Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/329269142

HUBUNGAN EPISTEMOLOGI DENGAN FILSAFAT ILMU

Article · November 2018

CITATIONS READS

0 3,558

1 author:

Nurul Hidayat
STAIN Pamekasan
4 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Nurul Hidayat on 30 November 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


HUBUNGAN EPISTEMOLOGI DENGAN FILSAFAT ILMU
Nurul Hidayat
MA. PUTRI MIFTAHUL ULUM KEBUN BARU
Nh4513961@gmail.com

Abstrak: Epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat yang membicarakan mengenai
sumber-sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, karakteristik, sifat, metode
dan kebenaran pengetahuan. Filsafat sendiri memiliki banyak cabang keiilmuan, yang mana
salah satunya islah filsafat ilmu. Dimana didalam filsafat ilmu itu sendiri terdapat beberapa
aliran antara lain aliran Empirisme, Rasionalisme, Positivisme, dan Institusionisme.
Epistemologi seringkali disebut dengan teori pengetahuan atau filsafat pengetahuan, karena
yang dibicarakan didalam epistemologi ini berkenaan dengan hal-hal yang ada sangkut
pautnya dengan masalah pengetahuan. Persoalan dalam epistemologi meliputi bagaimana
cara manusia dapat mengetahui suatu pengetahuan, apakah itu pengetahuan, dari mana
pengetahuan itu dapat diperoleh, apakah sumber-sumber pengetahuan, bagaimana manusia
mendapatkan pengetahuan, dari mana pengetahuan yang benar, apa yang menjadi
karakteristik pengetahuan, apakah pengetahuan itu tergolong benar atau keliru, dan
sebagainya. Beberapa pertanyaan inilah yang kemudian disebut dengan persoalaan
epistemologi. Epistemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji, karena disinilah
dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi bahan
pijakan.

Kata kunci: Epistemologi, Pengetahuan, filsafat, ilmu

Pendahuluan

Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah
puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang
sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban itu
juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk
mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang bersifat semu, melainkan
kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan
manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia
untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori yang sudah ada
sebelumnya untuk menguji suatu teori baru atau menggugurkan teori sebelunya. Sehingga
manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari
solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku,
artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan
waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunianya.
Pengetahuan dapat dikatakan sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul
dalam kehidupan. Dari suatu pertanyaan diharapkan mendapatkan jawaban yang benar. Maka
dari itu muncullah masalah, bagaimana cara kita menyusun pertanyaan yang benar? Masalah
inilah yang pada ilmu filsafat disebut dengan epistemologi. 1
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang komprehensif yang berusaha memahami
persoalan-persoalan yang timbul di dalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia.
Dengan demikian filsafat dibutuhkan manusia dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang timbul dalam berbagai lapangan kehidupan manusia, termasuk masalah kehidupan
1
Mukhtar Latif. (2014). Filsafat Ilmu, Orientasi Kearah Pemahaman. Jakarta: Prenadamedia, 191-192.

1
dalam bidang pendidikan. Jawaban hasil pemikiran filsafat bersifat sistematis, integral,
menyeluruh dan mendasar. Filsafat dalam mencari jawaban dilakukan dengan cara ilmiah,
objektif, memberikan pertanggungjawaban dengan berdasarkan pada akal budi manusia,
demikian halnya untuk menjawab persoalan-persoalan manusia dalam bidang pendidikan.2
Pengertian Epistemologi

Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan ( theory of knowledge). Secara


etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme, yang artinya pengetahuan,
dan logos yang artinya ilmu atau teori. Jadi, epistemologi dapat di definisikan sebagai cabang
filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode, dan syahnya (validitas)
pengetahuan.
Menurut Conny Semiawan, dalam buku A. Susanto, epistemologi adalah cabang
filsafat yang menjelaskan tentang masalah-masalah filosofis sekitar teori pengetahuan.
Epistemologi memfokuskan pada makna pengetahuan yang dihubungkan dengan konsep,
sumber dan criteria pengetahuan, jenis pengetahuan, dan sebagainya3
Beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi daripada epistemologi adalah
Jujun, S. Suriasumantri, menurut beliau epistemologi ialah membahas cara 'untuk
mendapatkan pengetahuan; yang dalam kegiatan keilmuan yang disebut dengan metode
ilmiah.4
D.W. Hamlyin mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaian
serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki
pengetahuan.5
Secara sistematis, Harold H. Titus mengklasifikasikan 3 persoalan pokok dalam
bidang epistemologi antara lain :
1) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu ? Dari manakah pengetahuan yang benar itu
datang dan bagaimana cara mengetahuinya ?
2) Apakah watak pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar diluar fikiran
manusia, dan kalau ada, apakah manusia dapat mengetahuinya ? Ini adalah persoalan
tentang apa yang kelihatan versus hakikatnya (reality).
3) Apakah pengetahuan itu benar (valid) ? Bagaimana membedakan yang benar dan yang
salah ? Ini adalah soal tentang mengkaji kebenaran/verifikasi.6
Menurut Mohammad Muslih, tiga persoalan pokok tersebut sekaligus merupakan
objek formal dari epistemologi, yakni sebagai perspektif dalam melihat objek materialnya,
dalam hal ini adalah pengetahuan. Inilah yang kemudian dikenal dengan hakekat
pengetahuan, yang tak lain adalah jawaban atas beberapa persoalan di atas. 7
Dengan demikian jelaslah bahwa epistemologi bersangkutan dengan masalah-masalah
yang meliputi : a) filsafat, sebagai induk dari segala ilmu yang berusaha mencari hakikat dan
kebenaran pengetahuan, b) metode, yang bertujuan mengantar manusia memperoleh
pengetahuan, dan c) sistem, yang bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu
sendiri.

2
Jalaluddin dan Abdullah Idi. (2007). Filsafat Pendidikan. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 125.
3
A. Susanto. (2011). Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemolis, dan Aksiologis. Jakarta:
Bumi Aksara, 102.
4
Jujun, S. Suriasumantri. (2005). Filsafat llmu. Jakarta: Surya Multi Grafika, 234.
5
Mujamil Qomar. (2005). Epistemologi pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta:
Erlangga, 3.
6
A. Susanto. (2011). Filsafat Ilmu, Suatu Kajian,… 103.
7
Mohammad Muslih. (2005). Filsafat Umum, dalam Pemahaman Praktis. Yokyakarta: Belukar, 68.

2
Pengetahuan berbeda dengan ilmu-ilmu dan berbeda dari sudut pandang sistematisnya
serta cara memperolehnya. Perbedaan itu menyangkut pengetahuan yang pra
ilmiah/pengetahuan biasa, sedangkan pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai
perbedaan yang berarti.
Ruang lingkup Epistemologi
M. Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas
pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam,
tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa
epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya,
apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa
kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan
sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah
pokok ; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
Mengingat epistemologi mencakup aspek yang begitu luas, sampai Gallagher secara
ekstrem menarik kesimpulan, bahwa epistemologi sama luasnya dengan filsafat. Usaha
menyelidiki dan mengungkapkan kenyataan selalu seiring dengan usaha untuk menentukan
apa yang diketahui dibidang tertentu.
Dalam pembahasa-pembahsan epistemologi, ternyata hanya aspek-aspek tertentu yang
mendapat perhatian besar dari para filosof, sehingga mengesankan bahwa seolah-olah
wilayah pembahasan epistemologi hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu. Sedangkan
aspek-aspek lain yang jumlahnya lebih banyak cenderung diabaikan.
M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih banyak
terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-
filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak membicarakan mengenai apa
yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan
dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang
layak.
Namun, penyederhanaan makna epistemologi itu berfungsi memudahkan pemahaman
seseorang, terutama pada tahap pemula untuk mengenali sistematika filsafat, khususnya
bidang epistemologi. Hanya saja, jika dia ingin mendalami dan menajamkan pemahaman
epistemologi, tentunya tidak bisa hanya memegangi makna epistemologi sebatas metode
pengetahuan, akan tetapi epistemologi dapat menyentuh pembahasan yang amat luas, yaitu
komponen-komponen yang terkait langsung dengan “bangunan” pengetahuan.
Obyek Pengetahuan
Obyek pengetahuan adalah hal atau materi yang menjadi perhatian bagi pengetahuan
(obyek material). Dalam istilah epistemologi, ini disebut dengan masalah ontologi. Honderich
(1995) dalam buku Filsafat Ilmu karangan Akhyar Yusuf Lubis menyatakan bahwa obyek
pengetahuan adalah: gejala alam, masa lalu, masa depan, nilai-nilai (aksiologi), abstraksi,
pikiran (philosophy of mind: our own experiences, our own inner states, other minds).8 Jadi
pengetahuan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menuturkan apabila seseorang
mengenal tentang sesuatu. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan adalah hasil usaha
manusia untuk memahami suatu obyek tertentu.
Menurut Honderich (1995) dalam buku Filsafat Ilmu karangan Akhyar Yusuf Lubis
menyatakan bahwa obyek pengetahuan dikelompokkan berdasarkan konsep Popper tentang
teori tiga dunia, yaitu:

8
Akhyar Yusuf Lubis. (2014). Filsafat Ilmu, Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
46-47.

3
 Dunia I, yaitu obyek yang berkaitan dengan alam fisis;
 Dunia II, yaitu semua yang berhubungan dengan dunia pemikiran dan proses mental;
 Dunia III, yaitu semua hal yang berhubungan dengan konsep, teori yang ada dalam
buku atau tulisan dan hasil budaya lain misalnya semua hasil penelitian atau teori yang
terdapat dalam berbagai karya tulis yang terdapat dalam perpustakaan.9
Jadi obyek pengetahuan adalah benda-benda atau hal-hal yang ingin diketahui oleh manusia
Batas dan Jenis Pengetahuan
Proses terjadinya pengetahuan merupakan bagian penting dalam epistemologi, sebab
hal ini akan mewarnai corak pemikiran kefilsafatannya. Pandangan yang sederhana dalam
memikirkan proses terjadinya pengetahuan dapat dipahami berbagai macam. Ada yang
berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman, baik pengalaman indera
maupun pengalaman bathin. Yang lain berpendapat bahwa pengetahuan terjadi tanpa adanya
pengalaman. Yang disebut pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan,
yang disimpan di dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa
depan, sesuai dengan apa tang telah diamati pada masa lampau.
Paham pertama, sebagaimana dikemukakan oleh John Hoppers dan knight (1982),
meyakini bahwa di dalam mengetahui memerlukan alat yaitu pengalaman indra (sense of
experience), nalar (reason), wahyu (relevation), otoritas (authority), intuisi (intuition) dan
keyakinan (faith). Yang lain berkeyakinan bahwa pengetahuan bahwa pengetahuan
didapatkan dari pengamatan. Didalam pengamatan segala pengetahuan dimulai dengan
gambaran-gambaraninderawi. Gambaran-gambaran itu kemudian ditingkatkan hingga sampai
kepada tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan
intuitif
Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda diluar kita menyebabkan
adanya suatu gerak didalam indera kita. Gerak ini diteruskan kepada otak dan dari otak
diteruskan ke jantung. Di dalam jantung timbullah suatu reaksi, suatu gerak dalam jurusan
yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Terkait dengan jenis pengetahuan, Prof. Dr. Rasyidi dalam buku Akhyar Yusuf Lubis
mengemukakan bahwa jenis-jenis pengetahuan adalah sebagai berikut:1 0

1) Pengetahuan tentang benda-benda.


2) Pengetahuan tentang pikiran (mind) orang lain.
3) Pengetahuan tentang pikiran kita sendiri.
4) Pengetahuan tentang nilai-nilai (etika, estetika).
5) Pengetahuan tentang Tuhan.
Sementara itu, Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya membagi jenis-jenis pengetahuan
sebagai berikut:
1) Pengetahuan biasa, ( Ordinary knowledge)
yang disebut juga dengan pengetahuan sehari-hari, pengetahuan eksistensial,
common sense atau knowledge. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penyerapan
indera terhadap obyek tertentu yang disaksikan dalam kehidupan sehari-hari.Pada
jenis pengetahuan biasa ini juga pengetahuan dapat diperoleh dengan cara
pemikiran yang rasional yang mendalam mengenai segala sesuatu , namun masih
perlu dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan metode-metode ilmiah.
2) Pengetahuan ilmiah, (scientific knowledge)

9
Ibid., 47.
1 0
Ibid., 58.

4
yaitu pengetahuan yang memiliki sistem, metode tertentu, atau pengetahuan yang
memiliki ciri-ciri dan metode keilmiahan.
3) Pengetahuan filosofis, (philosophical knowledge)
semacam ilmu khusus yang membahas masalah yang tidak dibahas/tidak terjawab
oleh ilmu pengetahuan ilmiah dan biasa. Pengetahuan ini diperoleh melalui
pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi,
penilaian kritis, dan pemikiran-pemikiran yang logis, analitis, dan sistematis.
Pengetahuan filsafati adalah pengetahuan yang berkaitan dengan hakikat, prinsip,
dan asas dari seluruh realitas yang dipersoalkan selaku objek yang hendak diketahui
4) Pengetahuan teologis, pengetahuan yang sumber utamanya dari ayat-ayat atau
wahyu Tuhan dan kebenarannya didasarkan atas iman.
Menurut A Susanto (2011: 104-105) Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia
melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalaam teori pengetahuaan,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Metode Induksi
Metode yang menyampaikan pernyataan –pernyataan hasil observasi dan disimpulkan
dalam suatu pernyataan yang lebih umum
b. Metode Deduksi
Metode yang menyimpulkanbahwa data-data empiris diolah lebih lanjut dalam suatu
sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah
adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.
c. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa
yang telah diketahui, yang factual, yang positif. Metode ini dalam bidang filsafat dan
ilmu pengetaahuan dibataasi kepada bidang gejala-gejala saja.
d. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra daan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkanpun akan berbeda-beda, harusnya
dikembangkan satu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi.
e. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanyaa jawab untuk mencapai
kejernihan filsafat. Metode ini diajarkarkan oleh Socrates. Namun Plato
mengartikannya kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematis
tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.1 1

Urgensi dan Manfaat Epistemologi


Secara umum dipahami bahwa epistemologi menjadi landasan nalar filsafat, untuk
memberikan keteguhan dan kekukuhannya bahwa manusia dapat memperoleh kebenaran dan
pengetahuan. Di bawah ini, dapat disebutkan beberapa nilai penting epistemologi, yaitu :

 Epistemologi memberikan kepercayaan bahwa manusia mampu mencapai pengetahuan.


Kita ketahui bahwa pada masa Yunani Kuno, ada kelompok Sophis yang menggugat
kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dan masa kini kelompok ini lebih
dikenal dengan skeptisisme dan agnotisisme. Kelompok ini menegaskan bahwa manusia
tidak memiliki pengetahuan, karena tidak ada fondasi yang pasti bagi pengetahuan kita.
Untuk itulah, maka kajian epistemologi penting guna mengupas problematika ini sehingga

1
A. Susanto. (2011). Filsafat 1Ilmu, Suatu Kajian,… 104-105.

5
kita dapat menyatakan bahwa manusia dapat memperoleh pengetahuan dan mendapatkan
kepastian.
 Epistemologi memberikan manusia keyakinan yang kuat akan pandangan dunia (world
view) dan ideologi yang dianutnya. Agama berisi pandangan dunia, pandangan dunia
diperoleh melalui penalaran filsafat yang basisnya epistemologi. Karena itu, jika
epistemologinya kokoh, maka kajian filsafatnya juga akan kokoh sehingga pandangan
dunia dan ideologi, serta agama yang dianut pun akan memiliki kekokohan dan keutuhan.
 Di dunia ini banyak aliran pemikiran yang berkembang dan terus disosialisasikan oleh
para penganutnya. Karena setiap aliran pemikiran didapat dari penyimpulan pengetahuan,
ini berarti pemikiran juga berurusan dengan epistemologi. Untuk itu, epistemologi akan
memberikan kita kemampuan untuk memilih dan memilah pemikiran yang berkembang
dan membanding-bandingkannya sehingga diketahui mana yang benar dan mana yang
keliru.
 Epistemologi mengukuhkan nilai dan kemampuan akal serta kebenaran dan kesahihan
metodenya dalam mendapatkan pengetahuan yang benar. Bagi kalangan empirisme,
indera merupakan jalan utama memperoleh pengetahuan. Adapun akal, tidak dapat
memberikan kita pengetahuan tentang dunia, karena—seperti dikatakan David Hume—
semua yang masuk akal tentang dunia adalah bersifat induktif, dan pemikiran induktif
tidak menjamin kebenaran hasilnya. Jadi epistemologi akan mengkaji leshahihan metode
akal atau pun metode empiris.

Salah satu hal yang sering kita lakukan adalah tindakan akumulatif pengetahuan.
Artinya, manusia memiliki kemampuan untuk memperbanyak pengetahuan dari berbagai hal
yang umumnya telah kita ketahui terlebih dahulu. Untuk itulah, epistemologi memberikan
sarana bagi manusia untuk melipatgandakan pengetahuannya dari bahan-bahan dasar yang
telah ada dalam mentalnya melalui teknik-teknik yang sistematis dan teratur
Hubungan Epistemologi Dengan Filsafat

Epistemologi memang memiliki nilai penting dalam bangunan pengetahuan manusia,


namun demikian, dalam studi filsafat, epistemologi hanya menjadi landasan sekunder.
Artinya, pada hakikatnya filsafat pertama hanya ‘membutuhkan’ prinsip-prinsip suatu bukti
(self evident) yang terkandung dalam logika dan epistemologi. Karenanya, ia sebagai
penggugah kesadaran pada kebenaran yang diperoleh akal tanpa pembuktian, sehingga
keragu-raguan yang menyelimuti manusia menjadi sirna. Hal ini karena, penolakan terhadap
argumentasi rasional atau kemampuan akal tidak lain merupakan pembuktian kemampuan
argumentasi akal itu sendiri. Begitu pula, baik yang menerima maupun menolak kemampuan
akal, yang sadar maupun tidak, pada dasarnya telah menggunakan prinsip-prinsip akal,
logika, atau epistemologi untuk berargumentasi dan mengembangkan pengetahuannya.
Filsafat kemudian menciptakan kategori-kategori atas berbagai fenomena, mencari
kesatuan makna dari berbagai hal yang beragam (craving for generality), dan melakukan
penunggalan atas kemajemukan (craving for unity). Segala hal yang berbeda dari kategori
tersebut direduksi dan dicari titik-titik kesama-annya sehingga bisa dihasilkan sebuah
metonimi yang padu dan baku. Filsafat dengan melakukan hal ini sebenarnya telah mereduksi
the other dalam economy of the same dan menyeragamkan perbedaan ke dalam suatu sistem
homogen.1 2

Seperti diuraikan sebelumnya bahwa filsafat pada dasarnya menyelidiki wujud


(eksistensi). Akan tetapi, penyelidikan tersebut tidak akan bernilai sebelum kita

1 2
Eko Ariwidodo. (2013). “Logosentrisme Jacquis Derrida dalam Filsafat Bahasa”, Karsa, Vol. 21 No. 2, 343.
http://dx.doi.org/10.19105/karsa.v21i2.38

6
mengukuhkan persepsi dan metode intelektual yang digunakan filsafat. Artinya sebelum kita
membuktikan bahwa akal yang mejadi prosedur penelitian filsafat bernilai benar dan pasti,
maka capaian-capaian filsafat tentang ontologi akan kehilangan nilainya. Dan epistemologi
bertugas membuktikan kemampuan akal dan kebenaran metode rasional yang digunakan
filsafat tersebut. Oleh karena itu, epistemologi dan filsafat memiliki hubungan erat yang tak
terpisahkan. Karena filsafat membutuhkan prinsip-prinsip swabukti yang terkandung dalam
epistemologi sebagai penggugah kesadaran dan penghapus keraguan.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan hubungan epistemologi dan filsafat dalam dua
hal, sebagai berikut :

1. Premis-premis yang secara langsung dibutuhkan oleh filsafat sesungguhnya


merupakan pernyataan-pernyataan yang terbukti dengan sendirinya (self efident;
badihi) yang tidak memerlukan dalil baru. Semua diskusi yang dibicarakan mengenai
hal ini, bukanlah sebagai pembuktian melainkan ulasan dan penjelasan saja yang
menggugah perhatian kita pada kebenaran, disebabkan banyaknya kesalahpahaman
yang terjadi dan keraguan yang disebarkan ditengah-tengah umat manusia.
2. Kebutuhan filsafat pada prinsip-prinsip logika dan epistemologi pada dasarnya untuk
melipatgandakan pengetahuan, atau secara teknis disebut ‘penerapan pengetahuan
untuk menambah pengetahuan’. Maknanya, banyak di antara manusia yang tidak
menyadari penggunaan hukum-hukum logika dalam pembicaraan dan kesimpulannya
sehari-hari. Karena itu, pembahasan epistemologi, lebih sebagai kebutuhan untuk
melakukan rekonfirmasi atau konfirmasi (kebenaran) hukum-hukum dan prinsip-
prinsip yang mengatur di atasnya.

Dari kedua hubungan tersebut, terlihat bahwa epistemologi memperkuat eksistensi


filsafat. Masalahnya, jika epistemologi, menjadi landasan pengetahuan manusia dan
pencapaian nalar filsafat, lantas, apa pula yang mengukuhkan dan menjadi landasan
epistemologi itu sendiri? Jawabnya adalah: bahwa epistemologi tidak perlu meminjam
aksioma-aksioma luar untuk semua pokok bahasannya, karena semuanya dapat dijelaskan
semata-mata dengan landasan-landasan dasar yang terbukti dengan sendirinya (self evident
atau al-badihiyyat al-awwaliyah). Artinya, landasan epistemologi adalah epistemologi itu
sendiri.

Penutup
Dari uraian tersebut di atas, dapat penulis simpulkan bahwa epistemologi ilmu
pengetahuan adalah merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam
dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan.
Pengetahuan adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman,
pengamatan, dan intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta
mengabstraksikannya untuk mencapai suatu tujuan. Pengetahuan yang diakui dan teruji
kebenarannya melalui metode ilmiah disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan.
Ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode
untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai
seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang
ingin dimengerti manusia. Oleh karena itu ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia,
aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu
mendatangkan pengetahuan yang sistematis.

7
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup tindakan pikiran, pola kerja
secara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pangetahuan atau mengembangkan
pengetahuan secara ilmiah yang memiliki kesahan ilmiah, memenuhi validitas ilmiah atau
secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan sehingga pengetahuan tersebut dapat diandalkan
dan dimanfaatkan bagi kehidupan manusia.

8
DAFTAR PUSTAKA

Ariwidodo, Eko. (2013). “Logosentrisme Jacquis Derrida dalam Filsafat Bahasa”, Karsa, Vol. 21
No. 2. http://dx.doi.org/10.19105/karsa.v21i2.38
A Susanto. (2011). Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemolis, dan
Aksiologis. Jakarta. Bumi Aksara .
Abd. Shamad dkk, Filsafat, Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi, di akses dari
http://philoshophers community.blogspot.com/2012/05/filsafat-ontologi-epistemologi-
dan.ht ml pada tanggal 4 September 2016 pukul 13.30 Wib.
H. Titus, Harold. dkk.,(1984) Persoalan-persoalan Filsafat. Jakarta : Bulan Bintang.
S. Suriasumantri, Jujun. (2005). Filsafat llmu. Jakarta: Surya Multi Grafika.
Jalaluddin dan Idi, Abdullah. (2007). Filsafat Pendidikan. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Muslih, Mohammad. (2005). Filsafat Umum, dalam Pemahaman Praktis. Yokyakarta:
Belukar.
Qomar, Mujamil. (2005). Epistemologi pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga
Metode Kritik, Jakarta: Erlangga.
Supriyanto, MS. Stefanus. (2013). Filsafat Ilmu. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Tafsir, Ahmad. (2012). Filsafat Ilmu; Akal dan Hati sejak Thales dampai Capra (Bandung.
PT Remaja Rosdakarya.
Yusuf Lubis, Akhyar. (2014). Filsafat Ilmu, Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai