Anda di halaman 1dari 144

Pemotongan dan

Pemungutan Pajak
Andrie Siahaan
Felix Hadinata
Jordy Tandi
Jenis PPH Pemotongan/Pemungutan

1. PPH pasal 15
2. PPH pasal 21
3. PPH pasal 22
4. PPH pasal 23
5. PPH pasal 26
6. PPH pasal 4 ayat 2
7. PPN & PPnBM
PPH Pasal 21/26
• PPH pasal 21 : pajak atas penghasilan atau pendapatan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, kegiatan yang diterima oleh wajib pajak
orang pribadi dalam negeri.

• PPh Pasal 26: pajak atas penghasilan atau pendapatan sehubungan


dengan pekerjaan, jasa, kegiatan yang diterima oleh wajib pajak luar
negeri.
Pemotong PPH21/26
• Pemberi kerja yang terdiri dari:
• orang pribadi dan badan;
• cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau
seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit
tersebut.

• Bendahara atau pemegang kas pemerintah


Pemotong PPH21/26
• Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial Pajak Penghasilan
tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun
secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua

• Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas

• Penyelenggara kegiatan
Pemberi kerja bukan pemotong PPH pasal
21/26
• Kantor perwakilan negara asing
• Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan Menteri
Keuangan
• Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas yang semata-mata memperkerjakan orang
pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan
bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
Subjek dan Objek Pajak PPh 21

Subjek PPH21
• Pegawai
• Penerima uang pesangon, pensiun
• Penerima tunjangan hari tua, jaminan hari tua
• WP kategori bukan pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa. 
Subjek dan Objek Pajak PPh 21
Objek PPh 21 :
• Penghasilan yang diterima pegawai tetap, baik penghasilan yang teratur maupun tidak teratur.
• Uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
• Uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan pembayaran sejenisnya.
• Penghasilan tenaga kerja lepas, seperti upah harian/mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah
yang dibayarkan secara bulanan.
• Imbalan kepada bukan pegawai (Honor, komisi, fee)
• Imbalan peserta kegiatan
• anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada
perusahaan yang sama
• mantan pegawai
• Penarikan dana pensiun oleh pegawai
• Natura
Bukan Objek PPh Pasal 21
• Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan
asuransi
• Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk
apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah;
• Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun
• Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
• Beasiswa
Jenis Penghasilan yang Termasuk PKP
dan PTKP
• Selain termasuk dalam kategori subjek pajak, pekerja yang
penghasilannya wajib dikenai PPh 21 juga harus memenuhi jumlah
minimum penghasilan per tahun hingga termasuk kedalam kategori
Penghasilan Kena Pajak atau PKP. 

• Jumlah penghasilan yang dianggap PKP adalah hasil selisih dari jumlah
penghasilan per tahun setelah dikurangi jumlah penghasilan yang
masuk ke dalam syarat Penghasilan Tidak Kena Pajak atau PTKP.
Tabel PTKP
Golongan Jumlah Tanggungan (0, 1, 2, 3) Tarif PTKP (penghasilan pertahun <
atau =)

TK 0 Rp 54.000.000
TK 1 Rp 58.500.000
Tidak Kawin (TK)
TK 2 Rp 63.000.000
TK 3 Rp 67.500.000
K0 Rp 58.500.000
K1 Rp 63.000.000
Kawin (K)
K2 Rp 67.500.000
K3 Rp 72.000.000
K/I 0 Rp 112.500.000

Kawin Dengan Penghasilan Digabung K/I 1 Rp 117.000.000


Dengan Istri (K/I) K/I 2 Rp 121.500.000
K/I 3 Rp 127.000.000
Tarif PPH 21
Penghasilan 0 - Rp 60 juta 5%
Penghasilan Rp 60 juta - Rp 250 juta 15%
Penghasilan Rp 250 juta - Rp 500 25%
juta
Penghasilan Rp 500 juta - Rp 5 30%
miliar
Penghasilan di atas Rp 5 miliar 35%
Cara Perhitungan PPh 21 Karyawan Tetap

Karyawan tetap adalah karyawan yang menerima penghasilan dalam


jumlah tertentu secara teratur atau pegawai yang berstatus kontrak
dalam jangka waktu yang telah ditentukan, yang menerima penghasilan
dalam jumlah tertentu secara teratur.
Gaji Pokok   6.000.000
(i) Tunjangan Lainnya (jika ada)   2.000.000 *Felix Bekerja di PT. ABC, menerima gaji Rp 6.000.000 per
(ii) JKK 0,24%   14.400
bulan.
*Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan
JK 0,3%   18.000
Kematian (JK) dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah
Penghasilan Bruto   8.032.400 masing-masing sebesar 0,24% dan 0,3% dari gaji.
Pengurangan:     *Pada bulan Juli 2016, di samping menerima pembayaran
1. (iii) Biaya jabatan 5% x 8.032.400 401.620   gaji, Felix juga menerima uang lembur (overtime) senilai Rp
2.000.000.
2. Iuran Jaminan Hari Tua (JHT), 2% dari gaji pokok 120.000  
*PT. ABC mengikuti program pensiun dan BPJS Kesehatan.
3. (iv) Jaminan Pensiun (JP), 1% dari gaji pokok 60.000   Iuran pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan sebesar 1% dari
    (581.620) perhitungan gaji, yakni senilai Rp 60.000 per bulan.
Penghasilan neto (bersih) sebulan   7.450.780 *Di samping itu perusahaan membayarkan iuran (JHT)
     
karyawannya setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji,
sedangkan Felix membayar iuran (JHT) setiap bulan sebesar
(v) Penghasilan neto setahun 12 x 7.450.780   89.409.360
2,00% dari gaji.
(vi) PTKP 54.000.000  
    (54.000.000) Penghasilan 0 - Rp 60 juta 5%
Penghasilan Kena Pajak Setahun   35.409.360
Penghasilan Rp 60 juta - Rp 250 juta 15%
(vii) Pembulatan ke bawah   35.409.000
PPh Terutang 5% x 35.409.000   1.770.450
Penghasilan Rp 250 juta - Rp 500 juta 25%
      Penghasilan Rp 500 juta - Rp 5 miliar 30%
PPh Pasal 21 Bulan Juli: 1.770.450/12   147.538 Penghasilan di atas Rp 5 miliar 35%
Perhitungan PPh 21 Karyawan dengan Tunjangan Pajak

• Cara menghitung PPh 21 karyawan atau pegawai tetap yang


menerima tunjangan pajak (gross up) dari perusahaan tempatnya
bekerja adalah dengan memperlakukan tunjangan pajak sebagai
penghasilan pegawai dan ditambahkan pada penghasilan yang
diterimanya.
Gaji Pokok            5.500.000

(i) Tunjangan Pajak                 35.167

Penghasilan bruto (kotor) sebulan            5.464.833

Pengurangan    

1. (iii) Biaya Jabatan: 5% x 5.464.833,00 = 276.758,00           276.758   Budi bekerja pada PT ABC.
2. Iuran/Jaminan Pensiun, 1% dari gaji pokok             55.000  
Status-nya belum menikah dan tidak
3. (iv) JP (Jaminan Pensiun), 1% dari gaji pokok, jika ada             60.000  
mempunyai tanggungan dengan gaji bersih
              (331.758) senilai Rp 5.500.000 sebulan.
(v) Penghasilan neto (bersih) sebulan            5.203.408
Perusahaan tempatnya bekerja memberikan
Penghasilan neto setahun 12 x 5.203.408,00          62.440.900 tunjangan pajak penuh kepada Fahri sejumlah
Rp 35.167. Sementara, iuran pensiun yang
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)      54.000.000  
dibayar Fahri adalah Rp 55.000 sebulan.
    (54.000.000)

(vii) Penghasilan Kena Pajak Setahun            8.440.000

PPh Terutang    

5% x 8.440.000,00               422.000

     

PPh Pasal 21 Bulan September = 422.000 / 12                 35.167


Cara Perhitungan PPh 21 Karyawan Tidak Tetap Tidak Berkesinambungan

• Pegawai tidak tetap tidak berkesinambungan adalah orang pribadi selain pegawai


tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan
dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh 21 dan/atau PPh 26
sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari
pemberi penghasilan.
• Budi adalah pegawai tenaga lepas untuk desain grafis di PT. ABC dengan
penghasilan Rp 5.000.000.
• Besarnya PPh 21 yang terutang adalah:
• 5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 125.000.
• Bila Budi tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
• 120% x 5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 150.000.
Subjek & Objek PPh Pasal 26
• Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, PPh Pasal 26 adalah pajak
penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri
dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
• seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia kurang dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak
didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui BUT di
Indonesia.
• dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui
menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
• Semua badan usaha yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga, dividen,
royalti dan sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri, diwajibkan untuk
memotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas transaksi tersebut.
Tarif untuk Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26)

Tarif 20% (final) atas jumlah bruto Tarif 20% (final) dari laba bersih
Dividen Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia.
Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan
terkait dengan jaminan pembayaran pinjaman langsung maupun melalui pialang kepada
perusahaan asuransi di luar negeri
Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait
dengan penggunaan aset
Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan,
dan kegiatan
Hadiah dan penghargaan
Pensiun dan pembayaran berkala
Premi swap dan transaksi lindung lainnya
Perolehan keuntungan dari penghapusan utang
Contoh Perhitungan PPh Pasal 26

• 1. Tarif 20% dari penghasilan Bruto


• Contoh  1.1
Pada Mei 2022 PT ABC membayar royalti kepada Joe yang
berkewarganegaraan Amerika sebagai penulis buku sebesar Rp 85.000.000
PPh pasar 26 yang dipotong adalah?
20% x Rp 85.000.000 = Rp 17.000.000
• Contoh 1.2
PT Djarum memberikan hadiah perlombaan kepada IP Man warga China
sebagai juara tunggal putra bulu tangkis sebesar Rp 150.000.000
PPh pasal 26 yang dipotong adalah?
20% x Rp 150.000.000 = Rp 30.000.00
Contoh Perhitungan PPh Pasal 26
• 2. Tarif 20% dari Penghasilan Neto
• Contoh 2.1
PT Abadi Jaya mengasuransikan gedungnya kepada perusahaan asuransi luar
negeri dengan membayar premi asuransi selama tahun 2022 sebesar Rp
130.000.000
20% x 50% x Rp 130.000.000 = Rp 13.000.000
• Contoh 2.2
PT ABC mengasuransikan gedungnya kepada perusahaan asuransi dalam negeri,
yaitu perusahaan asuransi XYZ dengan membayar premi asuransi sebesar Rp
250.000.000. Untuk mengurangi risiko XYZ mengasuransi sebagian polis
asuransinya kepada perusahaan luar negeri dengan premi sebesar Rp 125.000.000
20% x 10% x Rp 125.000.000
PPH pasal 23
• Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 merupakan pajak yang dipotong atas
penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, hadiah, atau
penghargaan, selain yang telah dipotong oleh PPh Pasal 21.

• Umumnya, PPh Pasal 23 terjadi ketika ada transaksi antara 2 (dua) pihak.
Kedua belah pihak tersebut adalah pihaK yang menerima
penghasilan/penjual/pemberi jasa yang dikenakan PPh Pasal 23, dan pihak
pemberi penghasilan/pembeli/penerima jasa yang akan memotong atau
melaporkan PPh Pasal 23.
Tarif dan Objek PPh Pasal 23
• Tarif 15% dari jumlah bruto:
• Dividen, kecuali pembagian kepada orang pribadi dikenakan final, bunga dan royalti.
• Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21.

• Tarif 2% dari jumlah bruto:


• Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
• Imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain
yang telah dipotong PPh pasal 21.
• Jasa lain yang tercantum dalam PMK No. 141/PMK.03/2015.

• Wajib pajak tanpa NPWP dikenakan tarif lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23.
Pengecualian PPh Pasal 23

Berikut daftar pengecualian PPh pasal 23:


• Penghasilan yang dibayar atau berulang kepada bank;

• Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna


usaha dengan hak opsi;
Pengecualian PPh Pasal 23
• Dividen yang diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri,
koperasi, BUMN/BUMD, dengan syarat:
• Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
• Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor
• bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham
• SHU koperasi
• Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
Subjek Pemotong dan Subjek yang Dipotong PPh Pasal 23

• Subjek yang menjadi pemotong PPh pasal 23 artinya wajib pajak tersebut yang menerbitkan bukti
pemotongan PPh Pasal 23 kepada lawan transaksi. Sementara subjek yang dipotong artinya wajib
pajak menerima bukti pemotongan PPh Pasal 23 dari lawan transaksinya.
Subjek pemotong Subjek yang dipotong
Badan Pemerintah Wajib pajak dalam negeri

Subjek pajak badan dalam negeri Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Penyelenggara kegiatan
Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Perwakilan perusahaan negeri lainnya
Wajib pajak orang pribadi dalam negeri
tertentu yang ditunjuk Direktur
Jenderal Pajak (DJP)
PPh Pasal 4 ayat (2)

• PPh Pasal 4 ayat 2 (Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2) atau disebut juga
PPh final adalah pajak yang dikenakan pada wajib pajak badan
maupun wajib pajak pribadi atas beberapa jenis penghasilan yang
mereka dapatkan dan pemotongan pajaknya bersifat final.
• Istilah final di sini berarti bahwa pemotongan pajaknya hanya sekali
dalam sebuah masa pajak dengan pertimbangan kemudahan,
kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat waktu dan
pertimbangan lainnya.
Objek PPh Pasal 4 Ayat 2
• Bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan, bunga dari obligasi dan obligasi negara, dan
bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi  kepada anggota masing-masing.
• Hadiah berupa lotere/undian, dimana berapa persen yang harus dibayar adalah mengikuti
regulasi dari pemerintah.
• Transaksi saham dan surat berharga lainnya, transaksi derivatif perdagangan di bursa, dan
transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan yang diterima oleh
perusahaan modal usaha;
• Transaksi atas pengalihan aset dalam bentuk tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan sewa atas tanah dan/atau bangunan; dan
• Peredaran bruto (omzet penjualan) sebuah usaha di bawah Rp 4,8 miliar dalam 1 tahun masa
pajak;
• Pendapatan tertentu lainnya, sebagaimana diatur dalam atau sesuai dengan Peraturan
Pemerintah.
Informasi tambahan tentang 4 ayat 2
• Untuk menjadi perhatian, ketika PPh Pasal 4 Ayat 2 dikenakan atas
transaksi antara perusahaan dan individu, di mana perusahaan
bertindak sebagai penerima penghasilan tersebut, maka perusahaan
wajib menyelesaikan pajak ini.

• Adapun dalam kasus transaksi yang terjadi antara dua perusahaan,


maka pembayar harus mengumpulkan dan menyelesaikan pajak,
bukan penerima penghasilan.
PPH 4 ayat 2 - Bunga deposito / tabungan,
diskonto SBI dan jasa giro
• Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 untuk objek pajak bunga deposito/tabungan,
diskonto SBI dan jasa giro (kecuali yang diterima bank, dana pensiun,
tabungan untuk kepemilikan rumah RSS(sangat sederhana), tabungan
atau deposito di bawah Rp7.500.000) sebesar 20%

• Tarif ini merupakan bunga dari kewajiban. Penjelasan lebih rinci


terkandung dalam Pasal 4 (2) a UU PPh jo PP 131 Tahun 2000 jo KMK
51/2001.
PPH 4 ayat 2 - Bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi
• Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi ( kecuali bunga di bawah Rp240.000 tidak
dikenakan pajak ) kena PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 10%.

• Tarif ini sesuai ketentuan dalam Pasal 4 (2) a dan Pasal 17 (7) jo PP No.
15 tahun 2009.
PPH 4 ayat 2 - Bunga obligasi (surat utang
negara) dan SUN lebih dari 12 bulan
• Ketentuan tarif ini sesuai Pasal 4 (2) a UU PPh jo PP No. 16 Tahun 2009.
• Berikut rincian tarif pajaknya:

• 15% : untuk bunga dari de dengan kupon bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT (bentuk usaha
tetap)
• 20% : untuk bunga dari obligasi dengan kupon bagi wajib pajak luar negeri non BUT sesuai P3B
• 15% : untuk diskonto dari obligasi dengan kupon bagi wajib pajak luar negeri non BUT sesuai BUT
(Penghasilan dari selisih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi)
• 20% : untuk diskonto dari obligasi dengan kupon bagi wajib pajak luar negeri non BUT sesuai P3B
(Penghasilan dari selisih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi)
• 15% : untuk diskonto dari obligasi tanpa bunga bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT (Dari
selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi)
PPH 4 ayat 2 - Bunga obligasi (surat utang
negara) dan SUN lebih dari 12 bulan
• 20% : untuk diskonto dari obligasi tanpa bunga bagi wajib pajak luar negeri
non BUT sesuai P3B (Dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas
harga perolehan obligasi)
• 0% : untuk bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau
diperoleh wajib pajak reksa dana yang terdaftar pada Badan Pengawal Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan untuk tahun 2009 – 2010
• 5% : untuk bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau
diperoleh wajib pajak
• 15% : untuk bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau
diperoleh wajib pajak reksa dana yang terdaftar pada Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan untuk tahun 2014 dan seterusnya
PPH 4 ayat 2 - Dividen yang diterima/diperoleh
wajib pajak orang pribadi dalam negeri
• Dividen yang diterima atau diperoleh WP Pribadi dalam negeri
dikenakan tarif pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 sebesar 10%.

• Tarif pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 dividen ini diatur dalam Pasal 17
(2c) dan Pasal 4 (2) UU PPh.
PPH 4 ayat 2 - Hadiah undian
• Tarif pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 pada hadiah, lotre atau undian
sebesar 25% seperti diatur dalam PP No. 132 Tahun 2000.
PPH 4 ayat 2 - Transaksi derivatif berupa
kontra berjangka yang diperdagangkan di bursa
• Tarif pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 untuk transaksi derivatif berupa
kontrak berjangka panjang yang diperdagangankan di bursa sebesar
2,5% dari margin awal sebagaimana telah diatur PP No. 17 Tahun
2009.
PPH 4 ayat 2 - Transaksi penjualan sahan
pendiri
• 0,5% : untuk transaksi penjualan saham pendiri, yang diatur dalam PP
No. 14 Tahun 1997 jo KMK 282/KMK.04/1997 jo SE-15/PJ.42/1997
dan SE 06/PJ/14/1997.
• 0,1% : untuk transaksi penjualan bukan saham pendiri
Pph 4 (2) Persewaan atas tanah dan/atau bangunan
1.Objek PPh Final adalah sewa tanah dan/atau bangunan berupa tanah,
rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran,
pertokoan, gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor,
toko, rumah toko, gudang, bangunan industri.
2.Besarnya PPh Final yang dipotong adalah 10% dari jumlah
bruto nilai persewaan, baik yang menyewakan Wajib Pajak Orang
Pribadi maupun Badan.
3. Jumlah bruto nilai persewaan adalah jumlah yang
dibayarkan/terutang oleh penyewa termasuk biaya perawatan,
pemeliharaan, keamanan, fasilitas lainnya, dan service charge (baik
perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun disatukan).
Pph 4 (2) – Ketentuan Persewaan atas tanah
dan/atau bangunan
• Apabila penyewa adalah badan pemerintah, subjek pajak badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT),
kerjasama operasi, perwakilian perusahaan luar negeri lainnya dan
orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, maka PPh
yang terutang wajib dipotong oleh penyewa. Kemudian, penyewa
wajib memberikan bukti potong kepada yang menyewakan atau yang
menerima penghasilan.
• Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan subjek pajak
penghasilan selain yang disebutkan di atas, maka PPh yang terutang
wajib dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan.
Pph 4 (2) – Ketentuan Persewaan atas tanah
dan/atau bangunan
• Jika pemilik tanah dan bangunan adalah pengusaha kena pajak (PKP),
biaya sewa yang dibayar dalam satu periode tidak termasuk PPN.
• Jika pemilik tanah dan bangunan bukan merupakan PKP, total biaya
sewa yang harus dibayarkan adalah uang sewa ditambah PPN.
• Penyewa harus memberikan bukti pemotongan PPh pasal 4 ayat (2)
kepada pemilik tanah dan bangunan.
Pph 4 (2) – contoh Persewaan atas tanah
dan/atau bangunan
PT. Rubi menyewa sebuah bangunan dari PKP dengan harga Rp100.000.000 untuk jangka waktu 4 tahun. Maka PT. Rubi harus memotong PPh
Pasal 4 ayat (2) dengan perhitungan sebagai berikut:
PPh Pasal 4 ayat (2): 10% x Rp100.000.000 = Rp10.000.000
Atas pemotongan tersebut, PT. Rubi melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas pemotongan tersebut. Kemudian PT. Rubi juga
memberikan bukti potong PPh Pasal 4 ayat (2).
Sedangkan, untuk PPN yang harus memotong adalah pihak penyewa gedung. PPN atas sewa tanah dan bangunan tersebut adalah
Rp10.000.000 (PPN 10% x Rp10.000.000).

Jadi, untuk menghitung keseluruhan biaya sewa yang harus dibayarkan oleh PT. Rubi adalah: Biaya sewa selama 4 tahun + PPN – PPh Pasal 4
ayat (2).
Rp100.000.000 + Rp10.000.000 – Rp10.000.000 = Rp100.000.000/4 tahun

Jadi, biaya sewa selama 1 tahun diakui sebesar Rp25.000.000.


Pph 4 (2) - PENGALIHAN HAK ATAS TANAH
DAN/ATAU BANGUNAN
• Objek PPh final adalah penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan meliputi penjualan, tukar- menukar, perjanjian pemindahan hak,
pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati.
• Besarnya PPh Final yang dipungut adalah 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan.
• Besarnya PPh Final yang dipungut adalah 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak
atas tanah.

• 1% : untuk pengalihan rumah sederhana dan rumah susun sederhana oleh wajib
pajak yang usaha pokoknya melakaukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan
Pph 4 (2) - PENGALIHAN HAK ATAS
TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
Pembebasan PPh Final dapat diberikan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada :
• Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang jumlah bruto pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah. Pembebasan diberikan melalui penerbitan Surat
Keterangan Bebas (SKB) oleh Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
• Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus yaitu pembebasan
tanah oleh pemerintah untuk proyek-proyek jalan umum, saluran pembuangan air, waduk,
bendungan dan bangunan pengairan lainnya, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara,
fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana
lainnya, dan fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
• pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang
tidak termasuk subjek pajak (seperti: pemerintah dan perwakilan negara asing). Pembebasan
sebagaimana dimaksud dalam angka 2) dan 3) diberikan tanpa melalui penerbitan SKB.
Cara Menghitung Pajak Penjualan Tanah PPh
• Menghitung besarnya pajak penjualan tanah berupa PPh tidaklah sulit.
Misalnya dalam sebuah transaksi jual beli tanah, kedua belah pihak
telah sepakat untuk melakukan transaksi tanah senilai Rp400.000.000,
maka berdasarkan peraturan yang ditetapkan, besarnya PPh adalah:
• = 2.5% x Rp400.000.000
• = Rp10.000.000,00.
Cara Menghitung Pajak Penjualan Bangunan
BPHTB
Begitupun dengan perhitungan pajak penjualan tanah berupa BPHTB yang tidak
terlalu sulit. Misalnya, ada sebidang tanah yang sedang ditransaksikan memiliki
NPOP sebesar Rp150.000.000 NPOPTKP sebesar Rp80.000.000. Dengan
demikian, maka pajak penjualan tanah BPHTB menjadi seperti berikut ini:
NJOP Kena Pajak = NPOP – NPOPTKP
= Rp150.000.000,00 – Rp80.000.000,00
• = Rp70.000.000,00
• BPHTB Terutang (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)
• = 5% x Rp70.000.000,00
• = Rp3.500.000,00
Pph 4 (2) – JASA KONTRUKSI – pembagian jasa kontruksi
Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau
pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan
tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau
bentuk fisik lain.
• Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli
yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya
untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk
di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model
penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and
construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).
• Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli
yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam
bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
• Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli
yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan
pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
Pph 4 (2) – JASA KONTRUKSI –
Kualifikasi Kontruksi
Pph 4 (2) – JASA KONTRUKSI - tarif
CONTOH SOAL
Bapak Yoni akan membangun sebuah bangunan di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Bapak
Yoni menggunakan perusahaan jasa konstruksi yang masih dikualifikasikan sebagai perusahaan kecil.
Bapak Yoni melakukan konsultasi perencanaan, tata letak bangunan, ukuran setiap ruangan, memilih
bahan bangunan, hingga proses pengerjaaan.
Perusahaan konstruksi tersebut pun memberi Bapak Yoni sebuah dokumen yang berisikan rincian
biaya, rincian biaya ini yang dikenal sebagai nilai kontrak.
Nilai kontrak sebesar 3 miliar rupiah tersebut disetujui kedua belah pihak di atas dengan tanda
tangan diatas materai dan akan dibayar setelah pengerjaan selesai.

Nilai Kontrak X Tarif PPh Jasa Konstruksi (Perusahaan Kecil)

3 Miliar Rupiah X 3 persen = 90.000.000

Maka, penyedia jasa menyetor sebesar 90 juta rupiah ke kantor pajak sebagai Pajak Penghasilan Jasa
Konstruksi.
PENGHASILAN DARI USAHA YG
DITERIMA/DIPEROLEH WP YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU
1.Wajib Pajak yang dikenai PPh Final adalah Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
• Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha
tetap; dan
• Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tertentu tidak
melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
PENGHASILAN DARI USAHA YG DITERIMA/DIPEROLEH
WP YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

2. Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp


4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya,
termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
1.Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
2.Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
3.Usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
tersendiri; dan
4.Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
PENGHASILAN DARI USAHA YG DITERIMA/DIPEROLEH
WP YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

3. Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu


persen) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak berupa jumlah
peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha.
4. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan
pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/ atau pemungutan
Pajak Penghasilan yang bersifat final, dapat dibebaskan dari
pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain
melalui Surat Keterangan Bebas yang diterbitkan oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak.
Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 Final Untuk
UMKM
• Tarif pajak untuk UMKM, wiraswasta dan bisnis online ini menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 adalah 1 % (satu persen)
yang dipotong dari total omzet penjualan (peredaran bruto) per bulan.

• Contohnya :

• Dalam 1 bulan jumlah total penghasilan (omzet) yang didapat salah satu UMKM ini
adalah sebesar Rp55.000.000.

• PPh pasal 4 ayat 2 final atas penghasilan tersebut adalah sebesar: Rp55.000.000 x
1% = Rp550.000
PPh Pasal 15
• Dimana hal ini untuk Wajib Pajak yang bergerak atau beraktivitas di
dalam industri pelayaran, penerbangan, hingga perusahaan asing.
• Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 merupakan salah satu jenis
pengenaan pajak atau pungutan pajak pada industri di bidang
penerbangan dalam negeri, pelayaran dalam negeri, pelayaran atau
penerbangan luar negeri, serta perusahaan asing. Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 menjadi dasar hukum PPh Pasal 15.
Beberapa Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang
masih berlaku guna mengatur tentang PPh 15
• KMK Nomor 433/KMK.04/1994 tentang Norma Perhitungan Khusus Penghasilan Kena
Pajak atas Penghasilan dari Pekerjaan yang Diterima Tenaga Asing yang Bekerja pada
WP Badang Pengeboran Minyak dan Gas Bumi di Indonesia;
• KMK Nomor 634/KMK.04/1994 tentang Norma Perhitungan Khusus Penghasilan Neto
bagi WP Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia;
• KMK Nomor 284/KMK.04/1995 tentang Perlakukan PPh Terhadap Pihak-Pihak yang
Melakukan Kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate
Transfer) atau BOT;
• PMK Nomor 475/KMK.04/1996 tentang Norma Perhitungan Penghasilan Neto bagi WP
Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri;
• KMK Nomor 543/KMK.030/2001 tentang Norma Perhitungan Khusus Penghasilan Neto
dan Cara Pembayaran Pjak Penghasilan bagi WP yang Melakukan Kegiatan Usaha Jasa
Maklin (Contract Manufacturing) Internasional di Bidang Produksi Mainan Anak-Anak.
Jenis-Jenis Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
15
1.Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 atas charter penerbangan
dalam negeri
2.Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 atas pelayaran dalam negeri
3.Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 atas pelayaran atau
penerbangan luar negeri
4.Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 atas kantor wilayah dagang
asing di Indonesia
5.Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 atas Wajib Pajak yang
melakukan kegiatan usaha jasa maklon internasional di
bidang produksi mainan anak-anak.
1. PPh Pasal 15 atas Charter Penerbangan Dalam Negeri
• Objek Pajak
Yang merupakan objek pajak atas charter penerbangan dalam negeri adalah semua imbalan atau nilai
pengganti berupa nilai uang yang diperoleh atau diterima oleh Wajib Pajak sesuai dengan perjanjian
charter dari hasil pengangkutan orang atau barang yang dikirim dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain
di Indonesia atau dari pelabuhan yang berada di Indonesia ke pelabuhan luar negeri.
Perjanjian charter ini merupakan perjanjian yang meliputi semua bentuk charter, termasuk
kedalamnya adalah sewa ruangan pada pesawat udara, baik untuk orang maupun barang (space
charter).
•Subjek Pajak
Biasanya, untuk Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri harus
berkedudukan di Indonesia [Subjek Pajak Dalam Negeri Badan (SPDN Badan)].
1.PPh Pasal 15 atas Charter Penerbangan Dalam Negeri
• Tarif
Untuk tarif PPh Pasal 15 atas charter penerbangan dalam negeri:
PPh terutang = 30% x Norma Penghitungan Penghasilan Netto

Norma Penghitungan Penghasilan Neto = 6% x Peredaran Bruto

Sehingga menghasilkan tarif efektif untuk PPh terutang = 1,8% x Peredaran


Bruto (1,8% berasal dari 6% x 30%).

Pelunasan untuk PPh sebesar 1,8% ini merupakan pembayaran dari PPh Pasal
23 yang dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang dalam SPT Tahunan PPh
untuk pajak yang bersangkutan.
2. PPh Pasal 15 atas Pelayaran Dalam Negeri
• Objek Pajak
Penghasilan yang menjadi objek dari pengenaan PPh adalah meliputi
penghasilan yang diperoleh atau diterima Wajib Pajak yang berasal dari
pengangkutan orang atau barang dan termasuk kedalamnya adalah penyewaan
kapal:
- Berasal dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lain di Indonesia
- Berasal dari pelabuhan di Indonesia ke luar pelabuhan Indonesia
- Berasal dari pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia
- Berasal dari pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lain di luar Indonesia
•Subjek Pajak
Merupakan Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri
2.PPh Pasal 15 atas Pelayaran Dalam Negeri
• Tarif
PPh terutang = 30 % x Norma Penghitungan Penghasilan Netto.
Norma Penghitungan Penghasilan Netto = 4% x Peredaran Bruto

Sehingga menghasilkan tarif efektif untuk PPh terutang = 30% x 4% x


Peredaran Bruto = 1,2% x Peredaran Bruto dan bersifat final.
3. PPh Pasal 15 atas Pelayaran atau Penerbangan
Luar Negeri
• Objek Pajak
Yang merupakan objek pajak atas pelayaran atau penerbangan luar negeri adalah semua
imbalan atau nilai pengganti berupa nilai uang yang diperoleh atau diterima oleh Wajib Pajak
dari hasil pengangkutan orang atau barang yang dikirim dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain
di Indonesia atau dari pelabuhan yang berada di Indonesia ke pelabuhan luar negeri.
Sedangkan untuk imbalan yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran atau
penerbangan luar negeri atas pengangkutan orang atau barang dari pelabuhan di luar negeri
ke pelabuhan di Indonesia tidak termasuk ke dalam objek PPh Pasal 15 atas pelayaran atau
penerbangan luar negeri.

• Subjek pajak
Merupakan Wajib Pajak perusahaan pelayaran atau penerbangan luar negeri.
3.PPh Pasal 15 atas Pelayaran atau Penerbangan
Luar Negeri
• Tarif
Penghasilan netto ditetapkan sebesar 6% dari peredaran bruto.
Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak sebesar 2,64% dari
peredaran bruto dan bersifat final.
4. PPh Pasal 15 atas Kantor Perwakilan Dagang
Asing di Indonesia
• Objek Pajak
Wajib Pajak akan dikenakan pajak apabila terdapat nilai ekspor atas penghasilan
bruto yang diterima Wajib Pajak luar negeri dan memiliki kantor di Indonesia.
Nilai ekspor bruto merupakan semua nilai pengganti atau imbalan yang diperoleh
atau diterima oleh Wajib Pajak luar negeri yang memiliki kantor perwakilan dagang di
Indonesia atas penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang
berkedudukan di Indonesia.

• Subjek pajak
Merupakan Wajib Pajak luar negeri yang memiliki Kantor Perwakilan Dagang (KPD) di
Indonesia yang berasal dari negara yang belum memiliki Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia.
4. PPh Pasal 15 atas Kantor Perwakilan Dagang
Asing di Indonesia
• Tarif
Penghasilan netto = 1% dari nilai ekspor bruto.
Pajak Penghasilan Terutang ditetapkan sebesar 0,44% dari nilai
ekspor bruto dan bersifat final.
Bagi Kantor Perwakilan Dagang (KPD) yang berasal dari negara
mitra P3B dengan Indonesia, maka besarnya tarif pajak yang
terutang akan disesuaikan dengan tarif Branch Proftit Tax (BPT) dari
suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) tersebut sesuai dengan P3B yang
terkait.
5. PPh Pasal 15 atas Wajib Pajak yang Melakukan Kegiatan Usaha
Jasa Maklon Internasional di Bidang Produksi Mainan Anak-anak
• Objek Pajak
Yang merupakan objek pajak adalah jumlah dari seluruh biaya atas pembuatan dan juga
perakitan barang, tidak termasuk ke dalamnya adalah biaya atas pemakaian bahan baku.
Jadi objek pajak dalam jenis PPh Pasal 15 ini lebih kepada biaya pabrikan langsung dan
tidak langsung, serta terkait biaya umum dan juga administrasi sesuai dengan
pembukuan komersial dari Wajib Pajak, selain biaya yang merupakan bahan baku miliki
prinsipal.
• Subjek pajak
Merupakan Wajib Pajak yang melaksanakan kegiatan usaha maklon internasional, yaitu
Wajib Pajak dalam negeri yang melaksanakan kegiatan jasa berupa pembuatan atau
perakitan barang yang terkait dengan produk mainan anak-anak, dengan menggunakan
bahan-bahan, spesifikasi, petunjuk teknis, dan juga penentuan imbalan jasa yang berasal
dari pihak pemesan yang berkedudukan di luar negeri dan memiliki hubungan yang
istimewa dengan Wajib Pajak.
5. PPh Pasal 15 atas Wajib Pajak yang Melakukan Kegiatan Usaha
Jasa Maklon Internasional di Bidang Produksi Mainan Anak-anak
• Tarif
Penghasilan netto dikenakan sebesar 7% dari jumlah seluruh biaya
pembuatan atau perakitan barang, biaya yang tidak termasuk
adalah biaya atas pemakaian bahan baku. Hal ini berlaku selama
Wajib Pajak tidak mengadakan Perjanjian Penentuan Harga Transfer
bersama dengan DJP.
PPh terutang dikenakan sebesar 2,1% yang didapat dari seluruh
biaya pembuatan atau perakitan barang, biaya yang tidak termasuk
adalah biaya atas pemakaian bahan baku.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 15 untuk Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri

1. PT AAA adalah perusahaan pelayaran dalam negeri yang bergerak dalam


jasa penyewaan kapal. Tanggal 10 Januari 2020, perusahaan ini melakukan
kontrak dengan PT BBB untuk mengangkut bahan baku pembuatan kertas
dari Lampung – Banten. Nilai yang tertera dalam kontrak adalah sebesar
Rp100.000.000 dan telah dibayar pada 30 Januari 2020.

2. Pada Maret 2020 PT AAA menandatangani kontrak dengan PT CCC


berupa persewaan kapal untuk mengangkut minyak. Nilai sewa yang
disepakati adalah Rp300.000.000 dan telah dibayar pada tanggal 20 Maret
2020.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 15 untuk Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri
1. Atas penghasilan PT AAA dari PT BBB terutang PPh sebesar 1,2% dari peredaran bruto.
PPh Pasal 15 = 1,2% x Rp100.000.000 = Rp1.200.000
2. Penghasilan PT AAA dari PT CCC tidak termasuk dalam UU Pajak Penghasilan Pasal 15 karena
termasuk dalam pengertian sewa.
Oleh karena itu termasuk dalam pajak penghasilan Pasal 23 sebesar 2% dan dipotong oleh PT CCC.
PPh Pasal 23 = 2% x Rp300.000.000 = Rp6.000.000

Kewajiban PT BBB sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 15 adalah:


Memotong PPh Pasal 15 atas pembayaran jasa pengangkutan bahan baku kertas sebesar
Rp1.200.000. Serta memberikan bukti potong kepada PT AAA.
Menyetor Pajak Penghasilan yang sudah dipotong ke kas negara melalui Kantor Pos atau bank yang
sudah ditunjuk Kementerian Keuangan paling lama 15 Februari 2020.
Menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 15 Masa Pajak Januari 2020 paling lama 25 Februari 2020.
PPh Pasal 22
Landasan Hukum:
Pasal 22 UU PPh
PMK No. 154/ PMK.03/ 2010
PMK No. 253/ PMK.03/ 2008
Definisi

Merupakan pajak yang dipungut atas:

• Aktivitas pembayaran atas penyerahan barang bagi institusi pemerintah.


• Aktivitas impor barang.
• Aktivitas penjualan atau pembelian barang di industri tertentu.
• Aktivitas penjualan barang sangat mewah.

70
Pemungut, Penyetor, dan Pelapor (1)
Aktivitas Penyerahan Barang

• Bendahara pemerintah untuk mekanisme pembelian barang.


• Bendahara pengeluaran untuk mekanisme Uang Persediaan (UP).
• Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar (SPM) untuk mekanisme Pembayaran Langsung (LS).

Aktivitas Impor

• Bank Devisa
• Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

71
Pemungut, Penyetor, dan Pelapor (2)

Aktivitas di Industri Tertentu

• Badan usaha yang ditunjuk Kepala KPP untuk penjualan hasil produksi dalam negeri di industri semen, kertas,
baja, dan otomotif.
• Produsen atau importir BBM, gas, dan pelumas untuk penjualan komoditas tersebut.
• Industri atau eksportir yang ditunjuk Kepala KPP untuk pembelian bahan keperluan di sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan.

72
Tarif Pajak (1)
Aktivitas Penyerahan Barang

• 1,5% dari harga pembelian.

Aktivitas Impor

• 2,5% dari nilai impor bagi pengguna Angka Pengenal Impor (API).
• 0,5% bagi pengguna API untuk impor kedelai, gandum, dan tepung terigu.
• 7,5% dari nilai impor bagi non pengguna API.
• 7,5% dari harga jual lelang untuk barang yang tidak dikuasai.
• Nilai impor = CIF ditambah Bea Masuk dan pungutan lain.

73
Pencatatan Transaksi PPh 22
Bendaharawan Negara dan Impor
• PPh 22 Dipungut Bendaharawan Negara
• Jumlah pajak yang dipungut oleh bendaharawan merupakan pengurang kas yang
diterima dicatat sebagai pembayaran pajak dimuka.
• PPN dan PPnBM tidak dicatat, namun bukti potongnya dimintakan untuk
memperoleh restitusi pajak.

• PPh 22 Atas Impor


• Jumlah PPh 22 yang dibayarkan dicatat sebagai pajak dibayar dimuka.
• Untuk Bea Masuk dan PPnBM menjadi penambah nilai persediaan.

74
Ilustrasi
Koperasi Medang Kamulan menerima pembayaran dari Kantor Humas Pemprov atas penyediaan
furniture berbahan kayu jati senilai Rp 350.000.000,00. Berapakah beban PPh 22 dan bagaimana
pernjurnalannya (metode periodik)?

Jawaban:
Beban PPh 22 = 1,5% x 350.000.000
= Rp 5.250.000,00
Jurnal Koperasi Jurnal Humas Pemprov
Kas 344.750.000 Furniture 350.000.000
Pajak dibayar di muka PPh 22 5.250.000 Kas 344.750.000
Penjualan 350.000.000 Utang PPh 22 5.250.000

75
Ilustrasi
(Pencatatan Transaksi Bendaharawan Negara)

CV. Pancala mengirimkan tagihan ke Pemprov Aceh atas pengadaan barang sebesar Rp 220.000.000,00
termasuk PPN. Pengadaan barang tersebut dikenai pemungutan PPh 22 sebesar 1,5%. Harga pokok penjualan
atas barang tersebut adalah Rp 115.000.000,00. Bagaimanakah CV. Pancala melakukan penjurnalan?
Jawaban:

Piutang dagang 170,000,000


Pajak dibayar di muka PPh 22 30,000,000
Penjualan 200,000,000
Harga pokok penjualan 115,000,000
Persediaan 115,000,000

76
Ilustrasi - (Impor)
PT. Kutai Kartanegara melakukan transaksi jual beli dengan Tenggarong Inc. yang berdomisili usaha di luar
negeri atas sebuah mesin cetak tanpa menggunakan API. Nilai kontrak diketahui $ 10,000.00 berdasar
ketentuan FOB shipping point. PT. Kutai Kartanegara mengasuransikan pengiriman tersebut dengan biaya
premi sebesar 10% dari kontrak pembelian, dengan biaya pengangkutan senilai $ 1,500.00. Adapun Bea
Masuk dan pungutan lain masing – masing adalah senilai 20% dan Rp 5.000.000,00. Kurs yang ditetapkan
oleh Menkeu adalah Rp 10.000,00/ $ sedangkan oleh BI Rp 9.500,00/ $. Berapakah besar beban PPh 22?
Jawaban :

Cost 10,000,000.00
Insurance (10% dari Cost) 1,000,000.00
Freight 1,500,000.00
CIF 12,500,000.00
Bea M asuk (20% dari CIF) 2,500,000.00
Pungutan Lain 5,000,000.00
D PPPPN 20,000,000.00

Beban PPh 22 (Tarif 5% dari nilai impor) 1,000,000.00


77
Ilustrasi
(Pencatatan Transaksi Impor)

PT. Argabelah melakukan impor atas barang dengan nilai pembelian $ 36.000 (kurs KMK berlaku Rp 9.100/ $).
Perusahaan membayar biaya asuransi dan pengangkutan masing – masing sebesar 7,5% dan 5% dari nilai
pembelian. Bea Masuk sebesar 10% dari CIF dan Bea Masuk lainnya $ 2.500. Penyerahan barang dikenai PPN
dan PPnBM 20%. Jika perusahaan memiliki API (tarif PPh 22 2,5%), bagaimanakah penjurnalan dilakukan ?
Jawaban:
Penghitungan
Cost 36,000
Insurance (7,5%) 2,700
Freight (2,5%) 1,800
CIF 40,500
Bea M asuk (10% CIF) 4,050
Bea M asuk lainnya 2,500
Nilai impor (DPPPPh 22, PPN, PPnBM) $47,050.00
PPnBM(20% DPP) $ 9,410.00
PPh 22 (2,5% DPP) $ 1,176.25
PPN(10% DPP) $ 4,705.00
78
Ilustrasi
(Pencatatan Transaksi Impor)
Jawaban :
Nilai persediaan dicatat : (47.050 + 9.410) x 9.100) 513,786,000
Nilai Pajak dibayar di muka PPh 22 : 1.176,25 x 9.100 10,703,875
Nilai PPNmasukan : 4.705 x 9.100 42,815,500

Penjurnalan
Persediaan 513,786,000
Pajak dibayar di muka PPh 22 10,703,875
PPNmasukan 42,815,500
Kas 567,305,375

79
Tarif Pajak (2)

Aktivitas di Industri Tertentu

• Penjualan hasil produksi dalam negeri.


• 0,1% dari Dasar Pengenaan Pajak PPN (DPP PPN) di industri kertas.
• 0,25% dari DPP PPN di industri semen.
• 0,45% dari DPP PPN di industri otomotif.
• 0,3% dari DPP PPN di industri baja. 80
Tarif Pajak (3)
Aktivitas di Industri Tertentu

• Penjualan BBM, gas, dan pelumas.


• 0,25% dari harga jual BBM untuk penjualan ke SPBU Pertamina.
• 0,3% dari harga jual BBM untuk penjualan ke SPBU Non Pertamina.
• 0,3% dari harga jual minyak tanah.
• 0,3% dari harga jual gas.
• 0,3% dari harga jual pelumas.
• 0,25% dari harga beli untuk pembelian di industri kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan.

Barang Sangat Mewah (PMK No. 253/ PMK. 03/ 2008)

• 5% dari harga jual, tidak termasuk PPN dan PPnBM.

81
Pencatatan Transaksi PPh 22
Industri Tertentu
• Pihak Pemungut
• Mencatat penerimaan kas dan mengakui utang pajak, sebab harus disetor ke
kas negara.
• Pihak yang Dipungut
• Mencatat pembayaran tersebut sebagai pajak dibayar di muka pada saat
pembelian, sebab kewajiban perpajakannya telah dipenuhi.

82
Ilustrasi
(Industri Tertentu)
Koperasi Holing mengadakan penjualan kepada Ny. Sima atas 1.000 rim kertas flano dengan nilai
total Rp 77.000.000,00, termasuk PPN. Diketahui pula bahwa atas pembelian bubur kertas
sebagai bahan baku, perusahaan telah dikenai PPh 22 senilai Rp 200.000,00. Berapakah PPh 22
yang dipungut Koperasi Holing dan bagaimana penjurnalannya dengan metode periodik?
Jawaban :
Beban PPh 22 = 0,1% x (100%/ 110%) x 77.000.000
= Rp 700.000,00
Jurnal Koperasi Holing
Piutang dagang 77.700.000
Penjualan 70.000.000
Utang PPh 22 700.000
PPN keluaran 7.000.000
83
Ilustrasi
(Pencatatan Transaksi Industri Tertentu)

CV. Talkandha merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pencetakan plat baja untuk keperluan industri.
Di suatu transaksi, perusahaan mencatatkan penjualan kredit sebesar Rp 575.000.000,00, tidak termasuk PPN
dan PPh 22 (tarif 0,3%), dengan harga pokok penjualan sebesar Rp 465.000.000,00. Bagaimana penjual dan
pembeli melakukan pencatatan?
Jawaban: Penjual (CV.Talkandha)
Piutang dagang 634,225,000
Penjualan 575,000,000
PPNkeluaran 57,500,000
Utang PPh 22 1,725,000
Harga pokok penjualan 465,000,000
Persediaan 465,000,000

Pembeli
Persediaan 575,000,000
PPNmasukan 57,500,000
Pajak dibayar di muka PPh 22 1,725,000
Utang dagang 634,225,000 84
Sanksi Tarif
Bagi WP yang tidak memiliki NPWP,
tarif lebih tinggi 100% untuk PPh 22 tidak final.

Ilustrasi
CV. Tarumanegara melakukan pembelian lima keranjang ikan patin senilai Rp 1.500.000,00 per keranjang
untuk keperluan ekspor, dengan biaya pengiriman sebesar Rp 50.000,00 ditanggung Tn. Mulawarman
sebagai pedagang pengumpul. Jika Tn. Purnawarman tidak memiliki NPWP, berapakah besar PPh 22 yang
harus dipungut oleh PT. Kutai Kartanegara?
Jawaban:
Tarif PPh 22 = 0,25% x (1 + 100%)
= 0,5%
Beban PPh 22 = 0,5% x 5 x 1.500.000
= Rp 37.500,00

85
Saat Terutang dan Pelunasan
Pemungutan pajak terutang dilakukan saat pembayaran kecuali ditetapkan berlainan oleh Menkeu.
Pengecualian tersebut antara lain:

Saat pembayaran bea masuk.


Kegiatan Impor Kecuali jika pembayaran bea masuk ditunda/ dibebaskan,
pemungutan dilakukan saat penyelesaian Pemberitahuan Impor
Barang (PIB).

Kegiatan Pembelian Barang Saat pembayaran.

Pembelian Hasil Produksi Saat penjualan.

Penjualan Hasil Produksi/ Pengolahan Saat penerbitan delivery order.


Barang

Penyetoran hasil pungutan dilakukan ke Bank Persepsi atau Kantor Pos.

86
Objek Dikecualikan dari Pemungutan (1)
Impor barang dan/ atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
tidak terutang PPh.

Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/ atau PPN.

Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata – nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali.

Impor kembali, yang meliputi barang – barang yang diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau
barang yang telah diekspor untuk perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat yang
ditentutakn Ditjen Bea dan Cukai.

87
Objek Dikecualikan dari Pemungutan (2)
Pembayaran atas pengadaan barang bagi institusi pemerintah jika berjumlah maksimal Rp 2.000.000,00
dan tidak merupakan pembayaran terpecah-pecah; atau jika ditujukan untuk pembelian BBM, listrik, gas,
pelumas, air minum/ PDAM, dan benda pos.

Pembayaran untuk pembelian gabah dan/ atau beras oleh Perum Bulog.

Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas yang ditujukan untuk
ekspor.

Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana BOS.

88
Ilustrasi
Fa. Kalingga menandatangani kontrak dengan Pemerintah Kota Pasuruan untuk melakukan
penyediaan ATK senilai Rp 110.000.000,00.
a. Berapakah besar beban PPh 22?
b.Jika kontrak tersebut meliputi pula penyediaan 1000 lembar perangko nominal Rp 6.000,00 at
cost, berapakah besar beban PPh 22?

Jawaban :
c. Beban PPh 22 = 1,5% x 110.000.000
= 1,5% x 110.000.000
= Rp 1.650.000,00
b.Beban PPh 22 = 1,5% x (110.000.000 – 60.000.000)
= 1,5% x 50.000.000
= Rp 750.000,00

89
Pengecualian PPh 22
Pengecualian memerlukan bukti berupa Surat keterangan Bebas PPh 22 yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak
untuk:
• Impor barang dan/ atau penyerahan barang yang tidak terutang PPh.
• Emas batangan yang diproses untuk menghasilkan perhiasan untuk diimpor.

Pelaksanaan pengecualian dari pemungutan PPh 22 dilakukan oleh Ditjen Bea dan Cukai, dengan tata cara
yang diatur oleh Dirjen Bea dan Cukai dan/ atau Ditjen Pajak.

90
PPN & PPn BM
(Pajak Pertambahan Nilai
&
Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah)
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

• DASAR HUKUM
• UU NOMOR 8 TAHUN 1983
• UU NOMOR 11 TAHUN 1994
• UU NOMOR 18 TAHUN 2000
• UU NOMOR 42 TAHUN 2009
• PERATURAN PEMERINTAH
• KEP.MENTERI KEUANGAN
• KEP.DIRJEN PAJAK
• SE.DIRJEN PAJAK
PENGERTIAN PPN
• MENURURT DR MIYASTO, DALAM ARTIKELNYA YANG YANG
BERJUDUL STRUKRUR PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 2000,
MENYATAKAN BAHWA ”PPN ADALAH PAJAK YANG DIKENAKAN
ATAS NILAI TAMBAH DARI SUATU KOMODITI”.

• MENURUT PROF.DR.ROCHMAT SOEMITRO, SH MENYATAKAN


BAHWA “PPN ADALAH PAJAK YANG SECARA LANGSUNG
MENYANGKUT PRODUKSI BARANG DAN JASA YANG DIGUNAKAN
OLEH RAKYAT TIDAK PANDANG KAYA ATAU MISKIN”.
LEGAL CHARACTER
PPN
1. PPN MERUPAKAN PAJAK TIDAK LANGSUNG
2. PPN MERUPAKAN PAJAK OBYEKTIF
3. PPN BERSIFAT MULTI STAGE LEVY
4. PPN MENGGUNAKAN SISTEM “CREDIT INVOICE
METHOD”
5. PPN BERSIFAT NETRAL
6. PPN DENGAN TARIF TUNGGAL
DAERAH PABEAN
• WILAYAH RI MELIPUTI :
• DARA, PERAIRAN, LAPISN UDARA DI ATASNYA, TEMPAT-TEMPAT
TERTENTU DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF DAN LANDAS KONTINEN
BARANG KENA PAJAK (BKP)
• BARANG BERWUJUD YANG MENURUT SIFAT ATAU HUKUMNYA, DAPAT
BERUPA BARANG BERGERAK ATAU BARANG TIDAK BERGERAK, DAN
BARABG TIDAK BERWUJUD, YANG DIKENAKAN PAJAK BERDASARKAN UU
PPN 1984
• PADA PRINSIPNYA SEMUA BARANG ADALAH MERUPAKAN BARANG
KENA PAJAK, KECUALI UU PPN MENENTUKAN LAIN
JASA KENA PAJAK (JKP)
• SETIAP KEGIATAN PELAYANAN BERDASARKAN SUATU PERIKATAN/PERBUATAN HUKUM
YANG MENYEBABKAN SUATU BARANG ATAU FASILITAS ATAU KEMUDAHAN ATAU HAK,
TERSEDIA UNTUK DIPAKAI
• TERMASUK JASA YANG DILAKUKAN UNTUK MENGHASILKAN BARANG KARENA PESANAN
ATAU PERMINTAAN, DENGAN BAHAN DN ATAS PETUNJUK DARI PEMESAN
• PADA PRINSIPNYA SEMUA JASA ADALAH MERUPAKAN JASA KENA PAJAK, KECUALI UU
PPN MENENTUKAN LAIN
PENYERAHAN BKP
1. PENYERAHAN HAK ATAS BKP KARENA SUATU PERJANJIAN (JUAL-BELI,
TUKAR-MENUKAR, JUAL-BELI DENGAN ANGSURAN)

2. PENGALIHAN BKP KARENA SUATU PERJANJIAN SEWA-BELI DAN LEASING


(SGU DENGAN HAK OPSI) YANG TERUTANG PPN ADALAH TRANSAKSI
PENYERAHAN BARANG DARI SUPLLIER KEPADA LESSEE, SEDANGKAN JASA
LEASING (JASA PEMBIAYAAN) PENYERAHAN DARI LESSOR KEPADA LESSE
BUKAN MERUPAKAN OBYEK PPN

3. PENYERAHAN BKP KEPADA PEDAGANG PERANTARA


4. PENYERAHAN BKP MELALUI JURU LELANG. PPN
TERUTANG PADA SAAT JURU LELANG MENYERAHKAN KEPADA PEMBELINYA
(PEMENANG LELANG)
PENYERAHAN BKP
5. PEMAKAIAN SENDIRI DAN PEMBERIAN CUMA-CUMA ATAS BK
(SEJAK 18 FEBRUARI 2002 PEMBERIAN CUMA-CUMA MELIPUTI : BKP
PRODUKSI SENDIRI DAN YANG BUKAN PRODUKSI SENDIRI)
6. PERSEDIAAN BKP DAN AKTIVA, YANG MENURUT TUJUAN SEMULA
TIDAK UNTUK DIPERJUAL-BELIKAN, YANG TERSISA PADA SAAT
PEMBUBARAN PERUSAHAAN.
7. PENYERAHAN BKP DARI KANTOR PUSAT KECABANG ATAU
SEBALIKNYA DAN PENYERAHAN BKP ANTAR CABANG (DALAM HAL
PIHAK-PIHAK TSB BERADA DALAM WILAYAH KANTOR PELAYANAN
PAJAK YANG BERBEDA).
8. PENYERAHAN BKP SECARA KONSINYASI
TIDAK TERMASUK PENYERAHAN BKP
• PENYERAHAN BKP KEPADA MAKELAR
• PENYERAHAN BKP UNTUK JAMINAN UTANG
PIUTANG
• PENYERAHAN BKP DARI KANTOR PUSAT KE
KANTOR CABANG DAN SEBALIKNYA ANTAR
CABANG, BAGI PKP YANG TELAH MEMPEROLEH
PEMUSATAN TEMPAT PAJAK TERUTANG.
PENYERAHAN JKP
• PENYERAHAN JKP ADALAH SETIAP KEGIATAN PEMBERIAN JASA KENA
PAJAK, TERMASUK PEMAKAIAN SENDIRI, PEMBERIAN CUMA-CUMA
OLEH PKP, ATAS PENYERAHANNYA TERUTANG PPN
PENYERAHAN YANG
MERUPAKAN OBYEK PAJAK
• UNTUK PENYERAHAN BARANG DAN JASA, TRANSAKSI TERSEBUT DIKENAKAN
PPN APABILA MEMENUHI SYARAT :

1.BARANG ATAU JASA YANG DISERAHKAN MERUPAKAN BARANG KENA PAJAK


ATAU JASA KENA PAJAK
2.PENYERAHAANYA DILAKUKAN (TERJADI) DI DALAM DAERAH PABEAN (DI
DALAM NEGERI)
3.PENYERAHAN DILAKUKAN OLEH PKP DLAM KEGIATAN USAHA ATAU
PEKERJAAN PENGUSAHAN YANG BERSANGKUTAN.

• APABILA SALAH SATU SYARAT TERSEBUT DI ATAS TIDAK TERPENUHI,


PENYERAHAN ITU BUKAN MERUPAKAN OBYEK PPN
CONTOH PENYERAHAN
YANG MENJADI OBYEK PPN
1. PT.INDO CEMEN, PABRIKAN SEMEN, MENJUAL PRODUKNYA BERUPA SEMEN KEPADA
PARA PEMBELI DI DALAM NEGERI
2. PT. KRAMA YUDHA TIGA BERLIAN, MELAKUKAN IMPOR KENDARAAN BERMOTOR
MITSHUBISHI DARI JEPANG.
3. PY.PRIME TAX, PERUSAHAAN KONSULTAN PAJAK, MEMBERIKAN JASA KONSULATASI
KEPADA PARA KLIENNYA DI DALAM NEGERU
4. PT. COCA COLA INDONESIA, PABRIKAN MINUMAN RINGA MERK COCA COLA
MEMANFAATKAN HAK MENGGUNAKAN MERK COCA COLA DARI COCA COLA CORP. DI
AMERIKA
5. PT. BANGUN CIPTA SARANA, SEBUAH PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI MEMBANGUN
GEDUNG UNTUK DIPAKAI SENDIRI
MEKANISME DAN CARA KERJA
SISTEM PPN

1. PKP YANG MELAKUKAN PENYERAHAN BKP/JKP, WAJIB MEMUNGUT PPN DARI


PEMBELI/PENERIMA BKP/JKP SEBESAR 10 % DARI HARGA JUAL/PENGGANTIAN
UNTUK SEKARANG TARIF PPN SUDAH DI UBAH MENJADI 11% DASAR HUKUM UU HPP.
SEBAGAI BUKTI PEMUNGUTAN PPN TERSEBUT PKP MEMBUAT/MENERBITKAN
FAKTUR PAJAK

2. PPN YANG TERCANTUM DI DALAM FAKTUR PAJAK INI MERUPAKAN PAJAK KELUARAN
(OUT PUT TAX)
3. PADA WAKTU PKP TSB MELAKUKAN PEMBELIAN BKP/JKP, MAKA PKP AKAN
DIPUNGUT PPN SEBESAR 11 % DARI JUMLAH YANG DIBAYAR ATAU SEHARUSNYA
DIBAYAR OLEH PENJUAL (PEMBELI MENERIMA FAKTUR PAJAK). PPN YANG DIBAYAR
OLEH PKP TSB MERUPAKAN PAJAK MASUKAN (IN PUT TAX)

4. JUMLAH PAJAK MASUKAN YANG DIBAYAR DIPERHITUNGKAN DENGAN PAJAK


KELUARAN YANG DIPUNGUT OLEH PKP TSB.
5. JANGKA WAKTU PERHITUNGANNYA ADALAH DALAM SATU MASA PAJAK (YAITU
SELAMA SATU BULAN TAKWIM/BULAN KALENDER).
MEKANISME DAN CARA KERJA
SISTEM PPN

APABILA DALAM SUATU MASA PAJAK :


PAJAK KELUARAN LEBIH BESAR DARI PAJAK MASUKAN, SELISIHNYA HARUS
DISETOR KE KAS NEGARA, SELAMBAT-LAMBATNYA PADA TANGGAL 15 BULAN
BERIKUTNYA SETELAH BERAKHIRNYA MASA PAJAK YANG BERSANGKUTAN
PAJAK MASUKAN LEBIH BESAR DARI PAJAK KELUARAN , SELISIHNYA
MERUPAKAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG DAPAT DIMINTA ATAU
DIKOMPENSASIKAN KE MASA PAJAK BERIKUTNYA
PKP TSB WAJIB MENYAMPAIKAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA (SPT MASA)
PPN (SETELAH MASA PAJAK BERAKHIR) YAITU SEBAGAI SARANA PELAPORAN
PERHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PPN (SELAMA MASA PAJAK) KE KANTOR
PELAYANAN PAJAK (KPP) TEMPAT PKP TERDAFTAR, PALING LAMBAT TANGGAL
20 BULAN BERIKUTNYA SETELAH AKHIR MASA PAJAK.
CONTOH/ILUSTRASI
PERHITUNGAN PPN
• BULAN JANUARI 2005, PT JAYA ABADI (PKP) MELAKUKAN PENYERAHAN BKP SEJUMLAH
Rp 200 JUTA. PPN TERUTANG DIPUNGUT OLEH PT JAYA ABADI SEBESAR 10 % X Rp 200
JUTA=Rp 20 JUTA.
• PADA WAKTU PT JAYA ABADI MELAKUKAN PEMBELIAN BKP SENILAI Rp 180 JUTA,
MEMBAYAR PPN TERUTANG ATAS PEMBELIAN BKP TSB SEBESAR 10 %X Rp 180 JUTA=Rp
18 JUTA.
• PENGHITUNGAN PENGKREDITAN PPN OLEH PT JAYA ABADI UNTUK MASA PAJAK
JANUARI 2005 SBB :
• PAJAK KELUARAN =Rp 20 JUTA
• PAJAK MASUKAN =Rp 18 JUTA
• PPN KURANG BAYAR = Rp 2JUTA
• JUMLAH Rp 2 JUTA TSB HARUS DISETOR KE KAS NEGARA MELALUI BANK PERSEPSI
PALING LAMBAT TANGGAL 15 FEBRUARI 2005, PENGHITUNGAN TSB DIMASUKAN KE
FORMULIR SPT MASA PPN JANUARI 2005, DILAPORKAN KE KPP PALING LAMBAT
TANGGAL 20 FEBRUARI 2005
OBJEK PAJAK
• BERDASARKAN PASAL 4, PASAL 16C DAN PASAL 16D UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2000
MENYEBUTKAN BAHWA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DIKENAKAN ATAS:
• a. PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK (BKP) DI DALAM DAERAH PABEAN YANG DILAKUKAN OLEH
PENGUSAHA.
• b. IMPOR BARANG KENA PAJAK (BKP).
• c. PENYERAHAN JASA KENA PAJAK (JKP) DI DALAM DAERAH PABEAN YANG DILAKUKAN OLEH
PENGUSAHA.
• d. PEMANFAATAN BKP TIDAK BERWUJUD DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN
• e. PEMANFAATAN JKP DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN.
• f. MEMBANGUN SENDIRI YANG DILAKUKAN TIDAK DALAM KEGIATAN USAHA ATAU PEKERJAAN
OLEH ORANG PRIBADI/BADAN.
• g. PENYERAHAN AKTIVA OLEH PKP YANG MENURUT TUJUAN SEMULA AKTIVA TERSEBUT TIDAK
UNTUK DIPERJUAL BELIKAN SEPANJANG PPN YANG DIBAYAR PADA MASA PEROLEHANNYA DAPAT
DIKREDITKAN.
JENIS BARANG YANG TIDAK DIKENAKAN PPN

• BERDASARKAN UU NO.18 TAHUN 2000 DIDASARKAN ATAS


KELOMPOK BARANG SEBAGAI BERIKUT:
a. BARANG HASIL PERTAMBANGAN YANG DIAMBILLANGSUNG
DARI SUMBERNYA.
b. BARANG-BARANG KEBUTUHAN POKOK YANG SANGAT
DIBUTUHKAN OLEH RAKYAT BANYAK.
c. MAKANAN DAN MINUMAN YANG DISEDIAKAN DI HOTEL,
RESTORAN DAN RUMAH MAKAN.
d PENYERAHAN.UANG, EMAS BATANGAN, DAN SURAT-SURAT
BERHARGA.
JENIS JASA YANG TIDAK DIKENAKAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI
• BERDASARKAN PASAL 4A DAN DIPERBARUHI LEBIH LANJUT DALAM PASAL 5 SAMPAI DENGAN
16 UU NO.18 TAHUN 2000 ADALAH KELOMPOK JASA SEBAGAI BERIKUT:
• a. JASA BIDANG PELAYANAN KESEHATAN MEDIK.
• b. JASA BIDANG PELAYANAN SOCIAL.
• c. JASA BIDANG PENGIRIMAN SURAT DENGAN PERANGKO
• d. JASA BIDANG PERBANKAN, ASURANSI, DAN SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI.
• e. JASA BIDANG KEAGAMAAN.
• f. JASA BIDANG PENDIDIKAN.
• g. JASA BIDANG KEAMANAN DAN HIBURAN YANG TELAH DIKENAKAN PAJAK
TONTONAN.
• h. JASA BIDANG PENYIARAN YANG BUKAN BERITA IKLAN.
• i JASA BIDANG ANGKUTAN UMUM DI DARAT DAN DI AIR.
• j. JASA BIDANG TENAGA KERJA.
• k. JASA BIDANG PERHOTELAN.
• l. JASA YANG DISEDIAKAN OLEH PEMERINTAH.
BUKAN OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI
• BARANG HASIL PERTAMBANGAN, PENGGALIAN, DAN PENGEBORAN, YANG DIAMBIL LANGSUNG DARI
SUMBERNYA, MINYAK MENTAH, GAS BUMI, PASIR, KERIKIL, BIJI BESI, TIMAH, EMAS.
• BARANG HASIL PERTANIAN, HASIL PERKEBUNAN, DAN HASIL KEHUTANAN YANG DIPETIK LANGSUNG ATAU
DIAMBIL LANGSUNG DARI SUMBERNYA.
• BARANG HASIL PETERNAKAN, PERBURUAN/PENANGKAPAN, ATAU PENANGKARAN YANG DIAMBIL
LANGSUNG DARI SUMBERNYA.
• BARANG – BARANG KEBUTUHAN POKOK : BERAS, GABAH JAGUNG, SAGU, KEDELAI, GARAM BAIK YANG
BERYODIUM MAUPUN TIDAK BERYODIUM.
• LISTRIK, KECUALI LISTRIK UNTUK PERUSAHAAN DENGAN DAYA DIATAS 6600 WATT.
• SAHAM, OBLIGASI, DAN SURAT – SURAT BERHARGA SEJENISNYA.
• AIR BERSIH YANG DISALURKAN MELALUI PIPA
PENYERAHAN YANG
MERUPAKAN OBYEK PAJAK
• UNTUK PENYERAHAN BARANG DAN JASA, TRANSAKSI TERSEBUT DIKENAKAN
PPN APABILA MEMENUHI SYARAT :

1.BARANG ATAU JASA YANG DISERAHKAN MERUPAKAN BARANG KENA PAJAK


ATAU JASA KENA PAJAK
2.PENYERAHAANYA DILAKUKAN (TERJADI) DI DALAM DAERAH PABEAN (DI
DALAM NEGERI)
3.PENYERAHAN DILAKUKAN OLEH PKP DLAM KEGIATAN USAHA ATAU
PEKERJAAN PENGUSAHAN YANG BERSANGKUTAN.

• APABILA SALAH SATU SYARAT TERSEBUT DI ATAS TIDAK TERPENUHI,


PENYERAHAN ITU BUKAN MERUPAKAN OBYEK PPN
SUBJEK PPN
• SUBJEK PPN ADALAH ORANG ATAU BADAN YANG MEMILIKI KEWAJIBAN UNTUK MEMUNGUT,
MENYETOR DAN MELAPORKAN PPN TERUTANG. JUGA DITENTUKAN OLEH MELEKATNYA KEWAJIBAN
PERPAJAKAN SECARA AKTIF PADA SUATU PIHAK.

1. PENGUSAHA KENA PAJAK YANG MELAKUKAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN ATAS
PENYERAHAN JASA KENA PAJAK DI DALAM DAERAH PABEAN DAN ATAU MELAKUKAN EKSPOR
BARANG KENA

2. PENGUSAHA KECIL DIPERKENANKAN UNTUK MEMILIH DIKUKUHKAN MENJADI PENGUSAHA KENA


PAJAK(PKP). APABILA MENJADI PKP MAKA UU INI BERLAKU SEPENUHNYA BAGI PENGUSAHA KECIL
TERSEBUT.

3. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG TERUTANG ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TIDAK
BERWUJUD ATAU PENYERAHAN JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN, HARUS DIPUNGUT
ORANG PRIBADI ATAU BADAN YANG MEMANFAATKAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD ATAU
JASA KENA PAJAK TERSEBUT
PENGUSAHA KENA PAJAK
• SUBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAPAT DIKELOMPOKKAN MENJADI :
• MENURUT PASAL 4 HURUF A, C, DAN F SERTA PASAL 160 JA PASAL 1 HURUF I UU 1984 JO PASAL 2
PERATURAN PEMERINTAH NO. 50 TAHUN 1994,
• PENGUSAHA KENA PAJAK :
1. PENGUSAHA YANG MENYERAHKAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA PAJAK DI DALAM PABEAN.
2. PENGUSAHA YANG MEMANFAATKAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD ATAU DASAR KENA PAJAK DARI
LUAR DAERAH DI DALAM DAERAH PABEAN.
3. PENGUSAHA KECIL YANG MEMILIH DIKUKUHKAN SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK.
4. PENGUSAHA YANG MENGIMPOR BARANG KENA PAJAK.
5. PENGUSAHA YANG MENYERAHKAN AKTIVA YANG MENURUT TUJUAN SEMULA TIDAK UNTUK
DIPERJUALBELIKAN.
BUKAN PENGUSAHA KENA PAJAK
• Bukan pengusaha kena pajak
• Menurut Pasal 4 huruf b, huruf d, dan huruf c serta pasal 16C UU PPN
1984 bukan pengusaha kena pajak.
• Siapapun yang memanfaatkan barang kena pajak tidak berwujud dan
atau jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah paben.
• Siapapun yang mengekspor barang kena pajak.
• Siapapun yang membangun sendiri tidak dalam lingkungan perusahaan
dan pekerjaannya.
PENGUSAHA/PKP
• PENGUSAHA ADALAH ORANG PRIBADI ATAU BADAN DALAM BENTUK APAPUN DI DALAM
LINGKUNGAN PERUSAHAAN ATAU PEKERJAANNYA MENGHASILKAN BARANG, MENGEKSPOR
BARANG, MELAKUKAN USAHA PERDAGANGAN, MEMANFAATKAN BARANG TIDAK BERWUJUD
DARI LUAR DAERAH PABEAN, MELAKUKAN USAHA JASA, ATAU MEMANFAATKAN JASA DARI
LUAR DAERAH PABEAN.
• PENGERTIAN PENGUSAHA KENA PAJAK ADALAH PENGUSAHA YANG MELAKUKAN
PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK ATAU PENYERAHAN JASA KENA PAJAK YANG
DIKENAKAN PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, TIDAK
TERMASUK PENGUSAHA KECIL YANG BATASANNYA DITETAPKAN OLEH MENTERI
KEUANGAN, KECUALI PENGUSAHA KECIL YANG MEMILIH UNTUK DIKUKUHKAN MENJADI
PENGUSAHA ENA PAJAK.
KEWAJIBAN PKP
• PENGUSAHA YANG MELAKUKAN :
• PENYERAHAN BKP/PENYERAHAN JKP EKSPOR BKP
ATAU MEMILIH MENJADI PKP
• WAJIB :
• MELAPORKAN USAHANYA UNTUK DIKUKUHKAN SEBAGAI PKP
• MEMUNGUT PPN DAN PPnBM TERUTANG
• ]MENYETOR PPN/PPnBM TERUTANG
• MELAPORKAN PPN/PPnBM DALAM SPT MASA PPN/PPnBM SETIAP BULAN
PENGUSAHA KECIL
PMK NOMOR 197/PMK.03/2013 Pasal 1
• Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan
bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
• Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
jumlah keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh
pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya
• Bagi pengusaha orang pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan,
pengertian tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tahun kalender.
PEDAGANG ECERAN
• PENGUSAHA YANG DALAM KEGIATAN USAHA ATAU PEKERJAANNYA MELAKUKAN USAHA
PERDAGANGAN DENGAN CARA :
• MENYERAHKAN BKP MELALUI SUATU TEMPAT PENJUALAN ECERAN SEPERTI TOKO, KIOS ATAU
DENGAN CARA PENJUALAN YANG DILAKUKAN LANGSUNG KEPADA KONSUMEN AKHIR, ATAU
DNGAN CARA PENJUALAN YANG DILAKUKAN DARI RUMAH KE RUMAH; DAN
• MENYEDIAKAN BKP YANG DISERAHKAN DI TEMPAT PENJUALAN; DAN
• MELAKUKAN TRANSAKSI JUAL-BELI SECARA SPONTAN, TANPA DIDAHULUI PENAWARAN TERTULIS,
PEMESANAN TERTULIS, KONTRAK ATAU LELANG, DAN PADA UMUMNYA PEMBELI DATANG KE
TEMPAT PENJUALAN LANGSUNG MEMBAWA SENDIRI BKP YANG DIBELINYA
PAJAK MASUKAN DAN PAJAK
KELUARAN
• YANG DIMAKSUD PAJAK MASUKAN ADALAH PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI YANG DIBAYAR OLEH PENGUSAHA KENA PAJAK PADA WAKTU
PEMBELIAN BARANG KENA PAJAK DAN ATAU PADA WAKTU
PENERIMAAN JASA KENA PAJAK.

• SEDANGKAN PAJAK KELUARAN ADALAH PAJAK PERTAMBAHAN NILAI


YANG DIPUNGUT OLEH PENGUSAHA KENA PAJAK PADA WAKTU
PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK KEPADA PEMBELI DAN ATAU PADA
WAKTU PENERIMAAN JASA KENA PAJAK.
FAKTUR PAJAK
1. FAKTUR PAJAK STANDAR
FAKTUR PAJAK STANDAR MERUPAKAN FAKTUR PAJAK YANG DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI BUKTI
PUNGUTAN PAJAK DAN SEBAGAI SARAN UNTUK MENGKREDITKAN PAJAK MASUKAN. UNTUK SETIAP
PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA PAJAK HARUS DIBUAT SATU FAKTUR PAJAK
STANDAR.

2. FAKTUR PAJAK GABUNGAN.


FAKTUR PAJAK GABUNGAN ADALAH FAKTUR PAJAK STANDAR YANG MELIPUTI SEMUA PENYERAHAN
BARANG KENA PAJAK ATAU PENYERAHAN JASA KENA PAJAK YANG TERJADI SELAMA SATU BULAN
TAKWIM KEPADA PEMBELI YANG SAMA ATAU PENERIMA JASA KENA PAJAK YANG SAMA.

3. FAKTUR PAJAK SEDERHANA.


FAKTUR PAJAK SEDERHANA ADALAH FAKTUR PAJAK YANG DIGUNAKAN SEBAGAI TANDA BUKTI
PEMUNGUTAN PPN ATAS KEGIATAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA
PAJAKYANG DILAKUKAN SECARA LANGSUNG KEPADA KONSUMEN AKHIR DAN KEGIATAN
PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA PAJAK KEPADA PEMBELI BARANG KENA
PAJAK ATAU PENERIMA JASA KENA PAJAK YANG TIDAK DIKETAHUI IDENTITASNYA.
FAKTUR PAJAK MEMUAT
• BERDASARKAN PASAL 13(5) UNDANG-UNDANG PPN, BAHWA MENYEBUTKAN DALAM
FAKTUR PAJAK HARUS DICANTUMKAN KETERANGAN TENTANG PENYERAHAN BARANG
KENA PAJAK ATAU PENYERAHAN JASA KENA PAJAK YANG PALING SEDIKIT MEMUAT:

1. NAMA, ALAMAT, NPWP PEMBELI BARANG KENA PAJAK ATAU PENERIMA JASA KENA
PAJAK.
2. NAMA, ALAMAT, NPWP YANG MENYERAHKAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA
PAJAK.
3. JENIS BARANG ATAU JASA, JUMLAH HARGA JUAL ATAU PENGGANTIAN DAN POTONGAN
HARGA JUAL.
4. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG DIPUNGUT.
5. PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH YANG DIPUNGUT.
6. KODE, NOMOR SERI DAN TANGGAL PEMBUATAN FAKTUR PAJAK.
7. NAMA, JABATAN DAN TANDA TANGAN YANG BERHAK ATAS FAKTU PAJAK TERSEBUT.
FAKTUR PAJAK CACAT (TIDAK SAH)

• MENURUT SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK NO.SE-27/PJ.52/2003 TANGGAL 27 NOVEMBER 2003.


YANG DIMAKSUD DENGAN FAKTUR PAJAK TIDAK SAH ADALAH:

• 1. FAKTUR PAJAK YANG DITERBITKAN ATAS SUATU TRANSAKSI OLEH WAJIB PAJAK
YANG BELUM DIKUKUHKAN SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK.

• 2. FAKTUR PAJAK YANG DITERBITKAN OLEH WAJIB PAJAK YANG ALAMATNYA TIDAK
DIKETAHUI ATAU TIDAK DIKENAL.

• 3. FAKTUR PAJAK YANG DITERBITKAN OLEH WAJIB PAJAK YANG MENGGUNAKAN


NOMOR NPWP DAN NOMOR PENGUKUHAN PKP MILIK ORANG PRIBADI ATAU BADAN
LAIN.

• 4. FAKTUR PAJAK YANG SECARA NORMAL MEMENUHI KETENTUAN PASAL 13(5)


UNDANG-UNDANG PPN, TETAPI TIDAK MEMENUHI SECARA MATERIAL YAITU
TIDAK ADA PENYERAHAN BARANG DAN ATAU UANG, ATAU BARANG
DISERAHKAN KEPADA PEMBELI SEBAGAIMANA TERTERA PADA FAKTUR PAJAK.
PAJAK MASUKAN YG DAPAT DIKREDITKAN

• KRITERIA UMUM BAHWA SUATU PAJAK MASUKAN DAPAT DIKREDITKAN, ADALAH


APABILA MEMENUHI BEBERAPA PERSYARATAN SEBAGAI BERIKUT
1. MEMENUHI PERSYARATAN FORMAL, YAITU:
• a. TERCANTUM DALAM FAKTUR PAJAK STANDAR ATAS DOKUMEN YANG DIPERLAKUKAN
SEBAGAI FAKTUR PAJAK STANDAR SESUAI DENGAN KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN.
• b. PAJAK MASUKAN DAN PAJAK KELUARAN HARUS DALAM MASA PAJAK YANG SAMA ATAU
DALAM MASA PAJAK YANG TIDAK SAMA SEPANJANG BELUM MELAMPAUI BULAN KETIGA
SETELAH AKHIR TAHUN BUKU DAN PEROLEHANNYA SUDAH DALAM PEMBUKUAN,
SEBAGAIMANA diatur dalam Pasal 9 ayat (2) DAN AYAT (9) UU PPN 1984 JO PASAL 32 AYAT (4)
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 50 TAHUN 1994.
2. PAJAK MASUKAN MEMENUHI PERSYARATAN MATERIL, YAITU:
• a. BERHUBUNGAN LANGSUNG DENGAN KEGIATAN USAHA MELAKUKAN PENYERAHAN KENA
PAJAK SEBAGAIMANA DIATUR DALAM PASAL 9 AYAT (5) JO AYAT (8) HURUF B UU PPN 1984.
• b. BELUM DIBEBANKAN SEBAGAI BIAYA.
PAJAK MASUKAN YANG TIDAK DAPAT DIKREDITKAN

• BERDASARKAN PASAL 9 AYAT (8) DAN PASAL 16B AYAT (3) UNDANG-UNDANG PPN TAHUN
1984 JIS PASAL 32 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 50 TAHUN 1994 DAN KMK NOMOR
643/KMK.04/1994 TANGGAL 29 DESEMBER 1994 SERTA NOMOR 252/KMK.04/1998
TANGGAL 29 APRIL 1998 TELAH DITETAPKAN JENIS-JENIS PAJAK MASUKAN YANG
TIDAK DAPAT DIKREDITKAN, YAITU:
a. PEROLEHAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA PAJAK SEBELUM PENGUSAHA
DIKUKUHKAN SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK.
b. PEROLEHAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA PAJAK YANG TIDAK MEMPUNYAI
HUBUNGAN LANGSUNG DENGAN KEGIATAN USAHA
c. PEROLEHAN KENDARAAN BERMOTOR, JEEP,VAN, STASIUN WAGON.
d. PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD ATAU JASA KENA PAJAK
DILUAR DAERAH PABEAN SEBELUM PENGUSAHA DIKUKUHKAN SEBAGAI PENGUSAHA
KENA PAJAK.
PAJAK MASUKAN YANG TIDAK DAPAT
DIKREDITKAN
e. PEROLEHAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA PAJAK YANG
BUKTI PUNGUT PAJAKNYA FAKTUR PAJAK SEDERHANA.
f. PEROLEHAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA PAJAK YANG
FAKTUR PAJAKNYA TIDAK LENGKAP SEBAGAIMANA DIAMAKSUD
DALAM TATA CARA PENGISIAN FAKTUR PAJAK.
g. PEROLEHAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA PAJAK YANG
PAJAK MASUKANNYA DITAGIH DENGAN PENERBITAN KETETAPAN
PAJAK.
h. PEROLEHAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA PAJAKYANG
PAJAK MASUKANYA TIDAK DILAPORKAN DALAM SURAT
PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG
DITEMUKAN PADA SAAT PEMERIKSAAN
PENCATATAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

• Pajak Pertambahan Nilai mempunyai dua metode dalam


pencatatan akuntansinya, yaitu:
a. Prinsip Akrual.
• Dalam prinsip ini, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat
penyerahan barang, jasa, impor barang, meskipun penyerahan
tersebut belum sepenuhnya diterima pembayarannya. Hal ini
diatur dalam pasal 11 Ayat (1) UU PPN 1984.
b. Prisip Kas Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat
pembayaran
MEKANISME PENGKREDITAN
PAJAK
• SEBAGAIMANA DIATUR DALAM PASAL 9 UU PPN 1984 PRINSIP DASAR PENGKREDITAN
PAJAK MASUKAN DAPAT DIRINCI SECARA GARIS BESAR SEBAGAI BERIKUT (UNTUNG
SUKARDJI, 1998:80) :
1. PAJAK MASUKAN DALAM SUATU MASA PAJAK DAPAT DIKREDITKAN DENGAN PAJAK
KELUARAN UNTUK MASA PAJAK YANG SAMA (PASAL 9 AYAT 2)
2. APABILA DALAM SUATU MASA PAJAK, JUMLAH PAJAK KELUARAN LEBIH BESAR
DARIPADA JUMLAH PAJAK MASUKAN, MAKA SELISIHNYA MERUPAKAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI YANG WAJIB DIBAYAR OLEH PENGUSAHA KENA PAJAK (PASAL 9
AYAT 3)
3. APABILA DALAM SUATU MASA PAJAK, JUMLAH PAJAK MASUKAN LEBIH BESAR DARI
PADA JUMLAH PAJAK KELUARAN, MAKA SELISIHNYA MERUPAKAN KELEBIHAN PAJAK
MASUKAN YANG DAPAT DIKOMPENSASIKAN PADA MASA PAJAK BERIKUTNYA (PASAL 9
AYAT 4)
4. PAJAK MASUKAN YANG DAPAT DIKREDITKAN ADALAH PAJAK MASUKAN YANG DIBAYAR
UNTUK PEROLEHAN BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK YANG
BERHUBUNGAN LANGSUNG DENGAN KEGIATAN USAHA MELAKUKAN PENYERAHAN
KENA PAJAK (PASAL 9 AYAT 5 JO AYAT 8 HURUF B)
PENGEMBALIAN KELEBIHAN
PEMBAYARAN PAJAK
1. Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Masukan, pada hakekatnya
hanya boleh dilakukan pada akhir tahun buku kecuali apabila kelebihan
tersebut terjadi secara akibat dari :
2. Ekspor Barang Kena Pajak dan/atau
3. Kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, boleh dikembalikan setiap akhir Masa
Pajak (pasal 9 ayat 10, 11, 12 dan 13)
4. Meskipun berhubungan langsung dengan kegiatan usaha menghasilkan
penyerahan kena pajak, dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan
Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan (pasal 9 ayat 8 dan Pasal 16
B ayat 3).
DASAR PENGENAAN PAJAK
• DPP ADALAH NILAI BERUPA UANG YANG DIJADIKAN DASAR UNTUK
MENGHITUNG PAJAK YANG TERUTANG
• JENIS-JENIS DPP :
• HARGA JUAL.UNTUK PENYERAHAN BKP
• PENGGANTIAN UNTUK PENYERAHAN JKP
• NILAI IMPOR UNTUK IMPOR BKP
• NILAI EKSPOR UNTUK EKSPOR BKP
• NILAI LAIN> DITETAPKAN OLEH MENTERI KEUANGAN
PENGERTIAN DPP
• HARGA JUAL/PENGGANTIAN
ADALAH NILAI BERUPA UANG, TERMASUK SEMUA BIAYA YANG DIMINTA ATAU SEHARUSNYA DIMINTA OLEH
PENJUAL/PEMBERI JASA KARENA PENYERAHAN BKP/JKP TIDAK TERMASUK PPN/PPnBM DAN POTONGAN HARGA YANG
DICANTUMKAN DALAM FAKTUR PAJAK
• NILAI IMPOR
ADALAH NILAI BERUPA UANG YANG MENJADI DASAR PENGHITUNGAN BEA MASUK DITAMBAH PUNGUTAN LAINNYA YANG
DIKENAKAN BERDASARKAN KETENTUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PABEAN UNTUK IMPOR BKP,
TIDAK TERMASUK PPN/PPnBM.
• NILAI EKSPOR
ADALAH NILAI BERUPA UANG, TERMASUK SMUA BIAYA YANG DIMINTA OLEH EKSPORTIR
• NILAI LAIN
ADALAH NILAI YANG DITETAPKAN OLEH MENTERI KEUANGAN YANG DIPAKAI SEBAGAI DASAR UNTUK MENGHITUNG PAJAK
TERUTANG
SAAT TERHUTANGNYA PAJAK
• TERUTANGNYA PAJAK ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK BERWUJUD YANG MENURUT SIFAT ATAU HUKUMNYA
MERUPAKAN BARANG BERGERAK TERJADI PADA SAAT BARANG KENA PAJAK TERSEBUT DISERAHKAN SECARA
LANGSUNG KEPADA PEMBELI ATAU PIHAK KETIGA UNTUK DAN ATAS NAMA PEMBELI, ATAU PADA SAAT BARANG KENA
PAJAK DISERAHKAN KEPADA JURU KIRIM ATAU PENGUSAHA JASA ANGKUTAN.

• TERUTANGNYA PAJAK ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK BERWUJUD YANG MENURUT SIFAT ATAU HUKUMNYA
MERUPAKAN BARANG TIDAK BERGERAK, TERJADI PADA SAAT PENYERAHAN HAK UNTUK MENGGUNAKAN ATAU
MENGUASAI BARANG KENA PAJAK TERSEBUT, BAIK SECARA HUKUM ATAU SECARA NYATA, KEPADA PIHAK PEMBELI
TERUTANGNYA PAJAK ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK BERWUJUD YANG MENURUT SIFAT ATAU HUKUMNYA
MERUPAKAN BARANG TIDAK BERGERAK, TERJADI PADA SAAT PENYERAHAN HAK UNTUK MENGGUNAKAN ATAU
MENGUASAI BARANG KENA PAJAK TERSEBUT, BAIK SECARA HUKUM ATAU SECARA NYATA, KEPADA PIHAK PEMBELI
SAAT TERHUTANGNYA PAJAK
• TERUTANGNYA PAJAK ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD OLEH PENGUSAHA KENA PAJAK,
ADALAH PADA SAAT TERJADI LEBIH DAHULU DARI PERISTIWA-PERISTIWA DI BAWAH INI:

• TERUTANGNYA PAJAK ATAS PENYERAHAN JASA KENA PAJAK , TERJADI PADA SAAT MULAI TERSEDIANYA FASILITAS ATAU
KEMUDAHAN UNTUK DIPAKAI SECARA NYATA,BAIK SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA.

• TERUTANGNYA PAJAK ATAS IMPOR BARANG KENA PAJAK , TERJADI PADA SAAT BARANG KENA PAJAK TERSEBUT
DIMASUKKAN KE DALAM DAERAH PABEAN.
• TERUTANGNYA PAJAK ATAS EKSPOR BARANG KENA PAJAK, TERJADI PADA SAAT BARANG KENA PAJAK TERSEBUT
DIKELUARKAN DARI DAERAH PABEAN.
• TERUTANGNYA PAJAK ATAS AKTIVA YANG MENURUT TUJUAN SEMULA TIDAK UNTUK DIPERJUALBELIKAN DAN ATAS
PERSEDIAAN BARANG KENA PAJAK, YANG MASIH TERSISA PADA SAAT PEMBUBARAN PERUSAHAAN, TERJADI PADA
SAAT TERHUTANGNYA PAJAK
• TERUTANGNYA PAJAK ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD ATAU
JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN ADALAH PADA SAAT ORANG PRIBADI ATAU
BADAN TERSEBUT MULAI MEMANFAATKAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD
ATAU JASA KENA PAJAK DI DALAM DAERAH PABEAN. SAAT DIMULAINYA PEMANFAATAN
BARANG KENA PAJAK TIADAK BERWUJUD ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH
PABEAN DITETAPKAN DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
TEMPAT PAJAK TERUTANG
• ATAS PENYERAHAN BKP
TEMPAT PAJAK TERUTANG ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN ATAU JASA
KENA PAJAK DI DALAM DAERAH PABEAN ADALAH DI TEMPAT TINGGAL ATAU TEMPAT
KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEGIATAN USAHA DILAKUKAN, YAITU DI TEMPAT PENGUSAHA
DIKUKUHKAN ATAU SEHARUSNYA DIKUKUHKAN SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK.
• ATAS IMPOR
DALAM HAL IMPOR, TERUTANGNYA PAJAK TERJADI DI TEMPAT BARANG KENA PAJAK
DIMASUKKAN KE DALAM DAERAH PABEAN DAN DIPUNGUT MELALUI DIREKTORAT
JENDERAL BEA DAN CUKAI.
TEMPAT PAJAK TERUTANG
• ATAS PEMANFAATAN BKP TIDAK BERWUJUD DAN ATAU JKP DARI LUAR DAERAH PABEAN BAGI
ORANG PRIBADI ATAU BADAN YANG MEMANFAATKAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD
DAN ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN, TERUTANGNYA PAJAK TERJADI DI
TEMPAT ORANG PRIBADI ATAU BADAN TERSEBUT TERDAFTAR SEBAGAI WAJIB PAJAK

• ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI


KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI OLEH PENGUSAHA KENA PAJAK YANG DILAKUKAN TIDAK
DALAM LINGKUNGAN PERUSAHAAN ATAU PEKERJAANNYA ATAU OLEH BUKAN PENGUSAHA KENA
PAJAK, ADALAH DI TEMPAT BANGUNAN TERSEBUT DIDIRIKAN.
TEMPAT PAJAK TERUTANG
• PERUSAHAAN YANG MEMPUNYAI CABANG-CABANG
APABILA PERUSAHAAN MEMPUNYAI LEBIH DARI SATU TEMPAT PAJAK TERUTANG, BAIK
SEBAGAI PUSAT MAUPUN CABANG PERUSAHAAN, MAKA PEMINDAHAN BARANG KENA
PAJAK ANTAR TEMPAT TERSEBUT (DARI PUSAT KE CABANG ATAU SEBALIKNYA ATAU
PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK ANTAR CABANG), TERMASUK DALAM PENGERTIAN
PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK. YANG DIMAKSUD DENGAN CABANG TERMASUK
ANTARA LAIN LOKASI USAHA, PERWAKILAN, UNIT PEMASARAN, DIVISI PERUSAHAAN
DAN SEJENISNYA
SENTRALISASI PPN
• PKP DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN SENTRALISASI TEMPAT PAJAK TERUTANG DENGAN
SYARAT :
• SEMUA KEGIATAN PENYERAHAN ATAU PEMBELIAN HANYA DILAKUKAN DITEMPAT USAHA YANG
DITETAPKAN SEBAGAI TEMPAT PAJAK TERUTANG
• PEMBUKUAN, TERMASUK ADMINISTRASI PENJUALAN/PEMBELIAN HANYA DILAKUKAN DITEMPAT
USAHA DITETAPKAN SEBAGAI TEMPAT PAJAK TERUTANG
• TEMPAT KEGIATAN USAHA LAINNYA, HANYA BERFUNGSI MENYIMPAN PERSEDIAAN DAN
MENYERAHKAN PERSEDIAAN KEPADA PEMBELI ATAS PERINTAH TEMPAT PEMUSATAN PPN, DAN
TIDAK MENERBITKAN FAKTUR PAJAK ATAU FAKTUR PENJUALAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
(PPnBM)
• KARAKTERISTIK PPnBM :
• PPnBM MERUPAKAN PUNGUTAN TAMBAHAN DISAMMPING PPN
• PPnBM HANYA DIKENAKAN SATU KALI (YAITU PADA SAAT IMPOR ATAU PADA SAAT
PENYERAHAN BKP YANG TERGOLONG MEWAH OLEH PABRIKAN)
• PPnBM TIDAK DAPAT DIKREDITKAN (SEHINGGA DIPERLAKUKAN SEBAGAI BIAYA)
• APABILA BKP YANG TERGOLONG MEWAH DIEKSPOR, PPnBM YANG DIBAYAR PADA SAAT
PEROLEHANNYA, DAPAT DIMINTA KEMBALI
TUJUAN PENGANAAN PPnBM
• UNTUK MEMPEROLEH KESEIMBANGAN BEBAN PAJAK ANTARA
KONSUMEN YANG BERPENGHASILAN RENDAH DENGAN YANG
BERPENGHASILAN TINGGI
• UNTUK PENGENDALIAN POLA KONSUMSI BKP YANG TERGOLONG
MEWAH
• UNTUK MELINDUNGI PRODUSEN KECIL/TRADISIONAL
PENGELOMPOKAN PPnBM
• BKP MEWAH KENDARAN BERMOTOR, DENGAN TARIF
10%,20%,30%,40%,50%,60% DAN 75%
• BKP MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN TARIF :
10%,20%,30%,40%,50%,DAN 75 %
• EKSPOR DIKENAKAN TARIF 0%
• RINCIAN BKP TERGOLONG MEWAH DIATUR DENGAN PP, SK.MENTERI
KEUANGAN
BATASAN BKP TERGOLONG MEWAH
• BUKAN MERUPAKAN KEBUTUHAN POKOK
• DIKONSUMSI OLEH MASYARAKAT TERTENTU, PADA UMUMNYA
MASYARAKAT YANG BERPENGHASILAN TINGGI
• DIKONSUMSI UNTUK MENUNJUKKAN STATUS SOSIAL
• BILA DIKONSUMSI DAPAT MERUSAK KESEHATAN, DAN MORAL
MASYARAKAT MAUPUN MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM
DASAR PENGENAAN PAJAK (DPP) PPnBM
• HARGA JUAL, UNTUK PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR DI DALAM
DAERAH PABEAN
• NILAI IMPOR UNTUK IMPOR KENDARAAN BERMOTOR
• HARGA PASAR WAJAR: DALAM HAL TERDAPAT HUBUNGAN ISTIMEWA
ANTARA PABRIKAN/INDUSTRI PERAKITAN KENDARAAN BERMOTOR
DENGAN DEALER, AGEN ATAU PENYALUR
PEMBEBASAN PPnBM
• IMPOR ATAU PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR DI DALAM DAERAH PABEAN SEPERTI
AMBULANS, KEHDARAAN JENAZAH, PEMADAM KEBAKARAN, KENDARAAN TAHANAN, DAN
KENDARAAN ANGKUTAN UMUM,
• SEPANJANG DIBIAYAI DARI DANA YANG BERASAL DARI APBN/APBD,
• YANG DIGUNAKAN UNTUK TUJUAN PROTOKOLER KENEGARAAN
• UNTUK ANGKUTAN 10 ORANG ATAU LEBIH TERMASUK PENGEMUDI, YANG DIGUNAKAN UNTUK
KENDARAAN DINAS TNI/POLRI
• UNTUK KEPERLUAN PATROLI TNI/POLRI
• PEMBEBASAN INI DIBERIKAN HARUS DENGAN SKB PPnBM DARI KANTOR PELAYANAN PAJAK
SETEMPAT
TEMPAT PAJAK TERUTANG
• ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI

• KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI OLEH PENGUSAHA KENA PAJAK YANG DILAKUKAN TIDAK DALAM
LINGKUNGAN PERUSAHAAN ATAU PEKERJAANNYA ATAU OLEH BUKAN PENGUSAHA KENA PAJAK, ADALAH
DI TEMPAT BANGUNAN TERSEBUT DIDIRIKAN.

• APABILA PERUSAHAAN MEMPUNYAI LEBIH DARI SATU TEMPAT PAJAK TERUTANG, BAIK SEBAGAI
PUSAT MAUPUN CABANG PERUSAHAAN, MAKA PEMINDAHAN BARANG KENA PAJAK ANTAR TEMPAT
TERSEBUT (DARI PUSAT KE CABANG ATAU SEBALIKNYA ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK ANTAR
CABANG), TERMASUK DALAM PENGERTIAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK. YANG DIMAKSUD
DENGAN CABANG TERMASUK ANTARA LAIN LOKASI USAHA, PERWAKILAN, UNIT PEMASARAN, DIVISI
PERUSAHAAN DAN SEJENISNYA

Anda mungkin juga menyukai