Anda di halaman 1dari 42

Tax Reform

Hapusnya Hutang Pajak


Perlawanan Terhadap Pajak

Maria Emelia Retno. K


TAX REFORM

Tax Reform adalah kebijaksanaan Pemerintah RI untuk mengadakan


perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh di bidang perpajakan,
mencakup :
1. Dasar falsafah yang melandasi perpajakan Indonesia.
2. Manfaat pemungutan pajak.
3. Sistem pemungutan pajak.

Latar belakang Tax Reform adalah pertimbangan tentang perlunya


diadakan perubahan karena didesak hal-hal berikut ini :
4. Peraturan pajak lama (ex kolonial) tidak sesuai dgn falsafah Pancasila.
5. Tata cara pemungutan pajak yang lama tidak dapat menggerakan
aktivitas wajib pajak karena seluruh administrasi perpajakan ada pada
aparatur pajak.
3. Hasil pajak selama ini belum dapat berperan maksimal untuk membiayai
pembangunan nasional.
4. Peraturan pajak yang lama tidak sesuai lagi dengan kondisi dan tingkat
kehidupan masyarakat.
5. Peraturan pajak yang lama rumit dan sulit untuk dipelajari serta kurang
menjamin keadilan dan kepastian hukum.

Tujuan Tax Reform adalah :


6. Berusaha menciptakan berbagai peraturan pajak baru yang sesuai
dengan falsafah Pancasila.
7. Menciptakan tata cara pemungutan pajak yang dapat menggerakan
aktivitas wajib pajak.
8. Menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan
nasional, sehingga tdk perlu tergantung pada bantuan utang luar negeri.
4. Menciptakan peraturan pajak yang lebih sesuai dengan kondisi dan
tingkat kehidupan masyarakat industrialisasi.
5. Berusaha menciptakan berbagai peraturan pajak baru yang lebih
sederhana sehingga mudah untuk dipelajari & dapat menjamin keadilan
serta kepastian hukum.
Wujud dari Tax Reform mencakup bidang Hukum Pajak Formal dan Hukum
Pajak Material.

 Reformasi pajak di Indonesia di mulai tahun 1983, yaitu dgn diperkenal-


kannya prinsip self assessment dalam menghitung PPh (Pajak Pengha-
silan) sejak tahun 1984, & diberlakukannya PPN (Pajak Pertambahan
Nilai) menggantikan PPn (Pajak Penjualan) sejak tahun 1985.
 Setelah itu reformasi pajak yang signifikan terjadi lagi pada tahun 1994
dan 1997 melalui paket komprehensif perubahan/penyusunan baru
undang-undang perpajakan.
 Perubahan pasca 1997 yang terakhir terjadi meliputi UU No.36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan, UU No.16 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.5 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat Atas UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi UU.
 Setelah itu reformasi pajak yang signifikan terjadi lagi pada tahun 1994
dan 1997 melalui paket komprehensif perubahan/penyusunan baru
undang-undang perpajakan.
 UU No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.6 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, dan dialihkannya tanggung jawab
pemungutan BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan)
dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah sejak tahun 2011.
 Selain reformasi dalam peraturan perundang-undangan pajak, reformasi
pasca 1997 dalam bidang perpajakan meliputi pula reformasi birokrasi
dan remunerasinya, dan reorganisasi dalam lingkup Direktorat Jenderal
Pajak beserta teknologi informasinya. Reformasi pelengkap ini diper-
kenalkan dengan label reformasi birokrasi dan modernisasi kantor dalam
lingkungan Ditjen Pajak.

Perjalanan Reformasi Perpajakan


1. Reformasi Pajak 1983
 Sebelum reformasi pajak tahun 1983, besarnya pajak yg terutang oleh
WP ditetapkan oleh negara melalui Kantor Inspeksi Pajak. Dengan se-
makin banyaknya jumlah WP, maka sistem penetapan besarnya pajak
yg terutang oleh Kantor Inspeksi diubah ke sistem self assessment (WP
menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak penghasilan yang
terutang).
 Sejalan dengan itu, Kantor Inspeksi Pajak diubah menjadi Kantor
Pelayanan Pajak, dan untuk meningkatkan daya saing ekonomi
Indonesia, menunjang ekspor pada umumnya, dan untuk meningkatkan
efektivitas kontrol masyarakat dalam pemungutan pajak tidak langsung,
maka PPn (Pajak Penjualan) diganti dengan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN).
 Selain 2 (dua) perubahan yang amat signifikan ini (self assessment dan
PPN), tarif PPh juga diturunkan dari 45% ke 35% dan struktur tarif pajak
penghasilan disederhanakan untuk WP orang pribadi ataupun WP
perusahaan.
 Reformasi pajak 1983 ini dinilai berhasil khususnya dalam meningkatkan
penerimaan pajak dan menaikkan peran pajak dalam APBN.

2. Reformasi Pajak 1994


 Reformasi perpajakan 1994 dan 1997 merupakan konsekuensi logis
atau lanjutan dari evaluasi pelaksanaan reformasi sebelumnya,
khususnya pelaksanaan prinsip self assessment.
 Reformasi 1994 antara lain dimaksudkan untuk :
-menjaga efektivitas pelaksanaan prinsip self assessment, dengan
meminimalkan interaksi aparatur pajak dengan WP.
-untuk menerapkan seluas mungkin PPh Final sepanjang syarat-
syaratnya bisa terpenuhi dan mampu meningkatkan penerimaan pajak,
serta bisa menutup kebocoran (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang
terjadi.
 PPh Final antara lain diterapkan pada :
-pemungutan PPh atas penghasilan bunga bank yang diterima
masyarakat dari deposito, tabungan atau simpanannya di bank dengan
tarif 20%.
- penghasilan dari penjualan tanah dan rumah dgn tarif 5% dari harga jual
atau nilai jual objek pajaknya.
- transaksi penjualan saham di Bursa Efek Indonesia dgn tarif 1/1000
(satu permil) dari harga jual saham.

Reformasi 1994 dimaksudkan untuk menjaga tegaknya prinsip-prinsip


dalam reformasi pajak 1983, yaitu :
a. Sederhana, artinya kedua belah pihak (WP dan aparatur pajak) dapat
menjalankan hak dan kewajibannya dengan mudah dan murah;
b. Asas pemerataan dan keadilan dalam beban pajak yang harus dipikul;
c. Kepastian hukum bagi kedua belah pihak (WP dan aparatur pajak);
d. Menutup atau mengurangi peluang-peluang penyelundupan pajak dan
penyalah-gunaan wewenang;
e. Netralitas dalam pengenaan pajak untuk menjaga perilaku alami WP;
f. Dapat digunakan sebagai instrumen tambahan untuk mendorong
pembangunan ekonomi di sektor atau daerah tertentu.

 Reformasi pajak 1994 juga memperhatikan faktor globalisasi dan


semangat persaingan tarif pajak dengan negara-negara ASEAN dalam
memperebutkan investasi. Reformasi pajak 1994 ini meliputi perubahan
pada 4 (empat) undang- undang yaitu;
a. UU Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas UU Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
b. UU Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Dgn UU
Nomor 7 Thn 1991
c. UU Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah.
d. UU Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

 Untuk lebih mewujudkan prinsip-prinsip pemungutan pajak, reformasi


perpajakan tahun 1994 ini memberikan landasan hukum yang lebih
tegas untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat dengan tarif PPh
yang lebih progresif.
 Sebagai penajaman dari prinsip kesederhanaan dan prinsip kepastian
hukum, definisi atau cakupan dari subjek pajak dan obyek pajak, beserta
pengecualian-pengecualian-nya diberikan penegasan yang lugas agar
terhindar dari multitafsir dalam pelaksanaannya
 Penajaman ini juga meliputi : Perluasan objek-objek pajak baru atas
penghasilan yang selama ini (1984-1994) belum termasuk ataupun yang
timbul karena perkembangan dari globalisasi, misalnya :
- Premi asuransi yang dibayarkan ke luar negeri,
- Penghasilan dan penjualan harta di Indonesia yg dinikmati WP luar negeri
- Pengakuan pengeluaran/beban/ongkos untuk pengembangan ilmu penge
tahuan teknologi dan sumber daya manusia,
- Pengeluaran atau biaya untuk pelestarian lingkungan dan ekosistem.
 Prinsip kesetaraan antara WP dgn aparatur pajak mulai ditekankan,
antara lain dengan diberikannya bunga sebesar 2% per-bulan atas
keterlambatan dalam pengembalian lebih bayar pajak oleh negara (UU
Nomor 9 Tahun 1994) ataupun sanksi yang mengatur bhw pejabat pajak
dapat dihukum pidana kurungan dan denda jika melanggar ketentuan
rahasia jabatan.
 Tarif PPh tertinggi juga kembali diturunkan dari 35% menjadi 30% dan
kembali terbukti bahwa penurunan tarif tidak menurunkan penerimaan
negara dari sektor perpajakan.
 Selain itu, masa kadaluarsa pajak diperpanjang dari 5 tahun menjadi 10
tahun.
 Faktor utama keberhasilan reformasi 1994 ini terletak pada 4 hal, yaitu;
a. Dukungan luas masyarakat sebagaimana yang terjadi pada reformasi
perpajakan 1983;
b. Penyederhanaan metode pengenaan pajak dan pemberian kepastian
hukum sehingga dirasakan lebih mudah dan adil;
c. Semakin sempitnya ruang penyelundupan pajak;
d. Tidak ada unsur politisasi pajak atau semangat mencari popularitas
politik atau propaganda dari kebijakan atau reformasi pajak sehingga
praktis tidak menimbul-kan hal yang kontroversial atau kontraproduktif
dalam pelaksanaannya.
 Di bidang PPN, setelah 9 tahun diberlakukan (1985 s.d 1993) dirasa
perlu untuk disempurnakan dan ditata kembali berbagai isu pokok
seperti :
a. Cakupan obyek pajak, saat dan tempat PPN terutang;
b. PPN yang tidak dipungut atau dibebaskan oleh negara;
c. PPN atas kegiatan membangun sendiri;
d. PPN atas penyerahan barang yang menurut tujuan semula bukan utk
diperjualbelikan.
e. Restitusi PPN.

 Sedangkan reformasi pajak 1994 dalam PBB hanya meliputi 2 aspek,


yaitu:
a. Diperkenalkannya NJOP tidak kena pajak utk setiap WP-PBB, sebagai
perwujud-an keadilan bagi WP dengan harta tertentu (sedikit), tidak
dikenakan PBB.
b. Memperjelas ketentuan mengenai upaya banding PBB ke badan per-
adilan pajak sebagaimana jenis-jenis pajak lainnya.
3. Reformasi Pajak 1997
 Reformasi pajak 1997 merupakan bagian dari reformasi pajak 1994
sehingga prinsip, dasar, dan tujuannya sama dgn reformasi pajak 1994.
Rentang waktu 3 thn ini semata-mata krn faktor antri menunggu giliran
pembahasan di pemerintahan ataupun di DPR.
 Sebenarnya reformasi pajak 1983 dan 1994 telah mampu meningkatkan
peran penerimaan pajak dalam APBN menjadi di atas 70%, dengan
tulang punggung utamanya dari PPh dan PPN. Reformasi pajak 1997
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari paket reformasi pajak 1994,
telah mengesahkan 5 buah undang-undang yaitu:
1. UU No.17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
(BPSP)
2. UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
3. UU No.19 Thn 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
4. UU No. 20 Thn 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
5. UU No.21 Thn 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan
(BPHTB).

Ad.1. UU Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa


Pajak (BPSP)
 Sebelum dibentuknya BPSP, banding pajak diputuskan oleh Majelis
Pertimbangan Pajak (MPP) yang anggota-anggotanya terdiri dari para
ahli perpajakan senior dan hakim-hakim yang ditunjuk oleh Mahkamah
Agung.
 Dengan BPSP diharapkan lahirnya sebuah pengadilan pajak yang
murah, mudah, cepat, dan memberikan kepastian hukum baik bagi WP
maupun bagi penerimaan negara.
 Namun, agar tidak disalahgunakan oleh WP, maka diatur bahwa :
-Banding pajak tidak menunda pembayaran pajak yang terutang.
-Putusan BPSP bukan keputusan pejabat tata usaha negara dan bersifat
final. Hal ini dimaksudkan agar tidak menambah menumpuknya perkara di
MA.
 BPSP harus memberikan putusan banding pajak dalam jangka waktu 1
(satu) tahun dan apabila melampaui waktu itu, banding dinyatakan
diterima. Hal penting lainnya bahwa dalam proses persidangan banding
di BPSP, posisi WP dan Direktorat Jenderal Pajak dijamin berada pada
kedudukan yang sama.

Ad.2. UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
 Sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 ini, ter-
dapat banyak sekali jenis pungutan di daerah baik yang ditetapkan
melalui Perda maupun dasar hukum lainnya.Pungutan-pungutan ini dpt
diklasifikasikan sebagai pajak ataupun retribusi dan sering tumpeng tin-
dih dengan berbagai beban masyarakat atau investor lainnya sehingga
perlu ditertibkan.
 Dengan argumentasi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah
(PAD), seringkali pungutan-pungutan yang ada bukan saja tidak efisien
dan tidak efektif, tetapi juga mengganggu arus lalu lintas barang
antardaerah, dan menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat, serta
mengganggu kenyamanan masyarakat.
 Dengan argumentasi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah
(PAD), seringkali pungutan-pungutan yang ada bukan saja tidak efisien
dan tidak efektif, tetapi juga mengganggu arus lalu lintas barang
antardaerah, dan menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat, serta
mengganggu kenyamanan masyarakat.
 UU Nomor 18 Tahun 1997 dimaksudkan untuk menertibkan berbagai
anomali tersebut di atas tanpa menurunkan pemasukan PAD, meski
terjadi banyak pemangkasan pungutan-pungutan di daerah.

Ad.3. UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat


Paksa
 UU No.19 Tahun 1997 ini merupakan pelengkap dari UU No.9 Thn 1994,
antara lain perubahan organisasi Ditjen Pajak ataupun dalam rangka
kejelasan dan penegasan definisi sita, lelang, sandera, dan sanggahan
demi kelancaran dan kemudahan pelaksanaan penagihan pajak dengan
surat paksa.

Ad.4. UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak


(PNBP)
 Pajak (PNBP), terdapat ratusan jenis atau macam pungutan negara yang
tidak dimasukkan ke Kas Negara dan karena itu tidak termuat dalam
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
 Besarnya PNBP ini semakin lama semakin signifikan dan praktis terdapat
di semua kementerian ataupun lembaga pemerintah non kementerian.
 Karena di luar APBN (off budget), maka :
-Pemasukan dan penggunaan uang ini tidak mengikuti mekanisme
pengesahan anggaran di DPR ataupun pengawasannya.
-PNBP ini rentan terjadinya penyalahgunaan.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 sudah ditegaskan bahwa :


-semua PNBP tanpa kecuali harus utuh dan segera dimasukkan ke
rekening Kas Negara dan dana saldo yang ada harus secepatnya
dipindahkan ke Kas Negara.
- selambat-lambatnya dalam 5 tahun semua PNBP sudah harus dikelola
dan dialihkan ke Kas Negara/APBN.

Ad.5. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan
Bangunan
 BPHTB adalah jenis pajak baru. Sama seperti PBB, BPHTB meski
dikelola dan dipungut oleh pemerintah pusat (Ditjen Pajak), tetapi
seluruh hasilnya diserahkan ke pemerintah daerah sebagai pajak bagi
hasil.
 Mulai tahun 2011, atas tuntutan reformasi dan otonomi daerah, tang-
gungjawab pengelolaan dan pemungutan BPHTB dialihkan dari Peme-
rintah Pusat (Ditjen Pajak) ke masing-masing Pemda setempat.
 Kelima UU tersebut di atas dimaksudkan sebagai penyempurna
reformasi pajak 1983 dan 1994 khususnya untuk menertibkan penerima-
an negara di tingkat pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta
untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

4. Reformasi Pajak Pasca 1997


 Setelah reformasi pajak tahun 1997, berbagai perubahan masih terus
berlangsung baik dlm peraturan per-UU-an di bidang perpajakan,
reorganisasi Ditjen Pajak, maupun modernisasi informasi teknologi.
 Pokok-pokok perubahan yang terakhir adalah :
a. Perubahan Undang-Undang KUP yang mulai berlaku tahun 2008,
meliputi antara lain, perubahan sistem keberatan dan banding, syarat-
syarat bukti permulaan yang diperingan, dan ancaman sanksi bagi
pegawai pajak yang diperberat.
b. Perubahan pada Undang-Undang PPh yang mulai berlaku tahun 2010 di
mana tarif PPh diturunkan dan tidak lagi progresif, bahkan cenderung re-
gresif karena WP emiten dikenakan tarif khusus yang lebih rendah dari
tarif pajak WP lainnya. Sebenarnya utk menurunkan tarif PPh sampai
dengan serendah-rendahnya 25% tidak diperlukan lagi perubahan UU
PPh karena dalam UU PPh telah ditetapkan bahwa Pemerintah
berwe-
nang menurunkan tarif PPh dari 30% menjadi serendah-rendahnya
25%.
c. Perubahan Undang-Undang PPN yang mulai berlaku April 2010 yang
antara lain mengatur Restitusi PPN dan Barang Kena Pajak (BKP).

 Target atau sasaran dari perubahan 3 (tiga) Undang-undang tersebut di


atas pada hakikatnya dapat dicapai melalui perangkat peraturan di
bawah undang-undang.
Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Self Assessment System.
Sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan dan tanggung
jawab kepada wajib pajak utk menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri pajak terutang. Sistem ini memberikan peluang kepada wajib pajak
untuk jujur dan bertanggungjawab akan kewajiban pajaknya. Petugas
pajak (fiscus) hanya berfungsi sebagai pembina dan pengawas pelaksa-
naan kewajiban perpajakan dari wajib pajak. Di Indonesia secara praktek,
sistem self assessment baru diterapkan pada Pajak Penghasilan.
2. Official Assessment System :
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang.
Ciri-ciri official assessment system :
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada
fiscus.
b. Wajib pajak bersikap pasif.
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya “surat ketetapan pajak” oleh
fiscus.

Dalam Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) :


- masih mempertahankan sistem “Surat Ketetapan Pajak” (SKP) yang
dinamakan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB – ini
untuk membedakan dengan SKP yang selalu diikuti dengan denda.
- belum diterapkan sistem self assessment yang murni, karena dalam PBB
wajib pajak tetap harus mengisi dan mengembalikan Surat
Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).
- (dalam mengisi SPOP) wajib pajak tidak diwajibkan menghitung sendiri
PBB, tetapi hanya wajib memberitahukan data objek kena pajak. PBB
yang terhutang dihitung oleh petugas pajak dan jumlahnya dimasukkan
dalam kohir, serta kepada wajib pajak diberikan SPPT.

 Pemasukan pajak tanpa melalui “SKP” – ini menyangkut pajak-pajak


tidak langsung, seperti : bea meterai, bea masuk, bea lelang.
 Pajak tdk langsung jumlahnya dihitung sendiri oleh wajib pajak se-
suai dengan ketentuan UU & petunjuk yang diberikan untuk maksud itu.

3. Withholding System.
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut pajak
sebesar pajak yang terutang.
HAPUSNYA HUTANG PAJAK

1. Pengertian hutang :
Dalam Hukum Perdata :
a. Arti luas : segala sesuatu yang harus dilakukan oleh yang berkewajiban
sebagai konsekuensi perikatan.
b. Arti sempit : sesuatu sebagai akibat perjanjian khusus yaitu utang-
piutang, yang mewajibkan debitur untuk membayar jumlah uang yang
telah dipinjamnya dari kreditur.

Dalam Hukum Pajak :


Hutang pajak tergolong dalam hutang dalam arti sempit  mewajibkan
wajib pajak untuk membayar sejumlah uang ke dalam kas negara.
2. Timbulnya Hutang Pajak.
• Hutang pajak hanya dapat timbul karena UU dan tidak mungkin karena
perjanjian.
• Bagaimana dan pada saat mana hutang pajak timbul (ingat ajaran
material dan ajaran formal).

3. Kegunaan penentuan saat timbulnya hutang pajak adalah dalam hal


a. Pembayaran atau Penagihan.
b. Memasukan surat keberatan.
c. Penentuan daluarsa.
d. Menerbitkan SKP, SKP tambahan.

Ketentuan tentang hapusnya perikatan dlm Pasal 1381 KUHPerdata ter-


nyata dlm Hukum Pajak hanya dipakai 4 cara utk hapusnya hutang pajak
a. Pembayaran.
b. Kompensasi.
c. Daluarsa.
d. Pembebasan.

Ad.a. Pembayaran.
Pembayaran hutang pajak harus dilakukan dengan mata uang dari negara
yang memungut pajak. Di Indonesia hutang pajak dibayar di kas negara,
bank, tempat lain yang ditetapkan oleh Men.Keu.

Ad.b. Kompensasi.
 Kompensasi yang dapat dilakukan wajib pajak adalah kompensasi
dengan keadaan apabila untuk jenis pajak yang satu mempunyai
kelebihan pembayaran, sedang untuk jenis pajak yang lain terdapat
kekurangan pembayaran.
 Tidak semua kompensasi dapat dilakukan untuk menghapus hutang
pajak, karena seorang wajib pajak yang mempunyai hutang pajak tidak
mungkin memperhitungkannya dengan tagihannya kepada Pemerintah
 Hal tersebut dikarenakan sifat hutangnya berbeda dan juga lapangan
hukumnya berbeda.

Ad.c. Daluarsa.
 Daluarsa : sarana untuk memperoleh suatu hak atau dibebaskan dari
suatu kewajiban karena lampaunya jangka waktu tertentu sesuai
dengan syarat yang ditentukan dalam undang-undang (Aquisitive
Verjaring dan Extintive Verjaring).
 Dalam Hukum Pajak yang diterapkan adalah Extintive Verjaring.
 Dalam undang-undang Pajak (UU KUP – UU No.28/2007) Pasal 22 ayat
(1) ditentukan bahwa hak untuk melakukan penagihan pajak termasuk
bunga, denda administrasi dan biaya penagihan menjadi gugur setelah
lampau waktu 5 tahun terhitung sejak penerbitan :
- STP
- SKP Kurang Bayar
- SKP Kurang Bayar Tambahan
- Surat Keputusan Pembetulan
- Surat Keputusan Keberatan
- Putusan Banding
- Putusan Peninjauan Kembali.

Ad.d. Pembebasan
Dalam Hukum Pajak ada 2 macam pembebasan yaitu :
a. Kwijtschelding : hutang pajak berakhir karena ditiadakan oleh fiskus.
b. Ontheffing : terjadi karena adanya usaha untuk menyesuaikan hutang
pajak formal dengan hutang pajak material.

Dalam perikatan pajak, pemerintah (fiskus) mempunyai Hak Mendahului


(Preference).
 Hutang pajak merupakan hutang khusus di bidang hukum publik, namun
prinsip-prinsip tentang utang-piutang dlm Hukum Perdata dpt diterapkan.
 Sesuai Pasal 21 UU No.28/2007 tentang KUP Negara mempunyai hak
mendahului untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung
pajak.

Hak mendahului tersebut meliputi :


1. Pokok pajak.
2. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan dan biaya penagih-
an pajak.
Hak mendahului untuk utang pajak melebihi segala hak mendahului
lainnya, kecuali terhadap :
a. Biaya perkara yang disebabkan oleh suatu penghukuman untuk
melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak.
b. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang tersebut.
c. Biaya perkara, yang disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian
suatu warisan.

Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar atau dilikuidasi maka curator,
likuidator atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit,
pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya
sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak wajib
pajak tersebut.
Hak mendahului hilang setelah melampaui waktu 5 tahun sejak tanggal
diterbitkan :
- Surat Tagihan Pajak.
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
- Surat Keputusan Pembetulan.
- Surat Keputusan Keberatan.
- Putusan Banding atau
- Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah.

Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan


dan biaya penagihan pajak, daluarsa setelah melampaui waktu 5 tahun
terhitung sejak penerbitan
- Surat Tagihan Pajak.
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
- Surat Keputusan Pembetulan
- Surat Keputusan Keberatan.
- Putusan Banding atau
- Putusan Peninjauan Kembali.

Daluarsa penagihan pajak tersebut tertangguh apabila :


a. Diterbitkan Surat Paksa.
b. Ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak, baik langsung maupun
tidak langsung.
c. Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan.
d. Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
PERLAWANAN TERHADAP PAJAK

Ada 2 macam perlawanan terhadap pajak, yaitu :


1. Perlawanan Pasif :
Perlawanan berupa hambatan-hambatan yg mempersukar pemungutan
pajak dan erat hubungannya dengan struktur ekonomi, perkembangan
intelektual dan moral penduduk, dan dengan teknik pemungutan pajak
itu sendiri.
Contoh :
- Pajak Penghasilan yg biasanya diintegrasikan dlm sistem ekonominya
dengan sifatnya yang industrial, kurang tepat untuk Negara agraris.
- Perlawanan pasif juga dapat terjadi jika sistem pengawasan tidak
dilakukan dengan efektif atau bahkan tidak dapat dilakukan, misalnya
pajak atas saham-saham dan obligasi, mengalami hambatan.
 Perlawanan pasif terhadap pajak dalam praktek-nya tidak begitu kuat
terhadap pajak tidak langsung.

2. Perlawanan Aktif :
Perlawanan ini meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan terhadap fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak.

Perlawanan ini dapat dilakukan dengan cara-cara :


a. Penghindaran diri dari pajak.
b. Pengelakan atau penyelundupan pajak.
c. Melalaikan pajak.

Ad.a. Penghindaran diri dari pajak.


Pembayaran pajak dgn mudah dpt dihindari dgn tidak melakukan perbuatan
yang memberi alasan untuk dikenakan pajak, yaitu dengan meniadakan
(tidak melakukan) hal-hal yang dapat dikenai pajak.

Penghindaran ini biasanya dilakukan dengan cara :


- Menekan konsumsi atas barang-barang yang dikenai pajak atau
- Menggantinya dengan surogat yang tidak atau kurang dikenai pajak.
Contoh :
- Pajak atas bensin, dihindari dengan cara menekan frekuensi bepergian
- Cukai tembakau atas rokok pabrikan, dihindari dengan cara mengganti-
nya dengan rokok tingwe atau menghentikan kebiasaan merokok.
Penghindaran pajak dengan cara-cara tersebut dapat berdampak positif –
dapat memenuhi fungsi regular dari pajak.

Penghindaran diri secara yuridis :


Penghindaran yang diatur sedemikian rupa sehingga pajak tidak dapat
dikenakan terhadap wajib pajak yang bersangkutan.
Contoh :
Karena deposito di atas Rp. 7,5 juta dikenakan pajak, maka biasanya
orang akan memecah depositonya.

Penghindaran diri dari pajak biasanya dilakukan dengan menggunakan


kekosongan dan/atau ketidakjelasan dari undang-undang yg bersangkut-
an, sehingga penghindaran pajak semacam ini tidak secara tegas
melanggar peraturan perundang-undangan, walaupun kadang dengan
jelas bertentangan dengan maksud pembuat undang-undang 
Penghindaran diri dari pajak secara yuridis juga disebut Pengelakan pajak
secara legal.
Cara penghindaran semacam itu dapat disebut juga Penghematan Pajak
dalam arti sempit, sedangkan seluruh usaha yang termasuk ke dalam
perlawanan aktif disebut dengan Penghematan Pajak dalam arti luas.

Prof Mr. H.J.Hofstra : “gejala penghindaran pajak yang disebut :


Uberwalzung afwenteling yaitu Pelimpahan beban pajak.
Catatan :
 Pelimpahan beban pajak dlm undang-undang perpajakan sesungguh-
nya dapat dilaksanakan hanya dalam pajak tidak langsung.
 Wajib pajak langsung tdk dibolehkan utk melimpahkan beban pajaknya
pada pihak lain, sebab wajib pajak tersebut yg merupakan destinaris.

Ad.b. Pengelakan Pajak.


Pada dasarnya yang dimaksud dengan Pengelakan Pajak adalah :
Perbuatan pura-pura yg dilakukan oleh wajib pajak, keadaan yg sebenar-
nya disembunyikan dengan mengajukan pernyataan yang tidak benar atau
memberikan data yang tidak benar.
Contoh :
Penyelundupan pajak – bea masuk.
Pengelakan pajak terutama terjadi pada jenis pajak yang menerapkan
sistem self assessment.

Akibat-akibat pengelakan pajak :


1. Di bidang keuangan :
Menimbulkan kerugian yang berarti bagi Negara.
2. Di bidang ekonomi :
- Berpengaruh terhadap iklim persaingan usaha di kalangan pengusaha
- Penyebab terjadinya stagnasi putaran roda perekonomian.
- Penyebab terjadinya kelangkaan modal.

3. Di bidang psikologi :
Menimbulkan kebiasaan buruk pada diri wajib pajak untuk selalu
melanggar UU.

Ad.c. Melalaikan Pajak.


Melalaikan pajak adalah menolak membayar pajak yang telah ditetapkan
dan menolak memenuhi formalitas yang harus dipenuhi oleh wajib pajak
Contoh :
 Menghalangi penyitaan dengan cara mengalihkan barang yang dapat
disita.
 Mengajukan sanggahan ke Pengadilan terhadap perintah penyitaan.

Anda mungkin juga menyukai