Anda di halaman 1dari 61

DIAGNOSIS KEHAMILAN

DAN STATUS KESEHATAN IBU


DAN JANIN
LAMA KEHAMILAN
Lama kehamilan yaitu 280 hari atau 40 pekan
(minggu) atau 10 bulan (lunar months). Ibu termuda
yang hamil dan melahirkan adalah Lina Medina
berumur 4 tahun 8 bulan, ibu tertua yang hamil dan
melahirkan berumur 52 tahun. Kehamilan dibagi
atas 3 triwulan) :
(a) kehamilan triwulan I antara 0-12 minggu,
(b) kehamilan triwulan II antara 12-28 minggu, dan
(c) kehamilan triwulan III antara 28-40 minggu
TANDA DAN GEJALA KEHAMILAN
(1) Tanda-tanda presumptif :
 Amenorea (tidak dapat haid)
Wanita harus mengetahui tanggal hari pertama haid terakhir (HT) supaya
dapat ditaksir umur kehamilan dan taksiran tanggal persalinan (TTP), yang
dihitung dengan menggunakan rumus dan Naegele : TTP = (hari pertama HT
+ 7) dan (bulan HT + 3)
 Mual dan muntah (nausea and vomiting)
Biasanya terjadi pada bulan-bulan pertama kehamilan hingga akhir triwulan
pertama. Karena sering terjadi pada pagi hari, disebut morning sickness (sakit
pagi). Bila mual dan muntah terlalu sering disebut hiperemesis.
 Mengidam (ingin makanan khusus)
Ibu hamil sering meminta makanan atau minuman tertentu terutama pada
bulan-bulan triwulan pertama.
 Tidak tahan suatu bau-bauan
 Pingsan (pangsan)
Bila berada pada tempat-tempat ramai yang sesak dan padat bisa pingsan.
 Tidak ada selera makan (anoreksia)
Hanya berlangsung pada triwulan pertama kehamilan, kemudian nafsu makan
timbul kembali.
 Lelah (fatuque)
 Payudara membesar, tegang, dan sedikit nyeri, disebabkan pengaruh
estrogen dan progesteron yang merangsang duktus dan alveoli
payudara. Kelenjar Montgomery terlihat membesar.
 Miksi sering, karena kandung kemih tertekan oleh rahim yang
membesar. Gejala ini akan hilang pada triwulan kedua kehamilan. Pada
akhir kehamilan, gejala ini kembali, karena kandung kemih ditekan oleh
kepala janin.
 Konstipasi/obstipasi karena tonus otot-otot usus menurun oleh pengaruh
hormon steroid.
 Pigmentasi kulit oleh pengaruh hormon kortikosteroid plasenta, dijumpai di
muka (chloasma gravidarum), areola payudara, leher, dan dinding perut (linea
nigra = grisea).
 Epulis : hipertrofi dari papil gusi
 Pemekaran vena-vena (varices) dapat terjadi pada kaki, betis, dan vulva
biasanya dijumpai pada triwulan akhir.
(2) Tanda-tanda kemungkinan hamil :
 Perut membesar
 Uterus membesar : terjadi perubahan dalam bentuk, besar, dan konsistensi
dari rahim
 Tanda Hegar
 Tanda Chadwick
 Tanda Piscaseck
 Kontraksi-kontraksi kecil uterus bila dirangsang = Braxton-Hicks
 Teraba ballotement
 Reaksi kehamilan positif
(3) Tanda pasti (tanda positif)
 Gerakan janin yang dapat dilihat atau dirasa atau diraba, juga bagian-bagian
janin.
 Denyut jantung janin :
1. didengar dengan stetoskop-monoral Laennec
2. dicatat dan didengar dengan alat Doppler
3. dicatat dengan feto-elektro kardiogram
4. Dilihat pada ultrasonografi
 Terlihat tulang-tulang janin dalam foto rontgen.
Proses Kehamilan
Kehamilan berkembang sebagai kelanjutan
pertemuan antara sel telur dan sperma pada dinding
dalam rahim ibu. Kehamilan biasanya berlangsung
antara 38 sampai 42 minggu. Perut akan membesar
dan berat badan akan bertambah dari waktu
kewaktu mengikuti bertumbuhnya janin dalam rahim
ibu.
Gejala Kehamilan
 Terlambat haid
 Enek dan muntah
 Payudara tegang dan membesar
 Tidak ada nafsu makan
 Sering buang air kecil
Tanda-tanda Kehamilan

 Janin teraba dan dikenal bagian tertentu


 Uterus teraba membesar
 Gerakan janin (16-18 mgg)
 Denyut jantung janin (18-20 mgg)
 Pigmentasi kulit
Taksiran Usia Kehamilan
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk menentukan
usia kehamilan antara lain dengan menghitung hari
pertama haid terakhir, menilai tinggi fundus, atau
dapat juga dengan menilai besar uterus.
DIAGNOSIS BANDING KEHAMILAN
Suatu kehamilan kadang kala dibedakan dengan keadaan atau penyakit
yang dalam pemeriksaan meragukan :
1. Hamil palsu (pseudocyesis = kahamilan spuria) : Gejala dapat sama
dengan kehamilan, seperti amenorea, perut membesar, mual, muntah, air
susu keluar, dan bahkan wanita ini merasakan gerakan janin. Namun
pada pemeriksaan uterus tidak membesar, tanda-tanda kehamilan lain
dan reaksi kehamilan negatif.
2. Mioma uteri : Perut dan rahim membesar, namun pada perabaan, rahim
terasa padat, kadang kala berbenjol-benjol. Tanda kehamilan negatif dan
tidak dijumpai tanda-tanda kehamilan lainnya.
3. Kista ovarii : Perut membesar bahkan makin bertambah besar, namun
pada pemeriksaan dalam, rahim teraba sebesar biasa. Reaksi kehamilan
negatif, tanda-tanda kehamilan lain negatif.
4. Kandung kemih penuh dan terjadi retensi urin : Pada pemasangan kateter
keluar banyak air kencing.
5. Hematometra : Uterus membesar karena terisi darah yang disebabkan
himen inperforata, stenosis vagina atau serviks.
Pada Kehamilan
Ada dua cara yaitu :
1) Reaksi biologik
 Reaksi Galli Mainini : dipakai kodok jantan Bufo melanostikus.
Disuntikkan 5 cc air kencing ibu hamil ke bawah kulit perut kodok. Bila
positif akan dijumpai sperma dalam air kencing kodok selama tiga jam.
 Reaksi Friedman : dipakai kelinci betina yang telah dua minggu
diasingkan dari jantan. Disuntikkan 5 cc air kencing ibu hamil intravena
pada vena telinga kelinci selam dua hari berturut-turut. Setelah 24 jam
dilakukan laparotomi, diambil ovariumnya dan diperiksa. Bila da korpus
rubra dan lutea disebut positif.
 Reaksi Aschiem Zondek : dipakai 5 tikus betina imatur. Hasilnya baru
diperoleh setelah 5 hari. Sekarang tidak dipakai lagi.
2) Reaksi imunologik
Perkiraan Persalinan
Teknik menaksir usia kehamilan dengan cara kalender; tentukan
waktu hari pertama haid terakhir dan kurangi tiga bulan dan
kemudian ditambah 7 (tujuh) hari. Perkiraan persalinan adalah
tanggal tersebut pada tahun berikutnya. Contoh : hari pertama haid
terakhir adalah tanggal 17 April 2001, maka prakiraan persalinan
adalah : 24 Januari 2002.

Status Kesehatan Ibu dan Janin


Penentuan status kesehatan ibu dan janin dinilai berdasarkan hasil
anemnesis dan pemeriksaan fisik ibu. Kenali masalah seperti sikap
terhadap kehamilan, keluhan umum dan tanda-tanda adanya
komplikasi
Keluhan Umum Dalam Kehamilan

Sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi pada


anatomi dan fungsi serta psikologi ibu maka didiskusikan
dengan ibu berbagai keluhan umum dalam kehamilan antara
lain :
 Keluhan pusing, dan lemas,
 Rasa sesak dan nafas pendek,
 Mau muntah (enek),
 Muntah pada pagi hari,
 Kram pada tungkai,
 Payudara kencang dan puting susu perih,
 Keluhan sulit buang air besar
Tanda-tanda Komplikasi Kehamilan

Kejadian komplikasi sering kali tidak dapat diduga, namun dapat


dikenali dengan keluhan atau tanda-tanda yang terdapat pada
ibu. Komplikasi yang membutuh tindakan rujukan dan dapat
membahayakan keselamatan Ibu akan terjadi pada 15% dari
kehamilan. Keluhan dan tanda-tanda komplikasi adalah sebagai
berikut :
 Sakit kepala yang berlebih,
 Muka dan tangan bengkak,
 Nyeri perut yang tajam atau berlebih,
 Perdarahan jalan lahir,
 Mual dan muntah berkepanjangan,
 Menggigil dan deman.
Penyebab Utama Kematian Ibu
• Perdarahan
Perdarahan tidak hanya dapat terjadi pada usia kehamilan tua tetapi juga
pada usia kehamilan dini. Perdarahan pada kehamilan dini dapat berakhir
dengan keguguran, yang berbahaya bagi keselamatan ibu. Demikian juga
perdarahan pada kehamilan usia tua dapat membahayakan keselamatan
ibu dan kelangsungan hidup janin. Setiap perdarahan pada kehamilan
dapat terjadi secara mendadak yang dapat mengancam keselamatan ibu
dan janin. Perlu rujukan dan pertolongan segera ke pelayanan kesehatan.
• Pre-eklampsia/Eklampsia
Keluhan adanya bengkak pada muka dan tangan disertai dengan
peningkatan tekanan darah harus disikapi dengan sangat hati-hati.
Bengkak pada muka dan tangan biasanya terjadi pada kehamilan
pertama pada usia kehamilan awal triwulan ketiga (sekitar minggu ke 28)
Penyebab Utama Kematian Ibu

• Infeksi/sepsis
Infeksi/sepsis dapat terjadi sebagai akibat lanjutan
perdarahan yang terjadi pada saat keguguran atau
kebersihan yang tidak baik saat memberikan pelayanan pada
waktu kehamilan, persalinan dan masanifas. Infeksi sering
terjadi pada masanifas.
Pemberian antibiotik yang sesuai dan tepat, merupakan
upaya pengobatan yang terbaik.
• Partus macet
Diagnosis partus macet sering kali terdeteksi sesaat atau saat
persalinan terjai. Kejadian partus macet harus dirujuk segera
dan ditolong persalinannya di rumah sakit.
KOMPLIKASI KEHAMILAN & SARAN TINDAKAN

Perdarahan Jalan Lahir


 Jelaskan dan bantu keluarga Ibu tentang perlunya pemeriksaan rujukan ke
sarana pelayanan kesehatan.
 Kurangi beban kerja dan banyak istirahat.
Bengkak Pada Muka dan Tangan
 Jelaskan dan bantu keluarga Ibu tentang perlunya pemeriksaan rujukan ke
sarana pelayanan kesehatan.
 Jelaskan pada Ibu dan suami bahwa Ibu harus istirahat banyak.
Kunjungan Pertama Usia Kehamilan 33-36 Minggu, Keadaan Janin
Melintang
 Sarankan untuk bersalin di sarana pelayanan kesehatan
 Jelaskan pada ibu, suami serta keluarga pentingnya persalinan di sarana
pelayanan kesehatan. Bila mungkin informasikan persiapan yang
diperlukan
PERENCANAAN PERSALINAN DAN INDIKASI
Tempat Indikasi
Rumah Sakit 1. Persalinan dengan riwayat seksio caesarean
2. Usia ibu kurang dari 14 tahun
3. Letak janin melintang
4. Kehamilan kembar
5. Riwayat komplikasi pada kehamilan atau
persalinan
6. Keinginan untuk tubektomi (sterilisasi)

Fasilitas Kesehatan 1. Persalinan pertama


2. Riwayat bayi lahir mati
3. Riwayat multi para
4. Riwayat persalinan dengan perdarahan, kejang
atau bersalin dengan ekstraksi forsep/vacuum.
Rumah dengan Bantuan Tidak memenuhi salah satu kriteria di atas.
Bidan Terlatih
Kebutuhan Gizi Ibu
Pada ibu hamil kebutuhan zat gizi meningkat untuk menjamin pertumbuhan
janin dalam keadaan baik. Pemenuhan zat gizi ini penting mengingat lebih
dari separuh wanita usia reproduksi berada dalam status gizi kurang.
Di Indonesia sampai dengan saat ini masih menghadapi empat masalah
kekurangan gizi yaitu ; Anemia defisiensi Fe, defisiensi Vit A, defisiensi
Yodium dan defisiensi kalori, energi dan protein.
Selama hamil, ibu membutuhkan zat gizi kalori, energi dan protein yang
seimbang.Penyebab kurang gizi pada ibu antara lain adanya penilaian yang
berbeda antara lelaki dan perempuan dalam pandangan masyarakat yang
berimbas pada penyediaan makanan yang berbeda. Ditemukan bahwa
makanan lebih diutamakan kepada lelaki dibanding dengan perempuan.
Apabila ibu kekurangan gizi, maka risiko untuk mendapatkan bayi dengan
berat badan lahir rendah akan lebih besar yang tentunya rentan terhadap
kesakitan dan kematian.
Ada tiga faktor yang memengaruhi ketersediaan makanan yang dapat
menempatkan ibu menjadi malnutrisi, yaitu ;
1) Ketidak mampuan (keterbatasan) ekonomi. Pemanfaatan tanaman
pekarangan akan dapat membantu kebutuhan gizi;
2) Penyebaran makanan dalam keluarga yang tidak merata dimana kepala
keluarga (suami) dan anak lelaki mendapatkan keutamaan. Diperlukan
komunikasi dan konseling kepada ibu dan keluarga tentang pentingnya
memenuhi kebutuhan gizi ibu;
3) Kepercayaan atau tradisi. Sebagian ibu di beberapa daerah membatasi
atau tidak makan makanan tertentu selama hamil karena khawatir mual
atau muntah. Bahkan ada mengurangi porsi makanan dan berharap
mendapatkan bayi yang tidak terlalu besar untuk memudahkan persalinan.
Konseling pada ibu, suami dan keluarga tentang perlunya pemenuhan
kebutuhan gizi seimbang pada ibu/suami dan makan lebih banyak berbagai
jenis makanan seperti daging, ikan, kacang-kacangan, sayuran dan susu
sangat dianjurkan
Beban Kerja Ibu
Ibu dalam struktur keluarga mempunyai fungsi ganda
yaitu bekerja di rumah mengatur dan menyiapkan
makanan buat keluarga, dan juga membantu
ekonomi keluarga pada aerah tertentu. Dalam
keadaan hamil diperlukan pengaturan kerja karena
ibu membutuhkan tambahan istirahat yang cukup
(tidur 8 jam perhari pada malam hari). Berat bayi
lahir lebih rendah pada ibu yang bekerja berat
dibanding dengan yang bekerja dengan kegiatan
rendah.
ADAPTASI TERHADAP KEHAMILAN
Ada banyak faktor yang berperan dalam meningkatkan kemampuan wanita
dalam beradaptasi terhadap kehamilan dan peranannya sebagai ibu
misalnya, lingkungan sosial, dukungan sosial, tipe perawatan profesional dan
dukungan yang ia terima, juga karakteristik personalnya, serta proses
psikologis yang disadari dan tidak disadari.
Kehamilan : Krisis atau Peristiwa
Kehidupan Normal?
Kehamilan secara tradisional dipandang sebagai krisis emosi oleh beberapa
ahli psikologi. Hal ini sering kali berhubungan dengan teori Erikson tentang
krisis perkembangan. Erikson (1963) menyatakan bahwa semua manusia
melalui sejumlah tahap kehidupan atau peristiwa kehidupan. Setiap peristiwa
tersebut menandai suatu transisi di sepanjang rentang kehidupan.
Kesejahteraan Psikologis
Kesehatan psikologis dapat dijelaskan sebagai keadaan tanpa ansietas,
depresi, atau gejala seperti yang dialami individu akibat berbagai bentuk gangguan
psikologis (Argyle, 1992). Namun, kebanyakan individu tidak dapat menghindari
beberapa derajat ansietas atau stres pada saat-saat tertentu. Pada kenyataannya,
stres dapat timbul sebagai suatu reaksi normal terhadap kondisi-kondisi merugikan
yang dialami setiap individu pada interval-interval sepanjang waktu kehidupan.
Kesejahteraan Psikologgis
Kesehatan psikologis dapat dijelaskan sebagai keadaan tanpa ansietas,
depresi, atau gejala seperti yang dialami individu akibat berbagai bentuk
gangguan psikologis (Argyle, 1992). Namun, kebanyakan individu tidak dapat
menghindari beberapa derajat ansietas atau stres pada saat tertentu. Pada
kenyataannya, stres dapat timbul sebagai suatu reaksi normal terhadap
kondisi-kondisi merugikan yang dialami setiap individu pada interval-interval
sepanjang waktu kehidupan.
Perilaku Koping
Rasa khawatir dan ansietas dalam kehamilan tampaknya relatif umum, dan
yang biasanya membuat wanita hamil sering kali merasa cemas adalah
kekhawatiran yang realitas. Pada kenyataannya, ansietas dalam tingkat
tertentu dapat berperan sebagai faktor motivasi dalam mempersiapkan peran
menjadi orang tua. Niven (1992) berpendapat bahwa hal ini merupakan
ansietas antisipasi dan mengidentifikasi bagaimana harapan-harapan yang realistis
tentang persalinan, misalnya, dapat menurunkan tingkat persepsi nyeri pada
beberapa wanita.
Saat ansietas dan distres meningkat, individu mengadopsi perilaku
atau teknik tertentu sebagai koping terhadap peristiwa tersebut.
Pearlin dan Schooler menyatakan bahwa koping merupakan “segala
sesuatu yang dilakukan individu agar tidak disakiti oleh ketegangan
hidup” (Pearlin dan Schooler, 1978, hlm.2).
Bidan menyadari bahwa wanita mampu merencanakan dan
mempersiapkan diri untuk menghadapi peristiwa selama kehamilan
yang umumnya menyebabkan ansietas dan stres, dan dengan
demikian mampumelaksanakan koping secara lebih efektif. Dukungan
antenatal dini (selama kelas kehamilan dan persiapan melahirkan)
dan pemberian informasi yang adekuat adalah cara untuk membantu
wanita melakukan perencanaan dan persiapan tersebut.
Beberapa Faktor yang memengaruhi Respons Emosional
terhadap Kehamilan
 Direncanakan atau Tidak Direncanakan ?
Ada banyak kemungkinan penyebab meningkatnya ansietas, banyak di antaranya dapat
dihilangkan melalui asuhan kebidanan yang efektif. Ansietas yang terkait dengan kehamilan
itu sendiri dapat memburuk, terutama jika kehamilan tidak direncanakan. Walaupun
kehamilan yang tidak direncanakan mula-mula menyebabkan peningkatan stres, penelitian
mengindikasikan bahwa stres akan berkurang seiring perjalanan waktu. Najman et al. (1991)
melakukan penelitian prospektif yang relatif luas dan menemukan bahwa depresi mood
dalam masa kehamilan menghilang dalam periode enam bulan setelah melahirkan.
Walaupun kehamilan yang tidak direncanakan dan kehamilan yang tidak diinginkan dapat
dibedakan, pada kebanyakan kasus tampaknya terdapat sedikit perbedaan dalam emosi
jangka panjang yang dihasilkan. Sebagian besar wanita pada akhirnya mampu
menyesuaikan diri dengan bayinya dan mengalami sedikit gangguan psikologis. Namun,
mereka mungkin membutuhkan lebih banyak dukungan dan dorongan supaya transisi
berlangsung secara efektif. Namun, masalah-masalah potensial yang terjadi selama
peningkatan ansietas dan stres, dan kemungkinan efek “kumulatif” juga harus
dipertimbangkan. Efek langsung stres pada hubungan keluarga dan pernikahan dapat
menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang sangat bermakna. Misalnya, telah
ditunjukkan bahwa kebahagiaan pernikahan mencapai puncak periode terendah pada saat
kelahiran anak (Argyle, 1992, hlm. 62). Walaupun informasi yang mengidentifikasi proporsi
pernikahan yang rusak akibat kelahiran anak belum ada, sangat baik untuk
mempertimbangkan bahwa pada tahun 1990 saja terdapat 106.000 perceraian keluarga
yang memiliki satu atau lebih anak berusia di bawah 16 tahun (Central Statistics Office,
1994). Walaupun tidak mungkin menghubungkan perpecahan pernikahan dengan kelahiran
anak dari statistik ini, namun tetap diusulkan untuk mengadakan penyelidikan lebih lanjut
yang memang dibutuhkan.
Banyak wanita hamil menyadari kenyataan adanya bayi, terutama saat pertama
kali gerakan janin dirasakan. Wolkind dan Zajicek (1981) menjelaskan bahwa
beberapa wanita mengadosi sikap yang lebih positif terhadap kehamilan mereka
pada saat ini. Oleh karena itu, asuhan antenatal yang memberi kesempatan pada
wanita untuk mengenal bayinya sebelum lahir dapat membantu meminimalkan
distres. Pada pemeriksaan antenatal, banyak wanita lebih memilih untuk
mendengarkan denyut jantung janin dengan menggunakan “doppler” Sonicaid
daripada dengan stetoskop Pinard. Situasi ketika menggunakan Sonicaid untuk
mendengar denyut jantung janin merupakan situasi yang tepat, memungkinkan ibu
untuk ikut mendengar denyut jantung bayinya. Pemeriksaan USG memberi
kesempatan pada ibu untuk memvisualisasi bayinya. Oleh karena itu, teknik
pemindaian simpatis dapat digunakan untuk membantu wanita menyesuaikan diri
secara positif terhadap kehamilannya dan, selain itu, dapat membantu ayah lebih
siap beradaptasi terhadap peran sebagai orang tua dalam periode pascanatal
awal, sekali lagi saat bayi sudah lahir. Oleh karena itu, mungkin saja ayah dapat
merasa lebih positif terhadap perkembangan kehamilan ketika bayi
divisualisasikan melalui USG. Sebagian besar bidan mereka bergerak atau
jantungnya berdenyut, dan bahkan mungkin mengisap ibu jarinya di dalam uterus.
Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa USG rutin harus
digunakan dengan hati-hati (Laurence Beech dan Robinson, 1993), yang
menyatakan bahwa dibutuhkan lebih banyak penelitian dibidang ini
karena konsekuensi jangka panjang USG pada janin masih belum pasti.
Dalam konteks ini, terdapat kebutuhan untuk meneliti konsekuensi
psikologis yang dialami wanita yang menjalani USG. Walaupun USG
terbukti mengurangi ansietas (Reaing dan Cox, 1982), Statham et al.
Mengidentifikasi pengalaman salah seorang wanita yang tidak bisa
melihat tungkai bayinya pada USG, “...gambaran USG tidak menunjukkan
tungkai bayiku dan aku khawatir bayiku cacat” (Statham et al. 1992, hlm.
60). Distres yang seharusnya tidak perlu dirasakan pada wanita ini
menggarisbawahi suatu aspek bahwa semua wanita yang menjalani
pemindaian ketika hamil harus diwaspadai. Suatu pendekatan sensitif
disertai penjelasan dan informasi adekuat, mengurangi kemungkinan
terjadinya peristiwa tersebut dan juga memberi kesempatan kepada
wanita dan pasangannya untuk mengajukan pertanyaan sehingga mereka
tidak dibiarkan mengalami distres emosional yang besar akibat
kesalahpahaman.
 Efek Beberapa Faktor Risiko Obstetri
Faktor lain yang terkait dengan kehamilan cenderung meningkatkan
ansietas yang dapat dipahami meliputi pengalaman yang terkait dengan
komplikasi kehamilan, seperti hipertensi akibat kehamilan, kehamilan
multipel, hemoragi antepartum, atau kondisi medis yang mempredisposisi
komplikasi, seperti diabetes. Spirito et al. (1992), misalnya, mempelajari
stabilitas status mood pada wanita penderita diabetes dalam masa
kehamilan. Penelitian ini mengindikasikan bahwa wanita penderita diabetes
lebh cemas daripada wanita bukan penderita diabetes dan terdapat
kecenderungan pada wanita diabetes untuk merasa lebih tertekan.
Kekhawatiran dan ansietas akibat kondisi medis yang dialami, seperti
diabetes, epilepsi atau asma, sering kali berfokus pada masalah apakah
medikasi dapat memengaruhi bayi. Combes dan Schonveld melaporkan
bahwa wanita yang mengalami kondisi seperti asma, khawatir apakah
mereka dapat dibantu oleh obat-obatan saat dalam persalinan dan efek
pengobatan yang mungkin timbul selama masa kehamilan (Combes dan
Schonveld, 1992, hlm.13).
Tinjauan ulang dan survey khusus ini juga menekankan bahwa banyak
wanita akan menyambut baik terhadap lebih banyaknya informasi dan
nasihat serta dukungan yang diberikan pada mereka, tetapi mereka tidak
tahu pasti dimana mereka dapat memperoleh bantuan atau mereka tidak
merasa percaya diri untuk meminta bantuan.
Walaupun tampaknya hanya ada sedikit hasil penelitian tentang
konsekuensi emosional akibat komplikasi kehamilan, terdapat sedikit
keraguan bahwa kunjungan lebih sering ke Dokter Umum dan konsultan
rumah sakit, intervensi yang mungkin dilakukan selama masa kehamilan,
dan kemungkinan hospitalisasi cenderung membuat wanita dan
keluarganya mengalami distres dan gangguan. Layanan maternitas
terpusat sering kali bermakna bahwa wanita harus melalui perjalanan
yang panjang secara teratur untuk memperoleh perawatan maternitas.
Implementasi kebijakan Changing Childbirth (Departement of Health,
1993), ditujukan untuk menurunkan distres praktis, emosional, dan sosial
dengan mengurangi jumlah kunjungan ke rumah sakit dan transfer
perawatan ke klinik komunitas, akan hampir pasti membantu
meminimalkan stres dan rasa takut:
Asuhan antenatal harus diberikan untuk memaksimalkan penggunaan
sumber-sumber. Asuhan ini juga harus memastikan bahwa wanita dan
pasangannya merasa didukung dan diberi, informasi sepenuhnya selama
masa kehamilan, dan dipersiapkan untuk menyambut kelahiran dan
perawatan bayinya.
(Department of Health, 1993, hlm. 22)

 Ansietas dan Usia


Spirito et al. (1992) juga menemukan bahwa wanita yang lebih muda dan
wanita yang tidak menikah lebih cenderung berisiko mengalami
peningkatan distres emosional. Sulit mengidentifikasi sumber ansietas
untuk kelompok wanita ini karena ada banyak faktor potensial lain yang
memengaruhi status emosional mereka. Beberapa unsur yang
diidentifikasi memiliki berbagai efek tentang bagaimana cara wanita
menyesuaikan diri terhadap kehamilan ialah isu tingkat pendidikan dan
pekerjaan, keamanan finansial, tingkat pendukung sosial, dan faktor
sosial lainnya, serta tipe perawatan maternitas yang diterima.
Oleh karena itu, kehamilan remaja umumnya terkait dengan dampak
psikologis yang merugikan akibat kemungkinan efek jangka panjang pada
pendidikan dan kariere masa depan, implikasi finansial tentang perawatan
anak, kurang pengetahuan tentang mengasuh anak, dan pergumulan
psikologis saat ia sedang berada dalam tahap pembentukan identitas diri.
Terdapat bukti bahwa angka kehamilan meningkat di antara para remaja
kelas sosioekonomi rendah, yang sering kali dikaitkan dengan buruknya
kehadiran di sekolah sebelum mereka hamil (Ineichen dan Hudson,
1994). Kesempatan untuk ibu yang masih sekolah untuk melanjutkan
pendidikan mereka tampak agak tak menentu selama bertahun-tahun,
terlepas dari persyaratan undang-undang yang berlaku bahwa anak-anak
harus melanjutkan sekolah sampai usia 16 tahun. Walaupun ada banyak
ibu remaja yang beradaptasi dengan baik terhadap perannya sebagai ibu,
kelompok ini sering kali membutuhkan dukungan praktis dan psikologis
untuk mencegah kerugian yang terus menerus terjadi paa diri mereka,
dan kemungkinan, pada bayinya. Hudson dan Ineichen (1991)
menemukan bahwa 46% kelompok sampel yang terdiri dari 102 remaja
hamil tidak merencanakan kehamilannya ataupun tidak merasa gembira
dengan kehamilannya. Namun, hasil penelitian Phoenix (1991)
menyatakan bahwa wanita muda berusia antara 16 sampai 19 tahun
merasa puas dengan peran mereka sebagai ibu dan yakin bahwa mereka
mampu melaksanakan koping dengan baik. Bagaimanapun, wanita muda
dalam kelompok khusus ini mendapat dukungan yang adekuat dari
keluarganya.
Di sisi lain spektrum usia subur, terdapat persepsi umum yang setara
bahwa wanita yang lebih dewasa dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang memengaruhi kemampuannya untuk beradaptasi dengan baik
terhadap kehamilan. Proporsi wanita yang pertama kali hamil pada
usia 35 tahun dan lebih dari 35 tahun telah meningkat secara teratur
(Registrar General, 1994). Risiko abnormalitas kongenital janin, seperti
sindrom Down, diketahui meningkat pada kelompok usia ini.
Kemungkinan terdapat faktor subfertilitas, jika wanita telah berupaya
untuk dapat mengandung selama kurun waktu tertentu. Dengan
demikian, Windridge dan Berryman (1996) berpendapat bahwa para
wanita ini memiliki kebutuhan lebih besar untuk ditawari tes penapisan
antenatal yang “sifat dan kualitasnya berbeda” dari tes yang
ditawarkan pada kelompok wanita berusia kurang dari 35 tahun.
Terdapat juga bukti bahwa wanita berusia 35 tahun lebih cenderung
ditawari melahirkan dengan cara seksio sesaria, ini menunjukkan
bahwa perhatian profesional asuhan kesehatan telah meningkat.
Dengan demikian, penatalaksanaan tes penapisan antenatal, saran
yang diberikan dan sikap profesional asuhan kesehatan memengaruhi
potensial dampak emosional pada kelompok wanita ini.
Penggunaan keterampilan interaktif yang efektif dan penggunaan bahasa
yang sesuai secara hati-hati saat menawarkan tes sangatlah penting.
Hindari penggunaan frase, seperti “jangan khawatir” atau “kesempatan
untuk memperoleh hasil yang positif sangat rendah”, terutama jika wanita
tersebut pada akhirnya adalah individu yang didiagnosis positif
mengandung janin yang abnormal.
Leicester Motherhood Project (Windridge dan Berryman, 1996)
mempelajari pengalaman wanita berusia lebih dari 35 tahun yang
melahirkan dan membandingkannya dengan pengalaman wanita yang
berada dalam rentang usia 20-30 tahun. Penelitian ini menggunakan
kuesioner standar untuk mengukur penyesuaian dan sikap maternal
(MAMA, Kumar et al. 1984), yang menggabungkan lima subskala :
 Menggali aspek-aspek citra tubuh
 Gejala somatik
 Hubungan perkawinan
 Sikap terhadap seks
 Sikap terhadap kehamilan
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa wanita berusia
lebih dari 35 tahun melaporkan lebih sedikit gejala somatik
dan mempunyai persepsi yang lebih positif terhadap tubuh
mereka daripada wanita yang berusia lebih muda paa
kehamilan tahap lanjut. Namun, terdapat beberapa pendapat
bahwa wanita dalam kelompok usia yang lebih tua merasa
agak kurang positif berkenaan dengan hubungan pernikahan
mereka dan sikap mereka terhadap seks dalam satu tahun
setelah melahirkan bayi. Oleh karena itu, penelitian ini
mengidentifikasi suatu aspek penyesuaian terhadap
kehamilan. Untuk penyesuaian tersebut, wanita mungkin
perlu lebih banyak bantuan dan dukungan yang membangun
dari yang disadari sebelumnya oleh profesional kesehatan.
Namun sekali lagi, kemungkinan efek kelahiran anak dalam
hubungan pernikahan telah dikenali.
 Penggunaan dan Penyalahgunaan Zat
Ada sedikit keraguan bahwa merokok, penyalahgunaan
alkohol dan obat-obatan berdampak negatif pada kesehatan,
begitu juga dengan komponen yang bersifat adiktif. Wanita
yang merokok, atau yang mengalami ketergantungan alkohol
atau ketergantungan obat dalam masa kehamilan, dapat
mengalami peningkatan ansietas tentang bayi yang sedang
berkembang. Wanita hamil itu sendiri hampir pasti menyadari
masalah yang mungkin muncul dan dapat merasa sangat
bersalah serta mengalami pergolakan emosional selama
kehamilan, yang mungkin mencegahnya mendapatkan asuhan
antenatal, sering kali dikecam oleh profesional kesehatan.
Selain itu, wanita hamil yang tergantung pada obat-obatan
atau alkohol mungkin merasa takut akan kemungkinan
intervensi yang dilakukan lembaga, seperti pelayanan sosial,
mengintervensi masalahnya dan kemungkinan bayi mereka
harus dirawat, yang bahkan pada gilirannya membuat mereka
mengalami lebih banyak tekanan emosi.
Stereotip populer tentang wanita yang tergantung pada alkohol
atau obat-obatan adalah individu yang tidak bertanggung jawab,
tuna wisma, membiayai hidup dengan melakukan tindak kriminal
atau terlibat dalam prostitusi sering kali jauh dari kebenaran.
Misalnya, pada waktu-waktu terakhir ini banyak individu,
terutama wanita, menjadi tergantung pada obat-obatan, seperti
benzodiazepin, yang sering kali diprogramkan oleh dokter umum
untuk mengatasi ansietas.
Sikap negatif yang diperlihatkan oleh profesional kesehatan
terhadap para wanita ini dapat mencegah mereka untuk mencari
bantuan profesional pada saat mereka sangat memerlukannya.
Ada baiknya kita mempertimbangkan pendapat yang
mengatakan bahwa hanya sebagian kecil pengguna obatobatan
yang benar-benar diidentifikasi mencari bantuan layanan
kesehatan (Institute for the Study of Drug Depedency, 1992).
Saat ini banyak area memberi layanan dukungan yang sangat
khusus untuk para wanita hamil yang mengalami
ketergantungan obat atau alkohol. Informasi dapat diperoleh
melalui Institute for the Study of Drug Dependency.
 Efek Psikologis Kehamilan – Suatu Penjelasan Psikoanalitik
Raphael-Leff (1991) mengidentifikasi tiga “fase maturasi” selama
masa kehamilan, yang dipengaruhi oleh pengalaman individual wanita
pada suatu waktu, yang berturut-turut sering berhubungan dengan
proses fisik dan perubahan tubuh. Sebagai seorang psikoanalis yang
memiliki ketertarikan khusus dalam psikologi masa usia subur,
Raphael-Leff telah menggali proses psikologis wanita dalam masa
kehamilan, baik yang disadari maupun tidak. Ia membedakan tiga fase
psikologis,yang sepadan pada setiap trimester kehamilan. Fase
pertama terkait dengan trimester pertama dan berakhir saat gerakan
janin pertama kali dirasakan. Fase kedua berakhir dan fase ketiga
dimulai saat wanita menjadi sangat asyik dengan persalinan yang
menjelang (Raphael-Leff, 1991, hlm.61)
Raphael-Leff menguraikan beberapa pengalaman psikologis umum
yang terjadi pada setiap fase. Dalam tradisi psikoanalitik yang
sebenarnya, penekanannya adalah pada proses psikologis yang tidak
disadari yang dialami wanita dalam kehamilan, seperti fantasi, konflik
dan parapraksis yang tidak disadari (umumnya dikenal sebagai “slip
Freudian”, yaitu sering lupa, melakukan kesalahan, salah bicara, dan
kehilangan barang-barang). Kejadian-kejadian tersebut sering kali
dikaitkan dengan proses fisiologis karena terjadi perubahan metabolik
dan hormonal.
Banyak wanita sadar bahwa dirinya kehilangan barang-
barang, salah menempatkan barang, dan mengalami
perubahan mood, terutama pada masa awal kehamilan dan
menyatakan bahwa hal-hal tersebut terjadi akibat
“perubahan hormon”. Raphael-Leff menyimpulkan bahwa
peningkatan kesadaran dlam fase ketiga kehamilan pada
gilirannya dapat membuat beberapa wanita “percaya diri
dengan keahlian mereka, pengetahuan mereka yang dalam
tentang kehamilan ini”. Hal ini sesuai dengan pengakuan
banyak profesional perawatan-kesehatan yang menerima
bahwa wanita adalah penilai terbaik yang mengetahui apa
yang terjadi pada tubuh mereka (Raphael-Leff, 1991, hlm.
77). Bagaimanapun, sebagaimana pernyataannya,
beberapa profesional pernah merasa enggan meyakini
bahwa banyak wanita mampu mengenali perubahan yang
samar, yang menyadarkan mereka tentang masalah yang
mungkin terjadi, misalnya, perubahan pola gerakan atau
posisi janin di dalam uterus.
 Citra Tubuh
Anderson et.al (1994) mempelajari perubahan mood yang dialami wanita
akibat kehamilan dan menjadi orang tua. Penelitian ini menyatakan
bahwa ada beberapa keterkaitan antara mood positif pada periode
kehamilan dan periode pascanatal dengan kebahagiaan di dalam
hubungan pernikahan. Selain itu, Anderson et al. menemukan bahwa
wanita yang mengalami lebih banyak “mood diforia”, menganggap
bahwa mereka memiliki toleransi yang lebih rendah terhadap rasa nyeri
(yaitu mereka berpikir bahwa mereka mungkin tidak mampu
melaksanakan koping terhadap nyeri persalinan) dan menjadi lebih
kecewa dengan citra tubuh mereka, percaya bahwa mereka tidak lagi
menarik selama hamil. Sebagaimana yang dititik beratkan oleh
Anderson et al., faktor-faktor yang berhubungan dengan “citra media
dan steriotip budaya tentang apa yang dianggap sebagai tubuh wanita
yang menarik” cenderung menambah perasaan negatif. Combes dan
Schonveld (1992) juga mengidentifikasi kekhawatiran yang dimiliki
wanita tentang bagaimana mereka akan mengatasi nyeri persalinan juga
kekhawatiran tentang citra tubuh, terutama apakah mereka akan
kembali ke bentuk tubuh mereka semula setelah melahirkan.
Beberapa penelitian menekankan bahwa banyak wanita tidak puas
dengan citra tubuh mereka selama hamil. Perubahan bentuk tubuh
selama kehamilan, dapat membuat beberapa wanita mengalami
“perubahan citra tubuh.” Price mendefinisikan perubahan citra tubuh
sebagai “suatu keadaan distres personal, yang didefinisikan oleh individu,
yang mengindikasikan bahwa tubuh mereka tidak lagi mendukung harga
diri dan yang disfungsional, membatasi interaksi sosial mereka dengan
orang lain” (Price, 1996, hlm. 12). Price menyatakan bahwa bagi sebagian
besar wanita, kehamilan tidak menyebabkan perubahan citra tubuh
karena kehamilan itu relatif bersifat sementara. Usssher menyatakan
bahwa perubahan bentuk tubuh selama masa kehamilan memiliki
“dampak yang cukup berarti pada identitas pribadi dan citra diri” (Ussher,
1993, hlm. 98). Dalam masyarakat modern, para wanita menginginkan
bentuk tubuh yang ramping dan memperoleh kebahagiaan dari
penampilan fisik, namun kehamilan merupakan suatu kesempatan saat
mereka “diizinkan untuk menjadi besar”. Walaupun sejumlah besar wanita
senang dengan perubahan bentuk tubuhnya, banyak wanita menyatakan
perasaan tidak senangnya dengan perubahan bentuk dan ukuran
tubuhnya selama masa kehamilan. Hal ini juga diidentifikasi oleh
penelitian yang sebelumnya telah diilustrasikan. Price (1996) menyatakan
bahwa perubahan bentuk ini hanya bersifat sementara, dan citra tubuh
normal akan kembali setelah wanita melahirkan bayi. Namun,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Raphael-Leff, bahkan wanita yang
paling yakin sekalipun merasakan ketidakpastian tentang apa yang
“mengembalikan identitas femininnya ... Dan perubahan emosional serta
perubahan lain yang diakibatkannya, (Raphael-Leff, 1991, hlm. 48)
 Ayah dan Perubahan Proses Persalinan
Walaupun fokus penekanan dalam masa kehamilan adalah wanita,
harus diingat bahwa ansietas dan stres juga dialami oleh
pasangannya. Konsekuensi ansietas dan perilaku koping yang tidak
efektif dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk pada pasangan
pria. Praktik kebidanan terbaru berfokus pada “perawatan yang
berpusat pada wanita” karena filosofi Perubahan Proses Persalinan
(Changing Childbirth) diimplementasikan. Walaupun signifikansi
kebijakan ini dikenal, bidan harus terus menyaari potensial efek
psikologis kehamilan dan persalinan pada pasangan dan hubungan
mereka (Studi Kasus 4.1). Ayah juga perlu mempersiapkan dan
merencanakan, serta diinformasikan dan dilibatkan selama masa
kehamilan. Pria sering kali berada i tempat kerja saat klinik dan kelas
antenatal diberikan. Dengan demikian, ayah tidak memperoleh
kesempatan dengan erajat keterlibatan yang sama dalam layanan
maternitas. Combes dan Schonveld (1992) mengidentifikasi
peningkatan kebutuhan para ayah untuk memperoleh pengetahuan
dan pemahaman tentang kehamilan dan peran orang tua supaya dapat
memberi dukungan pada pasangannya dan dapat menyiapkan dirinya
untuk mengemban peran sebagai ayah. Pada beberapa kasus, hal ini
dipengaruhi dengan adanya kelas persiapan ayah, yang diorganisasi
dan disajikan oleh pria dan untuk pria.
Wolkind dan Zajicek (1981) menjelaskan bahwa sikap
wanita terhadap kehamilan berubah seiring
kemajuan kehamilan. Penelitian longitudinal ini, yang
mempelajari efek psikologis dan sosial kehamilan,
menemukan bahwa wanita yang mengalami distres
emosional pada awal kehamilan mampu mengatasi
konflik mereka dan bereaksi secara lebih positif pada
bulan ketujuh. Temuan Wolkind dan Zajicek
mengaitkan ansietas dalam masa kehamilan dengan
kekhawatiran wanita tentang kurangnya persiapan
untuk melahirkan dan kemungkinan bahwa
kehadiran seorang bayi akan menciptakan masalah
dalam hidup mereka.
Aplikasi Teori Kelekatan (Attachment Theory)
Salah satu teori psikologis paling berpengaruh yang
berhubungan dengan interaksi ibu-bayi adalah teori
kelekatan. Pola kelekatan yang dibentuk pada masa
kanak-kanak berpengaruh dalam membentuk dan
mempertahankan hubungan bahkan pada kehidupan
dewasa. Marris menjelaskan kelekatan sebagai :
Kelekatan bukan suatu emosi, bukan juga suatu tujuan.
Namun, seperti jatuh cinta, kelekatan adalah kondisi yang
memunculkan emosi dan tujuan. Kelekatan adalah suatu
predisposisi untuk menjadi terikat, disadari oleh
ketersediaan seorang figur yang tepat yang memunculkan
perasaan nyaman, ansietas, marah, dan sukacita
(Marris, 1986, hlm.
viii.)
Studi Kasus 4.1
Gemma
Gemma bertemu dengan suaminya, Bob, saat mereka masih kuliah. Mereka
memutuskan bahwa jika nanti menikah, mereka tidak ingin memiliki anak sampai
karier mereka masing-masing telah benar-benar mantap. Masa kanak-kanak
Gemma tidak bahagia. Ia memiliki seorang ibu yang terlalu protektif yang juga
menerapkan banyak disiplin. Orang tua Bob lebih terbuka dan liberal. Rencana
Gemma secara total buyar saat ia menyadari bahwa dirinya hamil begitu ia lulus.
Pada awalnya ia merasa kecewa, tetapi pada tahap lanjut kehamilannya, ia mulai
merasa lebih bahagia dan berespons lebih positif terhadap bayinya. Bob pada
mulanya juga kecewa, tetapi setelah Jenny lahir, ia mulai benar-benar tertarik
dengan “peran sebagai ayah”.
Pengalaman Gemma dan Bob dalam kehamilan dan melahirkan dalam
kondisi tersebut tampak cukup khas dan menggambarkan banyak isu yang
diuraikan sedemikian jauh: kehamilan yang tidak direncanakan membuat rencana
untuk masa depan berantakan, Gemma pada akhirnya menyesuaikan diri di tahap
lanjut kehamilannya, menerima kehamilannya dan Bob menerima peran menjadi
orang tua saat bayi lahir.
Sayangnya setelah Jenny lahir, Gemma mengalami depresi pasca-partum. Ia
menganggap dirinya jauh dari peran ibu yang “ideal” dan ia merasa tidak pernah
merasakan ikatan yang kuat dengan Jenny, walaupun ia memenuhi semua
kebutuhan materi bayinya dan memberi semua kasih sayang dan perhatian yang
dibutuhkan bayinya. Bulan demi bulan, Gemma mulai berespons dengan marah
terhadap puterinya. Tidak sampai beberapa bulan setelah bayinya lahir, Penilik
kesehatan pada akhirnya menyadari kemarahan dan sikap agresif Gemma
terhadap Jenny.
Apabila “figur yang tepat” atau, dalam istilah teori kelekatan, “pemberi
perawatan yang utama” tidak tersedia, seorang bayi dapat berkembang
dengan rasa takut untuk memiliki hubungan intim yang dekat atau untuk
berpisah dari “figur kelekatan” tersebut. “Tersedia” tidaksemata-mata
berarti hadir untuk anak, tetapi melibatkan kehadiran emosional dan
keterseiaan yang dapat diandalkan, dalam pikiran dan tubuh. Rasa takut
tentang keintiman dan perpisahan, yang menyebar ke kehidupan dewasa
dan muncul pada hubungan masa dewasa, telah disadari oleh tipe
kelekatan yang dibentuk pada masa bayi. Adams dan Cotgrove (1995)
mengilustrasikan bentuk-bentuk perilaku kelekatan berdasarkan hasil
penelitian Ainsworth et al. (1978).
Pengalaman masa kanak-kanak Gemma (Studi Kasus 4.1) dengan ibu
yang terlalu protektif dan sangat tegas membuatnya memiliki pola
keletakatan “ambivalen yang tidak aman” atau “penghindaran yang tidak
aman” dalam hubungan selanjutnya, pola yang bahkan dapat diteruskan
oleh bayinya sendiri. Pengalaman emosional seorang wanita selama
masa kanak-kanak dapat memberi pengaruh besar pada gaya dan
responsnya sebagai ibu.
Teori kelekatan telah menjadi subjek yang berpotensi menyebabkan
salah paham dan salah interpretasi sejak hasil penelitia Bowlby pertama
kali diterbitkan. Ide suatu “hubungan” antara bayi dan ibu yang mewakili
“keeratan” yang tidak terlihat tetapi menyatukan mereka adalah suatu
kondisi yang seringkali dapat tergambar jika digunakan istilah “ikatan”.
Sebagaimanayang disimpulkan oleh Bowlby, inti menjadi orang tua
adalah :
Penyediaan landasan kuat yang membuat seorang anak... Dapat pergi
ke dunia luar dan merupakan sebuah tempat yang ia tuju saat ia
kembali karena ia yakin bahwa ia akan disambut saat ia berada di
tempat tersebut, dipelihara secara fisik dan emosional, dihibur saat ia
sedih, dikuatka saat ia merasa takut.
(Bowlby, 1988, hlm. 11.)
Membantu orang tua menyesuaikan diri dengan peran mereka adalah sebuah
faktor yang diidentifikasi Bowlby, dengan mengetahui bahwa salah satu cara
paling efektif untuk mengajarkan peran orang tua adalah bukan saja melalui jalur
pendidikan/penyuluhan, tetapi melalui contoh. Bowlby mengidentifikasipotensi
diselenggarakannya kelompok orang tua yang mandiri untuk memberi mereka
kesempatan bertemu dan mendiskusikan kesalahan dan keberhasilan yang
ditemui dan diatasi sebagian besar orang tua. Adams dan Cotgrove (1995)
berpendapat bahwa kelekatan yang tidak aman dapat meningkatkan “perasaan
internal tentang ketidakberdayaan dan harga diri rendah” yang pada akhirnya
menyebabkan gangguan depresi. Dengan demikian, predisposisi Gemma untuk
mengalami depresi pascanatal meningkat.
Asosiasi antara kelekatan yang tidak aman paa masa bayi dan gangguan
psikologis pada kehidupan selanjutnya telah menjadi perhatian para ahli psikologi
dan psikiatri selama bertahun-tahun. Condon (1993) mengidentifikasi kelekatan
yang dibentuk selama masa kehamilan antara ibu dan janinnya. Condon (1993)
berpendapat bahwa dengan memahami kelekatan yang bahkan dimulai sejak
periode antenatal akan sangat bermanfaat dalam memahami dan mengatasi
banyak masalah psikologis selama periode kehamilan dan pascanatal, seperti
reaksi terhadap rasa kehilangan dan berduka, seperti keguguran, kematian
neonatus atau berpisah dengan seorang bayi yang diserahkan untuk diadopsi.
 Ansietas, Kehilangan, dan Rasa Duka Akibat Perpisahan
Pada tahun-tahun awal kehidupan, anak membentuk kelekatan dengan
pengasuh utamanya. Ainsworth et al. (1978) menyatakan bahwa bayi
benar-benar terlekat pada saat usianya mencapai enam bulan, dan
kemudian mulai menunjukkan rasa takut terhadap orang asing. Bowlby
(1971, 1975) menggunakan istilah “ansietas akibat perpisahan” untuk
menjelaskan ansietas yang dialami anak ketika mereka merasa
kehilangan atau terpisah dari seseorang yang mereka cintai. Ansietas
akibat perpisahan tampak sebagai respons dasar manusia terhadap
situasi yang menandai peningkatan risiko bahaya. Bowlby menyatakan
bahwa pemahaman tentang ansietas akibat perpisahan membantu
memahami “mengapa ancaman untuk mengabaikan seorang anak, yang
sering kali digunakan sebagai cara untuk mengontrol, juga sangat
menakutkan” (Bowlby, 1981, hlm. 30). Dengan demikian, pengasuhan
dilakukan dengan membantu anak menjadi dewasa, menerima
perpisahan tanpa takut akan diabaikan. Kemudian anak akan mampu
membentuk hubungan yang baru dan juga mampu melaksanakan koping
ketika ia menghadapi perpisahan. Remaja, misalnya, menjalani proses
berpisah dari orang tua mereka dan kemudian membentuk ikatan-ikatan
baru karena pada akhirnya mereka mempersiapkan diri untuk hidup
bersama seorang pasangan tetap pada masa dewasa.
Tipe kelekatan yang dialami pada masa kanak-kanak memengaruhi rasa
aman indiviu, dan kemudian memengaruhi kondisi kepulihan mereka
setelah mengalami pengalaman kehilangan di waktu lain dalam
kehidupan. Ada faktor-faktor tertentu yang memengaruhi proses
pemulihan akibat kehilangan, meliputi makna kehilangan, kemampuan
untuk mempersiapkan diri terhadap kehilangan dan hal-hal yang terjadi
setelah kehilangan. Kehilangan berhubungan dengan banyak situasi yang
membangkitkan emosi, meliputi kehilangan sebuah hubungan akibat
perceraian atau kematian, kehilangan suatu komunitas saat individu
kembali ke rumah (seperti yang terjadi akibat banyaknya kebijakan untuk
menggusur pemukiman kumuh (Marris, 1986) dan juga kehilangan
identitas atau status. Gemma mengalami kehilangan kesempatan untuk
meniti karier masa depan yang baginya sangat bermakna. Sebaliknya, ia
merasa tidak berpengalaman dan tidak siap mengemban peran sebagai
ibu. Perasaan ini menurunkan kepercayaan dirinya.
Perbedaan Individu
Cara setiap individu menjalani peristiwa di sepanjang kehidupannya dan cara
setiap individu tersebut memandang dunia sekitarnya dapat dikaitkan dengan
karakteristik individual mereka. Bidan yakin bahwa mereka memperlakukan
setiap wanita sebagai seorang individu dan memberikan perawatan yang
bersifat individual dan personal pada individu tersebut. Untuk melakukan hal
ini, sangat penting untuk mengetahui dan memahami karakteristik psikologis
individu tertentu dan bagaimana karakteristik tersebut memengaruhi cara ia
berperilaku. Keterampilan yang baik diperlukan untuk mengetahui kebutuhan
wanita, pasangan dan keluarganya, lingkungan sosial dan personalnya, dan
selanjutnya kebutuhan individualnya pada saat kehamilan. Untuk memberi perawatan
yang bersifat individual pada saat bidan pertama kali bertemu wanita, yakni saat
wanita mendaftarkan diri untuk bersalin, akan sangat sulit. Oleh karena itu,
pengetahuan tentang beberapa karakteristik, sifat, dan kualitas yang membedakan
individu atau, sebaiknya, persamaan antara individu yang satu dengan yang lain akan
melengkapi keterampilan yang digunakan bidan dalam praktik. Dalam istilah
psikologis, karakteristik individual sering kali disamakan dengan karakteristik yang
membentuk kepribadian.
Stereotip
Ada banyak segi kepribadian individu. Individu lain dapat memandang
kepribadian individu yang sama dengan cara berbeda atau, dalam bentuk yang
lebih kompleks, aspek-aspek kepribadian manusia terlihat berbeda pada
kesempatan yang berbeda. Ada banyak situasi individu yang diklasifikasikan
berdasarkan karakteristik personalnya, terutama jika individu tersebut tidak
dikenal, dan pada akhirnya generalisasi akan dibuat. Dalam istilah sehari-hari,
sistem klasifikasi ini disebut sebagai pembentukan stereotip, misalnya, “individu
yang memiliki rambut merah memiliki sifat mudah marah” (atau “cepat naik
darah!”), atau orang yang gemuk adalah orang yang riang. Pandangan yang
stereotip ini dapat diadopsi dengan mudah dalam lingkungan pelayanan kesehatan
jika perawatan yang diberikan bukan berdasarkan kebutuhan individu. Mudah
membuat asumsi tentang wanita yang memiliki stereotip dan membuat
generalisasi tentang kebutuhan individual mereka sehingga stereotip akan
membentuk sikap khusus, atau keyakinan khusus, pada wanita tertentu.
Lazim bagi beberapa kelompok wanita tertentu untuk distereotipkan oleh
banyak profesional kesehatan, seperti “guru yang khas” atau “perawat memiliki
semua komplikasi”. Pandangan seperti itu terbentuk secara subjektif dan terbukti
tidak dapat dipercaya dan sering kali dapat menghina. Stereotip yang terkait
dengan pemikiran yang prejudis tentu saja dapat mengarah menjadi diskriminasi
(perilaku prejudis). Perilaku manusia sering kali didasarkan pada pengkajian setiap
hari yang dilakukan individu satu sama lain, penilaian dibuat berdasarkan
observasi yang dilakukan dan asumsi yang dibuat akan melandasi tindakan.
Pengkajian, penilaian, keyakinan, dan asumsi ini berperan dalam
pembentukan sikap. Dengan demikian, dalam menggali konsep dan teori
kepribadian,sangat penting untuk mengingat bahwa asumsi yang bersifat
prejudis dapat dibuat, jika tidak dipertimbangkan secara objektif.
Green et al. (1990) mempelajari dua stereotip yang sering kali diadopsi
oleh bidan yang bekerja di lingkungan bangsal persalinan, yaitu mereka yang
merupakan “tipe NCT (National Childbirth Trust) kelas pertengahan yang
berpendidikan tinggi” dan “kelas wanita bekerja yang tidak berpendidikan”.
Green dan kawan-kawan berpendapat bahwa jika stereotip telah dibentuk
maka asumsi tentang wanita yang memenuhi stereotip tersebut dapat
dengan mudah dibuat, terutama tentang perawatan yang harus diberikan,
asumsi tersebut pada akhirnya malah tidak tepat. Asumsi yang dibuat
tentang wanita “tipe NCT yang berpendidikan tinggi” pada persalinan, atau
suatu “pendekatan kaku” terhadap persalinan dan suatu keyakinan bahwa -
bagi wanita tersebut – persalinan harus merupakan pengalaman yang positif.
Sebaliknya, stereotip dapat menjadi lebih positif, seseorang yang memiliki
“informasi yang adekuat, rasional, dan beralasan” (Green et. al. 1990, hlm.
126).
Pada sisi lain, “tipe kelas bekerja yang tidak berpendidikan” sering kali
dipersepsikan sebagai “sengaja tidak peduli”, “tidak peduli dengan
pemenuhan emosi”, mendaftarkan diri untuk bersalin dalam keadaan
“tidak siap sepenuhnya” dan “melepaskan semua tanggung jawab kepada
staf”. Green et al. mempelajari bukti untuk stereotip ini dan menyimpulkan
bahwa stereotip tersebut tidak didukung, terutama stereotip yang
berhubungan dengan sejumlah aspek penting :
 Wanita dari latar belakang pendidikan yang berbeda sama-sama
menginginkan persalinan yang alami dan bebas dari penggunaan obat.
 Wanita yang kurang berpendidikan memiliki harapan yang lebih tinggi.
 Wanita yang kurang berpendidikan tidak ingin melimpahkan kendali
kepada staf.
Bukti-bukti di atas mendukung kebutuhan akan perawatan yang bersifat
individual sehingga bidan mampu mengenali wanita dalam periode waktu
yang lebih lama, dengan demikian bidan berkesempatan untuk
mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan psikologis dan fisik wanita
tersebut.
Kepribadian
Kepribadian didefinisikan sebagai “aspek individu yang relatif stabil dan bertahan
lama, yang membedakan individu dari individu lain, membuat mereka unik, tetapi
pada saat yang sama memungkinkan perbandingan antar individu” (Gross, 1992).
Dapat dikatakan bahwa dalam upaya mempelajari dan menjelaskan perbedaan
kepribadian, ahli psikologis berupaya mengidentifikasi perbedaan psikologis
mendasar antar individu. Ada banyak pembuat teori, beberapa di antaranya telah
menyatakan pandangan mereka yang terkenal tentang kepribadian dan
perkembangan kepribadian, seperti Freud, Eysenck, dan Maslow (lihat Bab 2). Ahli
psikologis kesehatan telah mempelajari hubungan antara kepribadian dan perilaku
kesehatan, misalnya, “tipe” kepribadian tertentu lebih rentan terhadap ansietas
atau stres, depresi atau penyakit tertentu, seperti penyakit jantung koroner. Untuk
membuat asumsi tentang perilaku yang berhubungan dengan kesehatan individu,
penting untuk mengidentifikasi kepribadian dengan cara yang akurat dan dapat
dipercaya, dan yang tidak membuat profesional perawatan kesehatan masuk ke
dalam perangkap yang membuat stereotip atau “pelabelan” negatif pada individu.
Kita juga perlu mengingat bahwa terdapat lingkungan, seperti situasi sosial
tertentu atau penyakit, yang dapat memengaruhi kepribadian, misal efek jangka
panjang akibat nyeri kronis, ketidakmampuan fisik yang permanen atau tidak
mendapat pengakuan sosial.
Lazim untuk mengklasifikasi individu berdasarkan “sifat”
kepribadiannya, seperti seorang bidan penuh perhatian, dapat dipercaya,
ambisius atau memiliki komitmen. Allport (1937, 1961) adalah salah
seorang ahli psikologi yang mula-mula memperkenalkan teori kepribadian
yang didasarkan pada konsep sifat kepribadiannya. Allport
mengembangkan teorinya sebagai reaksi terhadap teori psikodinamik
terdahulu yang berfokus pada proses yang tidak disadari. Ia menekankan
bahwa kepribadian harus dipertimbangkan sebagai sesuatu yang
tertanam pada setiap individu. Kepribadian harus konsisten dan tidak
boleh dianggap dapat dipengaruhi oleh peristiwa dan peran sosial
Eysenck (1953), sebaliknya, mengadopsi pandangan yang berbeda
tentang kepribadian dan menciptakan sebuah teori kepribadian yang
berdasarkan pada keyakinan bahwa kepribadian tersebut diwariskan dan
memiliki dasar biologis. “Teori tipe” Eysenck tentang kepribadian
didasarkan pada keberadaan tiga dimensi kepribadian, yaitu ekstraversi-
introversi, neurotisisme-kestabilan dan psikotisisme.
Eysenck melakukan banyak penelitian eksperimental untuk
mendukung teori ini, dan pada akhirnya mengembangkan metode untuk
menguji dan mengukur dimensi kepribadian ekstraversi dan introversi. Uji
“psikometrik” ini telah digunakan dalam banyak bidang, seperti
mewawancarai dan mengkaji pekerjan khusus (mis., pilot-AU, sangat
penting untuk memiliki kemampuan menerbangkan pesawat dan pada
saat yang sama mampu untuk tetap bersikap tenang dalam kondisi-
kondisi yang ekstrim). Teknik ini telah diperluas ke banyak bidang lain,
seperti seleksi pegawai, yang mengantisipasi karakteristik calon pegawai
agar sesuai dengan karakteristik jenis pekerjaan.
Beberapa penelitian mempelajari hubungan yang
mungkin ada antara kepribadian dan kesejahteraan
emosional berkenaan dengan melahirkan anak. Ball (1994)
menggali dampak emosional wanita yang menghadapi
persalinan. Dari literatur yang tersedia, ia mengidentifikasi
faktor-faktor tertentu yang terkait dengan depresi pascanatal:
 Kepribadian ibu.
 Apakah ibu telah berpisah dari ibunya sendiri sebelum ia
berusia 11 tahun.
 Krisis hidup tertentu.
 Waktu pertama kali ibu menggendong bayinya setelah
lahir.
 Citra diri ibu.
 Perasaan yang diungkapkan ibu setelah melahirkan.
Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara sifat kepribadian, seperti
yang diukur dengan menggunakan Inventaris Personalitas Eysenk
(Eysenk Personality Inventory, EPI), dan dampak emosional setelah
persalinan secara umum. Namun, penelitian ini menemukan bahwa
wanita yang telah berpisah dari ibunya sebelum usia 11 tahun lebih
cenderung mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan peran
sebagai ibu. Pada gilirannya, kelompok wanita ini memperlihatkan suatu
perbedaan signifikan pada dimensi ansietas-neurotisme EPI. Hal ini
menunjukkan bahwa perpisahan memberi dampak pada perkembangan
kepribadian mereka. Penelitian Brown dan Harris yang terkenal (1978)
telah lebih dahulu menemukan bahwa faktor-faktor kerentanan tertentu
terkait dengan depresi pada wanita, yang meliputi kehilangan ibunya pada
masa kanak-kanak, juga faktor-faktor sosiologis lian. Faktor-faktor ini
meliputi kurangnya hubungan suportif dari suami, tidak memilikipekerjaan,
dan adanya anak lain di rumah.
Fasilitator-Resiprokator-Regulator
Raphael-Leff (1983) mengajukan suatu model khusus tentang peran
menjadi ibu, yang pada mulanya mengidentifikasi dua gaya atau
“orientasi” berbeda, yaitu “ fasilitator dan regulator. Setiap orientasi
dikaitkan dengan atribut dan pola perilaku tertentu yang nyata ada
sepanjang masa kehamilan dan yang, pada akhirnya, menitikberatkan
dan berupaya untuk memprediksi tipe interaksi ibu-bayi setelah
melahirkan. Model Raphael-Leff telah berkembang selama beberapa
tahun terakhir dan kini meluas menjadi orientasi ketiga yang disebut
resiprokator (Raphael-Leff), 1993). Ia berpendapat bahwa ada beberapa
cara wanita berespons terhadap kehamilan “beberapa wanita merasa
sangat bahagia dan diperkaya, sedangkan wanita lain merasa kecewa”.
Namun, ia mampu mengenali tren tertentu yang “mungkin dipandang
sebagai pendekatan kontradiksi terhadap kehamilan, melahirkan, dan
peran menjadi ibu yang masuk akal” (Raphael-Leff, 1993, hlm. 65). Oleh
karena itu, model ini merupakan teori yang spesifik tentang wanita hamil
dan perbedaan individual dalam kehamilan, serta dapat membantu
memprediksi gangguan emosional seperti terjadinya depresi pascanatal.
Raphael-Leff mengembangkan modelnya dari teori psikoanalisis dan teori
hubungan objek. Model ini berpendapat bahwa “respons maternal tidak terbatas
pada bidang kekuasaan ahli teori psikoanalisis, tetapi diwariskan melalui sudut
pandang ibu yang tidak disadari kepada bayi mereka” (Raphael-Leff, 1983, hlm.
377). Ibu fasilitator kemudian “berpendapat bahwa bayinya memiliki hubungan
yang intim dengannya sejak lahir atau sejak dalam kandungan”, ia percaya bayi
akan menyampaikan kebutuhannya kepadanya dan memfasilitasi kebutuhan ini
dengan beradaptasi terhadap bayinya. Di sisi lain, ibu regulator melihat bayinya
sebagai “serangkaian kebutuhan”, yang harus ia atur, dengan melatih dan
membuat bayinya beradaptasi terhadap realitas. Raphael-Leff mengakui bahwa
terdapat beberapa wanita yang memiliki tipe yang murni dan, bukan seperti
dimensi awal yang mula-mula disajikan, model ini kini disajikan dalam bentuk yang
sirkular, termasuk resiprokator antara (Raphael-Leff, 1993, hlm. 66)
Ibu resiprokator kemudian merasa ambivalen tentang kehamilannya. Mereka
merasa bahagia berlebihan sekaligus menyesali perubahan hidupnya, tetapi
mampu mempertahankan keseimbangan kesadaran tentang ambivalensi dan
“kontradiksi internalnya”. Ibu fasilitator merespons kehamilannya sebagai suatu
pemenuhan dan realisasi dari semua keinginannya, terpesona akan konsepsi yang
ideal, ingin memperlihatkan kemampuannya untuk hamil, dan sering kali
mengenakan pakaian hamil sejak usia kehamilan dini. Ibu regulator melihat
kehamilannya sebagai suatu yang membosankan, menyimpa berita kehamilannya
sampai terlihat jelas, mempertahankan cara hidupnya, dan tidak berubah karena
kehadiran bayi yang sedang berkembang.
Orientasi juga dialami calon ayah, yang diidentifikasi sebagai partisipator dan
pemberi pengumuman (Raphael-Leff , 1985). Ayah partisipator adalah pria yang
“bersemangat terlibat dalam kehamilan” dan sangat tertarik merawat bayinya.
Sebaiknya, pria pemberi pengumuman menghindari keterlibatan dalam kehamilan
pasangannya, yang menghadiri proses persalinan dengan ragu, dan lebih memilih
terlibat dengan bayi saat bayi berusia satu atau dua tahun.
Dalam mengembangkannya modelnya, Raphael-Leff mengenali pentingnya
mempelajari peran orang tua dari “perspektif partisipan” (Raphael-Leff , 1985, hlm.
70). Pada saat wanita dan pasangannya berupaya untuk lebih terlibat dalam
kehamilan dan persalinan serta mencari informasi tentang kedua hal itu, terdapat
peningkatan potensi terjadinya konflik emosional akibat “perseteruan antara
meningkatnya kebebasan pilihan dan tekanan dari para ahli yang berfokus pada
anak dan advokat yang berfokus pada pemenuhan personal yang menyebabkan
konflik secara simultan (Raphael-Leff, 1985, hlm. 171). Pada gilirannya, bidan dan
profesional asuhan kesehatan lain, yang memiliki pengetahuan dan informasi
tentang efek psikologis kehamilan dan persalinan pada setiap individu yang efektif,
memfasilitasi pilihan, dan mendorong para pasangan untuk terlibat dalam
peristiwa-peristiwa tersebut, yang pada akhirnya akan meningkatkan kemungkinan
adaptasi yang positif terhadap kehamilan.
Peran dan Keterampilan Bidan dalam Dukungan Psikologis

Peran bidan dalam membantu seorang wanita menyesuaikan diri dengan


kehamilannya, dalam memberikan dukungan emosional, informasi dan saran,
serta mendeteksi gangguan psikologis, mengurang ansietas, meredakan
stres, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan
psikologis melibatkan keterampilan untuk bersama “dengan wanita”.
Keterampilan tersebut memerlukan kemampuan untuk meningkatkan
hubungan saling membantu antara wanita dan bidan, untuk berkomunikasi
mendengarkan wanita saat dibutuhkan.
Rogers (1980) mengidentifikasi tiga unsur dasar untuk melakukan
pendekatan konseling yang berpusat pada individu, yakni kehangatan,
ketulusan, dan pemahaman yang bersifat empati :
 Kehangatan melibatkan sikap yang dapat didekati dan terbuka,
memperlakukan individu lain dengan penghargaan yang sama, tidak
menghakimi.
 Ketulusan adalah tentang menunjukkan rasa ketertarikan yang tulus pada
individu lain.
 Empati adalah suatu respons yang memperlihatkan bahwa konselor (atau
bidan) telah mempresepsikan perasaan-perasaan individu lain secara akurat
dan mengomunikasikan pemahaman ini kepada mereka.

Anda mungkin juga menyukai