Anda di halaman 1dari 68

SCIENTIA VOL. 1 NO.

1, 2011 ISSN : 2087-5045

Volume 1, Nomor 1, Februari 2011

ISSN : 2087-5045
Scie ntia, V ol. 1, N o. 1, 2011 ; halaman 1 58 ISSN : 2087-5045 Se kolah Tinggi Farmasi Indonesia (STIFI) Perintis Padang

DAFTAR ISI

ANALISA KANDUNGAN FLAVONOID DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI REMPAH TUMBUHAN OBAT SUMATERA BARAT Deddi Prima Putra dan Verawati ISOLATION OF Vibrio parahaemolyticus FROM BEEF MARKETED IN PADANG, IDENTIFICATION TARGETED ON toxR GENE AND AMPLI FICATION OF tdh AND trh GENES ON ISOLATES USING POLIMERASE CHAIN REACTION Eka Fitrianda, Marlina dan M. Husni Mukhtar EFEKT IFITAS BROMELAIN KASAR DARI BATANG NENAS (Ananas comosus L.Merr) SEBAGAI ANTIP LAK DALAM PASTA GIGI Fif i Harmely, Henny Lucida dan M. Husni Mukhtar FOR MULASI KRIM E KSTRAK ETANOL DAUN UBI JALAR ( Ipomea batatas.L.)UNTUK PENGOBATAN LUKA BAKAR Farida Rahim, Mimi Aria dan Nurwani P.A PENGARUH PE MBERIAN KALSIUM, VITAMIN D DAN ZAT BESI TERHADAP KADAR KALSIUM SERUM TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) GALUR WISTAR Erina Masri AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL BIJI JINTAN HITAM (Nigella sativa Linn.) TERHADAP TITER ANTIBODI DAN JUMLAH SEL LEUKOSIT PADA MENCIT PUTIH JANTAN Yufri Aldi dan Suhatri PENETAPAN POLA RESISTENSI ANTIBIOTIKA Vibrio parahaemolyticus HASI L ISOLASI DARI CUMI-CUMI (Loligo vulgaris) DAN KEPITING BAKAU (Scylla serratta) Ria Afrianti, Marlina dan M. Husni Mukhtar AKTIVITAS ANTI INFLAMASI DAR I EKSTRAK ETANOL DAUN BUNGA KEMBANG BULAN (Tithonia diversifolia A. Gray) TERHADAP MENCIT PUTI H BETINA Verawati, Mimi Aria dan Novicaresa M PENGARUH LAMA PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR DAN LEMARI PENDINGIN TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN PADA DADIH KERBAU DENGAN METODA KJELDAHL Regina Andayani, Revi Yenti dan Wiwit Gustiva PENGARUH PERBANDINGAN ETANOL AIR SEBAGAI PE LARUT EKSTRAKSI TERHADAP PEROLEHAN KADAR FENOLAT DAN DAYA ANTIOKSIDAN HERBA MENIRAN (Phylantus niruri.L.) B.A. Martinus dan Harrizul Rivai

1 -7

8 -1 3

14-20

21-26

27-34

35-41

42-46

47-52

53-58

59-64

Scientia , Vol. 1, No. 1, Februari 2011 ; halaman 1 64, ISSN : 2087-5045 Sekola h Tinggi Farma si Indonesia (STIFI) Perintis Padang

SC IENT IA
JURNAL FARMASI DAN KESEHATAN
TERBIT DUA KALI SE TAHUN SETIAP BULAN FEBRUARI DAN AGUSTUS

D E W AN RE D A KSI
Penanggung Jawab : Prof. H. Syahriar Harun, Apt Dewan Penyunting : Prof.H. Syahriar Harun,Apt Prof.DR.H. Amri Bakhtiar,MS,DESS,Apt Pemimpin Umum : Prof.DR.H. Almahdy, MS, Apt DR.H.M. Husni Mukhtar,MS, DEA, Apt DR.H.M. Husni Mukhtar, MS, DEA, Apt DR.Hj. Marlina, MS, Apt Redaktur Pelaksana : Verawati, M.Farm, Apt Drs. Yufri Aldi, MSi, Apt Eka Fitrianda, M.Farm, Apt Drs. B.A. Martinus , MSi Hj. Fifi Harmely, M.Farm ,Apt Sekretariat : Farida Rahim, M.Farm, Apt Afdhil Arel, S.Farm, Apt Revi Yenti, M.Si, Apt Khairul Verawati, M.Farm, Apt Ria Afrianti, M.Farm ,Apt Eka Fitrianda, M.Farm, Apt

Penerbit : Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STIFI) Perintis Padang ISSN : 2087-5045 Alamat Redaksi/Tata Usaha STIFI Perintis Jl. Adinegoro Km. 17 Simp. Kalumpang Lubuk Buaya Padang Telp. (0751)482171, Fax. (0751)484522
e-mail : stifi_perintis@yahoo.co.id website : www.stifi-padang.ac.id

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


ANALISA KANDUNGAN FLAVONOID DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI REMPAH TUMBUHAN OBAT SUMATERA BARAT
1

Deddi Prima Putra1, Verawati2 Fak. Farmasi Universitas Andalas, 2STIFI Perintis Padang ABSTRACT

Antioxidant activity and total flavonoid content of five medicinal plant specieses of West Sumatera have been measured. The spesieses are Jahe (Zingiber officinale Rosc), Kunyit (Curcuma domestica Val), Kencur (Kaemferia galanga Linn), Lengkuas (Alpinia Galanga Linn), and Pala (Myristica fragrans Houtt). The total flavonoid content and antioxidant activity were measured on total ethanolic extract, liphofilic fraction and hydrophilic fraction of each species. The total flavonoid content was measured using colorimetric with alumunium chloride used as complexing agent and quercetin used as standard compound.The examination of antioxidant activity was carried out by spectrophotometry UV-Visible using DPPH reagent. The total flavonoid content of Jahe (Zingiber officinale Rosc), Pala (Myristica fragrans Houut), Kunyit (Curcuma domestica Val) were 0.85; 0.54; 19.77 g/g respectively (quercetin equivalent).The result showed that these three plants have highest antioxidant activity. IC50 of jahe against 20 g/ml DPPH were 80.62, 69.35, 109.98 g/ml for total ethanolic extract, liphofilic fraction and hydrophilic fraction respectively. IC50 of ethanolic extract and hydrophilic fraction of kunyit were 68.21 and 47.09 g/ml, while IC50 of ethanolic extract and hydrophilic fraction of pala were 50.08 and 71.67 g/ml. Keywords : Antioxidant, Flavonoid, medicinal plants PENDAHULUAN Obat asli Indonesia merupakan obat yang berasal dari tumbuhan, hewan, atau bahan mineral. Pada umumnya obat asli Indonesia belum mempunyai data klinik dan penggunaannya hanya berdasarkan pengalaman. Pengolahan obat asli Indonesia masih sederhana dengan menyeduh bahan tumbuhan kering atau segar dengan air panas, kemudian air seduhan ini diminum. Oleh karena itu bahan obat asli Indonesia perlu distandarisasi, sehingga manfaat dan keamanannya dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian tumbuhan obat asli Indonesia dapat dikembangkan menjadi fitofarmaka (Depkes, 1981). Rempah-rempah sudah lama dikenal di Indonesia. Makanan seharihari kita mengandung paling tidak satu jenis rempah. Rempah punya arti lebih dari sekedar penambah rasa hidangan. Rempah tumbuhan obat juga berpotensi besar memerangi sederet panjang penyakit dan masalah kesehatan seperti kanker, jantung, diabetes melitus, dan arterosklerosis. Pemicu timbulnya penyakit-penyakit tersebut salah satunya adalah akibat radikal bebas (Rungkat, 1994). Radikal bebas adalah senyawa kimia yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan. Senyawa ini bersifat tidak stabil dan sangat reaktif. Untuk mencapai kestabilan, molekul harus mencari elektron lain sebagai pasangan. Reaksi berantai ini dapat menimbulkan kerusakan sel yang berujung pada mutasi sel dan apabila

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


merusak organ yang memiliki fungsi tertentu dapat menimbulkan penyakit degeneratif. Radikal bebas dalam kehidupan sehari-hari dapat dijumpai seperti akibat metabolisme yang berlebihan atau berasal dari lingkungan seperti asap rokok, polusi udara, bahan kimia beracun, pestisida serta radiasi sinar UV (Raharjo, 1992; Silalahi, 2001; Youngson, 2005). Untuk menanggulangi efek dari radikal bebas ini, secara alami tubuh mempunyai benteng yang dapat mencegah serangan radikal bebas tersebut yaitu enzim (katalase) ataupun antioksidan yang berasal dari luar tubuh yang umumnya berasal dari makanan. Kegunaan utama dari antioksidan adalah menghentikan atau memutuskan reaksi berantai dari radikal bebas dengan cara menyediakan dirinya bereaksi dengan radikal bebas itu sendiri. Dengan kata lain, antioksidan dapat menyelamatkan sel-sel tubuh dari kerusakan, akibat serangan radikal bebas (Karyadi,1997). Antioksidan dapat berasal dari alam maupun sintetik. Antioksidan alam lebih disukai karena efek sampingnya lebih kecil. Salah satu sumber antioksidan alam yang terdapat dalam tanaman adalah flavonoid yang bisa ditemukan pada beberapa tanaman dari Famili Zingiberaceae seperti rimpang kunyit (Curcuma domestica. Val), rimpang kencur (Kaemferia galanga. Linn), rimpang jahe (Zingiber officinale. Rosc), rimpang lengkuas (Alpinia galang. Linn, Willd), dan dari tanaman famili Myristicaceae seperti buah Pala (Myristica fragrans. Houtt) (Rukmana. 1994; Rukmana, 1995). Berdasarkan potensi rempah tersebut sebagai obat dan adanya kandungan flavonoid didalamnya, maka dilakukan penelitian untuk menentukan kadar flavonoid total dalam rempah secara kolorimetri dengan menggunakan alumunium klorida sebagai pengompleks dan penentuan aktivitas antioksidan menggunakan metode radikal DPPH (Zhinshen, 1999; Molyneux, 2004). METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Alat Alat yang digunakan berupa seperangkat alat maserasi, rotary Evaporator (BUCHI), labu rotary, Erlemeyer berbagai ukuran, corong, kapas, pipet tetes, pipet mikro, botol, vial, label, spatel, alumunium foil, timbangan digital, spektrofotometri UVVis Pharmaspec 1700 (shimadzu), mesin penghalus (Brook Crompton), pisau, tabung reaksi, rak tabung reaksi. Bahan Sampel rempah-rempah: rimpang kunyit (Curcuma domestica. Val), rimpang lengkuas (Alpinia galanga. Linn, Willd), rimpang jahe (Zingiber officinal., Rosc), rimpang kencur (Kaemferia galanga. Linn) dan buah pala (Myristica fragrans. Houtt), yang masing-masing diambil dari daerah berbeda yaitu Alahan Panjang Bukittinggi dan Batu Sangkar, etanol 96%, heksan 96%, metanol, DPPH, Natrium asetat 1 M, AlCl3 10%, Aquadest, Quersetin, Aquadest. Pembuatan Ekstrak Sampel Serbuk sampel sebanyak 5 g diekstraksi dengan menggunakan pelarut yang berbeda sehingga diperoleh 3 macam ekstrak. a. Pembuatan ekstrak etanol total (ekstrak total): 5 gram sampel diekstrak dengan 25 ml etanol 96% selama 2 x 24 jam. Kemudian

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


b. maserat disaring dan filtrat dikentalkan dengan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental total. Pembuatan ekstrak heksan (ekstrak lipofil): 5 gram sampel diekstrak dengan 25 ml heksan 96% selama 2 x 24 jam. Kemudian maserat disaring dan filtrat dikentalkan dengan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental lipofil. Pembuatan ekstrak etanol setelah heksan (ekstrak hidrofil): ampas dari hasil ekstraksi dengan heksan diekstraksi lagi dengan etanol 96% sebanyak 25 ml selama 2 x 24 jam. Kemudian maserat disaring dan filtrat dikentalkan dengan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental hidrofil. Aktivitas Antioksidan Setelah dilakukan penelitian mengenai analisa kandungan flavonoid total dan aktivitas antioksidan dari tanaman obat dan rempah Sumatera Barat didapatkan hasil bahwa dari 5 macam sampel rempah (jahe, kunyit, kencur, lengkuas dan pala) didapatkan tiga sampel memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi yaitu jahe, kunyit dan pala. Ketiga rempah ini ditentukan IC50nya yakni konsentrasi sampel yang mampu merangkap radikal DPPH sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50 maka semakin aktif sampel tersebut sebagai antioksidan. sedangkan IC50 sampel dihitung dengan metoda analisa probit menggunakan finney. Penentuan Total Kandungan Flavonoid

c.

d.

Kandungan flavonoid total ditentukan dengan metode kolorimetri menggunakan Aluminium klorida. Sebanyak 2 ml dari larutan ekstrak (1mg/ml) serta larutan standar kuersetin (100; 80; 60; 40; 20; 10; 5 g/ml) ditambah 0,1 ml AlCl3 10 %; 0,1 ml Na asetat 1M dan 2,8 ml air suling. Campuran dikocok homogen lalu biarkan selama 30 menit. Serapan diukur pada panjang gelombang 415 nm. Total kandungan flavonoid sampel dinyatakan sebagai kesetaraan gram kuersetin/100 gram sampel kering. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Sampel

Aktivitas antioksidan ditentukan dengan metode DPPH (Molyneux, 2004). 0,2 ml larutan sampel (1 mg/ml, 100, 50 dan 25 g/ml) serta larutan stndar kuersetin (0,1; 0,2; 0,4; 0,6 g/ml) di dalam vial, ditambah 3,8 ml larutan DPPH (20 g/ml). Campuran larutan dihomogenkan dan dibiarkan selama 30 menit di tempat gelap. Serapan diukur pada panjang gelombang maksimum DPPH yaitu 517 nm. Absorban kontrol yaitu DPPH (20 g/ml) dalam metanol juga diukur. Aktivitas antioksidan sampel dinyatakan sebagai persentase inhibisi dihitung dengan rumus: Abs. kontrol Abs. Sampel x 100 % Abs. kontrol Dengan menggunakan persamaan linear dari data stndar maka dapat dihitung IC50 stndar kuersetin

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Tabel I. Nilai IC50 sampel
No 1 Nama sample Jahe.BS.Total Konsentrasi 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 % Inhibisi 52.96 36.14 21.51 69.31 49.24 32.41 69.89 47.61 29.06 63.38 44.93 26.58 58.63 39.45 22.54 52.81 36.59 21.95 57.22 39.12 23.08 35.54 17.50 8.83 50.72 28.18 15.09 92.58 58.26 28.04 89.59 65.76 42.12 85.9 59.09 30.27 60.85 43.82 21.48 73.09 49.72 25.95 78.36 49.72 29.4 76.18 43.38 23.72 IC50 90.56

Jahe.BS.Lipofil

57.67

Jahe.Bkt.Total

60.68

Jahe.Bkt.Lipofil

68.98

Jahe.Bkt.Hidrofil

79.3

Jahe.Ap.Total

90.62

Jahe.Ap.Lipofil

81.4

Jahe.Ap.Hidrofil

140.66

Kunyit.BS.Total

97.92

Kunyit.BS.Hidrofil

46.81

Kunyit.Bkt.Total

32.44

Kunyit.Bkt.Hidrofil

46.51

Kunyit.Ap.Total

74.27

Kunyit.Ap.Hidrofil

47.97

Pala.BS.total

54.44

Pala.BS.Hidrofil

61.55

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


100 50 25 100 50 25 88.47 57.56 31.85 58.81 36.09 16.45

Pala.Bkt.Total

45.69

Pala.Bkt.Hidrofil

81.8

Keterangan : Ap : Alahan Panjang BS : Batu Sangkar Bkt : Bukittinggi

Dari data IC50 sampel dan IC50 stndar kuersetin, maka diperoleh suatu nilai jumlah sampel yang akan memberikan aktivitas antioksidan yang setara dengan 1 mg kuersetin (IC50 kuersetin = 0,442 g/ml).

Tabel II. Aktivitas Antioksidan dari Sampel Setara mg Kuersetin


No Nama sampel Nilai rata-rata IC50 aktivitas antioksidan terukur (g/ml) 80.62 69.35 109.98 68.21 47.09 50.06 71.67 Aktivitas antioksidan 1g ekstrak setara mg kuersetin (mg) 182.39 156.9 248.82 154.32 106.53 113.26 162.16

Jahe. total 1 Jahe. lipofil Jahe. hidrofil Kunyit. total 2 Kunyit. lipofil Kunyit hidrofil Pala. total 3 Pala. lipofil Pala. hidrofil

Pada pengukuran absorban flavonoid total untuk penentuan kurva kalibrasi kuersetin pada panjang gelombang 415 nm didapat persamaan regresi y = - 0,016 + 0,017x dengan koefisien korelasi 0,999, simpangan baku 0,0106371, batas deteksi 0,114942 g/ml, batas kuantisasi 4,216 g/ml.

Pada pengukuran flavonoid total tiap gram sampel kering setara kuersetin diperoleh kadar flavonoid total dari masing-masing sampel dimana kadar paling tinggi adalah pada ekstrak etanol kunyit 19.70 g/g diikuti kencur 0.92 g/g, jahe 0.84 g/g, pala 0.54 g/g, lengkuas 0.52 g/g.

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045

Tabel III. Kandungan Flavonoid total dari ekstrak total sampel


Nama Sampel Konsentrasi Flavonid (g/ml) 10.62 8.1 10.83 9.85 1,51 157.55 71.99 142.67 124.07 45,71 8.5 8.64 11.03 9.39 1,42 4.53 9.27 5.02 6.27 2,60 4.96 4.05 4.50 0,64 Kadar Flavonoid tiap 5 g serbuk kering (g/g) 0.91 0.70 0.93 0.84 0,13 25.03 11.43 22.66 19.70 7,26 0.84 0.85 1.09 0.92 0,14 0.37 0.76 0.41 0.52 0,21 0.60 0.49 0.54 0,078

Jahe.BS.Total Jahe.Bkt.Total Jahe.AP.Total Rata-rata SD Kunyit.BS.Total Kunyit.Bkt.Total Kunyit.AP.Total Rata-rata SD Kencur.BS.Total Kencur.Bkt.Total Kencur.AP.Total Rata-rata SD Lengkuas.BS.Total Lengkuas.Bkt.Total Lengkuas.AP.Total Rata-rata SD Pala.BS.Total Pala.Bkt.Total Rata-rata SD

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Dari data IC50, aktivitas antioksidan dan penentuan kadar flavonoid total diketahui bahwa ekstrak yang kadar flavonoidnya tinggi mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi. Jadi kemungkinan senyawa yang mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi adalah golongan flavonoid yang terdapat pada ekstrak polar atau fraksi hidrofil terutama pada jahe, kunyit dan pala. Rukmana, R., 1994, Kencur, Kanisius, Yogyakarta. Rungkat, F., 1994, Radikal Bebas dan Patofisiologi Penyakit, Proseding Seminar : Senyawa Radikal dalam Sistem Pangan : Reaksi Biomolekuler, Dampak terhadap Kesehatan dan Penangkalan, Bogor. Silalahi, J., 2001, Free Radicals and antioxidant Vitamin in Degenerative Disease. The Journal of Indonesian Medical Association : II (5), 1-13. Youngson, R., 2005, Antioxidant : Vitamin C dan E For Health, diterjemahkan oleh Susi Purwoko, Jakarta. Zhinshen, J., T. Mengcheng and W. Jianming, 1999, The determination of flavonoid contents in mulberry and their scavenging effects on superoxide radicals, Food Chem., 64: 555559.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa dari 5 tanaman yang berasal dari 3 daerah, kadar flavonoid yang tinggi terdapat pada kunyit, jahe dan pala setara kuersetin berturut-turut : 19.77; 0.85; 0.54 g/g terhadap sampel kering. Ekstrak hidrofilik memberikan aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan ekstrak lipofilik.

DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI, 1981, Modifikasi Peraturan Perundang undangan Obat Tradisiona, Jakarta. Karyadi, E., Antioksidan, Resep Sehat dan Umur Panjang, http//www.indomedia.com/intisari /1997/juni/antioksidan.htm Molyneux, P., 2004, The Use of Stable Free Radical Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for Estimating Antioxidant Activity, J. Sci. Tecnol, 26(2), 211-219. Raharjo, M., 1992, Tanaman Berkhasiat Antioksidan, Penebar Swadaya, Jakarta. Rukmana, R., 1995, Temulawak Tanaman Rempah Obat, Kanisius, Yogyakarta.

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


ISOLATION OF Vibrio parahaemolyticus FROM BEEF MARKETED IN PADANG, IDENTIFICATION TARGETED ON toxR GENE AND AMPLIFICATION OF tdh AND trh GENES ON ISOLATES USING POLIMERASE CHAIN REACTION
1

Eka Fitrianda1, Marlina2, M. Husni Mukhtar2 STIFI Perintis Padang, 2Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang ABSTRAK

Sebanyak 40 isolat V. parahaemolitycus telah berhasil diisolasi dari sejumlah sampel daging sapi mentah yang dikoleksi di Pasar Raya Padang. Isolasi dilakukan dengan menggunakan media CHROMagarTM Vibrio. Terhadap 40 isolat tersebut dilakukan identifikasi menggunakan metoda Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mengamplifikasi gen toxR. Gen toxR merupakan gen yang sangat spesifik pada spesies V. parahemolyticus. Selanjutnya, dengan metoda yang sama juga dilakukan amplifikasi terhadap gen pengkode produksi toksin hemolisin (tdh dan trh) yang merupakan faktor virulen utama pada bakteri tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh V. parahaemolyticus hasil isolasi memiliki gen tox-R, namun tidak ada satu isolatpun yang memiliki gen pengkode produksi toksin hemolisin baik tdh maupun trh. Key words: Vibrio parahaemolyticus, toxR, tdh, trh INTRODUCTION V. parahaemolyticus is one of bacteria actively studied in various parts of the world because of its ability in causing diarrhea. V. parahaemolyticus was first isolated in food poisoning outbreak in Japan in early 1950s. Currently, V. parahaemolyticus has become one of food contaminant pathogens with the highest prevalence in Asian countries (Pan et al, 1997). The main clinical manifestation of infection due to V. parahaemolyticus is gastroenteritis, in which the main symptoms include abdominal cramps, nausea and vomiting. Most strains of clinical V. parahaemolyticus produce major virulence factor namely thermostable direct hemolysin (TDH) and showed hemolysis activity on Wagatsuma agar (KP positive strains). Another virulence factor, TDH-related hemolysin (TRH), usually associated with KP negative strains or with urease positive strains (Kelly and Stroh, 1989). Based on the Shirai et al (1990) report, molecular epidemiological studies show a close relationship between the hemolysin coding genes in these bacteria (tdh, trh, or both) with their ability in causing disease. Thermostable direct hemolysin (TDH) and the TDHrelated hemolysin (TRH), whose production is encoded by the tdh and trh are the important virulence factors for the development of gastroenteritis. Therefore, the genes are referred to as the important virulence coding genes in V. parahaemolyticus. Although V. parahaemolyticus is a marine bacterium that has long been associated with diarrhea after eating raw or not cooked perfectly seafood, some recent researches showed that V. parahaemolyticus has also found

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


on food samples which are not seafood categories. Research conducted by Marlina et al (2007) for example, has successfully isolated these bacteria from pensi (Corbicula moltkiana prime) collected from lake Singkarak. The isolated strains carried hemolysin toxinproducing genes (tdh and trh) which are the major virulence factors of V. parahaemolyticus. Another study conducted by Zulkifli et al (2009) on the cockles collected from rivers in Padang showed similar result. In this study we isolated V. parahaemolyticus from beef samples and identified them by examining on their toxR gene. We also detected their virulent factors coding genes by amplificating tdh and trh genes on these isolates. The method used to identifying and amplifying tox-R, tdh and trh genes is polymerase chain reaction (PCR). PCR is a major breakthrough in molecular diagnostics, and lately has been widely used to identify genes from different species of bacteria including V. parahaemolyticus. According to Gelfand et al (1998), this is due to the high sensitivity level of this method. MATERIALS AND METHODS Equipments and materials PCR machine (Eppendorf Mastercyclergradient), Eppendorf tubes, micro pipette (Eppendorf), centrifugator (Eppendorf Minispin), laminar air flow (Esco), vortex (Mixer VM-1000), incubator (Gallenkamp ), rotary shaker incubator (Bigger Bill Digital), colony counter (Stuart scientific), the elektrophoresis device, transilluminator, polaroid film, the test sample, V. Parahaemolyticus AQ4037 (positive control for the toxR and trh genes), V. parahaemolyticus AQ3815 (positive control for tdh gene,), Salt Polimixin Broth (SPB), distilled water, NaCl, CHROMagarTM Vibrio (CHROMagarTM), Luria Bertani (LB) Broth, Luria Bertani (LB), 5X Colorless GoTaq Reaction, 10X Ex Taq buffer solution, 2.5 mM dNTP solution, GoTaq DNA polymerase, agarose, tris-borateEDTA (TBE), a blue dye, 100 bp ladder, ethidium bromide, and three pairs of primers, namely: toxR-4: 5'GTCTTCTGACGCAATCGTTG-3' and toxR-7: 5'ATACGAGTGGTTGCTGTCATG-3' for the detection of toxR gene, TDH D3: 5'CCACTACCACTCTCATATGC-3 and TDH D5: 5'GGTACTAAATGGCTGACATC-3' for detection of tdh gene, TRH R2: 5'GGCTCAAAATGGTTAAGCG-3' and TRH R6: 5'CATTTCCGCTCTCATATGC-3' for detection of trh gene. Sampling The test samples in this study were 15 raw beef samples. Samples were taken from traders in Pasar Raya Padang. To avoid contamination, samples were taken in a way directly entered by the merchant into sterile containers, immediately stored in containers and taken to the laboratory for testing. V. parahaemolyticus Isolation Each sample (10 gram) was added in to 100 ml Salt Polimixin Broth (SPB) media and incubated at 37C for 24 hours. These cultures were inoculated using a needle loop onto surfaces of CHROMagarTM Vibrio previously been poured and allowed to solidify in a petri dish. After incubated for 24 hours at

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


37C, purple colonies formed were suspected as colonies of V. parahaemolyticus. Each single suspected colony was inoculated into the Luria Bertani (LB) Broth containing 3% NaCl and incubated in a rotary shaker incubator at 37C for 24 hours. DNA template preparation Before the amplification of genes using PCR method, DNA of control and testing bacteria were extracted using boil cell extraction (BCE) method. 1 ml LB broth culture centrifuged at 12,000 rpm for 1 min, the supernatant were removed, while the sediment were added with 500 mL sterile distilled water and then suspended using vortex. The suspension formed was heated for 10 minutes in boiling water and immediately put into the refrigerator with a temperature of 20C for 10 minutes. Subsequently centrifuged at 12,000 rpm for 3 minutes and the supernatant were transferred into a new Eppendorf tube. The supernatant were the DNA template to be used for amplification of genes by PCR method. Amplification of toxR, tdh and trh genes Identification of toxR, tdh and trh genes in V. parahaemolyticus were done using PCR method. DNA template which had been prepared previously inserted into the Eppendorf tube for PCR machine and combined with other PCR components. The type and amount of each PCR components as shown in table below:
Table I. PCR component Component Buffer solutiona 2,5 mM dNTP Primer 1b Primer 2b Aquadest GoTaq DNA Polymerase DNA Template
a

Amount(l) 5,0c 2,5d 2,0 1,0 1,0 15,0c 17,4d 0,1 1,0

5x Colorless GoTaq Reaction Buffer for the amplification of tdh and trh genes, 10x Ex Taq buffer solution for the amplification of toxR gene, b Primer pairs are suitable for c each gene, For the detection of tdh and trh genes, d For the detection of toxR gene

Eppendorf tube is then inserted into the PCR machine and amplification was performed using program which is suitable for detection of each gene as shown in table below: Table II.
Stage Predenaturation Denaturation Annealing Extention Elongation

Stage for tox-R gene amplification (23 cycles)


Temperature ( oC ) 96 94 63 72 72 Time (minute) 5 1 1,5 1,5 7

Table III. Stage for tdh and trh genes amplification (33 cycles)
Stage Predenaturation Denaturation Annealing Extention Elongation Temperatur e ( oC ) 96 94 55 72 72 Time (minute) 5 1 1 2 7

After all of the stages in the PCR process were completed, the results

10

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


of this amplification were colored using blue dye and then separated along electrophoresis process on 1% agarose gel in 1x TBE. Electrophoresis was performed at 100 V voltage for 20 minutes use 1x TBE as the mobile phase. The 100 bp ladder was used as a marker for determining the size of amplification product. After the electrophoresis process was completed, agarose gel was stained using ethidium bromide solution (0.5 mL/ml). Electrophoresis result which was observed by UV transilluminator will form separate bands which were distinguished by the number of their base pairs (bp). The size of toxR, tdh and trh amplification product were 368 bp, 251 bp and 250 bp respectively. Size estimation of each product was done through comparison with 100 bp ladder. Results were then documented by polaroid film. RESULTS AND DISCUSSION We successfully isolated suspected V. parahaemolyticus colonies from 3 of 15 raw beef samples which were examined. The presence of suspected V. parahaemolyticus in samples characterized by the formation of purple colonies on the surface of CHROMAgarTM Vibrio medium.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

CHROMagar Vibrio is a selective media for identification of V. parahaemolyticus with a higher level of differentiation compared to TCBS medium (Kudo etal, 2001). From 3 of 15 samples which were examined, we successfully isolated 40 suspected V. parahaemolyticus. Identification targeted on toxR gene was performed to all of these isolates using PCR method. toxR gene is a gene that is very specific on the V. parahemolyticus species. The PCR method to detect this gene has been reported (Lee et al, 1995) as a very useful method to confirm the presence of this species in samples. Dileep et al (2003) also states that the detection of toxR gene by PCR method to detect V. parahaemolyticus is more sensitive than biochemical identification. toxR positive isolates showed 368 bp band in electrophoresis gel. In this study, out of total of 40 tested isolates, all (100%) showed toxR positive results.

Figure 2. Electrophoresis gel of toxR positive V. parahaemolyticus isolates: lane 1-11 were positive toxR isolates, lane 12 was positive control, lane 13 was 100 bp ladder. The same result have been reported by Zulqifli et al (2009), where all of CHROMagar Vibrio isolates from cockles gave positive results on testing of toxR using PCR method.

Figure 1. Suspected V. parahaemolyticus colonies on ChromagarTM Vibrio.

11

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Previously, V. parahaemolyticus has been isolated from various places around the world. Tanil et al (2005) succeeded in isolating V. parahaemolyticus from seawater in Peninsular, Malaysia. V. parahaemolyticus also been isolated from coastal waters of western United States (Okuda et al, 1997). A study recently conducted by Sujeewa et al (2009) succeeded in isolating V. parahaemolyticus from shrimp samples in Malaysia. Generally, V. parahaemolyticus were isolated from marine waters or food samples from the sea, because V. parahaemolyticus is a bacteria that normally lives in this habitat (DePaola et al, 2000). It makes the results of this research is interesting for further explored, because V. parahaemolyticus isolates were isolated in samples which were not derived from the sea environment. Similar results have also found in other study (Marlina et al, 2007), where a number of V. parahaemolyticus isolates carrying tdh gene were isolated from Corbicula moltkiana, a species which lives in lake Singkarak. Similarly, other publication also showed that V. parahaemolyticus was isolated from cockles live in rivers around Padang, Indonesia (Zulkifli et al, 2009). Furthermore, studies are necessary to investigate whether the presence of V. parahaemolyticus in samples is the result of bacterial adaptation capabilities on low-salt environment, or is the result of crosscontamination when samples are marketed in the market. Major virulence factor coding genes in V. parahaemolyticus are tdh and trh. The presence of these genes are represent the level of pathogenicity of V. parahaemolyticus isolates. In this study, 40 toxR positive isolates were detected for the present of tdh and trh genes using PCR method. As a result, none of the isolates has tdh or trh gene. This result suggests that V. parahaemolyticus isolates in this study are not virulent isolates. According to Nishibuchi and Kaper (1995), only few V. parahaemolyticus isolates carrying the virulent genes (tdh or trh), and they are called virulent isolates. The existences of these genes in V. parahaemolyticus isolated from nonclinical samples are rarely detected. In contrast, more than 90% of V. parahaemolyticus isolates from clinical samples have tdh or trh gene (DePaola et al, 2000). These such result also seen in V. parahaemolyticus previously isolated from cockle samples in Padang, where the overall toxR positive isolates have no tdh or trh gene (Zulkifli et al, 2009). However, some other studies seem to successfully detect the presence of these virulence genes in environmental samples (Sujeewa et al, 2009; Marlina et al, 2007). CONCLUSION All of 40 V. parahaemolyticus isolates isolated from beef samples marketed in Pasar raya Padang were having toxR gene, but none of them has tdh or trh gene. BIBLIOGRAPHY DePaola, A., C. A. Kaysner, J. Bowers and D. W. Cook, 2000, Environmental investigations of Vibrio parahaemolyticus in oysters after outbreaks inWashington, Texas, and New York (1997 and 1998), Appl Environ Microbiol 66:464954. Dileep, V., H. S. Kumar, Y. Kumar, M. Nishibuchi and I. Karunasagar, 2003, Applicationof polymerase chain reaction for detection of Vibrio parahaemolyticus associated with tropical

12

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


seafoods and coastal environment, Lett Appl Microbiol 36:4237. Gelfand, D. H., T. J. White, M. A. Innis, J. J. Sninsky, 1998, PCR protocols: A guide to methods and amplifications, Academic Press. New York. Kelly, M. T. and E. M. Stroh, 1989, Urease-positif, Kanagawanegatif Vibrio parahaemolyticus from patients and the environment in the Pacific Northwest, J. Clin. Microbiol. 27: 2820-2822 Lee, C.Y., S.F. Pan and C. H. Chen, 1995, Sequence of a cloned pR72H fragments and its use for detection of Vibrio parahaemolyticus in shell fish with PCR, Applied and Environmental Microbiology 61: 1311-1317. Marlina, S. Radu, C. Y. Kqueen, S. Napis, Zunita Zakaria, S. A. Mutalib, and M. Nishibuchi, 2007, Detection of tdh and trh genes in Vibrio parahaemolyticus isolated from Corbicula moltkiana prime in West Sumatera Indonesia, Southeast Asian J Trop Med Public Health. 38:349-355. Nishibuchi, M., and J. B. Kaper, 1995, Thermostable direct hemolysin gene of Vibrio parahaemolyticus: a virulence gene acquired by a marine bacterium, Infect. Immun. 63:20932099. Okuda, J. M. Ishibashi, S. Abbott, J. M. Janda and M. Nishibuchi, 1997, Analysis of the Thermostable Direct Hemolysin (tdh) Gene and the tdh-Related Hemolysin (trh) Genes in Urease-Positive Strains of Vibrio parahaemolyticus Isolated on the West Coast of the United States, Journal of Clinical Microbiology. 35: 19651971 Pan, T. M., T. K. Wang, C. L. Lee, S. W. Chien, and C. B. Horng, 1997, Food-borne disease outbreaks due to bacteria in Taiwan, 1986 to 1995, J. Clin. Microbiol. 35: 1260-1262 Shirai, H., H. Ito, T. Hirayama, Y. Nakamoto, N. Nakabayashi, K. Kumagai, Y. Takeda, and M. Nishibuchi, 1990, Molecular epidemiologic evidence for association of thermostable direct hemolysin (TDH) and TDH-related hemolysin of Vibrio parahaemolyticus with gastroenteritis, Infect. Immun. 58: 35683573. Sujeewa, A. K. W., A. S. Norrakiah and M. Laina, 2009, Prevalence of toxic genes of Vibrio parahaemolyticus in shrimps (Penaeus monodon) and culture environment, International Food Research Journal 16: 8995 Tanil, G. B., S. Radu, M. Nishibuchi, R. A. Rahim, S. Napis, L. Maurice and J. W. Gunsala, 2005, Characterization of vibrio parahaemolyticus isolated from coastal seawater in peninsular Malaysia, Southeast Asian J Trop Med Public Health. 36 No. 4. Zulkifli, Y., N. B. Alitheen, S. Radu, S. K. Yeap, M. B. Lesley and A.R. Raha, 2009, Identification of Vibrio parahaemolyticus isolates by PCR targeted to the toxR gene and detection of virulence genes, International Food Research Journal 16: 289296

13

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


EFEKTIFITAS BROMELAIN KASAR DARI BATANG NENAS (Ananas comosus L. Merr) SEBAGAI ANTIPLAK DALAM PASTA GIGI Fifi Harmely1, Henny Lucida2, M. Husni Mukhtar2 1 STIFI Perintis Padang, 2Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang ABSTRACT The effectivity of crude bromelain from pineapple steam as antiplaque has been tested using plaque control record methods. The toothpaste formula was consisted of 5% crude bromelain and 40% abrasive calcium carbonate. The proteolytic activity was 6.584 unit/mg equivalent 98.84 % (F3C). The 5% crude bromelain in toothpaste has antiplaque effectiveness that is not significantly different from control (p <0.05) and significantly different from the formula base (p> 0.05).

Keyword: crude bromelain, toothpaste, proteolytic activity, antiplaque effectivity PENDAHULUAN Di Indonesia, penderita gigi berlubang jumlahnya tidak sedikit. Hasil Survei Kesehatan Nasional 2002 menunjukkan prevalensi gigi berlubang di Indonesia berkisar 60%, yang berarti dari sepuluh orang enam diantaranya menderita gigi berlubang (Nugraha, 2008). Plak gigi adalah lapisan lunak yang terbentuk dari campuran sisa-sisa makanan serta bakteri yang diperantarai oleh saliva yang melekat pada permukaan gigi. Plak tersusun oleh 80% air dan 20% sisanya terdiri dari beberapa komponen seperti protein 4050%, karbohidrat 1317% , lipid 1014% dan abu 10% serta komponen mineral seperti kalsium dan posfor, yang dihitung dari berat kering plak (Wilkinson, 1982). Lapisan lembut ini akan membentuk suatu matriks pada gigi dimana bakteri dapat melekat. Jika plak tidak dibersihkan, maka lama-kelamaan mikroorganisme yang berkontak pada permukaan gigi akan menyebabkan karang gigi (kalkulus) dan menimbulkan karies pada gigi (Cracken,1982). Untuk mencegah kerusakan gigi dibutuhkan suatu zat antiplak dalam pasta gigi yang saat ini erat kaitannya dengan kandungan fluorida. Munurut Pakaj (2004), pasta gigi yang mengandung fluorida tidak cocok untuk anak-anak berusia di bawah 4 tahun. Hal ini juga dipertegas dengan adanya intruksi oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan untuk menarik seluruh produk pasta gigi untuk anak-anak yang masih mengandung fluorida di atas 500 ppm. Karena pemakaian pasta gigi yang mengandung fluorida mempunyai efek samping tertentu, maka perlu dicari alternatif formula pasta gigi dari bahan alam, salah satunya adalah bromelain dari nenas (Ananas comosus L. Merr var. Queen). Proses ekstraksi bromelain dilakukan secara maserasi dalam larutan buffer posfat pH 7,0 (Darwis dan Sakara, 1990; Ramli et al, 1990).

14

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Penggunaan enzim di dalam pasta gigi ditujukan untuk membantu pemecahan protein, karbohidrat dan lipid dari makanan. Dekstran merupakan produk metabolit dari bakteri, adanya zat ini memegang peranan penting dalam membentuk plak pada gigi (Wilkinson, 1982). Suatu produk bermerek dagang yang sudah beredar adalah pasta gigi Enzim. Metoda yang digunakan untuk pengujian anti plak adalah metoda rekam kontrol plak yang diperkenalkan oleh OLeary et al dan digunakan untuk memantau kontrol plak pada pasien dan juga banyak digunakan pada klinik klinik gigi (Dalimunthe 2008). Untuk pengukuran terlebih dahulu gigi diwarnai dengan perwarna plak (disclosing solution, disclosing gel atau disclosing tablet), yang dicatat adalah ada atau tidaknya deposit yang terwarnai pada batas dentogingiva pada empat permukaan (Dalimunthe 2008 ). Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pengujian efektifitas antiplak bromelain kasar dan dibandingkan dengan formula basis dan sediaan pembanding kepada sukarelawan. METODE PENELITIAN Alat Alat-alat gelas standar laboratorium (Pyrex), timbangan analitik (Pioneer), lumpang dan alu, spektrofotometer UV-Vis (UVmini1240), kaca mulut. Bahan Bromelain kasar, bromelain standar (Bernofarm), bahan tambahan formulasi (Brataco Chemika), dental plague disclosing gel (Global Care) dan air suling.

Sukarelawan Sukarelawan dalam penelitian ini sebanyak 15 orang berumur antara 1824 tahun dan diminta kesediaannya untuk menggunakan sediaan pasta gigi selama penelitian dengan mengisi blanko dan menandatangani surat pernyataan sebagai sukarelawan. Sebelum perlakuan kepada sukarelawan terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang tujuan penelitian dan informasi lain yang terkait dengan pemakaian pasta gigi. Untuk menilai keadaan plak gigi, pemeriksaan gigi sebelum dan setelah pemakaian pasta gigi dilakukan oleh dokter gigi.

Pelaksanaan Penelitian Pembuatan Formula Pasta Gigi Bromelain (Lieberman 1989; Wilkinson 1982) Pasta gigi bromelain dibuat dengan konsentrasi bromelain 5% dan abrasive kalsium karbonat 40% seperti terlihat pada tabel di bawah ini:

15

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Tabel I. Formula pasta gigi bromelain
Komposisi Formula Bromelain Kasar Kalsium karbonat Gliserol Larutan sorbitol 70 % Natrium Karboksimetil sellulosa Sakarin Natrium benzoat Natrium lauryl sulfat Oleum menthae piperitae Air suling sampai Basis (g) 40 18 10 1,0 0,2 0,1 1 0,3 100 formula (g) 5,0 40 18 10 1,0 0,2 0,1 1 0,3 100

Cara Pembuatan Bromelain Kasar

Pasta

Gigi

Na CMC ditabur diatas air panas (15x jumlah Na CMC), didiamkan selama 15 menit dan diaduk homogen (massa 1). Kalsium karbonat digerus, ditambah bromelain, digerus dan ditambah gliserol diaduk homogen, selanjutnya ditambahkan larutan sorbitol 70 % dan diaduk homogen (massa 2). Massa 1 ditambahkan ke massa 2 dan diaduk sampai homogen (massa 3). Sakarin dan natrium benzoat dilarutkan dalam sisa air, diaduk homogen dan dimasukkan ke dalam massa 3, digerus homogen. Natrium lauryl sulfat ditambahkan ke dalam massa 3, diaduk homogen sampai terbentuk massa pasta. Oleum menthae piperitae dimasukkan terakhir, diaduk sampai homogen dan kemudian dimasukkan ke dalam tube.

Uji Efektifitas Anti Plak Pasta Gigi Bromelain dengan Metode Rekam Kontrol Plak (RKP) (Delimunthe 2008) Pengujian ini dilakukan untuk menilai efek pemakaian pasta gigi sebagai anti plak dengan cara menggunakan pasta gigi 3 kali sehari pada pagi, sore dan pada malam hari. Pengujian ini dilakukan terhadap 5 orang panelis untuk setiap formula pasta gigi bromelain dengan syarat panelis tidak menggunakan pasta gigi lain, tidak menggunakan larutan penyegar mulut atau larutan pencuci mulut lainnya. Parameter yang diamati kemampuan menghilangkan plak setelah menggunakan pasta gigi. Untuk pelaksanaan pengujian ini digunakan gel pink tua dental plague disclosing gel yang dipakai sebelum menggunakan pasta gigi dan setelah menggunakan pasta gigi selama 1 minggu. Selama pengamatan akan dipantau oleh dokter gigi sampai selesai perlakuan.

16

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


rumus perhitungan Plak Indeks :
Skor RKP =

Jumlah Permukaan gigi dengan plak Jumlahseluruh permukaangigi

x 100 %

tinggi (8,72%) dan mendekati pasta gigi pembanding (8,90%). Daya anti plak disebabkan adanya kemampuan bromelain untuk mengurangi dan menghilangkan plak yang terbentuk. Proses pengurangan plak dari pasta gigi bromelain kasar diduga karena kemampuannya untuk memecah atau menguraikan protein saliva disamping juga terjadi secara fisik dengan adanya abrasif dalam pasta. Menurut Hidayah (2000) bromelain dapat memecah ikatan glutamin-alanin dan arginin- alanin yang merupakan asam -asam amino penyusun protein. Penelitian dilakukan pada gigi tiruan resin akrilik. Dugaan lain adalah bromelain dapat memutuskan ikatan protein dari sisa makanan yang menempel pada gigi. Makanan sangat berpengaruh sekali terhadap jumlah plak yang terbentuk. (Tarigan, 1990).

Setelah skor plak didapat, kemudian dihitung nilai selisih skor plak sebelum dan sesudah pemakaian pasta gigi bromelain dengan menggunakan rumus :
Nilai selisih = Skor Plak sebelum Skor Plak sesudah

Analisis Data Untuk menilai efektifitas antiplak bromelain dalam pasta dianalisis menggunakan statistik analisis varian satu arah yaitu antara basis pasta, pasta gigi bromelain kasar dan sediaan pembanding enzim. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji antiplak pasta gigi bromelain kasar dilakukan selama 7 hari. Parameternya adalah % RKP sebelum dan setelah perlakukan. Dari hasil perhitungan rata-rata persentase Rekam Kontrol Plak (RKP) adalah 3,04%, 8,72% dan 8,90% untuk formula basis (F0), pasta gigi bromelain (F3) dan pasta gigi pembanding (P) secara berturut-turut. Hasil ini memperlihatkan bahwa plak dapat berkurang dengan menggunakan basis pasta yang mengandung abrasif kalsium karbonat dan surfaktan natrium lauril sulfat yang ada dalam formula. Proses pengurangan plak ini terjadi secara fisika dengan persentase penurunan plak yang rendah. Proses pengurangan plak juga dipengaruhi oleh frekuensi, lama dan cara menggosok gigi (Ariningrum, 2000). Pada sediaan uji pasta gigi bromelain diperoleh persentase penurunan (RKP) yang lebih

17

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Tabel II. Hasil pengujian efektifitas antiplak pasta gigi bromelain kasar
% RKP No 1 Formula F0 Panelis 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 Sebelum 65,6 65,3 65,3 65 62,5 69,1 68,5 65,3 66,1 70,3 62,9 66,9 69,1 70,1 69,5 Sesudah 62,5 62,9 62 62 59,1 60,8 59,6 57,2 56,4 61,7 52,4 57,1 60 62 62,5 X (%) 3,1 2,4 3,3 3 3,4 8,3 8,9 8,1 9,7 8,6 10,5 9,8 9,1 8,1 7 3,04% 0.391 %KV=12,86

F3

8,72% 0.626 %KV= 7,17

8,9% 1.384 %KV= 15,55

Keterangan : F0 F3 P X X KV

: : : : :

Basis pasta gigi formula C konsentrasi abrasif 40% Formula pasta gigi bromelain konsentrasi 5% Pasta gigi pembanding (Enzim) Nilai selisih Rekam Kontrol Plak (RKP) Rata rata nilai selisih Rekam Kontrol Plak (RKP) : Koefisien variansi terdapat perbedaan yang bermakna antara pasta gigi bromelain (F3) dengan pasta gigi pembanding (P) pada p<0,05. Hasil uji statistik dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Hasil uji statistik dengan analisis varian satu arah memperlihatkan terdapat perbedaan yang bermakna antara formula basis (F0) dengan pasta gigi bromelain (F3C) dan pasta gigi pembanding (P) pada p>0,05, dan tidak
persentase plak Duncan
a

perlakuan F0 F3 pembanding Sig.

N 5 5 5

Subset for alpha = .05 1 2 3,0400 8,7200 8,9000 1,000 ,759

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

18

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Herijulianti, E., T. S. Indriani dan S. Artini, 2002, Pendidikan Kesehatan Gigi, EGC, Bandung. Hidayah, A.N., S. Wijaya dan Sulistyaningsih, 2000, Enzim Bromelain dari Bongkol Nenas sebagai Bahan Pembersih Gigi Tiruan Resin Akrlirik, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember. Kelly G.S., 1996, Bromelain: a literature review and discussion of its therapeutic applications, Altern. Med. Rev. 1: 405-410 Lachman, L, H. A. Lieberman and J.L Kaning, 1989, Teori dan Praktek Farmasi Industri, edisi III, Diterjemahkan oleh S. Suyatmi, Universitas Indonesia press, Jakarta. Maurer, H. R., 2001, Bromelain; Biochemistry, pharmacology and medical use, Cell Mol, Life , Sci., 58 (9). Mori S, Ojima Y, Hirose T, Sasaki T, Hashimoto Y., 1972, The clinical effect of proteolytic enzyme containing bromelain and trypsin on urinary tract infection evaluated by double blind method, Acta Obstet Gynaecol Jpn, 19(3) :147153. Ngampanya B. and S Phongtongpasuk, 2006, Effects of Sucrose Concentration on Crude Bromelain Production of in Vitro Culture of Pineapple ( Ananas comosus var. 2Pattavia ), J. Nat. Sci , 40 : 129134. Nugraha, A.W., 2008, Steptoccus mutans Si Plak Dimana-mana, Fakultas Farmasi USD, Jogjakarta: 1-5. Ota, S. and E. Mutta, 1985, Reinvestigation of Fractionation and Some Properties of Proteolitically Active Components of Steam and Fruit Bromelain, J. Biochem, 98, 219 228.

KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa bromelain kasar 5% dalam pasta gigi mempunyai efektifitas antiplak yang tidak berbeda nyata dengan sediaan pembanding (p<0,05) dan berbeda nyata dengan formula basis pada p > 0,05. SASARAN Kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk mengembangkan formula pasta gigi dan menguji stabilitas pasta gigi bromelain kasar.

DAFTAR PUSTAKA Ansel, H. C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi IV, Diterjemahkan oleh Farida Ibrahim, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Balsam, S. M and Sagarin E., 1985, Cosmetics, Vol 1, 2nd ed, Science and Technology, New York. Butler, H., 1992, Pochers Perfumes Cosmetics and Soap, Vol III, Charpman and Hall, London, Cracken, A. W, and R. A., Cowson, 1982, Clinical and Oral Microbiology, Hemisphere Publishing Corp, New York. Daliemunthe, S.H., 2008, Periodonsia, FKG Universitas Sumatera Utara, Medan. Glider W.V. and M.S. Hargrove, 2002, Using Bromelain in Pineapple Juice to Investigte Enzym Function., Lincoln. Herdyastuti, N., 2006, Isolasi dan Karakterisasi Ekstrak Kasar Enzim Bromelain Dari Batang Nenas (Ananas comosus L. Merr), J Penel. Hayati, 75 77.

19

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Ramli, W., M. Fauzi, D. S. Khrisna, 1990, Proses Penghasilan Bromelin Daripada Batang Nenas, Pertanika 13(1) .113-121. Rukmana, R., 1996, Nenas Budidaya dan Pasca Panen, Kanisius, Yogyakarta. Shahid, S.K., N.H. Turakhia, M. Kundra, P. Shanbag, G.V. Daftary and W. Schiess, 2002, Efficacy and safety of phiogezym-aprotease formulation, in septis in chidren, Assoc Physicians India. Apr 50527-31. Tarigan, R., 1990, Karies Gigi, Hipokrates, Jakarta. The National Formulary, 2007, USP 30/ NF 25 Vol III, USA. Voight, R., 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, edisi V, Diterjemahkan oleh S. Noerono, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Wilkinson, J and R.J. Moore, 1982, Harrys Cosmetology, George Goodwin HC, London.

20

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


FORMULASI KRIM EKSTRAK ETANOL DAUN UBI JALAR (Ipomoeae batatas L.) UNTUK PENGOBATAN LUKA BAKAR Farida Rahim, Mimi Aria, Nurwani Purnama Aji STIFI Perintis Padang

ABSTRACT Formulation of cream for treatment of burns has been studied. Cream formula consisting of 3% ethanolic extract of sweet potato leaves as an active ingredient. Cream bases used in this study were variated with and without Virgin Coconut Oil (VCO). The formulas were evaluated for their organoleptic, homogeneity, pH, cream type, particle size distribution, skin irritation test and effects on burns. The evaluation results showed that ethanolic extract of sweet potato leaves can be formulated in creams which are physicaly stable and provide a healing effect on burns, tested on animals. The results showed that the F1B formula has the fastest healing effect on burns (7 days). From the statistical calculation using one-way analysis of variant (ANOVA) we found that sweet potato leaf ethanolic extract-containing cream provide healing on burns, where the value of F count treatment is smaller than the F table at 0.05. Keywords: Ipomoeae batatas, cream, VCO, burns

PENDAHULUAN Negara Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang memiliki potensi untuk mengembangkan buahbuahan tropis, tanaman holtikultural, sayur-sayuran dan tanaman pangan. Banyak sekali tanaman di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan secara komersil, salah satunya digunakan sebagai bahan obat (Rukman, 1997; Argomedia, 2008). Salah satu jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional adalah ubi jalar (Ipomoea batatas L) dari famili Convolvulaceae. Bagian tumbuhan ubi jalar yang digunakan adalah daun yang mengandung beberapa senyawa seperti saponin, flavonoid, polifenol dan umbinya mengandung beberapa senyawa seperti protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin C (Rukmana,1997).

Virgin coconut oil merupakan minyak yang berasal dari buah kelapa (Cocos nucifera) tua segar yang diperoleh pada suhu rendah (<600C) yang terbentuk setelah santan didiamkan dalam beberapa hari (Setiaji, 2006) tanpa proses pemutihan sehingga menghasilkan minyak murni. VCO memiliki sederet manfaat dan khasiat baik untuk medis maupun kosmetika. Kandungan dari VCO salah satunya adalah asam lemak rantai tak jenuh yang dapat menghalangi radikal bebas dan mempertahankan sistem kekebalan. Hal ini membuat VCO bermanfaat untuk mencegah dan mengobati berbagai gangguan kesehatan. VCO juga memiliki tekstur krim alami, bebas dari pestisida, dan kontaminan lainnya, susunan molekular kecilnya memudahkan penyerapan serta memberi tekstur yang lembut dan halus pada kulit (Hadibroto, 2006).

21

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Dari penjelasan di atas dicoba membuat formula ekstrak etanol daun ubi jalar dan Virgin Coconut Oil (VCO) dalam bentuk krim untuk pengobatan luka bakar. Krim dipilih karena sediaan ini mempunyai keuntungan diantaranya mudah dioleskan pada kulit, mudah dicuci setelah dioleskan, krim dapat digunakan pada kulit dengan luka yang basah, dan terdistribusi merata. Selanjutnya digunakan hewan percobaan untuk menguji aktifitasnya dalam pengobatan luka bakar. Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih. Tabel I. Formula Basis Krim
Nama Bahan Asam stearat Trietanolamin adeps lanae Paraffin liquidum Virgin Coconut Oil (VCO) Nipagin Nipasol Aquadest ad F0A 14,5 1,5 3 25 0,1 0,05 100 F0B 14,5 1,5 3 5 20 0,1 0,05 100

Keterangan : F0A = Krim tanpa Virgin Coconut Oil (VCO) F0B = Krim dengan Virgin Coconut Oil Basis krim dibuat dengan cara: Semua bahan yang diperlukan ditimbang, kemudian fase minyak dipindahkan dalam cawan penguap, dipanaskan diatas waterbath dengan suhu 70oC sampai lebur. Fase air di panaskan di atas waterbath pada suhu 70oC sampai lebur. Fase minyak dipindahkan kedalam lumpang dan ditambahkan fase air (pencampuran dilakukan pada suhu 60oC70oC), digerus sampai dingin dan terbentuk masa krim yang homogen. Tabel II. Formula Krim Ekstrak Etanol daun ubi jalar
Nama Bahan Ekstrak etanol daun ubi jalar Basis Krim ad F1A 3% 100 F1B 3% 100

METODE PENELITIAN Bahan yang digunakan adalah daun ubi jalar putih, Virgin Coconut Oil (VCO), etanol 96%, asam stearat, trietanolamin, adeps lanae, paraffin liquid, nipagin, nipasol, aquadest. Alat yang digunakan adalah alat-alat gelas standar laboratorium, kaca arloji, cawan penguap, botol semprot, corong, kertas perkamen, pH meter Inolab, timbangan digital, mortir, stamper, waterbath, oven vakum, lemari pendingin, desikator, buret, botol marserasi, rotary evaporator, pipet tetes, krus porselin, oven, batang pengaduk, plat tetes, pinset. Ekstrak daun ubi jalar dibuat dengan cara maserasi selama lima hari menggunakan etanol 96%. Ekstrak kental yang diperoleh dievaluasi organoleptis, kelarutan, penetapan kandungan air, kadar abu, pemeriksaan pH, kandungan kimia.

Keterangan : F1A = Krim dengan konsentrasi Ekstrak Etanol daun ubi jalar 3% tanpa VCO F1B = Krim dengan konsentrasi Ekstrak Etanol daun ubi jalar 3% dengan VCO Krim dibuat dengan cara: ekstrak etanol daun ubi jalar 3% dan ditimbang dan digerus dalam lumpang serta ditambahkan sedikit demi sedikit

22

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


basis krim ad 100 g, digerus pelan-pelan sampai homogen. Evaluasi basis krim dan krim meliputi pemeriksaan organoleptis, homogenitas, tipe krim, pH, distribusi ukuran partikel, daya tercuci krim dan uji iritasi kulit. Uji efek luka bakar dilakukan dengan menggunakan hewan percobaan masing-masing 3 ekor untuk tiap kelompok formula. Spatel dibakar dengan nyala api selama 60 detik, spatel tersebut ditempelkan selama 5 detik pada kulit punggung mencit yang sudah dirontokkan bulunya. Pada kulit yang melepuh atau mengalami luka bakar tersebut dioleskan formula krim secara tipis dan merata 3 kali sehari untuk masing-masing formula. Kemudian dilakukan pengamatan setiap hari untuk melihat efeknya sampai terjadi penyembuhan total. Parameter yang diamati adalah hilangnya vesikel dan perubahan warna kulit dari pucat
Tabel No 1. III. Hasil Pemeriksaan Organoleptis (Ipomoea batatas L.) Organoleptis Bentuk Warna Bau Bentuk Warna Bau Bentuk Warna Bau Bentuk Warna Bau I SP P BK SP Hi BK SP P BK SP Hi BK II SP P BK SP Hi BK SP P BK SP Hi BK

menjadi pucat hilang. Pada pengujian efek ini digunakan Lanakeloid-E sebagai pembanding. HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstrak etanol daun ubi jalar dan VCO diformula dalam bentuk krim, dengan konsentrasi ekstrak 3%. Basis krim dan krim yang dibuat dievaluasi meliputi pemeriksaan organoleptis, homogenitas, pemeriksan tipe krim, pH krim, yang dilakukan setiap minggu selama 8 minggu. Pemeriksaan organoleptis terhadap formula basis krim dan krim ekstrak etanol daun ubi jalar tidak menunjukkan adanya perubahan bentuk, warna dan bau. Pada pemeriksaan homogenitas basis krim dan krim ekstrak etanol daun ubi jalar menunjukkan bahwa semua sediaan telah homogen dan terdispersi merata, pemeriksaan ini dilakukan setiap minggu selama 8 minggu pengamatan.
Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar

Formula F0A

2.

F0B

3.

F1A

4.

F1B

III SP P BK SP Hi BK SP P BK SP Hi BK

Minggu ke IV V SP SP P P BK BK SP SP Hi Hi BK BK SP SP P P BK BK SP SP Hi Hi BK BK

VI SP P BK SP Hi BK SP P BK SP Hi BK

VII SP P BK SP Hi BK SP P BK SP Hi BK

VIII SP P BK SP Hi BK SP P BK SP Hi BK

Keterangan :

F0A : Basis krim tanpa Virgin Coconut Oil (VCO) F0B : Basis krim dengan Virgin Coconut Oil (VCO) FIA : Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar 3 % tanpa VCO FIB : Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar 3 % dengan VCO Hi : Hijau P : Putih SP : Setengah Padat BK : Bau khas

23

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Pemeriksaan tipe krim yang dilakukan dengan menggunakan zat warna yaitu metilen blue memperlihatkan penyebaran metilen blue yang merata setelah diteteskan pada selapis krim diatas kaca objek. Hasil pemeriksaan pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter inolab, pemeriksaan pH dilakukan terhadap basis krim dan krim ekstrak etanol daun ubi jalar dan hasil pemeriksaan pH krim diperoleh pH berkisar antara 7,268,56.

Tabel IV. Hasil Pemeriksaan pH Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar ( Ipomoea batatas L.) Minggu ke IV V 8,17 7,98 7,84 7,57 8,02 7,48 7,73 7,26 Ratarata 8,15 7,70 7,78 7,69

No 1. 2. 3. 4.

Formula FOA FOB F1A F1B

I 7,78 7,81 8,27 8,0

II 8,56 7,74 7,92 8,06

III 8,21 7,81 7,86 8,04

VI 8,12 7,53 7,65 7,61

VII 8,22 7,62 7,51 7,41

VIII 8,19 7,69 7,53 7,45

Pada pemeriksaan distribusi ukuran partikel diperoleh rata-rata ukuran panjang FOA = 4,8095 m, FOB = 4,837 m, F1A = 6,783 m, F1B = 4,991 m. Hasil pengamatan distribusi ukuran partikel basis krim dan krim ekstrak etanol daun ubi jalar menunjukan rata-rata ukuran panjang kecil dari 10 m, hasil yang didapat masih memenuhi syarat karena dalam literatur dinyatakan ukuran partikel yang stabil secara fisik antara 1- 50 m. Hasil pemeriksaan uji iritasi dilakukan langsung pada manusia dengan cara uji tempel tertutup dimana 0,1 gr sediaan uji dioleskan pada lengan atas bagian dalam dengan luas 4 cm2 , kemudian ditutup dengan kain kasa. Setelah 24 jam diamati gejala yang timbul. Pemeriksaan ini dilakukan terhadap 5 orang sukarelawan pada masing-masing formula. Hasil pemeriksaan uji iritasi pada 5 orang sukarelawan menunjukkan tidak ada satupun formula basis krim dan krim ekstrak etanol daun ubi jalar yang mengakibatkan iritasi pada kulit panelis. Pada uji efek basis krim dan krim ekstrak etanol daun ubi jalar dan basis krim yang mengandung VCO dan yang tidak mengandung VCO terhadap pengobatan luka bakar, ternyata

memberikan variasi waktu penyembuhan. Formula yang memberikan waktu penyembuhan paling cepat adalah formula F1B dimana waktu yang diperlukan untuk penyembuhan selama 7 hari, Sedangkan FOA memberikan waktu penyembuhan selama 11 hari, FOB memberikan waktu penyembuhan selama 9 hari, F1A dan Lanakloid-E memberikan waktu penyembuhan 8 hari. Hal ini menunjukkan bahwa basis krim dan krim ekstrak etanol daun ubi jalar dapat digunakan untuk penyembuhan luka bakar. Krim ekstrak etanol daun ubi jalar dengan menggunakan basis krim yang mengandung Virgin Coconut Oil (VCO) mampu memberikan efektifitas lebih cepat dibandingkan dengan formula lainnya. Daun ubi jalar yang digunakan mengandung flavonoid, saponin dan polifenol, dimana saponin ini mempunyai kemampuan sebagai pembersih sehingga dapat membantu mempercepat penyembuhan luka terbuka. Flavonoid yang terkandung didalam daun ubi jalar dapat digunakan sebagai pencegahan terhadap infeksi luka karena mempunyai daya antiseptik (Harborne, 1987), sedangkan polifenol

24

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


berkhasiat sebagai adstringen jika dioleskan pada jaringan hidup, polifenol dalam pengobatan berkhasiat sebagai antiseptik yang berfungsi sebagai pelindung pada kulit dan bermanfaat untuk regenerasi jaringan, VCO yang digunakan mampu mempercepat penyembuhan luka bakar karena merupakan minyak yang mengandung asam lemak jenuh rantai sedang yang mendukung penyembuhan dan perbaikan jaringan tubuh (Gani et al, 2005). Dari perhitungan uji statistik analisa variasi satu arah (ANOVA) diketahui bahwa krim ekstrak etanol daun ubi jalar dapat memberikan penyembuhan terhadap luka bakar, dimana nilai F hitung perlakuan lebih kecil dari pada F tabel pada 0,05. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Ekstrak etanol daun ubi jalar dan Virgin Coconut Oil (VCO) dapat diformulasi dalam bentuk krim yang stabil secara fisika dan kimia selama 8 minggu penyimpanan. 2. Formula krim ekstrak etanol daun ubi jalar (Ipomoea batatas L.) dengan basis krim yang mengandung VCO (F1B) memberikan efek penyembuhan luka bakar yang paling cepat yaitu 7 hari. 3. Dari perhitungan uji statistika analisa variasi satu arah (ANOVA) diketahui bahwa krim ekstrak etanol daun ubi jalar dapat memberikan penyembuhan terhadap luka bakar, dimana nilai F hitung perlakuan lebih kecil dari pada F tabel pada 0,05 SARAN Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk memformula ekstrak etanol daun ubi jalar dalam bentuk sediaan dan melakukan uji efektifitas farmakologi yang lain.

DAFTAR PUSTAKA Ancel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Ed. 4, alih bahasa oleh Farida Ibrahim, Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Anief, M., 1990, Ilmu Meracik Obat, Gaja Mada University Press, Yogyakarta. Anief, M., 1994, Farmasetika, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Argomedia redaksi, 2008, Buku Pintar Tanaman Obat, Argomedia Pustaka, Jakarta. Asrahyuni, H., 2006, Formulasi Gel Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar. (Ipomoea batatas L.), Skripsi, Fakultas Farmasi, Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Yayasan Perintis, Padang. Effendi, C., 1998, Parameter Pasien Luka Bakar, Penerbit Buku Kedoteran, Yogyakarta. Gani, Z., Herlinawati, Y., Dede, 2005, Bebas Segala Penyakit dengan VCO, Puspa Swara, Jakarta. Goodman, L.S., and Gilman, 1991, Pharmacologycal Basis of Terapheutic, 8th Edition, Pergamos Press, New York. Hadibroto, C., Waluyo, Srikandi, 2006, Diet VCO, PT. Gramedia, Jakarta. Harahap, M., 1990, Penyakit Kulit, PT. Gramedia, Jakarta. Harbone, J.B., 1987, Metoda Fitokimia Penentuan Cara Modern Menganalisa Tumbuhan, alih bahasa oleh Kosasih

25

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


,Padmawinata, Terbitan ITB, Bandung. Hariana, A., 1995, Tumbuhan Obat dan Khasiatnya, Kanisius, Yogyakarta. Jellinek, S.J., Formulation and Fundaction of Cosmetics, Willey Intercienci, New York, London. Juanda, D., 2000, Ubi Jalar Budidaya dan Analisis Usaha Tani, Kanisius, Yogyakarta. Khristianto, 2009, http://ekasi.com/indek.php/infsehat/292-daun-ular-obat-dbdpaling-ampuh-?format=pdf Lachman. L., H.A. Lieberman and J.L Kaning, 1994, Teori dan Praktek Farmasi Industri II, Ed.3, alih bahasa oleh S.Suyami, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Mantagha, W., 1974, The Structure and Fuction of the Skin, New York. Martin, H.F., 1998, Fundamental of Anatomy and Phsiologi, 4th Edition, Prentice hall International, Inc. Martin, A.N. et al., 1962, Physical pharmacy, 2th Edition, Lea and Febiger, Philadelphia. Moenajad, Y., 2001, Luka Bakar Pengetahuan Klinis Praktis, Ed. 2, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Mursito, B., 2004, Sehat Diusia Lanjut Dengan Ramuan Tradisional, Penebar Swadaya, Jakarta. Osol, A.H., 1975, Remigton Pharmaceutical Science, 15th edition, Mack Publishing Comp, Easton, Pennsyluania. Padda, M.S., 2006, Phenolic Composition And Antioxidant Activity Of Sweet Potatoes, http//:etd.Isu.edu/docs/available/e td-04062006-085455/ unrestricted/padda-dis.Pdf. Rahim, F., 2006, Formulasi Krim Minyak Kelapa Murni Untuk Penyubur Rambut, Laporan Penelitian Dosen Muda, Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Yayasan Perintis. Padang. Rukmana, R., 1997, Ubi Jalar Budi Daya dan Pasca Panen, Kanisius, Yogyakarta. Serial, F., 2005, Terapi Minyak Nabati Keampuhan VCO dan 16 Minyak Ajaib, Cetakkan ke-1, PT Samindra Utama, Jakarta. Setiaji, B., 2006, Membuat VCO Berkualitas Tinggi, Cetakan ke-2, Penebar Swadaya, Jakarta. Syamsuni, H., 2006, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, Jakarta. The National Formulary, 2007, USP 30/ NF 25 Volume III, United States of America. Voight, R., 1995, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Ed.5, alih bahasa oleh S.Noer, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.

26

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


PENGARUH PEMBERIAN KALSIUM VITAMIN D DAN ZAT BESI TERHADAP KADAR KALSIUM SERUM TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) GALUR WISTAR

Erina Masri STIKES Perintis Padang ABSTRACT Osteoporosis is a bone systemic disease marked with the lessen of bone mass density and then bone will become fragile and breakable. The calcium imbalance disorder can cause osteoporosis. Vitamin D has strong effect on calcium absorbtion and keeping calcium plasma, but vitamin D must be change become active form 1,25 dihydroxyvitamin D through hydroxylation reaction in liver and kidney. The hydroxylation process requires enzyme of ferrum; iron protein sulphur and cytocrom P450. This research was aimed to know the influent of combining calcium, vitamin D and iron to blood calcium rate compared with the control group. Research type was experimental static group comparison with pretest and posttest design. Samples were divided in to 5 group iron deficient. Two group for control group and 3 group for treatment that giving combining calcium- vitamin D, calcium-iron and calsium-vitamin D-iron for 14 days. The result showed the significant different (p>0,05) of calcium blood rate before an after the treatment in calcium-vitamin D group and calcium-vitamin D-iron group, but calcium blood rate is higher in calcium-vitamin D-iron group. The giving of calciumvitamin D-iron combination can increase blood calcium rate significantly. Key words: blood calcium, calcium, vitamin D, iron PENDAHULUAN Osteoporosis merupakan suatu penyakit sistemik tulang yang salah satunya disebabkan oleh gangguan ketidakseimbangan kalsium. Penyakit ini ditandai dengan berkurangnya densitas massa tulang dan kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang, sehingga tulang akan menjadi rapuh dan mudah patah. Massa tulang yang berkurang akan menyebabkan tulang semakin tipis dan rapuh sehingga mudah patah pada trauma (Suheimi, HK, 2003). yang ringan

Kalsium merupakan komponen mineral utama tulang yang diendapkan pada matriks tulang dalam bentuk kristal hidroksipatit. Tulang terdiri dari matriks organik keras dan diperkuat oleh endapan garam kalsium yang penting untuk proses osteogenesis (Robbins dan Stanley, 1995). Lebih kurang 99% dari keseluruhan kalsium tubuh berada di dalam tulang dan gigi. Asupan kalsium berperan penting untuk mempertahankan keseimbangan

27

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


kalsium secara positif sehingga cadangan kalsium tulang tidak diambil untuk menjaga keseimbangan kalsium darah (Cumming, 1997). Bila kadar kalsium darah turun di bawah normal, tubuh akan mengambilnya dari tulang untuk menjaga keseimbangan kalsium darah tersebut. Pengambilan kalsium dari tulang dalam waktu lama akan menyebabkan pengeroposan tulang. Oleh karena adanya kalsium yang selalu hilang melalui tinja dan urin, maka intake dan absorpsi kalsium yang adekuat penting untuk menjaga keseimbangan kalsium yang positif (Robbins MD, 1995). Penyebab potensial defisiensi kalsium dan demineralisasi tulang adalah karena tidak adanya vitamin D, tidak adanya kalsium dari makanan dan tingginya tingkat ekskresi kalsium (Linder M, 1992). Saluran pencernaan, ginjal, hati dan tulang merupakan organ dan jaringan yang berperan dalam mengatur keseimbangan kalsium di dalam darah, di bawah pengaruh hormon-hormon kalsitropik (hormon paratiroid, vitamin D, kalsitonin) melalui suatu mekanisme umpan balik yang komplek (Rudijanto A, 2002). Vitamin D mempunyai efek yang kuat dalam meningkatkan absorpsi kalsium dari saluran pencernaan. Vitamin D eksogen (makanan) dan endogen bukan bentuk aktif (pre vitamin D) yang mempunyai efek langsung untuk absorpsi kalsium, sehingga vitamin D tersebut harus dirubah melalui serangkaian reaksi di dalam hati dan ginjal menjadi bentuk aktif yaitu 1,25dihidroksivitamin D (Guyton dan Hall, 1997). Proses aktifasi pre vitamin D (25 hidroksivitamin D atau calcidiol) menjadi vitamin D aktif (1,25dihidroksivitamin D) adalah melalui proses hidroksilasi. Proses hidroksilasi vitamin D tersebut membutuhkan tiga komponen sistem yaitu flavoprotein, iron sulfur protein dan sitokrom P-450. Kombinasi sitokrom P-450 pada mitokondria renal dengan ferredoksin (iron sulfur protein), NADPH dan ferredoksin reductase akan merubah 25 hidroksivitamin D, membentuk 1,25dihidroksivitamin D. Oleh sebab itu proses hidroksilasi tergantung pada zat besi, dimana zat besi dalam enzim tersebut berfungsi untuk transpor elektron dan oksidasi (Deluca, 1996). Enzim pokok untuk metabolisme vitamin D adalah vitamin D3 25hydroxylase (CYP27A1), 25hidroksivitamin D3 1-hydroxylase (CYP27B1) dan 1 25-dihydroxyvitamin D3, 24-hydroxylase (CYP24A1), enzimenzim tersebut adalah jenis- jenis dari cytochrome P450 (Sakaki T, 2005). Vitamin D berfungsi dalam pemeliharaan kalsium plasma (homeostasis) sehubungan dengan hormone paratiroid. Regulasi kalsium akan berpengaruh terhadap berbagai fungsi biologi tubuh termasuk proses ekstraselular, seperti pembekuan darah, adhesi interselular dan integritas tulang, proses intraselular, seperti regulasi sekresi hormonal pembelahan sel dan motilitas sel (Arsana PM, 2002). Vitamin D mempunyai efek yang kuat dalam mengabsorbsi kalsium dari saluran pencernaan (Guyton dan Hall, 1997). Fungsi ini esensial untuk metabolisme tulang dalam jangka panjang dan untuk pemeliharaan fungsifungsi sel dan saraf (Linder M, 1992). Defisiensi Vitamin D dan hipokalsemia dapat menyebabkan konvulsif secara tiba-tiba (Linder, 1992). Vitamin D dapat memperlambat penurunan densitas tulang, karena vitamin D mampu memelihara kesehatan tulang dengan cara meningkatkan penyerapan kalsium dalam intestin dan mengurangi ekskresi kalsium melalui ginjal.

28

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Dengan demikian diduga defisiensi zat besi berpengaruh terhadap aktifasi 25- hidroksivitamin D menjadi bentuk vitamin D aktif (1,25dihidroksivitaminD), yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap metabolisme kalsium. Tiap kelompok terdiri dari 8 ekor tikus diletakkan dalam kandang yang terpisah. P2 diberi kalsium saja P3 diberi kalsium dan vitamin D, P4 diberi kalsium dan zat besi (Fe) dan P5 diberi kalsium vitamin D dan zat besi (Fe). Dosis kalsium yang diberikan 14,4 mg/hr, vitamin D 0,09 g/ hari dan zat besi 0,15 mg/ hari. Sebelum intervensi dengan kalsium, vitamin D dan zat besi, darah hewan percobaan diambil melalui vena untuk dihitung kadar kalsium sebelum perlakuan (pre test). Kemudian diberi makan rendah zat besi berdasarkan standar AIN (American Institute of Nutrition) tahun 1980 berupa jagung dengan tambahan gula (Medeiros, 2004). Kalsium, vitamin D dan tablet besi digerus, kemudian masingmasingnya dilarutkan dengan aquadest. Kemudian diberikan satu kali sehari selama dua minggu untuk dapat melihat perubahan kalsium serum. Setelah dua minggu pada hari ke-15 darah tikus diambil sebanyak 1 ml kemudian disentrifus untuk memperoleh serumnya. Pemeriksaan Kalsium Serum Pemeriksaan kalsium berdasarkan metode yang diajukan oleh Moorehead and Briggs. Reagen 1 (CaCPC) dicampur dengan Reagen 2 (Ca Liquicolor), diamkan selama 10 menit, campuran ini akan berwarna ungu. Reagen dimasukan ke serum sampel, diaduk dan didiamkan selama 5 menit. Reagen bereaksi dengan kalsium dalam suasana alkalis membentuk senyawa yang bewarna ungu tua. Intensitas wana ungu yang terbentuk berbanding lurus dengan kadar kalsium dan dapat diukur dengan spektrofotometer microlab 300 panjang gelombang 587 nm.

METODE PENELITIAN Alat Dan Bahan Alat yang digunakan beruapa tempat pemeliharaan tikus, timbangan tikus, jarum oral, spet, timbangan digital, sentrifuge, tabung reaksi pyrex 10 ml, spectrophotometer, mikropipet. Bahan yang digunakan adalah tikus putih galur wistar betina 40 ekor, makanan tikus berupa pelet dan jagung, kandang tikus, reagensia Ca CPC, Ca Liquicolor, Iron Liquicolor Wiesbaden Germany, kalsium laktat, Vitamin D merk IPI, tablet besi (Fe2SO4), Aquadest. Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dibagi dalam dua tahapan, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi pemilihan dan adaptasi hewan percobaan selama 1 minggu dengan pemberian makanan dan minuman secukupnya. Hewan dinyatakan sehat jika selama pemeliharaan tidak mengalami perubahan berat badan >10% dan secara visual tidak terdapat gejala penyakit. Pada tahap pelaksanaan, sebelum perlakuan dilakukan penimbangan berat badan hewan percobaan. Sampel yang berjumlah 40 ekor tersebut dikelompokkan ke dalam 5 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif (P1), kontrol positif (P2) dan 3 kelompok perlakuan (P3, P4 dan P5).

29

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


kalsium antar kelompok perlakuan dengan derajat kepercayaan 95%. Jika terdapat perbedaan bermakna antara tiga kelompok perlakuan tersebut (nilai p< 0,05), maka dilanjutkan dengan Post Hoc Test ntuk melihat perbandingan selisih rata-rata kadar kalsium serum antar kelompok (Hastono PS, 2001). HASIL DAN PEMBAHASAN Data dianalisis dengan uji T test dependen secara komputerisasi untuk melihat perbedaan rata-rata kadar kalsium darah sebelum dan setelah perlakuan, dengan kemaknaan 0,05. Setelah itu dilakukan uji anova untuk mengetahui perbedaan rata-rata kadar Hasil

Kadar kalsium dihitung dengan rumus ;


Kalsium (mg/dl)= Abs Test x Kadar standar Abs Std

Nilai normal: 8,5- 10,5 mg/dL Pengolahan Dan Analisis data

Kadar Kalsium Serum Sebelum dan Sesudah Intervensi

Tabel I. Rata-rata kadar kalsium serum sebelum dan setelah intervensi kelompok intervensi Kadar Kalsium (mg/dl) (mean SD) Sebelum Sesudah 8,34 0,39 8,49 0,16 8,37 0,37 8,60 0,05 8,44 0,18 8,70 0,16 8,37 0,23 8,61 0,11 8,40 0,20 9,68 0,18

pada semua

Kelompok P1 (kontrol negatif) P2 (kontrol positif ) P3 (kalsium + vit. D) P4 (kalsium + zat besi) P5 (kalsium + vit. D + zat besi)

Nilai p 0,193 0,208 0,008 0,070 0,000

n 6 6 6 6 6

Dari tabel 1 diketahui pada kelompok P1 (kontrol negatif) tidak terdapat perbedaan signifikan rata-rata kadar kalsium serum pada pemeriksaan pertama dan kedua (nilai p = 0,193 p > 0,05). Pada kelompok P2 (kontrol positif) juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kadar kalsium sebelum dan sesudah intervensi (nilai p = 0,208 p > 0,05) meskipun terjadi peningkatan rata-rata kadar kalsium serum 0,22 mg/dl setelah intervensi. Pada kelompok P3 (kalsium + vitamin D) dari hasil uji statistik diketahui

terdapat perbedaan yang bermakna ratarata kadar kalsium serum sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kalsium dan vitamin D (P3) (nilai p= 0,008 p < 0,05) dengan peningkatan yaitu 0,26 mg/dl. Pada kelompok P4 (kalsium + zat besi) tidak terdapat perbedaan yang signifikan (nilai p= 0,07 p < 0,05) terjadi peningkatan rata-rata kalsium darah 0,25 mg/dl. Pada kelompok P5 (kalsium + vitamin D + zat besi) terdapat perbedaan signifikan (nilai p = 0,000 p<0,05) rata-rata kadar kalsium sebelum dan sesudah intervensi

30

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


pada kelompok P5 (kalsium + vitamin D + zat besi) dengan peningkatan rata- rata kadar kalsium sesudah intervensi 0,73
10 9.68 9.5
P1 (Kontrol -) sebelum intervensi P1 (Kontrol -) sesudah intervensi Series11 P2 (Kontrol +) sebelum intervensi

mg/dl. Perubahan rata-rata kadar kalsium serum setelah intervensi dapat dilihat pada gambar berikut :

K a d a r K a ls iu m

9 8.49 8.34 8.6 8.37 8.44 8.7 8.61 8.37 8.4

P2 (Kontrol +) sesudah intervensi Series12 P3 (Ca+ Vitamin D) sebelum intervensi P3 (Ca+Vitamin D) sesudah intervensi Series13 P4 (Ca + Fe) sebelum intervensi P4 (Ca+ Fe) sesudah intervensi

8.5

7.5

Series14 P5 (Ca+ Vitamin D+ Fe) sebelum perlakuan P5 (Ca+ Vitamin D+ Fe) sesudah intervensi

7 Kelompok1Intervensi

Gambar 1. Perubahan rata-rata kadar kalsium serum setelah intervensi Dari gambar 1 di atas dapat dilihat perubahan rata-rata kadar kalsium serum setelah intervensi pada semua kelompok. Perubahan kadar kalsium serum paling besar terjadi pada kelompok P5 (Ca + Vitamin D + Fe) yaitu dari 8,40 mg/dl menjadi 9,68 mg/dl setelah intervensi.

Tabel II. Perbedaan selisih rata-rata kadar kalsium semua kelompok intervensi dengan kelompok P5 (Kalsium+ vitamin D + Zat Besi) Kelompok Intervensi P1 dan P5 P2 dan P5 P3 dan P5 P4 dan P5 Selisih Rata-Rata (mg/dl) 1,18 1,08 0,98 1,05 Nilai- p 0,000 0,000 0,000 0,000

Dari analisis uji anova diketahui nilai p<0,05 sehingga terdapat perbedaan signifikan rata-rata kadar kalsium serum antar semua kelompok perlakuan. Analisis lebih lanjut Post Hoc Test pada tabel 2 diketahui bahwa terdapat perbedaan bermakna (nilai p<0,05) selisih rata-rata kadar kalsium pada kelompok P5 (kalsium, vitamin D, zat besi) dengan semua kelompok, yaitu

kelompok P1 (kontrol negatif), P2 (kontrol positif), P3 (kalsium + vitamin D), P4 (kalsium + zat besi). Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok P5 (kalsium vitamin D dan zat besi) terdapat perbedaan ratarata kadar kalsium serum sebelum dan sesudah intervensi, dimana terjadi

31

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


peningkatan kadar kalsium serum sebanyak 0,73 mg/dl. Hal ini membuktikan bahwa pemberian kombinasi kalsium, vitamin D dan zat besi berpengaruh terhadap peningkatan kadar kalsium serum. Menurut penelitian oleh New SA (2000) pemberian vitamin D untuk hasil yang terbaik harus dilakukan bersama dengan pemberian kalsium. Homeostasis kalsium tidak tergantung pada ketersediaan kalsium dalam diet saja tetapi melibatkan multifaktorial, salah satunya adalah vitamin D (Linder, 1992). Dengan demikian nutrisi untuk homeostasis kalsium yaitu kalsium dan vitamin D sudah terpenuhi pada kelompok ini. Pemberian zat besi pada kelompok P5 diharapkan dapat meningkatkan biosintesis 1,25dihidroksi vitamin D di hati dan di ginjal yang pada akhirnya dapat meningkatkan kadar kalsium dalam serum. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Heldenberg dan Tanenbaum (2002). Pada penelitian tersebut dilakukan pemberian iron dextran pada anak- anak Israel usia 6 sampai 24 bulan yang menderita anemia defisiensi besi. Pemberian zat besi tersebut meningkatkan hemoglobin dan besi serum, serta meningkatkan konsentrasi 1,25-hydroxyvitamin D plasma. Hingga saat ini belum ditemukan penelitian lain mengenai pengaruh zat besi terhadap kalsium serum. Hasil penelitian pada kelompok kontrol negatif (P1), kontrol positif (P2), dan kelompok kombinasi kalsium + zat besi (P4), menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan rata-rata kadar kalsium serum pada pemeriksaan sebelum dan sesudah intervensi (tabel 4.2). Hal ini dapat disebabkan oleh tidak adanya kalsium dan vitamin D di dalam diet yang akan mengatur homeostasis kalsium sebagaimana teori dan hasil penelitian lain yang telah dijelaskan diatas. Pada kelompok P1 ini hanya diberi makanan standar tanpa kalsium. Pada kelompok P2 (kontrol positif) terjadi peningkatan kadar kalsium tetapi tidak sigifikan. Pemberian kalsium pada P2 tampaknya hanya berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan kadar kalsium dalam darah. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Harvey JA, Zobitz (1999) yang menyatakan suplementasi kalsium dalam dosis tinggi yang diberikan dalam dosis tunggal tidak akan lebih meningkatkan absorbsi kalsium. Kelompok P3 dan P5 memiliki perbedaan selisih rata-rata kalsium serum paling kecil yaitu 0,98 mg/dl. Sebagaimana penelitian New SA (2000) yang menunjukkan pemberian vitamin D saja secara tunggal tidak memberikan perbaikan yang nyata untuk kalsium darah. Pemberian vitamin D untuk hasil yang terbaik harus disertai dengan kalsium. Namun kombinasi ini tidak meningkatkan kadar kalsium serum sebaik pemberian kombinasi kalsium, vitamin D dan zat besi. Hasil penelitian pada kelompok P4 (kalsium dan zat besi) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kadar kalsium serum sebelum dan sesudah intervensi. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya bahwa absorbsi kalsium sangat dipengaruhi oleh 1,25 dihidroksivitamin D. Zat besi dalam bentuk ferredoksin (iron sulfur protein) dan sitokrom P-450 berperan dalam proses biosintesis 1,25 hidroksivitamin D (Deluca, 1998). Dengan tidak adanya vitamin D maka zat besi kurang berperan dalam peningkatan kadar kalsium.

32

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pada pemberian kalsium dan vitamin D yang disertai zat besi, maka kadar kalsium serum lebih meningkat daripada kelompok yang diberikan kalsium dan vitamin D saja. 1,25 dihidroksivitamin D merupakan hormon kalsitropik yang memediasi pengaturan transpor kalsium untuk mempertahankan konsentrasi kalsium dalam serum dalam batas normal oleh berbagai mekanisme pengaturan transpor kalsium dalam ginjal, saluran pencernaan dan tulang. Gangguan mekanisme transport kalsium akan mengakibatkan hipokalsemia (Rudijanto, 2002). Bila kadar kalsium darah turun dibawah normal, tubuh akan mengambilnya dari tulang untuk menjaga keseimbangan kalsium darah tersebut. Pengambilan kalsium dari tulang dalam waktu lama akan menyebabkan pengeroposan tulang atau osteoporosis (Robbins MD, 1995). Zat besi berperan dalam biosintesis 1,25 dihidroksivitamin D, dengan demikian diduga penderita anemia defisiensi besi akan mengalami gangguan absorpsi kalsium yang dalam waktu lama akan menyebabkan osteoporosis. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari penelitian pengaruh pemberian kalsium, vitamin D dan zat besi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian kalsium tanpa vitamin D tidak dapat meningkatkan absorbsi kalsium dan penambahan zat besi dapat meningkatkan absorbsi kalsium dan kadar kalsium serum melalui perannya dalam aktifasi 1,25 dihidroksi vitamin D. Saran 1. Pemberian kalsium harus disertai vitamin D untuk absorbsi kalsium yang maksimal. Untuk menjaga homeostasis kalsium diperlukan asupan zat besi karena kondisi defisiensi besi berpengaruh terhadap mekanisme absorpsi kalsium oleh vitamin D. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar hasil penelitian pada hewan ini dapat diaplikasikan kepada manusia.

2.

3.

DAFTAR PUSTAKA Arsana, P.M., 2002, Kursus dasar Metabolisme kalsium dan Penyakit Tulang, PB PERKENI Universitas Brawijaya, Malang. Cumming, R.G. and M.C. Nevitt, 1997, Calcium Intake and Fractur Risk: Result from the Study of Osteoporotic Fraktures, Am J Epidemiol. 7:14. Deluca, 1998, Metabolism of Vitamin D: Current Status, Am J Clin Nutr, 16:4. Guyton, A.C. and J.E. Hall, 2000, Textbook of Medical Fisiology. WB Sunders Company, Philadelphia. Harvey, J.A. and M.M. Zobitz, 1998, Dose Dependency of Calcium Absorption: A Comparison of Calcium Carbonate and Calcium Citrate, J Bone Miner Res,25: 125-133. Hastono, P.S., 2001, Modul Analisis Data, FKM UI, Jakarta. Heldenberg, D. and Tanenbaum, 2002, Effect of Iron on Serum 25hydroxyvitamin D and 24,25 hydroxyvitamin D Concentration, Am J Clin Nutr. 15:5.

33

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Linder, M., 1992, Biokimia Nutrisi dan Metabolisme, UI Press, Jakarta. Medeiros, M.D., 2004, Iron Deficiency Negatifly Affects of energy intake and Bodyweight, J. Nutr. 13:84-93 New, S.A., 1999, Nutritional Factors Influencing the Development and Maintenance of Bone Health throughout the Life Cycle. World Congress on osteoporosis. Robins, M.D. dan I. Stanley, 1995, Buku Ajar Patologi II, EGC, Jakarta Rudijanto, A., 2002, Penyakit Metabolisme Kalsium, Makalah Lengkap Kursus Dasar Metabolisme Kalsium dan Penyakit Tulang, PERKENI, Malang. Suhaimi, H.K., 2003, Osteoporosis Post Menopouse, Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional I Padang, PEROSI

34

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL BIJI JINTAN HITAM (Nigella sativa Linn.) TERHADAP TITER ANTIBODI DAN JUMLAH SEL LEUKOSIT PADA MENCIT PUTIH JANTAN Yufri Aldi dan Suhatri Fakultas Farmasi Universitas Andalas

ABSTRACT The research about activity of ethanolic extract of jintan hitam (Nigella sativa Linn.) seed on antibody titers and amount of leucosit cell of mice have been done. The mice which has inducted with anti-gen (Goat Eritrosit 5%) in the 1th, 7th, and 14th day were given the extract on 15th day up to 20th day. The result of the research show that extract at dose 50 mg/kg BW, 100 mg/kg BW, 200 mg/kg BW can improve the antibody titers and the amount of neutrofil cells, monosit, and limfosit cells (P<0,01).

Keywords: Nigella sativa, antibody titer, leucosit cell PENDAHULUAN Pemakaian obat tradisional masih banyak digunakan dalam meningkatkan kesehatan masyarakat di Indonesia. Meski sekarang sudah banyak orang menggunakan obat obatan modern sebagai pelengkap tetapi obat tradisional masih mempunyai kedudukan khusus dalam masyarakat. Pengobatan secara tradisional berdasarkan pada upaya untuk mengembalikan dan memperkuat penyembuhan secara alami (Donatus, 1983). Jintan Hitam (Nigella sativa Linn.) merupakan tanaman rempah yang telah digunakan sebagai obat tradisional. Rempah berbentuk biji hitam ini telah dikenal ribuan tahun yang lalu dan digunakan secara luas oleh masyarakat India, Pakistan, dan Timur Tengah untuk mengobati berbagai macam penyakit. Jenis tanaman ini telah disebutsebut sebagai tanaman obat dalam perkembangan awal agama Islam (Hendrik, 2009). Penggunaan jintan hitam sebagai obat atau yang berkhasiat obat adalah pada bagian bijinya. Khasiat dari biji jintan hitam adalah untuk mengobati aneka penyakit seperti menguatkan sistem kekebalan tubuh, asma, bronkhitis, diabetes, meningkatkan produksi air susu ibu, anti histamin atau anti alergi, menjaga elastisitas kulit, anti oksidan, anti tumor, kanker, memperbaiki saluran pencernaan, anti bakteri, menurunkan kolesterol dan meningkatkan kinerja jantung. Kandungan kimia dari jintan hitam (Nigella sativa Linn.) ini mengandung nigellienine, nigellamine-n-oxide, minyak atsiri, minyak lemak, senyawa golongan alkaloid, saponin, steroid, alkaloid isokuinolin, oleat, dan linolenat (Hendrik, 2009). Jintan hitam (Nigella sativa Linn.) merupakan tanaman yang dapat merangsang dan memperkuat sistem

35

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


imun tubuh manusia melalui peningkatan jumlah, mutu, dan aktivitas selsel imun tubuh. Proteinprotein yang terkandung dalam ekstrak jintan hitam (Nigella sativa Linn.) dapat menghasilkan efek stimulator pada sistem imun tubuh (Hendrik, 2009). Jintan hitam ini diduga bekerja sebagai imunomodulator yaitu yang bekerja dengan cara melakukan modulasi (perbaikan) terhadap sistem imun (Bellanti, 1993). Sistem imun dapat didefinisikan sebagai suatu proses dan mekanisme pertahanan tubuh atau disebut juga sistem limforetikular. Mekanisme pertahanan ini dibagi menjadi dua kelompok fungsional, yaitu pertahanan non spesifik dan spesifik. Pertahanan non spesifik meliputi kulit dan membran mukosa, mekanisme pertahanan ini merupakan bawaan (innate immunity) artinya pertahanan tersebut secara alamiah ada dan tidak adanya dipengaruhi secara intrinsik oleh kontak dengan agen infeksi sebelumnya (Bratawijaya,1993). Mekanisme pertahanan ini berperan sebagai garis pertahanan pertama dan menghambat kebanyakan patogen potensial sebelum menjadi infeksi yang tampak (Subowo, 1993; Tizar, 1988). Mekanisme pertahanan spesifik meliputi sistem imunitas humoral yaitu dengan produksi antibodi oleh sel B dan sistem imunitas seluler oleh sel T. Sistem pertahanan ini bersifat adaptif dan didapat, yaitu menghasilkan reaksi spesifik pada setiap agen infeksi yang dikenali karena telah terjadi paparan terhadap mikroba tersebut sebelumnya. Sistem pertahanan ini sangat efektif dalam memberantas infeksi serta mengingat agen infeksi tertentu sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit dikemudian hari (Tizar, 1988). Respon imun diperantarai oleh berbagai sel dan molekul terlarut yang diseksresikan oleh sel-sel tersebut. Selsel utama yang terlibat dalam reaksi imun adalah limfosit (sel B, sel T, dan sel NK), sel fagosit (neutrofil, eusinofil, monosit dan magrofag), sel asesori (basofil, sel mast, dan trombosit), selsel jaringan. Bahan terlarut yang disekresi dapat berupa antibodi, komplemen, mediator radang, dan sitokin. Selsel lain dalam jaringan walaupun bukan merupakan bagian utama dari respon imun juga dapat berperan serta dengan memberi isyarat pada limfosit atau berespon terhadap sitokin yang dilepaskan oleh limfosit atau makrofag (Wahab, 2002). Berdasarkan hal diatas maka peneliti telah melakukan pengujian aktivitas ekstrak etanol biji jintan hitan (Nigella sativa Linn.) terhadap sistem imun non spesifik dengan menghitung jumlah antibodi menggunakan metoda titer antibodi, menghitung bobot relatif limfa mencit putih jantan dan menghitung jumlah sel leukosit dengan metoda hapusan darah pada mencit putih jantan.

METODE PENELITIAN Alat Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat alat destilasi vakum, rotary evaporator, botol maserasi, jarum suntik, gunting, timbangan, tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas ukur, kaca objek, plat tetes, lumpang dan alu, vial, spatel, dan mikroskop. Bahan Bahan-bahan yang digunakan adalah biji jintan hitam, etanol 96%, air suling, NaCl fisiologis, eritrosit kambing, minyak emersi, metanol

36

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


murni, pewarna Giemsa (D6 100-darstadt), heparin (D-34209 Melsungen Germany). Prosedur Kerja Pembuatan Sampel Biji jintan hitam 1 kg diekstraksi dengan etanol 96% kemudian pelarutnya diuapkan secara vakum sehingga diperoleh ekstrak kental sebanyak 29,85 g. Terhadap ekstrak kental ini dilakukan standarisasi ekstrak seperti kandungan metabolit sekunder dan susut pengeringan. Pembuatan antigen Darah kambing dicuci dengan larutan NaCl fisiologis (1:1) masingmasing sebanyak 5 ml dan di aduk homogen kemudian disentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit, dibuang supernatannya, diulangi 3 kali dengan menambahkan 5 ml NaCl fisiologis setiap pengulangan. Setelah didapatkan eritrosit kambing kemudian dibuat suspensi 5% (diambil 0,2 ml eritrosit kambing lalu dicukupkan dengan NaCl fisiologis hingga volume suspensi 4 ml). Pembuatan larutan uji Larutan uji dengan dosis 50 mg/kg BB dibuat dengan cara mensuspensikan 50 mg ekstrak etanol biji jintan hitam (Nigella sativa Linn.) dengan 50 mg Na CMC yang dikembangkan dengan air panas 1 ml, kemudian digerus dan ditambahkan kedalam ekstrak yang telah ditimbang, digerus homogen dan dicukupkan volume dengan aquadest sampai volume 10 ml. Cara yang sama digunkan untuk dosis 100, 200 mg/kg BB dengan berat ekstrak masing-masing 0,1 dan 0,2 gram untuk volume 10 ml. Sensititasi Hewan Hewan percobaan terdiri dari 15 ekor yang dibagi atas 5 kelompok yaitu kontrol negatif (I), kontrol positif (II), kelompok dosis 50 mg/kg BB (III), kelompok dosis 100 mg/kg BB (IV) dan kelompok dosis 200 mg/kg BB (V). Hewan percobaan yang telah diaklimatisasi kemudian disensitisasi (pemberian antigen pertama) dengan 0,2 ml suspensi eritrosit kambing 5% pada hari 1 secara intra peritoneal, kemudian dilakukan pembosteran dengan 0,1 ml suspensi eritrosit kambing 5% secara subkutan pada hari ke 7 dan 14. Suspensi ekstrak diberikan pada hari ke 15 sampai hari ke 20 secara oral dengan dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB. Penentuan Titer Antibodi Pada hari ke 21 mencit dibunuh, diambil darah dengan cara memotong vena bagian leher, biarkan selama 30 menit, lalu disentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit. Bagian serumnya disiapkan 10 buah tabung reaksi, dimasukkan larutan NaCl fisiologis 0,2 ml pada masing-masing tabung. Pada tabung pertama ditambahkan 0,2 ml serum, dikocok sampai homogen. 0,2 ml larutan pada tabung pertama pindahkan kedalam tabung kedua kemudian dikocok dan pipet 0,2 ml larutan pada tabung kedua dan dipindahkan kedalam tabung ketiga, kemudian dikocok sampai homogen. Lakukan hal ini sampai pada tabung reaksi kesepuluh. Pada tabung kesepuluh, 0,2 ml larutan dibuang sehingga hasil pengenceran dari serum yaitu , , 1/8, 1/16 , 1/32, 1/64, 1 /128, 1/256, 1 /512, dan 1/1024. 0,1 ml suspensi eritrosit kambing 5% dimasukkan kedalam masing-masing tabung reaksi tersebut disentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit, diamati penggumpalan

37

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


yang terjadi. Angka titer ditentukan dengan pengenceran tertinggi yang masih dapat beraglutinasi dengan eritrosit kambing (Sadikin, 2008). Angka titer dihitung dengan rumus : 2 Log Pengenceran Menghitung Jumlah Sel Leukosit dari Metode Hapusan Darah Darah segar diteteskan pada gelas objek satu tetes, lalu ditipiskan dan diratakan dengan gelas objek lain sehingga diperoleh lapisan darah yang homogen (hapusan darah), lalu keringkan. Setelah kering ditetesi dengan metanol, sehingga menutupi seluruh hapusan darah, biarkan 5 menit, ditambahkan satu tetes larutan Giemsa yang telah diencerkan dengan aquadest (1:20), biarkan selama 20 menit, dicuci dengan aquadest, setelah kering lihat di mikroskop. Kemudian dihitung jumlah sel eusinofil, neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit, dan monosit pada perbesaran 1000 X dengan menggunakan minyak emersi (Supandiman, 1997). Perhitungan Jumlah Sel Limfosit pada Limfa HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Penimbangan bobot limfa relatif Setelah darah mencit diambil untuk pengujian titer antibodi, kemudian mencit dibedah dan diambil limfanya, ditimbang bobot relatifnya satu persatu. Bobot limfa relatif terhadap kontrol dihitung dengan rumus : Ekstrak etanol jintan hitam mengandung metabolit sekunder alkaloid, steroid dan saponin dengan nilai susut pengeringan sebesar 27,18%. Hasil susut pengeringan ini dijadikan faktor konversi terhadap penimbangan dosis yang akan digunakan. . Angka titer ditentukan pada pengenceran tertinggi dari serum mencit yang masih dapat beraglutinasi dengan sel darah merah kambing (Subowo, 1993). Angka titer dapat dicari dengan rumus 2 log 4 maka angka titernya adalah 2. Aglutinasi yang terjadi dipengaruhi homogen, sebanyak 20 l larutan limfa, lalu diletakkan pada kaca objek dan dibiarkan mengering, setelah itu difiksasi dalam metanol selama 2 menit kemudian dibilas dengan aquadest dan kering anginkan, diencerkan dengan pewarna Giemsa denga dapar pospat, dengan perbandingan (1:20), preparat yang telah difiksasi, diwarnai dengan cara meneteskan pewarna Giemsa sebanyak 10 tetes biarkan selama 5 menit, kemudian dibilas dengan air suling dan dikeringkan. Hitung jumlah sel limfositnya dihitung dibawah mikroskop menggunakan minyak emersi dengan perbesaran 1000 X. Persen kenaikan sel limfosit dihitung dengan rumus :

Jumlah sel limfosit dosis 100% Jumlah sel limfosit kontrol


Pengolahan Data (Schefler, 1998) Pada penelitian ini data yang diperoleh diolah secara analisis statistik dengan menggunakan metode ANOVA satu arah.

Bobot limfa 100% Bobot mencit


2. Penghitungan jumlah sel limfosit Setelah didapatkan bobot relatif limfa, timbang 50 mg limfa kemudian disuspensikan dalam 2 ml larutan dapar pospat pH 7,4 gerus sampai halus dan

38

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


oleh komplemen. Komplemen yaitu salah satu enzim serum yang berasal dari sistem imun non spesifik yang larut dalam keadaan tidak aktif, tetapi sewaktu-waktu dapat diaktifkan oleh berbagai bahan seperti antigen, komplek imun dan sebagainya. Sedangkan pada kontrol positif aglutinasi terjadi 2log 16 maka angka titernya adalah 4. Tabel I menunjukkan bahwa dengan peningkatan dosis pemberian ekstrak etanol biji jintan hitam dapat meningkatkan angka titer antibodi yang merupakan respon imun spesifik.

Tabel I. Titer Antibodi dari Serum Mencit Putih Jantan setelah Diinduksi Antigen dan diberi Ekstrak Etanol Biji Jintan Hitam (Nigella Sativa Linn.)
1 Kelompok I II III IV V log Pengenceran 2 log 4 2 log 8 2 log 16 2 log 64 2 log 256
2

Angka Titer 2 3 4 6 8

2 log Pengenceran 2 log 4 2 log 16 2 log 32 2 log 256 2 log 128


2

Ang ka Titer 2 4 5 8 7

3 log Pengenceran 2 log 4 2 log 16 2 log 32 2 log 128 2 log 256


2

Ang ka Titer 2 4 5 7 8

x
2 3,67 4,67 7 7,67

x
6 11 14 21 23

Dari hasil uji statistik analisa varian satu arah dan dilanjutkan ke uji berjarak Duncan, didapatkan pengaruh dosis sangat signifikan terhadap jumlah sel netrofil segmen, limfosit, monosit dan tidak signifikan terhadap sel

eusinofil dan netrofil batang. Maka pemberian ekstrak etanol biji jintan hitam (Nigella sativa Linn.) dapat meningkatkan jumlah sel leukosit darah yang merupakan sistem imun alamiah (non spesifik)

Tabel II. Hasil Perhitungan Sel Leukosit Pada Darah Mencit Putih Jantan setelah Diinduksi Antigen dan diberi Ekstrak Etanol Biji Jintan Hitam (Nigella Sativa Linn.)
Jumlah Sel Leukosit ( x + SD, n = 3 ) Eusinofil I II III IV V 2.67 0.58 1.33 0.82 2.33 0.69 2.33 1.25 1.67 1.00 Netrofil Batang 4.67 0.58 5.67 1.34 7.00 1.76 8.33 1.41 9.33 1.34 Netrofil Segmen 55.67 2.52 45.33 6.02 38.67 3.74 34.33 2.75 30.67 2.22 Limfosit 31.00 2.65 37.33 3.40 42.00 2.47 46.33 2.87 50.67 2.75 Monosit 6.00 1.00 10.33 2.50 11.00 0.88 7.33 2.22 7.00 1.64

Kelompok

39

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Penentuan bobot limfa relatif mencit, untuk melihat pengaruh antigen dan ekstrak yang diberikan. Berdasarkan hasil kenaikan bobot limfa relatif maka dilakukan perhitungan sel limfosit pada limfa. Dari data dapat dilihat bahwa kenaikan bobot limfa relatif juga diikuti dengan kenaikan sel limfosit pada limfa. Tabel III. Kenaikan sel limfosit dan bobot relatif disebabkan karena pada limfa terjadi, diferensiasi, dan poliferasi limfosit, sehingga terjadi pembesaran pada limfa.

Bobot Relatif Limfa Mencit Putih Jantan setelah Diinduksi Antigen dan diberi Ekstrak Etanol Biji Jintan Hitam (Nigella sativa Linn.)
Bobot (g) x SD, n = 3 Mencit Limfa 0.160.01 0.100.02 0.110.02 0.120.02 0.140.01 Bobot Limfa Relatif (%)

Kelompok I II III IV V

x SD, n = 3
0.540.03 0.380.05 0.400.06 0.480.07 0.530.03

29.001.00 26.672.52 27.500.50 25.500.87 27.330.76

Tabel IV.

Jumlah Sel Limfosit dan Persentase Kenaikan Sel Limfosit pada Limfa Mencit Putih Jantan setelah Diinduksi Antigen dan diberi Ekstrak Etanol Biji Jintan Hitam (Nigella sativa Linn.)
Jumlah Sel Limfosit ( x SD, n = 3 ) % kenaikan sel limfosit terhadap kontrol (-) 0,00 103,59 110,17 125,74 129,93 % kenaikan sel limfosit terhadap kontrol (+) -103,47 0,00 16,35 121,38 125,42

Kelompok

I II III IV V

55.673.21 57.675.69 61.335.51 70.003.61 72.334.16

Dari empat parameter yang diamati, pemberian ekstrak etanol biji jintan hitam (Nigella sativa Linn.), dapat meningkatkan antibodi yang merupakan sistem imun dapatan (non spesifik) dan jumlah sel leukosit yang merupakan sistem imun alamiah (spesifik). Kedua sistem imun diatas berperan penting dalam melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme. Maka penggunaan ekstrak etanol biji jintan hitam sangat efektif untuk meningkatkan sistem imun.

KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa pemberian ekstrak etanol biji jintan hitam (Nigella sativa Linn.) dapat meningkatkan titer antibodi pada dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, dan 200 mg/kg BB dan dapat meningkatkan jumlah limfosit, dan monosit sangat signifikan (P<0,01), menurunkan jumlah neutrofil segmen sangat signifikan (P<0,01), sedangkan sel eusinofil dan neutrofil batang tidak signifikan.

40

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


DAFTAR PUSTAKA Donatus, I.A., 1983, Peranan Farmakologi Dalam Pengembangan Obat Tradisional, oleh Husin, M, Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat III, Fakultas Farmasi Gajah Mada, Jogjakarta. Hendrik, 2009, Habbatus Sauda, Pustaka Iltazam, Solo. Bellanti, J.A., 1993, Immunologi III, Diterjemahkan oleh A. S. Wahab, dan N. Soerapto, Gajah Mada Press, Yogyakarta. Bratawijaya, K. G., 2004, Imunogi Dasar, edisi ke-6, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Subowo, 1993, Imunobiologi, Cetakan ke-1, Angkasa Bandung. Tizar, I. R., 1988, Pengantar Imunologi Veteriner, Edisi 1, Penerjemah Soehardjo Hardjosworo, Airlangga Universitas Press, Surabaya. Wahab, S.A. dan Julia M., 2002, Sistem Imin, Imunisasi dan Penyakit Imun, Widya Medika, Jakarta. Sadikin, M., 2008, Antibodies Titers in Rat Immunized Agains Sheep Red Blood Cell (SRBC), diakses dari http :www.google.com, Jakarta. Supandiman, I. dkk, 1997, Pedoman Terapi Haematologi Onkologi, Penerbit alumni, Bandung. Schefler, C.W., 1998, Statistika Untuk Biologi, Farmasi, Kedokteran dan Ilmu Bertautan, diterjemahkan oleh Suroso, Edisi III, Penerbit ITB, Bandung. Subowo, 1993, Imunobiologi Klinik, Penerbit Angkasa, Bandung.

41

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


PENETAPAN POLA RESISTENSI ANTIBIOTIKA Vibrio parahaemolyticus HASIL ISOLASI DARI CUMI-CUMI (Loligo vulgaris) DAN KEPITING BAKAU (Scylla serratta) Ria Afrianti1, Marlina2, M. Husni Mukhtar2 STIFI Perintis Padang, 2Fakultas Farmasi Universitas Andalas

ABSTRACT The characteristics of Vibrio parahaemolyticus resistances were observed from Squid (Loligo vulgaris) and mangrove crab (Scylla serratta) in Padang using differential medium CHROMAgar the Vibrio. Antibiotic resistances were tested on fourty two cultures of Vibrio parahaemolyticus by Krumperman diffusion method toward six kinds of antibiotic. The percentage of Vibrio parahaemolyticus resistances toward ampicillin, chloramphenicol, erythromycin, gentamicin, sulfametoxazol, and tetracycline were 76,19 %, 19,05 %, 52,38 %, 26,19 %, 92,86 %, 26,19 % respectively. Value of Multiple Antibiotics Resistances (MAR) was 0,46.

Keywords : Vibrio parahaemolyticus, Antibiotics resistances, Loligo vulgaris, Scylla serratta PENDAHULUAN Vibrio parahaemolyticus adalah bakteri gram negatif, berbentuk koma, mempunyai flagela polar, fakultatif anaerob, tumbuh baik pada medium dengan kadar NaCl 1-8 % sehingga termasuk bakteri halofilik. Penyakit yang ditimbulkannya adalah gastroenteritis dengan gejala-gejala diare, keram perut, mual, muntah, demam (Gerard, 1982; Barrow 1993; Mier 1996). Masa inkubasinya 4-96 jam dengan rata-rata 15 jam. Untuk dapat menimbulkan infeksi, bakteri harus melalui tahap kontak dengan permukaan mukosa usus, penetrasi ke dalam mukosa usus, menetap di dalam sel epitel usus dan memperbanyak diri (Postnova, 1996). Pengobatan dilakukan dengan mengganti cairan elektrolit tubuh yang hilang akibat diare, seperti pemberian larutan 0,5% NaCl, 0,5% NaHCO3 dan 0,1% KCl ke dalam pembuluh darah (Boyd, 1980). Pada serangan akut, diberikan antibiotika seperti tetrasiklin, ampisilin, dan siprofloksazin (Doyle, 1989). Tetapi, penggunaan antibiotika yang tidak diawasi mengakibatkan suatu sifat tidak terganggunya aktivitas sel bakteri pada pemberian antibiotika. Sifat ini dikenal dengan istilah resistensi sel bakteri (Ganiswarna, 1995). Perkembangan resistensi merupakan proses alamiah yang dilakukan bakteri guna mengembangkan toleransi terhadap keadaan lingkungan yang baru (Pelczar et al, 1988). Bakteri yang telah resisten memiliki gen untuk melindungi dirinya dari efek bakterisida suatu antibiotika. Gen resistensi dari bakteri yang telah resisten terhadap suatu antibiotika dapat dipindahkan ke bakteri lain melalui mekanisme transformasi, transduksi ataupun konjugasi selama berlangsungnya pengobatan menggunakan antibiotika (Pelczar et al, 1988; Waturangi, 2000).

42

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Resistensi sel bakteri terhadap suatu antibiotika yang terjadi di rumah sakit cukup tinggi (Radu, 2002). Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengamati penetapan resistensi bakteri terhadap antibiotika, khususnya bakteri V. parahaemolyticus. Pada penelitian terdahulu telah dilakukan suatu kajian tentang sifat resistensi bakteri Vibrio cholerae yang diisolasi dari feses balita penderita diare dan limbah cair di rumah sakit terhadap beberapa antibiotika (Harta, 2004). Beranjak dari penelitian tersebut maka dilakukan penelitian mengenai sifat resistensi bakteri V. parahaemolyticus yang diisolasi dari sampel Cumi-cumi (Loligo vulgaris) dan kepiting bakau (Scylla serratta) di kota Padang terhadap beberapa antibiotika. Isolasi bakteri parahaemolyticus Vibrio

METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Jarum ose, spatel, batang pengaduk, beaker glass, cawan petri, erlenmeyer, hot plate, jangka sorong, kapas lidi, effendorf, lemari pendingin, lampu spiritus, lampu UV, pot salep, pinset, pipet mikro, sentrifugator, timbangan digital (Mettler PM 200), water bath, vortex, autoklaf, incubator, Rotary shaker inkubator, laminar air flow. Media Sampel CHROMagar Vibrio (CHROMagarTM), media Luria Burtani (LB) broth, media Mueller Hinton (Merck), aquadest steril, etanol 70%, disk antibiotika (BBL). Pengambilan sampel Sampel dibeli dari penjual cumicumi dan kepiting di pinggir pantai Purus, kota Padang, kemudian diidentifikasi di Laboratorium Ekologi Hewan Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Andalas Padang.

Ditimbang 10 g sampel yang telah dihaluskan kemudian dimasukan dalam erlemeyer dan ditambahkan Salt Poymixin Broth (SPB) hingga 100 ml dan diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam. Setelah diinkubasi kemudian dilakukan pengenceran mulai dari 101 sampai 105 dengan cara memipet 0,1 ml sampel induk dimasukan ke dalam 0,9 ml media SPB dalam tabung ependorf untuk pengenceran 101 , selanjutnya 0,1 ml dari pengenceran 101 dimasukan kedalam 0,9 ml media SPB dalam tabung ependorf untuk pengenceran 102 demikian seterusnya sampai pengenceran 105. Setelah masing-masing pengencean ditanam pada media CHROMAgar Vibrio dalam cawan Petri. Lalu diinkubasi lagi pada suhu 37C selama 24 jam. Biakan dalam cawan Petri akan memberikan koloni ungu yang menandakan adanya bakteri V.parahaemolyticus. Uji resistensi bakteri Vibrio parahaemolyticus terhadap antibiotika Cakram antibiotika yang digunakan dengan konsentrasi yang telah ditetapkan sebagai berikut:
Golongan Penisilin Kloramfenikol Eritromisin Antibiotik Ampisilin Kloramfenikol Eritromisin Konsentrasi (g ) 10 30 10 15 5 30

Aminoglikosida Gentamisin Sulfonamida Tetrasiklin Sulfametoksazol Tetrasiklin

Uji resistensi antibiotik dilakukan terhadap beberapa kultur V.parahaemolticus yang diisolasi dari

43

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Scylla serratta dan Loligo vulgaris. Biakan yang telah diremajakan dalam LB broth diambil dengan pipet mikro sebanyak 100 l dan ditanam pada medium Mueller hinton Agar dengan meratakanya pada permukaan media menggunakan lidi kapas steril. Disk antibiotik ditaruh hati-hati diatas biakan bakteri dan ditekan perlahan dengan pinset steril supaya benar-benar kontak dengan bakteri. Jarak Disk dengan tepi cawan Petri 15 mm dan jarak antar Disk 24 mm. Biakan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37C.
% Re sistensi

Daerah hambatan yang terlihat sebagai wilayah bening disekitar disk antibiotik diukur diameternya dan karakter resistensi dari bakteri tersebut terhadap antibiotik dibandingkan terhadap tabel standard. Analisa Data Persentase resistensi bakteri terhadap antibiotika dihitung untuk setiap jenis antibiotika dengan menggunakan persamaan:

Jumlah kultur yang resisten x 100 % Jumlah kultur yang diuji

Perhitungan Nilai MAR dengan menggunakan persamaan Krumperman:


MAR =

x y

Keterangan : MAR = Multiple Antibiotics Resistance x = Jumlah bagian yang resisten terhadap antibiotika dari satu kultur yang digunakan y = Jumlah antibiotika yang digunakan Resistensi suatu koloni bakteri terhadap antibiotika dikatakan tinggi jika memiliki nilai Multiple Antibiotics Resistance (MAR) 0.2. HASIL DAN PEMBAHASAN Media yang digunakan untuk isolasi bakteri Vibrio parahaemolyticus yaitu media pengaya SPB yang mengandung antibiotik Polymixin B, dimana bakteri V.parahaemlyticus resisten terhadap antibiotik ini, dan masih memiliki aktivitas terhadap spesies vibrio, sehingga pertumbuhan V. parahaemolyticus akan tetap berlangsung, sedangkan pertumbuhan spesies vibrio lainya dihambat. Pada media SPB harus ditambahkan 3% NaCl yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah V.parahaemoyticus sebagai spesies vibrio halofilik dan menekan keberadaan spesies lain, penambahan ini sesuai dengan kadar optimal untuk pertumbuhan V.parahaemolyticus. Kultur pada media SPB ditanam pada medium spesifik CHROMAgar vibrio, kemudian di inkubasi pada suhu 37C selama 24 jam. Terbentuknya warna ungu menandakan pada kedua sampel yaitu cumi-cumi (L.vulgaris) dan kepiting bakau (S.serratta) ada V.parahaemolyticus. Terapi utama untuk mengatasi dehidrasi pada penyakit gastroenteritis adalah penggantian cairan dan elektrolit baik secara oral maupun secara intravena. Walaupun demikian, terapi

44

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


dengan antibiotik juga penting karena dalam beberapa kasus, terapi dengan antibiotik dapat mengurangi durasi diare dan ekskresi serta mengontrol penyebaran penyakit ini, sehingga hasil pengujian sifat resisten V. parahaemolyticus terhadap antibiotik sangat penting untuk pemilihan antibiotik yang tepat (Ganiswara, 1995). Uji resistensi terhadap antibiotik pada penelitian ini menggunakan metode difusi krumpermen karena metoda ini merupakan metoda yang sederhana tetapi efektif memberi informasi untuk pengujian sifat resisten bakteri terhadap beberapa antibiotik. Ampisilin merupakan senyawa prototipe golongan aminopenisilin. Antibiotik ini bersifat bakteriostatik terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Ampisilin bekerja dengan menghambat sintesa dinding sel bakteri. Dari hasil, diperoleh 76,19% kultur resisten terhadap antibiotik ini. Kloramfenikol adalah salah satu obat alternatif untuk diare (Ganiswara, 1995). Antibiotika ini bekerja menghambat enzim petidil transperase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan peptida pada proses sintesis protein bakteri. Umumnya bersifat bakteriostatik, pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisid. Dari penelitian ini diperoleh hasil 19,05% kultur resisten terhadap kloramfenikol. Hal ini berarti antibiotik ini masih dapat digunakan sebagai terapi. Resistensi pada kloramfenikol dapat muncul bila bakteri mampu membentuk enzim kloramfenikolasetil tranferase yang mampu merusak aktivitasnya. Eritromisin termasuk golongan makrolida yang bersifat bakteriostatika tapi dapat juga bersifat bakterisida dalam konsentrasi yang tinggi terhadap organisme yang rentan. Dari hasil, diperoleh 52,38% kultur resisten terhadap antibiotik ini, resistensi dapat timbul karena resistensi silang. Gentamisin merupakan senyawa aminoglikosida pilihan utama karena harganya murah dan aktivitasnya yang diandalkan terhadap semua infeksi kecuali terhadap bakteri aerob gram negatif yang paling resisten. Dari hasil yang diperoleh (26,19%), antibiotik ini masih peka dengan V.parahaemolyticus, namun penggunaan antibiotik ini harus diperhatikan karena memiliki efek samping yang berbahaya yakni dapat menimbulkan nefrotoksik (Goodman & Gilman, 2007). Sulfametoksazol yang biasanya dikombinasikan dengan trimetoprim merupakan senyawa antibiotika yang efektif secara klinis. Kombinasinya akan berupa efek yang sinergis, namun pada penelitian ini digunakan Sulfametoksazol. Dari hasil diperoleh 92,86% kultur resistensi terhadap sulfametoksazol. Resistensi dapat timbul karena penyebaran resistensi yang diperantarai oleh plasmid. Tetrasiklin bersifat bakteriostatika dan bekerja menghambat sintesa protein bakteri pada ribosom yaitu berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi masuknya kompleks tRNA asam amino pada lokasi asam amino (Ganiswara, 1995). Timbulnya resistensi terhadap tetrasiklin (26,19%) terjadi karena proteksi melalui ribosom oleh protein sitoplasma.. Dari sekian banyak pola resistensi antibiotika terhadap isolat, ternyata sulfametoksazol mempunyai tingkat resistensi yang tinggi. Bakteri V.parahaemolyticus resistensi terhadap sulfametoksazol (Handayani, Y, 2006). Resistensi suatu bakteri gram negatif dinyatakan tinggi jika mempunyai nilai Multiple Antibiotics Resistence (MAR) > 0,2. Dari

45

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


penelitian ini diperoleh nilai MAR ratarata adalah 0,46. Hal ini menunjukan bahwa bakteri V.parahaemolyticus mempunyai tingkat resistensi yang cukup tinggi terhadap antibiotik yang digunakan. by ELISA, Microbiol, 142, 27672776 Mier, R.M., I.L. Pepper and C.P. Gerba, 1996, Environmental Microbiology, 5th Ed, International Thompson Publishing, California Boyd, F.R. and J.J. Mar., 1980, Medical Microbiology, Little Brown and Company, Boston Doyle, M., 1989, Foodborne Bacterial Pathogens, Marcell Dekker Inc., New York Ganiswarna, G.S., dkk., 1995, Farmakologi dan Terapi, UI-Press, Jakarta Pelczar, M. J., dan E. C. S. Chan, 1988, Dasar-Dasar Mikrobiologi, Jilid II, diterjemahkan oleh Ratna. S. H, dkk, UI-Press, Jakarta, Radu, S., M. Vincent., K. Apun., R.A. Rahim., P.G. Benjamin., Yuherman and G. Rusul, 2002, Molecular Characterization of Vibrio cholerae O1 Outbreak Strain in Miri, Sarawak (Malaysia), Acta Tropica, 83, , 169-176 Waturangi, D.E., 2000, Keanekaragaman Genetik serta Uji Resistensi Antibiotik Escherichia coli yang Diisolasi dari Feses Farunus spp, http://www.hayati.ipb.com Goodman & Gilman, 2007, Farmakologi Dan Terapi. EDISI ke-10. Vol 2. ITB. Jakarta

KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Hasil uji resistensi dari 42 kultur murni V.parahaemolyticus menunjukkan bahwa 76,19 % kultur resisten terhadap ampisilin, 19,05 % kultur resisten terhadap kloramfenikol, 52,38 % resisten terhadap eritromisin, 26,19 % resisten terhadap gentamisin, 92,86 % resisten terhadap sulfametoksazol, 26,19 % resisten terhadap tetrasiklin. Nilai Multiple Antibiotics Resistence (MAR) yang diperoleh berkisar antara 0,3 0,8 dengan nilai MAR rata-rata adalah 0,46. Hal ini menunjukan bahwa bakteri V.parahaemolyticus mempunyai tingkat resistensi terhadap antibiotik yang cukup tinggi.

DAFTAR PUSTAKA Gerard, 1982, Mikrobiologi Kedokteran, PT. Gramedia, Jakarta Barrow, G.I, 1993, Cowan and Steels Manual for the Identification of Medical Bacteria, 3rd Ed, Cambridge Univercity Press. Postnova, T., O.G. Gomez-duarte and K. Richardson, 1996, Motility Mutants of Vibrio cholerae 01 have Reduced Adherence in vitro to Human Small Intestinal Epithelial Cells as Demonstrated

46

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


AKTIFITAS ANTI INFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN KEMBANG BULAN (Tithonia diversifolia. A. Gray) TERHADAP MENCIT PUTIH BETINA Verawati, Mimi Aria, Novicaresa M. STIFI Perintis Padang

ABSTRACT The anti inflammatory effect of ethanolic extract of the kembang bulan (Tithonia diversifolia A.Gray) leaves on female white mice has been done topically using modification methode between making edema and granuloma pouch. Induction was done by injectioning carragenin 2 %b/v in NaCl fisiologis subcutaneously. The extract was given topically as ointment for 4 days in various concentration: 1%, 2.5% and 5%. The parameter were observed include edema volume, totally of leucocytes cell on edema and blood. The result of research showed that ethanolic extract of the kembang bulan (Tithonia diversifolia A.Gray) leaves gives topically anti inflammatory effect. It can reduced the edema volume and gives effect on decreasing leucocytes cell on edema and can increased neutrofil cells and limpocyt cells on blood significantly (P<0,05). The maximal effect of anti inflammatory was seeen at concentration 5% with the lowest edema volume 0,03 ml, higher than anti inflammatory effect of hidrocortison acetat 2,5% with edema volume 0,08 ml. Keywords : Tithonia diversifolia, anti-inflammatory, edema PENDAHULUAN Tumbuhan adalah gudang bahan kimia yang memiliki berbagai manfaat termasuk untuk obat berbagai penyakit. Oleh karena itu saat ini banyak para peneliti berusaha untuk mengisolasi senyawa kimia dari tumbuh-tumbuhan tersebut guna dimanfaatkan dalam bidang pengobatan. Penggunaan tumbuh-tumbuhan sebagai obat tradisional mempunyai keunggulan antara lain dalam hal khasiat yang lebih baik serta efek samping yang lebih kecil dari pada obat berbahan kimia murni. Saat ini tanaman obat tradisional masih berperan sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk di bidang kesehatan (Wijaya et al, 1995; Donatus, 1983). Tumbuhan yang merupakan bahan baku obat tradisional tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, baik itu tumbuhan asli Indonesia, maupun tumbuhan dari luar negeri yang tumbuh dan dikembangkan di Indonesia. Salah satu tumbuhan tersebut adalah bunga kembang bulan (Tithonia diversifolia A. Gray) atau secara tradisional dikenal sebagai Bunga Busuk, Bunga Kipait, dari Family Asteraceae (Hanum, 2002). Selain itu dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa tumbuhan T. diversifolia aktif sebagai anti bakteri (Dewi,2010), seperti kita ketahui salah satu sebab inflamasi bisa disebabkan oleh bakteri. Bagian yang dimanfaatkan dari tumbuhan T. diversifolia sebagai sumber zat kimia, yang digunakan untuk pengobatan tradisional biasanya adalah bagian daun, tapi dapat juga menggunakan kulit akar dan batang. Daun dari tumbuhan T. diversifolia ini mengandung senyawa alkaloid, terpenoid, flavonoid, saponin, tanin, serta polifenol. Manfaat dari daun.

47

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


T. diversifolia secara tradisional biasanya digunakan sebagai obat sakit perut, kembung, diare dan digunakan sebagai obat luka dan anti radang (antiinflamasi) (Dalimartha, 2000). Berdasarkan penggunaan daun T. diversifolia secara tradisional sebagai anti-inflamasi dan penelitian sebelumnya mengenai antibakteri, maka perlu dilakukan penelitian secara ilmiah dengan menguji aktivitas anti inflamasi ekstrak daun T. diversifolia terhadap mencit putih betina dengan menggunakan metode modifikasi antara metode udem buatan dengan granuloma pouch (Gryglewsky, 1997; Domer, 1971). Parameternya adalah pengukuran volume udem buatan pada bagian punggung mencit putih dan penentuan jumlah sel leukosit pada tempat terjadinya inflamasi dan dalam darah (Winter, 1962). Ekstraksi sampel Sebanyak 1,5 kg daun kembang bulan segar dicuci bersih kemudian dilakukan pengeringan tanpa sinar matahari (kering angin). Setelah kering dilakukan penyerbukan dengan cara pemblenderan dan dimaserasi dengan etanol 70% selama 3x3 hari dan disaring. Filtrat diuapkan secara vakum sehingga diperoleh ekstrak kental etanol. Pembuatan Sediaan Uji Ekstrak daun kembang bulan ditimbang sesuai dengan konsentrasi yang akan dibuat lalu digerus halus dalam lumpang, kemudian tambahkan vaselin flava sedikit demi sedikit sambil digerus sehingga didapatkan massa yang homogen. Sediaan uji terdiri atas 3 macam konsentrasi yaitu 1% b/b; 2,5% b/b dan 5% b/b. Pembanding yang digunakan adalah hidrokortison asetat dengan konsentrasi 2,5% b/b.

METODE PENELITIAN Alat Alat- alat yang digunakan yaitu rotary evaporator, botol maserasi, jarum suntik 5 ml, jarum suntik 1 ml, gunting bedah, timbangan hewan, lumpang dan stamfer, gelas ukur, alat cukur, spidol, kandang hewan, dan lain- lain. Bahan Bahan yang digunakan yaitu daun kembang bulan, etanol 70%, air suling, vaselin flava, NaCl fisiologis, karagen, krim perontok bulu dan hidrokortison asetat (serbuk). Hewan yang digunakan adalah mencit putih betina dengan berat 20-30 g sebanyak 25 ekor, dimana masingmasingnya dibagi menjadi 5 kelompok Pembuatan Larutan Penginduksi Timbang karagen dihitung sebanyak 1 gram, lalu gerus halus dalam lumpang kemudian sedikit demi sedikit ditambah NaCl fisiologis 50 ml sambil digerus homogen, maka konsentrasi karagen yang diperoleh adalah 2% . Penginduksian Udem a. Mencit dicukur bulu bagian punggungnya dengan diameter 3cm. Mulanya dipotong dengan gunting, selanjutnya untuk menghilangkan bulu yang masih tersisa dioleskan krim perontok bulu, sehingga bulunya betul-betul hilang dibiarkan selama 24 jam.

48

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


b. Pada bahagian punggung yang dicukur disuntikkan dengan udara sebanyak 5 ml secara subkutan sehingga terbentuk kantong udara dan sekaligus disuntikkan juga 0,1 ml karagen 2% dalam NaCl fisiologis. c. Setelah 24 jam kantong udara terbentuk dihisap udaranya dengan jarum suntik 5 ml sehingga kantong udara tersebut jadi kempes. Selanjutnya ditambahkan larutan karagen 2% dalam NaCl fisiologis sebanyak 0,2 ml pada tempat yang ada kantong udara tersebut. Pemberian Sediaan Uji Sediaan uji diberikan dengan cara mengoleskan secara merata pada daerah yang terbentuk kantong udara (daerah yang dicukur) sebanyak 200 mg (dalam bentuk salep) dengan diameter 3 cm segera setelah pemberian karagen 2% dalam NaCl fisiologis sebanyak 0,2 ml. Selanjutnya obat diberikan lagi setiap hari selama 3 hari setelah pemberian pertama (obat diberikan selama 4 hari). Pada kelompok kontrol hanya diberikan vaselin flava saja. Pengukuran Dilakukan Parameter yang

a. Pengukuran volume radang pada hari ke lima eksudat diambil dengan jarum suntik lalu diukur volumenya. b. Penghitungan jumlah sel leukosit dalam hapusan darah dan cairan eksudat. Darah atau cairan eksudat segar ditetesi pada gelas objek satu tetes dan ratakan dengan gelas objek yang lain sehingga diperoleh lapisan darah yang homogen (hapusan darah), lalu dikeringkan. Setelah kering ditetesi dengan metanol, sehingga melapisi seluruh lapisan darah, dibiarkan 5 menit. Ditambahkan satu tetes larutan Giemsa yang telah diencerkan dengan air suling (1 : 20) dan dibiarkan selama 20 menit. Dicuci dengan air suling, dikeringkan dan dilihat dibawah mikroskop. Dihitung jumlah sel neutrofil, eusinofil, limfosit, dan sel monosit. Analisa Data Untuk menganalisa data hasil penelitian yang diperoleh dari semua parameter akan digunakan analisa variansi (ANOVA) satu arah.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tabel I. Hasil pengukuran volume eksudat dari radang punggung mencit putih betina setelah pemberian ekstrak daun Tithonia diversifolia A.Gray secara topikal
Volume eksudat (ml) Konsentrasi (%) 0 0,51 0,39 0,36 0,50 0,40 0,43200 0,068337 1 0,08 0,08 0,1 0,085 0,11 0,09100 0,013416 2,5 0,15 0,06 0,05 0,11 0,05 0,07320 0,056667 5 0,01 0,04 0,03 0,03 0,04 0,03000 0,012247 Hidrokortison asetat 2,5 0,09 0,09 0,1 0,08 0,07 0,08600 0,011402

Perlakuan 1 2 3 4 5 Rata-rata SD

49

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Tabel II. Hasil perhitungan sel leukosit dari eksudat punggung mencit betina setelah pemberian ekstrak daun Tithonia diversifolia A.Gray. secara topikal
Jumlah Sel Leukosit ( x SD, n = 5 ) Neutrofil Monosit Limposit batang 1.60 + 0,894 19.80 + 4.764 42.80 + 2.588 1.60 + 0,894 18.80 + 4.324 30.80 + 1.924 2.60 + 1.673 8.40 + 4.450 34.20 + 2.588 2.40 + 1.673 8.00 + 2.828 27.60 + 2.074 1.80 + 0,837 20.60 + 3.362 17.20 + 3.347

Konsentrasi 0% 1% 2,5% 5% Hidrokortison asetat 2,5%

Neutrofil segmen 34.60 + 3.209 47.40 + 4.278 53.80 + 1.924 60.60 + 1.517 59.40 + 5.771

Eosinofil 1.20 + 0,447 1.40 + 0,548 1.00 + 0,000 1.40 + 0,548 1.00 + 0,000

Tabel III. Hasil perhitungan sel leukosit dari darah mencit putih betina setelah pemberian ekstrak daun Tithonia diversifolia A.Gray secara topikal
Jumlah Sel Leukosit ( x SD, n = 5 ) Neutrofil Monosit Limposit batang 1.20 + 0.837 17.00 + 0.707 29.80 + 1.924 1.80 + 1.924 6.80 + 3.114 25.60 + 0.894 1.40 + 0.894 4.20 + 2.387 22.40 + 3.362 1.60 + 0.894 1.80 + 0.837 19.00 + 4.301 2.20 + 1.643 4.00 + 2.550 27.80 + 4.868

Konsentrasi 0% 1% 2,5% 5% Hidrokortison asetat 2,5%

Neutrofil segmen 50.80 + 1.643 64.80 + 3.271 70.80 + 3.564 76.40 + 5.128 64.80 + 6.535

Eosinofil 1.20 + 0.837 1.00 + 0.000 1.20 + 0.447 1.20 + 0.447 1.20 + 0.447

Pembahasan Pemberian sediaan uji dengan dosis konsentrasi 1% ternyata telah memberikan efek anti-inflamasi. Dari tiga dosis yang digunakan efek maksimum diberikan oleh dosis konsentrasi 5% yang ditandai dengan kecilnya volume eksudat yang didapatkan. Setelah pemberian ekstrak etanol daun T. diversifolia secara topikal sesuai dosis, diperoleh suatu korelasi yang menunjukkan hubungan antara volume eksudat (ml) terhadap konsentrasi ekstrak (%). Dimana volume eksudat rata-rata mengalami penurunan sesuai dengan peningkatan dosis yang diberikan dibandingkan dengan kontrol positif yang hanya menggunakan vaselin flava saja. Dari hasil uji analisa varian dapat dilihat bahwa pada konsentrasi zat uji 1%, 2,5% dan 5%

terhadap kontrol memberikan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01). Hasil perhitungan jumlah sel leukosit dari uji statistik dengan analisa varian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun T. diversifolia mempengaruhi persentase jumlah sel leukosit, baik itu dalam eksudat maupun dalam darah. Dimana terjadi peningkatan jumlah sel neutrofil segmen dibandingkan dengan kontrol negatif. Ini berarti, bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak semakin efektif mengurangi volume edema. Sedangkan pada jumlah sel eosinofil, monosit dan limposit mengalami penurunan yang disebabkan karena pembuluh darah di daerah radang memperoleh permeabelitasnya kembali, sehingga aliran cairan terhenti, dan terjadi pula penghentian migrasi leukosit. Cairan

50

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


yang sebelumnya telah dieksudasi diserap oleh pembuluh limfa dan sel-sel fagositik mengalami desintegrasi, keluar melalui pembuluh limfe dan dihilangkan dari radang, sehingga persentase jumlah sel leukosit dalam darah kembali mendekati jumlah normal. Sel leukosit yang memegang peranan penting dalam proses fagositosis pada jaringan yang rusak adalah neutrofil dan monosit. Monosit dalam eksudat disebut makrofag yang merupakan sel yang bergerak aktif memberi respon secara kemotaksis, fagosit aktif dan mampu mematikan serta mencerna berbagai agen penyebab inflamasi pada jaringan yang rusak. Eksudat merupakan cairan yang tertimbun dalam jaringan atau ruangan karena bertambahnya permeabelitas pembuluh darah. Hasil perhitungan jumlah sel leukosit pada cairan eksudat radang dan uji statistik dengan analisa varian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun T. diversifolia dapat mempengaruhi jumlah sel leukosit secara bermakna dengan peningkatan dosis dibandingkan dengan kontrol negatif, dimana menyebabkan kenaikan jumlah sel leukosit dalam eksudat radang. Hidrokortison asetat dalam bentuk salep yang digunakan sebagai pembanding yang merupakan salah satu sediaan obat anti inflamasi yang bayak digunakan untuk mengobati reaksi peradangan pada kulit ternyata menunjukkan efek yang hampir sebanding dengan ekstrak daun T. diversifolia pada konsentrasi 1% dapat mengurangi dan menekan derajat inflamasi yang terjadi pada hewan percobaan. Sedangkan efek pada konsentrasi 2,5% terhadap penurunan derajat inflamasi menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan pembanding 2,5%. Ditinjau dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan analisa data secara statistik ternyata ekstrak daun T. diversifolia memberikan efek anti inflamasi melalui kemampuannya menghambat dan mengurangi volume udem pada daerah radang, dan mempengaruhi migrasi serta jumlah sel leukosit pada darah dan eksudat, maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun T. diversifolia memiliki aktivitas sebagai anti inflamasi secara topikal. Dengan bertambahnya konsentrasi ekstrak, semakin bertambah pula aktivitas anti inflamasinya.

KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Ekstrak etanol daun kembang bulan (T. diversifolia) memiliki aktivitas anti inflamasi. Hal ini dilihat dari penurunan volume eksudat pada radang punggung mencit putih betina yang di berikan secara topikal. 2. Pemberian ekstrak etanol daun kembang bulan (T. diversifolia) secara topikal ternyata dapat meningkatkan jumlah sel leukosit baik dalam cairan eksudat maupun dalam darah. DAFTAR PUSTAKA Dalimartha, S., 2000, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Trubus Agriwidya, Jakarta. Dewi, R., 2010, Aktivitas Anti mikroba dari Elephantropus scober L, Tithonia diversifolia A.Gray, Tagetes erecta L, Skripsi, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Indonesia, Padang, 258. Donatus. I. A., 1983, Pengembangan Farmakologi Dalam

51

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Pengembangan Obat Tradisional. Oleh Husin, M. Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat III, Fakultas Farmasi Gajah Mada, Yogyakarta. Domer, F.R., 1971, Animal Experiment in Pharmacological Basis of Therapeutic, Charles C. Thomas Publiser, Springfield, IIIonis, USA. Gryglewsky, J.R., 1997, Some Experimental Models for the Study of Inflamation and Anti Inflamatory Drugs, Departemen of Pharmacology, Copernicus Academy of Medicine, Cracow, Poland. Hanum, I. Fridah and van der Masen, LIG, 2002, Auxiliary Plants, J.Nat.Prod p.297-298. Wijaya, K., S. Dalimartha dan A.S. Wirian, 1995, Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia, Jilid III, Pustaka Kartini, Jakarta. Winter, C.A., Risley, E.A and G.W Nuss, 1962, CarrageninInduced Edema in Hind Paw of Rat Asam Assay For anti Inflamantory Days, Proceding A Society For Experimental Biology and Medicine III,p.544547.

52

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


PENGARUH LAMA PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR DAN LEMARI PENDINGIN TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN PADA DADIH KERBAU DENGAN METODA KJELDAHL Regina Andayani1, Revi Yenti2 , Wiwit Gustiva 2 1 Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang 2 STIFI Perintis Padang ABSTRACT The research about the influence of storage time in room temperature and refrigerator on protein consentration of dadih using Kjeldahl method have been done. Fresh milk (A) was put into two bamboo tubes (tube of B and tube of C) until formed dadih. Tube B was kept in room temperature while tube of C was kept in refrigenerator for 2, 4, and 6 days. The research showed that protein concentration of dadih in room temperature and refrigenerator were reduced. Analysis of one ANOVA showed that there was a significance value ( P < 0,05) of protein concentration between 2, 4, and 6 days. t-Test analysis showed that concentration of protein in room temperature and refrigerator were significance difference (P < 0,05) on each days (2, 4, and 6 days). Keywords : Protein, dadih, metode Kjeldahl method PENDAHULUAN Protein dalam tubuh berguna sebagai zat pembangun atau pertumbuhan karena protein merupakan pembentuk jaringan baru dalam tubuh terutama pada bayi, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui dan orang yang baru sembuh dari penyakit. Protein juga berfungsi sebagai pengatur dalam metabolisme tubuh. Selain itu protein juga merupakan komponen pembentuk antibodi untuk mempertahankan daya tahan tubuh (Detama, 2004; Grinda, 1986; Almatsier, 2001). Masyarakat lebih banyak mengkonsumsi sumber protein hewani dalam memenuhi kebutuhan protein karena mengandung protein yang tinggi. Salah satu sumber protein hewani yang sering dikonsumsi adalah dadih. Dadih merupakan produk susu fermentasi tradisional khas Minangkabau Sumatra Barat yang proses pembuatannya sangat sederhana. Susu kerbau yang diperah langsung dimasukkan kedalam tabung bambu sebagai wadahnya kemudian ditutup dengan daun pisang, plastik dan ada yang tidak ditutup sama sekali. Kondisi ini didiamkan secara alami selama 2 hari dalam suhu ruang sampai terbentuk gumpalan. Komponen fisika dan kimia bambu yang meliputi sifat permeabilitas, aroma, kadar air, zat warna dan garam anorganik yang terdapat pada jaringan bambu, berperan dalam menentukan mutu dadih (Susilorin et al, 2008; Usman, 2007, Sugianto, 2006). Dadih ini banyak dijual di pasar tradisional namun berdasarkan pengamatan, dadih banyak disimpan di tempat terbuka bahkan terkena cahaya matahari, hal ini akan menurunkan mutu dari dadih tersebut. Berdasarkan hal di atas, maka dilakukan penelitian tentang pengaruh lama penyimpanan pada suhu kamar dan lemari pendingin terhadap kadar protein pada dadih kerbau dengan metoda Kjeldahl sehingga dapat diketahui perubahan kuantitas protein dadih tersebut. Metoda Kjeldahl merupakan metoda yang umum digunakan untuk menentukan kadar

53

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


protein pada makanan (Detama, A. D., 2004). METODE PENELITIAN Bahan Susu kerbau diambil dari tempat pemerahan susu di daerah Air Dingin Solok pada satu ekor kerbau, campuran selenium (serbuk SeO2 , K2SO4, CuSO45H2O), indikator campuran (larutan bromocresol green, larutan merah metil, alkohol), asam borat (H3BO3), asam klorida p.a (Merck), NaOH, aquadest. fenolftalein, natrium tetraborat (Na2B4O7), CuSO4, pereaksi ninhidrin, asam nitrat pekat (HNO3) dan asam sulfat (H2SO4). Alat Labu Kjeldhal 100 ml, seperangkat alat destilasi, pemanas listrik atau pembakar, neraca analitik, gelas ukur, pipet gondok, seperangkat alat titrasi dan mikroburet, erlenmeyer 250 ml, spatel, tabung bambu dengan panjang 20 cm dan daun pisang. Pengolahan sampel Sampel A susu kerbau segar diperiksa kadar proteinnya, kemudian dimasukkan ke dalam 2 buah tabung bambu (tabung B dan tabung C) masingmasingnya 250 ml. Kemudian dibiarkan selama 2 x 24 jam sampai menjadi dadih. Sampel tabung B dadih yang disimpan pada suhu kamar dan sampel tabung C dadih yang disimpan pada lemari pendingin. Masing-masing tabung diperiksa kadar proteinnya pada hari ke 2, ke 4 dan ke 6 setelah menjadi dadih. Uji kualitatif dengan menggunakan metoda Biuret, Ninhidrin dan Xanthoprotein Uji kualitatif protein dilakukan pada susu segar dan dadih dengan 54 menggunakan metode Biuret, Ninhidrin dan Xanthoprotein. 1. Metoda Biuret

Disiapkan masing-masing larutan sampel 2 % dalam air. Diambil 1 ml sampel ditambahkan 1 ml NaOH 10%, kemudian ditambahkan beberapa tetes larutan CuSO4 0,1% dikocok. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna ungu (Robinson, T., 1995). 2. Metoda Ninhidrin Disiapkan masing-masing larutan sampel 2 % dalam air. diambil 1 ml sampel tambahkan 1 ml pereaksi Ninhidrin kemudian dipanaskan. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru ( Grinda, A., 1986). 3. Metoda xanthoprotein Disiapkan masing-masing larutan sampel 2 % dalam air. Ambil 1 ml asam nitrat pekat kemudian dipanaskan. Reaksi positif ditunjukan dengan terbentuknya endapan putih yang segera menjadi kuning (Grinda, A., 1986; De Man, J.M., 1999). Uji kuantitatif dengan menggunakan metoda Kjeldahl Cara kerja untuk masing-masing sampel sebagai berikut (SNI 01-2891-1992) : a. Tahap Destruksi Ditimbang sebanyak 0,51 gram sampel dimasukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml, ditambahkan 1 gram campuran selenium dan 12,5 ml H2SO4 pekat. Labu Kjedhal dipanaskan diatas pemanas listrik

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045

mula-mula pada suhu 40oC kemudian suhu dinaikkan secara perlahan-lahan sampai 280oC. Setelah destruksi berlangsung selama 30 menit belum didapatkan cairan hijau jernih, maka ditambahkan H2O2 30% sebanyak 2 tetes destruksi dilanjutkan sampai didapat cairan jernih kehijauhijauan. Destruksi disini berlangsung selama 2 jam. Hasil akhir destruksi didinginkan kemudian encerkan dan masukkan ke dalam labu ukur 250 ml, tepatkan sampai tanda batas. b. Tahap Destilasi Larutan hasil destruksi dipipet 50 ml dimasukkan kedalam labu destilasi, kemudian ditambahkan 30 ml NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP. Kemudian sulingkan selama lebih kurang 10 menit, sebagai penampung gunakan 25 ml asam borat 2% yang telah ditetesi indikator campuran. Labu destilasi dipasang dan dihubungkan dengan kondensor dan ujung kondensor harus terbenam dalam cairan

penampung. Di dalam kondensor uap akan mengalir menuju penampung. Penyulingan diakhiri jika hasil destilasi sudah tak bersifat basa lagi. Diperiksa dengan kertas lakmus, Ujung kondensor dibilas dengan aquadest. Destilasi ini dilakukan sebanyak 3 x pengulangan. c. Tahap Titrasi Hasil destilasi dipindahkan dalam erlemeyer. Kemudian lakukan titrasi dengan HCl 0,1 N menggunakan mikroburet. Titik akhir ditandai dengan perubahan warna hijau menjadi merah muda. Untuk blangko dilakukan dengan cara yang sama, dimana sampel diganti dengan aquadest. Pengolahan Data Penentuan kadar protein dapat dihitung setelah diketahui persentase kadar nitrogen yang terdapat dalam sampel dan dikalikan dengan faktor konversi: (SNI 01-2891-1992).

%N % protein Keterangan : V1 V2 N W Fp = = = = =

(V1 - V2) x N x 0,014 x fp x 100 W = % N x faktor 6,38


=

Volume HCL 0,1 N untuk titrasi larutan sampel (ml) Volume HCL 0,1 N untuk titrasi larutan Blangko (ml) Normalitas HCL Bobot sampel ( gram ) Faktor pengenceran ( 5 kali )

55

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji kualitatif dari susu segar dan dadih dengan menggunakan metode Biuret, Ninhidrin dan Xanthoprotein menunjukkan hasil bahwa pada susu segar dan dadih terdapat protein. Hasil uji kualitatif dapat dilihat pada tabel1.

Tabel I. Uji Kualitatif Sampel Susu Segar dan Dadih


Sampel Susu segar Metoda Biuret Xantoprotein Ninhidrin Biuret Xantoprotein Ninhidrin Hasil Ungu Endapan putih Biru Ungu Endapan putih Biru Pengamatan Ungu Endapan putih Biru Ungu Endapan putih Biru

Dadih

Penelitian ini menggunakan metoda Kjeldahl karena umumnya metoda ini digunakan untuk penentuan analisis protein pada makanan. Metoda ini mempunyai kelemahan dimana unsur N yang terdapat pada protein juga ikut teranalisis sehingga kadar protein yang diperoleh adalah kadar protein kasar (Crud protein) dan bukan protein murni (Grinda, A., 1986; Anggorodi, 1994). Setelah diketahui persentase nitrogen yang terdapat pada sampel, untuk menentukan kadar protein dikalikan dengan faktor konversi, untuk susu yaitu 6,38 (SNI 01-2891-1992; Sidarmadji, 1984; Anggorodi, 1994). Kadar protein yang diperoleh pada susu segar adalah 4,5079%. Sedangkan kadar protein dadih yang disimpan hari ke 2, 4, 6 pada lemari pendingin dan suhu kamar mengalami penurunan. Hasil persentase kadar protein pada susu segar, dadih yang disimpan pada suhu kamar dan dadih yang disimpan pada lemari pendingin dapat dilihat pada tabel 2, gambar 1 dan gambar 2. Data yang diperoleh juga dilakukan uji statistik dengan anova satu arah dan uji T student. Hasil uji anova satu arah diperoleh nilai P yaitu 0,000 (P<0,05) dengan nilai tersebut terdapat perbedaan yang bermakna kadar protein dadih pada penyimpanan suhu kamar

setelah 2, 4 dan 6 hari demikian juga dengan penyimpanan pada lemari pendingin juga diperoleh nilai P yaitu 0,000 (P<0,05) yang berarti kadar protein dadih yang disimpan selama 2, 4 dan 6 hari berbeda secara bermakna. Pada uji T terdapat perbedaan yang bermakna, kadar protein dadih yang disimpan pada suhu kamar dan lemari pendingin pada penyimpanan setelah 2 hari diperoleh nilai P yaitu 0,048 (P<0,05), penyimpanan setelah 4 hari diperoleh nilai P yaitu 0,007 (P<0,05) dan penyimpanan setelah 6 hari diperoleh nilai P yaitu 0,002 (P <0,05).

56

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Tabel II. Persentase Kadar Protein pada Susu Segar, Dadih yang Disimpan pada Suhu Kamar dan Dadih yang Disimpan pada Lemari Pendingin
Sampel Sampel A susu segar Setelah menjadi dadih Setelah 2 hari pada suhu kamar Setelah 4 hari pada suhu kamar Setelah 6 hari pada suhu kamar Setelah 2 hari pada lemari pendingin Setelah 4 hari pada lemari pendingin Setelah 6 hari pada lemari pendingin Berat Sampel (gr) 0,5829 0,6019 0,5914 0,5608 0,5797 0,6603 0,5885 0,6190 %N 0,7065 0,6699 0,6150 0,5408 0,468 0,6331 05888 0,5358 % Protein 4,5079 0,0467 4,2741 0,0392 3,9240 0,0610 3,4509 0,0842 2,9858 0,0939 4,0391 0,0357 3,7562 0,0613 3,4188 0,0581

Kadar Protein (%)

4 3 2 1 0 0 hari 2 hari 4 hari 6 hari

Lama Penyimpanan Dadih

Gambar 1. Grafik kadar protein pada dadih yang simpan pada suhu kamar

Gambar 2. Grafik kadar protein pada dadih yang disimpan dalam lemari pendingin

57

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045

Dari data dan grafik yang didapat terlihat jelas bahwa semakin lama penyimpanan maka kadar protein semakin menurun. Penurunan kadar protein ini terjadi karena selama proses fermentasi, bakteri asam laktat, lactobacillus, streptococcus dan lactococus aktif melakukan proses proteolitik dan lepolitik menjadi substansi yang bisa dimanfaatkan oleh bakteri misalnya energi, pada mekanisme perubahan tersebut biasanya akan menghasilkan air dan secara otomatis konsentrasi protein dalam produk fermentasi akan menurun (Bucle etal, 1987). Pada data yang didapat terlihat bahwa susu segar kerbau mempunyai kadar proteinnya lebih tinggi dari pada dadih. Tetapi pada kenyataannya orang lebih banyak mengkonsumsi dadih dari pada susu segarnya disebabkan karena aroma susu yang khas dapat menimbulkan rasa mual maka perlu dibuat susu fermentasi sehingga terjadi perubahan fisik dan kimiawi susu. Tidak semuanya orang dapat mencerna susu dengan baik karena gangguan pencernaan yang timbul setelah mengkonsumsi susu karena tidak terpecahnya laktosa (gula susu) menjadi komponen-komponen sederhana yang dapat diserap oleh tubuh yaitu monosakarida, glukosa dan galaktosa (Sisriyenni, dan Zurriyati., 2004). KESIMPULAN DAN SARAN Kadar protein dadih sangat dipengaruhi oleh lama dan tempat penyimpanan. Semakin lama waktu penyimpanan maka kadar protein pun semakin menurun. Dadih yang disimpan pada lemari pendingin lebih tinggi kadar proteinnya dari pada dadih yang disimpan pada suhu kamar, hal ini disebabkan karena dadih pada suhu kamar mudah terkontaminasi dengan mikroorganisme lain selain bakteri penghasil asam laktat sehingga dapat mempengaruhi kadar protein. 58

DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S., 2001, Prinsip Dasar Ilmu Gizi , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Anggorodi, 1994, Ilmu Makanan Ternak Umum, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarata. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M Wooton, 1987, Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta. De Man, J. M., 1999, Kimia Makanan, Ed. II, Penerbit ITB, Bandung. Detama, A. D., 2004, Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi, Jilid I, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta. Grindra, A., 1986, Biokimia I , Penerbit PT. Gramedia, Jakarta. Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Ed.VI, Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung. Sisriyenni, D, Zurriyati, Y., 2004, Kajian kualitas dadih susu kerbau didalam tabung bambu dan tabung plastik, Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol 2, No 2. SNI 01-2891-1992, Cara Uji Makanan dan Minuman, Pusat Standarisasi Industri, Departemen Perindustrian. Sudarmadji, 1984, Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian, Penerbit Liberty, Yogyakarta. Sugianto, 2006, Susu Kerbau Fermentasi Mampu Menurunkan Kolesterol, Artikel, litbang deptan. Susilorini, T. E., M. E. Sawitri, Muharlien, 2008., Budi Daya 22 Ternak Potensial, Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. Usman, 2007, Pengolahan Dadih Sebagai Makanan Probiotik Spesifik Sumatera Barat, Jurnal Natur, Vol 5, No 2.

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


PENGARUH PERBANDINGAN ETANOL:AIR SEBAGAI PELARUT EKSTRAKSI TERHADAP PEROLEHAN KADAR FENOLAT DAN DAYA ANTIOKSIDAN HERBA MENIRAN (Phyllanthus niruri L.)
1

B.A. Martinus1 , Harrizul RivaI2 STIFI Perintis Padang, 2 Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang

ABSTRAK Effect of ethanol:water ratio as extraction solvent on obtaining of extractive material, phenolic content and antioxidant activity in Phyllanthus niruri L. herbs have been investigated. The ethanol:water ratio tested were 100:0, 80:20, 70:30, 60:40 and 50:50. Results revealed that ethanol:water ratio gave significant effect on extracted material, phenolic content and antioxidant activity (p<0,05). Among the ethanol:water ratio tested, the best result was obtained by ethanol:water ratio 60:40 as extraction solvent for Pyhllanthus niruri L. herbs to obtain phenolic compound which has antioxidant activity. Keywords : Phyllanthus niruri L., antioxidant, extraction, phenolic PENDAHULUAN Pengembangan bahan obat alam meliputi pengembangan budidayanya sehingga menghasilkan simplisia dengan kualitas yang unggul serta pengembangan cara produksi dan bentuk-bentuk sediaan dari obat-obat tradisional. Obat-obatan yang terbuat dari bahan alam dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu adalah ramuan tradisional yang belum teruji secara klinis, sedangkan obat herbal yang terstandar adalah yang sudah lulus uji pra klinis. Sementara fitofarmaka adalah suatu sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi. Salah satu bahan baku simplisia yang akan dipakai untuk membuat fitofarmaka ini adalah herba meniran (Phyllanthus niruri L.) (Nurkhasana, 2006). Herba meniran mengandung senyawa flavonoid (quarcetin, quercitrin, isoquercitin, astragalin, rutine, physetinglucosid), lignan (phyllanthine, hypophyllanthine, phyltetralin, lintretalin, nirathin, nitretalin, nirphylline, niruri, niruriside), alkaloid (norsecurinine, etnosecurinina, 4-metoxy-norsecurinine, hyllochrysine), terpen (cymene, limonene, lupeol), damar, tanin, dan mineral terutama kalium (Joshi, 1986; Satyanarayana, 1988; Than, 2005). Herba meniran berkhasiat membersihkan hati, anti radang, pereda demam, peluruh kencing, peluruh dahak, peluruh haid, menerangkan penglihatan dan penambah nafsu makan (Heyne, 1987).

59

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


METODE PENELITIAN Alat alat Alat yang digunakan adalah Rotary Evaporator (RVO6-ML kika werke), corong, spatel, cawan penguap, timbangan digital analitik (Denver Instrument Company), aluminium foil, labu ukur, gelas ukur, erlenmeyer, batang pengaduk, pipet gondok, pipet mikro, beaker glass, spektrofotometer UV-Visible mini 1240 (Shimadzu), Blender, Kertas saring Whatman No.1. Bahan bahan Bahan yang digunakan adalah tanaman herba meniran (Pyllanthus niruri L.), aquadest, metanol p.a (Merck), etanol p.a (Merck), reagen Fenol folin-Ciocalteu (Merck), Natrium Carbonat (Merck), asam galat, DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl) p.a (Merck). Pengambilan sampel
% Ekstraktif = Berat Ekstrak x 100%

sekali diaduk, maserat dipisahkan dan sisanya dimaserasi lagi beberapa kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama, sampai cairan terakhir tidak berwarna. Semua maserat dikumpulkan, diamkan selama dua hari, diendaptuangkan, cairan atas diambil kemudian diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 40 0C dan ditimbang, sebelum dianalisa ekstrak dilarutkan dengan campuran etanol dan air suling sama banyak (1:1) dalam labu ukur 50 mL (Harbone, 1978, Badan Pengawasan Obat, 2004). Penentuan Kadar Ekstraktif Larutan Sampel Dari larutan sampel dipipet sebanyak 10 mL, masukkan dalam cawan penguap yang sudah ditara. Uapkan larutan sampel di water bath, kemudian keringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 1 jam kemudian setelah dingin ditimbang. Hitung kadar ekstraktif sampel. Berat Sampel Pembuatan Reagen a. Larutan Natrium Karbonat 1 M (Mosquera, 2007) Ditimbang 5,3 g Na2CO3 dilarutkan dalam aquadest sampai 50 mL, aduk hingga homogen. b. Larutan DPPH (1,1-diphenyl-2picrylhydrazyl) 35 g/mL (Keinanen, 1996) Ditimbang 10 mg DPPH masukkan dalam labu ukur 100 mL, lalu ditambahkan metanol sampai tanda batas kemudian dipipet 17,5 mL larutan DPPH dimasukkan dalam labu ukur 50 mL, lalu tambahkan metanol sampai

Sampel diambil di sepanjang jalan Bypass Padang, sampel yang akan dianalisa adalah bagian tumbuhan meniran yang berada di atas tanah (Pyhlanthus niruri L.), dibersihkan kemudian dikeringanginkan sampai kering kemudian diserbuk. Identifikasi Sampel Identifikasi sampel dilakukan di Herbarium Universitas Andalas (ANDA) dengan nomor koleksi FT-001. Pembuatan Ekstrak Sampel herba meniran (5 g) yang telah diserbuk direndam dengan 50 mL etanol-air dengan perbandingan 100:0, 80:20, 70:30, 60:40, 50:50, biarkan selama 24 jam, dalam botol meserasi yang berwarna gelap, sambil sekali-

60

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


tanda batas sehingga diperoleh larutan konsentrasi 35 g/mL. c. Larutan asam galat 5 mg/mL (Sigma, 2005) Ditimbang 0,125 g asam galat dimasukkan dalam labu ukur 25 mL, ditambahkan 2,5 mL etanol 96% lalu ditambahkan dengan air suling sampai tanda batas. Penentuan Kadar Senyawa Fenolat Dengan Metoda Folin-Ciocalteu (Mosquera, 2007, Pourmorad, 2006) a. Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum Asam Galat. Larutan induk asam galat (5 mg/mL) dipipet sebanyak 1 ml ke dalam labu ukur 50 mL lalu diencerkan dengan campuran metanol dan air suling (1:1) sampai tanda batas. Kemudian dipipet 0,5 mL dan dimasukkan ke dalam vial, tambahkan 5 mL reagen fenol FolinCiocalteu yang telah diencerkan dalam air suling 1:10 dan ditambahkan 4 mL natrium karbonat 1 M, kocok homogen. Didiamkan selama 15 menit, kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 400-800 nm dengan spektrofotometer UV-Visebel. b. Pembuatan Asam Galat Kurva Kalibrasi diukur serapan dengan spektrofotometer UV-Visibel dan dibuat kurva kalibrasi sehingga persamaan regresi liniernya dapat dihitung. Penentuan Kadar Senyawa Fenolat Total Dengan Metoda Folin-Ciocalteu Larutan sampel dipipet 0,5 mL dan diencerkan dengan etanol:air suling (1:1) dalam labu ukur 25 mL sampai tanda batas. Dipipet 0,5 mL ekstrak herba meniran kemudian dimasukkan kedalam vial, kemudian ditambahkan 5 mL pereaksi Folin-Ciocalteu yang sudah diencerkan 1:10 dengan aquadest dan 4 ml larutan natrium karbonat 1M, dibiarkan selama 15 menit, diukur serapan maksimum pada panjang gelombang maksimum dengan spektorfotometer UV-Visibel yang akan memberikan komplek warna biru, dilakukan 3x pengulangan sehingga kadar fenolat yang didapat ekivalen dengan mg asam galat /g berat ekstrak kental herba meniran. Uji Aktivitas Antioksidan Sampel dengan Metoda DPPH (Mosquera, 2007,Pourmorad, 2006) a. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum DPPH

Dari larutan induk asam galat dipipet 0,25; 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 mL, diencerkan dengan campuran metanol:aquadest (1:1) dalam labu ukur 50 mL sampai tanda batas sehingga didapatkan konsentrasi 25, 50, 75, 100 dan 125 g/mL asam galat. Masingmasing konsentrasi larutan dipipet 0,5 mL kemudian dicampur dengan 5 mL pereaksi Folin-Ciocalteu yang sudah diencerkan 1:10 dengan aquadest, ditambahkan 4 mL larutan natrium karbonat 1 M biarkan selama 15 menit,

Sebanyak 4 mL larutan DPPH 35 g/mL dipipet, masukkan dalam vial dan ditambahkan 2 mL campuran air suling dan metanol (1:1), biarkan selama 30 menit ditempat yang gelap. Serapan larutan diukur dengan spektrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang 400-800 nm. b. Pemeriksaan IC50 Larutan Sampel Dibuat konsentrasi 40; Masing-masing ke dalam vial larutan DPPH larutan sampel dengan 50; 60; 70; 80 mg/mL. dipipet sebanyak 2 mL lalu tambahkan 4 mL 35 g/mL. Campuran

61

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


dihomogenkan dibiarkan selama 30 menit di tempat gelap. Serapan larutan diukur dengan spektrofotometer UV Visible pada panjang gelombang maksimun. Hitung % inhibisi dengan menggunakan rumus :

% inhibisi

Abs. kontrol Abs. sampel x 100% Abs. kontrol

Keterangan : Abs Kontrol : Serapan larutan radikal DPPH dengan metanol-air (tanpa ekstrak) pada panjang gelombang maksimum. Abs Sampel : Serapan sampel ditambah DPPH dikurangi dengan serapan sampel blanko (sampel+metanol-air) tanpa DPPH pada panjang gelombang maksimum. Lalu dibuat kurva antara konsentrasi larutan sampel dan % inhibisi, sehingga diperoleh persamaan regresi liniernya. IC50 larutan sampel adalah konsentrasi larutan sampel yang memberikan inhibisi sebesar 50% yang dapat dihitung menggunakan persamaan regresi linier yang telah diperoleh. a. Penentuan IC50 Larutan Pembanding Asam Galat Dibuat larutan pembanding asam galat dengan konsentrasi 1, 2, 3, 4, dan 5 g/mL dengan cara memipet 0,01; 0,02; 0,03; 0,04 dan 0,05 mL larutan induk asam galat (5 mg/mL) yang kemudian dilarutkan dengan campuran metanol dan air (1:1) dalam labu ukur 50 mL sampai tanda batas. Sebanyak 2 mL masing-masing dipipet dan dimasukkan ke dalam vial lalu tambahkan 4 ml larutan DPPH 35 g/mL. Campuran dihomogenkan dibiarkan selama 30 menit di tempat gelap. Serapan larutan diukur dengan spektrofotometer UV Visible pada panjang gelombang maksimun. Persentase inhibisi masingmasing dihitiung lalu buat kurva antara konsentrasi larutan pembanding asam galat dan % inhibisi sehingga diperoleh persamaan regresi liniernya. IC50 asam galat adalah kosentrasi larutan pembanding asam galat yang memberikan inhibisi sebesar 50% yang dapat dihitung menggunakan persamaan regresi linier yang telah diperoleh. Pengolahan Data Secara Anova satu arah Data hasil penelitian akan diuji secara statistik menggunakan Analisa Variansi (Anova) satu arah. Kadar fenolat total yang diperoleh dari beberapa konsentrasi pelarut ekstraksi etanol diuji dengan Analisa Variasi (Anova) satu arah.

62

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


HASIL DAN PEMBAHASAN Pada perhitungan ekstraktif dari sampel herba didapatkan ekstrak dengan terbesar dari perbandingan etanol:air (60:40) yaitu sebesar seperti terlihat pada tabel I. kadar meniran jumlah pelarut 16,54%, antioksidan biasanya adalah asam fenolat dan flavonoid. seperti

Untuk menentukan kadar fenolat total, terlebih dahulu dibuat kurva kalibrasi dari sederet konsentrasi standar asam galat, dimana persamaan regeresi linear yang didapat adalah y = 0,0158 + 0,006384x dengan koefisien korelasi 0,997. Total fenolat dari sampel dinyatakan sebagai kesetaraan dengan mg asam galat per gram sampel kering. Jumlah total fenolat dari tiap sampel bervariasi dengan kadar tertinggi diperolah pada perbandingan pelarut etanol:air (60:40), dapat dilihat pada tabel I. Data ini menunjukkan bahwa pelarut pengekstraksi dengan sistem perbandingan tersebut kemungkinan paling tepat untuk herba meniran.. Tabel I. Persentatse Kadar Ekstraktif dan Fenolat Total Herba Meniran
Perbandingan pelarut 100:0 80:28 70:30 60:40 50:50 % Kadar ekstraktif ( x SD, n = 3) 8,200,213 12,010,122 15,040,161 16,540,205 9,40,170 Kadar fenolat total ( x SD, n = 3) 38,6540,666 51,7330,588 53,5610,120 55,2580,090 37,1400,477

Metoda yang digunakan untuk penentuan aktifitas antioksidan adalah dengfan penagkapan radikal DPPH. Daya antioksidan dapat ditentukan dari nilai IC50 yaitu konsentrasi senyawa antioksidan yang memberikan inhibisi terhadap radikal DPPH sebesar 50%. Nilai IC50 yang semakin rendah menunjukkan daya antioksidan yang semakin kuat. Nilai IC50 terendah didapatkan dari perbandingan pelarut (60:40) sepeti terlihat pada tabel II. Sampel dengan pelarut pengekstraksi ini memperlihatkan suatu korelasi dimana kadar fenolat total tertinggi memberikan daya antioksidan yang paling kuat. Tabel II. Hasil Penentuan IC50 sampel herba meniran
No 1 2 3 4 5 Perbandingan pelarut 100:0 80:28 70:30 60:40 50:50 IC50 (mg/ml) 50,17 46,44 43,82 42,65 51,21

No 1 2 3 4 5

KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa pemakaian pelarut dengan berbagai perbandingan dapat mempengaruhi perolehan kadar ekstraktif, kadar fenolat total dan aktifitas antioksidan dari herba meniran. Perbandingan pelarut etanol:air sebagai pengekstraksi yang paling baik untuk sampel herba meniran adalah 60:40.

Aktifitas antioksidan yang berasal dari tanaman seringkali dihubungkan dengan kandungan fenolat totalnya. Senyawa-senyawa fenolat telah dilaporkan memiliki aktifitas antioksidan karena sifat redoksnya. Tipe senyawa fenolat yang memiliki aktifitas

DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan, 2004, Monografi Ekstrak Tumbuhan

63

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045


Obat Indonesia. Badan POM Republik Indonesia, Hal 86-89, 2004 Harbone, J. B., 1978, Metoda Fitokimia: Penuntun Cara Menganalisis Tumbuhan, Terbitan kedua, Diterjemahkan oleh K.Padmawinata dan I.Soediro, ITB, Bandung. Heyne, K., 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia, jilid II, cetakan ke-1, Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. Joshi, B., H. Dilip, S. Gawad and W. Pelletier, 1986, Isolation and Structure (x-ray analysis) of Entnorsecurinine, an alkaloid from Phyllanthus niruri, Journal of Natural Products, Vol. 49, no. 4, pp. 614-620. Keinanen, M. and R. J. Titto, 1996, Effect of Sampel Preparation Method on Birch (Betula Pendula Roth) Leaft Phenolics, J. Agric. Food Chem, 44:2724-2727, Finland. Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, Kriteria dan Tatalaksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka, No: HK.00.05.41.1384, Jakarta Mosquera M.O, Yaned M Correa, Diana C Buitrago and Jaime Nino, 2007, Antioxidant Activity of Twenty five Plants from Colombian Biodiversity. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, vol 102(5) : 631-634. Nurkhasanah, 2006, Bahan Obat Alam Sumber Pendapatan Pembangunan. Prosiding Persidangan Antarabangsa Pembangunan Aceh, Hal 82. UKM Bangi. 26-27. Pourmorad, F. S. J., 2006, Hosseinimerh and N.Shahabimajd, Antioxidant Activity, Phenol and Flavonoid contents of some selected Iranian medical plants. African Journal of Biotechnology, vol. 5 (11), pp, 1142-1145. Sigma-Aldrich, Folin&Ciocalteus Phenol Reagent, Sigma Prod No F-9252, diambil dari http://www.Sigma aldrich.com, diakses : tgl 5 Februari 2005 Than N. N., S. Fosto, B. Poeggeler, R. Hardeland, and H. Laatsch, 2005, Niruriflavone, a new antioxidant Flavone Sulfonic Acid from Phyllanthus niruri, Z. Naturforsch. 61b, 1-4 (2006); received November 2.

64

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045

Petunjuk Penulisan Pada Jurnal Scientia


1. Naskah berupa hasil penelitian atau karya ilmiah dari bidang Ilmu Farmasi dan Kesehatan, baik berupa review maupun sintesis. Naskah belum pernah dan tidak akan pernah dipublikasikan pada media lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bila naskah dalam bahasa Inggris, maka abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia, sebaliknya bila naskah dalam bahasa Indonesia, maka abstrak ditulis dalam bahasa Inggris. 3. Naskah diketik menggunakan komputer, dengan jumlah halaman maksimal 10 halaman kertas ukuran kuarto (A4) dengan spasi ganda. Abstrak tidak lebih dari 250 kata yang diketik dengan jarak 1 spasi. Naskah 1 rangkap beserta softcopy (dalam bentuk CD) dikirim ke redaksi. 4. Sistematika penulisan disusun sebagai berikut : a. Judul, nama lengkap penulis dan lembaga b. Abstrak c. Pendahuluan : berisi latar belakang masalah, ditambah literatur pendukung yang relevan d. Metoda Penelitian e. Hasil dan Pembahasan f. Kesimpulan atau saran g. Daftar Pustaka (kutipan dari buku dengan susunan : nama penulis, tahun, judul buku (tulis miring), penerbit, kota terbit; kutipan dari jurnal dengan susunan : nama penulis, tahun, judul artikel, judul jurnal (ditulis miring), volume, nomor halaman) 5. Tabel dan gambar harus diberi judul dan keterangan yang jelas 6. Redaksi berhak merubah naskah tanpa mengurangi isi dan maksud naskah 7. Redaksi berhak menolak naskah yang kurang layak untuk dipublikasikan. Naskah akan dikembalikan jika dilengkapi perangko secukupnya 8. Nama penulis ditulis lengkap dengan gelar dan lembaga/instansi tempat penulis bekerja 9. Pada bagian akhir naskah dicantumkan riwayat hidup penulis 10. Naskah & softcopy dapat dikirimkan ke : Alamat : Jl. Adinegoro/Simp. Kalumpang Km. 17 Lubuk Buaya Padang-25173 e-mail : stifi_perintis@yahoo.co.id (khusus softcopy)

Anda mungkin juga menyukai