Konsep Medistb Paru
Konsep Medistb Paru
KONSEP MEDIS
A.
Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tubeculosis.
B.
Proses Penularan
Tuberkulosis tergolong airborne disease yakni penularan melalui droplet nuclei yang dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi dalam fase aktif. Setiapkali penderita ini batuk dapat mengeluarkan 3000 droplet nuclei. Penularan umumnya terjadi di dalam ruangan dimana droplet nuclei dapat tinggal di udara dalam waktu lebih lama. Di bawah sinar matahari langsung basil tuberkel mati dengan cepat tetapi dalam ruang yang gelap lembab dapat bertahan sampai beberapa jam. Dua faktor penentu keberhasilan pemaparan Tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei dalam udara dan panjang waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi tersebut di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan. Di samping penularan melalui saluran pernapasan (paling
sering), M. tuberculosis juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit (lebih jarang).
C.
Patofisiologi
sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil karena gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di rongga hidung dan dan tidak menyebabkan penyakit (Dannenberg, 1981 dikutip dari Price, 1995). Setelah berada dalam ruang alveolus (biasanya di bagian bawah lobus atas atau di bagian atas lobus bawah) basil tuberkulosis ini membangkitkan reaksi peradangan. Lekosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan mefagosit bakteri tetapi tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama maka lekosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala-gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa menimbulkan kerusakan jaringan paru atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe regional. Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya berlangsung selama 10-20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar limfe regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Kompleks Gohn yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin.
Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali pada bagian lain dari paru atau basil dapat terbawa ke laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau pembuluh darah (limfohematogen). Organisme yang lolos dari kelenjar limfe akan mencapai aliran darah dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain (ekstrapulmoner).
Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi bila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke dalam sistem vaskuler ke organ-organ tubuh.
D.
Gambaran Klinik
Tuberkulosis sering dijuluki the great imitator yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik. Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik: 1. Gejala respiratorik, meliputi:
1.1 Batuk Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan. 1.2 Batuk darah Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah. 1.3 Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain. 1.4 Nyeri dada Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.
2.
2.1 Demam Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influeza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek. 2.2 Gejala sistemik lain Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.
Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
E.
Klasifikasi
Klasifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan untuk menetapkan strategi
terapi. Sesuai dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB Paru dibagi sebagai berikut:
1. -
TB Paru BTA Positif dengan kriteria: Dengan atau tanpa gejala klinik BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali
disokong biakan positif 1 kali atau disokong radiologik positif 1 kali. Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.
2. -
TB Paru BTA Negatif dengan kriteria: Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.
3. -
Bekas TB Paru dengan kriteria: Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru. Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan
serial foto yang tidak berubah. Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).
F.
Terapi
Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga mnecegah kematian, mencegsah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan. Pengobatan tuberkulosis terbagi
menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam Klavulanat, derivat Rifampisin/INH. Cara kerja, potensi dan dosis OAT utama dapat dilihat pada tabel berikut:
Rekomendasi Dosis (mg/kg BB) Obat Anti TB Esensial Minggu 3x x Isoniazid (H) 15 Rifampisin (R) 10 Pirasinamid (Z) 50 Streptomisin (S) 15 Etambutol (E) 45 Bakteriostatik Rendah 15 30 Bakterisidal Rendah 15 15 Bakterisidal Rendah 25 35 Bakterisidal Tinggi 10 10 Bakterisidal Tinggi 5 10 2 Aksi Potensi Per Hari Per
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
1.
2.
langsung sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
3.
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari.
4. cukup.
5.
G.
Komplikasi
Pneumothorax pada Tuberkulosis Paru Pneumothorax adalah keadaan dimana terdapat udara dalam rongga pleura. Normalnya pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara masuk dalam rongga pleura melalui 3 jalan, yakni: 1. Udara atmosfir masuk ke dalam rongga pleura melalui penetrasi di
dinding dada misalnya pada trauma (pneumothorax traumatik). 2. Pembentukan gas oleh mikroorganisme dalam dinding pleura pada
penyakit ifeksi paru (pneumothorax spontan) 3. Pneumothorax artifisial yang sengaja dilakukan melalui tidakan
Penumothorax pada TB paru merupakan pneumothorax spontan yang timbul akibat nekrosis jaringan yang menjalar sampai pinggir jaringan parut parenkim paru, membentuk bulla yang selanjutnya robek ke dalam pleura. Gejala Klinis Pneumothorax: Keluhan dan gejala penumothorax tergantung pada besarnya lesi dan ada tidaknya komplikasi penyakit paru. Gejala bervariasi dari asimtomatik yang hanya dapat dideteksi melalui foto thorax sampai timbulnya gejala utama berupa rasa nyeri tiba-tiba dan bersifat unilateral. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan perkusi yang hipersonor, fremitus melemah sampai menghilang, suara napas melemah sampai menghilang pada sisi yang sakit.
Pada lesi yang lebih besar atau pada tension pneumothorax trakea dan mediastinum dapat terdorong ke sisi kontralateral. Diafragma tertekan ke bawah, pada sisi yang sakit gerakan pernapasan terbatas. Fungsi respirasi menurun sehingga dapat terjadi hipoksemia arterial dan curah jantung menurun.
Di samping berdasarkan gambaran klinis di atas, diagnosis dapat lebih meyakinkan melalui foto thorax dengan tampaknya bayangan udara dari pneumothorax yang berbentuk cembung dan memisahkan pleura parietalis dengan pleura viseralis.
II.
Riwayat
Keperawatan dan Pengkajian Fisik: Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah:
1.
Aktivitas/istirahat:
Gejala:
Kesulitan tidur pada malam hari atau demam pada malam hari,
Mimpi buruk
Tanda:
2.
Sirkulasi
Gejala:
Palpitasi
Tanda:
Takikardia, disritmia
mediastinal
TD: hipertensi/hipotensi
3.
Integritas ego:
Gejala:
Tanda:
4.
Gejala:
Tanda:
5.
Gejala:
Tanda:
6.
Pernapasan:
Gejala:
Napas pendek
Tanda:
darah
Deviasi trakeal
7.
Keamanan:
Gejala:
sekunder.
Tanda:
8.
Interaksi Sosial:
Gejala:
9.
Penyuluhan/pembelajaran:
Gejala:
Riwayat keluarga TB
B.
tabel berikut:
Jenis Pemeriksaan
Interpretasi Hasil Sputum: -Kultur --> Mycobacterium tuberculosis positif pada tahap aktif, penting untuk menetapkan diagnosa pasti dan melakukan uji kepekaan terhadap obat.
Tes Kulit (PPD, Mantoux, Vollmer) --> Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak berarti untuk menunjukkan keaktivan penyakit.
Foto thorax --> Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru, simpanan kalsium lesi sembuh primer, efusi cairan, akumulasi udara, area cavitas, area fibrosa dan penyimpangan struktur mediastinal.
serebrospinal, biopsi kulit) --> Hasil positif dapat menunjukkan serangan ekstrapulmonal
Biopsi jarum pada jaringan paru --> Positif untuk gralunoma TB, adanya giant cell menunjukkan nekrosis.
Darah: -LED --> Indikator stabilitas biologik penderita, respon terhadap pengobatan dan predeksi tingkat penyembuhan. Sering meningkat pada proses aktif.
-Elektrolit --> Hiponatremia dapat terjadi akibat retensi cairan pada TB paru kronis luas.
-Analisa Gas Darah --> Hasil bervariasi tergantung lokasi dan beratnya kerusakan paru
Tes faal paru --> Penurunana kapasitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total, penurunan saturasi oksigen sebagai akibat dari infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyaki pleural
III.
DIAGNOSA KEPERAWATAN 1.
infeksi sekunder (reaktivasi) b/d penurunan imunitas, penurunan kerja silia, stasis sekret, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
2.
3.
Bersihan jalan napas tak efektif b/d sekresi mukus yang kental,
4.
5.
6.
peningkatan status metabolisme (penyakit kronis), kelemahan, dispnea, asupan yang tidak adekuat.
7.
dan perawatan penyakit) b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
infeksi sekunder (reaktivasi) b/d penurunan imunitas, penurunan kerja silia, stasis sekret, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
1.
penyebaran infeksi melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, tertawa.
2.
penularan yang dapat dilakukan klien (Anjurkan klien untuk batuk/bersin dan mengeluarkan sekret pada tisu sekali pakai dan menghindari meludah).
3. karib)
4.
5.
6.
yang diprogramkan.
Fase aktif berakhir 2-3 hari setelah periode kemoterapi awal tetapi
pada caverne atau lesi yang luas risiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
7.
4.2
1.
2.
akibat stres fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok akibat hipoksia.
3.
Bunyi napas dapat menurun/tak ada pada area kolaps yang meliputi
4.
Ekspansi paru menurun pada area kolaps. Deviasi trakea ke arah sisi
5.
Kaji fremitus.
Suara dan taktil fremitus menurun pada jaringan yang terisi cairan dan
6.
7.
tempat tidur). Balik ke sisi yang sakit dan dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
8.
8.2 Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan.
- Air dalam botol penampung berfungsi sebagai sekat yang mencegah udara atmosfir masuk kedalam pleura.
- Gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan keluarnya udara dari pleura sesuai dengan yang diharapkan. Gelembung biasanya menurun seioring dengan bertambahnya ekspansi paru. Tidak adanya gelembung
udara dapat menunjukkan bahwa ekspansi paru sudah optimal atau tersumbatnya selang drainase.
9.
Setelah WSD dilepas, tutup sisi lubang masuk dengan kasa steril,
observasi tanda yang dapat menunjukkan berulangnya pneumothorax seperti napas pendek, keluhan nyeri.
pneumothorax.
4.3
Bersihan jalan napas tak efektif b/d sekresi mukus yang kental,
1.
akumulasi sekret dan ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot aksesori dan peningkatan kerja pernapasan..
2.
Pengeluaran sulit bila sekret sangat kental (efek infeksi dan hidrasi
yang tidak adekuat). Sputum berdarah bila ada kerusakan (kavitasi) paru atau luka bronkial dan memerlukan intervensi lebih lanjut.
3.
bernapas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.
4.
diindikasikan.
5.
penghisapan (suction)
6.
4.4
1.
dan fibrosis yang luas. Efeknya terhadap pernapasan bervariasi dari gejala ringan , dispnea berat dampai distres pernapasan.
2.
3.
kolaps/penyempitan jalan napas sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan mengurangi napas pendek
4.
5.
6.
4.5
1.
menimbulkan rasa nyeri pada klien serta memastikan funsi drainase berjalan semestinya.
3.
ganti kasa pentup steril setiap hari atau setiap kali bila kotor atau basah.
4.
meninggalkan unit perawatan untuk tujuan pemeriksaan atau terapi (periksa batas cairan dalam botol, ada tidaknya gelembung udara, perlu tidaknya selang diklem sementara).
4.6
peningkatan status metabolisme (penyakit kronis), kelemahan, dispnea, asupan yang tidak adekuat.
1.
Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, dan derajat
penurunan berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual/muntah dan diare.
2.
indikasi)
nutrisi.
3.
(sekali seminggu).
4.
Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa sputum atau obat
5.
Fasilitasi pemberian diet TKTP, berikan dalam porsi kecil tapi sering.
6.
memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori sehuvungan dengan status hipermetabolik klien.
7. Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium khususnya BUN, protein serum dan albumin.
selanjutnya.
4.7
dan perawatan penyakit) b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
1.
2.
mencegah putus berobat karena membaiknya kondisi fisik klien sebelum jadual terapi selesai.
3.
gejala/tanda reaktivasi penyakit (hemoptisis, demam, nyeri dada, kesulitan bernapas, kehilangan pendengaran, vertigo).
4.
mengandung protein dan kalori yang tinggi serta asupan cairan yang cukup setiap hari.
metabolik tubuh. Pendidikan kesehatan tentang hal tersebut meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKACarpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed.6, EGC, Jakarta
Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta
Soedarsono (2000), Tuberkulosis Paru-Aspek Klinis, Diagnosis dan Terapi, Lab. Ilmu Penyakit Paru FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.