Anda di halaman 1dari 30

13

LANDASAN TEORI


3.1. Pasang Surut
3.1.1. Analisis Harmonik Pasang Surut
Dalam analisis harmonik pasang surut, diperlukan data hasil pengamatan
pasang surut di lapangan yang dilakukan pada lokasi yang representatif dengan
waktu pengamatan 15 x 24 jam atau 30 x 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan
cara mamasang alat duga muka air (peilschaal) yang dibaca setiap jam. Elevasi hasil
pengamatan muka air selanjutnya diikatkan pada titik referensi yang ada (Bench
Mark, BM). Dimana dari data pasang surut tersebut dapat ditentukan besar
komponen pasang surut atau konstanta harmonik, yaitu besaran amplitudo dan fase
dari tiap komponen pasang surut. Pasang surut di perairan dangkal merupakan
superposisi dari pasang surut yang ditimbulkan oleh faktor astronomi, faktor
meteorologi, dan pengaruh berkurangnya kedalaman perairan. Apabila tanpa
memperhatikan faktor meteorologi, maka elevasi pasang surut merupakan
penjumlahan dari komponen yang membentuknya dapat dinyatakan dalam bentuk
persamaan seperti berikut ini.

) cos(
1
0 i i
f
i
i t
G t A S Z + =

=
e (3.1)

dengan : Z
t
= elevasi pasang surut fungsi dari waktu,
S
0
= duduk tengah atau tinggi muka air rata-rata (mean sea level),
f = jumlah komponen,
A
i
= amplitudo komponen ke-i,

i
= frekuensi sudut komponen ke-i = 2/T
i
,
T
i
= periode komponen ke-i,
t = waktu,
G
i
= beda fase komponen ke-i.

Analisis konstanta harmonik data pasang surut dapat dilakukan dengan
berbagai cara, salah satunya adalah dengan metode Admiralty. Analisa data pasang

14

surut menggunakan metode Admiralty, dilakukan dengan menyusun skema-skema
Admiralty sebagai berikut:
Skema 1
Berisi data pasang surut tiap jam yang telah dikoreksi (dilengkapi) sebanyak 29
piantan (satuan elevasi pasang surut yang digunakan adalah cm). Pada skema ini
ditentukan pula waktu pertengahan pengamatan.
Skema 2
Berisi nilai fungsi-fungsi X
1
, Y
1
, X
2
, Y
2
, X
4
, dan Y
4
yang masing-masing
dikelompokkan berdasarkan tanda positif (+) dan negatif (-). Besarnya nilai
positif (+) dan negatif (-) konstanta diperoleh dengan cara mengalikan data
pengamatan pada saat tertentu (Skema 1) dengan besaran konstanta penyusun
Skema 2.

Tabel 3.1. Konstanta Pengali untuk Memperoleh Skema 2

Sumber : Ongkosongo, 1989
Skema 3
Merupakan penjumlahan dari komponen (+) dan (-) dari Skema 2.
Skema 4
Berisi nilai dari komponen Skema 2 dan Skema 3 yang ditambahkan suffix kedua
berupa 0, 2, b, 3 dan c berdasarkan tabel pembantu untuk menyusun Skema 4.
Seperti tampak pada Tabel 3.2.
Skema 5 dan 6
Skema 5 dan Skema 6 merupakan hasil perkalian matriks antara kolom pertama
skema-skema ini dengan tabel pembantu untuk menyusun Skema 5 dan Skema 6
Admiralty, dimana harga kolom pertama didapatkan dari hasil selisih aljabar
menurut suatu aturan tertentu dari komponen-komponen pada Skema 4.





15

Tabel 3.2. Konstanta Pengali untuk Memperoleh Skema 4
0 2 b 3 c 4 d
Pengali untuk B (29 piantan) -29 -1 0 -1 0 -1 0
Pengali untuk B (15 piantan) -15 1 0 5 0 1 0
1 1 0 -1 1 1 0
1 1 -1 -1 1 1 -1
1 1 -1 1 1 -1 -1
1 1 -1 1 1 -1 -1
1 -1 -1 1 1 -1 1
1 -1 -1 1 -1 1 1
1 -1 -1 1 -1 1 1
1 -1 0 -1 -1 1 0
1 -1 1 -1 -1 1 -1
1 -1 1 -1 -1 -1 -1
1 -1 1 -1 1 -1 -1
1 1 1 -1 1 -1 1
1 1 1 1 1 -1 1
1 1 1 1 1 1 1
1 1 0 1 0 1 0
1 1 -1 1 -1 1 -1
1 1 -1 1 -1 -1 -1
1 1 -1 -1 -1 -1 -1
1 -1 -1 -1 -1 -1 1
1 -1 -1 -1 1 -1 1
1 -1 -1 -1 1 1 1
1 -1 0 -1 1 1 0
1 -1 1 1 1 1 -1
1 -1 1 1 1 1 -1
1 -1 1 1 -1 -1 -1
1 1 1 1 -1 -1 1
1 1 1 1 -1 -1 1
1 1 1 -1 -1 1 1
1 1 1 1 -1 -1 1
1 1 0 -1 -1 1 0
Indeks kedua
K
o
n
s
t
a
n
t
a

u
n
t
u
k

1
5

p
i
a
n
t
a
n
K
o
n
s
t
a
n
t
a

u
n
t
u
k

2
9

p
i
a
n
t
a
n
Waktu menengah

Sumber : Ongkosongo, 1989

Tabel 3.3. Konstanta Pengali untuk Memperoleh Kolom Pertama Skema 5 dan Skema 6
Penggunaan Perhitungan S
0
M
2
S
2
N
2
K
1
O
1
M
4
MS
4
X
00
1.00
X
10
1.00 0.08
X
12
- Y
1b
0.07 0.02 1.00 0.02
X
13
- Y
1c
X
20
0.03 1.00 0.03
X
22
- Y
2b
1.00 0.015 0.038 0.002 0.058 0.035
X
23
- Y
2c
0.06 1.00
X
13
- Y
4b
0.03 1.00
X
44
- Y
4d
1.00 0.08
Y
10
1.00 0.08
Y
12
+ X
1b
0.07 0.02 1.00 0.03
Y
13
+ X
1c
Y
20
0.03 1.00 0.03
Y
22
+ X
2b
1.00 0.015 0.032 0.057 0.035
Y
23
+ X
2c
0.06 1.00
Y
23
+ X
4b
0.03 0.01 1.00
Y
44
+ X
4d
1.00 0.08
Skema 7 P 696 559 448 566 439 565 507 535
Skema 7 P 333 345 327 173 160 307 318
Untuk Skema 6
harga P.R.Sin r
Untuk Skema 5
harga P.R.Cos r
o o o o o o o

Sumber : Ongkosongo, 1989



16

Skema 7 dan Skema 8
Merupakan tahap akhir dari proses mencari komponen pasang surut menurut
metode Admiralty. Aturan pengisian masing-masing kolom mengikuti rumus
yang tertera pada kolom pertama dari masing-masing skema ini.

3.1.2. Penentuan Tipe Pasang Surut
Konstanta pasang surut yang penting dalam menentukan karakteristik/tipe
pasang surut yang terjadi adalah K
1
, O
1
, M
2
, dan S
2
. Secara kuantitatif, tipe pasang
surut suatu daerah perairan dapat ditentukan oleh perbandingan atau nisbah antara
amplitudo komponen K
1
dan O
1
dengan amplitudo komponen M
2
dan S
2
. Nisbah ini
dikenal sebagai bilangan Formzahl Number atau Form Number, yaitu sebagai
berikut :
) ( ) (
) ( ) (
2 2
1 1
S A M A
O A K A
F
N
+
+
= (3.2)

dengan :
F
N
= Formzahl Number atau Form Number,
A = amplitudo,
K
1
= komponen pasut tunggal yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan
matahari,
O
1
= komponen pasut tunggal yang disebabkan oleh gaya tarik bulan,
M
2
= komponen pasut ganda yang disebabkan oleh gaya tarik bulan,
S
2
= komponen pasut ganda yang disebabkan oleh gaya tarik matahari.

Dari Persamaan (3.2) di atas, tipe pasang surut ditentukan melalui 4 kriteria
berikut ini.
1. F
N
< 0,25 : harian ganda (semi diurnal). Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang
dan 2 kali air surut dengan ketinggian hampir sama,
2. 0,25 < F
N
< 1,5 : campuran, condong harian ganda (mixed tide prevailing semi
diurnal). Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali surut dengan ke-
tinggian yang berbeda,
3. 1,5 < F
N
< 3,0 : campuran, condong harian tunggal (mixed tide prevailing
diurnal). Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut.

17

Kadang-kadang terjadi 2 kali air pasang dalam 1 hari dengan perbedaan yang
besar pada tinggi dan waktu,
4. F
N
> 3,0 : harian tunggal (diurnal). Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1
kali air surut.


3.2. Gelombang
Gelombang merupakan salah satu fenomena proses fisik yang terjadi di
pantai. Gelombang pada perairan dapat didefinisikan sebagai perubahan elevasi
perairan secara harmonik yang ditimbulkan oleh beberapa gaya, yaitu gaya angin,
gaya gempa di laut, kapal yang bergerak, dan lain-lain.

3.2.1. Faktor Tegangan Angin (wind stress factor)
Data angin yang diperoleh dari BMG berupa kecepatan perlu dikoreksi untuk
mendapatkan faktor tegangan angin, U
A
(wind stress factor). Koreksi tersebut
meliputi :

a) Koreksi elevasi
Koreksi elevasi dilakukan jika data angin tidak diukur pada elevasi 10 m dari
permukaan laut, maka data tersebut perlu dikoreksi dengan persamaan :
7
1
y 10
y
10
U U
|
|
.
|

\
|
= (3.3)
dengan :
U
10
= kecepatan angin hasil koreksi elevasi (m/det),
U
y
= kecepatan angin yang tidak diukur pada ketinggian 10 m (m/det),
y = elevasi alat ukur di atas permukaan laut (m).


b) Koreksi perbedaan temperatur dan koreksi lokasi pengamatan
Koreksi stabilitas (R
T
) diperlukan karena adanya perbedaan temperatur
antara udara dan laut. Apabila data temperatur tidak diketahui, maka CERC (1984)
menyarankan penggunaan R
T
= 1.1. Sedangkan koreksi lokasi dilakukan karena
data angin yang digunakan adalah data angin daratan sehingga perlu adanya koreksi

18

lokasi untuk menjadikan data angin daratan menjadi data angin pengukuran di laut.
Berikut ini adalah persamaan yang digunakan untuk koreksi stabilitas :

10 T L
U . R U = (3.4)
Sedangkan untuk menentukan kecepatan angin di laut, digunakan persamaan sebagai
berikut:
L L W
U . R U = (3.5)

dengan :
U
10
= kecepatan angin hasil koreksi elevasi (m/det),
R
T
= rasio amplifikasi, (R
T
= 1.1),
U
L
= kecepatan angin di daratan (m/det),
R
L
= rasio kecepatan angin di atas laut dengan daratan, diperoleh dari kurva,
U
W
= kecepatan angin di laut ((m/det).

Adapun kurva rasio kecepatan angin di atas laut dengan di daratan, ditunjukkan pada
Gambar 3.1 di bawah ini.


















Gambar 3.1. Kurva rasio kecepatan angin di atas laut dengan di daratan.
(Sumber : CERC, 1984)






19

c) Koreksi koefisien seret
Setelah data kecepatan angin melalui koreksi-koreksi di atas, maka data
kecepatan tersebut dikonversi menjadi wind stress factor (U
A
) dengan menggunakan
persamaan di bawah ini :
1.23
W A
U 0.71 U = (3.6)

dengan : U
W
= kecepatan angin di atas laut (m/det),
U
A
= wind stress factor (m/det).

3.2.2. Panjang Fetch
Panjang fetch didefinisikan sebagai daerah angin bergerak dengan arah dan
kecepatan angin yang relatif konstan. Di dalam tinjauan pembangkitan gelombang di
laut, fetch dibatasi oleh bentuk daratan yang mengelilingi laut. Di daerah
pembentukan gelombang, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang
sama dengan arah angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin.
Perhitungan panjang fetch efektif dilakukan dengan menggunakan bantuan peta
topografi lokasi dengan skala yang cukup besar. Untuk menghitung fetch efektif
menggunakan persamaan di bawah ini :

=
o
o

cos
cos F
F
i
eff
(3.7)

dengan : F
eff
= fetch efektif,
F
i
= panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi
gelombang ke ujung akhir fetch,
= deviasi pada kedua sisi arah angin, dengan menggunakan
pertambahan 3
o
sampai sudut sebesar 21
o
pada kedua sisi arah
angin.

3.2.3. Penentuan Tinggi dan Perioda Gelombang
Pembentukan gelombang di laut dalam dianalisa dengan formula-formula
empiris yang diturunkan dari model parametrik berdasarkan spektrum gelombang
JONSWAP (CERC, 1984). Prosedur peramalan tersebut berlaku baik untuk kondisi
fetch terbatas (fetch limited condition) maupun kondisi durasi terbatas (duration
limited condition).

20

Pada kondisi fetch terbatas, angin bertiup secara konstan cukup jauh untuk
tinggi gelombang di ujung fetch dalam mencapai keseimbangan sedangkan pada
kondisi durasi terbatas, tinggi gelombang dibatasi waktu setelah angin bertiup.
Spektral tinggi gelombang signifikan (H0) dan periode puncak spektrum (Tp) adalah
parameter yang diramalkan dengan persamaan sebagai berikut :
2
1
2
2
0
0016 . 0
|
|
.
|

\
|
=
A
eff
A
U
F g
g
U
H (3.8)
3
1
2
2857 . 0
|
|
.
|

\
|
=
A
eff
A
p
U
F g
g
U
T (3.9)
3
2
2
8 . 68
|
|
.
|

\
|
=
A
eff
A
U
F g
U
t g
(3.10)
4
10 15 . 7 x
U
t g
A
s (3.11)

Prosedur peramalan gelombang di laut dalam adalah sebagai berikut ini.
1. Melakukan analisis perbandingan hasil hitungan Persamaan (3.10) dengan
Persamaan (3.11). Jika tidak memenuhi Persamaan (3.11), maka gelombang yang
terjadi merupakan hasil pembentukan gelombang sempurna atau fully developed
sea (FDS). Penghitungan tinggi dan periode gelombangnya menggunakan
persamaan berikut:
g
U
H
A
2
0
2433 . 0 = (3.12)
g
U
T
A
p
134 . 8 = (3.13)

2. Jika hasil analisis perbandingan memenuhi Persamaan (3.11), maka gelombang
yang terjadi merupakan hasil pembentukan gelombang tidak sempurna atau non
fully developed sea (NFDS). Pembentukan gelombang tidak sempurna ini terdiri
dari dua jenis, yaitu pembentukan gelombang terbatas fetch (fetch limited) dan

21

terbatas durasi (duration limited). Untuk membedakannya perlu dihitung terlebih
dahulu durasi minimum (t
min
), (Deo, 2007) sebagai berikut:
3
2
2
min
8 . 68
|
|
.
|

\
|
=
A
eff
A
U
F g
g
U
t (3.14)

3. Memeriksa durasi angin aktual yang ditentukan (t
d
), lalu membandingkan
terhadap durasi hasil hitungan (t
min
).
a. Jika t
d
> t
min
, maka gelombang yang terjadi merupakan gelombang hasil
pembentukan terbatas fetch. Pada pembentukan jenis ini, durasi angin yang
bertiup cukup lama. Penghitungan tinggi dan periode gelombangnya
dilakukan dengan menggunakan Persamaan (3.8) dan (3.9).
b. Jika t
d
< t
min
, maka gelombang yang terjadi merupakan gelombang hasil
pembentukan terbatas durasi. Pada pembentukan ini, durasi angin yang
bertiup tidak cukup lama. Penghitungan tinggi dan periode gelombangnya
dilakukan dengan menggunakan Persamaan (3.8) dan (3.9) dengan terlebih
dahulu mengganti panjang F
eff
dengan F
min
berikut ini:

2
3
2
2
min
8 . 68
|
|
.
|

\
|
=
A
d A
U
t g
g
U
F (3.15)

dengan :
F
eff
= panjang fetch efektif (m),
H
0
= tinggi gelombang signifikan menurut teori spektral energi (m),
T
p
= periode puncak spektrum (detik),
g = percepatan gravitasi = 9.81 (m/det
2
),
U
A
= wind stress factor (m/det),
t
a
= durasi angin (detik),
t
d
= durasi angin aktual yang ditentukan (detik),
t
min
= durasi angin kritik/minimum (detik).

Berikut ini adalah bagan alir proses peramalan gelombang dengan metode
JONSWAP seperti terlihat pada Gambar 3.2 berikut ini.


22




















Gambar 3.2. Bagan alir peramalan gelombang.



3.2.4. Teori Gelombang Linier
Teori gelombang linier (Airy) diturunkan berdasarkan persamaan Laplace
untuk aliran tak rotasi (irrotational flow) dengan mengambil kondisi batas
(boundary condition) di permukaan air dan dasar laut. Kondisi batas di permukaan
air diperoleh dengan melinierkan persamaan Bernoulli untuk aliran tak mantap.
Penyelesaian persamaan tersebut memberikan potensial kecepatan periodik untuk
aliran tak rotasional. Potensial kecepatan ini kemudian digunakan untuk
menurunkan persamaan dari berbagai karakteristik gelombang seperti fluktuasi
muka air, kecepatan dan percepatan partikel, tekanan, kecepatan rambat gelombang,
dan sebagainya.
Start
Yes
Fetch Limited
Yes
NFDS
No
FDS
2
3
2
A
d
2
A
min
U 68.8
t g
g
U
F
|
|
.
|

\
|
=
No
Duration Limited
g
U
0.2433 H
2
A
0
=
g
U
8.134 T
A
p
=
2
1
2
A
eff
2
A
0
U
F g
g
U
0.0016 H
|
|
.
|

\
|
=
3
1
2
A
eff A
p
U
F g
g
U
0.2857 T
|
|
.
|

\
|
=
Feff = Fmin
Finish Finish
d
3
2
2
A
eff A
min
t
U
F g
g
U
68.8 t s
|
|
.
|

\
|
=
4
3
2
A
eff
A
7.15x 10
U
gF
68.8
U
gt
s
|
|
.
|

\
|
=
2

23

Teori gelombang ini dikembangkan dengan melakukan linierisasi persamaan
gelombang yang kompleks, sehingga diperoleh persamaan implisit yang disebut
dengan persamaan dispersi, seperti berikut ini.

kd gk tanh
2
= o (3.16)

dengan : = frekuensi gelombang = 2 / T,
g = percepatan gravitasi (m/det
2
),
k = angka gelombang = 2 / L,
d = kedalaman dasar laut (m).

Jika persamaan frekuensi gelombang () dan persamaan angka gelombang
(k) disubstitusikan ke dalam Persamaan (3.16), maka persamaan dispersi menjadi :
d
L L
g
T
t t t 2
tanh
2 2
2
=
|
.
|

\
|
(3.17)

Oleh karena C = L/T, maka Persamaan (3.17) menjadi :
d
L
L
g C
t
t
2
tanh
2
2
= (3.18)

dengan : C = kecepatan rambat gelombang (m/det),
T = periode gelombang (det),
L = panjang gelombang.
Persamaan (3.18) menunjukkan laju penjalaran gelombang sebagai fungsi
kedalaman air (d) dan panjang gelombang (L).
Jika nilai k = /C = (2/T)/C disubstitusikan ke dalam Persamaan (3.18),
akan didapat nilai kecepatan rambat gelombang (C) sebagai fungsi T dan d, seperti
berikut ini.
d
L
T
g C
t
t
2
tanh
2
= (3.19)

Dengan memasukan nilai k = 2/L dan C = L/T ke dalam Persamaan (3.19), akan
diperoleh panjang gelombang (L) sebagai fungsi kedalaman (d), seperti berikut ini.

24

d
L
T
g L
t
t
2
tanh
2
2
= (3.20)

3.2.5. Klasifikasi Gelombang Linier
Gelombang yang menjalar dari laut dalam adalah gelombang sinusiodal.
Penjalaran gelombang di laut dalam tidak dipengaruhi oleh dasar, tetapi gelombang
di laut transisi dan laut dangkal penjalarannya dipengaruhi oleh dasar. Di daerah ini
apabila ditinjau suatu garis puncak gelombang, bagian dari puncak gelombang yang
berada di kedalaman yang lebih dangkal akan menjalar dengan kecepatan lebih kecil
daripada bagian yang menjalar di kedalaman yang lebih besar.
Berdasarkan kedalaman relatif, yaitu perbandingan antara kedalaman air d
dan panjang gelombang L, (d/L). Gelombang dapat diklasifikasikan menjadi tiga
macam yaitu :
1. gelombang di laut dangkal jika d/L 0.05
2. gelombang di laut transisi jika 0.05 < d/L < 0.50
3. gelombang di laut dalam jika d/L 0.50

Untuk gelombang di laut dalam, apabila kedalaman relatif d/L lebih besar
dari 0.50, maka nilai tanh (2d/L) = 1.0 sehingga Persamaan (3.19) dan (3.20)
menjadi :
t 2
0
gT
C = (3.21)
t 2
2
0
gT
L = (3.22)
Apabila percepatan gravitasi (g) = 9.81 m/det
2
, maka Persamaan (3.22) menjadi :
2
0
56 . 1 T L = (3.23)

dengan : C
0
= kecepatan rambat gelombang di laut dalam (m/det),
L
0
= panjang gelombang di laut dalam (m).

Untuk gelombang di laut transisi, dengan nilai 0.05 < d/L < 0.50, maka
kecepatan rambat gelombang dan panjang gelombang adalah :

25

L
d
L
L
C
C t 2
tanh
0 0
= = (3.24)

Apabila kedua ruas dari Persamaan (3.24) dikalikan dengan d/L maka akan didapat :

L
d
L
d
L
d t 2
tanh
0
= = (3.25)

Untuk gelombang di laut dangkal, apabila kedalaman relatif d/L 0.05,
maka nilai tanh (2d/L) =2d/L sehingga Persamaan (3.19) dan (3.20) menjadi :
gd C = (3.26)

T C T gd L = = (3.27)

3.2.6. Gelombang Pecah
Gelombang akan pecah jika kecepatan partikel air melebihi kecepatan jalar
gelombangnya. Pada saat itu partikel air di puncak gelombang mendahului bentuk
gelombang atau puncaknya sehingga gelombang tidak stabil dan pecah. CERC
(1984) menyatakan bahwa gelombang pecah di air dangkal terjadi pada H
b
/d
b
= 0.78
dengan angka 0.78 merupakan koefisien tinggi relatif gelombang pecah atau
koefisien gelombang pecah.
Ada beberapa persamaan empiris dalam menentukan tinggi gelombang pecah,
salah satunya adalah rumus empiris yang ditemukan oleh Kaminski dan Kraus
(1993) dalam Ahrens (1998) yakni sebagai berikut :
28 . 0
'
46 . 0
'

=
O
O
O
b
L
H
H
H
(3.28)

dengan : H
b
= tinggi gelombang pecah (m),
H
0

= tinggi gelombang laut dalam ekivalen (m),


L
0
= panjang gelombang di laut dalam (m).

Penggunaan Persamaan (3.28) di atas untuk memperkirakan tinggi gelombang pecah
sedangkan untuk memperkirakan letak kedalaman gelombang pecah sebagai input

26

awal kedalaman kontur pada stasiun dalam grid GENESIS adalah menggunakan
kriteria yang dikembangkan oleh Weggel (1972) dalam USACE (2000) dengan
bentuk persamaan sebagai berikut :

2
gT
H
a b
d
H
b
b
b
b
= = (3.29)

Triatmodjo (1999) menyarankan menggunakan grafik untuk menghitung
tinggi dan kedalaman pecah pada kedalaman tertentu, yang dituliskan dalam bentuk
persamaan sebagai berikut :
) / (
1
2
gT aH b H
d
b b
b

= (3.30)
dengan : ( )
| tan 19
1 75 . 43

= e a
( )
| tan 5 . 19
1
56 . 1

+
=
e
b
a dan b merupakan fungsi kemiringan dasar pantai (tan),
d
b
adalah kedalaman gelombang pecah.

Untuk menentukan tinggi gelombang laut dalam ekivalen digunakan
persamaan berikut :
H
0

= H
0
- K
r
(3.31)
Pemakaian gelombang ini bertujuan menetapkan tinggi gelombang yang mengalami
refraksi, difraksi dan transformasi lainnya, sehingga perkiraan transformasi dan
deformasi gelombang dapat dilakukan dengan mudah.
Koefisien refraksi dihitung dengan menggunakan Snells Law seperti berikut ini.
sin
b
= C
b
/C
0
- sin
0
(3.32)
dan koefisien refraksi adalah :
b
u
u
cos
cos
K
o
r
= (3.33)

dengan : K
r
= koefisien refraksi,

b
= sudut datang gelombang pecah,

0
= sudut datang gelombang di laut dalam,
C
b
= kecepatan rambat gelombang pecah (m/det).

27

3.3. Model Perubahan Garis Pantai
Formulasi matematis dari proses perubahan garis pantai akan melibatkan
persamaan aliran, persamaan angkutan sedimen dan persamaan konservasi massa
atau dikenal persamaan kontinyuitas. Pada penelitian ini, lingkup pembahasan
dibatasi untuk aliran dua dimensi, angkutan sedimen pada dasar saja dan material
berupa butiran lepas (non kohesif). Untuk mempresentasikan perubahan garis pantai
pada lokasi di sekitar pelabuhan Waren, maka program pemodelan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah model GENESIS. Model GENESIS ini dapat
mensimulasikan perubahan garis pantai yang terjadi dalam periode bulanan sampai
tahunan yang disebabkan oleh gelombang. Model GENESIS ini dijalankan melalui
program CEDAS-NEMOS namun sebelum proses model GENESIS di running,
terlebih dahulu harus melakukan pemodelan gelombang, dimana pemodelan
gelombang yang digunakan dalam kajian ini adalah model STWAVE (Steady-state
spectral WAVE model) yang include dalam program CEDAS-NEMOS.

3.3.1. Model STWAVE
Model STWAVE adalah model gelombang untuk mentransformasi dan
membangun spektrum gelombang steady-state. Model ini menggunakan metode
beda hingga (finite difference method) dengan berdasar pada pembangkitan dan
penjalaran dengan grid rektilinear dua dimensi. STWAVE mensimulasikan shoaling
dan refraksi gelombang akibat kedalaman, arus, gelombang pecah, difraksi,
pertumbuhan angin-gelombang, dan interaksi antar gelombang. Dan spektrum
gelombang dalam model STWAVE adalah representasi statistik dari kejadian
gelombang dan secara konseptual, spektrum adalah superposisi linier dari
gelombang monokromatik, dimana spektrum menggambarkan distribusi energi
gelombang sebagai fungsi dari frekuensi (spektrum satu dimensi) atau frekuensi dan
arah (spektrum dua-dimensi).

A. Asumsi dalam model STWAVE adalah :
a. Kemiringan dasar halus dan refleksi gelombang diabaikan (mild bottom
slope and negligible wave reflection).

28

b. Kondisi gelombang lepas pantai homogen secara spasial (spatially
homogeneous offshore wave conditions).
c. Gelombang, arus, dan angin dalam kondisi steady (steady-state waves,
currents, and winds).
d. Refraksi dan shoaling adalah linear (linear refraction and shoaling).
e. Arus untuk setiap kedalaman seragam (depth-uniform current).
f. Kekasaran dasar diabaikan (bottom friction is neglected).
g. Radiation stress dihitung berdasarkan teori gelombang linier (linear
radiation stress).

B. Persamaan Pembentuk
Interaksi gelombang dengan arus dianggap dalam frame referensi yang
bergerak. Parameter gelombang pada frame ini dilambangkan dengan subskrip r,
"relatif" untuk arus, dan parameter dengan frame yang tidak bergerak dilambangkan
dengan subskrip a, "absolut." Hubungan dispersi gelombang untuk frame yang
bergerak diberikan oleh Persamaan (3.16) namun pada notasi frekuensi gelombang
() ditambah dengan subskrip r, seperti berikut ini :

kd gk
r
tanh
2
= o (3.34)

Dan persamaan dispersi untuk frame referensi absolut adalah :

a
=
r
+ kU cos (-) (3.35)

dengan: U = kecepatan arus,
= arah arus relatif untuk frame referensi (x- axis),
= arah gelombang orthogonal (normal ke puncak gelombang)
(lihat Gambar 3.3).







29











Gambar 3.3. Sketsa definisi vektor gelombang dan arus.

Jumlah gelombang (k) diselesaikan dengan cara iterasi, dengan mensubstitusikan
Persamaan (3.34) ke dalam Persamaan (3.35). Jumlah gelombang dan panjang
gelombang (L = 2/ k) adalah sama di kedua frame referensi.
Dalam frame referensi relatif terhadap arus, solusi untuk refraksi dan
shoaling juga kecepatan rambat gelombang (C) dan kecepatan group gelombang
(C
g
), diselesaikan dengan persamaan berikut.
k
C
r
o
= (3.36)

|
|
.
|

\
|
+ =
kd
kd
C C
r gr
2 sinh
2
1 5 . 0 (3.37)

Arah untuk kecepatan relatif dan kecepatan kelompok gelombang adalah terhadap
arah gelombang orthogonal. Dan untuk frame referensi absolut menggunakan
persamaan berikut ini.

C
a
= C
r
+ U cos ( - ) (3.38)
(C
ga
)
i
= (C
gr
)
i
+(U)
i
(3.39)

dengan subskrip i adalah notasi tensor untuk komponen x dan y. Arah kecepatan
absolut termasuk dalam arah gelombang orthogonal. Kecepatan group absolut

30

mendefinisikan arah pancaran gelombang, seperti tampak pada Gambar 3.3 yang
didefinisikan sebagai berikut ini :
|
|
.
|

\
|
+
+
=

o o
o o

cos cos
sin sin
tan
1
U C
U C
gr
gr
(3.40)

Arah gelombang ortogonal untuk kondisi steady-state diberikan oleh (Mei,
1989 dan Jonsson, 1990) :

Dn
DU
k
k
Dn
Dd
kd
k C
DR
D
C
i i r
ga
=
2 sinh
o
(3.41)

dengan : D = derivasi,
R = koordinat ke arah pancaran gelombang,
n = koordinat normal ke orthogonal gelombang,
= arah pancaran gelombang.

Persamaan pengatur/pembentuk untuk konservasi kondisi steady-state akibat
gelombang spektral sepanjang pancaran gelombang diberikan oleh (Jonsson, 1990) :

c
c
r r
a ga a
i
i ga
S
E C C
x
C
o o
o o o ) , ( ) ( cos
) ( (3.42)

dengan : E = kerapatan energi gelombang dibagi dengan (
w
g), dimana
w

adalah rapat massa air
S = energi source dan sink

Refraksi dan Shoaling
Refraksi dan shoaling diimplementasikan dalam STWAVE dengan
menerapkan persamaan konservasi aksi gelombang. Pancaran ditelusuri secara
sepenggal, dari satu kolom grid ke grid berikutnya. Spektrum gelombang dua
dimensi yang ditetapkan sebagai masukan sepanjang kolom grid pertama (batas
lepas pantai). Untuk titik pada kolom grid kedua, spektrum dihitung dengan kembali
melacak pancaran untuk setiap komponen frekuensi dan arah spektrum. Arah
rambatan (), ditentukan oleh Persamaan (3.40). Hanya arah rambatan menyebar

31

menuju pantai dengan sudut (-87.5 sampai +87,5 derajat) yang disertakan dalam
model. Energi yang merambat menuju lepas pantai diabaikan.
Pancaran gelombang ditelusuri kembali ke kolom grid sebelumnya, dan
panjang segmen pancaran (DR) dihitung. Turunan dari komponen kedalaman dan
arus normal gelombang ortogonal diperkirakan (berdasarkan arah orthogonal pada
kolom 2) dan disubstitusikan ke Persamaan (3.41) untuk menghitung gelombang
arah orthogonal pada kolom 1. Kemudian, jumlah gelombang, kecepatan rambat dan
kecepatan kelompok gelombang, dan sudut rambat gelombang dalam kolom
sebelumnya dihitung. Energi gelombang shoaling dan refraksi dalam kolom 2
kemudian dihitung dengan Persamaan (3.42).

Difraksi
Difraksi include dalam STWAVE secara sederhana melalui smoothing energi
gelombang. Model smoothing energi dalam frekuensi dan arah mengikuti persamaan
berikut :

E
j
(
a
, ) = 0.55 E
j
(
a
, ) + 0.225[E
j+1
(
a
, ) + E
j-1
(
a
, )] (3.43)

dengan E adalah kerapatan energi dalam frekuensi dan arah, dan subskrip j
menunjukkan indeks baris grid (posisi sejajar pantai). Persamaan (3.43)
menyediakan smoothing of strong gradients pada tinggi gelombang yang terjadi di
daerah terlindung/terhalang, tetapi tidak menyediakan pantulan gelombang.


Source / Sink
Kriteria gelombang pecah di surf zone diterapkan dalam STWAVE adalah
fungsi dari rasio tinggi gelombang terhadap kedalaman air :

64 . 0
max
=
d
H
mo
(3.44)

dengan H
mo
adalah tinggi gelombang zero-moment dari spektral energi. Pada
entrance di pantai, dimana gelombang curam karena interaksi gelombang-arus,
gelombang pecah adalah bertambah karena kecuraman meningkat. Smith, Resio, dan

32

Vincent (1997) melakukan pengukuran laboratorium gelombang pecah tidak teratur
pada arus pasang surut dan menemukan bahwa hubungan gelombang pecah dalam
bentuk kriteria Miche (1951) yang sederhana, kuat, dan akurat :

kd L H
mo
tanh 1 . 0
max
=
(3.45)

Energi dalam spektrum berkurang pada setiap frekuensi dan arah sesuai
dengan proporsi jumlah energi gelombang sebelum pecah di setiap band frekuensi
dan arah. Transfer nonlinear energi untuk tinggi frekuensi yang terjadi selama pecah
tidak terwakili dalam model. Sel grid model mana tinggi gelombang dibatasi oleh
Persamaan (3.45) yang ditandai sebagai sel aktif gelombang pecah.

Gradien Tegangan Radiasi
Gradien tegangan radiasi (radition stress gradient) dihitung dalam model
STWAVE untuk memberikan gaya gelombang pada model sirkulasi eksternal
menuju arus dekat pantai dan perubahan elevasi muka air (misalnya, wave setup dan
wave setdown). Secara umum gelombang dan arus adalah penyebab dominan
angkutan sedimen di surf zone. Tensor radiation stress dihitung berdasarkan teori
gelombang linier :
o o o dfd
kd
kd
f E g S
w xx
}}
(

+
|
|
.
|

\
|
+ = 5 . 0 ) 1 (cos
2 sin
2
1 5 . 0 ) , (
2
(3.46)
o o
o
dfd
kd
kd f E
g S
w xy
}}
(

|
|
.
|

\
|
+ = 2 sin
2 sin
2
1 5 . 0
2
) , (
(3.47)
o o o dfd
kd
kd
f E g S
w yy
}}
(

+
|
|
.
|

\
|
+ = 5 . 0 ) 1 (sin
2 sin
2
1 5 . 0 ) , (
2
(3.48)

Gradien tegangan radiasi dihitung sebagai :

y
S
x
S
xy
xx
x
c
c

c
c
= t (3.49)
y
S
x
S
yy xy
y
c
c

c
c
= t (3.50)

33

dengan nilai
x
/
w
dan
y
/
w
adalah output dari STWAVE yang digunakan dalam
sirkulasi model.


3.4. Model GENESIS
GENESIS merupakan model garis pantai tunggal (one line model) yang
mensimulasikan perubahan garis pantai atau maju mundurnya garis pantai
berdasarkan adanya angkutan sedimen sejajar pantai. Model numerik GENESIS ini
dapat mensimulasikan pengaruh bentuk pantai sendiri dan dibuat untuk memprediksi
daerah yang mengalami akresi dan erosi, (Hanson and Kraus, 1989).

A. Asumsi Dasar
Perubahan posisi garis pantai digambarkan oleh satu garis kontur, sedangkan
akresi dan erosi pantai digambarkan dengan volume suatu sedimen. Sedimen
dipindahkan sepanjang pantai di antara dua batas elevasi profil yang tertentu. Batas
ke arah pantai terletak pada bagian atas berm aktif dan batas ke arah laut terletak
pada kedalaman yang sudah tidak terjadi perubahan yang berarti (significant).
Pembatasan perpindahan profil di antara dua batas tersebut untuk menentukan
parameter perubahan volume pada tampang melintang pantai. Angkutan sedimen
sepanjang pantai semata-mata hanya dihasilkan oleh gelombang datang, tidak
memperhitungkan angkutan yang dihasilkan oleh arus pasang surut, angin atau
sumber gaya lainnya.

B. Persamaan Pembentuk
Untuk memperkirakan perubahan garis pantai diperlukan dua persamaan
dasar yaitu persamaan kontinyuitas sedimen dan persamaan laju angkutan sedimen
sejajar pantai. Persamaan kontinyuitas sedimen pembentuk posisi garis pantai
adalah :

0
) (
1
=
|
.
|

\
|

c
c
+
+
c
c
q
x
Q
D D t
y
C B
(3.51)

dengan : y = perubahan posisi pada garis pantai (m),
t = interval waktu (jam),

34

x = panjang segmen garis pantai (m),
Q = resultan laju volume transpor sedimen sejajar pantai (m
3
/tahun),
q = laju sedimen yang masuk dan keluar profil dari darat dan laut
(m
3
/det/m), q = q
s
+ q
o
,
q
s
= laju sedimen yang masuk atau keluar selebar unit garis pantai
(m
3
/det/m),
q
o
= laju sedimen dari arah laut (m
3
/jam/m),
D
B
= tinggi berm dari MSL (m),
D
C
= tinggi dari MSL ke kedalaman profil yang terpindahkan (m),

Pada model perubahan garis pantai tunggal, asumsi dasar yang digunakan
adalah bahwa profil pantai aktif berpindah secara pararel sampai suatu kedalaman
tertentu, D
S
= D
B
+ D
C
atau sampai profil tidak berubah lagi. D
S
dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan Hallermeier (1983) dalam Hung (2008) seperti
ditunjukkan pada Persamaan (3.54) berikut ini :
0
0
0
) 90 . 10 30 . 2 ( H
L
H
D
S
= (3.52)

dengan : D
S
= kedalaman tertentu sampai profil pantai tidak berubah lagi (m),
H
0
= tinggi gelombang di laut dalam (m),
L
0
= panjang gelombang di laut dalam (m).

Laju perubahan volume adalah ,
. .
t
y x Ds
t
V
A
A A
=
A
A
dan perubahan ini dikontrol oleh
laju bersih pasir yang masuk dan keluar dari keempat sisi seperti ditunjukkan pada
Gambar 3.4.



Gambar 3.4. Skematis perubahan garis pantai. (Sumber : Hanson and Kraus, 1989)


35

3.4.1. Analisis Transpor Sedimen Sejajar Pantai (Longshore Transport)
Transpor sedimen pantai adalah gerakan sedimen di daerah pantai yang
disebabkan oleh gelombang, arus dan pasang surut. Daerah transpor sedimen ini
terbentang dari garis pantai sampai tepat di luar daerah gelombang pecah
(Triatmodjo, 1999).
Transpor sedimen sepanjang pantai banyak menyebabkan permasalahan
seperti pendangkalan di pelabuhan, erosi pantai dan sebagainya. Oleh karena itu
prediksi transpor sedimen sepanjang pantai adalah sangat penting. Beberapa cara
yang biasa digunakan untuk memprediksi transpor sedimen sepanjang pantai adalah
sebagai berikut ini :
a. cara terbaik untuk memperkirakan transpor sedimen sejajar pantai pada suatu
tempat adalah mengukur debit sedimen di lokasi yang ditinjau.
b. peta atau pengukuran yang menunjukkan perubahan elevasi dasar dalam
suatu periode tertentu dan memberikan petunjuk tentang transpor sedimen.
Cara ini terutama baik apabila di daerah yang ditinjau terdapat bangunan
yang biasa menangkap transpor sediemen sepanjang pantai misalnya groin,
jetty, breakwater dan sebagainya.
c. rumus empiris yang didasarkan pada kondisi gelombang pecah di daerah
yang ditinjau.
Perumusan empiris untuk menghitung jumlah angkutan sedimen sejajar
pantai, menggunakan persamaan yang digunakan dalam GENESIS yakni :
b
bs bs b g
x
H
a a c H Q
|
.
|

\
|
c
c
= u u cos 2 sin ) (
2 1
2
(3.53)
dengan : H = tinggi gelombang (m),
c
g
= kecepatan group gelombang (m/det),
Subskrip b = menunjukkan kondisi gelombang pecah,

bs
= sudut gelombang terhadap garis pantai.

Dan parameter non dimensi a
1
dan a
2
adalah :

2 / 5
1
1
) 416 . 1 ( ) 1 ( ) 1 ( 16 p
a
w
s

=

k
(3.54)

36


2 / 7
2
2
) 416 . 1 ( tan ) 1 ( ) 1 ( 8 |

k
p
a
w
s

= (3.55)

dengan :
1
,
2
= parameter kalibrasi,

s
= rapat massa pasir (2.65 x 10
3
kg/m
3
untuk pasir kuarsa),

w
= rapat massa air laut (1.03 x 10
3
kg/m
3
),
p = porositas sedimen di dasar (0.40),
tan = kemiringan dasar rerata pantai,
Faktor 1.416 = digunakan untuk konversi dari Hs ke H
rms
.


3.4.2. Laju Angkutan Sedimen Sepanjang Pantai
GENESIS memberikan output yang terdiri dari laju angkutan kotor (gross)
dan laju angkutan bersih. Laju angkutan kotor merupakan penjumlahan angkutan ke
kanan dan ke kiri melewati suatu titik pada garis pantai pada suatu periode yang
ditentukan. Persamaan laju angkutan kotor ditunjukkan oleh Persamaan (3.56)
sebagai berikut :

lt rt g
Q Q Q + = (3.56)

dengan : Q
g
= laju angkutan sedimen kotor (gross),
Q
rt
= angkutan sedimen ke arah kanan,
Q
lt
= angkutan sedimen ke arah kiri.

Arah angkutan sedimen ke arah kanan (+) dan ke arah kiri (-) ditetapkan
berdasarkan arah kanan dan kiri pengamat yang berdiri di tepi pantai menghadap ke
arah laut.

Laju angkutan bersih adalah selisih antara pergerakan angkutan ke kiri dan
ke kanan melewati suatu periode waktu yang ditentukan. Laju angkutan bersih
menunjukkan suatu bagian pantai yang mengalami akresi atau erosi, karena laju
angkutan bersih merupakan jumlah vektor laju angkutan sedimen. Persamaan laju
angkutan bersih ditunjukkan oleh Persamaan (3.57) sebagai berikut :


37


lt rt n
Q Q Q = (3.57)

dengan : Q
n
= laju angkutan sedimen bersih (netto),
Q
rt
= angkutan sedimen ke arah kanan,
Q
lt
= angkutan sedimen ke arah kiri.


3.5. Model NEMOS versi 4.03
NEMOS (Nearshore Evolution MOdeling System) adalah salah satu bagian
dari modul pantai (beach) yang terdapat dalam software CEDAS. Dalam NEMOS
tersebut terdapat beberapa komponen sistem model, namun yang digunakan dalam
penelitian ini, terdiri dari dua komponen model yakni :
a. GENESIS (GENEralized model for SImulating Shoreline change),
b. STWAVE (STeady state spectral WAVE) yang merupkan sub modul untuk
transformasi dan membangun spektrum gelombang steady-state. Modul ini
menggunakan metode beda hingga (finite difference method) dengan berdasar
pada pembangkitan dan penjalaran dengan grid rektilinear 2 dimensi.

Dalam menjalankan kedua model tersebut diperlukan beberapa perangkat
lunak/modul-modul untuk mensimulasikan perubahan garis pantai yaitu :
GRIDGEN (Grid Generation) adalah sub modul dalam NEMOS untuk
membangun spatial domain dari wilayah kajian.
SPECGEN (Spectra Generation) adalah sub modul untuk impor data,
membangun dan menampilkan spektrum gelombang untuk STWAVE.
WSAV (Wave Statistical Analysis and Visualisation) adalah sub modul untuk
analisis statistik dari data seri kejadian gelombang, menampilkan grafik hasil
analisis serta menghasilkan kejadian gelombang yang representative untuk
simulasi.
WMV (Wave Model Visualization) adalah aplikasi untuk menampilkan hasil
simulasi dalam bentuk gambar maupun grafik.
WWWL (Wave, Wind, & Water Level editor) adalah sub modul yang digunakan
untuk editing data gelombang, angin, dan tinggi muka air.

38

WISPH3 (Wave Information System Phase 3 Transformation) adalah sub modul
untuk transformasi spektral data gelombang.

Uraian di atas dapat dilihat dalam program CEDAS versi 4.03, seperti tampak
pada Gambar 4.5 berikut ini.


Gambar 3.5. Modul beach dalam program CEDAS versi 4.03.

3.5.1. Prosedur Pemodelan Perubahan Garis Pantai
Dalam penelitian ini, prosedur untuk pemodelan perubahan garis pantai

39

(Shoreline Change Modeling) dalam perangkat lunak CEDAS version 4.03 adalah
sebagai berikut :
a. Menetapkan time series gelombang di laut lepas (offshore)
Impor ke dalam NEMOS,
Analisis statistik.
b. Menetapkan input data untuk model gelombang
Grid Generation (GRIDGEN) dengan langkah/step sebagai berikut :
Import to bathymetry, triangulate, inspect/modify, define grid region,
generate grid, inspect/modify, save Spatial Domain file. Specify station
locations, inspect/modify, sort station, save Station file. GRIDGEN allows
automated station selection and GENESIS grid generation-save GENESI S
Spatial Domain file,
Input spectra (SPECGEN) dengan step sebagai berikut :
Import wave information, transform (WISPH3), filter, Statistically analyze
(WSAV), save Permutation file, generate input spectra (SPECGEN), save
Spectrumfile.
c. Configurasi model gelombang (Configure Wave Model), STWAVE
Model Settings / File associations dengan step sebagai berikut :
Title, wind, and water level specifications, input and ouput file associations,
save Configuratuon file,
Simulasi, visualisasi (WMV).
d. Menetapkan input untuk GENESIS
Configuration / Set-up dengan urutan sebagai berikut :
a) Simulation title, units, Start/End dates, time step, animation time step,
b) Offshore and nearshore wave, print ouput, and visualization file
associations,
c) Beach, sand, and transport specifications,
d) Boundary condition, BC (kondisi batas), terdiri dari 2 (dua) yakni:
Seaward BC WaveData dan Lateral BC.
Spatial Domain :
a) Shoreline position information import, coordinate transformation, model

40

reach preparation,
b) Structure position in grid, length, permeability, transmission, etc.,
c) Engineering activities beach fill, bypassing, etc.,
Calibrate / Veryfy (kalibrasi / verifikasi),
Simulate / Forecast (simulasi / prediksi).
Secara umum proses pengoperasian model GENESIS dan model STWAVE
dapat dilihat pada Gambar 3.6 dan Gambar 3.7 berikut ini.


















Gambar 3.6. Bagan alir model GENESIS.


41



Gambar 3.6. Bagan alir model STWAVE.

3.5.2. Kalibrasi Model
Kalibrasi model adalah proses pengujian parameter-parameter kalibrasi
model, sehingga hasil keluaran model mendekati kenyataan yang ada. Kalibrasi
sangat diperlukan untuk mendapatkan parameter-parameter yang akan digunakan
sebagai data input untuk pemodelan prediksi perubahan garis pantai dengan program
GENESIS. Pada model GENESIS parameter kalibrasi adalah
1
dan
2
serta nilai
penghalusan (smoothing) kontur lepas pantai. Parameter-parameter lain yang
dianggap berpengaruh dalam penentuan hasil keluaran model adalah D
50
, D
B
(berm elevation) dan D
C
(depth of closure) yang ditentukan berdasarkan karakteritik
data lapangan dan hasil survei profil. Data input yang menghasilkan nilai kesalahan
terkecil pada hasil kalibrasi akan digunakan sebagai data input/masukan untuk
prediksi perubahan garis pantai pada tahun berikutnya.


42

3.5.3. Interpretasi Hasil
Interpretasi hasil simulasi/prediksi dilakukan berdasarkan hasil ukuran
model dalam bentuk angka yang terdapat dalam file keluaran model dalam
perangkat lunak NEMOS. Tampilan grafis terutama digunakan untuk interpretasi
hasil secara kualitatif dan keluaran berupa angka digunakan untuk interpretasi
secara kuantitatif. Hasil keluaran model meliputi posisi garis pantai untuk
berbagai interval waktu simulasi/prediksi, besarnya volume perubahan garis pantai,
besarnya angkutan sedimen bersih dan kotor dan arah angkutan/transpor sedimen
sejajar pantai untuk setiap sel grid.

Anda mungkin juga menyukai