الهبوط من العلو
AlHubuuth mina al ‘uluw (Jatuh dari atas /
ketinggian).
Penafsiran yang kedua ini lebih
dicenderungi oleh sebagian ulama
kontemporer, khususnya yang menggeluti
apa yang mereka sebut “kemu’jizatan
ilmiyyah” (Al I’jaz Al ‘Ilmi) dari Al Qur`an.
Mereka berargumen bahwa pada akhir
tahun 1950-an telah ditemukan teori ilmiah
bahwa besi memang “turun” dari langit
akibat suatu ledakan benda langit.
Daridua versi penafsiran mengenai kata
“anzalnaa” tersebut di atas, kira-kira
manakah penafsiran yang lebih sahih?
Apakah kata “anzalnaa” itu lebih tepat
diartikan “Kami ciptakan” (sesuai
pendapat ulama jumhur), ataukah lebih
tepat diartikan “Kami turunkan” sesuai
pendapat sebagian ulama?
Sesungguhnya jawaban untuk
pertanyaan tersebut, akan berpangkal
pada jawaban untuk pertanyaan
sebagai berikut :
Jika suatu lafazh (kata) dapat
diartikan menurut makna hakikinya
dan majazi-nya secara bersamaan,
manakah makna yang diutamakan?
Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani :
إذا دار اللفظ بين الحقيقة والمجاز فحمله على الحقيقة هو الراجح
“Jika suatu lafazh (kata) dapat diartikan
menurut makna hakikinya dan makna
majazi-nya, yang lebih kuat (rajih) adalah
makna hakikinya.”
(Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al
Islamiyyah, 3/143).
Hanya saja, persoalan dalam makna “wa
anzalnaa” dalam QS Al Hadid 25 lebih
rumit,
karena pemaknaan hakiki untuk frasa itu,
yaitu “Kami turunkan” baru dimungkinkan
pada era modern ini, yang menurut
sebagian pakar sains, memang besi itu
“diturunkan” dari langit, bukan bagian
integral dari materi bumi.
Artinya,pemaknaan hakiki oleh sebagian
ulama, seperti Ibnu Taimiyyah, terhadap
frasa “wa anzalnaa” tersebut, tentu harus
dijelaskan lagi,
karena pada masa beliau, teori ilmiah
bahwa besi itu “diturunkan” dari langit,
tentu belum ada.
Jadiatas dasar apa beliau memaknai “wa
anzalnaa” secara makna hakiki?
Jawaban kami, wallahu a’lam, bahwa Ibnu
Taimiyyah menafsirkan “wa anzalnaa”
tersebut dalam makna hakiki-nya, adalah
sesuai dengan paham yang dianut Ibnu
Taimiyyah,
yaitupemahaman bahwa tidak ada makna
majazi dalam Al Qur`an. Karena semua
ayat Al Qur`an maknanya adalah makna
hakiki. Tidak ada makna yang lain.
Adapun makna “wa anzalnaa” dalam QS Al
Hadid ayat 25 tersebut, menurut kami,
wallahu a’lam, sebagai berikut :
Frase “wa anzalnaa” dapat diartikan
sekaligus dalam kedua maknanya, yaitu
“Kami ciptakan” (menurut makna
majazinya) dan “Kami turunkan” (menurut
makna hakiki-nya).
Dalam ilmu ushul fiqih, menurut pendapat
jumhur ulama, yaitu ulama Malikiyyah,
Syafiiyyah, dan Hanabillah, suatu kata
dimungkinkan mempunyai dua makna sekaligus,
yaitu makna hakiki dan makna majazinya, tanpa
pentarjihan (pengunggulan salah satunya),
dengan syarat dua makna tersebut tidak saling
bertentangan atau bertolak belakang.
(Muhammad Musthofa Zuhaili, Al Wajiz fi Ushul
Al Fiqh Al Islami, Juz II, hlm. 16)
Sebagai contoh, firman Allah SWT :
إذا دار اللفظ بين الحقيقة والمجاز فحمله على الحقيقة هو الراجح
“Jika suatu lafazh (kata) dapat diartikan
menurut makna hakikinya dan makna majazi-
nya, yang lebih kuat (rajih) adalah makna
hakikinya.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al
Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/143).
Adapun makna ayat “wa anzalna” dalam QS Al
Hadid 25 tadi, apakah makna hakiki dan makna
majazinya bertolak belakang sehingga
diperlukan tarjih?
Ataukah kedua maknanya sejalan, sehingga
tidak diperlukan tarjih?
Menurut pemahaman kami, kedua makna dalam
“wa anzalna” dalam QS Al Hadid : 25, sama
dengan QS An Nisa : 11 yang kedua maknanya
tidak bertolak belakang.
Jadi,makna “anzalna” QS Al Hadid 25
tersebut, memungkinkan mengandung dua
makna sekaligus, tanpa perlu pentarjihan
(pengunggulan satu makna atas makna
lainnya), yaitu :
Pertama, makna hakikinya, yaitu “Kami
turunkan”
Kedua, maka majazinya, yaitu “Kami
ciptakan”.
Ada dimensi tafsir yang lain dari QS Al
Hadid 25 tersebut, yaitu tafsir politik.
Sebagian ulama, telah menjadikan ayat
tersebut sebagai salah satu dalil wajibnya
sistem pemerintahan Islam (Khilafah).
Penafsiran
seperti itu antara lain oleh Syekh
Abdullah Ad Dumaiji dalam kitabnya Al
Imamah Al Uzhma dan Syekh Yusuf Al
Qaradhawi dalam Min Fiqih ad Daulah.
Syekh Syekh Abdullah Ad Dumaiji
menafsirkan QS Al Hadid 25 dalam Al
Imamah Al Uzhma hlm. 48 berkata: