing
-
Tahunan Analisis dan surat persetujuan/tdk setuju
Tahunan
- Pertemuan dengan bank Tahunan
- Notulen hasil pertemuan
Tahunan
- Surat menyurat/pembinaan
Tahunan
10 bank-bank
Melakukanumum konvensional
pengawasan khusus yang
terhadap
memenuhi kriteria Special Surveilance Unit
(SSU)
- Evaluasi khusus kinerja bank 5 Tahunan
- Pertemuan dengan pengurus bank 5
Tahunan
- Notulen hasil pertemuan 5 Tahunan
- Penetapan bank dalam SSU (termasuk CDO) 5
Tahunan
- Monitoring action plan/CDO 5 Tahunan
- Laporan perkembangan realisasi action 5
Tahunan plan bank
- Evaluasi perbaikan kinerja bank dan 5
Tahunan pencabutan status SSU/penyerahan kepada
BPPN
- Surat menyurat/pembinaan 5 Tahunan
Bersambung….
xviii
Tugas Pokok Jadwal Tugas
11 Memberikan rekomendasi :
Fit & Proper Test berdasarkan hasil
pemeriksaan dan pengawasan serta
menindaklanjuti hasil keputusannya
Pencantuman nama rehabilitasi nama pemilik,
pengurus dan pejabat eksekutif dan pihak
terafiliasi dlm Daftar Cegah dan daftar
orang-orang yang dilarang menjadi pemegang
saham atau pengurus bank/pengurus BPR
11.1 Fit & Proper Test
- Pembuatan matriks temuan
- Pembahasan intern 2DPwB2
Tahunan 2 Tahunan
- Pembahasan dgn satker terkait (1)
- Notulen rapat 2 Tahunan 2 Tahunan
- Pembahasan dgn bank (1)
- Notulen rapat 2 Tahunan 2 Tahunan
- Revisi matriks setelah pembahasan
2 Tahunan
dgn bank atas dasar tanggapan/bukti
baru
- Pembahasan dgn satker terkait (2) 2 Tahunan
- Notulen rapat
- Pembahasan dgn KEP 2 Tahunan
(1) 2 Tahunan
- Pembahasan dgn bank (2)
- Notulen rapat 2 Tahunan 2 Tahunan
- Revisi matriks setelah pembahasan
dgn bank 2 Tahunan
- Pembahasan dgn satker terkait (3)
- Notulen rapat 2 Tahunan 2 Tahunan
- Pembahasan dgn KEP (2)
- Pembahasan di RDG2 u/ Tahunan
mendapat 2 Tahunan
keputusan final
- Surat pemberitahuan hasil Fit & Proper Test kepada 2 Tahunan
bank
- Penyampaian surat kepada pemegang
saham pengendali 2 Tahunan
- Penyampaian surat kepada yang
bersangkutan 2 Tahunan
- Penyampaian surat kepada DPIP u/
dicatat dalam daftar 2pemantauan
Tahunan khusus
xix
Tugas Pokok Jadwal Tugas
11.3 Periode waktu sanksi telah berakhir :
(apabila ybs mengajukan pemulihan
nama baik)
- Menghimpun informasi 2 Tahunan
- Catatan dan surat rekomendasi
cat : 2 Tahunan
pelaksanaan tugas berkaitan dgn
ketentuan DOT yang terbaru
langkah-langkahnya
13 Memberikan persetujuan/izin :
13.1 Pinjaman SOL dari pemegang saham/BI
dan perubahannnya
- Analisis kondisi keuangan dan Tahunan
persyaratan berdasarkan ketentuan
- Surat persetujuan /penolakan
Tahunan
xx
Tugas Pokok Jadwal Tugas
14 14.1 Mengevaluasi /analisis/tanggapan
laporan-laporan sbb:
1 Laporan kredit yang direstruktur
2 Laporan Keuangan Bulanan
Publikasi Triwulan
(triwulan)
3 Laporan Dewan Komisaris ( Smt) Semester
4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. ( Smt)
5 Semester
Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) Semester
6 Lap. Keuangan Tahunan
7 Lap. Tahunan BankTahunan
Umum Tahunan
8 Lap. Transaksi Derivatif
9 Pengangkatan PejabatMingguan Tahunan
Eksekutif/SKAI.
10 Lap. Perubahan TSI
3 Tahunan
14.2 pelaporan
Tindak lanjut keterlambatan/kesalahan
1 Laporan kredit yang direstruktur (bln) Tahunan
2 Laporan Keuangan Publikasi (trw)
3 Tahunan( Smt)
Laporan Dewan Komisaris 2 Tahunan
4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. ( Smt)
5 2 Tahunan
Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) 2 Tahunan
6 Lap. Keuangan Tahunan
7 Lap. Tahunan Bank4Umum
Tahunan 4 Tahunan
8 Lap. Transaksi Derivatif (mgg)
9 2 Bulanan
Pengangkatan Pejabat Tahunan
Eksekutif/SKAI.
10 Lap. Perubahan TSI
6 Tahunan
15 15.1
Pemeriksaan UmumPersiapan pemeriksaan
Bank oleh DPmB2
- Pemenuhan permintaan data DPmB2 Tahunan
- Penyampaian informasi dlm
Tahunan
pertemuan dgn tim pemeriksa
xxi
Tugas Pokok Jadwal Tugas
15.3 Tindak lanjut LHP umum
- Catatan dan Surat Pembinaan serta
penyampaian LHP Tahunan
- Pertemuan dengan pengurus bank Tahunan
- Menyiapkan bahan pertemuan dan
Tahunan
notulen hasil pertemuan
- Monitoring komitmen bank
- Tahunan
Pelaksanaan pengenaan sanksi / Tahunan
tanggapan dr bank
- Penyesuaian temuan pemeriksaan Tahunan
dengan data TKS
xxii
18 Pertemuan/konsultasi dengan Pengurus/Pejb
bank dlm rangka pengawasan ( inisiatif bank):
- Menyiapkan bahan pertemuan
-
Tahunan Pertemuan
Tahunan
- Membuat risalah hasil pertemuan dan Tahunan
tindak lanjut lainnya yang diperlukan.
21 perizinan operasional
Menatausahakan bankpelaksanaan
laporan umum
konvensional, & sanksi kelambatan lapor.
- Lap. Pelaksanaan Pindah alamat kantor.
Tahunan
- Lap. Pelaksaan Perubahan modal disetor Tahunan
- Lap. Pelaksanaa Perubahan modal dasar
Tahunan
- Lap. Pelaksanaa Penggantian Tahunan
Pemegang saham/Pengurus bank
xxiii
Tugas Pokok Jadwal Tugas
II TUGAS LAINNYA.
6 dan pengetikan
Melakukan dokumenkesekretariatan
tugas-tugas Harian
xxiv
Lampiran 4. Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Menengah
Tabel A.XX: Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Menengah
Tugas Pokok
Jadwal bank
kesehatan Tugasumum konvensional :
1 1.1.
Melakukan penilaianMeneliti/evaluasi
dan analisis :tingkat
- LBU Bulanan
- BMPK Bulanan
- PDN Mingguan
- Lap. Likuiditas / GWM/Arus kas/ Mingguan
Maturty profile
1.2 * Tindak lanjut keterlambatan /tidak Semester
menyampaikan laporan di atas
1.3 * Tindak lanjut kesalahan laporan di Semester
atas
1.4 - Menilai/AnalisisTKS Bulanan
2 Melakukan analisis, penilaian risiko ( Risk
Profile) dan trend keuangan
- Membuat analisis
Triwulan
- Pembahasan internal DPwB2 Triwulan
- Pembahasan dengan bank
Triwulan
- Pembuatan notulen rapat Triwulan
- Surat pembinaan/termasuk catatan
Triwulan
- Monitoring komitmen bank
Triwulan
3 terhadap ketentuan
Tindak lanjut yangpermasalahan
terhadap berlaku, dalam
dispute
kaitan dengan pelaksanaan tugas
pengawasan serta permasalahan yang
diajukan bank.
- Catatan analisis pengawas
Triwulanan
- Memo penerusan kepada satker terkait. Triwulanan
- Pertemuan/rapat intern atau antar satker
Triwulanan
- Pertemuan/rapat dengan bank/pihak lain Triwulanan
- Notulen pertemuan dengan bank
Triwulanan
- Surat menyurat dengan bank. Triwulanan
- Pelaksanaaan sanksi (GWM, LBU, SID,
Pelaporan devisa dll)
= Catatan/surat pembinaan
= Bulanan Memorandum
ke IDWB
Bulanan
Bersambung….
xxv
Tugas Pokok Jadwal Tugas
4 Memberikan rekomendasi Merger,
Konsolidasi dan Akuisisi (MKA) bank umum
konvensional serta evaluasi pelaksanaannya
- Membuat analisis kinerja keuangan bank 3
tahunan sebelum dan setelah MKA
- Meneliti kelengkapan persyaratan MKA 3
tahunan
- Catatan dan surat menyurat terkait 3 tahunan
dengan persyaratan dan kelengkapan
MKA
- Pertemuan dengan satker terkait 3
tahunan
- Menyiapkan bahan pertemuan dengan 3 tahunan
bank
- Pertemuan dengan bank dan Konsultan 3 tahunan
MKA
- Membuat risalah pertemuan. 3 tahunan
- Memorandum rekomendasi 3
tahunan
5 Menyediakan informasi keuangan bank PwB21
kepada satker terkait dalam rangka :
- Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek -
(FPJP/FLI)
- PKLN/LoG 5
tahunan
- Penerbitan Surat berharga 5 tahunan
- Kredit Program 5
tahunan
- Izin Pedagang Valuta Asing 5 tahunan
- Penyelenggaraan SISKOHAT (tabungan 5
tahunan haji)
- Pendirian KC Syariah 5
tahunan
6 Melakukan pemantauan khusus terhadap PwB21
bank-bank umum konvensional dalam
program rekapitalisasi
- Evaluasi realiasasi performance -
milestone
- Surat pembinaan kepada bank -
- Informasi kepada pemegang saham -
- Informasi perkembangan pelaksanaan -
dan permasalahan yg berkaitan dgn
rekap bank.
Bersambung….
xxvi
Tugas Pokok Jadwal
Tugas
7 Evaluasi RKAT dan Business Plan
- Stress testing Tahunan
- AnalisisPertemuan dengan bank setuju
dan surat persetujuan/tdk
Tahunan
- Notulen hasil pertemuan Tahunan Tahunan
- Surat menyurat/pembinaan
8 Tahunan pencapaian target Business Plan
Memantau
Bank Plan Bank
- Analisis Lap. Pelaksanaan RKAT/RBB Triwulan
- Lap. Realisasi Pemberian kredit.
Triwulan
- Realisasi sesuai data LBU Triwulan
- Surat menyurat/pembinaan
9 Triwulan Pengawasan Intensif (PI)
Melakukan -
terhadap bank-bank umum konvensional
yang memenuhi kriteria Pengawasan Intensif
- Evaluasi khusus kinerja bank 2
Tahunan
- Pertemuan dengan pengurus bank 2 Tahunan
- Notulen hasil pertemuan 2
Tahunan
- Penetapan bank dalam PI 2 Tahunan
- Monitoring dan laporan perkembangan realisasi 2
Tahunan actionplan bank
- Evaluasi perbaikan kinerja bank dan 2
Tahunan pencabutan status PI
- Surat menyurat/pembinaan 2
10 Tahunan pengawasan khusus terhadap
Melakukan
bank-bank umum konvensional yang
memenuhi kriteria Special Surveilance Unit
(SSU)
- Evaluasi khusus kinerja bank 5 Tahunan
- Pertemuan dengan pengurus bank 5
Tahunan
- Notulen hasil pertemuan 5 Tahunan
- Penetapan bank dalam SSU (termasuk CDO) 5
Tahunan
- Monitoring action plan/CDO 5 Tahunan
- Laporan perkembangan realisasi action 5
Tahunan plan bank
- Evaluasi perbaikan kinerja bank dan 5
Tahunan pencabutan status SSU/penyerahan kpd
BPPN
Bersambung….
xxvii
Tugas Pokok Jadwal
Tugas
- Surat menyurat/pembinaan 5
Fit & Proper Test berdasarkan hasil
Tahunan
11 pemeriksaan
Memberikandan pengawasan serta
rekomendasi :
menindaklanjuti hasil keputusannya
Pencantuman nama rehabilitasi nama pemilik,
pengurus dan pejabat eksekutif dan pihak
terafiliasi dlm Daftar Cegah dan daftar
orang-orang yang dilarang menjadi pemegang
saham atau pengurus bank/pengurus BPR
11.1 Fit & Proper Test
- Pembuatan matriks temuan 2 Tahunan
- Pembahasan intern DPwB2
- 2 Tahunan
Pembahasan dgn satker terkait (1) 2 Tahunan
- Notulen rapat
- Pembahasan dgn bank (1)2 Tahunan 2 Tahunan
- Notulen rapat
- 2 Tahunan
Revisi matriks setelah pembahasan 2 Tahunan
dgn bank atas dasar tanggapan/bukti
baru
- Pembahasan dgn satker terkait (2)
- Notulen rapat 2 Tahunan 2 Tahunan
- Pembahasan dgn KEP (1)
- Pembahasan dgn bank (2) 2 Tahunan 2 Tahunan
- Notulen rapat
- 2 Tahunan
Revisi matriks setelah pembahasan 2 Tahunan
dgn bank
- Pembahasan dgn satker terkait (3) 2 Tahunan
- Notulen rapat
- Pembahasan dgn KEP (2) 2 Tahunan 2 Tahunan
- Pembahasan di RDG u/ mendapat
keputusan final 2 Tahunan
- Surat pemberitahuan hasil F & P kpd
-bank 2 Tahunan
Penyampaian surat kpd pemegang 2 Tahunan
saham pengendali
- Penyampaian surat kpd yang 2 Tahunan
bersangkutan
- Penyampaian surat kpd DPIP u/2 Tahunan dicatat dlm daf.
pemantauan khusus
Bersambung….
xxviii
Tugas Pokok Jadwal Tugas
11.2 Kaji Ulang (berdasarkan keberatan ybs)
- Memo permintaan pemeriksaan ulang 5 Tahunan
kpd DPmB
- idem 13.1 5 Tahunan
13 Memberikan persetujuan/izin :
13.1 Pinjaman SOL dari pemegang saham/BI
dan perubahannnya
- Analisis kondisi keuangan dan
Tahunan
persyaratan berdasarkan ketentuan
- Surat persetujuan /penolakan
Tahunan
Bersambung….
xxix
Tugas Pokok Jadwal Tugas
13.2 Perubahan pemegang saham dan atau
jumlah modal disetor yg tidak merubah
pemegang saham pengendali
- Analisis kondisi keuangan dan
3Tahunan
persyaratan berdasarkan ketentuan
- Surat persetujuan /penolakan
3Tahunan
14 14.1 Mengevaluasi /analisis/tanggapan
laporan-laporan sbb:
1 Laporan kredit yang direstruktur Bulanan
2 Laporan Keuangan Publikasi Triwulan
(triwulan)
3 Laporan Dewan Komisaris ( Smt) Semester
4 Lap. Pokok-pokok Audit Intern. ( Semester
Smt)
5 Lap. Direktur Kepatuhan ( Smt) Semester
6 Lap. Keuangan Tahunan Tahunan
7 Lap. Tahunan Bank Umum Tahunan
8 Lap. Transaksi Derivatif Mingguan
9 Pengangkatan Pejabat Tahunan
Eksekutif/SKAI.
## Lap. Perubahan TSI 3 Tahunan
xxx
Tugas Pokok Jadwal Tugas
15 Pemeriksaan Umum Bank oleh DPmB2
1. Persiapan pemeriksaan
-
- Penyampaian informasi dlm
Pemenuhan Tahunan
pertemuan dgn tim pemeriksa
permintaan data
15.2 Pelaksanaan
DPmB2 pemeriksaan
- Pembahasan draft temuan pemeriksa
-Tahunan Tahunan
Exit meeting
Tahunan
15.3 -
Tindak lanjut LHP umum Catatan dan Surat Pembinaan serta
penyampaian LHP Tahunan
- Pertemuan dengan pengurus bank
- Tahunan
Menyiapkan bahan pertemuan dan Tahunan
notulen hasil pertemuan
- Monitoring komitmen bank Tahunan
- Pelaksanaan pengenaan sanksi /
tanggapan dr bank Tahunan
- Penyesuaian temuan pemeriksaan
dengan data TKS Tahunan
xxxi
Tugas Pokok Jadwal Tugas
16.2 Tindak lanjut Management letter
- Catatan dan Surat Pembinaan Tahunan
18 Pertemuan/konsultasi dengan
bank dlm rangka pengawasan ( inisiatif bank):
Pengurus/Pejb
- Menyiapkan bahan pertemuan Tahunan
- Pertemuan
Tahunan
- Membuat risalah hasil pertemuan dan Tahunan
tindak lanjut lainnya yang diperlukan.
xxxii
Tugas Pokok Jadwal
Tugas
21 Tindak Lanjut Laporan OSP
a. Analisis laporan likuiditas dan kredit baru di atas 10 M
memantau
Mingguan exposure resiko, manajemen dan
b. pengendalian resiko:
Mengidentifikasi dan menilai resiko,
- Bulanan Bulanan
- Triwulanan Triwulanan
- Semesteran Semesteran
- Tahunan Tahunan
c Mengadministrasikan dan mendoku - Mingguan
mentasikan secara baik laporan -
laporan tim OSP dan data pendukung
d Surat pembinaan kepada bank Bulanan
e Pertemuan dengan tim OSP 2 Mingguan
Sub. total
Bersambung….
xxxiii
Tugas Pokok Jadwal Tugas
II TUGAS LAINNYA.
xxxiv
Lampiran 5. Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Besar
Tabel A.XX: Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Besar
xxxv
- Pertemuan dengan satker terkait 3 tahunan
- Menyiapkan bahan pertemuan dengan 3 tahunan
bank
- Pertemuan dengan bank dan Konsultan 3 tahunan
MKA
- Membuat risalah pertemuan. 3 tahunan
- Memorandum rekomendasi 3 tahunan
.
xxxvi
- Evaluasi khusus kinerja bank 2 Tahunan
- Pertemuan dengan pengurus bank 2 Tahunan
- Notulen hasil pertemuan 2 Tahunan
- Penetapan bank dalam PI 2 Tahunan
- Monitoring dan laporan perkembangan realisasi 2 Tahunan
actionplan bank
- Evaluasi perbaikan kinerja bank dan 2 Tahunan
pencabutan status PI
- Surat menyurat/pembinaan 2 Tahunan
xxxvii
- Pembahasan dgn bank (2) 2 Tahunan
- Notulen rapat 2 Tahunan
- Revisi matriks setelah pembahasan 2 Tahunan
dgn bank
- Pembahasan dgn satker terkait (3) 2 Tahunan
- Notulen rapat 2 Tahunan
- Pembahasan dgn KEP (2) 2 Tahunan
- Pembahasan di RDG u/ 2 Tahunan
mendapat
- keputusan final 2 Tahunan
- Surat pemberitahuan hasil F & P kpd bank 2 Tahunan
Penyampaian surat kpd pemegang
- saham pengendali 2 Tahunan
Penyampaian surat kpd yang
- bersangkutan 2 Tahunan
Penyampaian surat kpd
DPIP u/
11.2 dicatat
Kaji Ulang dlm daf. pemantauan
(berdasarkan keberatan ybs)
- khusus
Memo permintaan pemeriksaan ulang 5 Tahunan
kpd DPmB
-
idem 13.1 5 Tahunan
xxxviii
.
xxxix
Tugas Pokok Jadwal Tugas
15 Pemeriksaan Umum Bank oleh DPmB2
15.1 Persiapan pemeriksaan
- Pemenuhan permintaan data Tahunan
DPmB2
- Penyampaian informasi dlm Tahunan
pertemuan dgn tim pemeriksa
xl
17.2 Pelaksanaan pemeriksaan
- Pembahasan draft temuan 3 Tahunan
pemeriksa
- Exit meeting 3 Tahunan
xli
perizinan operasional bank umum
konvensional, & sanksi kelambatan lapor.
- Lap. Pelaksanaan Pindah alamat Tahunan
kantor.
- Lap. Pelaksaan Perubahan Tahunan
modal
- disetor
Lap. Pelaksanaa Perubahan modal Tahunan
dasar
- Lap. Pelaksanaa Penggantian Tahunan
Pemegang saham/Pengurus bank
xlii