Anda di halaman 1dari 6

POLITIK DALAM BUDAYA JAWA

1. Pendahuluan Dengan mengemukakan secara sistematis konsepsi-konsepsi Jawa tradisional dan memperlihatkan kepaduan intinya, cara tersebut diharap dapat menjelaskan bahwa kebudayaan Jawa Tradisional memang mempunyai teori politik yang memberikan penjelasan sistematis dan logis tentang tingkah laku politik. Jadi cara tersebut tidak lain bertujuan untuk mencoba melukiskan kehidupan sosial dan politik ditinjau dari lensa tradisional dan dengan lensa ilmu sosial modern dengan menunjukkan perbedaan-perbedaan eksplisit antara keduanya. 2. Konsep-konsep Tentang Kekuasaan Untuk lebih jelasnya, gagasan Jawa mengenai kekuasaan dapat dibandingkan dengan gagasan milik Eropa modern ke dalam keterangan berikut : Gagasan Politik Jawa Kekuasan itu konkret Kekuasaan itu bersifat homogen Jumlah kekuasaan dalam alam semsta selalu tetap Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan Kekuasan itu abstrak Kekuasaan itu bersifat heterogen Akumulasi kekuasaan tidak ada batas-batasnya yang inhern Kekuasaan berarti ganda dari segi moral

Gagasan Politik Eropa Modern

3. Mencari Kekuasaan Perbedaan dalam mencari kekuasaan di dalam tradisi politik Jawa dengan teori politik Barat yaitu bagaimana cara menghimpun kekuasaan tersebut. Menurut tradisi ortodoks, cara memanjakan diri dengan cara bermati raga. Di samping pandangan ortodoks, juga terdapat pandangan heterodoks. Contohnya yaitu tradisi

Bhairavis (Tantri) ialah mencari kekuasaan melalui hal-hal yang negatif (mabukmabukan, pesta, pembunuhan ritual). Walaupun demikian, tujuan kedua tradisi ini sama, yaitu untuk pemusatan kekuasaan. Cara lain, yakni penguasa harus mengumpulkan di sekeliling dirinya benda atau orang apapun yang dianggap mempunyai atau mengandung kekuasaan. Kalau mereka hilang maka ini dianggap sebagai berkurangnya dan sebagai pertanda kehancuran dinasti yang sedang berkuasa. 4. Pertanda-pertanda Kekuasaan Pertanda yang jelas dari orang yang berkuasa adalah kemampuannya berkonsentrasi, memfokuskan kekuasaan pribadinya sendiri , menyerap kekuasaan dari luar dan memusatkan dalam dirinya hal-hal yang kelihatannya bertentangan. Dalam kategori politik Jawa, hal yang dipikirkan terlebih dahulu yaitu aspek kekuasaan, baru kemudian moralitas, baik dalam pengertian historis maupun analitis. Pertanda-pertanda sosial dari pemusatan kekuasaan adalah kesuburan, kemakmuran, stabilitas sosial dan kemuliaan. 5. Kekuasaan dan Sejarah Sartono mengungkapkan bahwa menurut pandangan perspektif Barat modern, sejarah dipandang sebagai suatu gerakan yang menuruti garis lurus yang mengikuti waktu. Jadi urutan historis yang khas yakni terpencar----terpusat---terpencar----terpusat----terpencar, tanpa ada titik istirahat apapun. Dua sifat psikologi Jawa yang menonjol tetapi terlihat bertentangan yaitu pesimisme, dan pada waktu yang bersamaan terdapat sifat untuk mudah menerima imbauan-imbauan mesianis. 6. Kesatuan dan Pusat Inti masyarakat politik tradisional selamanya adalah di penguasa yang merupakan personifikasi kesatuan lambang kekuasaan, dan kenyataan. 7. Kenaikan dan Penggantian Pengakuan utama atas keabsahan yang dilakukan oleh pendiri suatu dinasti baru, didasarkan atas keberhasilannya dalam menghancurkan pusat kekuasaan yang terdahulu dan kepercayaan bahwa ia telah menerima wahyu ketuhanan. Gagasan masyarakat. Kesatuan itu sendiri adalah

bahwa mani manusia terutama mani seorang penguasa merupakan suatu pemusatan kekuasaan tersendiri dan merupakan alat untuk mewariskannya. Demikian hubungan antara seksualitas dan kekuasaan dalam pemikiran Jawa. 8. Kekuasaan dan Kerajaan Negara secara khas ditentukan bukan oleh batas wilayahnya, melainkan oleh pusatnya. Sifat negara tradisional ditentukan oleh pusatnya, bukan oleh batas pinggirnya. Kerajaan biasanya dianggap tidak memiliki batas-batas yang tetap dan selalu berubah. Ada tiga cara yang mungkin dilakukan dalam menghadapi ancaman dari pemusatan-pemusatan yang dekat, yaitu menghancurkan dan memgobrak-abrik, menyerap atau kombinasi kedua hal itu. 9. Penguasa dan Kelas yang Berkuasa Schrieke telah melukiskan secara terperinci struktur administratif kerajaan Jawa sebelum masa penjajahan, yang sesuai sekali dengan model negara patrimonial yang digambarkan Max Weber. Menurut model ini, pemerintahan pusat pada pokoknya merupakan perluasan rumah tangga dan staf pribadi raja. Para pejabat diberi kedudukan-kedudukan dan keuntungan-keuntungan yang menyertai pangkat, sebagai anugerah raja itu pribadi, dan mereka dapat dipecat atau diturunkan pangkatnya sekehendak hati raja itu. Kasta feodal tersendiri tidak pernah ada. Dalam pemerintahan pusat itu selalu terdapat ketegangan, baik tersembunyi maupun terbuka, antara kelompok keturunan raja, atau keluarga besar raja, dan para ministeriales, yaitu para pejabat tinggi yang berasal dari orang-orang biasa yang telah naik dalam jenjang kekuasaan karena kemampuan administratif dan loyalitas pribadi mereka kepada raja. Dan mereka, para ministeriales sering diberi kedudukan-kedudukan kunci, sehingga merugikan kelompok keturunan raja. Beralih pada penguasa pemerintahan jawa tradisional yang patrimonial menganggap bahwa pegawai adalah kepanjangan pribadi raja, sehingga semakin dekat pegawai dengan raja maka makin mudah untuk mendapatkan kekuasaan. Max Weber dan Schrieke mencatat dari sifat yang amat pribadi pada pemerintahan patrimonial, di mana para pegawai dianggap sebagai kepanjangan pribadi raja sendiri, mengandung arti bahwa dekatnya seseorang dengan raja, dan

bukannya pangkat formal, merupakan kunci bagi kekuasaan di negara seperti itu. Para pejabat (ministeriales) yang berasal dari golongan orang biasa berhasil menanjak melebihi kelompok keturunan raja di bawah pemerintahan raja-raja yang kuat, adalah justru karena mereka dekat dengan raja. 10. Kekuasan dan Etika Kelas penguasa Jawa tradisional, salah satunya golongan priyayi adalah golongan yang dibedakan, membedakan diri malahan dari orang kebanyakan dalam hal perilaku, gaya hidup ataupun nilai yang mereka anut. Sifat pembeda yang ada dalam golongan priyayi yaitu sifat kehalusan. Kehalusan jiwa (penguasaan diri), kehalusan penampilan (tampan dan bercita rasa), kehalusan perilaku. Untuk menjadi halus diperlukan usaha, yaitu pengendalian diri terusterus. Dalam pikiran orang Jawa tradisional sifat halus itu sendiri merupakan tanda kekuasaan karena kehalusan hanya dapat dicapai dengan pemusatan daya. 11. Kekuasaan dan Pengetahuan kehalusan adalah perwujudan kekuasaan. Kehalusan dapat dicapai melalui bertapa dan disiplin batiniah dengan cara-cara yang tidak sembarangan yang didasari dengan pendidikan. Dipandang dari perspektif ini, pengetahuan menjadi kunci kekuasaan. 12. Yang Memerintah dan yang Diperintah Jika kita mengarahkan perhatian kita kepada hubungan-hunbungan di kalangan kelas penguasa itu sendiri, kita temui suatu hal yang menonjol, yaitu tiadanya unsur perjanjian, sebagaimana yang terdapat secara implisit dalam lembaga feodal Eropa yang berbentuk vassalage (sistem dimana penguasa menguasakan wilayah kepada seorang vassal). Tiadanya vassalage ini dapat diterangkan secara empiris dengan kecenderungan-kecenderungan yang bersifat memusat dan struktur keuangan negara patrimonial, yang dikontraskan oleh Weber dengan feodalisme klasik. Dasar kelas priayi yang memerintah bukanlah pemilikan tanah yang berdiri sendiri. Melainkan sistem penjatahan tanah sebagai sumber penghidupan (appanage benefices) seperti yang telah dibicarakan di atas. Dan sebagian dari kebijaksanaan penguasa patrimonial adalah mencegah hak-hak yang seperti itu tidak menjadi turun-temurun yang pada akhirnya menjadi dasar

bagi struktur sosial feodal yang lebih keras dan juga untuk memencarkan jatahjatah tanah (appanage) yang dikaitkan dengan suatu jabatan tertentu, dengan maksud mencegah terjadinya konsolidasi setempat dari kekuatan ekonomi, yang pada akhirnya mungkin menimbulkan suatu jenis tuan tanah yang bebas dan merdeka. Sistem appanage itu sendiri sebenarnya berarti bahwa tanah di seluruh wilayah kerajaan adalah milik raja, dan surplus ekonominya (termasuk tenaga petani yang mengerjakan tanah itu) adalah pemberiannya, yang akan dibagikan menurut kehendak hatinya kepada para pejabat yang dianggapnya pantas menerimanya. 13. Penguasa dan Para Pengkritiknya Di bagian pinggiran masyarakat masih terdapat suatu kaum intelektual yang memainkan peranan khusus. Kaum ini terdiri dari para pertapa dan pendeta. Biasanya mereka menarik diri dari kehidupan berpolitik. Mereka yang bertapanya telah memberikan ngelmu khusus mengenai keadaan batin dunia dan ramalan arus kekuasaan masa depan. Terdapat juga juru ramal yang akan mendiagnosa kemunduran dinasti rajanya. Biasanya Sang Raja murka, lalu menyiksa bahkan membunuh Si Juru Ramal. Malahan ini sebagai pertanda kebobrokan dinasti tersebut. 14. Suatu Catatan Tentang Islam Pada bahwa masuknya Islam, lebih bersifat asimilatif daripada revolusioner, karena Islam masuk ke Jawa itu mengiringi perdagangan, bukan penaklukan, sehingga Islam mudah diterima masyarakat. Dalam proses rasionalisasi religius, banyak unsur tradisional yang dibuang termasuk unsur kesesuaian yang telah berlangsung lama antara Islam dan politik Jawa tradisional. Contohnya tentang kosmologi Islam modernis dengan kosmologi Jawa tradisional mengenai batasan manusia dengan Tuhannya.

Anda mungkin juga menyukai