Anda di halaman 1dari 4

1.

Apakah Kurikulum PAI (Standar Isi) di SMP/MTs dan SMA/MA terjadi tumpang tindih dilihat dari segi isi (materi) kurikulum, mengapa ? Sekalipun mungkin tidak begitu banyak, namun terdapat beberapa Standar Kompetensi yang nampak tumpang tindih atau kurang begitu sistematis, terutama bila dipandang dari kontinuitas antar jenjang pendidikan. Sebagai contoh : Rumusan SKL mata pelajaran PAI pada aspek al-Quran-Hadits lebih menonjolkan aspek aluran dan mengabaikan hadits, padahal di dalam SK dan KD terdapat pelajaran hadits terutama pada kelas IX semester 1 dan 2 di SMP/MTs. Sedangkan di SD/MI dan SMA/MA sama sekali tidak menyinggung pelajaran hadits. Ini menunjukkan bahwa tidak ada sinkronisasi antara SKL dengan SK dan KD. 2. Jelaskan ! Apakah Kurikulum PAI sudah menunjukkan keberhasilannya ? Dengan terlebih dahulu anda buat ukuran keberhasilannya ? Suatu kurikulum merupakan sejumlah materi yang diorganisir untuk mencapai sesuatu tujuan pendiidikan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu untuk mengukur keberhasilan suatu kurikulum dapat dilihat dari dua cara pandang, yakni : a. Secara luas dapat diukur oleh tingkat produktivitasnya dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, yang di dalam tercakup masalah efektivitas, efisiensi dan kualitas pendidikan. b. Secara khusus dapat diukur dari sejauhmana ketercapaian sejumlah kompetensi oleh siswa melalui proses pembelajaran, sehingga benar-benar menghasilkan out-put (lulusan) dan out-come yang sesuai dengan harapan. Berdasarkan kedua tolak ukur tersebut, maka sudah jelas bahwa Kurikulum PAI belum mencapai tingkat keberhasilan yang menggembirakan. Hal ini bisa kita lihat dari kondisi objektif yang ada berdasarkan tolak ukur di atas. 3. Kendala dan keuslitan apa yang paling menonjol dalam pelaksanaan Kurikulum PAI di sekolah, baik di sekolah umum maupun di sekolah umum bercirikan Islam atau madrasah, mengapa ? Berdasarkan kurikulum 2004 terdapat beberapa faktor yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kurikulum, yaitu : a. Bahasa Pengantar b. Intrakurikuler c. Ekstrakurikuler d. Remedial, pengayaan, akselerasi e. Bimbingan & Konseling f. Nilai-nilai Pancasila g. Budi Pekerti h. Tenaga Kependidikan i. Sumber dan Sarana Belajar j. Tahap Pelaksanaan k. Pengembangan Silabus l. Pengelolaan Kurikulum

Dari beberapa faktor tersebut, maka kendala atau kesulitan yang paling menonjol lebih terletak pada hal ihwal yang berkaitan dengan faktor rendahnya kualitas dan kuantitas tenaga kependidikan serta kurangnya sumber dan sarana pembelajaran. 4. Apakah anda melihat stndar isi PAI di sekolah maupun madrasah yang dibuat oleh pemerintah sudah sesuai dengan kebutuhan dan psikologis siswa ? Terdapat beberapa standar kompetensi atau materi yang kurang relevan dengan kebutuhan dan psikologis siswa. Misalnya dilihat dari aspek psikologi agama, bahwa siswa SMP/MTs memasuki usia 13-15 tahun, sehingga mereka akan terkena kewajiban untuk menjalankan ibadah shalat (mukallaf). Pada periode ini mereka membutuhkan pemahaman al-Quran baik dari segi arti lafdziyah (tekstual) maupun menangkap kandungan makna dan mengaitkannya dengan fenomena (alam, sosial, budaya, politik, ekonomi dan lainlainnya), sehingga dapat menambah kekhusyuan dalam beribadah dan mampu membangun kesadaran beragama (religious conciousness) anak. Al-Qur;an dengan demikian benar-benar menjadi hudan (petunjuk dalam kehidupan), furqan (pembeda antara yang haq dan bathil, antara yang benar dan salah, dan antara yang baik dan buruk), syifa ma fi ash-shudur (obat kejiwaan manusia). 5. Menurut anda, dari hasil observasi anda di sekolah atau amdrasah, guru agama sudah melaksanakan evaluasi terpadu untuk mata pelajaran PAI ? Berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya, bahwa pada umumnya guru agama belum mampu melaksanakan evaluasi terpadu untuk mata pelajaran PAI. Hal dikarenakan dikarenakan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi keterlaksanaannya, dimulai dari kualitas guru itu sendiri dan pihak lain yang terkait yang belum sinergis, serta faktor-faktor lain seperti keterbatasan waktu, fasilitas dan anggaran yang tersedia.

Drs. H. Rahmat Raharjo, M.Ag, (53) mengatakann otonomi pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah-sekolah menengah atas, dengan memberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Para Guru PAI hanya mengadopsi contoh yang disusun BNSP. Pengembangan silabus sendiri masih bersifat hanya untuk memenuhi tuntutan administrasi, belum mampu mendorong terwujudnya kurikulum yang kontekstual pada setiap sekolah karena tidak adanya kesiapan yang matang dari sekolah-sekolah dan belum intensifnya bimbingan maupun pendampingan dari dinas terkait. Hal ini disebabkan keterbatasan kreatifitas SDM Guru PAI dalam mengembangkan pola-pola pembelajaran . Padahal pemberlakuan kurikulum KTSP telah diawali dengan uji coba yang intensif dan memadukannya dengan kurikulum berbasis kompetensi. Demikian antara lain kesimpulan yang disampaikan Pengawas Pendidikan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Kebumen, setelah melakukan penelitian di tiga sekolah di Kabupaten Purworejo. Hasil penelitian itu dituangkan Rahmat dalam disertasinya untuk memperoleh gelar Doktor bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, bertempat di ruang Promosi Kampus setempat, Senin, 5 Oktober 2009. Hasil penelitiannya yang berjudul ?Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam pada SMA di Kabupaten Purworejo? dipertahankan dihadapan Promotor Prof. Dr. H. Machasin, M.A. dan Prof. H. Suyata, Ph.D, dan tim penguji Prof. Dr. Sutrisno, M.Ag., Prof. Dr. Anik Ghufron, M.Pd., Dr. H. Tasman Hamami, M.A., dan M. Agus Nuryanto, M.A., Ph.D. Sidang promosi dipimpin Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah dengan sekretaris Dr. H. Sukamto, MA. Lebih lanjut Bapak kelahiran Purworejo ini menjelaskan berdasarkan hasil penelitiannya, guru-guru PAI terlihat belum siap mengembangkan kurikulum secara mandiri. Guru-guru masih terkungkung dengan pola lama. Dan merasa takut salah dengan apa yang dilakukan. Secara psikologis, kebebasan guru terbelenggu karena telah lama dicengkram sistem pembelajaran yang sentralistik. Kondisi ini diperparah dengan fungsi Kepala Sekolah yang belum mampu mendorong kreatifitas guru untuk mengembangkan kurikulum, serta fungsi waspenda Islam yang semestinya menjadi pembimbing, pendamping, dan tempat bertanya para Guru PAI ternyata belum memahami juga permasalahan kurikulum KTSP. Menurut promovendus hasil penelitian disertasinya juga menunjukkan adanya hubungan yang positif antara kemampuan dan kreatifitas guru PAI dalam mengembangkan kurikulum dengan pelaksanaan pembelajaran dan penilaian hasil belajar. Adanya hubungan yang positif juga antara kemampuan mengembangkan kurikulum secara kontekstual dengan kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran yang mendidik. Kemampuan membangun kurikulum secara kontekstual tidak dapat diabaikan bagi keberhasilan pembelajaran PAI. Maka, untuk mengefektifkan pelaksanaan kurikulum KTSP diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan kreatifitas dan profesionalitas para guru melalui pelatihan-pelatihan. Dan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi para guru untuk mengembangkan kreatifitas dalam melakukan pengajaran. Para guru harus juga mau belajar banyak dan memperluas pemahamannya tentang materi-materi PAI. Bagi para kepala sekolah diharapkan membenahi lagi persoalan-persoalan yang menyentuh akar permasalahan-permasalahan yang dihadapi para guru dan mengoptimalkan semua sumber daya sekolah. Bagi pengambil kebijakan di bidang pendidikan hendaknya terus-menerus melakukan peningkatan profesionalisme guru,

kepala sekolah, unsur-unsur terkait agar mereka kritis, enerjik, kreatif, berwawasan ke depan, dan mampu menjadi motifator, dan dinamisator pendidikan, demikian harap Bapak tiga putera dari istri Hj. Mugiasri Rahmat. Oleh tim penguji, promovendus dinyatakan lulus dan dirinya merupakan Doktor ke-231 yang telah berhasil diluluskan PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai