Anda di halaman 1dari 13

DOSEN PENGAMPU : IBU BEKTI PUTRI HARWIJAYANTI, SST., M.TR.

KEB

ANALISIS JURNAL
TENTANG KASUS
STUNTING DI
INDONESIA
PROGRAM STUDI KEBIDANAN BLORA PROGRAM DIPLOMA TIGA

POLITEKNIK KEMENKES KESEHATAN SEMARANG

TAHUN AJARAN 2021/2022


Nama Kelompok 8 :
• 1. Santi Dwi Febrianti (P1337424620045)

• 2. Handayani Pitasari (P1337424620046)

• 3. Diniah Nur (P1337424620047)

• 4. Anisa Ayu Afandi (P1337424620048)

• 5. Abdarsya Rachmalia Cahya Melati (P1337424620049)

• 6. Abrienda Diva Aurelia (P1337424620050)


ABSTRAK
Stunting merupakan manifestasi kegagalan pertumbuhan (growth
faltering) yang dimulai sejak dalam kandungan hingga anak
berusia dua tahun. Kasus stunting di provinsi Jawa Barat sendiri
dari hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2015 mencapai 31.4%
dari anak usia 0-2 tahun. Tingginya kasus stunting ini berdampak
pada munculnya gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan
anak akibat kekurangan gizi yang kronis (Bastiandy, 2018).

Penanganan pada bayi stunting belum dilakukan secara optimal.


Sebaiknya ibu memberikan asupan nutrisi pada bayi melalui
pemberian ASI ekslusif dan MP ASI, memberikan imunisasi secara
lengkap, Vit. A, Zink, obat cacing untuk penanganan bayi stunting.
Ibu yang memiliki bayi disarankan dapat menstimulasi secara
penuh untuk meningkatkan perkembangan motorik halus, kasar,
sosial dan bahasa pada bayi stunting
PEMBAHASAN
1. Penegakan Diagnosa
Berdasarkan data dari hasil penelitian terkait dengan penegakkan
diagnosa stunting didapatkan bahwa subjek 1 bernama By. D, jenis
kelamin laki-laki dan berusia 6 bulan, saat dilakukan pengukuran
menggunakan infantometer didapatkan panjang badan bayi yaitu
63 cm, setelah dilakukan perhitungan Z-score diperoleh nilai
sebesar -2,19 SD sehingga bayi D dapat dinyatakan Stunting.

Sedangkan subjek kedua bernama By. R berusia 12 bulan, saat


dilakukan pengukuran panjang badan By. R yaitu 70 cm. Setelah
dilakukan perhitungan Z-score diperoleh nilai sebesar -2,47 SD
sehingga bayi R dapat dinyatakan Stunting.
PEMBAHASAN
1. Penegakan Diagnosa
Melihat dari data tersebut dapat dikemukakan pertumbuhan tinggi
badan pada subjek 1 penelitian mengalami hambatan karena tidak
sesuai dengan umur karena memiliki Z- skor < -2 SD. Hal ini
sesuai dengan teori Almatsier, (2012) yang menyatakan bahwa
dalam penentuan perawakan pendek, dapat menggunakan beberapa
standar antara lain Z-score baku dikatakan pendek apabila Z-score
≥ -3SD s/d < -2SD.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa bayi By. D


dan By. R dalam studi kasus ini mengalami hambatan karena tidak
sesuai dengan umur karena memiliki Z-skor < -2 SD.
PEMBAHASAN
2. Faktor pranatal pada bayi stunting

a. Gizi ibu
Berdasarkan data dari hasil penelitian didapatkan ibu dari Subjek 1 bayi
stunting tidak mengalami KEK selama kehamilan, hal ini dilihat dari ukuran
LILA pada Ny. N yaitu 28 cm, kenaikan berat badan selama kehamilan sebesar
12 kg dan IMT 25.2 (normal), ibu dari bayi stunting tidak pernah mengalami
penyakit infeksi seperti diare, TBC dan pneumonia.

Data lain ditemukan bahwa kadar hemoglobin pada Subjek 1 sebesar 9.8 gr/dL
(termasuk anemia ringan). Melihat dari data tersebut keadaan status gizi pada
ibu hamil dapat menyebabkan anemia karena asupan nutrisi yang dikonsumsi
tidak mencukupi kebutuhan selama kehamilan dapat menghambat
pembentukan sel darah merah.

Hasil penelitian ini sesuai dengan Anugraheni (2012) yang menemukan bahwa
faktor risiko kejadian stunting pada balita 12-36 bulan adalah kenaikan berat
badan selama kehamilan dan kelahiran prematuritas (p=0,025; OR=10,67)
PEMBAHASAN
2. Faktor pranatal pada bayi stunting

b. Penyakit Ibu

Berdasarkan hasil anamnesis dan penelusuran rekam medis didapatkan bahwa


ibu dari bayi stunting tidak pernah mengalami penyakit infeksi seperti diare,
TBC dan pneumonia.
Melihat dari data tersebut dapat dikemukakan stunting pada bayi bukan
disebabkan karena faktor penyakit ibu selama kehamilan.

Penelitian Aridiyah (2015) menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi


terjadinya stunting pada anak balita yang berada di wilayah pedesaan dan
perkotaan adalah pendidikan ibu, pendapatan keluarga, pemberian ASI
eksklusif, umur pemberian MP-ASI, sedangkan faktor yang tidak berhubungan
adalah adanya riwayat penyakit infeksi serta faktor genetik.
PEMBAHASAN
3. Faktor pascanatal pada bayi stunting di Desa Singaparna
Wilayah Kerja Puskesmas Singaparna.
a. Asupan Nutrisi
Hasil penelitian didapatkan bahwa asupan nutrisi dilihat dari pola makan
termasuk pemberian ASI. Hasil anamnesis didapatkan bahwa Subjek 1 tidak
diberikan ASI ekslusif, karena bayi dilahirkan di rumah sakit sehingga telah
diberikan susu formulan oleh pihak rumah sakit. Melihat dari data tersebut
menunjukkan bayi stunting dapat diakibatkan faktor pascanatal berupa
kurangnya asupan nutrisi pada bayi baik melalui ASI maupun makanan
pendamping.

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa penyebab perawakan
pendek yang paling umum di seluruh dunia adalah malnutrisi. Protein sangat
essensial dalam pertumbuhan dan tidak adanya salah satu asam amino
menyebabkan retardasi pertumbuhan, kematangan skeletal dan menghambat
pubertas (Kemenkes RI, 2015).

Berdasarkan hasil anamnesa tersebut dapat disimpulkan stunting pada Subjek


1 dapat disebabkan karena tidak diberikan ASI eksklusif.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil anamnesa tersebut dapat disimpulkan stunting
pada Subjek 1 dapat disebabkan karena tidak diberikan ASI eksklusif.

b. Penyakit infeksi
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa Subjek 1
pernah mengalami penyakit demam biasa selama 7 hari dan
saat sakit dibawa ke Puskesmas, adapun mengenai
pengobatan yang dilakukan untuk menangani demam
tersebut diberikan pengobatan dari bidan yaitu penurun
demam seperti amoksilin dan parasetamol.
By. D sudah mendapat imunisasi Pentabio 1 dan Polio 2
pada usia 2 bulan dan tidak diberikan imunisasi dasar secara
lengkap sampai usia saat penelitian dilakukan, sehingga hal
tersebut dapat menyebabkan By. D mengalami lemahnya
kekebalan tubuh.

Berdasrkan uraian tersebut, peneliti dapat mengemukakan bayi yang


mengalami stunting bukan disebabkan oleh penyakit infeksi walaupun
sebelumnya bayi tersebut hanya mengalami demam biasa dan pada
pemberian imunisasi dasar tidak diberikan secara lengkap.
PEMBAHASAN
4.Komplikasi pada bayi stunting
Berdasarkan data hasil penelitian menunjukkan bahwa stunting
mengalami dampak terhadap motorik kasar, sosial dan kemandirian.
Dampak motorik kasar pada Subjek 1 adalah bayi tidak mengikuti atau
memberikan tekanan saat tangannya ditarik dari terlentang ke posisi
duduk. Menurut anallisis peneliti, perkembangan anak stunting
mengalami gangguan pada aspek motorik kasar, sosial dan kemandirian.
Hal ini dilihat dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrinning
Perkembangan (KPSP) didapatkan hasil bahwa kedua subjek memiliki
gangguan perkembangan atau tidak sesuai dengan umur nya.
Hasil penelitian perkembangan yang telah dilakukan, perkembangan
anak dapat dilihat dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrinning
Perkembangan (KPSP) didapatkan hasil bahwa seluruh anak memiliki
perkembangan yang tidak sesuai dengan umurnya baik pada aspek
motorik kasar maupun sosial kemandirian. Perkembangan balita
stunting belum sesuai dengan usianya. Sehingga perlu adanya beberapa
indikator perkembangan yang perlu diperhatikan. Misalnya dalam
perkembangan motorik kasar, sosial dan kemandirian serta bicara dan
bahasa.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti dapat mengemukakan bahwa


perkembangan anak tidak hanya melihat dari riwayat anak saat lahir,
tetapi juga dipengaruhi oleh asupan nutrisi dan stunting, dimana pada
Subjek 1 mengalami gangguan pada motorik kasar.
PEMBAHASAN
5.Penanganan pada bayi stunting di Desa Singaparna Wilayah Kerja
Puskesmas Singaparna.

Berdasarkan data dari penelitian menunjukkan penanganan pada bayi


stunting pada Subjek 1 akan diberikan ASI sampai dua tahun, namun
tidak dilakukan penanganan terhadap penyakit seperti belum diberikan
zink, vitamin A, obat cacing karena belum pada bulan pemberian Vit A
serta By. D baru berusia 6 bulan pada beberapa hari yang lalu, dan ibu
tidak mengetahui pentingnya pemberian Zink dan obat cacing.
Menurut Depkes (2014),sebenarnya stinting dapat dicegah dengan
beberapa upaya, khususnya adalah maalah gizi. Pemenuhan kebutuhan
zat gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil harus mendapatkan makanan yang
cukup gizi, suplementasi zat gizi (tablet zat besi atau Fe), dan terpantau
kesehatannya. Namun, kepatuhan ibu hamil untuk meminum tablet
tambah darah hanya 33%. Padahal mereka harus minimal
mengkonsumsi 90 tablet selama kehamilan. Kedua dengan ASI eksklusif
sampai umur 6 bulan dan dengan cara menjaga kebersihan lingkungan
setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang
cukup jumlah dan kualitasnya. Ketiga Memantau pertumbuhan balita di
posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi dini
terjadinya gangguan pertumbuhan. Keempat, meningkatkan akses
terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan
lingkungan.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang dilakukan Soedjatmiko (2013) didapatkan dalam
melakukan penanganan balita dengan gangguan pertumbuhan
poerkembangan anak yaitu memenuhi kebutuhan bio- psikosial terdiri
dari kebutuhan biomedis/’asuh’ (nutrisi, imunisasi, higiene, pengobatan,
pakaian, tempat tinggal, sanitasi lingkungan dan lain-lain) dan
kebutuhan psikososial/asih dan asah (kasih sayang, penghargaan,
komunikasi, stimulasi bicara, gerak, sosial, moral, intelegensi dan lain-
lain) sejak masa konsepsi.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa penanganan


pada bayi stinting belum diperoleh secara optimal seperti belum
diberikan zink, vitamin A dan obat cacing serta belum dilakukan
pencegahan penyakit infeksi.
KESIMPUL
AN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai
gambaran kasus pada bayi dengan stunting di Desa
Singaparna Wilayah Kerja Puskesmas Singaparna Kabupaten
Tasikmalaya Tahun 2019, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a.Gambaran penegakkan diagnosa pada bayi stunting di
Desa Singaparna Wilayah Kerja Puskesmas Singaparna yaitu
dilihat pada Subjek 1 nilai Z-skoR yaitu -2,19 SD, sedangkan
pada Subjek 2 dari hasil perhitungan koreksi usia termasuk
pada perawakan normal (tidak stunting).
b.Faktor pranatal pada bayi stunting di Desa Singaparna
Wilayah Kerja Puskesmas Singaparna pada Subjek 1
disebabkan oleh ibu mengalami anemia ringan (Hb : 9,8
gr/dL).
c.Faktor pascanatal pada bayi stunting di Desa Singaparna
Wilayah Kerja Puskesmas Singaparna pada Subjek 1 dapat
disebabkan karena tidak diberikan ASI eksklusif dan
pemberian imunisasi dasar tidak lengkap.

d.Komplikasi pada bayi stunting di Desa Singaparna


Wilayah Kerja Puskesmas Singaparna pada Subjek 1
mengalami gangguan pada motorik kasar.

e.Penanganan pada bayi stunting di Desa Singaparna


Wilayah Kerja Puskesmas Singaparna

Anda mungkin juga menyukai