Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN 3

NILAI KEMANFAATAN:
Moralitas Kehidupan pada Tataran Individual, di
Ranah Sosial, dan dalam Bingkai Ekologikal

KONSEP NILAI DAN KEMANFAATAN SEBAGAI


HAKIKAT NILAI MORALITAS KEHIDUPAN
KEMANFAATAN PADA TATARAN
INDIVIDUAL
HAKIKAT DAN KEMANFAATAN SEBAGAI
FUNGSI MORALITAS KEHIDUPAN
MORALITAS DI RANAH SOSIAL

KEMANFAATAN
SEBAGAI MORALITAS
KEHIDUPAN DALAM
BINGKAI EKOLOGIKAL
KONSEP NILAI DAN HAKIKAT NILAI KEMANFAATAN

Konsep Nilai

Hakikat Nilai Kemanfaatan


Konsep Nilai
Upaya mengonstruksi konsep ‘nilai’ dan bagaimana mengkajinya sangat bergantung pada definisi yang diberikan dan
perspektif kajian yang menjadi acuannya. Artinya, konsep ‘nilai’ yang digunakan beserta perspektif kajian yang diacu akan
sangat menentukan bagaimana ‘nilai’ itu harus dikonseptualisasikan. “The value concept … [is] able to unify the apparently
diverse interests of all the sciences concerned with human behavior” (Rokeach, 1973 dalam Schwartz, 2006). ‘Nilai’
dikonsepsikan sebagai sesuatu yang mampu menyatukan berbagai kepentingan yang tampaknya beragam dari semua ilmu
yang berkaitan dengan perilaku manusia. Beberapa psikolog tegas menyatakan ihwal sentralitas konsep ‘nilai’. Demikian
juga, sosiolog Williams (1968) dan antropolog Kluckhohn (1951), telah menggemakan pendapat serupa. Mereka memandang
‘nilai’ sebagai penggunaan kriteria untuk mempertimbangkan apakah sebuah tindakan atau peristiwa yang terjadi memenuhi
standard tertentu. “Values as desirable, trans-situational goals, varying in importance that serves as guiding principles in
people’s lives”. Nilai didefinisikan sebagai tujuan trans-situasional yang dicita-citakan dengan kepentingan yang beragam,
difungsikan sebagai prinsip yang memandu manusia dalam proses-proses kehidupan (Schwartz, 2006).
Terdapat dua pengertian umum tentang ‘nilai’ yakni: (a) evaluasi terhadap beberapa objek atau fenomena; dan (b) standar,
atau kriteria, dalam hal mana evaluasi tersebut dibuat. Contoh yang pertama adalah pernyataan seperti "hutan ini memiliki
nilai komersial rendah", atau "persenjataan nuklir memiliki nilai pencegahan tinggi"; penekanannya terletak pada objek
(hutan, senjata nuklir) yang dievaluasi. Pengertian yang kedua dapat dicontohkan dengan pernyataan seperti “perkebunan
hutan nan eksotik yang memiliki nilai komersial lebih tinggi daripada area serupa di hutan asli", atau "persenjataan nuklir
secara etis tidak dapat dibenarkan"; di sini, penekanannya adalah pada standar (nilai komersial, etika) dalam hal objek yang
dievaluasi.
Konsep Nilai
Konsep Nilai
Ada nilai yang dipandang penting oleh seseorang tetapi tidak demikian bagi yang lain. Konsensus mengenai cara 32 yang
paling berguna untuk mengonseptualisasikan nilai-nilai dasar telah muncul semenjak abad keduapuluh. Schwartz (2006),
meringkas fitur-fitur utama dari konsepsi nilai-nilai dasar yang tersirat dalam tulisan para ahli dan peneliti, sebagai berikut.
1) Nilai adalah kepercayaan. Maksudnya adalah kepercayaan dalam hubungannya dengan emosi bukan sesuatu yang objektif.
2) Nilai adalah konstruk motivasi. Merujuk pada tujuan yang diinginkan atau yang ingin dicapai.
3) Nilai melewati batas tindakan atau situasi. Sifatnya abstrak dan berbeda dengan norma dan sikap, menyaran pada
tindakan, objek, atau peristiwa.
4) Nilai mengarahkan pilihan dan pertimbangan atas tindakan dan peristiwa tertentu, berfungsi sebagai ukuran atau kriteria.
5) Nilai digradasikan menurut relatifitas kepentingan yang berbeda. Individu memiliki sistem prioritas sebagai cirinya. Fitur
hierarkis nilai-nilai juga membedakannya dari norma dan sikap.
Konsep Nilai
Agar interaksi berjalan lancar dalam kelompok untuk mempertahankan diri, individu harus menahan impuls dan menghambat
tindakan yang mungkin menyakiti orang lain. Nilai pengarahan diri berasal dari kebutuhan organisme untuk penguasaan dan
persyaratan interaksi otonomi dan kemandirian. Ciri kesepuluh nilai dasar ini menggambarkan tujuan dan motivasi
utamanya.
1) Pengarahan Diri. Pemikiran dan tindakan independen, memilih, membuat, menjelajahi.
2) Stimulasi. Kesungguhan, kekinian, dan rintangan hidup.
3) Hedonisme. Kegembiraan dan kebahagiaan sensual.
4) Prestasi. Kesuksesan karena kemampuan pribadi selaras dengan ukuran sosial.
5) Kekuasaan. Kedudukan sosial dan kebanggaan, kukungan atau hegemoni akan manusia dan resourse.
6) Keamanan. Keamanan, harmonisasi, stabilisasi sosial, dan kenyamanan.
7) Kesesuaian. Kesabaran atas tindakan dan impuls yang berpotensi mengacaukan relasi sosial apalagi membahayakan
sesama.
8) Tradisi. Rasa hormat, berkomitmen, dan menerima tanpa syarat adat-istiadat dan pemikiran yang terdapat dalam
kebudayaan.
9) Kebajikan. Menjaga dan meningkatkan kesejahteraan siapa saja yang berinteraksi dengannya terutama di dalam
kelompok. 10) Universalisme. Pengertian, toleran, melindungi kepentingan semua dan alam semesta.
Konsep Nilai
mengejar nilai- nilai pencapaian mungkin cocok dengan mengejar nilai-nilai kekuasaan—mencapai kesuksesan pribadi
untuk diri sendiri kemungkinan akan diperkuat oleh tindakan yang bertujuan meningkatkan posisi sosial dan otoritas
seseorang atas orang lain. Contoh lain: mengejar kebaruan dan perubahan (nilai-nilai stimulasi) cenderung merusak
pelestarian kebiasaan yang dihormati (nilai-nilai tradisi). Sebaliknya, pengejaran nilai-nilai tradisional sejalan dengan
pengejaran nilai-nilai kesesuaian keduanya memotivasi tindakan kepatuhan terhadap harapan eksternal (Schwartz, 2006).
Struktur melingkar yang tampak pada Gambar 1 berikut ini menggambarkan totalitas hubungan konflik dan kesesuaian
antara nilai-nilai yang didalilkan oleh teori. Pengaturan melingkar dari nilai- nilai tersebut merupakan kontinum motivasi.
Semakin dekat dua nilai dalam arah mana pun di sekitar lingkaran, semakin mirip motivasi yang mendasarinya. Semakin
jauh dua nilai tersebut semakin mendasari motivasi keduanya.
Konflik dan kesesuaian di antara kesepuluh nilai dasar tersebut menghasilkan
struktur nilai yang terintegrasi, yang kemudian diringkas oleh Schwartz (2006)
dengan dua dimensi orthogonal, yakni peningkatan diri vs. transendensi diri.
Nilai-nilai kekuasaan dan prestasi pada dimensi ini menentang nilai-nilai
universalisme dan kebajikan. Yang pertama menekankan pengejaran
kepentingan diri sendiri, sedangkan yang kedua melibatkan kepedulian
terhadap kesejahteraan dan kepentingan orang lain. Keterbukaan terhadap
perubahan vs. konservasi. Nilai-nilai pengarahan diri dan stimulasi pada
dimensi ini menentang nilai-nilai keamanan, kesesuaian, dan tradisi. Yang
pertama menekankan tindakan independen, pemikiran dan perasaan, dan
kesiapan untuk pengalaman baru, sedangkan yang kedua menekankan
pembatasan diri, ketertiban, dan resistensi terhadap perubahan.
Hakikat Nilai Kemanfaatan
Di dalam khazanah keilmuan konsep nilai kemanfaatan lebih dikenal dengan utilitarianisme, sebuah mazhab pemikiran yang
berkutat pada persoalan keyakinan (doktrin pertimbangan etis) tentang nilai ‘kegunaan’ atau ‘kemanfaatan’. Sebuah karya
akan dipandang sebagai karya sepanjang dapat menghasilkan kegunaan atau kemanfaatan karena menghadirkan kebahagiaan
terbesar bagi banyak orang, the greatest happiness for the greatest number (Bentham, 1780). Tesis Jeremy Bentham tentang
‘prinsip kebahagiaan terbesar’ tersebut kemudian didefinisikan Veenhoven (2014), sebagai prinsip moral, yang menyatakan
bahwa hal terbaik untuk dilakukan adalah apa yang berkontribusi pada kebahagiaan terbesar untuk jumlah terbesar orang.
“The greatest happiness principle is a moral tenet, which holds that the best thing to do is what contributes to the greatest
happiness of the greatest number of people”.
Utilitarianisme adalah bagian dari teori etika ‘konsekuensialisme’. Apakah suatu tindakan benar atau salah ditentukan secara
langsung atau tidak langsung oleh konsekuensi tindakan tersebut. Sebagai gerakan reformasi sosial dan teori etika,
utilitarianisme menyatakan bahwa moralitas suatu tindakan harus dinilai hanya berdasarkan hasil-hasilnya, sehingga banyak
ahli mengklaim lebih merupakan teori politik daripada teori etis dalam arti yang sebenarnya. Dalam perspektif politik,
dipahami secara tradisional, sebagai gerakan reformasi sosial yang bertujuan memperbaiki kondisi kehidupan orang miskin
di masyarakat. Berupaya menggabungkan hedonisme individu dan hedonisme sosial yang bertujuan menciptakan masyarakat
yang beradab. Oleh karena itu, secara etis dipahami sebagai pandangan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang
sebenarnya, tindakan yangmungkin akan menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan terbesar bagi sebagian besar orang.
Utilitas dalam pandangan utilitarianisme adalah satu-satunya kebaikan intrinsik. Tindakan dinilai benar atau salah sesuai
kecenderungannya untuk menghasilkan kebahagiaan atau kesenangan maksimal untuk jumlah terbesar. Prinsip utilitas
menyatakan bahwa tindakan atau perilaku itu benar sejauh mempromosikan kebahagiaan atau kesenangan, dan salah jika
cenderung menghasilkan sebaliknya yakni ketidakbahagiaan atau rasa sakit (White, tt.:1).
Hakikat Nilai Kemanfaatan
Berdasarkan perspektif tersebut dapat dipahami bahwa ada kemaslahatan/kemanfaatan yang dipandang benar oleh beberapa
pihak, namun bukan tidak mungkin dalam perkembangannya menegasikan kemaslahatan lain bahkan sebaliknya justru
terjatuh ke dalam ketidakbaikan atau kemudharatan. Dengan demikian, menurut ar-Raysuni (Intizam, 2015:27), beragam
pemikiran tersebut harus ditempatkan 36 pada posisinya masing-masing, lalu dikaji dari berbagai perspektif agar jelas
kemaslahatan/kemanfaatan mana yang diprioritaskan dan mana yang ditunda. Proses inilah yang diyakini dapat
mengantarkan pada kemaslahatan/kemanfaatan yang sesungguhnya.
Maimun (2014:20-21), kemudian meringkasnya secara substansial menjadi empat hal. Pertama, harus ada dalil khusus dalam
kerangka hukum yang digunakan sebagai dasar penentuan sebuah tindakan. Kedua, maslahat harus kompatibel dengan tujuan
Syariat dalam penetapan hukum. Ketiga, implementasi maslahat dibenarkan sepanjang mampu mewujudkan kemaslahatan
sekaligus menolak kemafsadatan baik yang bersifat dharuriyyat, hajiyat maupun tahsiniyyat. Keempat, kemaslahatan harus
seiring-sejalan dan dapat diterima oleh akal sehat.
Dapat dikatakan bahwa wujud kemanfaatan adalah perbuatan atau tindakan manusia, dan tindakan atau perbuatan manusia
itu dituntun oleh moralitas, sebab morality is personal, person-centered morality (Landy & Uhlmann, 2016). Oleh karena itu,
sebelum dipaparkan lebih jauh tentang nilai kemanfaatan baik pada tataran individual, sosial, maupun lingkungan hidup
(ecological), terlebih dahulu dikemukakan konsep moralitas (morality) sebagai dasar tindakan manusia. Sebab, “Manusia
adalah makhluk yang berpengetahuan dan berkemauan. Kemauan mengandaikan pengetahuan. Manusia hanya akan
bertindak berdasarkan pengetahuan tentang fakta yang perlu diperhitungkan untuk menentukan dan mewujudkan
kemauannya (rencananya). Dan, etika/moral dipandang sebagai sarana orientasi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan
fundamental: ‘Bagaimana saya harus hidup dan bertindak?’" (Wahono, 1997:50).
HAKIKAT DAN FUNGSI
MORALITAS

Hakikat Moralitas

Fungsi Moralitas
Hakikat Moralitas
"Moralitas" adalah kata yang tidak biasa, tidak banyak digunakan, setidaknya tanpa kualifikasi. Orang
seringkali berbicara tentang moralitas Yahudi, Kristen, Islam, moralitas Nazi, atau tentang moralitas orang-
orang zaman dahulu bahkan sebelum 37 masehi, tetapi mereka jarang berbicara tentang moralitas itu sendiri.
Oleh karena itu, tidak heran setidaknya sejak awal abad ke-20, upaya eksplisit untuk mendefinisikan
“moralitas” sulit ditemukan karena subjek “moralitas” itu sendiri sangat luas, sehingga apa yang dianggap
sebagai klaim moral seringkali berbeda. Sementara, sumber moralitas juga belum bisa ditentukan secara pasti.
Namun demikian, menurut Barrow (2007:73), hal itu tidak berarti bahwa moralitas tidak memiliki
karakteristik penentu yang akan diakui sepanjang periode budaya dan sejarah umat manusia.
Penjelesan singkat kelima (prinsip keenam tidak dibahas di dalam tulisan ini) karakteristik atau prinsip
moralitas yang diusulkan Barrow untuk mendefinisikan moralitas dipaparkan berikut ini.
• Prinsip pertama adalah prinsip keadilan. Terlepas dari pandangan moral apa yang dipegang atau kode
moral apa yang diadopsi seseorang, keadilan dibangun di dalam gagasan moralitas (Barrow, 2007:74).
Walaupun masih dapat diperdebatkan, dapat dikemukakan contoh sederhana tentang keadilan sebagai
prinsip moral: jika mengatakan bahwa moralitas mengharuskan orang menerima hadiah yang sama untuk
pekerjaan yang sama atau bahwa orang yang lebih tua layak mendapatkan lebih dari yang diperoleh anak
muda, maka itu adalah distribusi yang adil. Diakui bahwa ada banyak moralitas daripada keadilan, seperti
seseorang berhasil yang secara adil tetapi gagal bertindak secara moral, tetapi menurut Barrow (2007:74)
contoh itu adalah fitur moralitas yang diperlukan dalam pandangan siapa pun
Hakikat Moralitas
"2. Kedua adalah prinsip menghargai keberadaan orang lain. Prinsip ini berbeda dari prinsip keadilan, meskipun
sangat erat kaitannya, karena prinsip keadilan menyatakan bahwa semua orang harus diperlakukan sama kecuali
jika ada pertimbangan yang relevan, sedangkan prinsip menghormati keberadaan orang lain (mengenali dan
memperlakukan orang lain sesuai tujuan keberadaannya), menyatakan bahwa orang lain harus diperlakukan
sama secara umum, karena sama-sama diakui sebagai makhluk otonom yang tidak dapat diperlakukan seolah-
olah mereka adalah objek material atau sebagai sarana untuk tujuan lainnya, apalagi sebagai sarana atau tujuan
untuk kepuasan diri sendiri.

3. Prinsip ketiga adalah kebebasan. Ada orang yang secara tidak reflektif berasumsi bahwa menjadi bermoral
hanya dengan mematuhi aturan-aturan tertentu. Kebebasan bertindak juga salah satu fitur penting dalam ranah
moralitas. Tentu, bukan dalam pengertian bertindak secara bebas dengan pilihan yang bebas, tetapi bertindak
bebas dengan motif kebaikan. Dalam pengertian lain, bertindak secara bebas karena melihatnya sebagai tugas,
tidak sekedar motif memperoleh hadiah atau untuk menghindari rasa sakit. Bahkan mereka yang percaya bahwa
akan ada pahala yang diperoleh di Surga, dan karena itu sampai taraf tertentu dapat dikatakan dimotivasi oleh
pahala, tahu sepenuhnya bahwa bahkan dalam hal keyakinan mereka sendiri tidak cukup untuk bertindak murni
demi hadiah itu, seseorang juga harus bebas memilih untuk bertindak dengan cara ini karena itu baik.
Hakikat Moralitas
"4. Prinsip keempat adalah kebenaran. Prinsip ini secara universal diakui oleh para filsuf. Prinsip kebenaran
mengharuskan seseorang harus mengatakan sesuatu yang benar adalah benar dalam kondisi dan situasi apa pun.
Menghargai kebenaran sangat berbeda dengan mengatakan bahwa secara moral selalu benar untuk mengatakan
yang sebenarnya. Harus ada komitmen prima untuk mengatakan bahwa kebenaran adalah bagian dari moralitas
dan tidak menyiratkan sedikit pun keraguan di dalamnya

5. Prinsip kelima adalah prinsip kesejahteraan. Menurut Barrow (2007:78), tidak mudah untuk menemukan
nama atau istilah yang paling cocok untuk prinsip ini, seperti: kebahagiaan, kebajikan, niat baik, tidak jahat,
tidak menderita, dan sampai batas tertentu, label yang berbeda ini mungkin memilih konsep yang agak berbeda.
Meskipun tidak ideal, menurut Barrow istilah ‘kesejahteraan’ tampaknya lebih terbuka dan umum daripada,
katakanlah, istilah ‘kebahagiaan’, karena moralitas tidak harus ada hubungannya dengan kebahagiaan, dan teori
moral tidak perlu memiliki referensi ke kesejahteraan orang dalam arti apa pun.
Alfred North Whitehead di dalam karyanya yang sudah menjadi klasik berjudul Modes of Thought (1968),
memaparkan: “Morality consists in the control of the process so as to maximize importance. It is the aim of the
greatness of experience in the various dimensions belonging to it”. Lebih jauh, Whitehead (1968), menuturkan:
“Morality is always the aim at that union of harmony, intensity, and vividness which involves the perfection of
importance for that occasion”. Moralitas terdiri atas kontrol proses untuk memaksimalkan bobot kepentingan.
Orientasi akhirnya adalah mengupayakan pengalaman yang sebesar-besarnya dalam berbagai dimensi yang
dimilikinya. Oleh karena itu, moralitas selalu menjadi tujuan ke arah harmonisasi, intensitas pengalaman dan
kesegaran hidup yang melibatkan kesempurnaan untuk kepentingan itu sendiri.
Fungsi Moralitas
Banyak filsuf berupaya merumuskan fungsi ‘moralitas’ adalah untuk mengurangi ketegangan sosial dan dengan
demikian memungkinkan masyarakat untuk secara lancar dan efisien memastikan kesejahteraan para
anggotanya. Walaupun ada yang berpendapat bahwa kumpulan praktik, kepercayaan, dan disposisi yang disebut
'moralitas' itu jauh lebih kompleks secara fungsional daripada standar moral, namun ‘moralitas’ memang dapat
mengurangi ketegangan sosial dalam konteks tertentu, tetapi mungkin juga mengobarkannya dalam konteks
lain, dan mungkin memainkan berbagai peran berbeda lainnya dalam masyarakat manusia. Lepas dari
perdebatan filosofis-substantif tentang ‘moralitas’, namun untuk memperoleh gambaran tentang fungsi
‘moralitas’, berikut ini diberikan beberapa kutipan yang representatif dari para ahli.
KEMANFAATAN SEBAGAI MORALITAS
KEHIDUPAN PADA TATARAN INDIVIDUAL
‘Moralitas’ sebagaimana ditawarkan Barat dan beberapa negara yang berkhidmat ke Barat dilandasi oleh
kebebasan individu dalam memenuhi hasratnya sendiri. Moralitas dalam pandangan aliran ini ditimbang sebatas
upaya mengembangkan keinginan individu dan tidak memperhatikan dampak psikologis pada tataran sosial-
kemasyarakatan. Nilai- nilai semacam ini telah merasuk dan membawa manusia ke dalam kehampaan budaya
karena tidak mampu memilah dan memilih di antara kebaikan dan ketidakbaikan. Sementara, moralitas jika
dipahami dalam perspektif agama tidak dapat dilepaskan dari tujuan penciptaan manusia yakni spirit
pengabdian yang ikhlas kepada sang Maha Pencipta dan berkhidmat kepada semesta. Setiap aktivitas apa pun
bentuk dan wujudnya akan bermanfaat sepanjang diletakkan dalam kerangka diskursus perintah sang Maha
Pencipta.
Konsepsi moralitas pada tataran individual didefinisikan Cohen et al (2011 dalam Sudarman & Kusuma,
2019:1889) sebagai “… ability to decide a problem in dilemmatic ethics by initially assessing values and social
values of what actions to do”. Kemampuan untuk memutuskan masalah dalam etika dilematis dengan terlebih
dahulu mengevaluasi nilai-nilai dan nilai sosial dari tindakan yang seharusnya dilakukan. Dalam
perkembangan-nya, sebagaimana ditunjukkan Lawrence Kohlberg (1969), moralitas berkembang melalui tiga
tahap, yakni: pra-konvensional, konvensional, dan pasca- konvensional (Puspasari, 2012). “Kemampuan
individu untuk menyelesaikan etika dilematis dipengaruhi oleh tingkat penalaran moralitas mereka” (Welton
dalam Puspitasari, 2012). Liyanarachi (2009) menemukan bahwa “tingkat penalaran moralitas mempengaruhi
perilaku etis. Individu dengan tingkat penalaran moral yang rendah berperilaku berbeda dengan mereka yang
memiliki tingkat moral lebih tinggi sambil menghadapi dilema etika. Tingkat penalaran moral individu yang
lebih tinggi memungkinkannya untuk berperilaku baik” (Sudarman & Kusuma, 2019:1890).
KEMANFAATAN SEBAGAI MORALITAS
KEHIDUPAN PADA TATARAN INDIVIDUAL
Seseorang di dalam kehidupannya tidak harus menjadi manusia yang hebat (the best of one), punya reputasi,
harga diri, kedudukan, kehormatan, bahkan ketenaran (Schopenhauer, 2004), tetapi jadilah individu yang
bermanfaat bagi sesama dengan jiwa kepemimpinan yang menginspirasi. “Sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi orang lain” adalah sebuah Hadits terkenal yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari
Jabir bin Abdullah, dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab As-Silsilah Ash-Shahîhah. Pernyataan (hadits)
Rasulullah inilah yang seringkali dipakai sebagai dasar untuk menjelaskan mengapa seseorang harus menjadi
individu yang bermanfaat.
Jika pesan-pesan Tuhan sebagaimana disebutkan di atas dijalankan dengan penuh kesungguhan, maka manusia
yang demikian itu menurut al-Quran dan al-Kitab adalah manusia yang bermanfaat, manusia yang berguna baik
bagi dirinya sendiri, sesama, maupun terhadap alam semesta. Dalam konteks bagaimana gambaran sosok
manusia yang demikian itu, Mujiono dalam tulisannya berjudul “Manusia Berkualitas Menurut Al- Qur’an”
secara menarik melukiskan:
KEMANFAATAN SEBAGAI MORALITAS
KEHIDUPAN PADA TATARAN INDIVIDUAL
Selain unsur tanggung jawab terhadap diri sendiri, karakteristik lain yang menunjukkan nilai kemanfaatan
seseorang adalah visinya akan perubahan. Setiap orang adalah change agent. Terlebih dalam kondisi seperti
sekarang ini, setiap orang sangat perlu berubah bila ingin tetap survive. “A change agent is a catalyst for
change, a person who can make changes happen by inspiring and influencing other” (Rachman & Jakob,
2020:7). Agen perubahan sejatinya adalah menjadi katalisator perubahan, seseorang dapat melakukan
perubahan dengan cara, setidaknya, menginspirasi dan memengaruhi orang lain untuk berubah baik dalam cara
berpikir, bertindak maupun berperilaku.
Lebih jauh, Rachman dan Jakob (2020:7), mengusulkan beberapa hal yang disebut sebagai dasar untuk menjadi
change agent, yakni: “rasa memiliki terhadap perubahan; punya gambaran yang jelas tentang hasil yang
diharapkan ketika perubahan terjadi; pribadi yang berubah terlebih dahulu sebelum orang lain, membina
hubungan dan membangun engagement (keterikatan) dengan orang lain; punya kesabaran untuk mendengar,
menangkap aspirasi kebutuhan stakeholder; serta konsisten mengatasi segala rintangan menuju tujuan
perubahan”. Dalam bahasa yang lebih ringkas dikatakan: “Your self-awareness and long-term vision help. You
must know yourself, the ideas you standfor, your aspiration, your passion for change, its boundaries, and the
relationship or disconnection between your self-fulfilling desires and the change outcome” (Rachman & Jakob,
2020:7). Melalui kesadaran diri dan bantuan visi jangka panjang, seseorang harus mengenal dan mengetahui
(kapasitas) dirinya, ide-ide yang diperjuangkan, aspirasinya, hasrat untuk perubahan, batasannya, dan keinginan
yang terpenuhi ketika perubahan terjadi. "Let's keep up acting for change. Have the courage and everything else
will come" (Rachman & Jakob, 2020:7). Mari kita terus bertindak demi perubahan. Miliki keberanian dan yang
lainnya akan datang. Ya keberanian untuk berbuat adalah kata kunci untuk sebuah perubahan jika seseorang
ingin menjadi pribadi yang bermanfaat.
KEMANFAATAN SEBAGAI MORALITAS
KEHIDUPAN DI RANAH SOSIAL
Di ranah sosial, moralitas publik dalam beberapa dekade terakhir disinyalir mengalami degradasi dan
kemerosotan yang nyaris ke titik nadir. Betapa tidak, perilaku anak-anak bangsa yang digadang-gadang menjadi
penerus estafeta kepemimpinan di masa depan, alih-alih menyiapkan diri agar kompeten dalam ranah kognitif,
afektif, maupun psikomotorik, justru terlibat dan terjerumus ke dalam perilaku social deviance (penyimpangan
sosial) yang berujung pada kekacauan moral karena mengalami kekacauan nilai. “Mereka tampak tidak tahu
lagi gunanya tatanan dan aturan, lebih memuja dan menyenangi apa saja yang kacau. Rasa hormat dianggap
kesintingan, keutamaan control diri dilihat ‘kurang laki’, tidak tahu malu dianggap jantan, norak menjadi tangga
sosial ke selebritas, dan freedom menjadi bebas ngawur-ngawuran” (Wibowo, 2017:40). Optimalisasi
pendidikan kebudiutamaan dipandang tepat sebagai bagian dari upaya preventif atas perilaku demoralisasi
sosial. Membangun moralitas sosial terutama di kalangan kawula muda butuh perhatian serius. Nilai-nilai
kemerdekaan, kesamaan, dan penerimaan harus disemai sedini mungkin. Sjarkawi (2011) sebagaimana dikutip
Idi & Sahrodi (2017), secara menarik menyatakan:
KEMANFAATAN SEBAGAI MORALITAS
KEHIDUPAN DI RANAH SOSIAL
Salah satu prinsip dasar kemanfaatan di ranah sosial adalah peran dan tanggung jawab manusia di tengah-
tengah masyarakat. Prinsip dasar itu dikembangkan dari fakta sejarah bahwa umat manusia merupakan satu
keluarga besar, dari keturunan Adam dan Hawa yang kemudian dikenal dengan sebutan bani Adam (keturunan
Adam). Bahwa manusia di kemudian hari terbagi-bagi menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah
keniscayaan, bukan untuk saling menegasikan apalagi saling bunuh demi kehormatan diri, suku, dan bangsanya.
Tetapi untuk saling mengenal, berinteraksi, dan saling menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan. Tinggi-
rendahnya martabat kemanusiaan bukan ukuran kebaikan dan ketaqwaan. Ukurannya terletak pada bobot
aktivitas perbuatan dan ketaqwaan kepada Tuhan. Firman Tuhan di dalam surat al- Hujarat ayat 13,
meneguhkan hal itu: “Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, dan telah kami jadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di hadapan Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Nilai kemanfaatan di ranah sosial juga dibangun di atas prinsip dasar sifat kesosialan manusia yakni kesedian
untuk berinteraksi antar-sesama. Banyak ayat al-Qur’an dan Alkitab menegaskan manusia selain membangun
hubungan dengan Tuhannya juga mengembangkan interaksi antar-sesama. Bentuknya adalah kesediaan untuk
memperhatikan kepentingan sesama, tolong-menolong dalam kebaikan dan bukan tolong- menolong dalam
kemungkaran sebagaimana ditegaskan dalam Surat al-Maidah ayat 2: “Dan tolong menolong-menolong kamu
dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
Demikian juga Alkitab mengisahkan perintah untuk mengembangkan interaksi yang bermakna berdasarkan
prinsip saling mengasihi antar-sesama bahkan terhadap musuh sekalipun.
KEMANFAATAN SEBAGAI MORALITAS
KEHIDUPAN DALAM BINGKAI EKOLOGIS
Rickerl dan Francis (2004), mengawali tulisan mereka dengan mengutip pernyataan yang sangat menarik dari
Rene Dubos dan Barbara Ward, bahwa: “Hal yang mencengangkan tentang pemahaman [ilmiah] kita yang
semakin mendalam tentang realitas selama empat atau lima dekade terakhir adalah sejauh mana ia menegaskan
dan memperkuat begitu banyak wawasan manusia …. Para filsuf memberi tahu kita bahwa kita adalah satu,
bagian dari persatuan yang lebih besar yang melampaui dorongan dan kebutuhan. Mereka memberi tahu kita
bahwa semua makhluk hidup disatukan dalam jaringan antar-ketergantungan yang paling rumit …. Apa yang
sekarang kita pelajari adalah deskripsi faktual tentang cara di mana alam semesta kita sebenarnya bekerja”.
Wendell Berry, mengatakan: “… kami gagal belajar dari mereka [penduduk asli Amerika] bagaimana tinggal di
negeri ini adalah kebodohan … mereka memiliki rasa tanggung jawab hidup dalam ciptaan—yang mengatakan
bahwa mereka memiliki, di antara banyak hal lain, moralitas ekologis …” (Wendell Berry dalam Rickerl &
Francis, 2004). Demikian juga, Monica Nirmala, secara menarik mengawali opininya di Harian Kompas, 6
Agustus 2020, dengan menyatakan: “Apa yang baik bagi alam, baik bagi kita. Apa yang menyakiti alam,
membawa penyakit bagi kita” (Nirmala, 2020:7).
Sejarah memberi kita paradoks yang aneh tentang moralitas lingkungan hidup. Di satu sisi, para filsuf, orang
bijak dan guru tradisional telah mempromosikan gagasan bahwa manusia adalah bagian dari jaring kehidupan di
mana kelangsungan hidup kita benar-benar bergantung pada dialektika. Bintang dan pohon, binatang dan
tumbuhan, gunung dan danau, burung dan cacing selalu ada di sana dan akan terus ada di sana. Itu adalah kisah
stabilitas, keabadian, ketegasan, dan, adalah kisah di mana kita hidup di muka bumi ini. Di sisi lain, tindakan
manusia, lebih sering daripada tidak, bertentangan dengan nasihat bijak itu. Kegagalan demi kegagalan dalam
membangun dialektika yang bermakna nyaris hampa. Setiap upaya merumuskan moralitas yang sesuai untuk
lingkungan hidup perlu mengenali kompleksitas paradoks manusia yang mendasar ini (Lowdermilk, 1953;
Schneider, 1976 dalam Rickerl & Francis, 2004).
KEMANFAATAN SEBAGAI MORALITAS
KEHIDUPAN DALAM BINGKAI EKOLOGIS
Akan tetapi, Quddus (2012:311), mensinyalir bahwa, “dewasa ini telah muncul kesadaran baru untuk
menanggulangi krisis tersebut dengan menggali prinsip-prinsip tradisional dan agama, yang kemudian disebut
ecotheology yakni wawasan lingkungan 50 yang integral berdimensi etis-theologis dan etis-antropologis”.
Munculnya masalah lingkungan ekologis yang akut dan mengglobal diyakini para pakar sebagai cara pandang
kelompok masyarakat yang menempatkan manusia dengan segala kepentingannya sebagai pusat dalam semesta
yang dikenal dengan anthropocentric atau homocentric (Quddus, 2012:326).
Sementara itu, menurut cara pandang antroposentrism, manusia adalah hasil kreasi Tuhan yang maha dahsyat
dan bukan sebagian dari alam, dengan tugas utama mengatur dan mengelola alam untuk kepentingan manusia
dan alam semesta. Berlakunya aturan moral dan etis bagi kehidupan manusia tidak berlaku bagi makhluk
lainnya, sehingga eksploitasi terhadap alam semesta dipandang sebagai wujud kehendak Tuhan karena sejatinya
manusia diciptakan untuk menguasai dan menaklukan alam (Quddus, 2012:327).
Beberapa dekade terakhir, kaum Environmentalist (pemerhati/pegiat lingkungan) mencoba berbalik arah
melihat agama dan kearifan lokal setelah gagal total mempromosikan upaya pelestarian alam di berbagai
forum/konferensi internasional. Ada kesadaran baru bahwa agama dan kearifan lokal mampu terlibat untuk
menyelamatkan bumi, karena agama menurut Evlyn, memiliki lima prinsip dasar yang dikenal dengan 5R,
yakni Reference, Respect, Restrain, Redistribution, dan Responsibility (Tucker, 2000:12 dalam Quddus,
2012:328). Sementara, Vasudha Narayan, mengusulkan tiga prinsip dasar berbasis agama yang diyakini mampu
memecahkan permasalahan lingkungan hidup, yang dikenal dengan 3T, yakni Text, Temple, dan Teacher
(Narayan, 2000 dalam Quddus, 2012:328).
KEMANFAATAN SEBAGAI MORALITAS
KEHIDUPAN DALAM BINGKAI EKOLOGIS
Merawat dan memelihara lingkungan alam adalah bentuk tanggung jawab sekaligus wujud nilai-nilai
kemanfaatan dalam bingkai ekologis. Tindakan memanfaatakan potensi alam demi kepentingan pemenuhan
kebutuhan hidup manusia adalah tanggung jawab terhadap alam. Segala sesuatu baik yang ada di bumi (laut dan
isinya, sungai, tumbuhan, binatang ternak, dan lain-lain) maupun yang ada di langit (bulan, bintang, matahari)
semuanya dikaruniakan Allah untuk kepentingan manusia (Periksa Q.S. Al-Jasiyah, 13; Ibrahim, 32-34; An-
Nahl, 5, 14; Fatir, 2). Dengan demikian, pengabaian tugas dan kewajiban merawat dan mengelola potensi alam
adalah bentuk ketidaktaatan terhadap sabda Tuhan. Pemanfaatan potensi alam secara berlebihan (tamak dan
rakus) juga tidak dibenarkan karena akan mengganggu ekosistem yang ada sekaligus berdampak buruk terhadap
kehidupan umat manusia. Perhatikan bagaimana Tuhan memperingatkan umat manusia di dalam al-Qur’an surat
al-Rum ayat 41, misalnya, tentang akibat perbuatan manusia yang melampaui batas. “Kerusakan di darat dan di
laut terjadi akibat perbuatan tangan manusia sendiri; Allah merasakan kepada mereka sebagai (akibat) perbuatan
mereka, supaya mereka kembali ke jalan yang benar”. Peringatan Tuhan itu tegas, maka umat manusia harus
mengambil pelajaran berharga bagaimana mengelola dan memanfaatkan potensi alam sesuai sunnatullah.

Anda mungkin juga menyukai