IDE DASAR PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA POLITIK HUKUM PIDANA Kajian Teoritis Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana
• Konstruksi sistem hukum pidana tidak terlepas dari masalah
pokok hukum pidana yaitu tindak pidana, pertanggungjawaban pidana serta pemidanaan. • Sauer menyebutnya trias pidana, yaitu: sifat melawan hukum (unrecht), kesalahan (schuld) dan pidana (strafe). • Rekonstruksi sistem hukum pidana dilakukan dalam kerangka memberikan ide dasar dengan berdasarkan pada perspektif nilai, perspektif keilmuan dan sumber hukum nasional (Pancasila). • Secara terminologi, rekonstruksi adalah penyusunan kembali atau pembangunan kembali, penataan kembali • Sehingga rekonstruksi berkaitan erat dengan masalah “law reform atau law development” pembaruan/pembangunan sistem hukum pidana (penal reform) Maka pembaruan sistem hukum pidana meliputi ruang lingkup yang sangat luas: a) Pembaruan substansi hukum pidana materiel (KUHP dan UU diluar KUHP), hukum pidana formal (KUHAP) dan hukum pelaksanaan pidana b) Pembaruan struktur hukum pidana, meliputi pembaruan atau penataan institusi/lembaga, sistem manajemen/tata laksana dan mekanismenya serta sarana/prasarana pendukung dari sistem penegakan hukum pidana c) Pembaruan budaya hukum pidana, yang meliputi masalah kesadaran hukum, perilaku hukum, pendidikan hukum dan ilmu hukum pidana • Jika ingin melihat kerangka bangunan hukum, maka dilihat pada aspek penegakan hukumnya (law enforcement) nya. • Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan. Muladi, dalam proses penegakan hukum pidana, pada hakikatnya dilakukan melalui beberapa tahap: a) Tahap Formulasi, tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat UU. Tahap ini disebut tahap kebijaksanaan legislatif. b) Tahap Aplikasi, tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Disebut tahap yudikatif. c) Tahap Eksekusi, tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksanaan pidana. Disebut kebijaksanaan eksekutif dan administratif. Joseph Goldstein, membedakan penegakan hukum pidana menjadi tiga bagian: a) Total Enforcement, ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana subtantif, namun selalu dibatasi dengan ketentuan hukum secara procedural sehingga penegakan hukum menjadi terhambat b) Full Enforcement, penegakan hukum tidak akan terlepas dari kultur masyarakat, struktur dari penegakan hukum itu sendiri, dan substansi hukum yang berkaitan dengan perundang-undangan yang akan diimplementasikan c) Actual Enforcement, penegakan hukum pidana harus dilihat secara realistik. Sehingga penegakan hukum secara aktual harus dilihat sebagai bagian diskresi yang tidak dapat dihindari karena keterbatasan-keterbatasan dalam sistem peradilan pidana kita • Barda Nawawi Areif, menjelaskan pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normative dan sistematik-dogmatik. • Disamping pendekatan yuridis normative, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif; bahkan memerlukan pendeketan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya. • Itulah mengapa, latar belakang rekonstruksi sistem hukum pidana nasional sangat memperhatikan pendekatan yuridis factual. KUHP (WvS) memiliki latar belakang yang dipandang: a) Tidak lengkap atau tidak menampung berbagai masalah dan dimensi perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana baru b) Kurang sesuai dengan nilai-nilai sosio-filosofik, sosio politik, dan sosio kultural yang hidup dalam Masyarakat c) Kurang sesuai dengan perkembangan oemikiran/ide dan aspirasi tuntutan kebutuhan Masyarakat d) Tidak merupakan sistem hukum pidana yang utuh, karena adanya pasal-pasal yang dicabut. Ide dasar merupakan pandangan yang diyakini menentukan cara pandang terhadap suatu fenomena. Berfungsi sebagai the central cognitive resource yang menentukan rasionalitas suatu fenomena, baik tentang apa yang menjadi pokok persoalan maupun cara melihat dan menjelaskan fenomena itu. Ide dasar sebagai gagasan dasar mengenai suatu hal. Misalnya mengenai cita hukum atau rechtsidee, merupakan konstruksi piker (ide) yang mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan.
Rudolf Stamler, cita hukum merupakan leitstern (bintang pemandu) bagi
terciptanya cita-cita masyarakat. Oppenheimer disebut staatsidee, hakikat yang paling dalam dari negara yang dapat memberi bentuk negara, atau hakikat negara yang menentukan bentuk dari negara. Barda Nawawi Arief, Konsep KUHP Baru tidak dapat dilepaskan dari ide/kebijakan pembangunan sistem hukum nasional yang berlandaskan Pancasila sebagai nilai-nilai berkehidupan yang dicita-citakan.
Maksudnya, pembaharuan hukum pidana nasional dilatarbelakangi
bersumber dan berorientasi pada ide-ide dasar (basic ideas) Pancasila yang mengandung didalamnya keseimbangan nilai/ide/paradigma: - Moral Religius (Ketuhanan) - Kemanusiaan (Humanistik) - Kebangsaan - Demokrasi, dan - Keadilan Sosial Sistem nilai masyarakat Indonesia terikat dengan sistem hukum nasionalnya yaitu nilai keseimbangan Pancasila. Barda Nawawi Arief, apabila sistem hukum nasional dilihat sebagai substansi hukum, maka dapat dikatakan bahwa sistem hukum nasional adalah sistem hukum Pancasila.
Dijabarkan lebih lanjut, maka akan berlandaskan/berorientasi pada 3
(tiga) pilar nilai keseimbangan Pancasila, yaitu: - berorientasi pada nilai-nilai “Ketuhanan” (bermoral religius) - berorientasi pada nilai-nilai “Kemanusiaan” (humanistik) - berorientasi pada nilai-nilai “Kemasyarakatan” (nasionalistik, demokratik, berkeadilan sosial) Pembaharuan hukum pidana hendaknya dilakukan dengan menggali dan mengkaji sumber hukum tidak tertulis dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, antara lain dalam hukum agama dan hukum adat.
Karakteristik masyarakat Indonesia lebih bersifat monodualistik
dan pluralistik; dan berdasarkan berbagai kesimpulan seminar nasional, sumber hukum nasional diharapkan berorientasi pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu yang bersumber dari nilai-nilai hukum adat dan hukum agama.
Kajian komparatif “traditional and religious law family” tidak hanya
merupakan suatu kebutuhan, tetapi juga suatu keharusan. Barda Nawawi Arief, pengembangan ilmu hukum pidana patut kiranya sampai pada aspek “kejiwaan/kerokhanian”, yang dimaksudkan adalah aspek “nilai” (value) yang ada di dalam atau dibalik “norma” hukum pidana. Ilmu hukum pidana harus senantiasa mengolah dan membangkitkan kembali “batang tarandam” (nilai-nilai hukum yang hidup).
Hukum pidana, apabila ingin disebut sebagai ilmu yang dapat
menangkap dan mengikuti perubahan dan tidak mengabaikan nilai di dalam ‘ruang public’ maka harus merefleksikan ‘kehendak umum’ dan ‘sistem nilai’ yang berada pada kriteria ide keseimbangan. Barda Nawawi Arief, ide keseimbangan sebagai ide dasar yang ingin diwujudkan dalam Konsep (RUU KUHP) berorientasi pada “ide/asas keseimbangan” yang antara lain mencakupi:
a) Ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat
(umum) dan kepentingan individu b) Ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defence” c) Ide keseimbangan yang berorientasi pada pelaku / “offender” dan korban “victim” d) Ide keseimbangan antara “kepastian hukum” dan elastisitas / fleksibilitas dan “keadilan” e) Keseimbangan antara kriteria “formal” dan “materiel” f) Keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global / internasional / universal. SEKIAN, TERIMA KASIH