Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH FILSAFAT ILMU

DI SUSUN OLEH: FIRMAN FIRDAUZ SAPUTRA PSIKM I

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INSAN UNGGUL

2012

KATA PENGANTAR Bismillahi Rahmanirrokhim Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam. Salawat serta salam semoga dilimpahakan kepada Rosulullah SAW. Penulis bersyukur kepada Illahi Rabi yang telah memberikan hidayah serta taufik-Nya kepada penulis sehingga makalah yang berjudul Skeptisisme dapat terselesaikan dengan baik. Saya berharap pembaca dapat menambah ilmu pengetahuan. Saya menyadari bahwa makalah yang saya buat dan saya susun ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekhilafan. Maka kepada pembaca, bapak dosen dan teman-teman sekalian, saya mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi kesempurnaan makalah saya ini. Dengan segenap ketulusan hati penulis, saya mengucapkan banyak terima kasih. Semoga makalah saya bermanfaat bagi pembaca.

Sidoarjo, 1 oktober 2012

Penulis, FIRMAN FIRDAUZ SAPUTRA

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..2 DAFTAR ISI.3 PENDAHULUAN4

BAB I :

CIRI ILMU

PENGETAHUAN.............................................................5 BAB II : DEFINISI

SKEPTISISME8 MACAM-MACAM SKEPTISISME.9 BAB III : MUNCULNYA

SKEPTISISME......11 METODE SKEPTISISME...12 BAB IV : JENIS KERAGUAN DAN

KEYAKINAN.....14 KERAGUAN METODIS DESCRATES.....16 BAB V : SKEPTISISME DALAM HUBUNGANNYA DENGAN ILMU PENGETAHUAN,,..17 PENGARUH SKEPTISISME DALAM MASALAH PROBABLITAS PENGETAHUAN....2 1

BAB VI :

CARA PENEMUAN KEBENARAN

.................................................24 PENEMUAN KEBENARAN DENGAN METODE ILMIAH ..........24 PENEMUAN KEBENARAN DENGAN METODE NONILMIAH,27 KESIMPULAN....3 4 DAFTAR PUSTAKA...35

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Fakta tentang adanya kekeliruan yang tidak hanya menimpa mereka yang awam, tetapi juga para pakar dalam bidangnya, sungguh merupakan hal yang amat mengusik pikiran dan menimbulkan teka-teki. Kalau para pakar dalam bidangnya saja dapat keliru, bukankah sudah sewajarnya kalau setiap klaim kebenaran itu selalu pantas diragukan? Benarkah bahwa kebenaran kepengetahuan itu memang bersifat subjektif sebagaimana dianut oleh aliran subjektivisme? Kalau keterlibatan subjek penahu tidak terhindarkan dalam kegiatan manusia mengetahui, bukankah kebenaran manusia itu selalu bersifat relatif? (Sudarminta, 2002 : 46). Problem pengetahuan itu telah melahirkan banyak sekali aliran yang mengemukakan pendapat dan ajarannya mengenai pengetahuan, kebenaran dan kepastian. Pertumbuhan epistemologi dibentuk oleh terjadinya banyak konflik dan benturan teoretikal mengenai hal-hal tersebut (Pranarka, 1987 : 97). 2. Rumusan Masalah

a. Apa saja ciri-ciri ilmu pengetahuan ? b. Apa definisi skeptisisme ? c. Bagaimana munculnya skeptisisme ? d. Bagaimana keraguan metodis Socrates ? e. Apa hubungan skeptisisme dengan ilmu pengetahuan ? f. Cara apa saja yang dapat di ambil untuk menemukan kebenaran ? 3. Tujuan 1 2 Untuk mengetahui apa saja ciri-ciri ilmu Mengetahui definisi, munculnya skeptisisme. Mengetahui keraguan metodis Socrates dan hubungan skeptisisme dengan ilmu pengetahuan. 3 Dapat mengetahui cara penemuan kebenaran baik secara ilmiah atau non ilmiah

BAB I
CIRI ILMU PENGETAHUAN
Surajio (2007) mengutip beberapa pendapat ahli mengenai ciri ilmu pengetahuan antara lain
1

Menurut The Liang Gie (1987), ilmu pengetahuan dicirikan :


Empiris, artinya pengetahuan diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan; Sistematis, artinya berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan yang teratur

Objektif, artinya ilmu pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi;

Analitis, artinya pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya dan peranan dari bagian-bagian itu

Verifikatif, artinya dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun

Berdasarkan pendapat Daoed Joesoef (1987), pengertian ilmu mengacu pada tiga hal yaitu produk, proses dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk yaitu pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Pengetahuan ilmiah dalam hal ini terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji, dan dibantah oleh seseorang 2 . Ciri-ciri ilmu dari berbagai sumber lain di antaranya : Ilmu pengetahuan tidak bisa menjawab semua pertanyaan. Ilmu memiliki keterbasan dan membatasi lingkup kajiannya pada batas pengalaman manusia. Hal ini menurut Jujun S. Suriasumantri (2003) karena fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia yaitu sebagai alat membantu manusia dalam menanggulangi masalahmasalah yang dihadapinya sehari-hari 3 .

Hasil ilmiah bersifat universal. Ilmu mengasumsikan bahwa alam semesta ini, seperti namanya, sebuah sistem tunggal yang luas di mana aturan-aturan dasar di mana-mana sama. Pengetahuan yang diperoleh dari mempelajari salah satu bagian dari alam semesta ini berlaku untuk bagian lain. Ide-ide ilmiah atau kesimpulan dapat berubah dan bersifat tentatif. Ilmu dapat menerima revisi (hukum-hukum, teori, prinsip, standar, dan lainnya) melalui pengujian terus menerus dan evaluasi, peer review atau replikasi. Pada prinsipnya, teori apapun dapat berubah setelah upaya pembantahan dan teori-teori baru dapat menggantikan yang lama. Hal ini menyebabkan ilmu pengetahuan dapat mengatasi masalahnya sendiri. Sains menuntut bukti kuat Ilmu mengandalkan diverifikasi, terukur, bukti yang sah, yaitu, data yang akurat, pada setiap tahap proses ilmiah. Bukti-bukti dapat dikumpulkan oleh pengukuran dan hanya dengan

indera kita, atau ekstensi dari indera kita (instrumen). Keputusan ilmiah atau evaluasi tidak dipengaruhi oleh perasaan manusia, pengalaman masa lalu atau keyakinan. Pengembangan ilmu dan pengetahuan ilmiah yang tidak dipengaruhi oleh faktor manusia, seperti prasangka, bias, berpikir atau berharap angan, keyakinan pribadi atau prioritas atau preferensi, kebangsaan, jenis kelamin, asal etnis, usia, keyakinan politik, moral dan penilaian estetika dan pilihan atau agama. Ilmu dibentuk oleh logika Kehadiran data yang akurat tidak cukup bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Konsep-konsep ilmiah tidak muncul secara otomatis dari data atau dari jumlah analisis saja. Logika (pengetahuan) dan kreativitas diperlukan untuk membentuk mereka ke dalam hasil ilmiah. Semua pertanyaan ilmiah harus sesuai dengan prinsip-prinsip logis penalaran-yaitu, untuk menguji validitas argumen dengan menerapkan kriteria tertentu inferensi, demonstrasi, dan rasional. Beberapa ciri ilmu pengetahuan lain adalah 4 :

Sains adalah logis (menggunakan formula berdasarkan logika), wajar, dan rasional. Ilmu membuat klaim yang terdefinisi dengan baik berdasarkan bukti terbaik yang tersedia.

Hipotesis ilmiah harus falsifable (sebab bila tidak falsifable berarti tidak bisa diperiksa kesalahan-kesalahannya, sehingga belum bisa dianggap sebagai sains)

Eksperimen ilmiah harus dapat diulang dalam kondisi yang sama. Ilmu memandang kesenjangan yang tidak dapat dijelaskan dalam teori atau bukti dengan kecurigaan.

Ilmu membutuhkan perhatian baik dalam melakukan percobaan, dan dalam memeriksa dan mengevaluasi bukti (hal ini terkait dengan validitas dan reliabilitas)

Ilmu membutuhkan upaya objektivitas, baik pada kontrol variabel dan bias. Sains tidak menerima kebetulan atau korelasi unlinked atau tidak terbukti sebagai bukti.

Parsimoni atau kesederhanaan : bahwa penjelasan yang cukup sederhana lebih disukai.

Ilmu menuntut penggunaan kejujuran dari metode ilmiah dan laporan jujur. Hal ini menyebabkan adanya istilah ilmuwan boleh salah, tapi tidak boleh bohong

BAB II

1. Definisi Skeptisisme Skeptisisme merupakan suatu bentuk aliran yang perlu untuk kenal dan diperhatikan secara seksama, karena skeptisisme adalah satu-satunya aliran yang secara radikal dan fundamental tidak mengakui adanya kepastian dan kebenaran itu, atau sekurang-kurangya skeptisisme menyangsikan secara mendasar kemampuan pikiran manusia untuk memperoleh kepastian dan kebenaran pengetahuan. Meragukan klaim kebenaran atau menangguhkan persetujuan atau penolakan terhadapnya berarti bersikap skeptis. Skeptisisme dapat juga diartikan sebagai pernyataan ragu-ragu pengingkatan. Dalam arti sempit skeptisisme adalah pengingkaran tentang kemungkina mengtahui. Sedangkan dalam arti luas adalah sikap menunda pertimbangan sampai analisis yang kritis selesai dan bukti-bukti yang mungkindiperoleh.1 Istilah skeptisisme berasal dari kata Yunani skeptomai yang secara harfiah berarti saya pikirkan dengan saksama atau saya lihat dengan teliti. Kemudian dari situ diturunkan arti yang biasa dihubungkan dengan kata tersebut, yakni saya meragukan. Secara etimologis, skeptisisme berasal dari kata bahasa Yunani, skeptomai, artinya memperhatikan dengan cermat, meneliti. Para skeptis pada awalnya adalah orang-orang yang mengamati segala sesuatu dengan cermat serta mengadakan penelitian terhadapnya. Para filsuf Yunani kuno dibuat bertanya-tanya oleh adanya beberapa gejala pengalaman keindraan, seperti ilsi, mimpi, halusinasi yang kadang sulit dibedakan dari persepsi keindraan kita yang normal terhadap benda-benda fisik. Par pemikir tersebut tidak akan dikesankan oleh ucapan melihat berarti percaya sebab mereka berpendapat bahwa melihat sendiri masih merupakan jaminan yang lemah bagi kesungguhan kenyataan dari apa yang dilihat. Memang kepastian mutlak mengenai banyak perkara dalam hidup ini sulit diperoleh. Keterbatasan kita sebagai manusia menyebabkan kemungkinan keliru tidak pernah sama sekali dihindari. Artinya, kita

Alif Lukmanul Hakim, Skeptisisme. Subyektifisme dan relatifme.hal : 2

perlu menemukan bukti yang memadai untuk menjamin pendapat, kepercayaan dan klaim pengetahuan kita. Selama bukti-bukti yang ada kita pandang kurang, maka wajar bahwa kita meragukannya. Pada dasarnya, sikap meragukan itu wajar dan perlu apabila memang ada alas an untuk melakukannya.2

2. Macam-Macam Skeptisisme Macam-macam Skpetisisme, diantaranya adalah skeptisisme mutlak atau skeptisisme universal dan skeptisisme nisbi atau skeptisisme partikular. Skeptisisme mutlak atau universal secara mutlak mengingkari kemungkinan manusia untuk tahu dan untuk memberi dasar pembenaran. Jenis skeptisisme yang mengingkari sama sekali kemampuan manusia untuk tahu dan meragukan semua jenis pengetahuan macam ini dalam prakteknya jarang diikuti orang, sebab dalam kenyataannya mustahil untuk dihayati. Bahkan, kaum skeptik di zaman Yunani kuno di atas yang kadang disebut sebagai penganut skeptisisme mutlak, rupanya masih mengecualikan proposisi mengenai apa yang tampak atau langsung dialami dari lingkup hal yang diragukannya. Skeptisisme mutlak dalam prakteknya jarang diikuti karena memang suatu posisi yang sulit dipertahankan. Posisi ini secara eksistensial bersifat kontradiktif dan berlawanan dengan fakta yang eviden (langsung tampak jelas dengan sendirinya). Seorang skeptisis secara implisit (dalam praktek) menegaskan kebenaran dari apa yang secara eksplisit (dalam teori) diingkarinya. Sedangkan skeptisisme nisbi atau partikular tidak meragukan segalanya secara menyeluruh. Varian ini hanya meragukan kemampuan manusia untuk tahu dengan pasti dan memberi dasar pembenaran yang tidak diragukan lagi untuk pengetahuan dalam bidang-bidang tertentu saja. Paham skeptisisme nisbi ini, walaupun tidak bersifat menggugurkan diri sendiri (self-defeating) sebagaimana skeptisisme mutlak, namun biasanya dianut karena salah paham tentang ciri-ciri hakiki pengetahuan manusia dan kebenarannya.3 Dalam sejarah, skeptisisme mengambil banyak bentuk dan warna. Mereka berbeda, baik dalam tema, lingkup, atau bobot keraguannya. Mengenai tema, pada
2 3

J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, ( Yogyakarta : Pustaka utama, 2002 ) hal 47 - 48 Ibid Alif Lukmanul, hal 2-3

zaman Yunani kuno sudah dikenal kelompok Akademisi dan kelompok Pyrrhonian. Kelompok yang pertama, dengan tokohnya seperti Arcesilaus ( 315-241 ) dan Carnades ( 214-129 ), mengajarkan bahwa tidak ada pernyataan yang pasti mengenai apa yang kedua yang dipelopori oleh Pyrro dari Elis ( 360-270 _ dan kemudian diteruskan pada zaman Romawi oleh Sextus Empiricus ( sekitar th 250 M ) tidak menyangkal bahwa pengetahuan mengenai apa yang tidak secara langsung dialami dan mengenai apa yang tidak langsung jelas dengan sendirinya. Macam-macam skeptisisme tidak hanya dibedakan satu sama lain berdasarkan tema keraguannya, tapi, juga berdasarkan lingkup bidang yang diragukannya.4

Ibid, Sudarminta hal 48

BAB III 1. Munculnya Skeptisisme Aliran Skeptisisme muncul hampir sezaman dengan kehadiran Sofisme dimana mereka meragukan adanya kemungkinan pencapaian pengetahuan yang benar terhadap alam eksternal. Mereka mengungkap beberapa argumen dan dalil bahwa kita tidak bisa beranggapan mengetahui secara tepat hakikat-hakikat itu sebagaimana adanya, melainkan kita mesti menyatakan bahwa hakikat-hakikat itu kita pahami berdasarkan kondisi-kondisi dan batasan-batasan dari indra dan persepsi kita masing-masing. Tokoh-Tokohnya: Democritus, Protagoras, Phyrro, Montaigne, Charron, Bayle, Nietze, Spengler, Goblot. Apabila Skeptisisme itu telah sirna di zaman Yunani kuno pada abad kelima sebelum Masehi di tangan para filosof besar Yunani, maka mungkin kita tidak temukan lagi sejenis keraguan terhadap nilai dan validitas pengetahuan yang hadir dalam evolusi pengetahuan astronomi dan ilmu-ilmu alam di Barat. Kita bisa saksikan bagaimana pemikiranpemikiran Sofisme Yunani Kuno seperti Corylas yang kemudian hidup kembali dalam bentuk Idealisme Berkeley. Penyebab munculnya aliran yang meragukan nilai dan validitas pengetahuan adalah perubahan yang mendasar dalam bidang astronomi dan ilmu-ilmu alam serta perubahan pada persoalan-persoalan yang sangat "diyakini" kebenarannya dimana sebelumnya tak dimungkinkan adanya kekeliruan padanya. Sehingga, validitas ilmu dan pengetahuan menjadi sirna dan terungkaplah ketidakberdayaan umat manusia untuk menggapai hakikat, pengetahuan, ilmu, makrifat dan kayakinan. Padahal diketahui bahwa hanya satu bidang keilmuan yang kehilangan validitasnya, namun sangat disayangkan bahwa orang seperti Berkeley mempunyai pandangan ekstrim yang menggeneralisasikan keraguankeraguan tersebut kepada semua ilmu dan pengetahuan. Evolusi pengetahuan di Barat, tidak hanya menghidupkan kembali aliran-aliran seperti Sofisme, melainkan juga menyebabkan filsafat kontemporer itu berubah menjadi suatu

filsafat yang tidak lagi disandarkan dengan subjek-subjek keilmuan dan hanya semata berpijak pada asumsi-asumsi ilmiah. 5 Seorang penganur skeptisisme mengingkari adanya apa yang dinamakan pengetahuan. Pendirian ini biasanya didasarkan atas 2 unsur yakni : 1. Kenisbian penginderaan, 2. Adanya kesepakatan yang sesungguhnya mengenai apa yang merupakan halnya dan yang bukan merupakan halnya. Desscrates mempersoalkan secara sistematis segala sesuatu yang ia kira mengatahui dan sikap skeptisisme seperti merupakan bagian hakiki dari awal penyelidikan filsafat. Sedangkan Kant, ditinjau dari sudut pandang tertentu dapat dinamakan penganut skeptisisme karena ia mengatakan bahwa apa yang kita ketahui ialag segala gejala sesuatu dan tidak pernah mengetahui das ding an sich kecuali hanya mengtahui bahwa hal itu ada. 6 2. Metode Skeptisisme Cara berpikir filosof merupakan metode filsafat yang dikembangkan sebagai filsafat untuk memperoleh pengetahuan hingga tahap kebenaran dikehidupan sehari-hari kita terkadang tidak menyadari bahwa yang kita lakukan merupakan biasa digunakan oleh filsuf. Tahap keraguan Orang sering melakukan refleksi terjadi saat berhadapan dengan kehidupan sehari-hari.

Descrates mengembangkan metode ini yaitu : Meragukan segala sesuatu yang selama ini diterima sebagai suatu kebenaran.

5 6

Ibid, Alif hal. 2-3 Louis Kattsoff, Pengantar filsafat (yogya: Tiara Wcana , 2004 ) hal 148-149

Mengklasifikasikan persoalan dari hal yang sederhana sampai hal yang rumit Meelakukan pemecahan masalah dari hal yang rumit sampai hal yang paling rumit Memeriksa kembali secara menyeluruh barang kali masih ada hal-hal yang masih tersisa.

BAB IV

1. Jenis-Jenis Keraguan dan Keyakinan Setiap manusia mungkin mengalami perbedaan dalam kualitas keyakinan dan keraguan, walaupun terdapat perkara yang tak diragukan oleh satu individu pun, namun manusia akan mengalami keraguan yang nyata dalam bagian-bagian tertentu dari perkara tersebut. Faktor-faktor perbedaan pada manusia dalam derajat keraguan dan keyakinan terkadang bersumber dari masalah kejiwaan, aspek internal manusia, dan pemikiran. Maka dari itu, keyakinan dan keraguan dapat dibagi berdasarkan faktor-faktor yang melatar belakanginya dan perkara-perkara yang berhubungan dengannya serta kualitas kejiwaan setiap manusia. a. Keraguan-keraguan itu bisa dibagi berdasarkan objek, subjek, dan pengaruhpengaruh yang ditimbulkannya. 1. Keraguan mutlak dan relatif. Apabila manusia ragu terhadap semua persoalan bahkan pada dirinya sendiri, maka hal seperti ini disebut dengan keraguan mutlak. Selain dari hal ini dinamakan dengan keraguan relatif; 2. Keraguan psikis, pertanyaan, dan kondisional. Keraguan bisa hadir karena kondisi kejiwaan seseorang dan juga sangat mungkin muncul karena pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan logika serta kondisi-kondisi zaman, seperti pada zaman Renaissance yang terjadi di Barat dimana telah menghadirkan berbagai keraguankeraguan tertentu; 3. Keraguan ilmiah, filosofis, dan umum. Keraguan global bisa menimpa banyak orang seperti keraguan terhadap kejadian-kejadian yang dikatakan hadir dalam sejarah manusia. Begitu pula pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan filosofis sangat sarat memunculkan keraguan-keraguan, seperti keraguan sebagian filosof berkenaan dengan gerak dan yang semacamnya; 4. Keraguan yang merusak dan membangun. Keraguan dapat dibagi menjadi demikian dengan berdasarkan pengaruh dan efeknya yang positif dan negatif. Keraguan yang berimbas pada rukun-rukun penting keagamaan dan asas-asas akhlak adalah jenis keraguan yang merusak, sementara keraguan yang menyentuh wilayah

penelitian ilmiah dan pengetahuan manusia merupakan bentuk keraguan yang membangun; 5. Keraguan fundamental dan struktural. Keraguan bisa menjadi dasar bagi hadirnya keraguan-keraguan yang lain. Keraguan dalam ranah aksioma-aksioma dan asas-asas global disebut dengan keraguan fundamental, sementara keraguan yang hadir dalam domain dan wilayah permasalahan-permasalahan ilmiah dan teoritis dinamakan dengan keraguan struktural; 6. Keraguan ontologis dan epistemologis. Keraguan dalam ranah hakikat-hakikat eksistensi dan perkara-perkara wujud disebut dengan keraguan ontologis. Dan keraguan yang berhubungan dengan kemungkinan pencapaian sebuah keyakinan, ilmu, dan pengetahuan dinamakan keraguan epistemologis; 7. Keraguan yang dikehendaki dan yang dipaksakan. Apabila seseorang secara sadar dan sengaja meragukan sesuatu supaya menggapai suatu keyakinan yang lebih tinggi atau ingin menjadi seorang peneliti, maka keraguannya tersebut dinamakan keraguan yang dikehendaki. Jika tidak demikian, yakni dia terpaksa dan diluar kehendaknya melakukan suatu penelitian atas suatu perkara yang meragukannya, maka hal seperti ini digolongkan sebagai keraguan yang dipaksakan. b. Macam-macam keyakinan Keyakinan juga dapat memiliki varian-varian yang didasarkan oleh faktor-faktor tertentu, kondisi-kondisi internal individu, dan perkara-perkara lainnya, antara lain: 1. Keyakinan logikal dan non-logikal. Keyakinan yang sama sekali tidak terdapat keraguan di dalamnya atau keyakinan yang memuncak disebut dengan keyakinan logikal. Keyakinan yang masih menyisakan bentuk-bentuk keraguan merupakan suatu keyakinan yang nonlogikal; 2. Keyakinan hakiki dan non-hakiki (merasa mengetahui). Kalau keyakinan itu bersesuaian dengan realitas maka dinamakan keyakinan hakiki dan logikal. Apabila tidak demikian, maka dikategorikan ke dalam bentuk keyakinan yang non-hakiki; 3. 'Ilm al-yaqin, 'ain al-yaqin, haqq al-yaqin. Keyakinan pertama berhubungan dengan pengetahuan universal dan teoritis. Dan keyakinan kedua berkaitan dengan pengetahuanpengetahuan intuitif dan penyaksian (musyahadah) hakikat-hakikat segala sesuatu. Serta keyakinan ketiga merupakan keyakinan yang tertinggi dimana tidak terdapat jarak lagi antara subjek yang mengetahui ('alim) dan objek yang diketahui (ma'lum dan hakikathakikat sesuatu), atau dengan ungkapan lain, terwujudnya kesatuan eksistensial antara 'alim

dan ma'lum; 4. Keyakinan orang awam, para filosof, dan urafa. Keyakinan-keyakinan ini bertingkattingkat dalam kualitas sesuai dengan landasan dan dasar pengetahuan-pengetahuan mereka; 5. Keyakinan taklidi dan ijtihadi. Keyakinan yang dihasilkan dari mengikuti dan taklid pada seseorang yang dipercayai disebut dengan keyakinan taklidi. Sementara keyakinan yang digapai dari proses-proses usaha dan aktivitas observasi individual dinamakan dengan keyakinan ijtihadi; 6. Keyakinan ontologis dan epistemologis. Keyakinan ontologis adalah suatu keyakinan yang berhubungan dengan eksistensi dan realitas alam wujud, sementara keyakinan epistemologis merupakan sejenis keyakinan yang berkaitan dengan proses pencapaian dan penggapain suatu pengetahuan dan makrifat yang sesuai dengan realitas dan hakikat sesuatu; 7. Keyakinan indrawi, rasional, intuitif, dan tekstual. Tingkatan-tingkatan yang terdapat pada keyakinan-keyakinan seperti ini sangat ditentukan oleh media-media dan alat-alat yang menjadi sumber dan asal keyakinan dan pengetahuan itu.7 2. Keraguan Metodis Descrates Dengan keraguan metodis ini dimaksudkan suatu sikap untuk menganggap sebagai tidak nyata atau palsu segala sesuatu yang masih bias diragukan kebenarannya, bahkan kalau sedikit saja diragukan. Keraguan ini kadang dikatakan sesuatu yang bersifat keterlaluan atau hiperbolis. Apabila Descrates sampai mengandaikan adanya roh jahat yang licik yang etrus-menerus menipu kita dalam semua penilaian dan putusan kita seharihari. Tujuannya adalah untuk menghasilkan paling tidak satu fakta ekssistensial yang kebenarannya tak teragukan lagi. Descrates bermaksud membangun kembali pengetahuan yang didasarkan yang kokoh dan kebenarannya tidak diragukan lagi.8

7 8

Ibid Alif hal 2-5 Ibid Sudarminta hal 49

BAB V

1. Skeptisisme Dalam Hubungannya Dengan Ilmu Pengetahuan Upaya dan usaha semua manusia dan khususnya para ilmuan dalam menyingkap hakikat-hakikat segala sesuatu merupakan ciri dan pertanda bahwa manusia yang berakal sehat (bukan para sofis dan skeptis) mempercayai dan meyakini bahwa terdapat sesuatu yang diketahui dan terdapat pula sesuatu bisa diketahui. Begitu pula dalam wilayah mana manusia tidak memiliki kemungkinan untuk dapat memahami dan mengetahui, seperti kemustahilan dan ketidakmampuan manusia menyingkap dan mengungkap hakikat zat Sang Pencipta. Baik dalam filsafat Barat maupun dalam filsafat Islam akan diperhadapkan dengan beberapa keraguan dan kritikan dimana salah satu yang terpenting adalah keraguan terhadap probabilitas dan kemungkinan pencapaian ilmu dan pengetahuan. Yang pasti dalam filsafat Barat keraguan semacam itu sangatlah kental dan bahkan telah melahirkan beberapa aliran yang secara terang-terangan mendukung pemikiran semacam itu. Realitas ini sedikit berbeda dalam filsafat Islam dimana hal tersebut hanyalah sebatas sebuah kritikan dimana para filosof Muslim telah mencarikan solusi yang tepat dan jawaban yang proporsional. Kritikan ini dapat dilihat dalam perjalanan pemikiran Al-Gazali dimana awalnya mengalami semacam keraguan dan melontarkan berbagai kritikan pada unsur-unsur pemikiran filsafat Islam, namun pada akhirnya dia mencapai suatu keyakinan baru dan berhasil keluar dari kemelut pemikiran. Keraguan yang dilontarkan oleh kaum sofis dalam ranah makrifat dan keyakinan memiliki dua bentuk: 1. Kemampuan akal dalam menggapai hakikat sesuatu; 2. Berkaitan dengan sebagian pengenalan-pengenalan manusia.

Keraguan dalam bentuk pertama dapat dijabarkan secara universal sebagai berikut: 1. Alat dan sumber pengetahuan, keyakinan, ilmu, dan makrifat manusia adalah indra dan akal;

2. Indra dan akal manusia rentan dengan kesalahan, karena kesalahan penglihatan, pendengaran, dan rasa itu tidak dapat dipungkiri dan juga tidak tertutup bagi seseorang mengenai kontradiksi-kontradiksi akal serta beberapa kekeliruannya. Dalam banyak kasus di sepanjang sejarah, kita menyaksikan dalil-dalil rasional dan argumentasi-argumentasi akal telah dibangun, namun seiring berlalunya waktu secara bertahap dalil dan argumentasi tersebut satu persatu menjadi batal; 3. Kesalahan dan kekeliruan kedua sumber pengetahuan dan makrifat tersebut dalam beberapa hal tidaklah nampak, akan tetapi tetap saja tidak dapat dijadikan landasan dan tertolak. Dengan demikian, berdasarkan ketiga pendahuluan di atas yakni pengetahuan dan makrifat manusia yang dihasilkan lewat jalur indra dan akal adalah tidak dapat dijadikan pijakan dan karena manusia hanya mempunyai dua jalur dan sumber pengetahuan ini maka sangatlah logis apabila manusia meragukan apa-apa yang dipahami dan diyakininya tersebut serta sekaligus mengetahui bahwa mereka mustahil mencapai suatu keyakian dan pengetahuan yang hakiki. Atau keraguan itu bisa dipaparkan dalam bentuk ini bahwa senantiasa terdapat jarak antara manusia dan realitas atau gambaran-gambaran pikiran dan persepsi-persepsinya itu, dan pikiran manusia, Keraguan-keraguan yang terlontarkan dalam filsafat Islam adalah sebagai berikut: 1. Indra melakukan kesalahan dan kekeliruan, sedangkan segala sesuatu yang salah dan keliru tidak dapat dijadikan pijakan, sementara mayoritas pengetahuan dan makrifat manusia bersumber dari indra dan empirisitas; 2. Dalam banyak permasalahan manusia berargumentasi dan berdalil dengan akal dan rasionya, akan tetapi setelah berlalunya waktu nampaklah berbagai kesalahan-kesalahan argumentasi rasional itu. Oleh karena itu, kita tidak dapat bersandar pada argumentasi dan burhan akal, pada saat yang sama kita menyaksikan bahwa begitu banyak pengetahuan dan makrifat manusia bersumber dari akal. 3. Keberadaan perkara-perkara yang saling kontradiksi dan bertolak belakang satu sama lain dalam pemikiran-pemikiran manusia telah menyebabkan hadirnya sejenis keraguan dan ketidakpercayaan pada salah sumber pengetahuan dan makrifat yakni akal dan rasio; 4. Perbedaan yang nyata di antara para filosofdan pemikir dalam wilayah pemikiran dan keilmuan telah menunjukkan bahwa upaya pencapaian suatu pengetahuan dan makrifat

hakiki adalah hal yang sangat sulit atau hampir-hampir mustahil; 5. Keberadaan argumen-argumen yang sempurna dan dapat diterima pada dua persoalan yang saling kontradiksi dan berbenturan satu sama lain telah menampakkan kepada kita bahwa segala argumentasi akal tidaklah nyata dan hakiki; 6. Apabila cukup dengan keyakinan akal bahwa sesuatu itu ialah aksioma, maka hal ini bisa diajukan suatu kritikan bahwa akal meyakini suatu perkara yang secara potensial mengandung kesalahan, oleh karena itu, tidak mesti mempercayai perkara itu karena sama sekali tidak berpijak pada tolok ukur. Dengan demikian, keyakinan akal dalam aksiomaaksioma tidak valid; 7. Manusia dalam keadaan tidur menyaksikan seluruh perkara itu nampak secara nyata dan hakiki, akan tetapi setelah terbangun dia kemudian memahami bahwa semua yang disaksikan tersebut hanyalah suatu hayalan dan mimpi. Maka dari itu, bagaimana kita bisa meyakini bahwa kita sekarang ini tidak dalam keadan tidur dan berhayal serta apa-apa yang kita saksikan tersebut bukanlah suatu mimpi belaka; 8. Manusia-manusia yang berpenyakit dan gila menyangka bahwa perkara-perkara yang tidak riil itu adalah perkara-perkara yang nyata dan hakiki. Dengan demikian, bagaimana kita dapat mempercayai bahwa kita tidak sementara terjangkit suatu penyakit tertentu atau sedang mengalami suatu kesalahan dalam sistem pemikiran dan kontemplasi; 9. Akal mampu menampakkan kesalahan dan kekeliruan indra, namun apakah kita yakin bahwa tidak terdapat sesuatu atau perkara lain yang dapat menunjukkan secara jelas kesalahan dan kekeliruan akal itu? 10. Jumlah aksioma-aksioma itu sangatlah terbatas dan semuanya berpijak pada satu proposisi yakni "kemustahilan bergabungnya dua perkara yang saling berlawanan". Proposisi ini bersandar pada konsepsi tentang ketiadaan dan kemustahilan yang terdapat dalam proposisi itu (kemustahilan bergabungnya ) dimana akal tidak mampu memahaminya, karena kemustahilan itu sendiri tidak mempunyai individu-individu dan objek-objek eksternal; 11. Keragaman dan perbedaan dalam karakteristik dan potensi setiap individu, lingkungan dan ekosistemnya, dan budaya-budayanya telah menyebabkan munculnya berbagai persepsipersepsi dan pandangan-pandangan yang juga beragam; 12. Menyingkap sesuatu yang tidak diketahui adalah hal yang mustahil, mengungkap suatu hakikat merupakan hal yang tak mungkin, karena hakikat itu tak diketahui; 13. Pengetahuan hudhuri dipandang sebagai pengetahuan yang paling tinggi dan sempurna. Pengetahuan kepada diri sendiri adalah bersifat hudhuri, sementara semua orang tidak bisa

mengetahui "hakikat diri sendiri" dan tidak mampu menyelami esensi "pengetahuan kepada diri sendiri" itu. Dengan demikian, kita pun tidak mungkin mengetahui segala sesuatu selain "diri kita sendiri"; 14. Pencapaian konsepsi-konsepsi di luar dari batas iradah dan kehendak kita, karena hal ini menyebabkan kita mengetahui sesuatu yang telah kita ketahui sebelumnya atau mengetahui sesuatu yang mutlak tidak diketahui, kedua konsekuensi ini adalah batil. Dengan demikian, pembenaran sesuatu yang aksioma adalah mustahil, oleh karena itu, tertutup jalan untuk meraih keyakinan; 15. Semakin kita menyelami realitas dan hakikat sesuatu maka yang dihasilkan tidak lain hanyalah persepsi itu sendiri. Oleh karena itu, yang bisa ditegaskan hanyalah "diri kita" dan "persepsi kita", inilah makna dari suatu pernyataan bahwa "satu-satunya realitas eksternal yang kita miliki" tidak lain adalah persepsi itu sendiri; 16. Apabila pengetahuan dan makrifat manusia bersifat penyingkapan dan pencerminan terhadap objek-objek eksternal, maka tidak mungkin terdapat kesalahan; 17. Manusia di awal kelahirannya sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan jahil terhadap aksioma-aksioma. Oleh karena itu, aksioma-aksioma tersebut dihasilkan oleh manusia setelah berinteraksi secara luas dengan alam dan lingkungannya, aksioma bukanlah merupakan fitrah dan pembawaan alami manusia Sementara keraguan-keraguan yang muncul dalam tradisi filsafat Barat antara lain: 1. Indra dan akal melakukan kesalahan dan kekeliruan, oleh karena itu tidak dapat dijadikan landansan; 2. Terdapat kontradiksi-kontradiksi antara akal itu sendiri dan manusia yang berakal dalam wacana filsafat; 3. Menegaskan setiap sesuatu niscaya membutuhkan serangkaian dasar-dasar, dan membuktikan dasar-dasar itu mesti memerlukan pendahuluan-pendahuluan, demikianlah seterusnya hingga tak terbatas. Konklusinya, perolehan makrifat dan pengetahuan ialah hal yang tak mungkin; 4. Metode induksi tidak menghasilkan suatu keyakinan; 5. Adanya perbedaan riil pada indra-indra manusia serta perbedaan persepsi di antara indraindra itu, perbedaan di antara manusia-manusia dari dimensi tubuh dan jiwa, pertentangan indra-indra, perbedaan syarat-syarat yang menyebabkan pula lahirnya perbedaan pada persepsi-persepsi indrawi, perbedaan benda-benda dari dimensi jarak dan tempat, perbedaan benda-benda dari aspek horizontal yakni benda satu di atas dan benda yang lain di bawah,

dan perbedaan hukum-hukum adab dan etika. Kesemua perbedaan tersebut berkonsekuensi bahwa tak satupun ilmu dan makrifat dapat dihasilkan; 6. Fenomena-fenomena akibat (ma'lul) dan tanda-tanda sebab ('illah) tidaklah tersembunyi, karena semua manusia menyaksikan bahwa fenomena-fenomena itu adalah sama, akan tetapi, terdapat perbedaan dan keragaman dalam penentuan sebab-sebabnya; 7. Apakah kita benar-benar yakin bahwa tidak dalam keadaan tidur dan bermimpi; 8. Adanya kemungkinan kita ditipu oleh setan; 9. Proposisi yang berbunyi, "A ada", yakni "Saya mengetahui keberadaan A itu", dengan demikian, selain "saya" dan persepsi-persepsi "saya" adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan keberadaanya; 10. Tidak terdapat perbedaan antara "kualitas pertama" dan "kualitas kedua", sebagaimana "kualitas pertama" seperti warna dan bau adalah tidak hakiki, begitu pula "kualitas kedua" seperti panjang dan bentuk adalah juga tidak hakiki; 11. Prinsip kausalitas itu merupakan buatan pikiran semata, karena konsepsi-konsepsinya bersumber dari pikiran yang tidak diperoleh lewat indra-indra yang lima itu; 12. Pikiran manusia sama seperti kaca mata, atau fungsinya menimal sama dengan kaca mata. Oleh karena itu, tak satupun dari persepsi-persepsi yang dapat dipercaya; 13. Mungkin pikiran kita sama saja dengan suatu wadah yang menerima dan menyimpan apa saja yang diberikan padanya, maka dari itu, kesalahan persepsi-persepsi tidak semua dapat ditegaskan dan dibuktikan secara nyata. 9 2. Pengaruh Skeptisisme Dalam Masalah Probabilitas Pengetahuan Salah satu dalil penting kaum sofis adalah bahwa di antara para pemikir, ilmuan, dan filosof dunia tidak akan pernah disaksikan ada kesamaan secara utuh dalam pemikiran-pemikiran mereka. Kaum sofis dan skeptis yang karena memandang bahwa perolehan pengenalan dan pengetahuan benar adalah tidak mungkin maka salah satu buktinya hadirnya berbagai perbedaan dan kontradiksi di antara para pemikir tersebut, dan apa-apa yang menurut seseorang ialah suatu kenyataan dan hakikat, sangat mungkin bagi orang lain merupakan suatu hayalan kosong atau

http://fauzizone88.multiply.com/journal/item/1/ALIRAN_SKEPTISISME_DALAM_ILM U_PENGETAHUAN

sebaliknya. Di samping itu mereka menambahkan bahwa konsepsi-konsepsi kita atas dunia luar mengikuti pengaruh-pengaruh indra kita, Kesalahan terbesar mereka ialah bahwa mencampuradukkan antara batasan pengetahuan manusia dengan dasar-dasar makrifat. Argumentasi dan dalil mereka sama sekali tidak menafikan masalah kemungkinan pengetahuan dan bahkan mereka sendiri menegaskan keterbatasan makrifat manusia serta menyatakan bahwa terkadang pengetahuan manusia bercampurnya dengan kesalahan. Mereka ini tidak ingin mengingkari keberadaan batu meteor misalnya, tetapi menyatakan bahwa yang hanya ada adalah satu titik terang dimana karena pengaruh kesalahan penglihatan nampaklah sebagai satu garis panjang api. Begitu banyak orang menerima pengetahuan-pengetahuan akisoma atau persoalan yang sudah lazim dimana tidak ada lagi keraguan dalam kebenarannya, dalam hal ini, manusia tidak boleh memandang secara negatif bahwa seluruh pemikiran dan pengetahuannya sendiri adalah tidak valid dan tidak benar.10

10

Ibid Alif hal 6-10

BAB VI
1. CARA PENEMUAN KEBENARAN

Antara Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan (knowledge) sudah puas dengan menangkap tanpa ragu kenyataan sesuatu, sedangkan ilmu (science) menghendaki penjelasan lebih lanjut dari sekedar apa yang dituntut oleh pengetahuan.

Contoh: Si Buyung mengetahui bahwa pelampung kailnya selalu terapung di air, ia akan membantah jika dikatakan bahwa gabus pelampungnya itu tenggelam, sampai disini wilayah pengetahuan. Namun, jika ia memahami bahwa berat jenis pelampung lebih kecil dibandingkan berat jenis air sehingga mengakibatkan pelampung selalu terapung, maka ini telah memasuki wilayah ilmu.

Untuk mencapai kebenaran pengetahuan dan ilmu tersebut ditempuh oleh manusia dengan cara ilmiah dan non-ilmiah.

Cara penemuan kebenaran ilmiah

Penemuan kebenaran dengan cara ilmiah adalah berupa kegiatan penelitian ilmiah dan dibangun atas teori-teori tertentu. kita dapat pahami bahwa teori-teori tersebut berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang dilakukan secara sistematis dan terkontrol berdasarkan data-data empiris yang ditemukan di lapangan.

Teori yang ditemukan harus dapat diuji keajekan dan kejituan internalnya. Artinya, jika penelitian ulang dilakukan dengan langkah-langkah serupa pada kondisi yang sama maka akan diperoleh hasil yang sama atau hampir sama.

Untuk sampai pada kebenaran ilmiah ini, maka harus melewati 3 tahapan berpikir ilmiah yang harus dilewati, yaitu: 1) Skeptik; 2) Analitik; dan 3) Kritis.

1. Skeptik Cara berfikir ilmiah pertama ini ditandai oleh cara orang di dalam menerima kebenaran informasi atau pengetahuan tidak langsung di terima begitu saja, namun dia berusaha untuk menanyakan fakta atau bukti terhadap tiap pernyataan yang diterimanya.

2. Analitik Ciri ini ditandai oleh cara orang dalam melakukan setiap kegiatan, ia selalu berusaha menimbang-nimbang setiap permasalahan yang dihadapinya, mana yang relevan dan mana yang menjadi masalah utama dan sebagainya.Dengan cara ini maka jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi akan dapat diperoleh sesuai dengan apa yang diharapkan.

3. Kritis Ciri berfikir ilmiah ketiga adalah ditandai dengan orang yang selalu berupaya mengembangkan kemampuan menimbang setiap permasalahan yang dihadapinya secara objektif. Hal ini dilakukan agar semua data dan pola berpikir yang diterapkan selalu logis.

Cara lein untuk mengetahui kebenaran ilmiah adalah dengan caramenggunakan penelitian ilmiah : Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin tahu pada diri manusia. Untuk sampai pada penyaluran yang tinggi tarafnya disertai oleh keyakinan-keyakinan bahwa ada sebab bagi setiap akibat, dan bahwa suatu gejala yang nampak dapat dicari penjelasannya secara ilmiah. Penelitian merupakan suatu proses yang terjadi dari suatu rangkaian langkah yang dilakukan secara terencana dan istematis untuk memperoleh jawaban terhadap sejumlah pertanyaan. Pada setiap penelitian ilmiah melekat cirri-ciri universal seperti : 1. Pelaksanaan dan proses yang serba metodis 2. Mencapai suatu totalitas yang logis dan koheren 3. Memiliki nilai obyektivitas yang tinggi.

PENELITIAN HARUS OBYEKTIF: Setiap penelitian ilmiah harus obyektif, artinya terpimpin oleh obyek dan tidak mengalami distorsi karana adanya prejudice [prasangka]. Agar penelitrian dapat mewujudkan tingkat

obyektivitasnya maka tuntutan intrasubyektivitas perlu dipenuhi. Penelitian harus diverivikasi secara ilmiah dan mampu/handal diverifikasi oleh semua peneliti yang relevan, Atau dapat disirtilahkan bahwa prosedur ilmiah yang dilakukan harus terbuka untuk diperiksa oleh ilmuwan lain. Titik tolak inilah yang mendorong penelitian iliah memiliki keharusan untuk

PENGGUNAAN BAHASA DALAM PENELITIAN ILMIAH. Penelitian ilmiah sangat diharapkan menggunakan bahasa yang komunikatif yang dapat dimengerti oleh siapa saja yang ingin mengetahui hasil penelitian, tetapi memang ada pula penelitian yang menggunkan bahasa khusus atau artifisisal yang hanya dimengerti oleh beberapa ahli tertentu.

PENELITIAN ILMIAH DISEBUT PULA DENGAN ISTILAH PROGRESIVITAS: Maksud progresivitas adalah gambaran suatu jawaban ilmiah yang benar-benar memiliki sifat ilmiah karena jawaban yang diberikan tersebut mengandung sebuah masalah-masalah yang baru [Novelty]. Istilah yang erat kaitannya dengan sifat progresivitas adalah sikap kritis yang diberikan oleh setiap penelitian ilmiah.

PENELITIAN ILMIAH HARUS BERMUATAN PENINGKATAN KUALITAS HIDUP MANUSIA: Pada era global atau era yang sarwa modern ini hasil-hasil penelitian diharapkan mempunyai kontribusi pada apeningkatan taraf hidup manusia, oleh karenanya meruipakan kewajiban bahwa penelitian ilmiah harus menempatkan Axiologi sebagai tujuannya.

PENELITIAN ILMIAH DAN KARAKTERNYA: Meskipun telah disebutkan sejumlah ciri umum ilmu sebagai karakter ilmu, ternyata masih diperlukan pula pemahaman terhadap nuansa yang terdapat diantara ilmu alam [natural science] dengan ilmu-ilmu yang bersifat hermeneutic.

Cara penemuan kebenaran non-ilmiah

1. Akal sehat (common sence) Akal sehat menurut Counaut adalah serangkaian konsep dan bagan yang memuaskan untuk kegunaan praktis bagi manusia. Sedangkan bagan konsep adalah seperangkat konsep yang dirangkaikan dengan dalil-dalil hipotesis dan teori.

2. Prasangka Penemuan pengetahuan yang dilakukan melalui akal sehat kebanyakan diwarnai oleh kepentingan orang yang melakukannya. Hal ini menyebabkan akal sehat mudah berubah menjadi prasangka. Dengan akal sehat orang cenderung ke arah perbuatan generalisasi yang terlalu dipaksakan, sehingga hal tersebut menjadi prasangka.

3. Pendekatan intuitif Dalam pendekatan ini orang memberikan pendapat tentang suatu hal yang berdasarkan atas pengetahuan yang langsung atau didapat dengan cepat melalui proses yang tidak disadari atau tidak dipikirkan terlebih dahulu. Dengan intuitif orang memberi penilaian tanpa didahului oleh suatu renungan.

4. Penemuan kebetulan dan coba-coba Penemuan secara kebetulan dan coba-coba, banyak diantaranya yang sangat berguna. Penemuan ini diperoleh tanpa rencana, dan tidak pasti. Misalnya, seorang anak yang terkunci dalam kamar, dalam kebingungannya ia mencoba keluar lewat jendela dan berhasil.

5. Pendapat otoritas ilmiah dan pikiran ilmiah Otoritas ilmiah biasanya dapat diperoleh seseorang yang telah menempuh pendidikan formal tertinggi, misalnya Doktor atau seseorang dengan pengalaman profesional atau kerja ilmiah dalam suatu bidang yang cukup banyak (profesor). Pendapat mereka seringkali diterima sebagai sebuah kebenaran tanpa diuji, karena apa yang mereka telah dipandang benar. Padahal, pendapat otoritas ilmiah tidak selamanya benar, bila pendapat tersebut tidak disandarkan pada hasil penelitian, namun hanya disandarkan pada pikiran logis semata. 6. Penemuan Kebenaran secara kebetulan Suatu peristiwa yang tidak disengaja kadang-kadang ternyata menghasilkan suatu kebenaran yang menambah perbendaharaan pengetahuan manusia, karena sebelumnya kebenaran itu tidaklah diketahui. Sepanjang sejarah manusia, penemuan secara kebetulan itu banyak terjadi, dan banyak di antaranya yang sangat berguna. Penemuan secara kebetulan diperoleh tanpa rencana, tidak pasti serta tidak melalui langkah-langkah yang sistimatik dan terkendali (terkontrol). Anda pasti pernah membaca atau mendengar, salah satu contoh penemuan secara kebetulan adalah tentang peristiwa yang dialami seorang Indian yang menderita penyakit demam dengan panas yang tinggi. Yang bersangkutan dalam keadaan tidak berdaya terjatuh pada aliran sebuah sungai kecil yang airnya kelihatan berwarna hitam. Setelah berulang kali meminum air sungai yang terasa pahit itu, ternyata secara berangsurangsur yang bersangkutan menjadi sembuh. Kemudian diketahuilah bahwa air yang berwarna hitam itu ternyata disebabkan oleh sebatang pohon kina yang tumbang di hulu sungai sebagai sebab yang sebenarnya dari kesembuhan orang tersebut. Dari kejadian yang

tidak disengaja atau kebetulan itu, akhirnya diketahuilah bahwa kina merupakan obat penyembuh demam yang disebut malaria. Cara menemukan kebenaran seperti tersebut diatas bukanlah cara yang sebaikbaiknya, karena manusia bersifat pasif dan menunggu. Bagi ilmu, cara tersebut tidak mungkin membawa perkembangan seperti diharapkan, karena suatu kebetulan selalu berada dalam keadaan yang tidak pasti, datangnya tidak dapat diperhitungkan secara berencana dan terarah. Oleh karena itu cara ini tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam metode keilmuan untuk menggali kebenaran pengetahuan. Contoh lain, pernahkan Anda memperoleh pengalaman ketika jam beker berhenti, kemudian kita tepuk-tepuk dan ternyata jalan lagi. Contoh ini tidak bisa berlaku dalam setiap beker mati untuk bisa hidup kembali. 7. Penemuan kebenaran dengan trial and error Mencoba sesuatu secara berulang-ulang, walaupun selalu menemukan kegagalan dan akhirnya menemukan suatu kebenaran disebut cara kerja trial and error. Dengan cara ini seseorang telah aktif melakukan usaha untuk menemukan sesuatu, meskipun sebenarnya tidak mengetahui dengan pasti tentang sesuatu yang ingin dicapainya sebagai tujuan dalam melakukan percobaan itu. Penemuan coba-coba (trial and error) diperoleh tanpa kepastian akan diperolehnya sesuatu kondisi tertentu atau pemecahan sesuatu masalah. Usaha cobacoba pada umumnya merupakan serangkaian percobaan tanpa kesadaran akan pemecahan tertentu. Pemecahan terjadi secara kebetulan setelah dilakukan serangkaian usaha; usaha yang berikut biasanya agak lain, yaitu lebih maju, daripada yang mendahuluinya. Penemuan secara kebetulan pada umumnya tidak efisien dan tidak terkontrol. Dari satu percobaan yang gagal, dilakukan lagi percobaan ulangan yang mengalami kegagalan pula. Demikian dilakukan terus percobaan demi percobaan dan kegagalan demi kegagalan, tanpa rasa putus asa sehingga akhirnya sebagai suatu surprise dari serangkaian percobaan itu ditemukan suatu kebenaran. Kebenaran yang menambah perbendaharaan pengetahuan, yang kebenarannya semula tidak diduga oleh yang bersangkutan. Anda mungkin masih ingat salah satu contoh yang dicobakan oleh Robert Kock dengan mengasah kaca hingga terbentuk sebagai lensa, yang mampu memperbesar benda-benda yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, kacakaca itu diasah tanpa mengetahui tujuannya. Akhirnya ternyata lensa yang ditemukannya itu telah mendasari pembuatan

mikroskop, yang pada giliran berikutnya melalui trial and error telah mengantarkan yang bersangkutan pada keberhasilan menemukan basil atau kuman penyakit Tuberculose (TBC). Sebagaimana dikatakan di atas cara ini sudah menunjukkan adanya aktivitas manusia dalam mencari kebenaran, walaupun lebih banyak mengandung unsurunsur untung-untungan. Di samping itu cara tersebut kerap kali memerlukan waktu yang lama karena kegiatan mencoba itu tidak dapat direncanakan, tidak terarah dan tidak diketahui tujuannya. Dengan kata lain cara ini terlalu bersifat meraba-raba, tidak pasti dan tanpa pengertian yang jelas. Oleh karena itulah maka cara trial and error tidak dapat diterima sebagai metode keilmuan dalam usaha menggungkapkan kebenaran ilmu, terutama karena tidak memberikan jaminan untuk sampai pada penemuan kebenaran yang dapat mengembangkan ilmu secara sistematik. 8. Penemuan kebenaran melalui otoritas atau kewibawaan Di dalam masyarakat, kerapkali ditemui orang-orang yang karena kedudukan pengetahuannya sangat dihormati dan dipercayai. Orang tersebut memiliki kewibawaan yang besar di lingkungan masyarakatnya. Banyak pendapatnya yang diterima sebagai kebenaran. Kepercayaan pada pendapatnya itu tidak saja karena kedudukannya di dalam masyarakat itu, misalnya sebagai pemimpin atau pemuka adat atau ulama dan lain-lainnya, tetapi dapat juga karena keahliannya dalam bidang tertentu. Otoritas ilmiah adalah orangorang yang biasanya telah menempuh pendidikan formal tertinggi atau yang mempunyai pengalaman kerja ilmiah dalam sesuatu bidang yang cukup banyak. Pendapat-pendapat mereka sering diterima orang tanpa diuji, karena dipandang benar. Namun, pendapat otoritas ilmiah itu tidak selamanya benar. Ada kalanya, atau bahkan sering, pendapat mereka itu kemudian ternyata tidak benar, karena pendapat tersebut tidak diasalkan dari penelitian, melinkan hanya didasarkan atas pemikiran logis. Kiranya jelas, bahwa pendapat-pendapat sebagai hasil pemikiran yang demikian itu akan benar kalau premise-premisenya benar. Kembali ke masa lampau, Anda pasti mengenal teori evolusi dari Darwin, yang selama ini diakui kebenarannya oleh banyak orang, tiada lain arena yang bersangkutan dipandang ahli dibidangnya sehingga mampu meyakinkan tentang kebenaran teorinya walaupun tidak bertolak dari pembuktian ilmiah melalui fakta fakta pengalaman. Di samping itu banyak tokoh-tokoh sejarah yang karena memiliki otoritas atau kewibawaan di lingkungan masyarakatnya, berbagai pendapat yang dikemukakannya dipandang sebagai kebenaran, walaupun berlakunya terbatas selama jangka waktu tertentu.

Misalnya Hitler dengan teorinya tentang ras Asia sebagai ras yang terbaik di dunia. Sukarno sebagai presiden di zamannya dengan berbagai teorinya mengenai politik, kemasyarakatan, ekonomi dan lain-lainnya. Pendapat-pendapat seperti itu kerapkali berguna juga, terutama dalam merangsang dan memberi landasan bagi usaha penemuan-penemuan baru di kalangan orang-orang yang menyangsikannya. Akan tetapi cara inipun tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam metode keilmuan karena lebih banyak diwarnai oleh subjektivitas dari orang yang mengemukakan pendapat tersebut. 9. Penemuan Kebenaran secara spekulatif Cara ini mengandung kesamaan dengan cara trial and error karena mengandung unsur untung-untungan dalam mencari kebenaran. Oleh karena itu cara ini dapat dikatagorikan sebagai trial and error yang teratur dan terarah. Dalam prakteknya seseorang telah memulai dengan menyadari masalah yang dihadapinya, dan mencoba meramalkan berbagai kemungkinan atau alternatif pemecahannya. Kemudian tanpa meyakini betul-betul tentang ketepatan salah satu alternatif yang dipilihnya ternyata dicapai suatu hasil yang memuaskan sebagai suatu kebenaran. Dengan kata lain yang bersangkutan memilih salah satu dari beberapa kemungkinan pemecahan masalah itu, walaupun tanpa meyakini bahwa pilihannya itu sebagai cara yang setepat-tepatnya. Cara spekulatif seperti itu tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Dalam hubungan ini sering ditemui orang yang pandangan atau intuisinya tajam, yang memungkinkan penggunaan cara spekulatif dalam menanam sejenis tanaman di tanah gambut. Dari penanaman yang cukup banyak untuk jangka waktu tertentu, ternyata dihasilkannya suatu kebenaran bahwa jenis tanaman tersebut dapat tumbuh subur di atas tanah gambut atau sebaliknya. Di atas telah dikemukakan bahwa cara ini mengandung unsur untung-untungan yang sangat dominan, sehingga tidak efektif untuk dipergunakan dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah. Unsur untung-untungan itu mengakibatkan cara menemukan kebenaran lebih bersifat meraba-raba, sehingga kemungkinan gagal lebih besar daripada keberhasilan menemukan kebenaran sebagaimana diharapkan. Salah satu contoh dari untung-untungan adalah ketika pemerintah menyediakan proyek penanaman tahan gambut untuk ditanami dengan pohon yang produktif. Setelah diolah ternyata mengalami kegagalan, karena masih memerlukan teknologi yang lebih canggih untuk pengolahan tanahnya. Contoh lain, bagi Anda yang hidupnya dalam lingkungan pertanian pernah mengenal ubi Cilembu yang terkenal karena manisnya. Ada beberapa petani yang mencoba menanam ubi Cilembu diluar daerah

Sumedang dengan harapan bisa menghasilkan ubi yang manis, akan tetapi setelah panen ternyata hasilnya tidak sama dengan yang aslinya. 10. Akal Sehat Akal sehat dan ilmu adalah dua hal yang berbeda sekalipun dalam batas tertentu keduanya mengandung persamaan. Menurut Conant yang dikutip Kerlinger (1973:3) akal sehat adalah serangkaian konsep (concepts) dan bagan konseptual (conceptual schemes) yang memuaskan untuk penggunaan praktis bagi kemanusiaan. Konsep adalah kata-kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus. Bagan konsep adalah seperangkat konsep yang dirangkaikan dengan dalil-dalil hipotesis dan teoritis. Walaupun akal sehat yang berupa konsep dan bagan konsep itu dapat menunjukkan hal yang benar, namun dapat pula menyesatkan. Sebagai tenaga pendidik, Anda pernah melihat, mendengar atau mengalami tentang hukuman dan ganjaran dalam pendidikan. Pada abad ke-19 menurut akal sehat yang diyakini oleh banyak pendidik, hukuman adalah alat utama dalam pendidikan. Penemuan ilmiah ternyata membantah kebenaran akal sehat tersebut. Hasil-hasil penelitian dalam bidang psikologi dan pendidikan menunjukkan bahwa bukan hukuman yang merupakan alat utama dalam pendidikan, melainkan ganjaran. Melalui hukuman dapat berdampak rasa tertekan pada anak, sedangkan dengan ganjaran dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada anak, sehingga potensi anak dapat berkembang lebih baik. 11. Prasangka Pencapaian pengetahuan secara akal sehat diwarnai oleh kepentingan orang yang melakukannya. Hal yang demikian itu menyebabkan akal sehat mudah beralih menjadi prasangka. Dengan akal sehat, orang cenderung mempersempit pengamatannya karena diwarnai oleh pengamatannya itu, dan cenderung mengkambing-hitamkan orang lain atau menyokong sesuatu pendapat . Orang sering tidak mengendalikan keadaan yang juga dapat terjadi pada keadaan lain. Orang sering cenderung melihat hubungan antar dua hal sebagai hubungan sebabakibat yang langsung dan sederhana, padahal sesungguhnya gejala yang diamati itu merupakan akibat dari berbagai hal. Dengan akal sehat orang cenderung kearah pembuatan generalisasi yang terlalu luas, kemudian merupakan prasangka. 12.Pendekatan Intuitif Dalam pendekatan intuitif orang menentukan pendapat mengenai sesuatu berdasar atas pengetahuan yang langsung atau didapat dengan cepat melalui proses yang tak disadari atau yang tidak difikirkan lebih dahulu. Dengan intuisi, orang

memberikan penilaian tanpa didahului sesuatu renungan. Pencapaian pengetahuan yang demikian itu sukar dipercaya. Di sini tidak terdapat langkahlangkah yang sistematik dan terkendali. Metode yang demikian itu biasa disebut metode a-priori. Dalil-dalil seseorang yang a-priori cocok dengan penalaran, belum tentu cocok dengan pengalaman atau data empiris. Anda mungkin sempat menyaksikan televisi tentang jatuhnya benda angkasa yang menghantam beberapa rumah sampai hancur. Dengan jatuhnya benda angkasa tersebut Anda langsung percaya bahwa di atas bumi ada berbagai benda yang satu waktu bisa turun ke bumi

KESIMPULAN Skeptisisme merupakan suatu bentuk aliran yang perlu untuk kenal dan diperhatikan secara seksama, karena skeptisisme adalah satu-satunya aliran yang secara radikal dan fundamental tidak mengakui adanya kepastian dan kebenaran itu, atau sekurang-kurangya skeptisisme menyangsikan secara mendasar kemampuan pikiran manusia untuk memperoleh kepastian dan kebenaran pengetahuan. Dalam arti sempit skeptisisme adalah pengingkaran tentang kemungkina mengtahui. Sedangkan dalam arti luas adalah sikap menunda pertimbangan sampai analisis yang kritis selesai dan bukti-bukti yang mungkindiperoleh. Aliran Skeptisisme muncul hampir sezaman dengan kehadiran Sofisme dimana mereka meragukan adanya kemungkinan pencapaian pengetahuan yang benar terhadap alam eksternal. Mereka mengungkap beberapa argumen dan dalil bahwa kita tidak bisa beranggapan mengetahui secara tepat hakikat-hakikat itu sebagaimana adanya, melainkan kita mesti menyatakan bahwa hakikat-hakikat itu kita pahami berdasarkan kondisi-kondisi dan batasan-batasan dari indra dan persepsi kita masing-masing. Dengan keraguan metodis ini dimaksudkan suatu sikap untuk menganggap sebagai tidak nyata atau palsu segala sesuatu yang masih bias diragukan kebenarannya, bahkan kalau sedikit saja diragukan. Keraguan ini kadang dikatakan sesuatu yang bersifat keterlaluan atau hiperbolis. Apabila Descrates sampai mengandaikan adanya roh jahat yang licik yang etrus-menerus menipu kita dalam semua penilaian dan putusan kita seharihari. Upaya dan usaha semua manusia dan khususnya para ilmuan dalam menyingkap hakikat-hakikat segala sesuatu merupakan ciri dan pertanda bahwa manusia yang berakal sehat (bukan para sofis dan skeptis) mempercayai dan meyakini bahwa terdapat sesuatu yang diketahui dan terdapat pula sesuatu bisa diketahui. Begitu pula dalam wilayah mana manusia tidak memiliki kemungkinan untuk dapat memahami dan mengetahui, seperti kemustahilan dan ketidakmampuan manusia menyingkap dan mengungkap hakikat zat Sang Pencipta.

DAFTAR PUSTAKA http://fauzizone88.multiply.com/journal/item/1/ALIRAN_SKEPTISISME_DALAM_ILMU _PENGETAHUAN http://massofa.wordpress.com/2012/01/02/penemuan-kebenaran-melalui-pendekatan-nonilmiah/ http://filsafat-ilmu.blogspot.com/2008/01/penemuan-kebenaran.html

Sudarminta, Epistemologi Dasar, Yogyakarta : Pustaka utama, 2002 Alif Lukmanul Hakim, Skeptisisme. Subyektifisme dan relatifme. Kattsoff .Louis, Pengantar filsafat, Yogyaarta: Tiara Wcana , 2004 Alex Lanur OFM [1993] Hakikat Pengertahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta 91:99 Alfon Taryadi [1989] Epistemologi Pemecahan Masalah [enurut Karl. R. Popper] : Penerbit PT Gramedia Jakarta Bab III 67:89 Amsal Bakhtiar [2004] Filsafat Ilmu : PT Raja Grafindo Persada Jakarta Bab III 85 : 1224 Jujun Suriamantri [2004] Ilmu Dalam Perpektif [Sebuah kumpulan karangan tentang hakikat ilmu]: Yayasan Obor Indonesia Jakarta Bab IV 61:70

Anda mungkin juga menyukai