Anda di halaman 1dari 5

Peran Media Dalam Mewujudkan Demokrasi Damai Melalui

Gerakan Literasi Digital

Media, Demokrasi, dan Kekacauan Informasi


Media, secara ideal, diharapkan berfungsi sebagai penjamin akuntabiltas elit politik dan kontrol rakyat
terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain media menjembatani komunikasi politik
antar-pelbagai aktor dalam sistem demokrasi, sehingga proses mediasi tersebut bisa berlangsung baik
maupun buruk. Persoalan kuasa media yang lebih banyak mengabdi pada kepentingan politik ini
semakin jelas terlihat di Indonesia dua dekade belakangan ini. Jika pada masa Orde Baru media dikuasai
oleh negara, maka pada pasca-reformasi media dikuasai oleh pemilik media. Selain itu, kuasa pemilik
media semakin menguat di era digitalisasi media.
Dalam posisi media seperti itu, objektivitas jurnalis semakin tergerus kepentingan pemilik media
sehingga praktik jurnalisme buruk mungkin saja terjadi. Alih-alih mengedepankan kepentingan publik,
jurnalis mengutamakan kepentingan pemiliknya. Faktor lain penyebab jurnalisme buruk adalah ketika
jurnalis tak lagi menaati standard dan etika profesi jurnalistik akibat proses serampangan pencarian data
dan buruknya verifikasi informasi. Hal ini menjadi peluang bagi munculnya kekacauan
informasi.Dalam kondisi ini media mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
Dalam posisi media yang ‘rawan’ terjebak sebagai pelaku maupun korban kekacauan informasi, salah
satu yang bisa dilakukan adalah meningkatkan perannya dalam gerakan literasi digital. Bisa dengan
cara menguatkan kompetensi literasi digital, baik bagi jurnalisnya maupun bagi masyarakat luas.
Media dan Gerakan Literasi Digital
Dalam sejarah gerakan literasi media dan informasi di Indonesia yang dimulai pada awal tahun
1990-an, media, meskipun tidak dominan namun tetap memegang peran penting. Studi yang
dilakukan oleh Pusat Kajian Media dan Budaya Populer menunjukkan bahwa media adalah salah
satu penggerak literasi media dan informasi, selain sebagai swadaya masyarakat dan sekolah. Sejak
tahun 2010 hingga 2017, media digital menjadi bagian yang vital dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Sebab, Gerakan Literasi media dan informasi berfokus pada media digital. Dengan begitu,
nama gerakannya pun beralih dari gerakan literasi media menuju gerakan literasi digital. Media
biasanya melakukan beragam pelatihan jurnalistik untuk membekali wartawan agar mempunyai
bekal cukup supaya tidak terjebk dalam praktik jurnalisme buruk yang bisa menyeret kedalam
pusaran kekacauan informasi. Program semacam ini dilakukan oleh banyak institusi media.
Selain melakukan program literasi digital secara mandiri, media juga melakukan kolaborasi
dengan media lain, dengan komunitas, ataupun dengan organisasi lain yang sebagian besar berupaya
menekan dampak kekacauan informasi di era pasca-kebenaran.
Misalnya Ketika Tempo Institute berkolaborasi dengan Yukepo, ICT Watch, Gerakan Nasional
Literasi Digital Siberkreasi, dan MAFINDO menyelenggarakan Tempo Goes to Campus (SGTC) di
Cilegon, Bandung, Aceh, Batam, Pontianak, Palu, Makassar, Halmahera, Ambon dan Manado. Tur
keliling 10 kota SGTC bertujuan untuk mengajak kaum muda Indonesia meningkatkan kompetensi
literasi digital mereka. Kaum muda yang mempunyai pikiran dan sikap kritis dalam mengelola
informasi dianggap sebagai salah satu benteng dalam upaya menangkal kekacauan informasi, baik
yang berupa misinformasi, disinformasi, maupun mal-informasi. Kolaborasi tampaknya menjadi isu
penting dalam meningkatkan peran media dalam gerakan literasi digital.Utamanya sebagai salah satu
solusi alternatif menghadapi kekacauan informasi politik pada tahun kritis Pemilu 2019.
Media, Pemilu, dan Demokrasi Damai
Jelang pesta demokrasi tahun 2019, media tampaknya cukup intens dalam melakukan program cek fakta
sebagai salah satu komponen penting dalam literasi digital. Cek atau verifikasi fakta dalam jurnalisme
merupakan upaya media untuk meluruskan keraguan masyarakat terhadap kebenaran konten di media
digital. Melakukan verifikasi fakta juga merupakan salah satu dari 10 kompetensi literasi digital yang
dikembangkan Japelidi yakni: mengakses, menyeleksi, memahami, menganalisis, memverifikasi,
mengevaluasi, mendistribusikan, memproduksi, berpartisipasi, dan berkolaborasi (lih. Kurnia, Monggilo,
dan Adiputera, 2018).
Peran aktif media dalam kegiatan literasi digital dapat disimak melalui upaya cek fakta jelang Pilpres 2019
oleh Kompas.com yang bekerjasama dengan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) (Pratawa dan
Galih, 2019). Kolaborasi media dan perguruan tinggi dalam melakukan verifikasi fakta debat kedua Pilpres
bertujuan untuk menyajikan klarifikasi data agar informasi yang diterima masyarakat bersifat faktual.
Beberapa contoh keterlibatan media dalam melakukan program literasi digital di tahun politik 2019
menunjukkan betapa signifikan peran media dalam membangun sistem demokrasi. Tangguhnya media
dalam menghadapi tantangan di era pasca-kebenaran bergantung pada penguatan kompetensi literasi digital
bagi jurnalisnya. Selain itu, melalui program literasi digital, media juga berperan mengajak masyarakat
untuk lebih berhati-hati mengelola informasi dan memahami fakta agar tidak terjebak dalam polarisasi
kebencian karena berbeda pilihan politik.
Disinformasi Digital, Populisme dan Solusi Jurnalisme

Revolusi digital telah mendorong demokratisasi dan perubahan sosial di banyak negara. Di
Indonesia, Internet membantu jejaring aktivis untuk berkomunikasi dan menyebarkan informasi
terkait upaya penggulingan Soeharto di akhir 1990-an.

Penggunaan media sosial secara strategis untuk protes-protes kolektif, dibarengi dengan aksi-aksi riil
lainnya telah menggerakkan protes global konektif dan menimbulkan gelombang perubahan, seperti
Musim Semi Arab, Occupy Wall Street, Los Indignados, Movement for Black Lives.

Disinformasi politik di ranah digital, terutama melalui media sosial, dijadikan alat oleh sebagian
kelompok untuk meraih suara populis di tengah lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap
kelompok elit.

Anda mungkin juga menyukai