1.1.
Latar Belakang Pulmonary Heart Disease atau Cor pulmonal didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam struktur dan fungsi ventrikel kanan yang disebabkan oleh gangguan utama dari sistem pernapasan. Hipertensi paru adalah hubungan umum antara disfungsi paru-paru dan jantung di cor pulmonal. Penyakit ventrikel kanan sisi disebabkan oleh kelainan primer dari sisi kiri ventrikel kanan sisi disebabkan oleh kelainan primer dari sisi kiri jantung atau penyakit jantung bawaan tidak dianggap pulmonale cor, tapi pulmonale cor dapat mengembangkan sekunder untuk berbagai proses penyakit cardiopulmonary. Meskipun pulmonale cor umumnya memiliki progresif dan perlahan-lahan saja kronis, onset akut atau pulmonale cor diperburuk dengan komplikasi yang mengancam kehidupan dapat terjadi.
Terdapat sekitar 50.000 angka kematian di Amerika Serikat pada tahun 2006 inidalam setahun akibat emboli paru dan sekitar setengahnya terjadi dalam satu jam pertama akibat gagal jantung kanan. Secara global, insidensi cor pulmonale bervariasi antar tiap negara, tergantung pada prevalensi merokok, polusi udara, dan factor resiko lain untuk penyakit paru-paru yangbervariasi.
Jika cor pulmonal terlambat didiagnosa atau terapi awal yang tidak memadai pada cor pulmonal dapat menimbulkan gangguan fungsi paru, maka diperlukan asuhan keperawatan secara menyeluruh yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif untuk mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Untuk itu, berdasarkan uraian diatas, kami merasa perlu membahas dan menelaah lebih dalam mengenai penyakit cor pulmonal untuk dapat mengetahui asuhan keperawatan pada pasien cor pulmonal dengan pendekatan proses keperawatan yang benar.
1.2.
Rumusan Masalah 1. Bagaimana fungsi normal dari sirkulasi paru-paru? 2. Bagaimana prognosis dari kor pulmonal?
3. Apa definisi kor pulmnal? 4. Apa etiologi/ faktor pencetus kor pulmonal? 5. Apa saja klasifikasi dari kor pulmonal?
1.3.
Tujuan Mengetahui konsep teori, masalah keperawatan dan pendekatan asuhan keperawatan pasien dengan kor pulmonal.
1.2.2.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami fungsi normal dari sirkulasi paru-paru 2. Mengetahui dan memahami prognosis dari kor pulmonal 3. Mengetahui dan memahami definisi kor pulmnal 4. Mengetahui dan memahami etiologi/ faktor pencetus kor pulmonal 5. Mengetahui dan memahami klasifikasi dari kor pulmonal 6. Bagaimana insidensi kor pumonal di lapangan 7. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis kor pulmonal. 8. Mengetahui dan memahami patofisiologi kor pulmonal. 9. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik pada kor
pulmonal.
10. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan klien dengan kor
pulmonal.
11. Mengetahui dan memahami komplikasi dari kor pulmonal.
pulmonal. 1.4. Manfaat 1.4.1. Bagi mahasiswa Mahasiswa di Jurusan Keperawatan mendapat informasi tentang kor pulmonal secara umum dan tentag pendekatan asuhan keperawatan kor pulmonal. 1.4.2. Bagi tenaga kesehatan
Sebagai masukan untuk pengembangan pemberian layanan kesehatan yang optimal kepada klien dengan kor pulmonal.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fungsi Normal dari Sirkulasi Paru-paru Sirkulasi paru-paru terletak diantara ventrikel kanan dan kiri untuk tujuan pertukaran gas. Dalam keadaan normal, aliran darah dalam anyaman vaskuler paru-paru tidak hanya tergantung dari ventrikel kanan tetapi juga dari kerja pompa pada pergerakan pernapasan. Karena sirkulasi paru-paru normal merupakan sirkulasi yang bertekanan dan resistensi rendah; maka curah jantung dapat meningkat sampai beberapa kali (seperti yang terjadi pada waktu latihan fisik) tanpa peningkatan bermakna dari tekanan arteria pulmonalis. Keadaan ini dapat terjadi karena besarnya kapasitas anyaman vaskuler paru-paru, dimana perfusi normal hanya 25% dalam keadaan istirahat, serta kemampunan untuk menggunakan lebih banyak pembuluh sewaktu latihan fisik. 2.2 Prognosis Belum ada pemeriksaan prospektif yang dilakukan untuk mengetahui prognosis pulmonary heart disease kronik. Pengamatan yang dilakukan tahun 1950 menunjukkan bahwa bila terjadi gagal jantung kanan yang menyebabkan kongesti vena sistemik, harapan hidupnya menjadi kurang dari 4 tahun. Walaupun demikian, kemampuan dalam penanganan pasien selama episode akut yang berkaitan dengan infeksi dan gagal napas mangalami banyak kemajuan dalam 5 tahun terakhir. Prognosis pulmonary heart disease berkaitan dengan penyakit paru yang mendasarinya. Pasien yang mengalami pulmonary heart disease akibat obeliterasi pembuluh darh arteri kecil yang terjadi secara perlahanlahan akibat penyakit intrinsiknya (misal emboli), atau akibat fibrosis intertisial harapan juntuk perbaikannya kecil karena kemungkinan perubahan anatomi yang terjadi subah menetap. Harapan hidup pasien
PPOK jauh lebih baik bila analisis gas darahnya dapat dipertahankan mendekati normal. Penelitian lain menyatakan bahwa prognosis kor pulmonal sangat bervariasi, tergantung penjalanan alami penyakit paru yang mendasari dan ketaatan pasien berobat. Penyakit bronkopulmonal simtomatik angka kematian rata-rata 5 tahun sekitar 40-50%. Juga obstruksi vaskular paru kronik dengan hipertrofi ventrikel kanan mampunyai prognosis yang buruk. Biasanya pasien hipertensi pulmonal dengan obstruksi vaskular kronik hanya bertahan hidup 2-3 tahun sejak timbulnya gejala. 2.3 Definisi Kor-pulmonal diartikan sebagai keadaan patologis dengan ditemukannya hipertropi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktural paru. (WHO, 1993) Pulmonary heart disease adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan/atau dilatasi) yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada kontrol pernafasan. Tidak termasuk di dalamnya kelainan jantung kanan yang terjadi akibat kelainan jantung kiri atau penyakit jantung bawaan. (Boughman, 2000) Kor pulmonal merupakan suatu keadaan dimana timbul hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan; timbul akibat penyakit yang menyerang struktur atau fungsi paru-paru atau pembuluh darahnya. Definisi ini menyatakan bahwa penyakit jntung kiri maupun penyakit jantung bawaan tidak bertanggung jawab atas patogenesis kor pulmonale. Kor pulmonale bisa terjadi akut (contohnya, emboli paru-paru masif) atau kronik. (A. Price Sylvia and M. Wilson Lorraine, 1995)
Gambar 1. Gambaran jantung penderita kor pulmonal 2.4 Etiologi Penyakit ini disebabkan oleh: 1. Penyakit paru obstruksi kronik. 2. Emfisema
3. Penyumbatan vaskuler/ remodeling vaskuler/ obstruksi pembuluh
darah: emboli paru, atau penyakit yang menyebabkan kompresi perivaskular atau destruksi jaringan pada fibrosis paru, granulomatosis, kanker paru. 4. Trombo emboli 5. Vasokonstriksi pulmonal menyeluruh: dapat disebabkan oleh hipoksia, pirau intrapulmonal kanan ke kiri.
6. Penyakit / radang pembuluh darah
7. Penyakit sickle cell 8. Penyakit parenkim dan pengurangan daerah pembuluh darah 9. Bronkiektasis difus
10. TB paru luas 11. Hipertensi pulmonal
komplikasi hemodinamik. Mekanisme terjadinya hipertensi pulmonale pada kor pulmunale dapat di bagi menjadi 4 kategori yaitu : a. Obstuksi Terjadi karena adanya emboli paru baik akut maupun kronik. Chronic Thromboembolic Pulmonary Hypertesion (CTEPH)
merupakan salah satu penyebab hipertensi pulmonale yang penting dan terjadi pada 0.1 0.5 % pasien dengan emboli paru. Pada saat terjadi emboli paru, system fibrinolisis akan bekerja untuk melarutkan bekuan darah sehingga hemodinamik paru dapat berjalan dengan baik. Pada sebagian kecil pasien system fibrinolitik ini tidak berjalan baik sehingga terbentuk emboli yang terorganisasi disertai pembentukkan rekanalisasi dan akhirnya menyebabkan penyumbatan atau penyempitan pembuluh darah paru. b. Obliterasi Penyakit intertisial paru yang sering menyebabkan hipertensi pulmonale adalah lupus eritematosus sistemik scleroderma, sarkoidosis, asbestosis, dan pneumonitis radiasi. Pada penyakitpenyakit tersebut adanya fibrosis paru dan infiltrasi sel-sel yang progersif selain menyebabkan penebalan atau perubahan jaringan interstisium, penggantian matriks mukopolisakarida normal dengan jaringan ikat, juga menyebabkan terjadinya obliterasi pembuluh paru. c. Vasokontriksi Vasokontriksi pembuluh darah paru berperan penting dalam patogenesis terjadinya hipertensi pulmonale. Hipoksia sejauh ini merupakan vasokontrikstor yang paling penting. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab yang paling di jumpai. Selain itu tuberkolosis dan sindrom hipoventilasi lainnya misalnya sleep apnea syndrome, sindrom hipoventilasi pada obesitas, dapat juga menyebabkan kelainan ini. Asidosis juga dapat berperan sebagai vasokonstriktor pembuluh darah paru tetapi dengan potensi lebih rendah. Hiperkapnea secara tersendiri tidak mempunyai efek fasokonstriksi tetepi secara tidak langsung dapat meningkatkan tekanan arteri pulmunalis melalui efek asidosisnya. Eritrositosis yang terjadi akibat hipoksia kronik dapat meningkatkan vikositas
darah
sehingga
menyebabkan
peningkatan
tekanan
arteri
pumonalis. d. Idiopatik Kelainan idiopatik ini didapatkan pada pasien hipertensi pulmonale primer yang di tandai dengan adanya lesi pada arteri pumonale yang kecil tanpa didapatkan adanya penyakit dasar lainnya baik pada paru maupun pada jantung. Secara histopatologis di dapatkan adanya hipertrofi tunika media, fibrosis tunika intima, lesi pleksiform serta pembentukan mikro thrombus. Kelainan ini jarang di dapat dan etiologinya belum di ketahui. Walaupun sering di kaitkan dengan adanya penyakit kolagen, hipertensi portal, penyakit autoimun lainnya serta infeksi HIV. 2.5 Klasifikasi Kor pulmonal (Pulmonary heart disease) diklasifikasikan berdasarkan etiologinya, yaitu :
1. Kor pumonal (Pulmonary heart disease) akibat Emboli Paru adalah
hipertropi ventrikel kanan yang disebabkan karena adanya sumbatan pada area sirkulasi pulmonal.
2. Kor pulmonal (Pulmonary heart disease) dengan PPOM adalah hipertropi
ventrikel
kanan
karena
pengaruh
penyakit
bronkhitis
kronik,
primer adalah hipertropi ventrikel kanan yang dikarenakan oleh peningkatan tekanan darah dalam sirkulasi pulmonal.
4. Kor pulmonal (Pulmonary heart disease) dengan kelainan jantung kanan
adalah hipertropi ventrikel kanan yang memang dicetuskan oleh adanya gangguan pada vertrikel kanan itu sendiri. 2.6 Insiden
Meskipun prevalensi PPOK di Amerika Serikat pada tahun 2006 terdapat sekitar 15 juta, prevalensi yang tepat dari cor pulmonale sulit untuk ditentukan
karena tidak terjadi pada semua kasus PPOK, pemeriksaan fisik tidak sensitive untuk mendeteksi adanya hipertensi pulmonal. Cor pulmonal mempunyai insidensi sekitar 6-7 % dari seluruh kasus penyakit jantung dewasa di Amerika Serikat, dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) karena bronchitis kronis dan emfisema menjadi penyebab lebih dari 50% kasus cor pulmonale. Sebaliknya, cor pulmonale akut biasanya menjadi kelainan sekunder akibat adanya emboli paru massif. Tromboemboli paru akut adalah penyebab paling sering dari cor pulmonale akut yang mengancam jiwa pada orang dewasa. Terdapat sekitar 50.000 angka kematian di Amerika Serikat pada tahun 2006 ini dalam setahun akibat emboli paru dan sekitar setengahnya terjadi dalam satu jam pertama akibat gagal jantung kanan.
Menurut Boedhi-Darmojo (2001) di Indonesia angka prevalensi hipertensi pulmonal penyebab kor-pulmonal berkisar antara 0,65-28,6%. Biasanya kasus terbanyak ada pada daerah perkotaan. Angka tertinggi tercatat di daerah Sukabumi, diikuti daerah Silungkang, Sumatera barat (19,4%) serta yang terendah di daerah lembah Bariem, Irian Jaya.
Secara global, insidensi cor pulmonale bervariasi antar tiap negara, tergantung pada prevalensi merokok, polusi udara, dan factor resiko lain untuk penyakit paruparu yang bervariasi.
2.7 Manifestasi Klinis Informasi yang didapat bisa berbeda-beda antara satu penderita yang satu dengan yang lain tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan pulmonary heart disease. 1. Kor-pumonal akibat Emboli Paru : sesak tiba-tiba pada saat istirahat, kadang-kadang didapatkan batuk-batuk, dan hemoptisis. 2. Kor-pulmonal dengan PPOM : sesak napas disertai batuk yang produktif (banyak sputum).
3. Kor pulmonal dengan Hipertensi Pulmonal primer : sesak napas dan sering
4. Pulmonary heart disease dengan kelainan jantung kanan : bengkak pada perut dan kaki serta cepat lelah. Gejala predominan pulmonary heart disease yang terkompensasi berkaitan dengan penyakit parunya, yaitu batuk produktif kronik, dispnea karena olahraga, wheezing respirasi, kelelahan dan kelemahan. Jika penyakit paru sudah menimbulkan gagal jantung kanan, gejala - gejala ini lebih berat. Edema dependen dan nyeri kuadran kanan atas dapat juga muncul. Tanda-tanda pulmonary heart disease misalnya sianosis, clubbing, vena leher distensi, ventrikel kanan menonjol atau gallop (atau keduanya), pulsasi sternum bawah atau epigastrium prominen, hati membesar dan nyeri tekan, dan edema dependen. Gejala- gejala tambahan ialah: 1.
2.
3.
kanan dan hipertropi ventrikel kanan sendiri, ketika terjadi hipertropi ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan, maka vena jugularis juga ikut menunjang kompensasi sehingga tekanan atau venous jugularis pulse mengalami peningkatan.
b. Hepatomegali dikatkan dengan adanya desakan dari arah ventrikel
kanan jantung yang mendesak ruang diafragma dan hepar sehingga ketika dilakukan pemeriksaan, yaitu palpasi dan perkusi hepar ditemukan adanya hepatomegali.
10
penyakit gagal jantung kanan sebagai respon komplikasi penyakit kor pulmonal ini, yaitu oedema pada daerah ekstremitas bawah (tungkai) dan berisi cairan (asites).
2.
Peningkatan bunyi komponen pulmoner merupakan tanda Tekanan arteri pulmoner sangat tinggi akan terjadi
hipertensi pulmoner.
b.
Pada tingkat awal (hipoksemia) EKG hanya menunjukkan gambaran sinus takikardia saja. Pada tingkat hipertensi pulmonal EKG akan menunjukkan gambaran sebagai berikut, yaitu:
a. b. c. d.
Gelombang P mulai tinggi pada lead II Depresi segmen S-T di lead II, III, Avf Gelombang T terbalik atau mendatar di lead V1-3 Kadang-kadang teadapat RBBB incomplete atau complete
Pada tingkat pulmonary heart disease dengan hipertrofi ventrikel kanan, EKG menunjukkan:
a. b.
Aksis bergeser ke kanan (RAD) lebih dari +90 Gelombang P yang tinggi (P pulmonal) di lead II, III, Avf Rotasi kea rah jarum jam (clockwise rotation) Rasio R/ S di V1 lebih dari 1 Rasio R/ S di V6 lebih dari 1 Gelombang S ang dalam di V5 dan V6 (S persissten di RBBB incomplete atau incomplete
c.
d. e. f.
prekordial kiri)
g.
Pada kor-pulmonal akut (emboli paru masif), EKG menunjukkan adanya Right Ventrikular Strain yaitu adanya depresi segmen S-T dan gelombang T yang terbalik pada sandapan perikordial kanan. Kadang-
11
kadang kriteria hipertrofi ventrikel kanan yang klasik sulit didapat. Padmavati dalam penelitiannya menyatakan criteria yang lain untuk korpulmonal dalam kombinasi EKG sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
Pada tingkat hipertensi pulmonal jantung belum terlihat membesar, tetapi hilus dan arteri pulmonalis utama amat menonjol dan pembuluh darah perifer menjadi kecil/tidak nyata.
12
Pada tingkat pulmonary heart disease jantung terlihat membesar karena adanya dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan. Hal ini kadangkadang sulit dinyatakan pada foto dada karena adanya hiperinflasi paru (misalnya pada emfisema). Selain itu didapatkan juga diafragma yang rendah dan datar serta ruang udara retrosternal yang lebih besar, sehingga hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tidak membuat jantung menjadi lebih besar dari ukuran normal. Lebih singkatnya sebagai berikut :
a. Pembesaran jantung dimana ikhtus akan tampak bergeser ke kiri
atas.
b. Arteri pulmonale kanan di katakan melebar apabila lebih dari 16
13
a. Tampak gambaran pembesaran ventrikel kanan b. Tampak gambaran regurgitasi saat sistole
Gambar 4. Gambaran ekokardiografi pada penderita kor pulmonal 6. Kateterisasi jantung kanan Diagnosis pasti untuk hipertensi pulmonale.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya polisitemia (Ht > 50%), tekanan oksigen (PaO2) darah arteri < 60 mmHg,tekanan karbondioksida (PaO2) >50 mmHg. 2.10 Penatalaksanaan 2.10.1 terdiri dari:
1. Tirah baring, anjuran untuk diet rendah garam.
Penatalaksanaan Keperawatan
Tirah baring mencegah memburuknya hipoksemia yang akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Garam perlu dibatasi
14
tetapi tidak secara berlebihan karena klorida serum yang rendah akan menghalangi usaha untuk menurunkan hiperkapnia.
2. Tindakan preventif, yaitu berhenti merokok olahraga dan teratur,
serta senam pernapasan sangat bermanfaat walaupun harus dalam jangka panjang. 2.10.2 Penatalaksanaan Medis Terapi medis untuk pulmonary heart disease kronis di fokuskan pada penatalaksanaan untuk penyakit paru dan peningkatan oksigenasi serta peningkatan fungsi ventrikel kanan dengan menaikkan kontraktilitas dari ventrikel kanan dan menurunkan vasokonstriksi pada pembuluh darah di paru. Pada pulmonary heart disease akut akan dilakukan pendekatan yang berbeda yaitu di fokuskan pada kestabilan klien. Untuk mendukung system kardiopulmonal pada klien dengan pulmonary heart disease harus diperhatikan mengenai kegagalan jantung kanan yang meliputi masalah pengisian cairan di ventrikel dan pemberian vasokonstriktor (epinephrine) untuk memelihara tekanan darah yang adekuat. Tetapi pada dasarnya penatalaksanaan akan lebih baik jika di fokuskan pada masalah utama, misalnya pada emboli paru harus dipertimbangkan untuk pemberian antikoagulan, agen trombilisis atau tindakan pembedaham embolektomi. Khususnya jika sirkulasi terhambat akan dipertimbangkan pula pemberian broncodilator dan penatalaksanaan infeksi untuk klien dengan PPOK; pemberian steroid dan imunosupresif pada penyakit fibrosis paru. Terapi oksigen, pemberian diuretic, vasodilator, digitalis, theophyline, dan terapi antikoagulan di gunakan untuk terapi jangka panjang pada kor pulmonal kronis. a) Terapi Oksigen Terapi oksigen sangat penting, bahkan kadang-kadang perlu ventilator mekanik bila terjadi retensi CO2 yang berbahaya (gagal napas). Pada kasus eksaserbasi akut insufisiensi paru, sering pasien perlu dirawat intensif untuk aspirasi sekret bronkus, pengobatan infeksi paru, bronkodilator, kortikosteroid, keseimbangan cairan, dan pengawasan penggunaan sedatif. Klien dengan pulmonary heart disease memiliki
15
tekanan oksigen (PO2) di bawah 55 mm Hg dan menurun dengan cepat ketika beraktivitas atau tidur. Terapi oksigen dapat menurunkan vasokonstriksi hipoksemia pulmonar, kemudian dapat menaikkan cardiac output, mengurangi vasokonstriksi, meringankan hipoksemia jaringan, dan meningkatkan perfusi ginjal. Secara umum, terapi oksigen di berikan jika PaO2 kurang dari 55 mm Hg atau saturasi O2 kurang dari 88%. Manfaat dari terapi oksigen adalah untuk menurunkan tingkat gejala dan meningkatkan status fungsional. Oleh karena itu, terapi oksigen penting di berikan untuk managemen jangka panjang khususnya untuk klien dengan hipoksia atau penyakit paru obstruktif (PPOK). b) Diuretik Diuretik di gunakan pada klien dengan pulmonary heart disease kronis, terutama ketika pengisian ventrikel kiri terlihat meninggi dan pada edema perifer. Diuretic berperan dalam peningkatan fungsi dari ventrikel kanan maupun kiri. Diuretik memproduksi efek hemodinamik yang berlawanan jika tidak di perhatikan penggunaannya. Volume pengosongan yang berlebihan dapat menimbulkan penuruna cardiac output. Komplikasi lain dari diuretic adalah produksi hypokalemic metabolic alkalosis, yang akan mengurangi efektivitas stimulasi karbondioksida pada pusat pernafasan dan menurunkan ventilasi. Produksi elektrolit dan asam yang merugikan sebagai akibat dari penggunaaan diuretic juga dapat menimbulkan aritmia, yang berakibat menurunnya cardiac output. Oleh karena itu diuretik di rekomendasikan pada managemen pulmonary heart disease kronis, dengan memperhatikan pemakaian. Contoh : Aldactone (spironalactone), Anhydrone (Siklotiazida), Aquatag (Benztiazida), Aquatensin (Metiklotiazida), Lasix (Furosemida), Midamor (Amilorid), Naqua (Triklormetiazida), Zaroxolyne (Metolazone). Dosis dikehendaki. c) Vasodilator pemberian diuretik tergantung efek diuresis yang
16
Tujuan terapi dg vasodilator adalah menurunkan hipertensi pulmonale tetapi sebagian besar berdampak pada sirkulasi sistemik sehingga akan terjadi hipotensi. Contoh obat vasodilator adalah ACE-inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitio) = mengembangkan pembuluh darah arteri dan vena. Nitroglycerine = mengembangkan pembuluh darah vena saja. Hidrolacyne = mengembangkan pembuluh darah arteri saja. d) Digitalis Adalah obat yang meningkatkan kekuatan dan efisiensi jantung dan digunakan untuk mengobati layu jantung dan menormalkan lagi denyut jantung. Dalam kaitannya terhadap pengobatan kor pulmonal hanya bermanfaat diberikan apabila telah disertai dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri. Digitalis diberikan terutama bila terdapat gagal jantung kanan, tetapi yang paling penting adalah mengobati penyakit paru yang mendasarinya. Dosis pemberian obat digitalis : 1) Jika dalam 2 minggu terakhir klien tidak mendapat terapi digitalis, maka dapat diberikan digitalis cepat (IV) dengan dosis 0,2-0,4 mg setiap 4-6 jam sampai dengan total dosis 1,6 mg. 2) Dosis maintenanceny adalah 0,25-0,50 mg/hari. nama obat digitalis adalah digitoksin (paten= Beberapa e)
Crystodigin, Digifortis, Lanoxin). Trakeostomi Kadang-kadang diperlukan trakeostomi untuk membantu aspirasi sekret dan mengurangi ruang mati. f) Antikoagulan Antikoagulan dapat mencegah trombosis yang memperberat penyakit paru obstruktif kronik. Contoh obat antikoagulan oral adalah warfarin, sedangkan yang melalui IV line adalah Heparin atau Syntrom dan obat jenis Anti-agresi Platelet (antiplatelet) : AsamvSalisilat (Aspirin/ Aspilet).
17
Heparin : IV bolus 5000 IU, drip 1000 IU/jam atau sesuai RUMUS = DOSIS : PENGENCERAN i. Advis dokter Heparin 1000 unit/jam ii. Pengenceran 25.000 dalam 500 ml normal saline
iii. 500 ml = 25.000 unit 1 ml = 50 unit
iv. 1000 : 50 = 20 ml/jam v. Jika menggunakan infus set mikro, maka (20 ml/jam x 60) : 60 = 20 tetes/menit
2)
Syntrom
2-20
mg/hari
atau
sesuai
dengan
waktu
pembekuan. 3) g) Anti-agresi Platelet (antiplatelet) : AsamvSalisilat (Aspirin/ Pengobatan Lain Inhibitor karbonik anhidrase (asetasolamid) suatu waktu banyak dipakai pada pasien hiperkapnia kronik. Tetapi efek sampingnya yang membahayakn adalah terjadinya asidosis metabolik pada asidosis respiratorik yang telah ada. Phlebotomy menjadi tatalaksana standar pada polisitemia yang disebabkan hipoksia kronik. Saat ini belum berhasil dibuktikan adanya perbaikan onyektif pada pertukaran gas maupun tekanan arteri pulmonalis akibat phlebotomy. Beberapa ahli mengeluarkan darah vena sebanyak 250 mL, untuk mencegah tromboemboli bila hematokrit atau hipertensi pulmonal sangat tinggi. 2.11 Komplikasi Komplikasi dari pulmonary heart disease diantaranya: a. Sinkope b. Gagal jantung kanan c. Edema perifer d. Kematian Aspilet) dengan dosis 50-300 mg/hari.
18
Anamnesa, meliputi:
1. Identitas Pasien
a) Kor pulmonal dapat terjadi pada orang dewasa dan pada anakanak. Untuk orang dewasa, kasus yang paling sering ditemukan adalah pada lansia karena sering didapati dengan kebiasaan merokok dan terpapar polusi. Hal ini di dasarkan pada epidemiologi penyakit-penyakit yang menjadi penyebab kor pulmonal, karena hipertensi pulmonal merupakan dampak dari beberepa penyakit yang menyerang paru-paru. Untuk kasus anakanak, umumnya terjadi kor pulmonal akibat obstruksi saluran napas atas seperti hipertrofi tonsil dan adenoid. b) Jenis pekerjaan yang dapat menjadi resiko terjadinya kor pulmonal adalah para pekerja yang sering terpapar polusi udara dan kebiasaan merokok yang tinggi. c) Lingkungan tempat tinggal yang dapat menjadi resiko terjadinya kor pulmonal adalah lingkungan yang dekat daerah perindustrian, dan kondisi rumah yang kurang memenuhi persyaratan runmah yang sehat. Contohnya ventilasi rumah yang kurang baik,hal ini akan semakin memicu terjadinya penyakit-penyakit paru dan berakibat terjadinya kor pulmonal.
2. Riwayat Sakit dan Kesehatan
a) Keluhan utama : Pasien dengan kor pulmonal sering mengeluh sesak, nyeri dada
19
akan diawali dengan tanda-tanda mudah letih, sesak, nyeri dada, batuk yang tidak produktif. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan sampai berat. Seperti apa kelemahan melakukan aktifitas yang dirasakan, biasanya disertai sesak nafas. Apakah kelemahan fisik bersifat local atau keseluruhan system otot rangka dan apakah disertai ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan. Bagaimana nilai rentang kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Kapan timbulnya keluhan kelemahan beraktifitas, seberapa lamanya kelemahan beraktifitas, apakah setiap waktu, saat istirahat ataupun saat beraktifitas
c) Riwayat penyakit dahulu : Klien dengan kor pulmonal biasanya
atau
menghilangkan
keluhan-keluhan
tersebut.
memilki riwayat penyakit seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), fibrosis paru, fibrosis pleura, dan yang paling sering adalah klien dengan riwayat hipertensi pulmonal. 3.1.2 Pemeriksaan fisik : Review Of System (ROS) 1.
B1 (BREATH) Pola napas : irama tidak teratur Jenis: Dispnoe Suara napas: wheezing Sesak napas (+) Irama jantung : ireguler s1/ s2 tunggal (-) Nyeri dada (+) Bunyi jantung: murmur CRT : tidak terkaji
2. B2 (BLOOD)
20
3. B3 (BRAIN)
Pupil : tidak terkaji Selera/ konjungtiva : tidak terkaji Gangguan pendengaran/ telinga: tidak terkaji Penciuman (hidung) : tidak terkaji Pusing Gangguan kesadaran Urin:
4. B4 (BLADDER)
o o o
Jumlah : kurang dari 1-2 cc/ kg BB/ jam Warna : kuning pekat Bau : khas Oliguria Nafsu makan : menurun Mulut dan tenggorokan : tidak terkaji Abdomen : asites Peristaltic : tidak terkaji Kemampuan pergerakan sendi: terbatas Kekuatan otot : lemah Turgor : jelek Oedema Psikososial
5. B5 (BOWEL)
6. B6 (BONE)
3.1.3
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya, kecemasan terhadap penyakit. 3.2 Diagnosa keperawatan
21
reversible/ menetap, refraktori dan kebokoran interstisial pulmonal/ alveolar pada status cedera kapiler paru.
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan. sempitnya lapang
dengan. penurunan nafsu makan (energi lebih banyak digunakan untuk usaha bernapas, sehingga metabolism berlangsung lebih cepat).
4. Intoleransi aktifitas yang berhubungan dengan. kelemahan fisik dan
keletihan.
5. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguria.
Hipoksemia secara reversible/ menetap, refraktori dan kebokoran interstisial pulmonal/ alveolar pada status cedera kapiler paru.
Tujuan dipertahankan.
Kriteria hasil :
o o o o o
Klien tidak mengalami sesak napas. Tanda-tanda vital dalam batas normal Tidak ada tanda-tanda sianosis. PaO2 dan PaCO2 dalam batas normal Saturasi O2 dalam rentang normal
No. 1
Intervensi dan Rasional : Intervensi Rasional Mandiri Pantau frekuensi, kedalaman Berguna dalam evaluasi derajat pernapasan.Catat otot cang. aksesori, penggunaan nafas bibir, distress pernapasan dan/ atau kronisnya proses penyakit.
22
Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah Dorong atau untuk nafas toleransi bernapas. kebutuhan
Pengiriman
oksigen
dapat
diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan nafas, dispnea dan kerja nafas.
perlahan atau nafas bibir sesuai individu. Awasi secara rutin kulit dan warna membrane mukosa.
Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir/ atau daun telinga). Keabu-abuan dan diagnosis sentral mengindi-kasikan beratnya dan banyaknya utama hipoksemia. Kental, tebal, sekresi adalah
sumber
gangguan pertukaran gas pada jalan nafas kecil. Penghisapan dibutuhkan 5 Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan/ atau bunyi tambahan. bila batuk tidak efektif. Bunyi nafas mugkin redup karena aliran udara atau area konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan secret. Krekel basah menyebar menunjukkan 6 Palpasi fremitus. cairan pada intertisial/ dekompensasi jantung. Penurunan getaran fibrasi diduga ada 7 Awasi tingkat kesadaran/ pengumpulan cairan atau adalah udara terjebak. Gelisah dan
ansietas
manifestasi umum pada hypoxia, GDA memburuk disertai bingung/ somnolen menunjukkan disfungsi sersbral yang berhubungan dengan hipoksemia.
23
Evaluasi
tingkat
toleransi
Selama distress pernapasan berat/ akut/ refraktori pasien secara total tak mampu melakukan aktifitas sehari-hari karena hipoksemia dan dispnea. Istirahat diselingi aktifitas perawatan program masih penting dari pengobatan. Namun, dan dapat dan
aktifitas. Berikan lingkungan yang tenang dan kalem. Batasi aktifitas pasien atau dorong untuk tidur/ pasien istirahat dikursi aktifitas selama fase akut. Mungkinkan melakukan secara bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi individu.
program latihan ditujukan untuk meningkatkan kekuatan dispnea tanpa berat, ketahanan dan menye-babkan
sistemik pada fungsi jantung. Kolaborasi Awasi/ gambarkan seri GDA PaCO2 biasanya meningkat dan nadi oksimetri. (bronchitis, enfisema) dan pao2 secara umum menurun, sehingga hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar. Catatan: PaCO2 normal atau meningkat menandakan kegagalan perna-pasan yang akan datang selama asmatik. Dapat memperbaiki/ emfisema kadar CO2 kronis, dan
oksigen dan
tambahan toleransi
PaO2 berlebihan.
24
Berikan penekanan SSP (misal: ansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
untuk konsumsi
mengontrol oksigen/
kebutuhan, eksaserbasi dispnea. Dipantau ketat karena dapat terjadi 4 Bantu instubasi, berikan/ ventilasi gagal nafas. Terjadinya/ kegagalan nafas yang akan datang memerlukan penyelamatan hidup.
Hipoksia.
Tujuan
o o
Memperbaiki atau mempertahankan pola pernapasan normal Pasien mencapai fungsi paru-paru yang maksimal. : Pasien menunjukkan frekuensi pernapasan yang efektif. Pasien bebas dari dispnea, sianosis, atau tanda-tanda lain distress pernapasan
Kriteria hasil
o o
No. 1
Intervensi dan Rasional : Tindakan/ intervensi Berikan posisi fowler atau semi fowler Rasional Memaksimalkan ekspansi paru, menurunkan kerja pernapasan, dan menurunkan resiko aspirasi Membantu meningkatkan difusi gas dan ekspansi jalan napas kecil, memberika kontrol atau pasien beberapa pernapasan, terhadap
Ajarkan teknik napas dalam dan atau pernapasan bibir atau pernapasan diafragmatik abdomen bila diindikasikan
Obserfasi
TTV
(RR
membantu menurunkan ansietas. Mengetahui keadekuatan frekuensi pernapasan dan keefektifan jalan napas
frekuensi permenit)
25
3.3.3
berhubungan dengan penurunan nafsu makan (energi lebih banyak digunakan untuk usaha bernapas, sehingga metabolism berlangsung lebih cepat).
Gizi untuk kebutuhan metabolik terpenuhi Massa tubuh dan berat badan klien berada dalam batas normal.
No. 1
Intervensi dan Rasional : Tindakan/ intervensi Beri motivasi pada klien untuk mengubah kebiasaan makan. Rasional Agar pasien mau memenuhi diet yang disarankan untuk kebutuhan nutrisi dalam metabolisme. Mengurangi anorexia pada pasien. Untuk mengetahui perkembangan asupan gizi klien melalui sampel darah. Untuk mengetahui perkembangan klien dalam mempertahankan berat badan normal. Untuk bisa lebih tepat memberikan diet kepada pasien sesuai zat gizi dan kalori yang dibutuhkan. Menambah nafsu makan dan
2 3
Sajikan makanan untuk klien semenarik mungkin. Pantau nilai laboratorium, khususnya transferin, albumin, dan elektrolit. Timbang berat badan pasien pada interval yang tepat.
Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein untuk klien. Pertahankan kebersihan mulut yang baik.
membersihkan kuman-kuman yang ada dalam mulut, sehingga makanan yang klien makan akan terasa lebih nikmat.
3.3.4
Intoleransi
aktivitas
berhubungan
dengan
26
Tujuan oksigen.
Kriteria hasil
: mentoleransi aktivitas yang biasa dilakukan dan di : Rasional Mandiri untuk Ajarkan meningkatkan klien rasa bagaimana control dan
Intervensi dan Rasional Tindakan/ Intervensi Beri hari Ajarkan menghadapi menghindari bantuan
No. 1
mandiri dengan kondisi yang ada Istirahat memungkinkan tubuh memperbaiki energy yang digunakan selama aktifitas
berikan periode istirahat tanpa gangguan di antara aktifitaa Kolaborasi Kolaborasi dengan ahli gizi Dengan ahli gizi,perawat dapat mengenai menu makanan pasien menentukan yang harus jenis-jenis makanan untuk dikonsumsi
memaksi-malkan
pembentukan
Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan. : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x24 : klien menunjukkan pola pengeluaran urin yang
27
No. 1
Rasional Mandiri Pantau pengeluaran urine, catat Pengeluaran urine mungkin sedikit jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi. dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring. Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-tiba/ berlebihan (hipovolemia) meskipun edema/ asites masih ada. Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan dieresis. Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal
Tindakan/ intervensi
Pantau/
hitung
keseimbangan
Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase akut.
Kaji bisisng usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan konstipasi.
jantung. Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi
gaster/ intestinal. Kolaborasi Perlu memberikan diet yang dapat diterima natrium. klien yang memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan
BAB IV PENUTUP
28
4.1 Kesimpulan Korpulmonal adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan/ atau dilatasi) yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada kontrol pernafasan. Korpulmonal dapat terjadi akut maupun kronik. Penyebab Kor Pulmonale akut tersering adalah emboli paru masif, sedangkan Kor Pulmonale kronik sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada Kor Pulmonale kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan, sedangkan pada Kor Pulmonal akut terjadi dilatasi ventrikel kanan. 4.2 Saran Dari kesimpulan yang ada maka kita sebagai perawat atau calon perawat harus terus meningkatkan kompetensi diri kita, lebih-lebih yang berkaitan dengan fenomena kesehatan yang bersifat spesifik pada sistem neurologi, seperti cedera kepala ini, salah satunya melalui pendidikan keperawatan yang berkelanjutan, baik secara teoritis maupun praktikum dalam penanganan fenomena tersebut, sehingga kita tidak mengalami ketertinggalan dari keperawatan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
29
A. Price Sylvia, M. Wilson Lorraine.(1995). Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Buku 2. Jakarta: EGC. A. Sovari, Ali.(2009). Kor Pulmonal. Available at http://emedicine.medscape.com, di akses pada tanggal 7 Oktober 2012 jam 19.46 WIB. Bahar, Asril, dkk.(2011). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III, Edisi ketiga (Persatuan Ahli Penyakit Dalam). Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Boughman, Diane C & Hackley, Joann C.(2000).Buku Saku Keperawatan Medical Bedah. Jakarta: EGC Nuzulul.(2011). Pulmonary Asuhan Keperawatan (Askep) Cor Pulmonal Atau Heart Disease available at http://nuzulul-
fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35530-Kep%20Respirasi-Askep %20Cor%20Pulmonal.html diakses pada tanggal 23 Oktober 2012 jam 21.09 WIB. Udjianti, Wayan Juni.(2010).Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta : Salemba Medika. Wahyusari, Shinta.(2011).Kor Pulmonal. Available at http://www.scribd.com/doc/129876/definisi-KOR/ di akses pada tanggal 24 Oktober 2012 jam 19.08 WIB. Wilkinson, Judith. M.(2002).Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria NOC. Jakarta: EGC. _______.1997.Mastering Korporation. 20 Oktober 2012 jam 20.00 WIB. _______.(2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. _______.(2007).Chronic obstructive pulmonal disease copd availabel at http://cintalestari.wordpress.com/2009/08/29/chronic-obstructivepulmonal-disease-copd/ di akses pada tanggal 20 Oktober 2012 jam 20.05 WIB. Medical-Surgical Nursing.USA:Springhouse at Available
30
31
Polisitemia
Peningkatan resistensi vascular paru Hipertensi pulmonal Hipertensi ventrikel kanan Kor pulmonal
Akut
Kronis
Waktu bagi ventrikel kanan untuk berkompensasi Tekanan arteri pulmonalis naik tiba-tiba (>40-45 mmHg) Curah jantung menurun
Kegagalan kompensasi
32
Proses inflamasi akibat riwayat penyakit dahulu Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar saluran pernafasan lebih menyempit Suplai O2 Hipoksia
Darah yang di pompa jantung menurun Darah yang disaring glomelurus Oliguria
Hypoxia
Lemas
Pusing Gangguan pertukaran gas Anorexia Perubahan pola eliminasi Gangguan kesadaran Intoleransi aktivitas
33