ISLAM
HAKIKAT SYUKUR DAN PILAR ISLAM
PENGERTIAN & HAKIKAT
اَل ُت ْح ُص ْو َه ۗا ِا َّن اِاْل ْن َس اَن َلَظ ُل ْو ٌم َك َّف اٌر َو ْن َت ُع ُّد ْو ْع َم َت ّٰل َم َس َاْل ُت ُم ْو ُۗه َو ٰا ٰت ُك ْم ْن ُك
ال ِه ا ِن ِا ا ى ِّم ِّل
َّن َع َذ ا ْي َل َش ْي ٌد َاَل ْي َد َّن ُك ْم َو َل ِٕى ْن َك َف ْر ُت ْم َل ِٕى ْن َش َك ْر ُت ْم َو ِا ْذ َت َا َّذ َن َر ُّب ُك ْم
ِد ِب ِا ِز
Syukur adalah pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut.
Syukur adalah memuji dzat yang memberi kenikmatan atas limpahan kebaikan yang Dia
anugerahkan. Syukur seorang hamba memiliki tiga rukun, di mana seseorang belum dianggap
bersyukur bila tidak memenuhinya. Ketiga rukun tersebut adalah: a. Mengakui nikmat yang
diterima secara batin b. Menceritakan nikmat yag diterima secara zahir c. Menggunakan nikmat
yang diterima untuk ketaatan kepada Allah.
Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat, Menampakkan nikmat antara lain berarti
menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga
menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah.
Hakikat Syukur
Ibnu Qayyim (seorang tokoh ulama terkemuka) menjelaskan bahwa hakikat syukur kepada
Allah itu adalah tampaknya bekas nikmat Allah pada lisan sang hamba dalam bentuk
pujian dan pengakuan, di dalam hatinya dalam bentuk kesaksian dan rasa cinta, dan pada
anggota tubuhnya dalam bentuk patuh dan taat.
ucapan Alhamdulillah saja belum bisa dianggap telah mencerminkan kesyukuran, sebelum
adanya pengakuan lisan, sikap tunduk dan taat, rasa cinta serta memanfaatkan
kenikmatan dalam rangka ibadah kepada Allah.
Syukur dengan hati adalah engkau menyembunyikan kebaikan dari seluruh makhluk dan
senantiasa menghadirkannya dalam dzikir kepada Allah Swt.,bukan melalaikan-Nya.
Syukur dengan lisan adalah engkau menampakkannya dengan pujian-pujian yang ditunjukan
pada-Nya.
Syukur dengan anggota-anggota tubuh yang lain adalah dengan menggunakan kenikmatan-
kenikmatan Allah Swt. Di dalam ketaatan kepada-Nya dan merasa takut untuk menggunakan
dalam kemaksiatan.
Pilar Islam : Segmen Keta’atan
َمْلَن ْي َي َألَش ُّد َف َن َّط َع َي ْق ُر َع َل ْيَه ُك ُّل َأ َح َو َت ْر ُك َّش َه َو اَل َي ْق ُر َع َل ْيَه اَّل َت ْر ُك
Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin ا ِإ ِد ال اِت . ٍد ا ِإ ال ا اِت ِد ا اِه ِه ا
ْي ُق ْو َن
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali atau ِّد الِّص
yang kita kenal dengan sebutan Imam Al-
Ghazali mengatakan bahwa agama itu Artinya, “Meninggalkan maksiat itu amat berat. Setiap orang
mengandung dua hal pokok, yakni masih sanggup melakukan ketaatan. Tapi berpaling dari
meninggalkan maksiat dan berbuat ketaatan. syahwat (hawa nafsu) hanya mampu dilakukan oleh orang-
orang shiddîqûn (yang benar-benar beriman).”
Semua hal yang dilarang Allah adalah maksiat.
Sedangkan melaksanakan ketaatan berarti Meninggalkan larangan lebih berat daripada melaksanakan
mematuhi perintah-perintahNya. Dua-duanya perintah karena kecenderungan sifat manusia yang ingin bebas
tanpa ada yang membatasi. Inginnya, semua hal yang
menjadi bagian mutlak dalam menjalani dikehendaki terwujud; seluruh yang membuatnya penasaran
kehidupan beragama. Terkait dua hal itu, Imam bisa terungkap. Nah, sementara larangan menjadi musuh itu
Al-Ghazali mengingatkan bahwa meninggalkan semua dan karenanya menjadi sangat berat.
maksiat lebih berat ketimbang berbuat taat.
Pilar Islam : Segmen Ibadah