Anda di halaman 1dari 123

BUKU I K.U.H.

PERDATA
HUKUM ORANG
(PERSOONEN RECHT)
PENGERTIAN ORANG

1. Manusia dalam pengertian Biologis : orang


yang mempunyai anggota tubuh, panca
indra, dll

2. Manusia sebagai subyek Hukum : orang


sebagai pendukung (mempunyai) Hak dan
Kewajiban dalam kehidupan.
PENGGOLONGAN SUBYEK
HUKUM

1. Subyek Hukum Tunggal : Orang (manusia)


secara Pribadi yang dikenal dengan BADAN
PRIBADI.

2. Subyek Hukum dalam arti Jamak : Terdiri


dari kumpulan beberapa orang,
membentuk suatu BADAN HUKUM
KEWENANGAN BERHAK
(BESCHIKING BEVOEGHEID)

Sejak kapan seorang (subyek Hukum) mempunyai


kewenangan berhak ?. Sejak seorang dilahirkan
sampai dia meninggal dunia.

Anak dalam kandungan dianggap sudah


mempunyai kewenangan berhak, bilamana
kepentingan si anak tsb menghendaki dan sepanjang
dia lahir dalam keadaan hidup, jika dia lahir dalam
keadaan mati maka dia dianggap tidak pernah ada.
(Pasal 2 K.U.H. Perdata)
CATATAN

Berkaitan dengan Kewenangan berhak,


khususnya Hak keperdataan tidaklah
tergantung dari Hak kenegaraan
(kewarganegaraan), artinya siapapun
(apakah dia warganegara atau bukan
warganegara) tetap mempunyai
kewenangan berhak (Pasal 1 KUH. Perdata)
KEWENANGAN BERBUAT
(BESCHEKING BEKWAAM-HEID)

Tidak semua subyek hukum (orang pribadi) yang


sudah mempunyai kewenangan berhak (Beschiking
Bevoegheid) secara otomatis mempunyai
kewenangan berbuat /dapat melakukan Perbuatan
Hukum (Bescheking bekwamheid)

Seorang subyek hukum baru mempunyai


kewenangan berbuat/kecakapan bertindak, jika
telah memenuhi kriteria/syarat tertentu
SYARAT-SYARAT UNTUK CAKAP BERTINDAK

Dalam hukum Perdata tidak ditentukan mengenai


siapa-siapa saja yang dapat /cakap untuk
melakukan perbuatan hukum, krn pada dasarnya
setiap orang adalah cakap, kecuali jika UU
menyatakan tidak cakap (Pasal 1329 KUH. Perdata).

Dalam hukum Perdata hanya mengatur mengenai orang-orang


yang tidak dapat/cakap untuk melakukan perbuatan Hukum,
khususnya dalam membuat Perjanjian. (lihat Pasal 1330 KUH
Perdata)
ORANG-ORANG YG TIDAK CAKAP

1. Seorang anak yang belum


dewasa/Minderjaarecht (Lihat Pasal 1330 KUH.
Perdata)

2. Orang yang sakit ingatan/gila

3. Seseorang yang ditempatkan dibawah


pengampuan/perwalian

4. Seseorang yang berada dalam keadaan


“boros” (Berdasarkan Doctrin)
CATATAN

 Sebelumnya seorang perempuan yang


bersuami (istri) tidak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum, sehingga untuk dia dapat
melakukan perbuatan hukum, harus
diwakilkan oleh suaminya (Pasal 1330 point 3).
 Ketentuan tentang ketidak cakapan istri untuk
melakukan perbuatan hukum sudah dihapus
dengan dikeluarkannya SEMA No. 3 tahun
1963 yang menghapus beberapa pasal
dalam KUH Perdata.
PENCATATAN SIPIL (Burgerlijk Stand)
Pasal 4 s/d pasal 16

Dalam perjalan hidup seseorang (manusia) akan


mengalami beberapa peristiwa penting, mulai dari
peristiwa kelahiran seseorang (yang kemudian diberikan
nama), perkawinan/ perceraian dan kematian.

Setiap peristiwa-peristiwa tsb perlu dicatat agar peristiwa


itu, baik bagi yang berkepentingan maupun bagi pihak ke
tiga dapat dijadikan sebagai bukti.

Pencatatan sipil pada masa sekarang ini sudah merupakan


keharusan
SEJARAH PENCATATAN SIPIL

Pencatatan ada semenjak revolusi Prancis. Sebelum itu


pencatatan (register) tentang peristiwa-peristiwa; kelahiran,
perkawinan, kematian, hanya diselenggarakan oleh pihak
gereja. Keterangan yang dilakukan oleh pihak gereja itu sering
tidak lengkap dan sukar untuk ditemukan kembali dan catatan-
catatan tsb belum tentu dapat diminat oleh orang yang
berkepentingn

Kemudian persoalan mengenai pentingnya pencatatan


peristiwa-peristiwa tersebut (pencatatan sipil) mulai mendapat
pengaturan di dalam code civil yang diikuti juga oleh B.W di
Nederland mulai mengatur tentang Burgerlijk Stand (catatan
sipil)
PENCATATAN SIPIL DALAM KUH. PERDATA
(Pasal 4 s/d 16)

Pasal 4

Tanpa mengurangi ketentuan dalam Pasal 10 Ketentuan-


ketentuan Umum Perundang-undangan di Indonesia, maka
bagi golongan Eropa di seluruh Indonesia ada daftar kelahiran,
daftar lapor kawin, daftar izin kawin, daftar perkawinan dan
percerai-an, dan daftar kematian. Pegawai yang ditugaskan
menyelenggarakan daftar-daftar tersebut, dinama-kan
Pegawai Catatan Sipil.
PASAL 5

Presiden, setelah mendengar Mahkamah Agung


menentukan dengan peraturan tersendiri, tempat dan
cara menyelenggarakan daftar-daftar tersebut,
demikian pula cara menyusun akta-akta dan syarat-
syarat yang harus diperhatikan. Dalam peraturan itu
harus dicantumkan juga hukuman-hukuman terhadap
pelanggaran-pelanggaran oleh Pegawai Catatan Sipil,
sejauh hal itu belum atau tidak akan diatur dengan
ketentuan undang-undang hukum pidana.
PASAL 5 a

Anak sah, dan juga anak tidak sah namun


yang diakui oleh bapaknya, memakai
nama keturunan bapaknya; anak-anak
tidak sah yang tidak diakui oleh bapaknya,
memakai nama keturunan ibunya.
PASAL 6

Tak seorang pun diperbolehkan mengganti nama


keturunannya, atau menambahkan nama lain
pada namanya tanpa izin Presiden.

Barangsiapa nama tidak dikenal keturunan atau


nama depannya, diperbolehkan mengambil
suatu nama keturunan atau nama depan,
asalkan dengan izin Presiden.
PASAL 7

Permohonan izin untuk itu (pergantian nama


atau nama depan), tidak dapat dikabulkan
sebelum habis jangka waktu
empat bulan, terhitung mulai hari
pemberitaan permohonan itu dalam Berita
Negara.
PASAL 8

Selama jangka waktu tersebut dalam


pasal yang lalu, pihak-pihak yang
berkepentingan diperbolehkan
mengemukakan kepada Presiden, dengan
surat permohonan, dasar-dasar yang
mereka anggap menjadi keberatan untuk
menentang permohonan tersebut.
PASAL 9 (1)

Bila dalam hal yang dimaksud dalam alinea


pertama Pasal 6 permohonan itu dikabulkan,
maka surat penetapannya harus disampaikan
kepada pegawai catatan sipil di tempat tinggal
si pemohon, pegawai mana harus
menuliskannya dalam buku daftar yang sedang
berjalan, dan membuat catatan tentang hal itu
pada margin akta kelahiran si pemohon.
PASAL 9 (2)

Surat penetapan yang diberikan berkenaan dengan


dikabulkannya permohonan yang diajukan
menurut alinea kedua Pasal 6, dibukukan dalam
daftar kelahiran yang sedang berjalan di tempat
tinggal yang bersangkutan dan dalam hal termaksud
Pasal 43 alinea pertama Reglemen tentang Catatan
Sipil untuk Golongan Eropa, dicatat pula pada margin
akta kelahiran.
PASAL 9 (3)

Jika suatu permohonan tidak dikabulkan seperti


yang dimaksud dalam alinea yang lalu, maka
Presiden dapat memberikan suatu nama
keturunan atau nama depan kepada yang
berkepentingan. Surat penetapan ini harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal yang
laIu.
PASAL 10

Diperolehnya suatu nama sesuai dengan


ketentuanketentuan dalam keempat pasal yang
lalu, sekali-kali tidak boleh diajukan sebagal
bukti adanya hubungan sanak saudara.
PASAL 11

Tiada seorang pun diperbolehkan mengubah


nama depan atau menambahkan nama depan
pada namanya, tanpa izin Pengadilan Negeri
tempat tinggalnya atas permohonan untuk itu,
setelah mendengar jawaban Kejaksaan.
PASAL 12

Bila Pengadilan Negeri mengizinkan penggantian


atau penambahan nama depan, maka surat
penetapannya harus disampaikan kepada
Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal si
pemohon, dan pegawai itu harus
membukukannya dalam daftar yang sedang
berjalan, dan mencatatnya pula pada margin
akta kelahiran.
PASAL 13

Bila daftar tidak pernah ada, atau telah hilang


dipalsu, diubah, robek, dimusnahkan,
digelapkan atau dirusak, bila ada akta yang tidak
terdapat dalam daftar itu atau bila dalam akta
yang dibukukan terdapat kesesatan, kekeliruan
atau kesalahan lain maka hal-hal itu dapat
menjadi dasar untuk mengadakan penambahan
atau perbaikan dalam daftar itu.
PASAL 14

Permohonan untuk itu hanya dapat diajukan


kepada Pengadilan Negeri, yang di daerah
hukumnya daftar-daftar itu diselenggarakan
atau seharusnya diselenggarakan dan untuk itu
Pengadilan Negeri akan mengambil keputusan
setelah mendengar kejaksaan dan pihak-pihak
yang berkepentingan bila ada cukup alasan dan
dengan tidak mengurangi kesempatan banding.
PASAL 15

Keputusan ini hanya berlaku antara pihak-pihak


yang telah memohon atau yang pernah
dipanggil.
PASAL 16

Semua keputusan tentang pembetulan atau


penambahan pada akta, yang telah memperoleh
kekuatan tetap, harus dibuktikan oleh Pegawai
Catatan Sipil dalam daftar-daftar yang sedang
berjalan segera setelah diterbitkan dan bila ada
perbaikan hal itu harus diberitakan pada
margin akta yang diperbaiki, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Reglemen tentang Catatan
Sipil.
Pada saat sekarang ini Pencatatan Sipil
(Burgerlijk Stand) merupakan suatu badan
yang dibentuk oleh penguasa/pemerintah yang
bertujuan untuk mencatat/ membukukan
selengkap-lengkapnya, tentang semua peristiwa
yang penting bagi peristiwa keperdataan
seseorang (kelahiran, pengakuan, perkawinan,
perceraian dan kematian).
Selain itu pencatatan yang dilakukan oleh
Catatan Sipil (Burgerlijk Stand) itu bersifat
terbuka, artinya catatan tsb dapat dilihat
(diakses) oleh siapa saja, sedangkan setiap
orang dapat meminta kutipan salinan dari
catatan tsb, dengan dikenakan biaya.
PENGATURAN PENCATATAN SIPIL

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR


24 TAHUN 2013 : TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG - UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DOMICILI
(Pasal 17 s/d pasal 25)

• Setiap orang (subyek hukum) menurut hukum


harus mempunyai tempat tinggal yang jelas dan
dapat dicari keberadaannya
• Tempat tinggal seseorang itu dinamakan
dengan DOMICILI.
• Selain orang harus memiliki tempat tinggal
(domicili), Badan Hukum harus mempunyai
tempat kedudukan tertentu.
ARTI PENTING DOMICILI

Kejelasan tentang domicili seseorang/tempat


kedudukan badan hukum, mempunyai arti yang
sangat penting, karena Domicili menentukan
dimana seseorang harus datang dan
menghadap/dipanggail bilamana dia berurusan
soal hukum, Pengadilan mana yang berkuasa
untuk menyelesaikan persoalan/perkara
seseorang, atau di mana seseorang harus kawin
dan lain sebagainya.
JENIS DOMICILI

1. Biasanya seseorang mempunyai domicili di


tempat pokok/tetap (original domicili), tetapi
bagi orang yang tidak mempunyai tempat
kediaman tertentu, domicilinya dianggap berada
di tempat ia sesungguhnya berada.
PASAL 17

Setiap orang dianggap bertempat tinggal di


tempat yang dijadikan pusat kediamannya. Bila
tidak ada tempat kediaman yang demikian, maka
tempat kediaman yang sesungguhnya dianggap
sebagai tempat tinggalnya.
Pasal 18
Perubahan tempat tinggal terjadi dengan pindah
rumah secara nyata ke tempat lain disertai niat
untuk menempatkan pusat kediamannya di sana.

Pasal 19
Niat itu dibuktikan dengan menyam-paikan
pernyataan kepada Kepala Pemerintahan, baik di
tempat yang ditinggalkan, maupun di tempat tujuan
pindah rumah kediaman. Bila tidak ada pernyataan,
maka bukti tentang adanya niat itu harus
disimpulkan dari keadaan-keadaanya.
Pasal 20
Mereka yang ditugaskan untuk menjalankan dinas umum,
dianggap bertempat tinggal di tempat mereka melaksanakan
dinas.
Pasal 21
Seorang perempuan yang telah kawin dan tidak pisah meja
dan ranjang, tidak mempunyai tempat tinggal lain daripada
tempat tinggal suaminya; anak-anak di bawah umur mengikuti
tempat tinggal salah satu dan kedua orang tua mereka yang
melakukan kekuasaan orang tua atas mereka, atau tempat
tinggal wali mereka; orang-orang dewasa yang berada di
bawah pengampuan mengikuti tempat tinggal pengampuan
mereka.
Pasal 22
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam
pasal yang lalu, buruh mempunyai tempat
tinggal di rumah majikan mereka bila mereka
tinggal serumah dengannya.
Pasal 23
Yang dianggap sebagai rumah kematian
seseorang yang meninggal dunia adalah rumah
tempat tinggalnya yang terakhir.
2. Selain domicili pokok (tetap) ada juga domicili
yang dipilih (domicili of choise)
berhubungan dengan sesuatu urusan;
misalnya dalam pembuatan kontrak, tidak
jarang para pihak menentukan domicilinya di
kantor seorang notaris atau kantor
kepaniteraan Pengadilan Negeri dengan
maksud untuk memudahkan pihak penggugat
bilamana terjadi suatu perkara berkaitan
dengan kontrak tersebut.
PASAL 24

Dalam suatu akta dan terhadap suatu soal tertentu, kedua


pihak atau salah satu pihak bebas untuk memilih tempat
tinggal yang lain daripada tempat tinggal yang sebenarnya.
Pemilihan itu dapat dilakukan secara mutlak, bahkan sampai
meliputi pelaksanaan putusan Hakim, atau dapat dibatasi
sedemikian rupa sebagaimana dikehendaki oleh kedua pihak
atau salah satu pihak. Dalam hal ini surat-surat juru sita,
gugatan-gugatan atau tuntutan-tuntutan yang tercantum
atau termaksud dalam akta itu boleh dilakukan di tempat
tinggal yang dipilih dan dimuka Hakim tempat tinggal itu.
PASAL 25

Dalam suatu akta dan terhadap suatu soal tertentu, kedua


Bila hal sebaliknya tidak disepakati, masing-
pihak atau salah satu pihak bebas untuk memilih tempat
masing
tinggal yangpihak boleh
lain daripada mengubah
tempat tempat
tinggal yang sebenarnya.
tinggal itu
Pemilihan yangdapatdipilih
dilakukanuntuk dirinya,
secara mutlak, asalkan
bahkan sampai
meliputi pelaksanaan putusan Hakim, atau dapat dibatasi
tempat tinggal yang baru tidak lebih
sedemikian rupa sebagaimana dikehendaki oleh kedua pihak
dan
sepuluh pal pihak.
atau salah satu jauhnya
Dalam dari
hal initempat
surat-surattinggal
juru sita,
yang lama danatau
gugatan-gugatan perubahan itu diberitahukan
tuntutan-tuntutan yang tercantum
atau termaksud dalam akta itu boleh dilakukan di tempat
kepada pihak yang lain / pihak lawan.
tinggal yang dipilih dan dimuka Hakim tempat tinggal itu.
HUKUM KELUARGA

HUKUM KELUARGA : merupakan


keseluruhan kaedah/norma/peraturan yang
mengatur hubungan hukum yang
bersangkutan dengan kekeluargaan, baik
keluarga sedarah dan kekeluargaan karena
perkawinan.
PENGGOLONGAN KELUARGA

Kekeluargaan sedarah : adalah hubungan/


pertalian keluarga sedarah yang terdapat antara
beberapa orang yang mempunyai keturunan yang
sama.

Kekeluargaan karena perkawinan: adalah


hubungan/pertalian keluarga yang terdapat karena
perkawinan antara seseorang dengan keluarga
sedarah dari istri (suaminya)
ARTI PENTING KELUARGA

Hubungan keluarga ini sangat penting, karena ada


sangkut pautnya dengan hubungan anak dan
orang tua, hukum waris, perwalian dan
pengampuan.
PENDERAJATAN DALAM
KELUARGA

Selain penggolongan keluarga sedarah


tersebut, juga terdapat penderajatan dalam
keluarga. Menghitung penderajatan
keluarga ada caranya tersendiri. ( dipelajari
dalam hukum waris)
HUKUM PERKAWINAN

Hukum perkawinan : merupakan salah satu


bagian yang terpenting dalam hukum
keluarga.

Hukum perkawinan dapat dibagi menjadi 2 (dua)


bagian, yaitu:
1. Hukum Perkawinan;
2. Hukum harta kekayaan dalam perkawinan
PENGERTIAN HUKUM PERKAWINAN

Hukum perkawinan adalah : keseluruhan norma,


kaidah atau peraturan yang berhubungan dengan
suatu perkawinan (proses perkawinan, hubungan
hukum berupa hak dan kewajiban yang timbul dsb).

Hukum harta kekayaan dalam perkawinan: adalah


keseluruhan norma, kaidah atau peraturan yang
berhubungan dengan harta kekayaan suami dan
istri di dalam perkawinan.
PENGERTIAN PERKAWINAN

Perkawinan menurut konsep Hukum Islam adalah:


dikenal dengan istilah “Nikah” atau “Zawat” adalah Akad
(ijab-kobul) antara wali calon istri dengan calon mempelai
laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi
rukun dan syaratnya.

Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974: Perkawinan


adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa
INTI PERKAWINAN

Nikah atau Perkawinan intinya adalah:


merupakan persetujuan (perjanjian) antara
calon suami dengan calon istri untuk terikat
hidup sebagai suami-istri dalam satu rumah
tangga
PERBEDAAN PERSETUJAN PERKAWINAN DGN
PERSETUJUAN PD UMUMNYA

1. Persetujuan/perjanjian pada umumnya


akan mengikat kedua belah pihak yang
membuat persetujuan/perjanjian.
Sedangkan persetujuan/ perjanjian
perkawinan selain mengikat kedua
belah pihak, perkawinan itu harus di
indahkan “ditaati” oleh semua orang.
2. Pada persetujuan/perjanjian pada
umumnya dapat dilakukan oleh ke dua
belah pihak (artinya keabsahan nya
ditentukan oleh kedua pihak),
sedangkan pada persetujuan/perjanjian
perkawinan keabsahannya ditentukan
oleh pemerintah.
3. Kalau persetujuan/perjanjian pada umumnya bentuk
(formalitas) bukan merupakan suatu yang mutlak
(bisa tertulis dan bisa tidak tertulis) tetapi isinya yang
penting.

4. Kalau dalam persetujuan/perjanjian perkawinan,


meskipun isinya penting, tapi bentuklah yang lebih
penting. Hal ini dapat dilihat bahwa perkawinan harus
dilakukan menurut ketentuan undang-undang. Kalau di
penuhi maka perkawinan itu sah , meskipun dalam arti
phisik (yang sesungguhnya tidak ada perkawinan).
5. Jika perkawinan tsb sudah memenenuhi
ketentuan formal (tidak dilihat isinya), maka
perkawinan itu sudah sah. Jadi perkawinan
itu sudah sah meskipun maksud si suami
hanya untuk memberikan pensiun pada si
istri. (Perkawinan adalah sah , jika maksud
utama dari si suami untuk memberikan status
kewarga-negaraan pada istrinya).
BANDINGKAN DENGAN uu No. 1 tahun
1974
PERKAWINAN MENURUT UU No. 1 TAHUN
1974

PERKAWINAN ialah ikatan lahir batin antara seorang pria


dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU
No. 1 Tahun 1974)

Jadi pengertian perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974, tidak


sama dengan makna/pengertian perkawinan dalam hukum
Perdata yang hanya merupakan perikatan semata. Tapi,
perikatan perkawinan dalam UU No, 1 Tahun 1974 merupakan
perikatan yang suci (sakral) karena karena berlandaskan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa
PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT

Sedangkan perkawinan menurut hukum adat,


bukan merupakan perikatan yang hanya mengikat
para pihak yang melakukan perkawinan, tetapi
ada unsur kekerabatan (melibatkan juga kerabat
kedua belah pihak bahkan masyarakat)
TUJUAN PERKAWINAN

Berdasarkan rumusan pengertian perkawinan dalam Pasal 1


UU No. 1 Tahun 1974, tujuan perkawinan :
1. Tidak semata hanya menyatukan seorang pria dan
wanita dalam satu ikatan dan hanya untuk
meneruskan keturunan;
2. Tujuan perkawinan itu untuk membentuk keluarga
(Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal untuk
selamanya (bukan untuk sementara)
SYARAT PERKAWINAN

Suatu perkawinan, biasanya didahului dengan


proses pertunangan (proses pertunangan dapat
diartikan sebagai suatu janji/maksud untuk
melangsungkan perkawinan)
Hanya ada 1 (satu) pasal yang mengatur mengenai
pertunangan yaitu pasal 58 KUH. Perdata.
1. Janji/maksud untuk kawin tidak merupakan hak untuk
menuntut supaya perkawinan dilangsungkan dan/atau
supaya pihak yang cedera janji membayar kerugian.
2. Kecuali, jika janji/maksud untuk kawin itu telah
diberitahukan kepada yang berwajib dan telah ada
pengumuman mengenai perkawinan itu, maka jika
perkawinan itu tidak jadi dilangsungkan maka dapat
dijadikan dasar menuntut penggantian biaya yang nyata
diderita (dikeluarkan).

Rasio adanya larangan untuk meminta penggantian kerugian


adalah agar azas kebebasan dalam perkawinan tetap dihormati.
SYARAT MATERIIL & FORMIL

Syarat perkawinan, dapat dibedakan menjadi 2


(dua):
1. Syarat meteriil ( syarat inti/substansi)
dan
2. Syarat formil (syarat lahir)

Syarat Materiil dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:


1. Syarat meteriil Absolut (mutlak)
2. Syarat materiil Nisbi (relatif)
SYARAT MATERIIL ABSOLUT (mutlak)

Syarat Materiil Absolut : adalah merupakan syarat yang


berkaitan dengan pribadi seseorang, yang harus diindahkan
dalam pelaksanaan suatu perkawinan; syarat-syarat ini adalah :
1. Monogami; (UU No 1 Tahun 1974 menganut Asas
Monogami terbuka);
2. Harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai;
3. Usia Calon mempelai, harus sudah memenuhi usia minimal
untuk melangsungkan perkawinan;
4. Seorang perempuan yang pernah kawin, untuk
melangsungkan perkawinan kembali harus menunggu
waktu 300 hari .
Kalau dalam UU No. 1 Tahun 1974, mengenai masa tunggu
bagi seorang janda untuk dapat kawin lagi, diatur dalam
Pasal 38 PP No. 9 Tahun 1975 : Bagi janda yang putus
perkawinannya karena cerai mati, waktu tunggunya 130 dan
bagi janda yang cerai hidup masa tunggunya tiga kali suci
dari haid atau sama dengan waktu 90 hari.
5. Untuk kawin diperlukan izin dari orang tua .
1. ASAS MONOGAMI

Pasal 27 KUH Perdata : pada waktu yang sama


seorang laki-laki hanya dibolehkan mempunyai
satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang
perempuan hanya boleh mempunyai satu orang
laki-laki sebagai suaminya.
Dalam UU Perkawinan: Pasal 3 (1) UU No. 1 Tahun 1974 :
Pada azasnya dalam satu perkawinan seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya
boleh mempunyai seorang suami. Berarti UU No. 1 Tahun
1974 menganut Asas Monogami.

Perbedaanya terletak pada Pasal 3 (ayat 2) UU No. 1 tahun


1974. menyatakan : Pengadilan dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh para pihak. Dengan demikian UU
No. 1 Tahun 1974 menganut asas Monogami Terbuka.
2. PERSETUJUAN KE DUA BELAH
PIHAK

Suatu perkawinan itu haruslah mendapat


persetujuan kedua orang calon (pria dan
wanita) hal ini untuk menghindari adanya
pemaksaan dari pihak-pihak lain terhadap
kedua calon mempelai.
3. CALON MEMPELAI HARUS SUDAH MEMENUHI
UMUR TERTENTU

Batas umur untuk dapat melangsungkan perkawinan


menurut Pasal 7 UU No. 1 tahun 1974, Bagi laki-laki
harus sudah mencapai usia 19 tahun dan bagi wanita
harus sudah mencapai usia 16 tahun.

Kalau dalam KHU Perdata (pasal 29) ditentukan usia


untuk kawin bagi laki-laki telah berusia 18 tahun dan
bagi wanita telah berusia 15 tahun. (sudah tidak
berlaku lagi)
4. IZIN ORANG TUA

Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang


belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat
izin dari orang tua (Pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun
1974).

Jadi bagi pria atau wanita yang telah mencapai


umur 21 tahun, tidak perlu ada izin orang tua
untuk melangsungkan perkawinan.

Bandingkan dengan ketentuan dalam KUH Perdata


( mulai pasal 35 – 49)
SYARAT METERIIL RELATIF
.
Sarat meteriil relatif : merupakan sarat yg berkaitan
dgn ketentuan larangan untuk kawin dengan orang-orang
tertentu: Dalam KUH Perdata ditentukan dalam pasal 30 –
34 (Lihat KUH Perdata)

1. Larangan untuk kawin dengan orang, dengan siapa


orang itu pernah melakukan zinah (berdasarkan
keputusan hakim) Pasal 32.
2. Larangan untuk memperbaharui perkawinan setelah
adanya perceraian jika belum lewat waktu satu tahun.
Perkawinan setelah kedua kalinya adalah dilarang.
(pasal 33)
Sedangkan dalam UU No 1 Tahun 1974,
Ketentuan larangan untuk kawin dengan orang-
orang tertentu diatur juga, tapi lebih sederhana
dari yg diatur dalam KUH Perdata. Larangan
untuk kawin dengan orang-orang tertentu diatur
dalam pasal 8.
Pasal 8,
Larangan untuk kawin dengan orang-orang sbb:
1. berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan
kebawah;
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping,
yaitu: antara saudara, antara seorang dengan saudara
orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3. berhubungan semenda, yaitu: mertua, anak tiri menantu
dan ibu/bapak tiri;
4. berhubungan sesusuan;
5. berhubungan sudara dengan istri….
6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya dan
peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Juga terdapat larangan dalam pasal 9 dan pasal 10 UU No. 1
Tahun 1974 :
1. seorang yang masih terikat dalam perkawinan dengan
orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali Pengadilan dapat
memberi izin kepada suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki. Pasal 3 (1) dan pasal 4. (Pasal
9 UU No. 1 Tahun 1974)
2. suami dan istri yang yang telah cerai kawin lagi, satu dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka
tidak boleh melakukan perkawinan lagi, sepanjang hukum
masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan
lain. (pasal 10 UU No. 1 Tahun 1974)
SARAT FORMIL

Sarat formil adalah sarat yang harus dipenuhi sebelum atau


(berbarengan) pada saat perkawinan dilangsungkan.

Sarat formil yang harus dipenuhi, ada dua:


1. Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin; (mengurus
seluruh persaratan surat menyurat dan administrasi);
2. Pengumunan untuk maksud untuk kawin( dengan maksud
agar perkawinan tersebut diketahui oleh umum dan untuk
memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang
berkeberatan) untuk mencegah perkawinan.
Tentang pemberitahuan untuk kawin, KUH Perdata dalam
pasal 50 dan pasal 51 menentukan : hal itu harus
diberitahukan kepada Pegawai Catatan Sipil di tempat
tinggal salah satu dari kedua belah pihak. Pemberitahuan
ini dapat dilakukan baik secara lisan maupun tertulis dan
harus dicatat dalam sebuah akte yang dibuat oleh catatan
sipil.

Adapun tentang pengumuman maksud untuk kawin


menurut pasal 52 harus dilakukan sebelum
dilangsungkannya perkawinan dengan jalan menempelkan
pada pintu utama gedung catatan sipil, dilakukan selama
10 (sepuluh) hari.
(Baca pasal-pasal berikutnya)
Pemberitahuan dan pengumunan untuk kawin pada
sekarang ini, proses pencatatannya dilaksanakan di KUA
bagi yang beragama Islam dan bagi yang tidak beragama
Islam dilakukan di kantor catatan sipil dan diselenggarakan
selama 10 hari (pasal 2 - 3 PP No. 9 tahun 1975)

Pengumuman harus memuat data-data yang lengkap


tentang orang yang akan kawin . Maksud dan tujuan dari
pengumuman ini adalah untuk memberitahukan kepada
siapa saja yang berkepentingan untuk mencegah maksud
perkawinan itu, karena alasan-alasan tertentu.
PERJANJIAN KAWIN

Di dalam KUH Perdata, pada umumnya tentang


perjanjian kawin ditentukan dalam pasal 139 s/d
pasal 154.
Pasal 139 menentukan “ dengan mengadakan
perjanjian kawin kedua calon suami istri adalah
berhak menyiapkan penyimpangan dari perundang-
undangan sekitar persatuan harta kekayaan, asal
perjanjian itu tidak menyalahi tata susila dan
ketertiban umum.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 29
ditentukan:” Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan ke dua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
Pencatatan Perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersangkut”
Yang dimaksud dengan perjanjian kawin dalam
pasal 29 ini tidak termasuk taklik-talak.
PENGUMUMAN UNTUK KAWIN

Pemberitahuan dan pengumunan untuk kawin


pada sekarang ini, proses pencatatannya
dilaksanakan di KUA bagi yang beragama Islam dan
bagi yang tidak beragama Islam (Non Muslim)
dilakukan di kantor catatan sipil dan
diselenggarakan selama 10 hari (pasal 2 - 3 PP No.
9 tahun 1975)
Pengumuman harus memuat data-data yang
lengkap tentang orang yang akan kawin . Maksud
dan tujuan dari pengumuman ini adalah untuk
memberitahukan kepada siapa saja yang
berkepentingan untuk mencegah maksud
perkawinan itu, karena alasan-alasan tertentu.
PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN
PERKAWINAN
PENCEGAHAN PERKAWINAN :

Tentang pencegahan perkawinan dan siapa-siapa yg


dapat melakukan pencegahan perkawinan, diatur
dalam Pasal 59 – 70 KUH Perdata.
Sedangkan UU No. 1 tahun 1974 yang di-ilhami dari
KUH Perdata, mengatur tentang Pencegahan
Perkawinan ini mulai dari Pasal 13 -21.
 Pasal 13 menentukan : “ Perkawinan dapat dicegah,
apabila ada pihak-pihak yang tidak memenuhi sarat-sarat
untuk melangsungkan perkawinan.
 Pasal 14 (1) : yang dapat mencegah perkawinan adalah
para keluarga dalam garis lurus keatas dan kebawah,
saudara, wali nikah, pengampu dari salah seorang calon
mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
 Pasal 17 : Pencegahan perkawinan diajukan kepada
pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan
akan dilangsungkan dengan memberitahu juga pegawai
pencatatan perkawinan dan oleh pegawai pencatatan
perkawinan diberitahukan kepada calon mempelai.
Pasal18 : Pencabutan pencegahan dilakukan dengan
menarik kembali pencegahan itu.
Pasal 19: Perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan
jika pencegahan belum dicabut.
Pasal 20 : Pegawai pencata perkawinan, tidak boleh
melangsungkan perkawinan jika ada
pelanggaran terhadap batas umur
perkawinan, larangan perkawinan, seorang
yang masih terikat dalam perkawinan, cerai
kawin ulang…
Pasal 21: Pegawai pencatatan perkawinan dapat
menolak untuk melangsungkan perkawinan
jika terhadap perkawinan itu ada larangan
menurut undang-undang
PEMBATALAN PERKAWINAN

Pembatalan perkawinan ditentukan dalam Pasal 85


s/d Pasal 99a KUH Perdata.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 22, ditentukan


bahwa: Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para
pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan
perkawinan.
Pasal 23 : yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan,
adalah:
1. Para anggota keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke
bawah;
2. Suami atau istri itu sendiri;
3. Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum putus;
4. Pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang berkepen-tingan
secara langsung thd. perkawinan tersebut, tetapi setelah
perkawinan itu putus.;
5. Mereka yang dirinya masih terikat perkawinan dengan salah
satu dari kedua mempelai.
Pasal 25 : Permohonan pembatalan diajukan kepada
Pengadilan di daerah hukum dimana perkawinan itu akan
dilangsungkan.
PELAKSANAAN (TATA CARA) PERKAWINAN

• PEMBERITAHUAN KAWIN
• PENCATATAN PERKAWINAN
• AKTA PERKAWINAN
• UPACARA PERKAWINAN
• WALI DAN SAKSI DALAM
PERKAWINAN
KEDUDUKAN SUAMI-ISTRI DAN HARTA
BENDA

• Kedudukan suami dan istri dapat diketahui


dari hak dan kewajiban para pihak yang lahir
dari ikatan perkawinan.
• Dalam KUH Perdata BW (dahulu berlaku bagi
Golongan Eropa dan Timur Asing-Cina), tentang hak
dan kewajiban suami istri diatur dalam bab V pasal
103 -118.
Pasal 103 : Suami dan istri harus setia satu
sama lain, tolong-menolong,
bantu-membantu;

Pasal 104 : Suami dan istri mempunyai


kewajiban secara timbal balik
untuk memelihara dan mendidik
anak mereka;
Pasal 105 : Kedudukan suami adalah sebagai
kepala dalam persatuan suami-
istri; suami harus mengemudikan
urusan harta kekayaan milik
pribadi istrinya.
Pasal 106 : Kedudukan istri harus tunduk
kepada suami;
Pasal 107 : Suami wajib menerima istrinya
dalam rumah kediamannya.

Kedudukan suami dan istri dalam KUH


Perdata yang hanya dilandasi hubungan
perdata semata, dibandingkan dengan
kedudukan suami dan istri dalam UU No. 1
Tahun 1974, dalam Pasal 30 dikatakan “
suami istri memikul kewajiban yang luhur
untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.

Kedudukan suami dan istri dalam UU N0 1 Tahun 1974


adalah seimbang.

Pasal 31 (1-3): Masing-masing pihak berhak untuk


melakukan perbuatan hukum, suami adalah kepala
keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.

Pasal 32 : Suami istri harus mempunyai tempat


kediaman yang tetap, rumah tempat kediaman itu
ditentukan oleh suami dan istri secara bersama
Pasal 33: suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin
yang satu kepada yang lain.

Pasal 34: Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan


segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya, istri wajib mengatur rumah tangga
sebaik-baiknya.

Catatan:
Kalau dalam KUH Perdata, kedudukan suami dan istri tidak
seimbang (pasal 105, 106), sedangkan dalam UU No. 1
Tahun 1974 Kedudukan antara suami dan istri adalah
seimbang.
HARTA PERKAWINAN

HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN


Dalam KUH Perdata, Harta Bersama dan pengurusannya
diatur dalam Bab VI (pasal 119 – 138) yang terdiri dari 3
bagian, yaitu :
1.Bagian pertama tentang Harta Bersama (pasal 119 –
123);
2.Bagian kedua tentang Pengurusan harta bersama (pasal
124-125);
3.Bagian ketiga tentang Pembubaran Harta Bersama
(pasal 126 -138)
Berdasarkan pasal 119 KUH Perdata : “Sejak saat
dilangsungkannya perkawinan, maka menurut
hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara
suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian
perkawinan. Harta bersama itu selama
perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau
dirubah dengan suatu persetujuan antara suami
dan istri”
 Terdapat Perbedaan yang sangat prinsip antara KUH
Perdata dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Harta
Perkawinan:
 Kalau dalam UU No. 1 Tahun 1974 . Ditentukan : “Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Harta bawaan dari suami istri masing-masing,
baik sebagai hadiah atau warisan dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain (Pasal 35 ayat 1 dan 2)
 Mengenai harta bersama, suami-istri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan
masing-masing suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
harta bendanya (pasal 36 ayat1-2)
Harta Perkawinan dalam KHU Perdata
dibandingkan dengan ketentuan dalam UU No. 1
Tahun 1974 :

Dalam KUH Perdata Jumlah pasal nya sebanyak 18


Pasal (119 – 138), sedangkan dalam UU No. 1
Tahun 1974 hanya 3 (tiga) pasal yang mengtur soal
Harta Perkawinan.
KEDUDUKAN ANAK, ORANG TUA DAN
PERWALIAN

KEDUDUKAN ANAK

• Pasal 250 KUH Perdata, menentukan :”anak yang


dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan,
memperoleh si suami sebagai bapaknya.
• Pasal 251 KUH. Perdata, menentukan : sahnya
anak yang dilahirkan sebelun hari ke seratus
delapan puluh (enam bulan) dari perkawinan,
dapat diingkari oleh suami.
• Pasal 272: Anak luar kawin, kecuali yang dilahirkan
dari perzinahan atau penodaan darah, disahkan oleh
perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu
mereka, jika sebelum perkawinan mereka telah
melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu,
atau bila pengakuan itu terjadi dalam akte
perkawinannya sendiri.
• Pasal 280 : Dengan pengakuan terhadap anak di luar
kawin, maka terlahirlah hubungan perdata antara
anak itu dengan ayah atau ibunya.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974: “ Anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah (Pasal 42).

Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya


mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya (Pasal 42 ayat 1)
`
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan oleh istrinya, bilamana dia dapat
membuktikan bahwa istrinya berzinah dan anak itu
akibat dari perzinahan tersebut ( Pasal 44 ayat 1)
Pengadilan memberikan keputusan tentang
sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan.

Jadi menurut KUH Perdata ; Anak yang lahir atau


dibesarkan selama perkawinan, walaupun anak
itu benih orang lain adalah anak dari suami
ibunya yang terikat dalam perkawinan.
Sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974; Anak
yang sah adalah anak yang lahir dalam atau
sebagai perkawinan yang sah.

Jadi kalau seorang wanita yang telah


mengandung karena telah berbuat zinah dengan
orang lain, kemudian dia kawin sah dengan pria
yang bukan pemberi benih kandungan wanita
itu, maka jika anak itu lahir, maka anak itu adalah
anak sah dari perkawinan wanita itu dengan pria
itu.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 ; Anak yang lahir
di luar perkawinan juga mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Tapi UU No. 1 Tahun 1974 nampaknya tidak


membenarkan pengakuan terhadap anak di luar
perkawinan, sebagai mana halnya KUH Perdata
KEWAJIBAN ORANG TUA DAN ANAK

Tentang hak dan kewajiban Orang tua dan anak


dalam KUH Perdata diatur dalam Bab XIV tentang
Kekeuasaan Orang Tua (Pasal 298-329) Akan
diuraikan beberapa pasal saja).
Pasal 298: Setiap anak dalam tingkat umur
berapapun wajib hormat dan segan terhadap bapak
dan ibunya. Bapak dan ibu wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka yang belum dewasa.
Walaupun hak mereka untuk memangku kekuasaan
orang tua atau hak untuk menjadi wali hilang,
tidaklah mereka bebas dari kewajiban untuk
memberi tunjangan yang seimbang dgn penghasilan
mereka untuk membiayai, pemeliharaan dan
pendidikan anaknya itu.
Pasal 299: selama perkawinan bapak dan ibu,
semua anak berada dibawah kekuasaan mereka
sampai menjadi dewasa, kecuali bapak dan ibu
dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua.
Pasal 321 : Setiap anak wajib memberi nafkah
kepada kedua orang tua dan para keluarga
sedarah dalam garis lurus ke atas, jika mereka
dalam keadaan miskin.

Pasal 322 : Demikian pula halnya dengan


menantu pria atau wanita wajib memberi nafkah
kepada ibu bapak mertuanya.
Pasal 328 : Anak-anak di luar perkawinan yang
diakui menurut perundang-undangan, wajib
memberi nafkah kepada kepada orang tua
mereka dan kewajiban itu berlaku timbal balik.

Pasal 329 : Segala perjanjian, dengan mana


kiranya hak untuk menikmati nafkah ditinggal-
kannya adalah batal demi hukum dan tak
berdaya.
Mirip dengan apa yang diatur dalam KHU Perdata, dalam UU
No. 1 Tahun 1974 juga ditentukan :

Pasal 45 (1 dan 2) : “ Kedua orang tua wajib memerihara dan


mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau
dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”.

Pasal 46 (1 dan 2) : “Anak wajib menghormati orang tua dan


mentaati kehendak mereka yang baik. Jika anak sudah
dewasa, ia wajib memelihara orang tuanya dan
keluarga dalam garis lurus ke atas menurut kemampuannya,
bila mereka memerlukan bantuannya.
KEKUASAAN ORANG TUA DAN
PERWALIAN

Pasal 299 KUH Perdata : “selama perkawinan


bapak dan ibu”, setiap anak sampai ia dewasa
tetap berada dibawah kekuasaan orang tua,
sejauh mereka tidak dibebaskan atau dipecat
dari kekuasaan itu.

Pasal 307 : setiap pemangku kekuasaan orang


tua terhadap anak yang belum dewasa harus
mengurus barang-barang anak itu.
Pasal 309 : Dia tidak boleh memindah- tangankan
barang-barang anak-anaknya yang belum dewasa,
melainkan dengan mengindahkan aturan tentang
pemindah -tanganan barang-barang kepunyaan
anak-anak yang belum dewasa.

Pasal 319 a : Orang tua dapat dibebaskan dan


dipecat dari kekuasaaan orang tua jika ia tidak
cakap dan tidak mampu menunaikan kewajibannya
secara baik.
Dalam UU No 1 Tahun 1974, terdapat beberapa pasal
yang menentukan Kekuasaan orang tua, yaitu dalam
pasal 47, 48 dan 49.

Pasal 47( 1-2): Anak-anak yang belum mencapai umur


18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaan orang tua.

Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala


perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Pasal 48 : Orang tua tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum
berumur 18 tahun atau belum pernah melang-
sungkan perkawinan, kecuali kepentingan anak itu
menghendakinya.
Pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974 :
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat
dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak
dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap
anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya,


mereka masih berkewajiban untuk memberi
pemeliharaan kepada anak tersebut.
PERWALIAN

Perwalian dalam KHU Perdata diatur dalam :


a. Pasal 330 – pasal 418 a (tentang pengertian
belum dewasa sampai Balai Harta Peninggalan)
b. Pasal 419 – 432 (Perlunakan anak belum dewasa
menjadi dewasa)
Tentang pengampuan diatur dalam (Pasal 433 – 462)
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak diatur secara
terperinci, hanya menguraikan tentang Perwalian (Pasal
50 -54)
Pasal 50 (1 dan 2) UU No. 1 Tahun 1974: “ Bahwa
anak yang belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada dibawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan
wali.

Perwalian itu mengenai pribadi anak yang


bersangkutan maupun harta benda.
Pasal 51 : Wali dapat ditunjuk oleh salah satu
orang tua dst…..

Pasal 52: Wali dilarang memindahkan atau


menggadaikan barang-barang

Pasal 53 :Wali dapat dicabut dari


kekuasaannya….dst.
PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AKIBATNYA

Dalam KUH Perdata maupun dalam UU No. 1


Tahun 1974, putusnya perkawinan dapat
disebabkan karena 2 (dua) hal:
1. Kematian;
2. Perceraian.
Baik dalam KUH Perdata maupun UU No. 1 Tahun
1974, putusnya perkawinan karena kematian
hampir tidak dibahas sama sekali dan yang diatur
adalah putusnya perkawinan karena perceraian.
Istilah yang dipakai dalam KUH Perdata untuk menyebut
putusnya perkawinan adalah “Bubarnya perkawinan
(Onbinding des huwelijks)” yang diatur dalam Bab X, yang
dibagi kedalam 3 (tiga bagian), yaitu:

a. Pembubaran pada umunya (pasal 199);


b. Pembubaran perkawinan setelah Pisah Meja dan
Ranjang (Pasal 200 – 206b);
c. Perceraian Perkawinan ( Pasal 207 – 232a)

Bab XI mengatur tentang Pisah Meja dan Ranjang (Pasal 233


– 249)
Pasal 200 : Jika suami istri pisah meja dan ranjang, dan
perpisahan itu berlangsung selama lima tahun tanpa
perdamaian antara kedua belah pihak, mereka dapat
menghadap ke Pengadilan dan menuntut agar perkawinan
mereka di bubarkan.

Pasal 206 : Jika waktu mengajukan gugatan si suami tidak


mempunyai tempat kediaman pokok yang sesungguhnya
di Indonesia, maka gugatan dapat diajukan di Pengadilan
negeri di tempat tinggal istri.

Pasal 207 : Perceraian Perkawinan sekali-sekali tidak dapat


terjadi hanya dengan persetujuan bersama.
Dasar-dasar yang bisa menyebabkan perceraian adalah:

1. Zina;

2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan iktikad


buruk (10 tahun);

3. Dikenakan Hukuman penjara selama 5 (lima) tahun


atau lebih berat;

4. Pencederaan berat atau penganiayaan yang dilakukan


oleh salah seorang suami istri terhadap yang lain.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa
Perkawinan dapat putus, karena : Kematian,
Perceraian dan atas Keputusan Pengadilan
(Pasal 38).

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan


sidang Pengadilan, setelah pengadilan yang
bersangkutan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
Tata cara perceraian di sidang pengadilan diatur
dalam peraturan perundangan tersendiri (lihat
pasal 29 ayat 1-3 dan Pasal 40 ayat 1-2)

Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan


Agama bagi mereka yang beragama Islam dan
Pengadilan Negeri bagi yang lainnya (lihat Pasal
63 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 16 PP No. 9
Tahun 1975)
AKIBAT PERCERAIAN
AKIBAT HUKUM PERCERAIAN MENURUT KUH
PERDATA

Putusnya perkawinan karena perceraian menurut


hukum perdata bahwa perceraian itu harus didaftarkan
di kantor Catatan Sipil dalam tempo 6 (enam) bulan
setelah perceraian itu mendapatkan keputusan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika dalam waktu 6
bulan tsb tidak didaftarkan, maka hilanglah kekuatan
putusan perceraian itu dan tidak dapat digugat lagi atas
dasar alasan apapun (Pasal 221)
Pihak suami/istri yang gugatanya dimenangkan,
diperbolehkan menikmati segala keuntungan dari
apa yang telah dijanjikan dalam perkawinan itu
oleh pihak lain…...dst (Pasal 222)
Pihak suami/istri yang dikalahkan karena
perceraian itu kehilangan semua keuntungan dari
apa yang telah dijanjikan oleh pihak yang lain
dalam perkawinan itu (Pasal 223)
Lihat pasal 224 dst.
AKIBAT HUKUM TERHADAP ANAK DAN BEKAS
ISTRI

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 apabila


perkawinan putus karena perceraian mempunyai
akibat hukum terhadap anak, bekas suami/istri
dan harta bersama.

Akibat hukum terhadap anak apabila terjadi


perceraian, baik bapak atau ibu tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan si
anak.
Biaya pemeliharaan dan pendidikan si anak, menjadi
tanggung jawab si bapak; bilamana kenyataannya bapak
tidak dapat memikul tanggung jawab itu, maka
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul
biaya itu.

Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan si anak,


pengadilan dapat memberikan keputusannya.

Akibat hukum terhadap bekas suami; Pengadilan dapat


mewajibkan kepadanya untuk mnemberikan biaya
penghidupan atau menentukan suatu kewajiban kepada
bekas istrinya (Pasal 41 abc).
AKIBAT HUKUM TERHADAP HARTA BERSAMA

Akibat hukum terhadap harta bersama diatur menurut


hukumnya masing-masing (Hukum Agama; Hukum adat atau
hukum yang lain (Pasal 37)
`
Undang-undang nampaknya menyerahkan kepada para pihak
yang bercerai tentang hukum mana yang dan hukum apa yang
akan berlaku.

Dan jika tidak ada kesepakatan Hakim dapat


mempertimbangkan menurut rasa keadilan sewajarnya.

Anda mungkin juga menyukai