Anda di halaman 1dari 15

HUKUM SYARA’

SEPUTAR BARANG
TEMUAN (LUQATHAH)
K.H. MUHAMMAD SHIDDIQ AL-JAWI, M.Si
Tanya :
Assalamualaikum wr wb
1. Ustadz maaf mau tanya, saya supir taksi. Nah di taksi saya pernah
menemukan barang berupa cincin emas putih dan earphone punya tamu
ketinggalan saat bersih-bersih mobil taksi. Perkiraan harga cincin emas
putih itu, taksirannya sekitar Rp 3 jutaan lebih kalo dijual. Harga earphone
sekitar Rp 100 ribuan. Kemudian saya laporkan ke kantor bahwa ada barang
tamu, dan disimpan di kantor, bilamana ada yang laporan ke kantor merasa
kehilangan barang bisa dikasihkan. Setelah sekian bulan tidak ada yang
laporan, barang-barang yang ketinggalan itu di kasihkan kantor kepada
yang menemukan barang (saya). Ustadz, maaf apakah barang tersebut
boleh saya gunakan/jual buat keperluan saya, ataukah bagaimana
sebaiknya menurut hukum Islam? 🙏🙏 (Luthfi, Sleman)
2. Ustadz, ayam tetangga cari makannya di halaman saya. Ketika bertelur di
halaman saya, apakah telurnya menjadi milik saya? 😁(Toni IBC, Sleman).
Jawab
Wa ‘alaikumus salam warahmatullahi wa barakatuhu
Kami akan menjawab sekaligus dua pertanyaan di atas, yaitu dari Akhi Luthfi
dan Akhi Toni IBC, keduanya dari Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),
karena kedua pertanyaan tersebut mirip dan secara tinjauan fiqih dikaji
dalam bab fiqih yang sama, yaitu Bab Al-Luqathah (Bab Tentang Barang
Temuan). Syekh Rawwas Qal’ah Jie, mendefinisikan Al-Luqathah (Barang
Temuan) sebagai berikut :

‫َالُّلَقَطُة ِهَي ْالَم اُل اَّلِذ ْي ُيْو َج ُد ُم ْلقًى َفي الَّطِر ْيِق َو َنْح ِوِه َو َال ُيْع َر ُف َلُه َص اِح ٌب‬

“Luqathah adalah harta yang ditemukan tergeletak di jalan dan di tempat


sejenisnya, dan tidak diketahui pemiliknya.” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam
Lughat Al-Fuqohā`, hlm. 362).
Sementara dalam kitab Al-Mu’jam Al-Wasīth, definisi Al-Luqathah (Barang
Temuan) adalah sebagai berikut :

‫َالُّلَقَطُة ِهَي الَّش ْي ُء اَّلِذ ْي َتِج ُد ُه ُم ْلقًى َفَتْأُخ ُذ ُه‬

“Luqathah adalah sesuatu yang Anda temukan dalam keadaan tergeletak


lalu Anda mengambilnya.” (Ibrahim Anies dkk, Al-Mu’jam Al-Wasīth, hlm.
834).
Definisi paling baik dan lengkap barangkali definisi dalam kitab Al-Mausū’ah
Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, yang mendefinisikan Al-Luqathah (Barang
Temuan) sebagai berikut :

‫ َأِو الَّش ْي ُء اَّلِذ ْي َيِج ُد ُه اْلَم ْر ُأ ُم ْلقًى‬،‫َالُّلَقَطُة َش ْر ًع ا ِهَي ْالَم اُل الَّض اِئُع َع ْن َرِّبِه َيْلَتِقُتُه َغ ْيُرَه‬
‫َفيْأُخ ُذ ُه َأَم اَنًة‬

“Luqathah menurut pengertian syariah adalah harta yang hilang dari


pemiliknya yang ditemukan oleh orang lain, atau sesuatu yang ditemukan
oleh seseorang dalam keadaan tergeletak lalu dia mengambilnya sebagai
barang amanah (titipan).” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,
35/295).
Dengan memahami definisi Al-Luqathah (Barang Temuan) ini, maka jelaslah
bahwa hukum luqathah inilah yang tepat untuk diterapkan pada dua
pertanyaan di atas.

Jadi kasus pertama di atas tentang barang temuan berupa cincin dan
earphone di mobil taksi, juga kasus kedua tentang barang temuan berupa
satu butir telur di halaman rumah, jelas merupakan kasus Al-Luqathah
(Barang Temuan) yang ada dalam fiqih Islam.
Untuk barang temuan berupa sebutir telur, boleh hukumnya langsung
dimiliki oleh penemunya, tanpa ada kewajiban untuk mengumumkannya
kepada masyarakat terlebih dahulu. Imam Taqiyuddin An-Nabhani,
rahimahullah, menjelaskan :

‫ َوِإَّنَم ا‬،‫ َفِإَّنُه اَل ُيَعَّر ُف َع َلْيِه‬،‫ َو َم ا َش اَك َل َذ اِلَك‬،‫ َك الَّتْم َرٍة َو الُّلْقَم ِة‬،‫َأَّم ا إْن َك اَنْت ِم ْن الَّتَو اِفِه‬
‫َيْم ِلُك ُه ِفي اْلَح اِل‬
“Adapun jika barang temuan itu termasuk barang-barang yang sepele
(murah harganya), seperti satu butir kurma, atau satu suap [makanan],
atau yang semisalnya, maka tidak wajib diumumkan, melainkan boleh
dimiliki (oleh penemunya) saat itu juga.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-
Nizhām Al-Iqtishādi fi Al-Islām, hlm. 124).
Dalil bahwa barang temuan yang sepele atau murah harganya, boleh
langsung dimiliki atau dimanfaatkan oleh penemunya, adalah hadits berikut
ini :

‫َع ْن َج اِبِر ْبِن َع ْبِد ِهَّللا َقاَل َر َّخ َص َلَنا َرُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِفي اْلَعَص ا َو الَّس ْو ِط َو اْلَح ْبِل‬
‫َو َأْش َباِهِه َيْلَتِقُطُه الَّرُج ُل َيْنَتِفُع ِبِه‬

Dari Jabir bin Abdullah RA, ia berkata,”Rasulullah SAW memberikan


keringanan kepada kami untuk barang temuan berupa tongkat, pecut, tali
dan yang semisalnya yang ditemukan dan dimanfaatkan oleh seseorang
(penemunya).” (HR Abu Dawud, no. 1459).
Berdasarkan penjelasan ini, barang yang sepele atau murah harganya,
seperti satu butir telur, yang ditanyakan di atas, boleh hukumnya langsung
dimiliki atau dimanfaatkan oleh penemunya.

Hukum ini berlaku pula untuk barang-barang temuan lainnya yang


semisalnya, yang sepele atau murah harganya, yang menurut kebiasaan
masyarakat, tidak akan dicari oleh pemiliknya jika barang itu hilang.

Misalnya satu potong pisang goreng, satu botol minuman mineral, uang Rp
5.000, satu kotak korek api, satu buah kue bakpia, satu butir kurma, dan
sebagainya. Barang-barang seperti ini boleh hukumnya langsung dimiliki
atau dimanfaatkan oleh penemunya.
Hal ini tentu berbeda jika barang yang ditemukan bukan satu butir telur,
melainkan sepuluh atau dua puluh butir telur, misalnya.

Barang semacam ini tentu cukup bernilai (bukan barang sepele yang murah
harganya), yang kemungkinan masih akan dicari oleh pemiliknya jika barang
itu hilang.

Karenanya, kasus ini mempunyai hukum syara’ yang berbeda. Khusus untuk
barang-barang yang bernilai seperti ini, yang dicari pemiliknya jika hilang,
akan tetapi sifatnya tidak dapat disimpan atau tidak dapat bertahan lama,
seperti makanan, buah-buahan, kue-kue, snack, dan semisalnya, hukum
syara’-nya dijelaskan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullah,
sebagai berikut :
‫ َفُهَو ُم َخ َّيٌر‬،‫ َو َم ا َش اَك َلُه‬،‫ َو اْلَبِط ْيِخ‬، ‫ َك اَأْلْك ِل‬،‫ ِبَأْن َك اَنْت ِم َّم ا اَل َيْبَقى‬،‫َأَّم ا إْن َك اَنْت ِم َّم ا اَل ُيْم ِكُن ِح ْفُظَها‬
‫ َو َبْيَن َأْن َيِبْيَعُه َو َيْح َفَظ َثَم َنُه ُم َّد َة اْلَح ْو ِل‬، ‫َبْيَن َأْن َيْأُك َلُه َو َغ ِرَم َثَم َنُه ِلَص اِبِح ِه ِإْن ُو ِج َد‬

“Adapun jika barang temuan itu merupakan barang yang tidak mungkin
disimpan, dalam arti barangnya tidak dapat bertahan lama, seperti
makanan, atau buah semangka, dan barang yang semisalnya, maka
penemunya boleh memilih salah satu dari dua pilihan, pertama,
memakannya dan menjamin harganya bagi pemiliknya jika pemiliknya
datang. Kedua, menjualnya dan menyimpan harganya dalam jangka waktu
satu tahun menurut kalender hijriyah (haul).”

(Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fi Al-Islām, hlm. 124).


Adapun barang temuan berupa cincin dan earphone di dalam mobil taksi,
maka dari data yang diberikan penanya, diketahui cincin dan earphone
tersebut merupakan barang yang bernilai dan sifatnya dapat disimpan atau
dapat bertahan lama, berbeda dengan telur atau buah yang tidak dapat
bertahan lama.

Untuk barang-barang yang seperti ini, hukumnya adalah wajib diumumkan


dulu kepada publik selama satu tahun (dalam kalender hijriyah). Jika
pemiliknya tidak datang, setelah diumumkan selama satu tahun menurut
kalender hijriyah, maka barang temuan yang seperti ini boleh dimiliki oleh
penemunya.

Dalilnya sabda Rasulullah SAW :


‫َم ا َك اَن ِم ْنَها ِفي َطِر يِق اْلِم يَتاِء َأْو اْلَقْر َيِة اْلَج اِمَعِة َفَعِّر ْفَها َس َنًة َفِإْن َج اَء َطاِلُبَها َفاْد َفْع َها ِإَلْيِه َوِإْن َلْم‬
‫ َو َم ا َك اَن ِفي اْلَخ َر اِب َيْع ِني َفِفيَها َو ِفي الِّر َك اِز اْلُخ ُم ُس‬،‫َيْأِت َفِهَي َلَك‬

“Apa yang ditemukan di jalan yang dilalui orang atau di kampung yang
ditinggali penduduk, maka umumkanlah selama setahun. Jika datang orang
yang mencarinya maka serahkan barang itu kepada dia. Jika tidak ada yang
datang, maka itu untukmu. Dan apa yang ditemukan di reruntuhan (bukan
jalan yang dilalui umum), maka padanya, dan pada rikāz (harta yang
terpendam di dalam tanah), ada khumus (kewajiban mengeluarkan
seperlima dari harganya).” (HR Abu Dawud, no. 1710).
Berdasarkan dalil hadits di ats, jelaslah hukum syara’ yang berlaku untuk
barang temuan berupa cincin dan earphone di dalam mobil taksi adalah
sebagai berikut;

Jadi barang temuan ini wajib diumumkan terlebih dahulu selama satu tahun
hijriyah. Jika datang pemiliknya, berikanlah kepadanya. Namun jika
pemiliknya tidak datang, boleh hukumnya barang itu dimiliki oleh
penemunya, setelah berlalu satu tahun menurut kalender hijriyah. Wallāhu
a’lam.

Yogyakarta, 26 Juli 2023

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

www.shiddiqaljawi.com
www.fissilmi-kaffah.com

Anda mungkin juga menyukai