Anda di halaman 1dari 28

‫‪‬قال هللا تعالى ‪:‬‬

‫ب‬ ‫َ‬ ‫ت‬‫ٰ‬ ‫ك‬


‫َ َ ُُ ِ َ‬‫ل‬‫ْ‬ ‫ٱ‬ ‫م‬ ‫ه‬‫ع‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫َ‬ ‫ن‬ ‫ْ‬
‫ل‬ ‫ز‬‫َ‬ ‫ن‬‫َأ‬ ‫و‬ ‫ت‬ ‫َ‬ ‫ٰ‬
‫س لَنَا بِٱ ْلبَيِّ ِ َ‬
‫ن‬ ‫س ْلنَا ُر ُ‬ ‫‪‬لقَ ْد َأ ْر َ‬
‫نز ْلنَ ا ٱ ْل َح ِدي َد فِيه ِ‬‫س ِط ۖ َوَأ َ‬ ‫اس بِٱ ْلقِ ْ‬ ‫وم ٱلنَّ ُ‬ ‫ان لِيَقُ َ‬ ‫َوٱ ْل ِمي َز َ‬
‫نص ُر ۥهُ‬ ‫هَّلل‬
‫اس َولِيَ ْعل َم ٱ ُ َم ن يَ ُ‬ ‫َ‬ ‫َّ‬ ‫ن‬‫ل‬‫ِ‬ ‫ل‬ ‫ع‬
‫ُ‬ ‫ِ‬ ‫ف‬‫َ‬ ‫ٰ‬
‫ن‬ ‫م‬ ‫و‬
‫َ‬ ‫د‬
‫ٌ‬ ‫ي‬‫د‬‫ِ‬ ‫ش‬‫َ‬ ‫س‬‫ٌ‬ ‫ْأ‬‫بَ‬
‫ِ‬ ‫َ‬
‫ى َع ِزي ٌز‬ ‫ب ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ قَ ِو ٌّ‬ ‫سلَ ۥهُ بِٱ ْل َغ ْي ِ‬ ‫َو ُر ُ‬
‫‪‬الحديد ‪25 :‬‬
 “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul
Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang
padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai
manfaat bagi manusia, (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan
rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
(QS Al Hadid : 25).
 Paraulama berbeda pendapat menafsirkan
frasa “wa anzalnaa al hadiid” (‫) َوَأن َز ْلنَ ا ٱ ْل َح ِديد‬,
yang makna harfiyahnya berarti,”Dan
Kami turunkan besi”.
 Dalam terjemahan Al Quran versi
Kementerian Agama (Kemenag), frasa
tersebut diterjemahkan dengan
kalimat,”Dan Kami ciptakan besi.”
 Terdapat dua pendapat ulama mengenai
tafsir “wa anzalnaa al hadiid” (‫;) َوَأن َز ْلنَا ٱ ْل َح ِديد‬
 Pertama,jumhur ulama menafsirkan kata
“wa anzalnaa” dalam makna majazi-nya
(makna kiasan), yaitu dimaknai (‫“ )وخلقنا‬wa
khalaqanaa” (Kami ciptakan), atau “wa
ansya`naa” (‫( )وأنشأنا‬Kami adakan).
 Misalnya Tafsir Al Jalalain, Tafsir Ibnu
Katsir, dll.
 Kedua, sebagian ulama, seperti Ibnu
Taimiyyah, dan sebagian ulama
kontemporer, menafsirkan kata “wa
anzalnaa” dalam makna hakiki (makna
sebenarnya), yaitu kata “anzala” (‫)أنزل‬
(menurunkan) yang bermakna :

‫ الهبوط من العلو‬
 AlHubuuth mina al ‘uluw (Jatuh dari atas /
ketinggian).
 Penafsiran yang kedua ini lebih
dicenderungi oleh sebagian ulama
kontemporer, khususnya yang menggeluti
apa yang mereka sebut “kemu’jizatan
ilmiyyah” (Al I’jaz Al ‘Ilmi) dari Al Qur`an.
 Mereka berargumen bahwa pada akhir
tahun 1950-an telah ditemukan teori ilmiah
bahwa besi memang “turun” dari langit
akibat suatu ledakan benda langit.
 Daridua versi penafsiran mengenai kata
“anzalnaa” tersebut di atas, kira-kira
manakah penafsiran yang lebih sahih?
 Apakah kata “anzalnaa” itu lebih tepat
diartikan “Kami ciptakan” (sesuai
pendapat ulama jumhur), ataukah lebih
tepat diartikan “Kami turunkan” sesuai
pendapat sebagian ulama?
 Sesungguhnya jawaban untuk
pertanyaan tersebut, akan berpangkal
pada jawaban untuk pertanyaan
sebagai berikut :
 Jika suatu lafazh (kata) dapat
diartikan menurut makna hakikinya
dan majazi-nya secara bersamaan,
manakah makna yang diutamakan?
 Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani :

‫ إذا دار اللفظ بين الحقيقة والمجاز فحمله على الحقيقة هو الراجح‬
 “Jika suatu lafazh (kata) dapat diartikan
menurut makna hakikinya dan makna
majazi-nya, yang lebih kuat (rajih) adalah
makna hakikinya.”
 (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al
Islamiyyah, 3/143).
 Hanya saja, persoalan dalam makna “wa
anzalnaa” dalam QS Al Hadid 25 lebih
rumit,
 karena pemaknaan hakiki untuk frasa itu,
yaitu “Kami turunkan” baru dimungkinkan
pada era modern ini, yang menurut
sebagian pakar sains, memang besi itu
“diturunkan” dari langit, bukan bagian
integral dari materi bumi.
 Artinya,pemaknaan hakiki oleh sebagian
ulama, seperti Ibnu Taimiyyah, terhadap
frasa “wa anzalnaa” tersebut, tentu harus
dijelaskan lagi,
 karena pada masa beliau, teori ilmiah
bahwa besi itu “diturunkan” dari langit,
tentu belum ada.
 Jadiatas dasar apa beliau memaknai “wa
anzalnaa” secara makna hakiki?
 Jawaban kami, wallahu a’lam, bahwa Ibnu
Taimiyyah menafsirkan “wa anzalnaa”
tersebut dalam makna hakiki-nya, adalah
sesuai dengan paham yang dianut Ibnu
Taimiyyah,
 yaitupemahaman bahwa tidak ada makna
majazi dalam Al Qur`an. Karena semua
ayat Al Qur`an maknanya adalah makna
hakiki. Tidak ada makna yang lain.
 Adapun makna “wa anzalnaa” dalam QS Al
Hadid ayat 25 tersebut, menurut kami,
wallahu a’lam, sebagai berikut :
 Frase “wa anzalnaa” dapat diartikan
sekaligus dalam kedua maknanya, yaitu
“Kami ciptakan” (menurut makna
majazinya) dan “Kami turunkan” (menurut
makna hakiki-nya).
 Dalam ilmu ushul fiqih, menurut pendapat
jumhur ulama, yaitu ulama Malikiyyah,
Syafiiyyah, dan Hanabillah, suatu kata
dimungkinkan mempunyai dua makna sekaligus,
yaitu makna hakiki dan makna majazinya, tanpa
pentarjihan (pengunggulan salah satunya),
dengan syarat dua makna tersebut tidak saling
bertentangan atau bertolak belakang.
 (Muhammad Musthofa Zuhaili, Al Wajiz fi Ushul
Al Fiqh Al Islami, Juz II, hlm. 16)
 Sebagai contoh, firman Allah SWT :

]11 :‫[النساء‬ ‫صي ُك ُم هَّللا ُ فِي َأ ْواَل ِد ُك ْم‬


ِ ‫ يُو‬
 “Allah telah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian waris untuk) anak-anakmu.” (QS An
Nisaa` : 11).
 Kata “anak-anakmu” ( ‫ )َأ ْواَل ِد ُك ْم‬mempunyai dua
makna sekaligus, yaitu makna hakikinya, yaitu
“anak-anakmu”, dan makna majazinya, yaitu
“anak-anak dari anak-anakmu” (maksudnya,
cucu-cucumu).
 Ayat tersebut merupakan ayat yang
mempunyai makna hakiki dan majazi secara
bersamaan, tanpa perlu pentarjihan, karena
kedua makna tersebut tidak bertolak belakang.
 Namun, jika ada ayat yang mempunyai makna
hakiki dan majazi secara bersamaan, namun
maknanya bertolak belakang, di sinilah
diperlukan pentarjihan untuk memilih makna
yang lebih kuat (rajih).
 Sebagai contoh, firman Allah SWT tentang salah
satu sebab berwudhu :

ْ ‫َأ ْو اَل َم‬  


َ ِّ‫ستُ ُم الن‬
]43 :‫[النساء‬  ‫سا َء‬
 “atau kamu telah menyentuh perempuan.” (QS An
Nisaa` : 11).
 Makna hakiki “menyentuh perempuan” adalah
“menyentuh dengan tangan.” (massastum bil
yad). Sedang makna majazinya “berhubungan
badan dengan perempuan (istri)” (jaama’tum an
nisa`).
 Kedua makna tersebut bertolak belakang,
misalnya seorang suami menyentuh
istrinya dengan tangan, batalkah wudhu
suami?
 Jawabannya, menurut satu versi
pendapat wudhunya batal, sementara
menurut versi pendapat lainnya,
wudhunya tidak batal. Nah, maknanya
bertentangan bukan?
 Nah, dalam ayat yang demikian itu, dapat
diamalkan kaidah ushuliyah yang disebutkan
oleh Imam Taqiyuddin An Nabhani di atas :

‫ إذا دار اللفظ بين الحقيقة والمجاز فحمله على الحقيقة هو الراجح‬
 “Jika suatu lafazh (kata) dapat diartikan
menurut makna hakikinya dan makna majazi-
nya, yang lebih kuat (rajih) adalah makna
hakikinya.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al
Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/143).
 Adapun makna ayat “wa anzalna” dalam QS Al
Hadid 25 tadi, apakah makna hakiki dan makna
majazinya bertolak belakang sehingga
diperlukan tarjih?
 Ataukah kedua maknanya sejalan, sehingga
tidak diperlukan tarjih?
 Menurut pemahaman kami, kedua makna dalam
“wa anzalna” dalam QS Al Hadid : 25, sama
dengan QS An Nisa : 11 yang kedua maknanya
tidak bertolak belakang.
 Jadi,makna “anzalna” QS Al Hadid 25
tersebut, memungkinkan mengandung dua
makna sekaligus, tanpa perlu pentarjihan
(pengunggulan satu makna atas makna
lainnya), yaitu :
 Pertama, makna hakikinya, yaitu “Kami
turunkan”
 Kedua, maka majazinya, yaitu “Kami
ciptakan”.
 Ada dimensi tafsir yang lain dari QS Al
Hadid 25 tersebut, yaitu tafsir politik.
 Sebagian ulama, telah menjadikan ayat
tersebut sebagai salah satu dalil wajibnya
sistem pemerintahan Islam (Khilafah).
 Penafsiran
seperti itu antara lain oleh Syekh
Abdullah Ad Dumaiji dalam kitabnya Al
Imamah Al Uzhma dan Syekh Yusuf Al
Qaradhawi dalam Min Fiqih ad Daulah.
‫‪ Syekh‬‬ ‫‪Syekh Abdullah Ad Dumaiji‬‬
‫‪menafsirkan QS Al Hadid 25 dalam Al‬‬
‫‪Imamah Al Uzhma hlm. 48 berkata:‬‬

‫‪ ‬فمهمة الرسل عليهم الصالة والسالم ومن أتى بعدهم من‬


‫أتباعه م أن يقيموا العدل بي ن الناس عل ى وف ق م ا ف ي‬
‫الكتاب المنزل ‪ ،‬وأن ينص روا ذل ك بالقوة ‪ ،‬وهذا ال يأت ي‬
‫ألتباع الرس ل إال بتنص يب إمام يقي م فيه م العدل ‪ ،‬وينظ م‬
‫جيوشهم المناصرة‬
 “Maka tugas para rasul itu, juga siapa saja
generasi sesudah mereka yang merupakan
pengikut para rasul, adalah menegakkan
keadilan di antara manusia sesuai dengan kitab
yang diturunkan, dan menolong tugas itu
dengan kekuatan. Hal ini tidak mungkin
terwujud bagi para pengikut rasul-rasul itu
kecuali dengan mengangkat seorang Imam
[Khalifah] yang akan menegakkan keadilan di
tengah mereka dan mengatur tentara yang
akan menolong mereka.”
‫‪ Selanjutnya‬‬ ‫‪Syekh‬‬ ‫‪Dumaiji‬‬ ‫‪mengutip‬‬
‫‪pendapat Ibnu Taimiyah yang menegaskan‬‬
‫‪hubungan antara Kitab Suci pemberi‬‬
‫‪petunjuk dan Besi (kekuatan pendukung‬‬
‫‪Kitab Suci) :‬‬

‫‪ ‬فالدين الحق ال بد فيه من الكتاب الهادي والسيف الناصر ‪ ..‬فالكتاب‬


‫ي بين م ا أم ر هللا ب ه وم ا نه ى عن ه ‪ ،‬والس يف ينص ر ذلك ويؤيده‬
‫(منهاج السنة النبوية في نقض كالم الشيعة والقدرية ‪ .‬لشيخ اإلسالم‬
‫ابن تيمية ‪)1/142:‬‬
 “Agama yang haq (benar) itu, tidak boleh tidak
harus mempunyai Kitab Suci Pemberi Petunjuk,
dan juga mempunyai Pedang Penolong…
 Jadi, Kitab Suci itu menjelaskan apa yang
diperintah dan apa yang dilarang oleh Allah,
sedang Pedang Penolong itu, akan menolong
dan menguatkan Kitab Suci itu.”
 (Ibnu Taimiyyah, Minhaj As Sunnah An
Nabawiyyah, Juz I, hlm. 142). Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai