13
14
“Hadis Sa’id bin Amir dari Syu’bah dari Khalid Khazaai dari Yazid Ibn
Abdullah bin Sakhir dari Abi Muslim dari Juradi berkata: telah
bersabda Nabi SAW: “Barang hilang milik orang mukmin adalah
nyala api neraka:. (HR. Ahmad dan Ibnu Majjah)
seperti jenis, tipe, dan kuantitasnya. Dia harus menjaga barang tersebut
sebagaimana dia menjaga hartanya. Sama saja dalam hal ini antara
barang yang berharga dan yang tidak berharga. (Sabiq 2013, 221)
“Dan dari “Iyadl bin Himar, ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda, ‘Barang
siapa yang menemukan barang pungutan maka hendaklah dia mencari
saksi dua orang yang adil, atau hendaklah dia pelihara tutup dan
tempatnya, kemudian jika si pemiliknya datang maka janganlah dia
sembunyikan barang tersebut, karena dialah yang lebih berhak atasnya.
Akan tetapi jika si pemiliknya tidak datang maka barang itu adalah harta
Allah yang ia berikan kepada siapa yang Ia kehendaki”. (HR Ahmad dan
Ibnu Majah) (diterjemahkan oleh Hamidy, Imron, Fanany 1994, 1958)
Artinya: Dari Salamah; aku mendengar Suwaid bin Ghaflah berkata: Aku
bertemu Ubay bin Ka’ab RA, lalu dia berkata, “Aku mendapat pundi yang
berisi 100 dinar, lalu aku membawanya kepada Rasulullah SAW. maka
beliau bersabda, ‘Umumkan selama satu tahun!’ aku mengumumkan
selama satu tahun dan belum mendapatkan orang yang mengenalinya.
Lalu aku datang kepada Nabi SAW. maka beliau bersabda, ‘Umumkan
(lagi) selama satu tahun!’ Akupun mengumumkan kembali selama satu
tahun, namun tidak mendapati orang yang mengenalinya. Kemudian aku
mendatangi Nabi SAW. untuk yang ketiga kalinya, maka beliau bersabda,
‘Kenali tempatnya, jumlahnya dan pengikatnya, apabila pemiliknya
datang, (maka serahkan kepadanya); dan jika tidak, maka
manfaatkanlah’. Maka, akupun memanfaatkannya. Setelah itu aku
bertemu dia di Makkah dan berkata, ‘Aku tidak tahu, apakah tiga tahun
atau satu tahun saja”. (Asqalani 2005, 444)
baik dia kaya maupun miskin, dan dia tidak wajib menggannti. (Sabiq
2013, 221)
Hukum mengumumkan barang temuan berbeda-beda. Terkadang
hukumnya wajib, kadang menjadi mandud (sunnah) sesuai keinginan dan
niat orang yang mengambilnya. Jika dia mengambilnya dengan niat
menjaga dan tidak untuk dimiliki, maka tidak wajib mengumumkannya,
sebab pengumuman tujuannya untuk memiliki sedangkan dia tidak
berniat memiliki, maka tidak wajib dan hanya mustahab. Dan jika dia
berniat memilikinya, maka mengumumkannya menjadi wajib.
Namun pendapat yang rajih (unggul) dalam mazhab Syafi’i bahwa
pengumuman adalah wajib secara mutlak baik untuk dijaga atau dimiliki.
Imam An-Nawawi mengatakan inilah pendapat yang lebih kuat dan yang
menjadi pilihan dalam mazhab. ( Azzam 2014, 279)
Jika dia berniat untuk memiliki, maka tidak boleh dimiliki kecuali
setelah dia mengumumkannya selama satu tahun sesuai dengan hadis
Zaid bin Khalid Al-Juhani bahwa ketika baginda Nabi ditanya tentang
barang temuan emas dan perak baginda menjawab:
أ
“Kenali ikatan dan bungkusnya kemudian umumkan selama satu tahun”
(Al-Albani 2007, 243)
Hadis di atas menunjukkan bahwa pengumuman waktunya
selama satu tahun dan jika sipemilik tidak datang, maka ia boleh
memilikinya jika dia menginginkannya.
}
“Dia (hewan ternak) itu milikmu atau milik saudaramu atau akan
diterkam harimau”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Zaid ibn Khalid al-
Juhani). (Al-Bayan 2013, 311)
Akan tetapi, para ulama fiqh berbeda pula dalam perlu tidaknya
membayar ganti, apabila setelah setahun diumumkan tiba-tiba datang
pemiliknya menagih binatang itu, sementara hewan temuan itu telah
dimanfaatkan. Jumhur ulama mengatakan bahwa sekalipun dibolehkan
memakannya, tetapi apabila datang pemiliknya meminta hewan itu
kembali, maka wajib dibayar ganti rugi seharga hewan itu. Akan tetapi,
Imam Malik mengatakan ia tidak dikenakan ganti rugi sesuai dengan
hadis di atas.
36
}
“Tidak halal harta seorang muslim, kecuali dengan kerelaan hatinya.” (HR.
Ahmad ibn Hanbal, al-Hakim dan Ibnu Hibban)
seperti kambing dan ayam, untuk yang ini boleh dimakan langsung
tanpa harus diumumkan baik dia orang kaya atau miskin dan dia
harus menggantikannya jika pemiliknya datang dan ini merupakan
pendapat Imam Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah.
Sementara Imam Malik dan Dawud mengatakan: “dia tidak
menajamin dia boleh memakannya secara mubah dan tidak ada
mengganti jika pemiliknya datang, sesuai dengan hadis Nabi SAW:
“dia adalah milikmu, atau saudaramu atau milik serigala.” (Al- Albani
2007, 243)
Kita tahu apa yang boleh dimakan oleh serigala berarti mubah
dan tidak ada jaminan. Pendapat pertama adalah lebih kuat, karena
selaras dengan hadis Nabi SAW:
}
“Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatnya.”
(HR. Ahmad ibn Hanbal, al-Hakim, dan Ibnu Hibban)