Anda di halaman 1dari 16

Filsafat Epistemologi

Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang asal-
usul 1, sumber, metode, dan batasan pengetahuan. Secara lebih spesifik,
epistemologi mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti "Apa itu
pengetahuan?" dan "Bagaimana kita dapat memperoleh pengetahuan?".
Epistemologi juga berusaha untuk memahami dan mempelajari cara-cara yang
digunakan manusia dalam memperoleh pengetahuan, seperti melalui pengamatan,
rasionalitas, dan pengalaman.
Contoh penerapan epistemologi dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika
seseorang menggunakan metode ilmiah untuk memperoleh pengetahuan tentang
suatu fenomena. Misalnya, seorang ilmuwan yang melakukan penelitian tentang
perubahan iklim akan menggunakan metode ilmiah untuk mengumpulkan data,
menganalisisnya, dan menghasilkan pengetahuan baru tentang perubahan iklim.
Filsafat Aksiologi

Aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang nilai dan nilai-nilai yang
ada di dunia ini 1. Aksiologi berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
seperti "Apa itu nilai?" dan "Bagaimana nilai-nilai ini mempengaruhi tindakan dan
keputusan manusia?". Dalam konteks ini, aksiologi juga berhubungan dengan
pertanyaan moral dan etika.
Contoh penerapan aksiologi dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika seseorang
mempertimbangkan nilai-nilai moral saat membuat keputusan. Misalnya, seseorang
yang memilih untuk menjadi vegetarian karena mereka menganggap nilai-nilai
kesehatan, etika terhadap hewan, dan keberlanjutan lingkungan sebagai nilai-nilai
yang penting.
Hubungan antara Epistemologi dan Aksiologi

Epistemologi dan aksiologi saling terkait dalam upaya memperoleh pengetahuan


yang bermakna dan bernilai. Epistemologi membantu kita memahami bagaimana
kita memperoleh pengetahuan, sedangkan aksiologi membantu kita memahami
bagaimana pengetahuan itu bernilai dan bagaimana nilai-nilai mempengaruhi
pengetahuan.
Dalam konteks ini, epistemologi membantu kita dalam menentukan metode dan
pendekatan yang tepat untuk memperoleh pengetahuan yang valid dan dapat
dipercaya. Aksiologi kemudian membantu kita dalam mempertimbangkan nilai-nilai
yang relevan dan penting dalam menggunakan pengetahuan tersebut.
Misalnya, dalam ilmu pengetahuan, epistemologi membantu ilmuwan dalam
mengembangkan metode yang obyektif dan valid untuk memperoleh pengetahuan
yang akurat. Aksiologi kemudian mempertimbangkan nilai-nilai seperti integritas dan
kemanfaatan yang dapat mempengaruhi cara ilmuwan menggunakan pengetahuan
tersebut.
Dengan demikian, epistemologi dan aksiologi saling melengkapi dalam upaya kita
untuk memahami dunia dan mengambil keputusan yang bermakna dan bernilai.
Epistemologi: Memahami Sumber Pengetahuan

Epistemologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan sifat, asal-usul, batasan,
dan validitas pengetahuan. Ini melibatkan pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana
kita tahu apa yang kita tahu, apa yang dapat dianggap sebagai pengetahuan yang
sah, dan bagaimana kita mengakses pengetahuan tersebut. Dalam makalah tentang
epistemologi, Anda dapat menyelidiki:

1. Sumber Pengetahuan: Apa saja sumber-sumber yang dapat digunakan


manusia untuk mendapatkan pengetahuan? Ini termasuk pengalaman pribadi,
empirisme, rasionalisme, otoritas, dan lain-lain.
2. Kriteria Kepastian: Bagaimana kita dapat memastikan bahwa suatu
pengetahuan adalah benar? Apakah ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi
untuk memvalidasi pengetahuan?
3. Teori-Teori Epistemologi: Anda bisa memperkenalkan beberapa teori
epistemologi yang terkenal, seperti empirisme, rasionalisme, konstruktivisme,
pragmatisme, dan kritisisme.
4. Skeptisisme dan Relativisme: Bagaimana pandangan skeptisisme dan
relativisme mempengaruhi cara kita melihat pengetahuan? Apakah ada cara
untuk mengatasi tantangan-tantangan ini?

Aksiologi: Studi Nilai dan Etika

Aksiologi adalah cabang filsafat yang berfokus pada studi nilai dan etika. Ini
melibatkan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang dianggap baik dan buruk,
bagaimana nilai-nilai tersebut dibentuk, dan bagaimana mereka mempengaruhi
tindakan manusia. Dalam makalah tentang aksiologi, Anda dapat mengeksplorasi:

1. Konsep Nilai: Apa itu nilai? Bagaimana nilai-nilai ini dibentuk dan
diinternalisasi oleh individu dan masyarakat?
2. Etika: Bagaimana nilai-nilai memengaruhi tindakan moral? Anda bisa
membahas berbagai pandangan etika, seperti etika kewajiban, etika
konsekuensialisme, dan etika kebajikan.
3. Kebenaran dan Moralitas: Apakah nilai-nilai memiliki dasar objektif, atau
apakah mereka hanya konstruksi sosial? Bagaimana pandangan ini
mempengaruhi pandangan kita terhadap kebenaran dan moralitas?
4. Kontroversi Etika: Anda bisa mengeksplorasi isu-isu kontroversial seperti hak
asasi manusia, etika lingkungan, dan perdebatan etika dalam bidang medis
atau teknologi.

Ingatlah bahwa baik epistemologi maupun aksiologi adalah bidang yang dalam dan
kompleks. Untuk makalah yang lebih rinci, Anda mungkin ingin memilih sudut
pandang tertentu atau fokus pada topik yang lebih spesifik dalam setiap bidang.
Filsafat Epistemologi: Menjelajahi Sumber Pengetahuan dan Kriteria Kepastian

Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sifat, asal-usul, batasan, dan
validitas pengetahuan. Dalam filsafat epistemologi, manusia berusaha menjawab
pertanyaan mendasar seperti "Bagaimana kita tahu apa yang kita tahu?" dan
"Bagaimana kita bisa memastikan pengetahuan kita adalah benar?" Melalui
pendekatan kritis terhadap sumber-sumber pengetahuan dan proses berpikir,
epistemologi memainkan peran penting dalam membentuk pandangan kita tentang
dunia dan pemahaman kita tentang kebenaran.

Sumber Pengetahuan: Empirisme dan Rasionalisme

Dua pendekatan utama dalam epistemologi adalah empirisme dan rasionalisme.

 Empirisme: Pandangan empiris berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari


pengalaman dan observasi kita terhadap dunia fisik. Mengamati fakta-fakta
dan mengumpulkan data menjadi cara utama untuk memperoleh
pengetahuan yang sah.
 Rasionalisme: Rasionalisme, di sisi lain, mengatakan bahwa pengetahuan
muncul dari pikiran dan akal. Berpikir logis, deduksi, dan pemahaman konsep-
konsep dasar adalah cara untuk mencapai pengetahuan yang sah.

Kriteria Kepastian: Koherensi dan Korelasi Empiris

Pertanyaan penting dalam epistemologi adalah bagaimana kita dapat memastikan


bahwa pengetahuan kita adalah benar. Ada dua kriteria utama:

 Koherensi: Menurut kriteria ini, pengetahuan dianggap benar jika ide dan
konsep yang kita miliki saling konsisten dan tidak bertentangan. Dalam
koherensi, pengetahuan harus membentuk kerangka pemahaman yang
terintegrasi.
 Korelasi Empiris: Kriteria ini menekankan pentingnya pengujian pengetahuan
melalui pengamatan empiris. Untuk dianggap benar, suatu pernyataan harus
dapat diverifikasi melalui pengalaman nyata dan pengamatan objektif.

Skeptisisme dan Perdebatan Mengenai Kepastian Pengetahuan

Epistemologi juga menghadapi tantangan skeptisisme, yaitu pandangan bahwa kita


mungkin tidak pernah benar-benar tahu apa pun dengan pasti. Skeptisisme
mendorong kita untuk mengajukan pertanyaan kritis tentang dasar-dasar
pengetahuan kita dan batasan-batasannya.

Pentingnya Epistemologi dalam Kehidupan Sehari-Hari


Meskipun masuk dalam wilayah filsafat, epistemologi memiliki dampak langsung
pada cara kita berpikir dan mengambil keputusan sehari-hari. Kemampuan untuk
mengevaluasi sumber pengetahuan, memahami kriteria kepastian, dan menghadapi
ketidakpastian adalah keterampilan penting dalam berinteraksi dengan dunia dan
membuat keputusan yang berdasarkan informasi yang kita miliki.

Penting untuk diingat bahwa epistemologi adalah bidang yang kompleks dan penuh
dengan perdebatan filosofis yang dalam. Melalui pemahaman tentang dasar-dasar
epistemologi, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang asal-
usul dan sifat pengetahuan kita serta cara kita memahami dunia di sekitar kita.

Filsafat epistemologi adalah cabang dari filsafat yang memusatkan perhatian pada
sifat, asal-usul, batasan, dan validitas pengetahuan manusia. Istilah "epistemologi"
berasal dari bahasa Yunani "episteme," yang berarti pengetahuan, dan "logos," yang
berarti studi atau analisis. Epistemologi membahas pertanyaan-pertanyaan mendasar
tentang bagaimana kita memperoleh pengetahuan, bagaimana kita dapat
memastikan kebenaran pengetahuan tersebut, dan apa yang dapat dianggap
sebagai sumber pengetahuan yang sah.

Dalam lingkup epistemologi, beberapa konsep dan pertanyaan sentral meliputi:

1. Sumber Pengetahuan: Epistemologi mengeksplorasi berbagai sumber yang


digunakan manusia untuk memperoleh pengetahuan. Ini termasuk
pengalaman indera, observasi, akal budi, intuisi, otoritas, dan bahkan mungkin
bentuk-bentuk nontradisional seperti wahyu.
2. Kriteria Kepastian: Epistemologi membahas cara memastikan bahwa
pengetahuan yang kita miliki adalah benar. Apakah ada kriteria yang dapat
digunakan untuk memvalidasi kebenaran suatu pernyataan atau gagasan?
Bagaimana kita dapat membedakan antara pengetahuan yang sah dan
keyakinan semata?
3. Hubungan Antara Pikiran dan Dunia: Epistemologi mempertanyakan
hubungan antara pikiran manusia dan dunia luar. Bagaimana pikiran kita
dapat merefleksikan atau mewakili realitas di luar sana? Apakah ada
keselarasan antara pemahaman kita tentang dunia dan realitas objektif?
4. Ketidakpastian dan Skeptisisme: Epistemologi juga mengatasi tantangan
ketidakpastian dan skeptisisme. Pertanyaan-pertanyaan tentang apakah kita
dapat benar-benar tahu sesuatu dengan pasti dan seberapa jauh kita dapat
mengandalkan pengetahuan kita mengarah pada refleksi mendalam tentang
batas-batas pengetahuan manusia.
5. Metode Penelitian dan Ilmu Pengetahuan: Epistemologi berbicara tentang
metode dan pendekatan yang digunakan dalam proses penelitian dan ilmu
pengetahuan. Bagaimana kita dapat memverifikasi atau menguji klaim
pengetahuan? Bagaimana cara pengujian empiris mempengaruhi validitas
pengetahuan?
6. Konsep Kebenaran: Filsafat epistemologi mendalami konsep kebenaran itu
sendiri. Apakah kebenaran bersifat objektif, ataukah ada elemen subjektivitas
yang terlibat dalam penilaian kebenaran?

Filsafat epistemologi berkontribusi pada pemahaman kita tentang cara kita


berinteraksi dengan dunia, bagaimana kita membangun pengetahuan kita, dan
bagaimana kita dapat memastikan bahwa pengetahuan tersebut memiliki dasar yang
kuat. Melalui penelusuran konsep-konsep seperti sumber pengetahuan, kriteria
kepastian, dan hubungan antara pikiran dan realitas, epistemologi membantu
menggali dasar pemahaman manusia tentang pengetahuan dan kebenaran.

Kata ontologi berasal dari kata yunani, On:being, Logos:logic. Jadi ontologi adalah pemikiran
mengenani yang ada dan keberadaannya5 . Kata Epistemologi berasal dari bahasa Yunani
artinya knowledge yaitu pengetahuan. Kata tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu logia
artinya pengetahuan dan episteme artinya tentang pengetahuan.6 Jadi pengertian etimologi
tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa epistemologi merupakan pengetahuan tentang
pengetahuan. Dan kata Aksiologi berasal dari kata “Axios” yang berarti “bermanfaat”. Ketiga
kata tersebut ditambah dengan kata “logos” berarti”ilmu pengetahuan, ajaran dan teori. Jadi
aksiologi adalah teori tentang nilai.7
MAKALAH ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI By Haris Zubaidillah9
comments: BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Filsafat merupakan sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan
untuk membantu individu untuk mengevaluasi keberadaannya dengan cara yang lebih
memuaskan. Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan pemahaman membawa kita
kepada tindakan yang telah layak, filsafat perlu pemahaman bagi seseorang yang
berkecimpung dalam dunia pendidikan karena ia menentukan pikiran dan pengarahan
tindakan seseorang untuk mencapai tujuan. Filsafat membahas segala sesuatu yang ada
bahkan yang mungkin ada baik bersifat abstrak ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan
alam semesta. Sehingga untuk faham betul semua masalah filsafat sangatlah sulit tanpa
adanya pemetaan-pemetaan dan mungkin kita hanya bisa menguasai sebagian dari luasnya
ruang lingkup filsafat. Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau
bagian yaitu; epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita
memperoleh pengetahuan, ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang hakikat segala
sesuatu yang melahirkan pengetahuan dan aksiologi atau teori nilai yang membahas tentang
guna pengetahuan. Sehingga, mempelajari ketiga cabang tersebut sangatlah penting dalam
memahami filsafat yang begitu luas ruang lingkup dan pembahansannya.
Ketiga teori di atas sebenarnya sama-sama membahas tentang hakikat, hanya saja berangkat
dari hal yang berbeda dan tujuan yang beda pula. Epistemologi sebagai teori pengetahuan
membahas tentang bagaimana mendapat pengetahuan, bagaimana kita bisa tahu dan dapat
membedakan dengan yang lain. Ontologi membahas tentang apa objek yang kita kaji,
bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan daya pikir. Sedangkan aksiologi
sebagai teori nilai membahas tentang pengetahuan kita akan pengetahuan di atas, klasifikasi,
tujuan dan perkembangannya.

Sejarah filsafat tidak selalu lurus terkadang berbelok kembali ke belakang, sedangkan sejarah
ilmu selalu maju. Dalam sejarah pengetahuan manusia, filsafat dan ilmu selalu berjalan
beriringan dan saling berkaitan. Filsafat dan ilmu mempunyai titik singgung dalam mencari
kebenaran. Ilmu bertugas melukiskan dan filsafat bertugas menafsirkan fenomena semesta,
kebenaran berada disepanjang pemikiran, sedangkan kebenaran ilmu berada disepanjang
pengalaman. Tujuan befilsafat menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang
sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu
biasanya terbagi menjadi tiga cabang besar filsafat, yatu teori pengetahuan, teori hakikat, dan
teori nilai. Ilmu pengetahuan sebagai produk kegiatan berpikir yang merupakan obor
peradaban dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup lebih sempurna.
Bagaimana masalah dalam benak pemikiran manusia telah mendorong untuk berfikir,
bertanya, lalu mencari jawaban segala sesuatu yang ada, dan akhirnya manusia adalah
makhluk pencari kebenaran. Pada hakikatnya aktifitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan yang
didasarkan pada tiga masalah pokok yakni: Apakah yang ingin diketahui, bagaimana cara
memperoleh pengetahuan dan apakah nilai pengetahuan tersebut. Kelihatannya pertanyaan
tersebut sangat sederhana, namun mencakup permasalahan yang sangat asasi. Maka untuk
menjawabnya diperlukan sistem berpikir secara radikal, sistematis dan universal sebagai
kebenaran ilmu yang dibahas dalam filsafat keilmuan. 1 Oleh karena itu, ilmu tidak terlepas
dari landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas apa yang ingin
diketahui mengenai teori tentang “ ada “ dengan perkataan lain bagaimana hakikat obyek
yang ditelaah sehingga membuahkan pengetahuan. Epistemologi membahas tentang
bagaimana proses memperoleh pengetahuan. Dan aksiologi membahas tentang nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dengan membahas ketiga unsur
ini manusia akan mengerti apa hakikat ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang sebenarnya, maka
manusia tidak akan dapat menghargai ilmu sebagaimana mestinya.2 Berdasarkan uraian
teroretis di atas, maka penulis akan membahas pengertian Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi serta segala permasalahannya sebagai unsur yang sangat penting dalam filsafat
ilmu yang dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang
lainnya.
Epistemologi Terjadi perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang
menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan manusia
adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat yang kukuh tentang semesta (universe)
dan dunia. Maka sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilainya tidak
ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya.16 Salah satu
perdebatan besar itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumbersumber dan asal-usul pengetahuan
dengan meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan
struktur pikiran yang dianugerahkan kepada manusia. Maka dengan demikian ia dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Bagaimana pengetahuan itu muncul dalam diri manusia?
Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran dan kinsep-konsep
(nations) yang muncul sejak dini ? dan apa sumber yang memberikan kepada manusia arus
pemikiran dan pengetahuan ini ? Sebelum menjawab semua pertanyaan-petanyaan di atas, maka
kita harus tahu bahwa pengetahuan (persepsi) itu terbagi, secara garis besar, menjadi dua. Pertama,
konsepsi atau pengetahuan sederhana. Kedua tashdiq (assent atau pembenaran), yaitu pengetahuan
yang mengandung suatu penilaian. Konsepsi dapat dicontohkan dengan penangkapan kita terhadap
pengertian panas, cahaya atau suara. Tashdiq dapat dicontohkan dengan penilaian bahwa panas
adalah energi yang datang dari matahari dan bahwa matahari lebih bercahaya daripada bulan dan
bahwa atom itu dapat meledak.17 Jadi antar konsepsi dan tashdiq sangat erat kaitannya, karena
konsepsi merupakan penangkapan suatu objek tanpa menilai objek itu, sedangkan tashdiq, adalah
memberikan pembenaran terhadap objek. Pengetahuan yang telah didapatkan dari aspek ontologi
selanjutnya digiring ke aspek epistemologi untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan ilmiah. Menurut
Ritchie Calder proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. 18Dengan
demikian dapat dipahami bahwa adanya kontak manusia dengan dunia empiris menjadikannya ia
berpikir tentang kenyataan-kenyataan alam. Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri yang spesifik
mengenai apa, bagaimana dan untuk apa, yang tersusun secara rapi dalam ontologi, epistemologi,
dan aksiologi. Epistemologi itu sendiri selalu dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Persoalan
utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan yang benar dengan mempertimbangkan aspek ontologi dan aksiologi
masing-masing ilmu.19 39 Sulesana Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013 Kajian epistemologi membahas
tentang bagaimana proses mendapatkan ilmu pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan
agar mendapatkan pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya. Objek
telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang, bagaimana kita
mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, jadi berkenaan dengan situasi dan
kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal.20 Jadi yang menjadi landasan dalam tataran
epistemologi ini adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika,
estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan
keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral.
Dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan tidak cukup dengan berpikir secara
rasional ataupun sebaliknya berpikir secara empirik saja karena keduanya mempunyai keterbatasan
dalam mencapai kebenaran ilmu pengetahuan. Jadi pencapaian kebenaran menurut ilmu
pengetahuan didapatkan melalui metode ilmiah yang merupakan gabungan atau kombinasi antara
rasionalisme dengan empirisme sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Banyak pendapat
para pakar tentang metode ilmu pengetahuan, namun penulis hanya memaparkan beberapa metode
keilmuan yang tidak jauh beda dengan proses yang ditempuh dalam metode ilmiah Metode ilmiah
adalah suatu rangkaian prosedur tertentu yang diikuti untuk mendapatkan jawaban tertentu dari
pernyataan yang tertentu pula. Epistemologi dari metode keilmuan akan lebih mudah dibahas
apabila mengarahkan perhatian kita kepada sebuah rumus yang mengatur langkah-langkah proses
berfikir yang diatur dalam suatu urutan tertentu Kerangka dasar prosedur ilmu pengetahuan dapat
diuraikan dalam enam langkah sebagai berikut: a. Sadar akan adanya masalah dan perumusan
masalah b. Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan c. Penyusunan atau klarifikasi data d.
Perumusan hipotesis e. Deduksi dari hipotesis f. Tes pengujian kebenaran (Verifikasi)21 Keenam
langkah yang terdapat dalam metode keilmuan tersebut masingmasing terdapat unsur-unsur empiris
dan rasional. Menurut AM. Saefuddin bahwa untuk menjadikan pengetahuan sebagai ilmu (teori)
maka hendaklah melalui metode ilmiah yang terdiri atas dua pendekatan: Pendekatan deduktif dan
Pendekatan induktif. Kedua pendekatan ini tidak dapat dipisahkan dengan menggunakan salah
satunya saja, sebab deduksi tanpa diperkuat induksi dapat dimisalkan sport otak tanpa mutu
kebenaran, sebaliknya induksi tanpa deduksi menghasilkan buah pikiran yang mandul.22

Proses metode keilmuan pada akhirnya berhenti sejenak ketika sampai pada titik “pengujian
kebenaran” untuk mendiskusikan benar atau tidaknya suatu ilmu. Ada tiga ukuran kebenaran yang
tampil dalam gelanggang diskusi mengenai teori kebenaran, yaitu teori korespondensi, koherensi dan
pragmatis.23 Penilaian ini sangat menentukan untuk menerima, menolak, menambah atau merubah
hipotesa, selanjutnya diadakanlah teori ilmu pengetahuan.24 C. Aksiologi Sampailah pembahasan
kita kepada sebuah pertanyaan: Apakah kegunaan ilmu itu bagi kita? Tak dapat dipungkiri bahwa
ilmu telah banyak mengubah dunia dalam memberantas berbagai termasuk penyakit kelaparan,
kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang duka. Namun apakah hal itu selalu demikian: ilmu
selalu merupakan berkat dan penyelamat bagi manusia. Seperti mempelajari atom kita bisa
memanfaatkan wujud tersebut sebagai sumber energy bagi keselamatan manusia, tetapi dipihak lain
hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang
menimbulkan malapetaka. Jadi yang menjadi landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa
pengetahuan itu digunakan? Bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral etika?
Bagaimana penentuan obyek yang diteliti secara moral? Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan
metode ilmiah dengan kaidah moral?25 Demikian pula aksiologi pengembangan seni dengan kaidah
moral, sehingga ketika seni tari dangdut Inul Dartista memperlihatkan goyangnya di atas panggung
yang ditonton khalayak ramai, sejumlah ulama dan seniman menjadi berang. Dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan
detektor dapat mengembangkan alat pengintai kenyamanan orang lain, penemuan cara-cara licik
ilmuan politik dapat menimbulkan bencana bagi suatu bangsa, dan penemuan bayi tabung dapat
menimbulkan bancana bagi terancamnya perdaban perkawinan. Berkaitan dengan etika, moral, dan
estetika maka ilmu itu dapat dibagi menjadi dua kelompok: 1. Ilmu Bebas Nilai Berbicara tentang
ilmu akan membicarakan pula tentang etika, karena sesungguhnya etika erat hubungannya dengan
ilmu. Bebas nilai atau tidaknya ilmu merupakan masalah rumit, jawabannya bukan sekadar ya atau
tidak. Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalahmasalah moral
namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543 M) mengajukan teorinya
tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan
bukan sebaliknya seperti yang diajarkan oleh agama (gereja) maka timbullah reaksi antara ilmu dan
moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin
mempelajari alam sedangkan dipihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan pada
pernyataan-pernyataan nilai berasal dari agama sehingga timbullah konflik yang bersumber pada
penafsiran metafisik yang berakumulasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633 M.26 41
Sulesana Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013 Vonis inkuisisi Galileo memengaruhi perkembangan berpikir
di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertentangan antara ilmu yang ingin bebas dari
nilainilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran (agama). Pada kurun waktu itu para ilmuan
berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam dengan semboyan “ilmu yang
bebas nilai”. Latar belakang otonomi ilmu bebas dari ajaran agama (gereja) dan leluasa ilmu dapat
mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif kemudian disusul
dengan penerapan konsepkonsep ilmiah kepada masalah-masalah praktis. Sehingga Berthand Russell
menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi.27 Dengan
tahap perkembangan ilmu ini berada pada ambang kemajuan karena pikiran manusia tak
tertundukkan pada akhirnya ilmu menjadi suatu kekuatan sehingga terjadilah dehumanisasi terhadap
seluruh tatanan hidup manusia. Menghadapi fakta seperti ini ilmu pada hakekatnya mempelajari
alam dengan mempertanyakan yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu
dipergunakan, dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan dan ke arah mana perkembangan
keilmuan ini diarahkan. Pertanyaan ini jelas bukan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo
dan ilmuan seangkatannya, namun ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah dua kali
mengalami perang dunia dan bayangan perang dunia ketiga. Pertanyaan ini tidak dapat dielakkan dan
untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmu berpaling kepada hakekat moral.28 Masalah moral dalam
menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat destruktif para ilmuan terbagi dalam dua
pendapat. Golongan pertama menginginkan ilmu netral dari nilai-nilai baik secara ontologis,
epistemologis, maupun aksiologis. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya
terbatas pada metafisik keilmuan, namun dalam penggunaannya harus berlandaskan pada moral.
Einstein pada akhir hayatnya tak dapat menemukan agama mana yang sanggup menyembuhkan ilmu
dari kelumpuhannya dan begitu pula moral universal manakah yang dapat mengendalikan ilmu,
namun Einstein ketika sampai pada puncak pemikirannya dan penelaahannya terhadap alam
semesta ia berkesimpulan bahwa keutuhan ilmu merupakan integrasi rasionalisme, empirisme dan
mistis intuitif. 29 Perlunya penyatuan ideology tentang ketidak netralan ilmu ada beberapa alasan,
namun yang penting dicamkan adalah pesan Einstein pada masa akhir hayatnya “Mengapa ilmu yang
begitu indah, yang menghemat kerja, membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan
yang sedikit sekali pada kita”. Adapun permasalahan dari keluhan Einstein adalah pemahaman dari
pemikiran Francis Bacon yang telah berabad-abad telah mengekang dan mereduksi nilai
kemanusiaan dengam ide “pengetahuan adalah kekuasaan”. Dari pernyataan di atas, dapat dipahami
bahwa, ilmu yang dibangun atas dasar ontologi, epistemologi dan aksiologi haruslah berlandaskan
etika sehingga ilmu itu tidak bebas nilai 2. Teori tentang nilai Pembahasan tentang nilai akan
dibicarakan tentang nilai sesuatu, nilai perbuatan, nilai situasi, dan nilai kondisi. Segala sesuatu kita
beri nilai. Pemandangan 42 Sulesana Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013 yang indah, akhlak anak
terhadap orang tuanya dengan sopan santun, suasana lingkungan dengan menyenangkan dan kondisi
badan dengan nilai sehat. Ada perbedaan antara pertimbangan nilai dengan pertimbangan fakta.
Fakta berbentuk kenyataan, ia dapat ditangkap dengan pancaindra, sedang nilai hanya dapat
dihayati.30 Walaupun para filosof berbeda pandangan tentang defenisi nilai, namun pada umumnya
menganggap bahwa nilai adalah pertimbangan tentang penghargaan. Pertimbangan fakta dan
pertimbangan nilai tidak dapat dipisahkan, antara keduanya karena saling memengaruhi. Sifat-sifat
benda yang dapat diamati juga termasuk dalam penilaian. Jika fakta berubah maka penilaian kita
berubah ini berarti pertimbangan nilai dipengaruhi oleh fakta. Fakta itu sebenarnya netral, tetapi
manusialah yang memberikan nilai kedalamannya sehingga ia mengandung nilai. Karena nilai itu
maka benda itu mempunyai nilai. Namun bagaimanakah criteria benda atau fakta itu mempunyai
nilai. Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika, 31Etika termasuk
cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia dan memandangnya dari sudut baik dan
buruk. Adapun cakupan dari nilai etika adalah: Adakah ukuran perbuatan yang baik yang berlaku
secara universal bagi seluruh manusia, apakah dasar yang dipakai untuk menentukan adanya norma-
norma universal tersebut, apakah yang dimaksud dengan pengertian baik dan buruk dalam
perbuatan manusia, apakah yang dimaksud dengan kewajiban dan apakah implikasi suatu perbuatan
baik dan buruk. Nilai etika diperuntukkan pada manusia saja, selain manusia (binatang, benda, alam)
tidak mengandung nilai etika, karena itu tidak mungkin dihukum baik atau buruk, salah atau benar.
Contohnya dikatakania mencuri, mencuri itu nilai etikanya jahat. Dan orang yang melakukan itu
dihukum bersalah. Tetapi kalau kucing mengambil ikan dalam lemari, tanpa izin tidak dihukum
bersalah. Yang bersalah adalah kita yang tidak hati-hati, tidak menutup atau mengunci pintu lemari.
32 Adapun estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni, dan pengalaman-
pengalaman yang berhubungan dengan seni atau kesenian. Kadang estetika diartikan sebagai filsafat
seni dan kadang-kadang prinsip yang berhubungan dengan estetika dinyatakan dengan keindahan.
Syarat estetika terbatas pada lingkungannya, disamping juga terikat dengan ukuran-ukuran etika.
Etika menuntut supaya yang bagus itu baik. Lukisan porno dapat mengandung nilai estetika, tetapi
akal sehat menolaknya, karena tidak etika. Sehingga kadang orang memetingkan nilai panca-indra
dan mengabaikan nilai ruhani. 33 Orang hanya mencari nilai nikmat tanpa mempersoalkan apakah ia
baik atau buruk. Nilai estetika tanpa diikat oleh ukuran etika dapat berakibat mudarat kepada
estetika, dan dapat merusak. Menurut Randal, ada tiga interpretasi tentang hakikat seni, yaitu: 1.
Seni sebagai penembusan (penetrasi) tehadap realisasi disamping pengalaman. 2. Seni sebagai alat
untuk kesenangan, seni tidak berhubungan dengan pengetahuan tentang alam dan memprediksinya ,
tetapi manipulasi alam untuk kepentingan kesenangan. 3. Seni sebagai ekspresi sungguh-sungguh
tentang pengalaman.34 43 Sulesana Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013 Uraian tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa penilaian baik dan buruk terletak pada manusia itu sendiri. Namun dalam Islam
penilaian baik dan buruknya sesuatu mempunyai nilai yang universal yaitu al-Qur’an dan hadis. III.
Kesimpulan. 1. Menyingkap ilmu pengetahuan landasan yang digunakan adalah ontologi,
epistemologi dan aksiologi, atau dengan kata lain apa, bagaimana dan kemana ilmu itu. 2. Hakekat
obyek ilmu (ontologi) terdiri dari objek materi yang terdiri dari jenis-jenis dan sifat-sifat ilmu
pengetahuan dan objek forma yang terdiri dari sudut pandang dari objek itu. 3. Epistemologi diawali
dengan langkah-langkah : perumusan masalah, penyusunan kerangka pikiran, perumusan hipotesis,
dan penarikan kesimpulan. 4. Nilai kegunaan ilmu tergantung dari manusia yang memanfaatkannya.
Dalam realitas manusia terdiri dari dua golongan ;pertama golongan yang mengatakan bahwa ilmu
itu bebas mutlak berdiri sendiri. Golongan kedua berpendapat bahwa ilmu itu tidak bebas nilai.
Adapun dalam Islam ilmu itu tidak bebas nilai ia dilandasi oleh hokum normatif transendental. Nilai
yang menjadi dasar dalam penilaian baik buruknya segala sesuatu dapat dilihat dari nilai etika
(agama) dan estetika.

Endnotes 1 Lihar AM. Saefuddin et.al, Desekularisasi Pemikiran: landasan Islamisasi (Cet. IV;
Bandung: Mizan, 1998), h. 31. 2 Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Cet. X; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), h. 33. 3 Lihat Rodric Firth, Encyclopedia Internasional,
(Phippines: Gloria Incorperation, 19720, h. 105. 4 Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat,
(Yogyakarta: kanisius, 1992), h. 15. 5 Tim Penulis Rosdakarya, Kamus Filsafat, (Cet. I; Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1995), h. 30. 6 Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1998), h. 69. 7 Lihat, Jujun Suariasumantari, Filsafat Ilmu, op.cit., h. 105. 8 Louis
Kattsoff, Pengantar Filsafat (Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 327. 9 Inu Kencana Syafii,
Pengantar Filsafat, ( Cet. I; Bandung: Refika Aditama, 2004), h. 9. 10 Anton Bakker, Ontologi dan
Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan (Cet. VII: Yogyakarta: kanisius, 1997),
h. 5. 11 Jujun Suariasumantri, Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat
Ilmu, (Cet. IX; Jakarta: Gramedia, 1991), h., 5. 44 Sulesana Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013 12 AM.
Saefuddin et.al, op.cit., h. 50-51. 13 Ibid., h. 66-67. 14 Jujun Suariasumantri, Ilmu dalam Perspektif,
op.cit., h. 7-8. 15 Jujun Suriasumantri, Fisafat, op.cit., h. 89. 16 Muhammad Baqir Ash-Shadr,
Falsafatuna terhadap Belbagai Aliran Filsafat Dunia, (Cet. VII; Bandung: Mizan, 1999), h. 25. 17 Lihat
ibid., h. 26. 18 Suriasumantri, Filsafat, op.cit., h. 121. 19 Ibid., h. 105. 20 Inu Kencana, op.cit., h. 10.
21 Suriasumantri, ilmu dalam Perspektif, op.cit., h. 105. 22 AM, Saefuddin, op.cit., h. 63. 23 Ibid., h.
18. Disamping tiga teori kebenaran tersebut Louis Kattsoff, menambahkan satu teori lagi yaitu teori
empirisme yang dapat dijabarkan menjadi proposisi mengenai pengalaman indera yang sungguh
terjadi. Lihat Louis Kattsoff, op.cit., h. 246-247. 24 AM. Saefuddin, ibid., h. 4. 25 Lihat, Inu Kencana,
op.cit., h. 11. 26 Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, op.cit., h. 233. 27 Ibid., h. 234. 28 Lihat, Moh.
Natsir Mahmud, Epistemologi dan Studi Islam Kontemporer, (Cet.I; Makassar: 2000), h. 90. 29 AM.
Saefuddin, op.cit., h. 24. 30 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat Buku: IV, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th),
h. 507. 31 Burhanuddin Salam, Logika Material Filsafat Materi, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h.
168. 32 Sidi Gazalba, op.cit., h. 508. 33 Ibid., h. 509. 34 Burhanuddin, op.cit., h. 171-172. 45 Sulesana
Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013 DAFTAR PUSTAKA Ash-Shadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna terhadap
Belbagai Aliran Filsafat Dunia, Cet. VII; Bandung: Mizan, 1999. Bakker, Anton. Ontologi dan Metafisika
Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan,Cet. VII: Yogyakarta: kanisius, 1997. Firth,
Rodric. Encyclopedia Internasional, Phippines: Gloria Incorperation, 1972. Gazalba, Sidi. Sistematika
Filsafat Buku: IV, Jakarta: Bulan Bintang, t.th. Hamersma, Harry. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 1992. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1998. Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat, Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992. Mahmud,
Moh. Natsir. Epistemologi dan Studi Islam Kontemporer, Cet.I; Makassar: 2000. Saefuddin et.al,
Desekularisasi Pemikiran: landasan Islamisasi, Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998. Salam, Burhanuddin.
Logika Material Filsafat Materi, Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Suriasumantri, Jujun S. Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. X; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), h. 33. Suriasumantri,
Jujun S. Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, Cet. XIII; Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1997. Syafii, Inu Kencana. Pengantar Filsafat, Cet. I; Bandung: Refika
Aditama, 2004. Tim Penulis Rosdakarya, Kamus Filsafat, Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.

Ilmu tidak terlepas dari landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas apa yang
ingin diketahui mengenai teori tentang “ ada“ dengan perkataan lain bagaimana hakikat obyek yang
ditelaah sehingga membuahkan pengetahuan. Epistemologi membahas tentang bagaimana proses
memperoleh pengetahuan. Dan aksiologi membahas tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh. Dengan membahas ketiga unsur ini manusia akan mengerti apa
hakikat ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang sebenarnya, maka manusia tidak akan dapat menghargai
ilmu sebagaimana mestinya.4 Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan membahas tentang
ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam keilmuan sebagai unsur yang sangat penting dalam
filsafat ilmu, yang dipandang sebagai satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan.

Epistemologi

Dalam mengkaji epistemologi, kita harus memahami bahwa epistemologi merupakan cabang filsafat
yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia.18 Hal demikian
memunculkan Terjadinya perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang
menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan manusia
adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat yang kukuh tentang semesta (universe)
dan dunia. Maka sumber-sumber pemikiran manusia, kriteriakriteria, dan nilai-nilainya tidak
ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya.19 Perdebatan
besar itu, salah satunya adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan asal-usul
pengetahuan dengan meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-prinsip primer
kekuatan struktur pikiran yang dianugerahkan kepada manusia. Maka dengan demikian ia dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Bagaimana pengetahuan itu muncul dalam diri
manusia? Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran dan kinsep-
konsep (nations) yang muncul sejak dini ? dan apa sumber yang memberikan kepada manusia arus
pemikiran dan pengetahuan ini ? Bagaimanah validitas pengetahuan itu dapat dinilai? Hal yang perlu
dipahami, sebelum menjawab semua pertanyaan-petanyaan di atas, maka kita harus tahu bahwa
pengetahuan (persepsi) itu terbagi, secara garis besar, menjadi dua. Pertama, konsepsi atau
pengetahuan sederhana. Kedua tashdiq (assent atau pembenaran), yaitu pengetahuan yang
mengandung suatu penilaian. Konsepsi dapat dicontohkan dengan penangkapan kita terhadap
pengertian panas, cahaya atau suara. Tashdiq dapat dicontohkan dengan penilaian bahwa panas
adalah energi yang datang dari matahari dan bahwa matahari lebih bercahaya daripada bulan dan
bahwa atom itu dapat meledak.20 Jadi antar konsepsi dan tashdiq sangat erat kaitannya, karena
konsepsi merupakan 16 Jujun Suariasumantri, Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan
tentang Hakekat Ilmu, (Cet. IX; Jakarta: Gramedia, 1991), h., 7-8 17 Inu Kencana Syafii, Pengantar
Filsafat, ( Cet. I; Bandung: Refika Aditama, 2004), h. 33 18 Aceng Rahmat, dkk. Filsafat Ilmu Lanjutan,
(Jakarta: Prenamedia group, 2015), 147 19 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna terhadap
Belbagai Aliran Filsafat Dunia, (Cet. VII; Bandung: Mizan, 1999), h. 25. 20 Ibid, 26 penangkapan suatu
objek tanpa menilai objek itu, sedangkan tashdiq, adalah memberikan pembenaran terhadap objek.
Pengetahuan yang telah didapatkan dari aspek ontologi selanjutnya digiring ke aspek epistemologi
untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan ilmiah. Menurut Ritchie Calder proses kegiatan ilmiah
dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.21Dengan demikian dapat dipahami bahwa adanya
kontak manusia dengan dunia empiris menjadikannya ia berpikir tentang kenyataan-kenyataan alam
pada pengamatan objek empiris. Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri yang spesifik mengenai
apa, bagaimana dan untuk apa, yang tersusun secara rapi dalam ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Epistemologi itu sendiri selalu dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Persoalan
utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan yang benar dengan mempertimbangkan aspek ontologi dan aksiologi
masingmasing ilmu. Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu
datang, bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, jadi
berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal.22 Landasan yang ada
dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan
logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral
dan keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah, kebaikan moral, dan keindahan seni.
Untuk dapat memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan tidak hanya cukup dengan
berpikir secara rasional ataupun sebaliknya berpikir secara empirik saja karena keduanya mempunyai
keterbatasan dalam mencapai kebenaran ilmu pengetahuan. Jadi pencapaian kebenaran menurut
ilmu pengetahuan didapatkan melalui metode ilmiah yang merupakan gabungan atau kombinasi
antara rasionalisme dengan empirisme sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Langkah inilah
yang ditelaah dalam epistemologi ilmu yang juga disebut dengan metode ilmiah. Secara sederhana
semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yaitu: 1. Harus konsisten dengan teori
sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara
keseluruhan. 2. Harus cocok dengan fakta empiris sebab yang bagaimanapun konsistennya sekiranya
tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.23 Kerangka
dasar prosedur ilmu pengetahuan dapat diuraikan dalam enam langkah sebagai berikut: 1. Sadar
akan adanya masalah dan perumusan masalah 2. Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan
3. Penyusunan atau klarifikasi data 4. Perumusan hipotesis 21 Aceng Rahmat, dkk. Filsafat Ilmu
Lanjutan, (Jakarta: Prenamedia group, 2015), 149 22 Inu Kencana Syafii, Pengantar Filsafat, ( Cet. I;
Bandung: Refika Aditama, 2004), h. 35 23 Aceng Rahmat, dkk. Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta:
Prenamedia group, 2015), 151 5. Deduksi dari hipotesis 6. Tes pengujian kebenaran (Verifikasi). 24
Keenam langkah yang terdapat dalam metode keilmuan tersebut masingmasing terdapat unsur-
unsur empiris dan rasional. Proses metode keilmuan pada akhirnya berhenti sejenak ketika sampai
pada titik “pengujian kebenaran” untuk mendiskusikan benar atau tidaknya suatu ilmu. Ada tiga
ukuran kebenaran yang tampil dalam gelanggang diskusi mengenai teori kebenaran, yaitu teori
korespondensi, koherensi dan pragmatis.25 Penilaian ini sangat menentukan untuk menerima,
menolak, menambah atau merubah hipotesa, selanjutnya diadakanlah teori ilmu pengetahuan.
Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera mempunyai metode tersendiri dalam teori
pengetahuan, diantaranya adalah: 1. Metode induktif adalah metode yang menyimpulkan
pernyataanpernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. 2.
Metode deduktif adalah metode yang menyimpulkan data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu
sistem pernyataan yang runtut. 3. Metode positivisme adalah metode yang berpangkal dari apa yang
telah diketahui, faktual, yang positif. 4. Metode kontemplatif adalah metodenyang mengatakan
adanta keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan. 5. Metode Dialektis
adalah Metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat.26 Aliran-aliran Epistemologi Dalam
teori epistemologi terdapat beberapa aliran. Aliran-aliran tersebut mencoba menjawab pertanyaan
bagaimana manusia memperoleh pengetahuan. Pertama, golongan yang mengemukakan asal atau
sumber pengetahuan yaitu aliran: 1. Rasionalisme, yaitu aliran yang mengemukakan, bahwa sumber
pengetahuan manusia ialah pikiran, rasio dan jiwa. 2. Empirisme, yaitu aliran yang mengatakan
bahwa pengetahuan manusia berasal dari pengalaman manusia itu sendiri, melalui dunia luar yang
ditangkap oleh panca inderanya. 3. Kritisme (transendentalisme), yaitu aliran yang berpendapat
bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari dunia luar dan dari jiwa atau pikiran manusia sendiri.
Kedua, golongan yang mengemukakan hakikat pengetahuan manusia inklusif di dalamnya aliran-
aliran: 1. Realisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia adalah gambaran
yang baik dan tepat tentang kebenaran. Dalam pengetahuan yang baik tergambar kebenaran seperti
sesungguhnya 24 Ibid, 152 25 Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, (Surabaya: Prestasi Pustaka, 2013),
35 26 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu(Jakarta: rajawali Pers, 2013), 152-153 2. Idealisme, yaitu aliran
yang berpendapat bahwa pengetahuan hanyalah kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kanyataan
yang diketahui manusia semuanya terletak di luar dirinya.27 Aksiologi Muncul sebuah pertanyaan:
Apakah kegunaan ilmu itu bagi kita? Tak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah banyak mengubah dunia
dalam memberantas berbagai termasuk penyakit kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah
kehidupan yang duka. Namun apakah hal itu selalu demikian: ilmu selalu merupakan berkat dan
penyelamat bagi manusia. Seperti mempelajari atom kita bisa memanfaatkan wujud tersebut sebagai
sumber energy bagi keselamatan manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya,
yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka. Landasan
dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana hubungan
penggunaan ilmiah dengan moral etika? Bagaimana penentuan obyek yang diteliti secara moral?
Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral? Demikian pula aksiologi
pengembangan seni dengan kaidah moral, sehingga ketika seni tari dangdut Inul Dartista
memperlihatkan goyangnya di atas panggung yang ditonton khalayak ramai, sejumlah ulama dan
seniman menjadi berang. Berkaitan dengan etika, moral, dan estetika maka ilmu itu dapat dibagi
menjadi dua kelompok: 1. Ilmu Bebas Nilai Berbicara tentang ilmu akan membicarakan pula tentang
etika, karena sesungguhnya etika erat hubungannya dengan ilmu. Bebas nilai atau tidaknya ilmu
merupakan masalah rumit, jawabannya bukan sekadar ya atau tidak. Perjalanan waktu, sebenarnya
sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam
perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan
alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya
seperti yang diajarkan oleh agama (gereja) maka timbullah reaksi antara ilmu dan moral (yang
bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari
alam sedangkan dipihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan pada pernyataan-pernyataan
nilai berasal dari agama sehingga timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang
berakumulasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633 M.28 Sementara Vonis inkuisisi
Galileo memengaruhi perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan
pertentangan antara ilmu yang ingin bebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran
(agama). Pada kurun waktu itu para ilmuan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan
penafsiran alam dengan semboyan “ilmu yang bebas nilai”. Latar 27 Muhammad Adib, Filsafat Ilmu,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 75 28 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu(Jakarta: rajawali Pers, 2013),
158 belakang otonomi ilmu bebas dari ajaran agama (gereja) dan leluasa ilmu dapat
mengembangkan dirinya. Dalam tatanan selanjutnya, tahap perkembangan ilmu ini berada pada
ambang kemajuan karena pikiran manusia tak tertundukkan pada akhirnya ilmu menjadi suatu
kekuatan sehingga terjadilah dehumanisasi terhadap seluruh tatanan hidup manusia. Menghadapi
fakta seperti ini ilmu pada hakekatnya mempelajari alam dengan mempertanyakan yang bersifat
seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu dipergunakan, dimana batas wewenang penjelajahan
keilmuan dan ke arah mana perkembangan keilmuan ini diarahkan. Pertanyaan ini jelas bukan
urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuan seangkatannya, namun ilmuan yang
hidup dalam abad kedua puluh yang telah dua kali mengalami perang dunia dan bayangan perang
dunia ketiga. Pertanyaan ini tidak dapat dielakkan dan untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmu
berpaling kepada hakekat moral.29 Munculnya masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan
teknologi yang bersifat destruktif para ilmuan terbagi dalam dua pendapat.30 Golongan pertama
menginginkan ilmu netral dari nilai-nilai baik secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis.
Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, namun
dalam penggunaannya harus berlandaskan pada moral.31 Einstein pada akhir hayatnya tak dapat
menemukan agama mana yang sanggup menyembuhkan ilmu dari kelumpuhannya dan begitu pula
moral universal manakah yang dapat mengendalikan ilmu, namun Einstein ketika sampai pada
puncak pemikirannya dan penelaahannya terhadap alam semesta ia berkesimpulan bahwa keutuhan
ilmu merupakan integrasi rasionalisme, empirisme dan mistis intuitif.32 Dari berbagai pernyataan di
atas, dapat dipahami bahwa, ilmu yang dibangun atas dasar ontologi, epistemologi dan aksiologi
haruslah berlandaskan etika sehingga ilmu itu tidak bebas nilai. 2. Teori tentang nilai Membicarakan
tentang nilai ada poin yang menjadi pijakan diantaranya tentang nilai sesuatu, nilai perbuatan, nilai
situasi, dan nilai kondisi. Segala sesuatu kita beri nilai. Pemandangan yang indah, akhlak anak
terhadap orang tuanya dengan sopan santun, serta suasana lingkungan dengan menyenangkan. Kita
tahu, ada perbedaan antara pertimbangan nilai dengan pertimbangan fakta. Fakta berbentuk
kenyataan, ia dapat ditangkap dengan pancaindra, sedang nilai hanya dapat dihayati.33 Walaupun
para filosof berbeda pandangan 29 Moh. Natsir Mahmud, Epistemologi dan Studi Islam
Kontemporer, (Cet.I; Makassar: 2000), h. 90 30 Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, (Surabaya: Prestasi
Pustaka, 2013), 47 31 Ibid, 48 32 Ibid, 50 33 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat Buku: IV, (Jakarta: Bulan
Bintang, t.th), h. 507. tentang defenisi nilai, namun pada umumnya menganggap bahwa nilai adalah
pertimbangan tentang penghargaan. Pertimbangan fakta dan pertimbangan nilai tidak dapat
dipisahkan, antara keduanya karena saling memengaruhi. Sifat-sifat benda yang dapat diamati juga
termasuk dalam penilaian. Jika fakta berubah maka penilaian kita berubah ini berarti pertimbangan
nilai dipengaruhi oleh fakta. Fakta itu sebenarnya netral, tetapi manusialah yang memberikan nilai
kedalamannya sehingga ia mengandung nilai. Karena nilai itu maka benda itu mempunyai nilai.
Namun bagaimanakah criteria benda atau fakta itu mempunyai nilai. Teori tentang nilai dapat dibagi
menjadi dua yaitu: 1. Nilai etika. Etika termasuk cabang filsafat yang membicarakan perbuatan
manusia dan memandangnya dari sudut baik dan buruk.34 Adapun cakupan dari nilai etika adalah:
Adakah ukuran perbuatan yang baik yang berlaku secara universal bagi seluruh manusia. Nilai etika
diperuntukkan pada manusia saja, selain manusia (binatang, benda, alam) tidak mengandung nilai
etika, karena itu tidak mungkin dihukum baik atau buruk, salah atau benar. Contohnya dikatakan ia
mencuri, mencuri itu nilai etikanya jahat. Dan orang yang melakukan itu dihukum bersalah. Tetapi
kalau kucing mengambil ikan dalam lemari, tanpa izin tidak dihukum bersalah. Yang bersalah adalah
kita yang tidak hati-hati, tidak mengunci pintu.35 2. Nilai estetika Adapun estetika merupakan nilai-
nilai yang berhubungan dengan kreasi seni, dan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan
seni atau kesenian. Kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni dan kadang-kadang prinsip yang
berhubungan dengan estetika dinyatakan dengan keindahan. Syarat nilai estetika terbatas pada
lingkungannya, disamping juga terikat dengan ukuran-ukuran etika. Etika menuntut supaya yang
bagus itu baik. Lukisan porno dapat mengandung nilai estetika, tetapi akal sehat menolaknya, karena
tidak etika. Sehingga kadang orang memetingkan nilai panca-indra dan mengabaikan nilai ruhani.36
Orang hanya mencari nilai nikmat tanpa mempersoalkan apakah ia baik atau buruk. Nilai estetika
tanpa diikat oleh ukuran etika dapat berakibat mudarat kepada estetika, dan dapat merusak. Dari
beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian baik dan buruk terletak pada
manusia itu sendiri. Namun dalam Islam penilaian baik dan buruknya sesuatu mempunyai nilai yang
pasti dan dapat dipertanggungjawabkan yaitu al-Qur’an dan hadis. 34 Burhanuddin Salam, Logika
Material Filsafat Materi, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h.168. 35 Ibid, 169 36 Ibid,170 Manfaat
Aksiologi Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia
yang negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh
karena itu daya kerja aksiologi ialah: 1. Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat
menemukan kebenaran yang hakiki, maka prilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh kejujuran
dan tidak berorientasi pada kepentingan langsung. 2. Dalam pemilihan objek penelahaan dapat
dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia,
tidak mencampuri masalah kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi
kekuasaan dan kepentingan politik. 3. Pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan
taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam
lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.37 Kesimpulan Menyingkap ilmu
pengetahuan landasan yang digunakan adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi, atau dengan kata
lain apa, bagaimana dan kemana ilmu itu. Hakekat obyek ilmu (ontologi) terdiri dari objek materi
yang terdiri dari jenisjenis dan sifat-sifat ilmu pengetahuan dan objek forma yang terdiri dari sudut
pandang dari objek itu. Epistemologi diawali dengan langkah-langkah : perumusan masalah,
penyusunan kerangka pikiran, perumusan hipotesis, dan penarikan kesimpulan. Nilai kegunaan ilmu
tergantung dari manusia yang memanfaatkannya. Dalam realitas manusia terdiri dari dua
golongan ;pertama golongan yang mengatakan bahwa ilmu itu bebas mutlak berdiri sendiri.
Golongan kedua berpendapat bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Adapun dalam Islam ilmu itu tidak
bebas nilai ia dilandasi oleh hokum normatif transendental. Nilai yang menjadi dasar dalam penilaian
baik buruknya segala sesuatu dapat dilihat dari nilai etika (agama) dan estetika. Aksiologi
memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang negatif
sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Saran Dalam
mempelajari ilmu pengetahuan, kita dianjurkan untuk mempelajari filsafat dengan berbagai macam
cabang ilmunya. Karena, dengan cara kerjanya yang bersifat sistematis, universal (menyeluruh) dan
radikal, yang mengupas, menganalisa sesuatu secara mendalam, ternyata sangat relevan dengan
problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat antara berbagai macam
disiplin ilmu yang terpisah kaitannya satu sama lain. 37 Muhammad Adib, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2014), 82 Daftar Pustaka Adib, Muhammad. 20144. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Ash-Shadr, Muhammad Baqir. 1991. Falsafatuna terhadap Belbagai Aliran Filsafat Dunia. Cet.
VII; Bandung: Mizan. Bakhtiar, Amsal. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: rajawali Pers. Gazalba, Sidi. 2014.
Sistematika Filsafat Buku: IV. Jakarta: Bulan Bintang. Jalaluddin&Idi, Abdullah. 1998. Filsafat
Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama. Jalaluddin. 2013. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
rajawali Pers. Kattsoff, Louis. 1992. Pengantar Filsafat . Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana. Mahmud,
Moh. Natsir. 2000. Epistemologi dan Studi Islam Kontemporer. Cet.I; Makassar. Rahmat, Aceng dkk.
2015. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Prenamedia group. Saefuddin et.al. 1998. Desekularisasi
Pemikiran: landasan Islamisasi. Cet. IV; Bandung: Mizan, Salam, Burhanuddin . 2000. Logika Material
Filsafat Materi. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta. Suariasumantri, Jujun. 1991. Ilmu dalam Perspektif
Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. Cet. IX; Jakarta: Gramedia. . 1991. Ilmu dalam
Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. Cet. IX; Jakarta: Gramedia. Supriyanto,
Stefanus. 2013. Filsafat Ilmu. Surabaya: Prestasi Pustaka. Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer. Cet. X; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Syafii, Inu Kencana. 2004.
Pengantar Filsafat. Cet. I; Bandung: Refika Aditama.

Daftar Pustaka Adib, Muhammad. 20144. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ash-Shadr,
Muhammad Baqir. 1991. Falsafatuna terhadap Belbagai Aliran Filsafat Dunia. Cet. VII; Bandung:
Mizan. Bakhtiar, Amsal. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: rajawali Pers. Gazalba, Sidi. 2014. Sistematika
Filsafat Buku: IV. Jakarta: Bulan Bintang. Jalaluddin&Idi, Abdullah. 1998. Filsafat Pendidikan. Jakarta:
Gaya Media Pratama. Jalaluddin. 2013. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: rajawali Pers. Kattsoff,
Louis. 1992. Pengantar Filsafat . Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana. Mahmud, Moh. Natsir. 2000.
Epistemologi dan Studi Islam Kontemporer. Cet.I; Makassar. Rahmat, Aceng dkk. 2015. Filsafat Ilmu
Lanjutan. Jakarta: Prenamedia group. Saefuddin et.al. 1998. Desekularisasi Pemikiran: landasan
Islamisasi. Cet. IV; Bandung: Mizan, Salam, Burhanuddin . 2000. Logika Material Filsafat Materi. Cet. I;
Jakarta: Rineka Cipta. Suariasumantri, Jujun. 1991. Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan
tentang Hakekat Ilmu. Cet. IX; Jakarta: Gramedia. . 1991. Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan
Karangan tentang Hakekat Ilmu. Cet. IX; Jakarta: Gramedia. Supriyanto, Stefanus. 2013. Filsafat Ilmu.
Surabaya: Prestasi Pustaka. Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cet.
X; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Syafii, Inu Kencana. 2004. Pengantar Filsafat. Cet. I; Bandung:
Refika Aditama.

Researchgate,
ONTOLOGI_EPISTEMOLOGI_DAN_AKSIOLOGI_DALAM_KEILMUAN, 02 September
2023,
https://www.researchgate.net/profile/Moh-Hifni/publication/329673746_ONTOLOGI_EPIST
EMOLOGI_DAN_AKSIOLOGI_DALAM_KEILMUAN/links/
5c14d5ef299bf139c759d009/ONTOLOGI-EPISTEMOLOGI-DAN-AKSIOLOGI-DALAM-
KEILMUAN.pdf
Media, ILMU DALAM TINJAUAN FILSAFAT: ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN
AKSIOLOGI, 02 September 2023,https://media.neliti.com/media/publications/389275-none-
a1ba1d1f.pdf
Afidburhanuddin, ontologi-epistimologi-dan-aksiologi-dalam-pengetahuan-filsafat, 02
September 2023, https://afidburhanuddin.wordpress.com/2012/11/28/ontologi-epistimologi-
dan-aksiologi-dalam-pengetahuan-filsafat/

Anda mungkin juga menyukai