Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS DAN MENGGAMBARKAN DALAM BENTUK CONTOH MENGENAI JUAL

BELI AL FUDHULI

Irliana Hardianti H.Razak


Institut Agama Islam Negeri Kendari
Email : irlianahardianti12@gmail.com

PEMBAHASAN

Kata fudhuli turunan dari kata fadhl, yang artinya kelebihan. Sementara secara istilah, para ulama
menyebutkan,

‫ أو والية‬،‫تصرف في حق الغير بغير إذن شرعي‬

Mentransaksikan hak orang lain, tanpa izin secara syar’i atau karena statusnya sebagai wali
(pengurus) orang lain. (al-Bahr ar-Raiq, 6/160).

Kaitannya dengan makna bahasa, orang yang melakukan jual beli fudhuli, dia melakukan perbuatan
yang itu bukan urusannya.

Mengenai hukum Bai’ Fudhuli, ada dua keadaan:

[1] Jika pemilik barang tidak merelakan barangnya dijual orang lain, atau uangnya digunakan orang
lain maka

transaksinya batal dengan sepakat ulama.

[2] Pemilik barang atau uang mengizinkan. Untuk kasus keduanya, apakah transaksinya sah?

Ada dua pendapat ulama,

Pertama, jual beli fudhuli statusnya sah, selama pemilik barang atau uang merelakannya.
Ini pendapat Abu hanifah,

Dalam kitab al-Inayah Syarh al-Hidayah dinyatakan,


‫ وهو مذهب مالك وأحمد في رواية‬،‫ فالمالك بالخيار إن شاء أجاز البيع وإن شاء فسخ‬،‫من باع ملك غيره بغير إذنه‬

Orang yang menjual barang milik orang lain tanpa seizinnya, maka pemilik memiliki hak pilih. Jika
dia mau, dia bisa merelakannya. Dan jika dia mau, dia bisa membatalkan transaksi. Ini adalah
pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. (al-Inayah Syarh al-
Hidayah, 9/361).
Kedua, bai’ fudhuli statusnya batal, sekalipun pemiliknya merelakan.
Ini adalah pendapat Imam as-Syafii dalam pendapat baru dan  Imam Ahmad dalam salah satu
riwayat.

Lanjutan keterangan dalam al-Inayah Syarh al-Hidayah,

‫درة‬o‫اد إال بالق‬o‫ وال انعق‬،‫دا‬o‫د فق‬o‫ك وق‬o‫إذن المال‬o‫ك أو ب‬o‫ا بالمل‬o‫رعية ألنه‬o‫ة ش‬o‫در عن والي‬o‫ ال ينعقد ألنه لم يص‬: ‫وقال الشافعي رحمه هللا‬
‫الشرعية‬

Sementara Imam as-Syafii rahimahullah mengatakan, Jual belinya tidak sah, karena dia tidak
memiliki izin secara syar’I ketika melakukan akad. Karena izin syar’I untuk akad adalah dengan
memiliki barang atau dengan izi pemiliknya. Sementara keduanya tidak ada. Dan transaksi tidak sah
kecuali dengan al-Qudrah as-Syar’iyah (keadaan yang diizinlan syariah). (al-Inayah Syarh al-
Hidayah, 9/361).
Pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat pertama. Dan ini yang dinilai kuat oleh Syaikhu
Islam. (Majmu al-Fatawa, 20/578)

Diantara dalil yang mendukung pendapat ini adalah hadis tentang Urwah al-Bariqi. Sahabat yang
dipeseni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membeli seekor kambing seharga 1 dinar. Namun
oleh Urwah, uang ini digunakan untuk membeli 2 ekor kambing. Ketika di perjalanan pulang, ada
orang yang menawar salah satu kambingnya. Kemudian oleh urwah dijual seharga 1 dinar.
Pulanglah Urwah menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seekor
kambing dan uang 1 dinar. Oleh Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam, Urwah didoakan keberkahan.
Hingga seorang sahabat mengatakan, andai Urwah menjual pasir, pasti dia akan untung. (HR.
Bukhari 3443, Turmudzi 1304 dan yang lainnya).
Dalam hadis ini, Urwah membelanjakan harta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diluar tugas yang
diamanahkan kepadanya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merelakannya, transaksi Urwah
tidak dibatalkan.
Allahu a’lam.

Istilah fiqih untuk jual beli barang milik orang lain, adalah bai’ fudluli. Salah satu syarat agar jual
beli adalah sah adalah bilamana barang tersebut merupakan milik dari penjual. Tidak sah jual beli
barang yang belum menjadi milik dari penjual. Teks fiqih menyebutkan: ‫بيع الفضولي باطل‬
Artinya: “Jual beli fudluly (barang milik orang lain) adalah tidak sah.” (Muhyiddin Yahya bin
Syaraf al-Nawawy, Minhaju al-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn fi al-Fiqh, Surabaya: Al-Hidayah,
tt.: 1/95)

Masalahnya kemudian, dalam beberapa teks fiqih juga dinyatakan bahwa: ‫الوكيل في هذه الحقوق كالمالك‬
Artinya: “Hak wakil adalah seperti pemilik (mâlik).” (Wazâratu al-Awqâf wa al-Syu-ûn, al-
Mausû’ah al-Fiqhiyyah, Kuwait: Wakalah - Yaumu al-Nahr, tt.: 45/159)

Teks di sini menyebutkan bahwa wakil kedudukannya adalah sama dengan orang yang diwakili.
Silogisme berlaku bahwa bila orang yang diwakili adalah pemilik, maka wakil adalah sama dengan
pemilik dalam penguasaan barang. Dalam teks yang lain disebutkan bahwa: ‫ويصح اقتراض العبد المأذون‬
‫ له والمكاتب والولي لموليه ألنه أهل للمعاملة‬Artinya: “Sah akad utangnya seorang budak yang diberikan izin
kepadanya, dan mukâtab serta wali untuk orang yang diwalikan padanya (muwalli) karena ia adalah
ahli untuk muamalah.” (Sayyid Ahmad bin Umar bin ‘Awadl Al-Syathiry, Al-Yâqûtu al-Nafîs fî
Madzhabi Ibni Idris fi al Fiqhi al-Syafi’i, Beirut: Daru al-Kutub al-Ilmiyah, 1971: 78!) Teks ini
menyebutkan bahwa tasharuf wali terhadap orang yang diwalikan kepadanya (muwalli) adalah sah
dalam akad muamalah. Jika muwalli  adalah pemilik barang, maka hak tasharuf wali terhadap
barang milik muwalli hukumnya adalah sah. Sehingga silogisme yang berlaku adalah wali
kedudukannya sama dengan muwalli dalam hak tasharuf barang.  Dengan menimbang status wakil
dan wali di atas, maka yang dimaksud sebagai mâlik dalam akad jual beli ini menjadi berkembang.
Pemilik (mâlik) tidak hanya dipandang sebagai pemilik barang dengan sempurna, melainkan juga
masuk di dalamnya orang yang menjadi wâkilnya mâlik dan orang yang menjadi wâlinya mâlik.
Dalam kesempatan lain ada teks hadits menjelaskan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
 ‫والسلطان ولي من ال ولي لها‬

Artinya: “Sulthan adalah walinya orang yang tidak memiliki wali.” (Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-
Asy’qalâny, Fathu al-Bâri Syarah Shahih al-Bukhary, Daru al-Rayyan li al-Turath, 1986: 9/97!)
Hadits sebagaimana yang dinukil oleh Syekh Ibnu Hajar al-Asyqalâny ini secara tidak langsung
menambah wawasan luas terhadap pengertian pemilik barang di atas. Pengertian pemilik tidak lagi
hanya sebatas pemilik sempurna barang, melainkan juga wakil, wali dan sulthan yang menguasai
wilayahnya. Namun, karena konteks bahasan masing-masing berbeda temanya, tentu dalam hal ini
ada batasan-batasan sendiri yang mutlak diperhatikan. Bagaimanakah batasan itu dibentuk? Berikut
ini adalah ulasannya.  Syekh Jalaluddin al-Mahally (w. 864 H) dalam kitab al-Mahally ‘ala Minhâji
al-Thâlibin, menjelaskan:

‫ذ‬oo‫ة وإال فال ينف‬oo‫ذ بالمعجم‬oo‫ه نف‬oo‫ه أو ولي‬oo‫فبيع الفضولي باطل ألنه ليس بمالك وال وكيل وال ولي وفي القديم هو موقوف إن أجاز مالك‬
‫ق‬oo‫ه أو أعت‬oo‫ق منكوحت‬oo‫ أو طل‬، ‫ه‬oo‫ وفيما لو زوج أمة غيره أو بنت‬، ‫ويجري القوالن فيما لو اشترى لغيره بال إذن بعين ماله أو في ذمته‬
‫اني ال‬oo‫ والث‬، ‫ه‬oo‫ه ملك‬oo‫بين أن‬oo‫ر لت‬oo‫ أو آجر دابته بغير إذنه ولو باع مال مورثه ظانا حياته وكان ميتا بسكون الياء صح في األظه‬، ‫عبده‬
‫رح‬oo‫ال في ش‬oo‫ ق‬، ‫اح‬oo‫ح النك‬oo‫ل يص‬oo‫ا ه‬oo‫ان ميت‬oo‫ه حي فب‬oo‫ه على ظن أن‬oo‫ ويجري الخالف فيمن زوج أمة مورث‬، ‫يصح لظنه أنه ليس ملكه‬
‫ واألصح صحته‬: ‫المهذب‬ 

Artinya: “Jual beli fudluly adalah tidak sah karena ia merupakan akad yang dilakukan oleh bukan
pemilik barang, dan bukan wakil serta bukan wali. Dalam qaul qadim Imam Syafii tidak dinyatakan
mauquf (melihat illat hukumnya). Jika pemilik sempurna barang, atau walinya, memberi wewenang
menjual, maka jual belinya sah. Namun bila tidak mendapat wewenang maka tidak sah. Untuk itu
berlaku dua pendapat, (pertama) untuk kasus pembelian seseorang untuk orang lain - tanpa seizin
orang tersebut – atas barang tertentu atau barang yang ada dalam tanggung jawabnya, dan (kedua)
untuk kasus menikahkan perempuan amat milik orang lain, atau menikahkan anak gadis orang lain,
atau menthalaqkan perempuan yang dinikahi orang lain, atau memerdekakan budaknya orang lain,
menyewakan binatang orang lain, dengan tanpa seidizin pemiliknya. Bahkan dalam kasus
seandainya menjual harta yang akan diwarisinya secara dhanny (persangkaan) di masa masih
hidupnya orang akan diwarisi yang pada akhirnya ia meninggal. Pendapat pertama, menurut qaul
adhar - hukum sebagaimana dimaksudkan dalam dua kasus di atas - adalah sah karena jelasnya ia
sebagai orang yang menguasainya. Pendapat kedua, tidak sah karena masih berupa persangkaan dan
ini menunjukkan bukan penguasa barang. Berlaku perbedaan pendapat untuk kasus orang yang
menikahkan perempuan amat milik orang yang akan diwarisi secara dhanny - dengan bekal
persangkaan masih hidupnya orang tersebut, yang namun dalam faktanya ia telah meninggal –
apakah sah pernikahannya? Imam Nawawi menyatakan dalam Al-Muhadzab: pendapat ashah
adalah sah.” (Syekh Jalaluddin al-Mahally, al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibin, Kediri: Pesantren
Petuk, tt., 156)

Berdasarkan keterangan Syekh Jalaluddin al-Mahally di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk kasus
jual beli fudluly, pada dasarnya adalah tidak sah bila dilakukan oleh bukan pemilik barang (mâlik).
Sahnya akad jual beli fudluly, adalah bilamana orang yang berakad terdiri dari

:  1. Orang yang menjadi wakil, atau menjadi wali dari pemilik barang (wakil pemilik)
2. Orang yang diduga kuat akan mewarisi barang yang dijual. Kesimpulan ini berangkat
dari pengertian dhanny dalam pendapat di atas. 
3. Orang yang mendapat izin menjualkan oleh pemilik barang yang sebenarnya
4. Orang yang menguasai pemilik. Dalam hal ini maka masuk pula di dalamnya sulthan
(“penguasa”). Wallahu al-muwâfiq ilâ aqwâmi al-tharîq.

Contoh jual beli Al Fudhuli


Tepatnya jual beli ini disebut dengan jual beli fudhuli. Misalnya saja ada yang menitipkan suatu
harta pada kita. Maksudnya adalah ia meminta pada kita untuk membeli HP second, lalu ternyata
dengan uang yang ada bisa dibeli 2 HP second sesuai yang diinginkan.

Nah, jual beli fudhuli seperti itu. Jual beli tersebut adalah dengan membelanjakan harta orang lain
tanpa izin dari si empunya. Itulah yang akan dikaji oleh Rumaysho.Com kali ini.

Terlebih dahulu kita perhatikan hadits berikut ini di mana disebutkan dalam kitab Bulughul Marom
karya Ibnu Hajar saat membahas syarat dan jual beli yang terlarang.

‫ ِدينَارًا يَ ْشت َِرى بِ ِه أُضْ ِحيَةً أَوْ َشاةً فَا ْشتَ َرى َشاتَ ْي ِن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ارقِ ِّى – قَا َل أَ ْعطَاهُ النَّبِ ُّى‬ ِ َ‫ع َْن عُرْ َوةَ – يَ ْعنِى ا ْبنَ أَبِى ْال َج ْع ِد ْالب‬
‫َار فَ َدعَا لَهُ بِ ْالبَ َر َك ِة فِى بَ ْي ِع ِه فَ َكانَ لَ ِو ا ْشتَ َرى تُ َرابًا لَ َربِ َح فِي ِه‬
ٍ ‫َار فَأَتَاهُ بِ َشا ٍة َو ِدين‬
ٍ ‫فَبَا َع إِحْ دَاهُ َما بِ ِدين‬

Dari ‘Urwah, yaitu Ibnu Abil Ja’di Al Bariqiy, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah memberinya satu dinar untuk membeli satu hewan qurban (udhiyah) atau membeli satu
kambing. Lantas ia pun membeli dua kambing. Di antara keduany, ia jual lagi dan mendapatkan
satu dinar. Kemudian ia pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa satu
kambing dan satu dinar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya dengan
keberkahan dalam jualannya, yaitu seandainya ia membeli debu (yang asalnya tidak berharga sekali
pun, -pen), maka ia pun bisa mendapatkan keuntungan di dalamnya. (HR. Abu Daud no. 3384 dan
Tirmidzi no. 1258. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Jual beli fudhuli adalah jual beli di mana seseorang membelanjakan harta orang lain tanpa ada izin.
Jual beli baru dikatakan sah jika diizinkan oleh pemilik harta tersebut.

Misalnya lagi, si A menjual mobil si B karena menganggap maslahat walaupun tanpa izin dari si B,
pemilik mobil itu. Setelah itu si A memberitahu pada si B bahwa mobilnya telah dijual. Yang terjadi
setelahnya, si B mengucapkan terima kasih karena mungkin ia sebenarnya juga punya niatan untuk
menjual namun belum kesampaian. Ketika sudah mendapatkan izin dari si B, jual belinya dihukumi
sah. Namun jika ia tidak ridho, maka tidaklah sah jual beli tersebut dan mobil tersebut harus
dikembalikan.
Beberapa faedah yang bisa digali dari hadits di atas:

1- Bolehnya mewakilkan jual beli pada orang lain. Beberapa bentuk jual beli, misalnya jual beli
oleh agen, majikan mewakilkan pada penjaga toko, atau bentuk yang dikenal dengan konsinyasi itu
dihukumi sah. Bentuk jual beli seperti ini telah mendapatkan izin dari yang memiliki barang.

“Konsinyasi merupakan suatu perjanjian di mana pihak yang memiliki barang menyerahkan
sejumlah barang kepada pihak tertentu untuk dijualkan dengan memberikan komisi.”

2- Boleh mewakilkan pada orang lain dalam pembelian hewan kurban.

3- Bolehnya orang yang mewakili memanfaatkan harta yang diwakili untuk suatu hal manfaat bagi
pemilik harta tersebut walaupun tidak diperintah atau tanpa izinnya. Demikianlah yang dilakukan
oleh Urwah dalam hadits di atas.

4- Bolehnya jual beli fudhuli yaitu membelanjakan harta orang lain tanpa izin. Karena uang yang
dibawa oleh Urwah sebenarnya hanya diperintah untuk membeli satu kambing. Namun ternyata ia
membeli lebih tanpa izin dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dan setelah itu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyetujuinya.

Ringkasnya, jual beli fudhuli itu sah jika telah diizinkan oleh si pemilik harta. Inilah pendapat yang
lebih tepat dari pendapat para ulama yang ada.

Sebagian ulama menganggap tidak boleh jual beli semacam itu karena bukan dilakukan oleh si
pemilik harta atau yang mewakilinya, namun dalil dari hadits Urwah ini sudah mematahkan
pendapat tersebut. Kita bisa pula mengambil pelajaran kadang logika harus ditundukkan dengan
dalil.

5- Hendaklah setiap orang membalas kebaikan orang yang telah berjasa padanya. Lihatlah sikap
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Urwah telah memanfaatkan harta beliau dengan baik,
beliau pun membalasnya dengan mendoakan kebaikan untuk Urwah.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫صنَ َع إِلَ ْي ُك ْم َم ْعرُوفًا فَ َكافِئُوهُ فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ِجدُوا َما تُ َكافِئُونَهُ فَا ْدعُوا لَهُ َحتَّى ت ََروْ ا أَنَّ ُك ْم قَ ْد َكافَأْتُ ُموه‬
َ ‫َو َم ْن‬

“Siapa yang memberikan kebaikan untukmu, maka balaslah. Jika engkau tidak dapati sesuatu untuk
membalasnya, maka doakanlah kebaikan untuknya sampai engkau yakin telah membalas
kebaikannya.” (HR. Abu Daud no. 1672 dan An Nasai no. 2568. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih).

6- Ampuhnya doa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu menunjukkan mukjizat bagi
beliau. Nabi berdoa untuk Urwah, moga jika ia menjual debu pun, ia akan meraup keuntungan.
Padahal debu adalah suatu yang tidak berharga.

7- Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Keuntungan itu tidak dibatasi. Boleh saja
diambil keuntungan 10, 20, 25% atau lebih dari itu, asalkan tidak ada pengelabuan dalam jual
belinya.”
8- Jika ada yang memberikan suatu harta untuk maksud pembelian barang tertentu, jika ternyata ia
beli di bawah uang pemberian, maka uang sisa dari pembelian tersebut harus dikembalikan. Kisah
Urwah di sini yang menunjukkan hal tersebut.

Namun jika si empunya harta tidak memberikan batasan, misal ia cuma mengatakan, “Belilah
barang tersebut seharga Rp.100.000,-. Jika ada sisa, terserah mau dimanfaatkan untuk apa.” Seperti
itu jika ada sisa pembelian, berarti boleh dimanfaatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin, terbitan Darul Wathon, cetakan pertama, tahun 1433 H, 9: 272-281.

Sumber https://rumaysho.com/7209-jual-beli-dengan-harta-orang-lain-tanpa-izin.html

Read more https://pengusahamuslim.com/5013-kaidah-dalam-fiqh-jual-beli-bagian-08-asal-
jual-beli-harus-dari-pemilik.html

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/95461/hukum-jual-beli-barang-milik-orang-lain

Anda mungkin juga menyukai