Anda di halaman 1dari 55

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

MUHAMMAD ARIYANTO, S.Pd.I


BAB I

KONSEP DASAR PSIKOLOGI PENDIDIKAN


Definisi Psikologi Pendidikan
 Psikologi Pendidikan merupakan sebuah frasa yang terdiri atas dua suku kata, yaitu psikologi dan
Pendidikan.
 Psikologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu.
 Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu jiwa tersebut dianggap terlalu abstrak dan kurang ilmiah sehingga
istilah psikologi sebagai ilmu jiwa mulai ditinggalkan. Sejak saat itu psikologi dipahami sebagai sebuah
ilmu pengetahuan yang tidak lagi mempelajari tentang jiwa, tetapi membicarakan tentang gejala-gejala
jiwa yang terlihat dan terukur. Gejala-gejala kejiwaan tersebut dikenal dengan gejala-gejala
psikologis/psikis.
 Muhibbin Syah dalam Sugihartono dkk. (2007:2) mengungkapkan bahwa psikologi merupakan ilmu
pengetahuan yang membahas tentang tingkah laku manusia sebagai individu dan kelompok serta hubungan
keduanya dengan lingkungan secara terbuka maupun tertutup.
 Menurut Sunaryo (2004:2), perilaku manusia tidak timbul dengan sendirinya, tetapi akibat adanya
rangsangan (stimulus), baik dari dalam dirinya (internal) maupun dari luar dirinya (eksternal).
 Definisi Psikologi ; ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai individu dan
anggota kelompok serta pengaruh yang muncul dari hubungan individu tersebut dengan lingkungan
sekitarnya.
 Dalam Perkembangannya Ilmu Psikologi terbagi beberapa
konsentrasi keilmuan ;

1) Psikologi Umum
2) Psikologi Perkembangan
3) Psikologi Sosial
4) Psikologi Kepribadian
5) Psikologi klinis
6) Psikologi Industri
7) Psikologi Anak
8) Psikologi abnormal
 Pengertian Pendidikan
Menurut Sugihartono dkk. (2007:3-4), Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana yang dilakukan oleh
pendidik untuk mengubah tingkah laku manusia, bai secara individu maupun kelompok untuk mendewasakan
manusia tersebut melalui proses pengajaran dan pelatihan.
Menurut Sri Rumini dkk. (2006:16), Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha sadar, sengaja, dan
bertanggung jawab yang dilakukan oleh seorang Pendidikan terhadap anak didiknya untuk mencapai tujuan
kearah yang lebih maju.
Dapat diambil kesimpulan; Pendidikan merupakan usaha mendewasakan dan memandirikan manusia melalui
kegiatan yang terencana dan disadari melalui kegiatan belajar dan pembelajaran yang melibatkan siswa dan
guru
 Pengertian Psikologi Pendidikan
Menurut Whiteringtone; psikologi Pendidikan sebagai studi yang sistematis tentang faktor-faktor dan proses
kejiwaan yang berhubungan dengan Pendidikan manusia (Sugihartono dkk.,2007:4)
Menurut Sumadi Suryabrata dalam Sri Rumini dkk. (2006:16); psikologi Pendidikan merupakan ilmu
pengetahuan tentang psikologi yang membahas dan mempelajari anak didik dalam situasi dan lingkungan
Pendidikan.
Hakikat dari psikologi Pendidikan adalah membahas tentang proses belajar mengajar, terutama bagaimana
seharusnya siswa belajar, guru mengajar, serta bagaimana proses belajar mengajar seharusnya dilaksanakan
Sejarah Singkat Psikologi
 Psikologi pada awalnya merupakan ilmu pengetahuan yang belum berdiri, sebab
masih dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan lain yang telah berkembang lebih
dahulu. Menurut Sri Rumini dkk (2006:14), pada awalnya psikologi sangat
dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan alam.
 Pada perkembangan selanjutnya, psikologi mulai menjadi ilmu yang mandiri dan
berdiri sendiri Ketika banyak penelitian yang dilakukan untuk mengkaji
mengenai permasalahan sensasi atau pengindraan pada manusia. Berdirinya
Laboratorium psikologi yang pertama pada 1879 di Leipzig, Jerman oleh
Wilhelm Wundt. Pada 1980 hampir setiap Universitas di Amerika Serikat
memiliki fakultas psikologi yang berdiri sendiri.
 Psikologi Pendidikan terbagi dalam tiga kelompok, yaitu psikologi dengan dasar
behavioristik, kognitif dan humanistic.
Pentingnya Psikologi Pendidikan dalam Pembelajaran

 Menurut Sumadi Suryabrata (2011: 1-2), mengacu pada pengertian psikologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan
untuk memahami sesama manusia agar dapat memperlakukannya dengan baik, pengetahuan guru terhadap
kondisi psikologis siswa adalah penting. Hal itu menjadikan psikologi Pendidikan memiliki kedudukan yang
penting dalam proses Pendidikan dan pembelajaran. Hal ini disebabkan guru merupakan ujung tombak proses
Pendidikan proses Pendidikan sehingga seharusnya pengetahuan dan pemahaman psikologi Pendidikan menjadi
kebutuhan utama setiap guru.
 Sebagai seorang pendidik, guru perlu menggunakan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan tentang psikologi
siswa dan Pendidikan serta hasil-hasil penelitian dalam bidang psikologi Pendidikan agar dapat melaksanakan
proses belajar mengajar dengan baik.
 Dunia Pendidikan dan proses pembelajaran tidak pernah sepi dari masalah siswa terutama rendahnya prestasi
belajar siswa sehingga psikologi Pendidikan membimbing proses pembelajaean sampai pada mencari jalan
keluar atas suatu permasalahan yang muncul dalam proses belajar dan mengajar.
 Mahasiswa program studi keguruan, mereka akan menjadi guru sehingga semakin awal memahami psikologi
Pendidikan maka akan semakin mampu melaksanakan proses belajar dan pembelajaran yang lebih baik.
Tujuan Memperlajari Psikologi Pendidikan
1. Memahami bentuk-bentuk gejala psikologis individu (siswa) secara umum dalam bentuk
sikap dan tingkah laku selama mengikuti proses pembelajaran.
2. Memahami kemampuan-kemampuan dan potensi siswa dalam mengikuti proses
pembelajaran.
3. Membantu siswa mengembangkan berbagai jenis kemampuan dan potensi yang dimiliki
dalam bentuk proses - proses pembelajaran yang berbasis pengembangan siswa.
4. Memahami bagaimana seharusnya pelaksanaan proses belajar dan pembelajaran agar
tercapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif.
5. Membantu siswa menyelesaikan program pembelajaran sehingga dengan pemahaman guru
tentang psikologi Pendidikan dapat memberikan bantuan pada siswa dalam menyelesaikan
program-program pembelajaran sampai tuntas.
Ruang Lingkup Kajian Psikologi Pendidikan
 Menurut Winkel (2009:53), psikologi Pendidikan membahas tema-tema tentang
proses belajar dan jenis-jenis belajar, teori-teori belajar dan pembelajaran,
perkembangan siswa, motivasi siswa, perbedaan-perbedaan individu, tenaga
pendidik atau guru, evaluasi belajar, serta layanan bimbingan dan konseling.
 Ruang lingkup Kajian Psikologi Pendidikan; membahas siswa sebagai individu
yang melakukan proses belajar dengan berbagai perbedaan karakteristik dan
kebutuhannya sehingga memberikan panduan bagi pendidik dalam
mengorganisasikan proses pembelajaran dengan tujuan siswa dapat belajar
dengan lebih optimal.
GEJALA-GEJALA PSIKOLOGIS SISWA
DALAM BELAJAR
1. Konsep Dasar Pengindraan dan Persepsi
 Menurut Sugihartono dkk. (2007:7), pengindraan atau sensasi yang dialami manusia merupakan proses
masuknya pengetahuan dalam bentuk stimulus ke dalam alat indra manusia yang kemudian stimulus-
stimulus tersebut akan diterjemahkan oleh otak manusia berdasarkan persepsinya.
 Proses pengindraan sebagai tahap paling awal terjadinya belajar pada siswa sangat tergantung pada
masing-masing siswa. Hal ini disebabkan proses pengindraan sangat d ipengaruhi oleh kondisi dan
kemampuan alat indra yang dimiliki individu meliputi indra-indra penglihatan, pendengaran, peraba,
pembau, dan pencecap.
 Hasil proses pengindraan kemudian dimasukkan dan disimpan dalam otak untuk diinterpretasikan dalam
proses persepsi.
 Pengertian dasar dari persepsi adalah proses penerjemahan atau menginterprestasikan stimulus yang
masuk melalui alat indra oleh individu yang melakukan proses pengindraan sebagai sebuah pengetahuan
baru (Sugihartono dkk., 2007:8).
 Persepsi merupakan sebuah proses yang aktif sebagaimana disampaikan oleh William E. Glassman &
Marilyn Hadad (2009:5) bahwa persepsi merupakan sebuah proses aktif yang mencakup pemilihan atau
seleksi informasi, pengorganisasian informasi, dan menerjemahkan informasi tersebut.
 Syarat agar sebuah stimulus dapat diindra dengan baik, antara lain:
a)Ukuran stimulus yang diindra cukup besar;
b)Alat indra yang digunakan dalam kondisi baik dan sehat;
c)Adanya perhatian manusia terhadap stimulus tersebut.
 Pemberian arti terhadap sebuah stimulus yang disampaikan guru yang sama pada sebuah kelas kadang
diinterprestasikan dengan cara berbeda bagi masing-masing siswa. Perbedaan-perbedaan tersebut Menurut
Sumadi Suryabrata (2011:19-20), terjadi karena adanya perbedaan dari sudut pandang pengamatan itu sendiri.
 Perbedaan-perbedaan sudut padang dipengaruhi oleh beberapa faktor :
a) Sudut pandang ruang; dari mana arah dan sudut pandang dalam mengamati sebuah stimulus atau objek
dalam suatu ruangan akan berpengaruh pada hasil pengamatan itu sendiri. Artinya, arah memandang,
misalnya kanan-kiri, atas-bawah, depan belakang, jauh-dekat, dan sebagainya mempengaruhi hasil
pengamatan .
b) Sudut pandang waktu; kapan waktu pelaksanaan suatu pengamatan terhadap sebuah stimulus akan
memengaruhi hasil pengamatan itu sendiri. Artinya, hasil pengamatan akan berbeda apabila dilaksanakan
dilaksanakan kemaren dan hari ini, lima menit pertama dan lima menit terakhir, malam dan siang, saat
bekerja dan saat istirahat.
c) Sudut pandang arti; stimulus atau objek yang diamati akan diinterpretasikan berbeda oleh masing-masing
individu berdasarkan keberartiannya bagi individu itu sendiri.
 Menurut Sugihartono dkk. (2007:9), perbedaan pengindraan dan persepsi dari sudut pandang arti setiap
individu akan menghasilkan dan memberikan makna yang berbeda pada setiap individu.
Kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap hasil pengamatan dari sudut
pandang arti di antaranya disebabkan :
1) Adanya perbedaan pengetahuan, wawasan, dan pengalaman pada masing-masing individu,
2) Adanya perbedaan kebutuhan masing-masing individu,
3) Adanya perbedaan kesenangan atau hobi pada masing-masing individu,
4) Adanya perbedaan kebiasaan dan polal hidup keseharian. Misalnya, siswa dari sekolah
yang berada di daerah pedalaman akan melihat dan memberi arti yang sangat berbeda
dengan siswa dari perkotaan terhadap sebuah laptop dan proyektor sebagai media dalam
pembelajaran.
 Proses pengamatan yang terjadi dalam keseharian secara umum mengikuti hukum-hukum
gestalt, yang menyatakan bahwa keseluruhan lebih daripada sekedar penjumlahan bagian-
bagiannya, namun ada hubungan dan arti yang lebih luas dari totalitas tersebut.
 Menurut Fudyartanto dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007:93-95), terdapat beberapa hukum-
hukum gestalt yang berhubungan dengan pengamatan, antara lain hukum pragnaz, hukum
kesamaan( similarity), hukum kedekatan (proximity), hukum ketertutupan (closure), hukum gerak
Bersama (common fate), dan hukum kesinambungan (continuity).
1) Hukum pragnaz. Menurut Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007:93), hukum pragnaz menyatakan
bahwa cara memandang individu selalu cenderung bergerak ke arah yang penuh arti (pragnaz).
Menurut hukum ini, individu akan selalu cenderung memberi arti pada objek yang diamati dengan
memberi kesa-kesan sedemikian rupa terhadap objek tersebut.
2) Hukum kedekatan (the law of proximity). Objek pengamatan berdekatan akan memiliki kecenderungan
untuk diamati dan diartikan sebagai satu kesatuan (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007:94).
3) Hukum kesamaan (the law of similarity). Objek-objek yang cirinya Sebagian besar memiliki kesamaan
akan cenderung diamati sebagai sebuah totalitas (satu kesatuan yang utuh).
4) Hukum bentuk-bentuk tertutup (the law of closure). Objek persepsi yang sudah kita kenali bentuk
dasarnya, suatu Ketika kita melihatnya meskipun tidak sempurna, namun akan cenderung dilihat
sebagai satu kesatuan objek yang sempurna sebagaimana bentuk dasarnya (Baharuddin dan Nur
Wahyuni, 2007:94).
5) Hukum gerak Bersama (common fate). Unsur-unsur dari objek persepsi yang bergerak dengan arah dan
cara yang sama akan cenderung diliat sebagai satu kesatuan yang utuh.
2. Implikasi Pengindraan dan Persepsi dalam Proses Pembelajaran
Perbedaan interpretasi atau penerjemahan pengamatan sebagai hasil persepsi muncul salah satunya
dipengaruhi oleh perbedaan sudut pandang ruang, waktu, dan arti. Oleh sebab itu, sudah selayaknya
menjadi perhatian guru dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Proses penyamaan persepsi dalam proses pembelajaran perlu dilakukan guru sebagai berikut :
1) Ketika guru akan menjelaskan sebuah materi pelajaran, disampaikan juga tujuan-tujuan dari
mempelajari materi tersebut.
2) Apabila menjelaskan secara lisan, gunakan suara yang keras dan jelas agar terdengar oleh seluruh
siswa, dan pastikan terdengar oleh siswa yang duduk paling belakang.
3) Ketika menggunakan alat peraga, siswa hendaknya diberikan waktu untuk mengenali lebih dekat alat
peraga serta mengenalinya secara keseluruhan dari berbagai sudut pandang.
4) Selalu adakan proses diskusi atau tanya jawab selama proses pembelajaran untuk membentuk
kesamaan persepsi.
5) Pastikan guru mampu menguasai kelas dalam bentuk kemampuan melakukan gerak dan perpindahan
tempat dengan baik sehingga tidak sekedar duduk saja atau bahkan berdiri saja. Hal ini disebabkan
rangsangan dari stimulus yang bergerak lebih menarik perhatian daripada stimulus yang diam.
C. Ingatan atau Memori dan Aplikasinya dalam Pembelajaran

1. Konsep Dasar Ingatan atau Memori


 Memori pada dasarnya merupakan kemampuan individu dalam menyimpan suatu informasi
atau pengetahuan dan mengeluarkannya kembali pada saat dibutuhkan.
 Memori atau ingatan merupakan aktivitas yang dilakukan individu dalam bentuk
kecakapan-kecakapan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi Kembali kesan-
kesan atau pengetahuan sebagai hasil belajar dan pengalaman (Suryabrata,2011:44).
 Menurut Atkinson dkk, dalam Sugihartono dkk. (2007:10), secara umum para ahli
memandang bahwa memori bekerja dalam tiga tahapan atau proses, yaitu memasukkan
pesan dalam ingatan ,menyimpan pesan yang sudah masuk dalam ingatan atau storage, dan
memunculkan Kembali Informasi tersebut atau retrieval.
a. Proses encoding; merupakan tahap awal memori melalui aktivitas pengkodean, yaitu mengubah sifat-sifat
informasi hasil pengamatan ke dalam bentuk yang sesuai dengan perangkat memori individu. Proses
memasukkan informasi juga sering disebut dengan istilah encoding, learning, dan mencamkan.
b. Proses storage; Storage atau retensi pada dasarnya merupakan proses mengendapkan atau penyimpanan
sebuah informasi atau pengetahuan dalam suatu tempat tertentu sesuai dengan kategori-kategori tertentu di
dalam otak. Proses storage, lama tidaknya/interval tersimpan, berhubungan erat dengan tingkat terensi atau
kuat lemahnya memori tersebut dimunculkan Kembali. Interval dalam storage terdiri atas lama interval dan
isi interval. Lama interval berhubungan dengan lama waktu yang dibutuhkan antara waktu penyimpanan
dengan waktu pengeluaran. Semakin lama interval, akan semakin lemah untuk dimunculkan sehingga
semakin mudah lupa dan susah untuk dimunculkan Kembali. Isi interval berkaitan dengan selama tenggang
waktu interval sebuah memori tentang sesuatu apakah ada aktivitas-aktivitas storage lain yang kemungkinan
akan mengacaukan memori sebelumnya. Oleh sebab itu, semakin banyak isi interval baru yang masuk, akan
semakin susah dan lemah memori yang tersimpan untuk diingat.
c. Proses retrieval; merupakan proses memunculkan atau memanggil Kembali informasi atau memori yang
telah tersimpan dalam otak pada saat dibutuhkan. Proses retrieval dibedakan menjadi recall dan recognize.
Recognize merupakan usaha memunculkan Kembali sebuah informasi yang tersimpan dalam otak dengan
menggunakan bantuan stimulus atau informasi yang telah tersedia. Recall merupakan usaha memunculkan
Kembali informasi yang tersimpan dalam otak tanpa menggunakan bantuan stimulus tertentu. Pemanfaatan
dan aplikasi sistem recognize misalnya bentuk-bentuk ujian dengan tipe pilihan ganda, sedangkan recall
menggunakan tpe-tipe soal essay.
 Proses terciptanya sebuah memori tidak lepas dari proses-proses pengamatan yang mendahuluinya,
yang pastinya berbeda pada masing-masing individu. Oleh sebab itu, terdapat beberapa hal yang
berkaitan dengan memori atau ingatan sebagai berikut.
1) Memori tergantung pada pengamatan dan persepsi.
2) Memori pada setiap individu berbeda-beda.
3) Proses pengamatan ada yang tidak tersimpan dibagian otak tertentu sehingga kadang mudah
terlupakan.
4) Dalam aktivitas mengingat atau memori selain bisa ingat, juga bisa terjadi lupa.
 Menurut Wasty Soemanto (2006:28), proses mengingat pada individu secara umum akan lebih kuat
apabila :
1) Kesan-kesan atau pengetahuan yang disimpan dibantu dengan penyuaraan, misalnya dibacakan
dengan suara yang minimal terdengar oleh diri sendiri Ketika sedang belajar dan menghafal;
2) Memusatkan pikiran atau konsentrasi penuh pada kesan-kesan atau materi pelajaran;
3) Menggunakan Teknik atau cara-cara belajar yang efektif, dan perlu dipahami efektivitas dalam
belajar bersifat relatif artinya cara belajar yang baik bagi seorang siswa belum tentu sesuai dan
cocok bagi siswa lainnya;
4) Menggunakan titian ingatan maupun bentuk-bentuk strategi lain yang dapat mempermudah
proses mengingat;
5) Adanya kejelasan dari struktur materi pelajaran, baik tujuan maupun urutan penyampaiannya.
 Kemampuan rentang waktu informasi bertahan dalam otak berbeda-beda, yaitu memori jangka pendek
(short term memory) dan memori jangka Panjang (long term memory).
 Memori jangka pendek disebut juga immediate memory merupakan jenis memori yang bekerja sangat
singkat dan hanya bertahan sesaat. Memori ini dikatakan memori jangka pendek disebabkan selain
rentang waktu tersimpannya yang sangat singkat, juga karena proses mengingat yang cenderung
dipaksakan dan disegerakan, dan juga setelah menghafalnya informasi/pengetahuan tersebut cenderung
dilupakan karena diaggap sudah tidak berguna lagi.
 Memori jangka Panjang memiliki kemampuan menyimpan sebuah informasi atau pengetahuan dalam
jangka waktu yang sangat lama dan cenderung menetap dalam otak. Kemampuan memori jangka
Panjang dalam menyimpan sebuah pengetahuan dalam jangka waktu yang sangat lama bahkan
cenderung menetap dan tidak akan hilang. Kemampuan memori jangka Panjang sangat tergantung
pada proses penyimpanannya, artinya bagaimana sebuah informasi disimpan dan dengan cara
bagaimana memori tersebut disimpan.
 Memori yang mampu menyimpan sebuah informasi dalam rentang waktu yang tidak terlalu singkat
dan tidak terlalu lama pula atau cenderung dalam waktu yang sedang-sedang saja, disebut memori
kerja (working memory). Memori kerja berguna dalam proses pemecahan-pemecahan permasalahan,
artinya memori jenis ini bekerja sebagai tempat bertemunya informasi-informasi jangka Panjang dan
jangka pendek untuk memecahkan sebuah permasalahan yang sedang dialami, baik dalam bentuk
mengerjakan soal-soal maupun mencari solusi atas permasalahan-permasalahan lain.
2. Konsep Dasar Terjadinya Lupa
 Lupa pada dasarnya merupakan ketidak mampuan seseorang individu untuk memunculkan atau
memanggil Kembali informasi atau pengetahuan yang pernah dimilikinya pada saat yang dibutuhkan
dengan cepat.
 Menurut Winkel (2009: 509-510), penyebab lupa dapat dikelompokkan menjadi tiga sebagai berikut.
1. Lupa terjadi karena bekas-bekas ingatan yang tidak digunakan, lama-kelamaan terhapus dan dengan
berlangsungnya waktu terjadi proses penghapusan yang mengakibatkan suatu bekas ingatan menjadi
kabur dan lama-kelamaan hilang sendiri. Konsep terjadinya lupa ini lebih dikenal dengan decay
theory.
2. Lupa terjadi karena adanya gangguan dari informasi yang baru masuk ke dalam ingatan terhadap
informasi lama yang telah tersimpan di situ, seolah-olah informasi yang lama digeser dan kemudian
menjadi sukar diingat. Konsep ini dikenal dengan teori interferensi.
3. Lupa terjadi karena adanya motif tertentu sehingga orang-orang sedikit banyak berusaha melupakan
sesuatu. Konsep ini lebih dikenal dengan teori motivated forgetting yang menjelaskan bahwa individu
akan cenderung untuk berusaha melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan.
 Teori lain yang mengungkapkan tentang proses terjadinya kelupaan;
 Teori retrieval failure memiliki pandangan sama dengan teori interferensi. Namun demikian, lupa
semata-mata terjadi karena tidak adanya stimulus yang tepat untuk memunculkan memori tersebut.
 Lupa karena sebab-sebab fisiologis lebih disebabkan adanya perubahan kondisi fisik otak karena
beberapa faktor sehingga terjadi kerusakan pada memori yang menyebabkan terjadinya kelupaan.
 Menurut Winkel (2009:511-514), ada beberapa Langkah untuk mengurangi lupa yang disesuaikan
dengan fase dan proses dalam belajar itu;
1) Menumbuhkan motivasi yang kuat pada siswa, terutama motivasi intrinsik dan kesadaran akan tujuan
yang harus dicapai siswa serta mendorong siswa untuk melibatkan diri.
2) Pada fase konsentrasi, siswa harus memberikan perhatian khusus pada unsur-unsur yang relevan.
3) Pada fase pengolahan, siswa perlu mengolah materi dengan baik dan segera.
4) Pada fase menggali dan fase prestasi, siswa harus menggunakan kunci yang tepat/cocok untuk
membuka ingatannya.
5) Pada fase setelah proses belajar mengajar, siswa dituntut untuk banyak mengulang-ulang informasi
yang baru saja diterimanya.
3. Implikasi Adanya Memori dalam Proses Pembelajaran.
 Menurut Wasty Soemanto (2006:31), Pendidik seharusnya mengetahui dan mengamalkan proses
pembelajaran yang memerhatikan perbedaan individu termasuk masalah ingatan. Menurutnya, hal ini
disebabkan ingatan pada masing-masing individu unik dan berbeda-beda sehingga guru diharapkan
mampu menerapkan metode pembelajaran yang tepat dan pengkondisian tempat dan waktu belajar yang
tepat bagi siswa secara umum.
 Pelaksanaan proses pembelajaran yang memperhatikan kemampuan memori siswa dan kemungkinan
terjadinya lupa, dapat diantisipasi dengan kegiatan-kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a. Menggunakan strategi-strategi mengingat dalam proses pembelajaran dengan menggunakan jembatan
keledai dan sebagainya.
b. Tidak membebani individu untuk mengingat materi yang Panjang dalam waktu yang singkat dan segera.
Hal ini tidak lepas dari kemampuan memori jangka pendek individu.
c. Melakukan proses pengulangan-pengulangan materi pelajaran, terutama poin-poin penting sebuah
materi pelajaran.
d. Menghubung-hubungkan materi dan aktivitas belajar dengan kondisi keseharian yang nyata-nyata ada
dan sering dijumpai siswa di sekitar lingkungannya. Hal ini tidak lepas dari kemampuan memori jangka
Panjang dan memori kerja.
e. Memberikan korelasi materi pelajaran dengan pengalaman siswa dalam memori jangka Panjang dan
kebermanfaatannya bagi individu siswa dalam jangka pendek maupun jangka Panjang.
f. Mengikutkan dan memunculkan emosi siswa (senang, ceria, semangat, dan sebagainya) selama proses
D. Berpikir dan Aplikasinya dalam Pembelajaran
 Berfikir bagi siswa pada hakikatnya merupakan kemampuan siswa untuk menyeleksi dan menganalisis
bahkan mengkritik pengetahuan yang ia peroleh.
1. Konsep dasar berpikir
 Menurut Solso dalam Sugihartono dkk, (2007:13) berfikir Merupakan proses yang menghasilkan
representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi yang
kompleks antara berbagai proses mental, seperti penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi,, dan
pemecahan masalah.
 Menurut Wasty Soemanto (2006:31-32), pada dasarnya aktivitas atau kegiatan berpikir merupakan
sebuah proses yang kompleks dan dinamis. Proses dinamis dalam berpikir mencakup tiga tahapan,
yaitu proses pembentukan pengertian, proses pembentukan pendapat, dan proses pembentukan
keputusan.
2. Macam-macam berpikir
 Sugihartono dkk, (2007:13), menjelaskan bahwa ada dua jenis cara berfikir pada individu, yaitu
berfikir otak kanan dan otak kiri.
 Crow & Crow dalam Sri Rumini, (2006; 8-10), menyebutkan ada dua jenis berfikir pada individu,
yaitu berfikir reflektif dan berfikir kreatif.
a. Berpikir Otak Kanan dan Otak Kiri
 Otak manusia terbagi menjadi dua bagian atau yang disebut sebagai hemisfer, yaitu hemisfer kanan atau otak
belahan kanan dan hemisfer kiri atau otak belahan kiri.
 Karakteristik khas dan sistem kerja otak kiri secara umum adalah melakukan proses berfikir secara runtun
atau berurutan, mencoba memahami sesuatu dari detail ke global, membimbing untuk membaca berdasarkan
fonetik yang berupa kata-kata, simbol, dan huruf, fokus kerjanya adalah pada internal individu atau
pengetahuan yang telah dimiliki dan informasinya bersifat faktual.
 Otak kanan bekerja secara acak, memahami sesuatu dari global kedetail, membaca dengan cara menyeluruh,
lebih focus pada bentuk gambar dam grafik, proses belajar diawali dengan melihat dahulu atau mengalami
yang kemudian terjadi proses belajar secara alamiah dan spontan yang lebih fokus pada eksternal.
 Deporter dalam Sugihartono dkk, (2007:14), menjelaskan bahwa karakteristik berfikir otak kiri bersifat logis,
sekuensial, linear, dan rasional. Cara berfikirnya sesuai dengan tugas-tugas teratur, ekspresi verbal, menulis,
membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik dan simbolisme. Sementara
karakteristik otak kanan lebih bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistic. Otak kanan banyak terlibat
dalam perasaan, emosi, kesadaran perasaan, kesadaran ruang atau spasial, bentuk, pola, musik, seni,
kepekaan warna, kreativitas, dan visualisasi.
 Masing-masing bagian otak memiliki peran dan fungsi yang berbeda dalam proses belajar. Menurut
DePorter dalam Sugihartono dkk. (2007:14), dalam proses kerjanya, stimulasi pada otak kiri atau kanan saja
kurang sempurna tanpa rangsangan pada bagian lainnya. Hal ini berdampak pada proses pembelajaran tidak
akan dapat berjalan secara maksimal dan prestasi belajar siswa juga tidak akan maksimal apabila proses
pembelajaran hanya mengaktifkan satu belahan otak saja.
b. Berpikir Reflektif dan Berpikir Kreatif
c. Berpikir reflektif; proses berpikir reflektif tidak tergantung pada pengetahuan siswa semata, tetapi
proses bagaimana memanfaatkan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk memecahkan masalah
yang dihadapi. Pada dasarnya berfikir reflektif merupakan sebuah kemampuan siswa dalam
menyeleksi pengetahuan yang telah dimiliki dan tersimpan dalam memorinya untuk
menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi untuk mencapai tujuan-tujuannya. Menurut John
Dewey dalam Sri Rumini dkk. (2006:9), proses berpikir reflektif yang dilakukan oleh individu
akan mengikuti Langkah-Langkah sebagai berikut :
a) Individu merasakan adanya problem.
b) Individu melokalisasi dan membatasi pemahaman terhadap masalahnya.
c) Individu menemukan hubungan-hubungan masalahnya dan merumuskan hipotesis pemecahan
atas dasar pengetahuan yang telah dimilikinya.
d) Individu mengevaluasi hipotesis yang ditentukan, apakah akan menerima atau menolaknya.
e) Individu menerapkan cara pemecahan masalah yang sudah ditentukan dan dipilih, kemudian
hasilnya apakah ia akan menerima atau menolak hasil kesimpulannya.
b. Berpikir Kreatif
 Menurut Chandra dalam Sugihartono dkk. (2007:14), istilah kreativitas merujuk pada sebuah bentuk
kemampuan mental yang khas pada seseorang untuk melahirkan dan pengungkapan sesuatu yang
unik, berbeda dari hal-hal pada umumnya, orisinal, indah, baru, efisien, tepat sasaran, dan tepat guna.
 Menurut Sri Rumini dkk. (2006:10), ciri khusus dari proses berfikir kreatif adalah hasil atau produk
berfikir yang orisinal dan prosedur berfikir yang dilakukan dengan cara-cara yang baru yang tidak
dapat dikira-kira sebelumnya. Tahap-tahap dalam berfikir kreatif sebagai berikut :
a) Tahapan persiapan, yaitu Ketika bahan-bahan atau pengetahuan dikumpulkan dan disusun terus-
menerus dalam memori individu. Misalnya siswa memahami prinsip pemanfaatan udara pada
kapal selam, mengapa bola pingpong dapat mengambang, mengapa kapal tanker bisa tenggelam,
dan sebagainya.
b) Tahap inkubasi, yaitu Ketika atas dasar bahan-bahan yang terkumpul lama kemudian
memunculkan aspek-aspek pernyataan yang berbeda dan kreatif, tetapi masih sama-samar.
Misalnya bagaimana mengangkat sebuah kapal tengker yang tenggelam menggunakan alat
sederhana atau memanfaatkan prinsip keseimbangan komposisi udara dan air dalam kapal selam.
c) Tahap insight pemahaman, yaitu Ketika pemahaman dan penemuan hal yang berbeda dan terjadi
sangat tiba-tiba misalnya, mengapa tidak mengangkat sebuah kapal tanker yang tenggelam dengan
mengisi ruang kapal menggunakan bola pimpong sebanyak-banyaknya.
3. Implikasi adanya proses berfikir siswa dalam Pembelajaran
 Berpikir membantu siswa untuk menghadapi persoalan atau masalah dalam proses pembelajaran, ujian,
dan kegiatan Pendidikan lain seperti eksperimen, observasi, dan praktik lapangan lainnya.
 Proses berpikir pada siswa dalam proses belajar mengajar bertujuan untuk membangun dan membentuk
kebiasaan siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan baik, benar, efektif, dan
efisien.
 Tujuan akhir berpikir berharap siswa akan menggunakan keterampilan-keterampilan berfikirnya untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata di masyarakat.
 Menurut Wasty Soemanto (2006:33-34), terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan guru untuk
mengembangkan kemampuan berpikir siswa :
a. Guru membantu mengembangkan kemampuan dan keterampilan berbahasa siswa sebagai dasar berpikir.
b. Proses pembelajaran yang dilakukan bukan memberikan pengetahuan sebanyak-banyaknya pada siswa,
melainkan membimbing pikiran dan struktur kognitif siswa dalam memahami sesuatu dengan
memberikan sejumlah pengertian atau konsep dasar yang fungsional tentang sebuah pengetahuan baru
dengan tujuan memicu perkembangan keterampilan berpikir siswa.
c. Proses pembelajaran dilakukan dengan cara guru memberikan pengertian-pengertian kunci atau konsep
dasarnya agar siswa dapat berpikir cepat dan tepat serta mengembangkan kemampuan logikanya.
 Eric Jensen (2008:483-484), menyebutkan beberapa hal yang penting, yang perlu diperhatikan oleh seorang
guru dalam mengaplikasikan pembelajaran berbasis otak (braind-based learning) :
1) Berikan siswa pra-pembelajaran dengan memunculkan memori yang memiliki latar belakang hampir sama
dengan materi baru yang akan disampaikan agar semakin banyak koneksi di dalam otak yang terbentuk.
2) Pahami latar belakang pengetahuan siswa dalam hubungannya dengan materi baru dan sesuaikan rencana
pembelajaran serta proses pembelajaran dengan tingkat pengalaman, kondisi, dan gaya belajar siswa.
3) Ciptakan lingkungan kelas yang mendukung, menantang siswa untuk berpikir, kompleks, tanpa ancaman
serta proses eksplorasi dan tanya jawab yang mungkin berkembang.
4) Berikan pengalaman-pengalaman belajar pada siswa dengan cara menghubungkannya atau menggali dari
sesuatu yang merefleksikan kehidupan nyata yang ada di sekitar siswa.
5) Bantu siswa menyimpan informasi dengan teknik-Teknik penyimpan informasi, adanya waktu dan kegiatan
istirahat, melakukan kegiatan asosiasi kehidupan nyata, serta adanya pengulangan-pengulangan dari waktu
kewaktu.
C. Inteligensia atau Kecerdasan dan Aplikasinya dalam pembelajaran
1. Konsep Dasar Inteligensia atau kecerdasan
a. Inteligensia sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri
Menurut Wechler dalam Sugihartono ddk. (2007:16), inteligensia merupakan kumpulan kemampuan
seseorang untuk secara totalitas bertindak sesuai dengan tujuan, berpikir secara rasional, dan kemampuan
untuk menghadapi situasi lingkungan secara efektif.
b. Inteligensia sebagai kemampuan untuk belajar
Inteligensia merupakan kemampuan untuk belajar (Freeman dalam Sugihartono dkk., 2007:16). Pendapat
tersebut mewakili kelompok ini yang lebih memandang inteligensia pada individu sebagai sebuah
kemampuan seseorang untuk belajar. Oleh sebab itu, semakin tinggi tingkat inteligensia yang dimiliki
seseorang, orang tersebut akan semakin mudah untuk dilatih, untuk belajar dari lingkungan dan
pengalaman.
c. Inteligensia sebagai kemampuan untuk berpikir abstrak
Menurut Mehrens dalam Sugihartono dkk. (2007:16), inteligensia merupakan sebuah kemampuan untuk
berpikir secara abstrak. Hal-hal abstrak yang dipikirkan berupa ide-ide, simbol-simbol verbal, numerikal,
dan matematika.
 Hasil tes inteligensia pada dasarnya memang menunjukkan kemampuan seseorang secara umum, bukan
menunjukkan kemampuan individu pada bidang-bidang khusus atau kemampuan khusus yang dikuasai.
 Kemampuan umum sering dikenal dengan general factor yang selanjutnya disebut Intelligence Quetient
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Inteligensia
 Inteligensia atau kecerdasan merupakan salah satu bentuk gejala psikologis pada siswa seperti juga
pengindraan dan memori yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Sri
Rumini dkk. (2006:10-11), terdapat dua faktor yang mempengaruhi Inteligensia siswa yaitu :
a. Faktor bawaan; faktor ini meyakini sebuah pemahaman bahwa kemampuan inteligensia individu
siswa merupakan sebuah warisan atau bawaan dari orang tua.
b. Faktor lingkungan; factor lingkungan sebagai factor yang mempengaruhi inteligensia seseorang
dilihat sebagai kondisi sekitar individu siswa dan dari luar siswa yang menunjang perkembangan
inteligensia individu tersebut. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan inteligensia
siswa antara lain faktor gizi serta rangsangan emosional yang diterimanya.
3. Macam- macam Bentuk Inteligensia
 Perkembangan pembahasan dan pengukuran pada inteligensia berdampak pada munculnya Gardner
yang membawa teori multiple intelligence. Multi intelligence memandang bahwa banyak cara untuk
menjadi cerdas disebabkan setiap orang memiliki dan mengembangkan berbagai macam cara untuk
bertahan dan mengembangkan hidup. Inteligensia menurut Gardner dalam Sugihartono dkk. (2007:18)
merupakan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan menciptakan produk yang berharga dalam
lingkungan budaya dan masyarakat.
 Gardner mengemukakan bahwa setidaknya terdapat delapan bentuk inteligensia, antara lain :
1) Inteligensia linguistic; kecerdasan berbahasa
2) Inteligensia matematik-logik; kemampuan seseorang dalam menghitung, mengukur, dan menyelesaikan
hal-hal yang bersifat matematis
3) Inteligensia spasial; Kecerdasan Bayang Ruang
4) Inteligensia kinestetik-jasmani; kecerdasan dimana saat menggunakannya seseorang mampu atau
terampil menggunakan anggota tubuhnya untuk melakukan gerakan seperti berlari, menari,
membangun sesuatu, melakukan kegiatan seni, dan hasta karya.
5) Inteligensia musikal; kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati bentuk
dan suara musik, kepekaan terhadap ritme, melodi dan intonasi serta kemampuan memainkan musik
instrumen.
6) Inteligensia interpersonal; kemampuan dalam berkomunikasi, peka terhadap emosi orang lain, mudah
menyesuaikan diri dengan orang lain, memiliki empati yang tinggi, dan suka menolong orang lain.
7) Inteligensia intrapersonal; mampu memahami emosi diri sendiri, mengetahui kekuatan, kelemahan, dan
memotivasi diri.
8) Inteligensia naturalistik; kemampuan seseorang dalam mengenali dan mengkategorikan berbagai jenis
flora dan fauna yang ada disekitarnya
4. Peran Inteligensia dalam Belajar
 Hasil penelitian Heller, Monk, dan Passow dalam Sugihartono dkk. (2007:18) menunjukkan bahwa
individu dengan kecerdasan tinggi belum tentu sukses. Di California, siswa dengan IQ tinggi yang
diteliti dari tahun 1920 sampai sekarang di antaranya ada yang menjadi senator, bintang terkenal,
sutradara, novelis, dan sebagainya. Namun ada juga yang menjadi pembersih kantor, tukang sapu jalan,
dan pekerja kasar lainnya.
 Di Indonesia penelitian tentang inteligensia dilakukan Harjito dkk, dalam Sugihartono dkk, (2007:19),
menjelaskan bahwa tidak selamanya siswa yang memiliki prestasi rendah dan memiliki kesukaran
belajar berasal dari siswa dengan IQ rendah. Hal ini disebabkan ada beberapa siswa dengan IQ di atas
rata-rata memiliki prestasi belajar rendah dan memiliki permasalahan belajar.
 Beberapa jenis penelitian lain juga dilakukan untuk mengorelasikan inteligensia dengan prestasi belajar
secara umum menunjukkan bahwa memang ada korelasi atau hubungan yang positif antara inteligensia
dengan prestasi belajar siswa.
 Menurut Daniel Goleman dalam Sugihartono dkk. (2007:20), peran serta IQ dalam menentukan
kesuksesan seseorang tidak lebih dari 20% sedangkan sisanya 80% ditentukan oleh faktor-faktor lain,
yang meliputi ketekunan, kedisiplinan, kemandirian dalam belajar, motivasi dan sebagainya.
 Hasil penelitian Stenberg; bahwa sekitar 4% dari keberhasilan hidup di dunia nyata dipengaruhi IQ dan
90% lainnya dipengaruhi dan berhubungan dengan kecerdasan-kecerdasan lain.
5. Implikasi inteligensia dalam Pembelajaran
 Pemahaman guru terhadap tingkat inteligensia atau kecerdasan individu sangat diperlukan untuk
menunjang keberhasilan proses pembelajaran.
 Hasil penelitian yang dikutip oleh Sri Rumini dkk. (2006:61), tentang kecerdasan menjelaskan bahwa
diperkirakan 25% hasil belajar individu dipengaruhi oleh kecerdasan. Atas dasar itu temuan tersebut,
agar prestasi belajar siswa dengan tingkat inteligensia menjadi lebih baik, proses pembelajaran harus
disesuaikan dengan kondisinya terutama kondisi dan tingkat kecerdasan individu. Misalnya
penyampaian kalimat-kalimat dalam buku disederhanakan, siswa melihat bendanya sebagai media
pembelajaran secara konkret, demonstrasi yang dilakukan harus jelas dan mendekati kenyataan, materi
pelajaran harus diulang-ulang, serta bimbingan belajar harus dilakukan secara intensif. Namun
demikian, metode pembelajaran seperti ini akan sangat membosankan bagi siswa dengan tingkat
kecerdasan di atas 120.
F. Motivasi dan Emosi serta Aplikasinya dalam Pembelajaran
1. Konsep Dasar Emosi dan Motivasi
 Emosi dan motivasi merupakan keadaan atau gejala psikologis pada seorang individu. Adanya emosi
menyebabkan seseorang merasakan senang, sedih, cemburu, cinta, aman, takut, semangat, dan
sebagainya. Sementara motivasi menyebabkan seseorang melakukan sesuatu dan bertahan dalam
melakukannya.
 Menurut Sri Rumini dkk. (2006:11-12), motivasi merupakan keadaan atau kondisi pribadi pada siswa
yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu dengan tujuan untuk mencapai apa
yang menjadi tujuan siswa yang bersangkutan.
 Konsep dasar dari pengertian motivasi yang juga penting adalah memberikan ketahanan untuk tetap
berjalan pada tujuan yang akan dicapai sampai benar-benar dapat tercapai.
 Menurut MC Donald dalam Oemar Hamalik (2003:158),”motivation is an energy change within the
person characterized by affective arousal and anticipatory goal reaction” diterjemahkan secara bebas
berarti motivasi merupakan sebuah bentuk perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang
ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan.
2. Macam-Macam Motivasi
Menurut Sri Rumini dkk. (2006:12), motivasi dapat dibedakan berdasarkan bagaimana motivasi tersebut
muncul, sumber, dan isi motivasi tersebut.
a. Motivasi berdasarkan kemunculannya/terbentuknya ; dibedakan menjadi motivasi bawaan dan motivasi
yang dipelajari (Rumini dkk.,2006:12).
 Motivasi bawaan, merupakan jenis motivasi yang memang ada dan dibawa oleh individu sejak lahir
tanpa dipelajari, misalnya motivasi dalam bentuk dorongan untuk mencari makan, tidur, dan
sebagainya.
 Motivasi yang dipelajari, merupakan motivasi yang timbul karena dipelajari dari lingkungannya,
misalnya motivasi dalam bentuk dorongan untuk berteman, dorongan untuk menabung untuk membeli
sesuatu, dan sebagainya.
 Motivasi bawaan merupakan sebuah insting yang secara alamiah akan dilakukan oleh seorang individu,
sedangkan motivasi yang dipelajari merupakan motivasi yang muncul sebagai bentuk meniru dari
kondisi dan tuntutan lingkungannya.
b. Motivasi berdasarkan sumbernya; dibedakan menjadi motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik (Rumini
dkk.,2006:12)
 Motivasi ekstrinsik merupakan motivasi yang terjadi karena adanya pengaruh dari luar siswa, misalnya
belajar berenang karena tuntutan harus bida berenang, main game online karena pengaruh pergaulan
agar tidak ketinggalan jaman dan sebagainya..
 Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang terjadi dan muncul dari dalam diri siswa itu sendiri,
misalnya berenang karena memang tertarik dan membutuhkannya.
 Hasil penelitian yang dilakukan Vallerand dan Reid dalam Ricard M. Ryan & Edward L. Deci (2009:174),
menunjukkan bahwa meningkatnya motivasi intrinsik pada seorang siswa berbanding lurus dengan
pemberian umpan balik dari lingkungan. Artinya umpan balik yang positif dari lingkungan seperti
penghargaan, pujian, motivasi, dan sebagainya tanpa ada cemoohan dan hukuman dalam proses belajar
pembelajaran akan menumbuhkan motivasi siswa, begitu juga sebaliknya.
c. Motivasi berdasarkan Isinya
 Menurut Dri Rumini dkk. (2006:12), motivasi berdasarkan isinya dibedakan menjadi motivasi jasmaniah
dan motivasi ruhaniah.
 Motivasi jasmaniah terdiri dari refleks, insting, nafsu, dan Hasrat terhadap hal-hal yang bersifat jasmani
seperti insting untuk mencari makan, istirahat, menjauhi ancaman, dan sebagainya yang memang dimiliki
manusia.
 Motivasi ruhaniah, misalnya adalah kemauan. Kemauan atau kehendak hanya dimiliki oleh manusia
sehingga berhasil tidaknya siswa mencapai tujuan tergantung pada kuat tidaknya tingkat kemauannya
untuk berhasil mencapai tujuan.
 Menurut Biggs & Telfer dalam Sugihartono dkk. (2007:78), pada dasarnya setiap siswa bahkan setiap
manusia memiliki lebih dari satu jenis motivasi dalam belajar dan dalam hidupnya. Oleh sebab itu, kadang
akan dijumpai siswa yang melakukan proses belajar dan aktivitas lainnya karena didasari oleh dua alasan
atau lebih, seperti mencari ilmu dan mencari peluang kerja agar hidupnya lebih baik yang menjadi
pendorong dan memberinya energi untuk terus bertahan dalam usahanya mencapai tujuan-tujuan tersebut.
3. Peran Emosi dan Motivasi dalam Proses Belajar
 Menurut Goleman dalam Sugihartono dkk. (2007:21), tanpa adanya keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak
akan bekerja tidak optimal dan juga tidak maksimal dalam merekatkan pengetahuan dalam ingatan
sehingga hasil belajar tidak dapat dicapai dengan maksimal.
 Menurut Reinhard Pekrun, (2009:575), keberadaan emosi seseorang secara fungsional memiliki nilai
penting dan berkorelasi dengan motivasi siswa, kemampuan kognitif, serta perkembangan kepribadiannya.
 Kondisi emosi yang baik dan positif pada siswa akan menunjang keberhasilan siswa dalam belajar dan
mencapai tujuan-tujuannya. Sementara emosi yang tidak sesuai atau bersifat negatif pada siswa justru
berdampak pada kegagalan dalam belajar sampai putus sekolah bahkan drop out.
4. Implikasi Adanya Emosi dan Motivasi dalam pembelajaran
 Motivasi yang dimiliki siswa memberikan energi dan semangat bagi siswa untuk mempelajari sesuatu.
 Guru diharapkan mampu memberikan motivasi dan menumbuhkan motivasi siswa dalam belajar selama
proses pembelajaran berlangsung.
 Keterlibatan emosi siswa da lam proses belajar mengajar juga perlu diperhatikan. Hal ini disebabkan,
emosi yang positif akan memicu sikap-sikap dan perilaku positif yang mempermudah dan memperlancar
proses penyerapan informasi di otak. misalnya, siswa yang mengalami permasalahan dengan guru sebuah
bidang studi dan merasa jengkel, tidak suka, takut, dan sebagainya akan mengganggu siswa dalam belajar.
 Menurut Eric Jensen (2008:417-421), motivasi dalam belajar pada siswa dapat ditingkatkan melalui
beberapa kegiatan sebagai berikut.
a. Tanamkan keyakinan positif kepada siswa tentang kemampuan yang dimilikinya sehingga siswa lebih
semangat dalam belajar.
b. Peliharalah lingkungan pembelajaran yang aman secara fisik dan emosional sehingga siswa lebih fokus
dan berkonsentrasi dalam belajar.
c. Tandai kesuksesan dan pencapaian prestasi siswa dengan kegembiraan atau perayaan bahkan penghargaan
dan hadiah sehingga siswa termotivasi untuk mempertahankan dan mengembangkannya.
d. Berikan siswa harapan untuk sukses dalam belajar sehingga terdorong untuk mengikuti proses
pembelajaran dengan sungguh-sungguh.
e. Mengelola kondisi psikologis siswa, artinya guru membangun kondisi pembelajaran yang memunculkan
rasa nyaman, menyenangkan, dan membuat siswa selalu ingin mengikuti proses pembelajaran.
f. Tingkatkan frekuensi pemberian umpan balik pada siswa sebagai bentuk penghargaan atau apresiasi usaha
siswa dalam belajar.
g. Berikan siswa pengalaman dan cerita-cerita tentang kesuksesan dalam belajar, baik yang menggambarkan
kerja keras, kedisiplinan, dan usaha untuk sukses dalam belajar dan berkarier.
h. Libatkan segenap potensi dan inteligensia yang siswa miliki dalam belajar. Artinya, proses pembelajaran
memadukan seluruh potensi siswa sehingga berbagai aspek potensi dapat tereksplorasi.
i. Libatkan emosi siswa secara kuat dalam proses pembelajaran.
j. Dorong serta berikan ikatan sosial yang positif pada siswa, baik secara individual maupun secara klasikal.
BAB III
ASPEK-ASPEK PERBEDAAN SISWA
DALAM BELAJAR
A. Pendahuluan
 Setiap individu terlahir berbeda satu sama lain. Perbedaan masing-masing individu terwujud dalam bentuk
perbedaan fisik, sifat, perilaku, kebiasaan-kebiasaan, dan lain sebagainya.
 Perbedaan-perbedaan tersebut berdampak terhadap proses pembelajaran di kelas yang mereka ikuti misalnya,
ada siswa yang dengan mudah mengikuti dan memahami materi pelajaran dan ada juga yang mengalami
kesulitan.
 Sebagai tenaga pendidik, guru diharapkan mempu mengerti dan memahami bentuk-bentuk perbedaan yang
dimiliki siswa.
B. Konsep Dasar Perbedaan Individu
 Masing-masing individu memiliki perbedaan, seperti alat indra masing-masing individu tidak sama bentuk dan
ukurannya, tangan dan kakinya, rambut, dan sebagainya . Juga terkait kecerdasan kemampuan otak, perasaan,
serta keterampilan masing-masing individu berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebutlah yang kemudian
diterjemahkan sebagai perbedaan individu (individual differences).
 Menurut Suryosubroto (2002:84), ketidakmampuan guru melihat dan memerhatikan perbedaan-perbedaan
individu dalam kelas selama proses pembelajaran banyak membawa kegagalan dalam proses pembelajaran.
Hal tersebut berdampak pada proses pembelajaran yang tidak dapat membina dan menghasilkan tenaga
manusia (SDM) yang efektif.
C. Sumber-Sumber Perbedaan Individu
Secara umum faktor-faktor yang memengaruhi dan menyebabkan munculnya perbedaan individu adalah
faktor bawaan dan faktor lingkungan.
1. Faktor bawaan; atau disebut factor keturunan merupakan factor biologis yang diwariskan melalui
mekanisme genetika dari generasi kegenerasi. Menurut Wasty Soemanto (2006:82), faktor bawaan
atau hereditas merupakan proses pewarisan atau pemindahan faktor-faktor biologis sebagai
karakteristik individu dari pihak orang tuanya. Faktor bawaan ditentukan oleh kromosom yang
dibawa dari ibu melalui sel telur/ovum dan dari bapak melalui spermatozoa. Salah satu jenis
kromosomnya adalah kromosom sex sebagai pembawa sifat gen atau turunan yang bertanggung
jawab menentukan karakteristik fisik keturunan apakah laki-laki atau perempuan. Gen inilah yang
membawa ciri bawaan dari orang tua untuk diturunkan pada anaknya. Masing-masing gen membawa
potensi ciri bawaan mental dan fisik yang berbeda.
2. Faktor Lingkungan; menurut Wasty Soemanto (2006:84), faktor lingkungan adalah segala sesuatu
yang berada diluar seorang individu, baik yang bersifat fisiologis, psikologis, maupun sosio-kultural
yang dapat mempengaruhi atau membentuk kepribadian seorang individu.
 Menurut Sukirin dalam Sri Rumini dkk. (2006:43), lingkungan dalam arti luas berupa lingkungan
statis seperti tempat tinggal dan alam, serta lingkungan dinamis, yaitu lingkungan sosial
kemasyarakatan.
a. Lingkungan Alam atau Lingkungan yang Statis
 Lingkungan alam statis berpengaruh pada fisik dan psikologis individu. Misalnya orang yang tinggal
di daerah pegunungan dengan yang tinggal di daerah ngarai atau perkotaan yang cenderung datar.
Perbedaan tersebut akan berdampak pada perbedaan fisik, bentuk tubuh, warna kulit, Kesehatan dan
sebagainya.
 Secara fisik orang pegunungan lebih kuat dan lebih sehat dengan paru-paru yang bersih dibandingkan
orang perkotaan yang cenderung lebih banyak menghirup udara penuh polusi.
 Secara psikologis, perbedaan lingkungan alam pedesaan dan perkotaan akan terlihat dalam pola
pergaulan dan sosialisasi masyarakatnya. Siswa yang hidup diperkotaan cenderung lebih individualis
dibandingkan siswa dari desa. Individu desa lebih memiliki sikap yang ramah, kekeluargaan dan
sebagainya.
b. Lingkungan Sosial atau Lingkungan yang Dinamis
Beberapa kondisi dan faktor yang mempengaruhi munculnya perbedaan individu dalam lingkungan
dinamis yaitu :
1) Status Sosial ekonomi Keluarga; semakin tinggi tingkat Pendidikan orang tua maka cara pendang
dalam mendidik dan aspirasi terhadap Pendidikan bagi anak juga semakin tinggi, individu dari
keluarga militer (TNI atau POLRI) akan kecenderungan mendidik anak dengan disiplin, begitu
juga tingkat penghasilan orang tua yang lebih banyak berdampak pada pemenuhan-pemenuhan
fasilitas dan sarana belajar, pemenuhan Pendidikan tambahan dan pendampingan serta waktu
luang bagi anaknya.
2) Pola Asuh Orangtua dalam Keluarga, terbagi dalam beberapa macam pola ;
 Pola otoriter; menekankan ada pengawasan penuh orang tua terhadap perilaku anak. Pola asuh ini diterapkan
pada umumnya untuk membentuk ketaatan dan kepatuhan anak secara kaku pada orang tua. Orang tua
sangat tegas, dan mengekang sehingga anak menjadi kurang inisiatif dan peragu, selalu takut untuk
melakukan apa pun karena takut berbuat kesalahan.
 Pola permisif; memberikan kebebasan penuh pada anak untuk mengatur dirinya .
 Pola autoritatif/ demokratis; memiliki gabungan ciri-ciri otoriter dan permisif. Pola asuh ini lebih demokratis
karena memerhatikan hak dan kewajiban orang tua dan anak yang saling melengkapi, melatih anak
bertanggung jawab, dan disiplin sesuai dengan kehendaknya dengan pengawasan orang tua.
3) Budaya Masyarakat Setempat; individu yang tinggal di dalam masyarakat yang kebanyakan memiliki hobi
bersepeda, akan menjadi individu yang juga hobi bersepeda, yang tinggal dalam lingkungan alim akan
menjadi alim dan pandai, dan yang hidup dilingkungan “orang-orang jahat” akan ikut menjadi jahat
4) Urutan Kelahiran Siswa dalam Keluarga; posisi anak dalam urutan kelahiran, apakah anak pertama, anak
tengah, atau terakhir bahkan anak tunggal juga membentuk perbedaan pada individu. Menurut Sugihartono
dkk, (2007:32-33), anak sulung cenderung memiliki kepribadian teliti, berambisi, cenderung memiliki
prestasi lebih baik, dan agresif. Anak tengah cenderung memiliki kepribadian yang lebih mudah bergaul,
memiliki rasa setia kawan tinggi serta susah menjalin hubungan dengan siapapun, cenderung belajar mandiri,
kemampuan bersosialisasi yang baik, serta mencari dukungan teman sebayanya. Sementara kepribadian anak
bungsu akan cenderung lebih kreatif, lebih menarik perhatian, dan selalu ingin memperoleh perlakuan yang
sama.
 Anak tunggal atau semata wayang cenderung memiliki kepribadian yang lebih mirip dengan anak
pertama. Namun, memiliki beban yang lebih berat karena dihadapkan dengan harapan-harapan yang
tinggi dari orang tuanya. Anak tunggal menurut Sugihartono dkk. (2007:32), memiliki kepribadian yang
lebih banyak mengharapkan dari orang lain, tidak senang dikritik, kurang flexible, dan bersikap
perfeksionis dalam segala hal.
 Perlu dipahami, perbedaan-perbedaan karakteristik pada anak menurut urutan kelahiran lebih banyak
disebabkan adanya perlakuan yang berbeda dari lingkungannya. Bukan masalah posisi lahirnya,
melainkan lebih pada bagaimana pola asuh dan respons lingkungan terhadap anak tersebut.
 Wasty Soemanto (2006:98-100), menjelaskan secara umum tentang bentuk-bentuk sumbangan faktor
hereditas dan faktor lingkungan terhadap perkembangan individu, baik dalam segi fisik, mental,
Kesehatan mental, emosi, kepribadian, ataupun keyakinan-keyakinan.
a. Pertumbuhan dan Perkembangan Fisik Siswa
 Menurut Wasty Soemanto (2006:98-99), ada sumbanganfaktor hereditas dalam pertumbuhan
dan perkembangan fisik individu, yaitu dalam wujud tinggi badan, bentuk badan, rangka badan, dan
struktur badan. Kondisi-kondisi tersebut pada setiap individu disebabkan oleh potensi-potensi yang
bersifat genetis, sebagai warisan orang tua sehingga sering muncul kesamaan-kesamaan karakteristik
fisik antara anak dengan orang tuanya. Sementara itu, pengaruh faktor lingkungan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan fisik terjadi dalam bentuk usaha pemeliharaan Kesehatan dan
pembentukan fisik, seperti usaha pemeliharaan Kesehatan, pemenuhan gizi dan vitamin dan
sebagainya.
b. Pertumbuhan dan Perkembangan Mental Siswa
 Menurut Wasty Soemanto (2006:99), pertumbuhan perkembangan mental individu karena faktor
hereditas terjadi dalam bentuk ada nya potensi-potensi dan kapasitas mental individu, seperti music,
menyanyi, berpidato, dan sebagainya yang tumbuh dan dimiliki individu secara genetis, sementara
peran faktor lingkungan dalam bentuk pengkondisian lingkungan yang baik sesuai dengan yang
dibutuhkan individu untuk menumbuhkan dan mengembangkan kapasitas potensi mental yang
dimiliki.
c. Perkembangan Kesehatan Mental, Emosi, dan Kepribadian Siswa
 Menurut Wasty Soemanto (2006:99), perkembangan mental, emosi, dan kepribadian sangat dipengaruhi
oleh kondisi sistem saraf, kelenjar dan organ-organ merupakan faktor genetis yang menentukan stabilitas
emosi individu sehingga kapasitas mental, Kesehatan mental, dan emosi lebih banyak dipengaruhi faktor
hereditas. Sementara sumbangan faktor lingkungan terhadap perkembangan mental, emosi, dan
kepribadian terjadi dalam bentuk lingkungan individu baik keluarga, sekolah, teman, atau masyarakat luas.
d. Perkembangan Sikap, Keyakinan, dan Nilai-Nilai yang Dianut
 Menurut Wasty Soemanto (2006:100), sumbangan hereditas dalam membentuk keyakinan, sikap, dan nilai-
nilai terjadi karena pandangan hidup seseorang banyak bergantung pada kapasitas pribadi individu yang
dalam batas-batas tertentu memang diwariskan dari orang tuanya. Sementara sumbangan faktor lingkungan
terjadi karena sikap, keyakinan, dan nilai-nilai kebanyakan berkembang dari kultur atau budaya
masyarakat atau lingkungan tempat individu lahir dan dibesarkan.
D. Macam-Macam Bentuk Perbedaan Individu
 Oemar Hamalik (2003:181-186) menyebutkan terdapat bentuk-bentuk perbedaan individu yang
sering dikaji sehingga perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran antara lain:
a. Kecerdasan (intelligence)
b. Bakat (aptitude)
c. Keadaan jasmaniah (physical fitness)
d. Penyesuaian social dan emosional (social and emotional adjustment)
e. Latar belakang keluarga (home background)
f. Hasil belajar (academic achievement)
g. Siswa yang cepat dan lambat dalam belajar, dan
h. Siswa yang mengalami kesulitan-kesulitan jasmani, berbicara, dan menyesuaikan diri secara sosial.
 Menurut Sugihartono dkk, (2007:34-60) menjelaskan terdapat beberapa jenis perbedaan individu
yang banyak dikaji dalam proses Pendidikan dan pembelajaran, yaitu kemampuan umum dan khusus
atau inteligensia, bentuk kepribadian, gaya belajar, serta jenis kelamin dan gender.
 Jenis kelamin menunjuk pada perbedaan individu dari sudut pandang biologis laki-laki dan
perempuan, sedangkan gender lebih pada aspek psikososial atau peran jenis antara laki-laki dengan
perempuan.
 Hasil penelitian Bem dalam Sugihartono dkk, (2007:36), menunjukkan bahwa memang terdapat
beberapa stereotipe laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat secara luas,
digambarkan dalam tabel di bawah ini .
 Hasil penelitian yang dilakukan Halpern dan Lamay dalam Ricard I Arends (2008:77),
menunjukkan bahwa kebanyakan studi tentang gender dan kemampuan kognitif menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan
kognitif.
 Faktor sosial kultur merupakan faktor utama penyebab munculnya perbedaan dalam pencapaian
prestasi belajar.
 Perbedaan gender dalam hubungannya dengan Pendidikan ditunjukkan Elliot dalam Sugiharotno
dkk. (2007:37-38) dan Ormrod dalam Ricard I. Arends (2008:78) seperti yang terangkum dalam
tabel 3.2.
 Praktik Pendidikan memunculkan perlakuan-perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan
dengan beberapa asumsi yang tidak dapat lepas dari perbedaan gender itu sendiri. Bentuk-bentuk
perbedaan perlakuan tersebut sebagai berikut.
a. Pada umumnya, perempuan memiliki prestasi lebih baik dibandingkan laki-laki pada saat sekolah
dasar. Namun, perempuan cenderung kehilangan prestasi (matematika dan sains) saat sekolah
menengah. Hasil penelitian Spelke dalam Sugihartono dkk. (2007:38) menunjukkan bahwa
kemampuan kognitif/intrinsik laki-laki cenderung lebih besar dalam matematika dan sains
dibandingkan siswa perempuan.
b. Pola interaksi guru dan siswa kelas juga menunjukkan perbedaan. Hasil penelitian Elliot dalm
Sugihartono (2007:38), menunjukkan bahwa guru memberikan perhatian lebih besar pada siswa
laki-laki dibandingkan siswa perempuan, terutama pada mata pelajaran sains dan matematika. Hasil
observasi menunjukkan 80% guru lebih banyak bertanya pada siswa laki-laki.
c. Pola interaksi orang tua dengan anak laki-laki dan perempuan juga berbeda. Orang tua lebih banyak
berbicara tentang matematika dan sains dengan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Hasil
penelitian Crowley dalam Sugihartono dkk. (2007:39), menunjukkan bahwa orang tua memang
cenderung lebih banyak bercakap-cakap dengan anak laki-laki tentang ilmu pengetahuan
dibandingkan dengan anak perempuan.
d. Praktik Pendidikan dalam bentuk diskusi juga memunculkan perbedaan perilaku guru terhadap siswa laki-
laki dan perempuan. Laki-laki lebih banyak berbicara dalam proses diskusi delapan kali lebih banyak
dibandingkan siswa perempuan. Hal ini tidak lepas dari kondisi perempuan yang memang memang memiliki
kepercayaan diri lebih rendah. Hasil penelitian Sadkers dalam Sugihartono dkk. (2007:39), menunjukkan
bahwa siswa laki-laki memang lebih mendominasi dalam kegiatan dan proses diskusi kelas dibandingkan
siswa perempuan.
 Menurut Ricard I. Arends (2008:80-81), terdapat beberapa pedoman bagi guru untuk mengurangi adanya
bias gender dalam proses pembelajaran .
a. Sadarilah tentang keyakinan dan perilaku Anda sendiri sebagai guru. Artinya, tolaklah setiap ide tentang
diferensiasi terhadap siswa. Apabila memang harus ada perbedaan da lam pemberian tugas, pastikan bahwa
perbedaan tersebut benar-benar didasarkan pada kebutuhan siswa.
b. Pantau frekuensi da n sifat interaksi verbal anda sebagai guru. Artinya, berilah perlakuan yang sama
terhadap anak laki-laki dan perempuan dalam hal ekspentasi atau harapan-harapan yang Anda tetapkan,
pertanyaan-pertanyaan yang anda ajukan, serta pujian-pujian yang anda berikan.
c. Pastikan materi pelajaran yang Anda sampaikan bebas perbedaan gender dan berimbang. Artinya menelaah
apakah materi mengandung stereotipe seksual atau tidak, dan dalam menyampaikan materi Anda diharapkan
tidak menggunakan kata-kata yang mengacu pada stereotipe gender.
d. Berikan tugas-tugas kelas pada seluruh siswa secara seimbang, adil, dan anak laki-laki serta perempuan
dapat tetap beraktivitas Bersama secara aktif.
e. Tunjukkan sikap hormat kepada seluruh siswa. Artinya, berilah kesan bahwa Anda menghormati dan
menghargai mereka semua dengan menunjukkan sikap yang baik pada anak laki-laki maupun perempuan.
E. Perbedaan Tingkat Kecerdasan
Perbedaan kecerdasan seseorang dapat dilihat melalui proses tes yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk
skor tes IQ dengan rentang mendekati 0 sammpai 200, dengan rata-rata 100. tabel berikut merupakan
tabel skor dan deskripsi hasil test IQ menurut Wechsler dalam Sugihartono (2007:41).

Skor IQ Deskripsi
> 130 Very Superior
120-129 Superior
110-119 Bright normal
90-109 Average
80-89 Dull normal
70-79 Borderline
<70 Defective
a. Gifted (Anak Cerdas)
 Kelompok ini merupakan kelompok dengan IQ di atas 140. hasil penelitian Terman dan kawan-
kawan dalam Sugihartono dkk. (2007:41), menunjukkan beberapa hal antara lain:
1) Kelompok ini hanya 1% dari populasi,
2) Sepertiga dari mereka merupakan anak para professional, setengahnya anak-anak para pengusaha,
dan hanya 7% dari kelas menengah kebawah.
3) Mereka menunjukkan kesuksesan dalam hidup selanjutnya,
4) Sebagian dari mereka terlibat kasus criminal, dropout, dan gagal da l am beberapa pekerjaan, dan
5) memiliki perkembangan fisik , berat, dan tinggi badan di atas rata-rata dengan kemampuan
penyesuaian diri yang baik.

Anda mungkin juga menyukai