SPPA
Arti, makna, hakikat dan tujuan perlindungan anak ini setidaknya memberikan
ketegasan bahwa anak dan segala hak yang melekat pada dirinya perlu mendapat
jaminan perlindungan, baik sosial, budaya, ekonomi, politik maupun hukum. Hal
ini dimaksudkan agar anak dalam perkembangannya memiliki hak untuk hidup dan
berkembang sesuai kemampuan intelektualnya, dan melalui kemampuan tersebut,
anak mampu menyesuaikan diri dengan sesamanya ataupun orang tua dan manusia
lain sesuai harkat dan martabatnya.
Hak-Hak Anak di dalam Dokumen Internasional
Pengaturan terhadap hak-hak anak di dalam berbagai deklarasi maupun instrumen mencakup
perlindungan yang cukup luas, bukan saja mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, tetapi
juga mencakup perlindungan dibidang peradilan, seperti yang kita temu dalam beberapa
dokumen, antara lain (UN, 1993) :
● Deklarasi Jenewa tentang Hak-Hak Anak Tahun 1924, yang kemudian dikukuhkan dalam
Resolusi Majelis Umum PBB No. 1386 (XIV), tanggal, 20 Nopember 1959 mengenai
“Declaration of The Rights of The Child”;
● Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal, 30 Nopember 1985 mengenai United Nations
Standar Minimum Rules for the Adminstration of Juvenille Justice (The Beijing Rules);
● Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/85, tanggal 29 Nopember 1985 mengenai The
Prevention of Juvenille Delinquency”;
● Resolusi Majelis Umum PBB No. 41/85 tanggal, 3 Desember 1986 mengenal “Declaration
an Social and Legal Principles Relating to the Protection and Welfare of Childern, with
Sepecial Reference to Foster Plecement and Adoption Nationally and Internationally”:
● Resolusi Majelis Umum PBB No. 43/121 tanggal, 8 Desember 1988 mengenai “the
use of children in the illicit traffict in narcotic dugrs”,
● Resolusi Majelis Umum PBB No. 44/25 tanggal, 20 Nopember 1989 mengenai
Convention of the Rights of the Child”;
● Resolusi ECOSOC 1990/33, tanggal 26 Mei 1990 mengenai “The Prevention of
Drug Consemption among yong persons”;
● Resolusi Majelis Umum PBB 45/112 tanggal, 14 Desember 1990 mengenai
“United Nations Guidilines for the Prevention of Juvenille Delinquency” (The
Riyadh Guidellines);
● Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/113, tanggal 14 Desember 1990 mengenai
“United Nations Rules for the Protection of Juvenille Deprived of Their Liberty”;
● Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/115 tanggal 14 Desember 1990 mengenai
“The Instrumental use of children in criminal activities:;
● Resolusi KOMISI HAM PBB (Commission on Human Rihgts) 1993/80, tertanggal 10 Maret
1993 mengenai “The application of the international standards concerning the human rights of
detained juveniles”;
● Resolusi Komisi HAM 1990/90 tanggal, 9 Maret 1994 mengenai “The Aced to adopt effective
internmational measure for the prevention amd eradication of the sale of children, child
prostitution and child pornogragphy”:;
● Resolusi Komisi HAM 1994/92 tanggal, 9 Maret 1994 mengenai “The Special Reporting on the
sale of children, child prostitution and pornography”;
● Resolusi Komisi HAM 1994/93 tanggal 9 Maret 1994 mengenai “The Rlight of Streert Children”;
● Resolusi Komisi HAM 1991/93 tanggal 9 Maret 1994 mengenai “The effecets of armed conflicts
on childern’s lives”;
● Kongres PBB ke IX tahun 1995, mengenai “The Prevention of Crime and The Treatmen of
Offenders”, yang mengajukan 2 (dua) draft resolusi, yakni :
○ Application of United Nations Standards and Norms in Juvenille Justce (Document
A/CONF. 159/15) dan;
○ Elemenation of Viol for Againt Childerns.
Pengakuan dan perlindungan terhadap anak-anak sebagaimana
tergambar dalam berbagai dokumen/instrumen internasional di atas
merupakan komitmen masyarakat bangsa-bangsa, yang bukan saja
ditujukan pada hak-hak anak secara umum, tetapi mencakup pula
komitmen terhadap perlindungan hak-hak anak bermasalah baik
fisik, kejiwaan (mental) maupun sosial, budaya, ekonomi dan
politik. Dalam pada itu, maka usaha perlindungan hak-hak anak
sangat ditentukan oleh adanya kebijakan perlindungan anak (child
protection policy) dan kebijakan kesejahteraan anak (child welfare
policy) yang kondusif terhadap usaha-usaha perlindungan hak-hak
anak itu sendiri.
Instrumen internasional mengenai perlindungan hak-hak anak sebagaimana
tertuang dalam Resolusi PBB 44/25 tertanggal, 20 November 1898 tentang
Convention on the Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak), yang
kemudian diatur dalam Resolusi PBB 1386/XIV, tanggal 20 Desember 1959
tentang Declaration of the Rights of the Chlid (Deklarasi Hak-Hak Anak,
Tahun 1959), memuat 10 (sepuluh) asas pokok, yang meliputi :
● Anak berhak menikmati semua haknya sesuai ketentuan yang terkandung
dalam Deklarasi ini. Bahwa setiap anak tanpa kecuali harus dijamin hak-
haknya tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, kebangsaan atau
tingkatan sosial, kaya miskin, kelahiran atau status lain, baik yang ada
pada dirinya maupun keluarganya;
● Anak berhak memperoleh perlindungan khusus, dan harus memperoleh kesempatan
yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya mampu untuk
memgembangkan diri sercara fisik, kejiwaan, moral, spiritual dan kemasyarakatan
dalam situasi yang sehat, normal sesuai kebebasan dan harkatnya.
● Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan;
● Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh dan berkembang
secara sehat;
● Anak yang cacat fisik, mental dan lemah kedudukan sosialnya akibat suatu keadaan
tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus;
● Agar supaya kerpibadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia memerlukan
kasih sayang dan pengertian. Sedapat mungkin ia dibesarkan dibawah asuhan dan
tangungjawab orang tuanya sendiri, dan bagaimanapun harus diusahakan agar tetap
berada dalam suasana yang penuh kasih sayang. Sehat jasmani dan rohani;
● Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-cuma sekurang-kurangnya pada ditingkat
sekolah dasar. Mereka harus mendapat perlindungan yang dapat meningkatkan pengetahuan
umumnya, atau yang memungkinkannya atas dasar kesempatan yang sama guna
mengembangkan kemampuan, pendapat pribadinya dan perasaan tanggungjawab moral dan
sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Anak juga
mempunyai kekebasan untuk bermain dan berrekreasi yang diarahkan untuk tujuan pendidikan,
masyarakat dan pemerintah yang berwenang harus berusaha meningkatkan pelaksanan hak ini.
● Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima perlindungan dan pertolongan;
● Anak harus dilindungi dari sebagai bentuk kealpaan, kekerasaan, penghisapan. Ia tidak boleh
dijadikan subjek perdagangan, artinya anak tidak boleh bekerja sebelum usia tertentu, ia tidak
boleh dilibatkan dalam pekerjaan yang dapat merugikan kesehatan atau pendidikannya, maupun
yang dapat mempengaruhi perkembangan tubuh, jiwa atau akhlaknya;
● Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi sosial,
agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.
Penanganan perkara pidana terhadap anak tentunya beda dengan
penanganan perkara terhadap usia dewasa, penanganan terhadap anak
tersebut bersifat khusus karena itu diatur pula dalam peraturan
tersendiri. Pemahaman terhadap proses penanganan perkara anak
tentunya mungkin masih ada sebahagian kalangan masyarakat yang
belum mengerti atau paham, sehingga kadang-kadang memunculkan
penilaian bermacam-macam, malah yang lebih fatal bilamana terjadi
salah penilaian bahwa penanganan terhadap anak khususnya anak yang
berkonflik hukum mendapatkan perlakuan istimewa dan ada juga yang
menganggap anak tidak bisa dihukum padahal tidak sejauh itu, hanya
saja proses penanganannya diatur secara khusus.
Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang
berhadapan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani
proses pidana yang berdasarkan perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi
anak, penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsional,
perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan (vide
Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Dalam sistem peradilan pidana anak bahwa terhadap anak adalah anak yang berkonflik dengan
hukum, anak yang menjadi korban dan anak yang menjadi saksi dalam tindak pidana. Anak yang
berkonflik dengan hukum adalah anak yang yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18
tahun yang diduga melakukan tindak pidana; Anak yang menjadi korban adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang mengalami penderitaan fisik, mental dan atau
kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana; Anak yang menjadi saksi adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
proses hukum mulai tingkat penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang didengar, dilihat dan atau dialami;
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke
sidang pengadilan setelah anak melampaui batas umur 18 tahun tetapi belum mencapai umur 21
tahun anak tetap diajukan ke sidang anak (Pasal 20 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Selanjutnya dalam hal anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak
pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, mengambil keputusan untuk menyerahkanan
kepada orang tua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan pada
instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menangani bidang
kesejateraan sosial (Pasal 21 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak jo, Pasal 67 Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan
Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun).
Kalau dalam perkara dewasa (usia 18 tahun ke atas) setiap tingkatan pemeriksaan tidak perlu
didampingi orang tua/wali namun dalam perkara anak berhadapan hukum perlu didampingi orang
tua/wali.
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana anak yakni
Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan dan
Pekerja Sosial:
● Penyidik adalah Penyidik Anak;
● Penuntut Umum adalah Penuntut Umum Anak;
● Hakim adalah Hakim Anak;
● Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum
yang melaksanakan penelitian kemsyarakatan, pembimbingan, pengawasan,
pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana;
● Pekerja Sosial adalah seseorang yang bekerja baik pada lembaga pemerintah
maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta
kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, dan
atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan masalah sosial;
Perlindungan Anak dalam Proses Pemeriksaan Penyidik
Anak-anak secara hukum dapat disebut tersangka, terdakwa, terpidana dan narapidana, namun dalam proses
peradilan harus menghormati dan melindungi hak-hak asasi anak, untuk itu proses peradilan dituntut bisa
meng-implementasikan norma-norma hukum yang mengayomi hak-hak asasi anak.
Perlakuan terhadap anak-anak yang menjadi tersangka maupun terdakwa, pihak aparat penegak hukum
seringkali tidak bisa membedakan perlakuan yang ditujukan kepada orangdewasa dengan perlakuan kepada
anak-anak. Anak-anak yang berstatus menjadi tersangka maupun terdakwa dipukul rata sebagai pesakitan yang
seolah-olah sudah sama bersalah-nya, sudah dipastikan bersalah atau kesalahan yang dibuatnya sama, sehingga
harus mene-rima konsekuensi yang sama pula.
Anggapan seperti ini dapat dikaitkan dengan perilaku aparat baik saat melakukan penyidikan maupun tidak
yang modusnya kasar seperti menganiaya, membentak-bentak, dan perlakuan tidak terpuji lainnya, yang
menempatkan posisi anak layaknya sebatas objek pemeriksaan petugas. Anak diperlakukan menjadi objek
pemerasan keterangan dengan harapan mereka (anak-anak) itu cepat mengakuinya perbuatannya, seperti
mengejar target selesainya penyusunan Berita Acara Pemeriksaan mengenai tersangka
Tindak pidana anak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh anak yang jelas-jelas
melawan/melanggar/ bertentangan dengan hukum pidana. Tindak pidana anak ini meliputi
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum tertulis, baik yang ada
dalam KUHP maupun yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Dalam hukum
positif, tindak pidana anak haruslah mengandung unsur adanya perbuatan pelanggaran atau
sebagai kejahatan. Jenis perbuatan yang dilakukan anak dan dikatakan jahat atau tindak pidana
harus memenuhi rumusan secara yuridis untuk dapat dipertanggungjawabkan. Untuk memenuhi
unsur aparat penegak hukum yang berwenang untuk membuktikannya atau memperjelas
kedudukannya.
Dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Artinya seseorang
yang kedudukannya belum bisa dikatakan bersalah haruslah dijauhkan dari berbagai bentuk
tindakan kekerasan atau sewenang-wenang. Jika hal ini difokuskan pada anak yang berstatus
tersangka, maka penyidikan sebagai bagian sistem peradilan pidana dapat bekerja dalam
mewujudkan perlindungan yang bersifat memanusiakan anak.
Dengan perlindungan atas bermacam hak-hak yang diakui hukum pada diri
sendiri maka secara teoritis sejak tahap penyidikan, anak yang berstatus tersangka
sudah mendapat perlindungan di depan pejabat penyidik (polisi) dalam proses
hukum. Anak yang berstatus tersangka harus diperlakukan secara manusiawi dan
tidak diperlakukan sebagai objek pemeriksaan oleh penyidik.
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak korban penyidik wajib meminta laporan
sosial dari pekerja sosial atau tenaga kesejahtaraan sosial setelah tindak pidana
dilaporkan; selanjutnya terhadap anak yang diajukan sebagai anak yang berkonflik
hukum (ABH) pada tingkat penyidikan, penuntutan dan dan pemeriksaan perkara anak
di pengadilan wajib diupayakan diversi.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana di luar proses peradilan pidana, dan terhadap proses tersebut dengan
syarat-syarat sebagai berikut:
● Diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun;
● Dan bukan pengulangan tindak pidana;
Bahwa pada saat memeriksa anak korban atau anak saksi, hakim dapat memerintahkan agar anak dibawa
keluar (Pasal 58 Undang-Undang R.I. Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Dalam hal anak korban atau anak saksi tidak dapat untuk memberikan keterangan di depan sidang
pengadilan, hakim dapat memerintahkan anak korban atau anak saksi didengar keterangannya di luar
persidangan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan dengan
dihadiri penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan hukum, melalui pemeriksaan
jarak jauh atau teleconference (Pasal 58 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak).
Hakim sebelum menjatuhkan putusan memberikan kesempatan kepada orang
tua/wali/pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi anak, kemudian
pada saat pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum
dan dapat tidak dihadiri oleh anak.
Penjatuhan hukuman terhadap anak yang berkonflik hukum dapat dikenakan pidana dan
tindakan, dan anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini.
Bahwa terhadap anak yang berkonflik hukum yang belum berusia 14 tahun hanya dapat
dikenai tindakan bukan pemidanaan, yang meliputi pengembalian kepada orang tua,
penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, dan perawatan di
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), kewajiban mengikuti
pendidikan formal dan atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta
dan pencabutan Surat Ijin Mengemudi, dan perbaikan akibat tindak pidananya.
Sedangkan anak yang sudah berusia 14 tahun ke atas tersebut dapat saja dijatuhi pidana
dengan macam-macam pidana sebagaimana dalam Pasal 71 Undang-Undang RI Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni sebagai berikut:
● Pidana pokok yang terdiri dari a. pidana peringatan; b. pidana bersyarat (pembinaan
pada lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan); c. pelatihan kerja; d. pembinaan
dalam lembaga dan penjara;
● Pidana tambahan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana,
pemenuhan kewajiban adat.
Apabila dalam hukum materil seorang anak yang berkonflik hukum diancam pidana
kumulatif berupa pidana penjara dan denda, maka pidana denda diganti denan pelatihan kerja
paling singkat 3 bulan dan paling lama 1 tahun. Pidana pembatasan kebebasan yang
dijatuhkan terhadap anak paling lama ½ dari maksimun pidana penjara yang diancamkan
terhadap orang dewasa (Pasal 79 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak), sedangkan terhadap ketentuan minimum khusus pidana
penjara tidak berlaku terhadap anak (Pasal 79 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Penahanan terhadap anak yang berkonflik hukum ditempatkan pada Lembaga
Penempatan Anak Sementara (LPAS), sedangkan tempat anak menjalani masa
pidananya ditempatkan pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Kemudian terhadap tempat anak mendapatkan pelayanan sosial berada pada
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
Terhadap putusan Hakim pada tingkat pertama, baik anak yang berkonflik
hukum mapun Penuntut Umum tentunya dapat melakukan upaya hukum
selanjutnya yakni banding, kasasi dan peninjauan kembali.
Terhadap anak yang diajukan sebagai anak yang berkonflik hukum, yakni
anak korban dan anak saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang
diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.