hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya. Relasi semantik itu kadang-kadang kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi/ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi). Sinonimi Yaitu nama lain untuk benda atau hal yang sama, misalnya kembang, puspa, dan bunga. Menurut Verhaar “ungkapan (kata, frase, dan kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lainnya. Jadi, kesamaannya tidak mutlak. Mengapa demikian? Karena prinsip semantik bentuk yang berbeda mengandung makna yang berbeda, meskipun perbedaannya sedikit. Tikus mati ….*Tikus meninggal. Rumus matematika a = b, a = c, sudah pasti b = c tidak berlaku dalam semantik. Ban = roda, ban = ikat pinggang, tetapi roda ≠ ikat pinggang. Kalau kata bersinonim itu tidak memiliki makna yang persis sama, muncul pertanyaan: yang sama apanya? Yang sama informasinya (dan itu ekstralingual). Yang intralingual: yang sama unsur tertentu saja. Al-mutakallimu & Al-killamānī Ar-rajulu al-mutakallimu & ar-rajulu al- killamānī. Al-mutakallimu : fā’ilul-kalām Al-killamānī : kas|īrul-kalām Istifhām : annal-mustafhim t}ālibun li an yafhama (berarti tidak tahu). as`ilah : yas`al ‘an mā ya’lam wa ‘an mā lā yafham. La’bun : la’ibtu asy-syatranji (ada manfaatnya) tetapi lahwun tidak ada manfaatnya. Ketidakmungkinan pertukaran kata bersinonim disebabkan oleh: 1) Faktor waktu, misal hulubalang mengandung waktu kuno, komandan untuk waktu kini. 2) Faktor daerah, misalnya beta untuk Maluku dan saya untuk umum. 3) Faktor sosial, misalnya aku hanya untuk teman sebaya dan saya untuk umum. 4) Faktor bidang kegiatan, tasawuf untuk Islam, kebatinan untuk yang bukan Islam, dan mistik untuk semua agama. 5) Faktor nuansa makna, misalnya melihat, melirik, melotot, meninjau, mengintip. Sinonimi itu meliputi 1) Morfem (bebas) dan morfem (terikat): dia dan nya, saya dan ku. 2) Kata dengan kata: bunga dan puspa. 3) Kata dan frase/sebaliknya: meninggal dan tutup usia, tidak boleh tidak dan harus. 4) Frase dan frase: ayah ibu dan orang tua. 5) Kalimat dan kalimat: adik menendang bola dan bola ditendang adik. Yang perlu diperhatikan dalam sinonimi 1) Tidak semua kata mempunyai sinonim 2) Ada sinonimi pada bentuk dasar tetapi tidak sinonimi pada bentuk jadian, misalnya benar = betul. Kebenaran ≠ kebetulan. 3) Ada sinonimi bentuk jadian tetapi tidak sinonimi bentuk dasar, misalnya menjemur = mengeringkan, jemur ≠ kering. 4) Ada sinonimi pada makna kiasan tetapi tidak ada pada makna sebenarnya, misalnya: gelap dan mesum. Antonimi dan Oposisi ‘Nama lain untuk benda lain pula’ Menurut Verhaar, antonim : Ungkapan (kata, frase, atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya bagus dan buruk, menjual dan membeli, thankfull dan thankless, monolingual dan bilingual. Antonim bukan lawan kata. Yang berlawanan maknanya. Mati lawan makna hidup. Namun, putih bukan lawan makna hitam karena ada merah, abu-abu dll. Tidak ada membeli kalau tidak ada menjual. Jadi, seperti sinonimi antonimi pun tidak bersifat mutlak. Oposisi bisa mewakili baik untuk yang berlawanan (hidup – mati) maupun kontras (putih – hitam). 1) Oposisi mutlak : hidup – mati, gerak – diam. 2) Oposisi kutub (pertentangannya tidak mutlak tetapi gradasi) : kaya – miskin. Sifatnya sangat relatif, sukar ditentukan batasnya secara mutlak. Batasnya bisa bergeser tidak terbatas pada satu titik. Oposisi kutub ini biasanya adjektiva: besar-kecil, jauh-dekat, panjang- pendek, tinggi-rendah, terang-gelap, luas- sempit. 3) Oposisi hubungan (saling melengkapi): menjual-membeli, suami-isteri, ayah-ibu, guru- murid, atas-bawah, utara-selatan, buruh- majikan. Bisa kk: maju-mundur, belajar- mengajar, memberi-menerima, pulang-pergi. 4) Oposisi hirarkial : meter – kilometer, kuintal - ton, prajurit - opsir. 5) Oposisi majemuk : berdiri – duduk, berbaring – berjongkok - tiarap. Tidak semua kata punya oposisinya: mobil, rumput, monyet. Homonimi, Homofoni, Homografi Ungkapan yang bentuknya sama dengan ungkapan lain tetapi maknanya tidak sama. Misalnya: kata bisa bermakna ‘racun` dan ‘dapat’, kata baku bermakna ‘standard’ dan ‘saling’, kata bandar bermakna ‘pelabuhan’ dan ‘pemegang uang judi’. Kemungkinan adanya homonimi 1) Yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Bisa ‘racun ular’ (Melayu) ‘sanggup’ (jawa), bang ‘azan’ (Jw) ‘kakak` (Mly Jkt), asal ‘pangkal’ (Mly), kalau (Jkt). 1) Terjadi hasil proceed morfologi. Ibu mengukur kelapa di dapur, ayah mengukur tanah di kebun. Pada frase: cinta anak `perasaan cinta anak pada ibunya` / `perasaan cinta kepada anak dari ibunya` Pada kalimat: isteri lurah yang baru itu cantik `lurah yang baru diangkat itu isterinya cantik` / `lurah yang baru menikah itu isterinya cantik`. Homofoni = persamaan bunyi. Homograf = persamaan tulisan. Bang dan bang, sangsi dan sanksi = homofon tidak homograf. Ada yang homograf tidak homofon: sedan ‘tangis bayi’ dan ‘mobil penumpang’. Hiponimi dan Hipernimi Hiponimi :ungkapan (biasanya kata, dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap bagian dari suatu ungkapan lain, misalnya: tongkol dan ikan. Kalau relasi kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka relasi kata yang berhiponim searah. Jadi, tongkol berhiponim ikan, tetapi ikan tidak berhiponim tongkol. Relasi makna ikan dan tongkol disebut hipernimi. Jadi, kalau tongkol dan ikan itu berhiponim, maka makna ikan dan tongkol itu berhipernim. Bagaimana relasi makna tongkol dengan tengiri, bandeng dan lain sebagainya? Biasanya disebut kohiponim. Jadi, tongkol berkohiponim dengan bandeng, dll. Makhluk
Manusia Binatang
ikan kambing monyet gajah
Tongkol tengiri bandeng cikalang.
Hal ini sulit untuk kata kerja.
Polisemi Satuan bahasa (terutama kata dan frase) yang memilki makna lebih dari satu. Umpamanya kepala: 1) `bagian tubuh dari leher ke atas`, 2) `bagian penting yang biasanya di atas atau depan`, 3) `bagian sesuatu yang berbentuk bulat`, 4) `pemimpin`, 5) `jiwa` 6) `akal budi` (badannya besar tetapi kepalanya kosong`. Dengan demikian kepala menagandung 6 konsep makna. Padahal prinsip semantik setiap bentuk mempunyai makna sendiri. Pada dasarnya kepala itu memiliki komponen makna terletak di atas atau depan, merupakan bagian penting, berbentuk bulat. Dalam perkembangannya komponen makna itu berkembang menjadi makna tersendiri. Makna baru (bukan asal) itu hanya terjadi pada makna di atas leksikal, yaitu gramatikal. Ambiguitas/Ketaksaan Kegandaan makna/mendua arti yang terjadi pada satuan gramatikal (lebih tinggi dari pada kata) yang terjadi karena tafsir struktur gramatikal yang berbeda: buku sejarah baru `buku sejarah yang baru terbit` / `buku yang berisi sejarah zaman baru`. Orang malas lewat di sana (apa artinya) Ali besahabat karib dengan Badu. Dia sangat mencintai isterinya (Dia itu siapa?). Homonimi : bentuknya sama maknanya berbeda. Ambiguitas : sebuah bentuk dengan makna berbeda sebagai akibat perbedaan penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Homonimi dapat terjadi pada morfem, kata, frase, dan kalimat. Ambiguitas dapat terjadi pada satuan frase dan kalimat. Redundansi Makna yang berlebih-lebihan. Sebenarnya tidak ada redundansi dalam semantik karena Bola ditendang Ali berbeda dengan bola ditendang oleh Ali. Oleh itu menonjolkan makna pelaku. Gunakanlah kalimat yang baik: gadis itu mengenakan baju berwarna merah Gadis itu berbaju merah.