Anda di halaman 1dari 46

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Keberatan-keberatan dan penderitaan-penderitaan sosial serta ekonomi yang dirasakan semakin mendalam oleh penduduk di Jawa Tengah, diambang meletusnya perang Jawa itu, disejajarkan pada bidang politik, oleh peristiwaperistiwa yang terjadi di Yogyakarta. Pada tanggal 9 Desember 1822 sultan yang ke 4 meninggal dunia secara mendadak, sebagai akibat dari suatu penyakit dan putra mahkota, seorang anak yang baru berusia 3 tahun di angkat sebagai penggantinya. Perwalian atas sultan yang masih anak-anak ini dipercayakan kepada ratu ibu, dan ibu sultan itu sendiri, yaitu ratu Kencana. Bersama-sama dengan Diponegoro serta paman Pangeran Diponegoro yakni Pangeran Mangkubumi, namun para wali ini hanya mempunyai wewenang pangawasan atas masalah keuangan di dalam kraton belaka, sementara pelaksanaan pemerintahan atas seluruh tanah sultan tetap berada di dalam tangan patih yang terus memerintah dibawah pengawasan umun presiden Belanda. Perang Diponegoro dipacu ketidakadilan dan kezaliman para penguasa di pulau Jawa, baik pihak kesultanan maupun pihak Belanda. Para comissarissen yang dikirim dari negeri Belanda untuk ikut mengatur jalannya pemerintahan di Nusantara, juga banyak menemukan ketidakadilan yang terjadi di sini Para bupati telah menerima jagi tetap sebagaimana

mestinya pegawai negeri. Kepada mereka dikuasakan hak tanah untuk dikelola rakyat dibawah perintahnya.Hak tanah dapat menarik pajak dari rakyat setempat. Peraturan Vander Capellen itu merugikan semua pihak. Para tuan tanah yang sudah mendapatkan uang sewa, tidak akan mampu mengembalikan uang yang sudah terpakai. Mereka terpaksa meminjam kesana kemari untuk mengembalikan utang. Sementara itu, para penyewa yaitu orang- orang Eropa harus menghentikan usahanya. Penduduk juga tak kurang menderita karena mereka harus berhanti dari pekarjaan tetapnya dan kembali kesawah- sawah. Ketidakpuasan terbesar terjadi di Yogyakarta. Kesultanan Yogyakarta sendiri berada dalam situasi kurang menguntungkan karena ricuh soal siapa menjadi sultan pengganti setelah Hamengkubuwana ke III wafat tahun 1814. Putra tertuanya Pangeran Diponegoro tidak terpilih menggantikannya karena Ialahir dari istri samping. Yang resmi ditunjuk adalah Pangeran Jarot meskipun ia baru berusia 13 tahun, Ia diangkat menjadi Hamengkubuwono ke IV.Tahun1822 Pangeran Jarot meninggal dengan meninggalkan seorang anak yang masih berusia 2 tahun, Pangeran Diponegoro berharap kesempatan. Namun tidak demikian jalan pikiran pemerintah Hindia Belanda yang malah menjadikan putra Pangeran Jarot sebagai pengganti resmi. Dianggkatlan anak yang berusia 2 tahun itu sebagai Sultan Menol Hamengkubuwana V. Pengeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, Nenek serta ibu Sultan Menol diangkat sebagai emban. Sakit benar hati Pengeran Diponegoro dengan peran kecil sebagai pendidik Sultan itu. Ia mengundurkan diri.Ketidak adilan

terhadap Pangeran Diponegoro menjadi sentral kedengkian rakyat jawa terhadap pemerintahan Belanda. Mereka memandang Dponegoro orang suci. Pegeran Diponegoro mendengar rencana Belanda untuk membuat jalan melintasi tanahnya. Patok- potok sudah dipasang di tempat yang direncanakan tanpa ijin dari pangeran Diponegoro. Makam keramat yang ada disana jugatermasuk bagian yang akan menjadi jalan. Mereka terhina, Pangeran Diponegoro lalu menyampaikan keberatannya kepada pemerintah hindia Belanda. Bukannya didengar, keesokan harinya malah patok sudah diganti tombak. Diponegoro menganggap hal itu sebagai tantangan baginya. Berdasarkan fakta diatas maka saya penulis, menganggap perlu menampilkan suatu makalah yang berjudul Perang Diponegoro.Walau betapapun tulisan ini disusun secara hati- hati dan cermat, tetapi masih banyak juga kelemahannya, oleh karena itu penulis mohon saran dan kritikan yang sifatnya membangun.

B. Rumusan Masalah Untuk mempermudah pembahasan makalah, permasalahan yang akandibhas adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana terjadinya Perang Diponegoro kurun waktu tahun 1925- 1930? 2. Bagaimana pengaruh Perang Diponegoro terhadap perkembangan politik Belanda dan perkembangan politik pribumi ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah : a. Mengetahui terjadinya Perang Diponegoro kurun waktu tahun 19251930 b. Mengetahui pengaruh Perang Diponegoro terhadap perkembangan politik Belanda dan perkembangan politik pribumi. 2. Kegunaan Kegunaan penulisan makalah adalaha. Sebagia syarat untuk mengikuti Ujian Akhir sekolah. Untuk mengembangkan dan mempelajar mengenai sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

D. Ruang Lingkup Pembatasan masalah dalam pada makalah ini adalah:Perang Diponegoro kurun waktu tahun 1925-1930.Pengaruh Perang Diponegoro terhadap perkembangan politik Belanda dan perkembangan politik pribumi. E. Landasan Teori Landasan teori dalam penulisan karya tulis ini adalah untuk membahas mengenai latar belakang perang Diponegoro, Proses Perang dan Akhir dari perang tersebut. F. Hipotesis Penelitian Perang Diponegoro dipacu ketidakadilan dan kezaliman para penguasa di pulau Jawa, baik pihak kesultanan maupun pihak Belanda.

G. Sumber Data Sumber data dalam Penelitian ini adalah study pustaka yaitu dengan mengumpulkan informasi-informasi dari berbagai literatur serta dokumentasi dari penelitian terdahulu.

H. Metode Penulisan Metode adalah suatu cara atau suatu proses menguji atau menganalisa secarakritisrekaman atau peninggalan masa lampau.Menurut Nugroho Notosusanto penulisannya terdiri dari beberapa metode diantaranya adalah : 1. Heuristik, yaitu cara menghimpum jejak jejak masa lampau. 2. Kritik sumber, dalam hal ini penulis menghimpun dan menyelidiki jejekjejak yang ditinggalkan untuk melanjutkan dikonfirmasikan.

I. Sistematika Penulisan Untuk Memperoleh gambaran yang sistematis dan dapat memberikan gambaran secara garis besar, hal- hal yang akan diuraikan dalam makalah ini maka garis besar makalah ini disusun sebagai berikut: BAB I. PENDAHULUAN Berisikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan, ruang lingkup, landasan teori, hipotesis, sumber data, metode dan teknik dan sistematika penelitian..

BAB II

ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini membahas mengenai Latar Belakang terjadinya perang Diponegoro, Sekilas Penyebab Perang Jawa (1825 - 1830), Jalannya Perang Diponegoro, Akhir Perang Diponegoro dan Pengaruh Perkembangan Politik di Indonesia Paska Perang Diponegoro.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini membahas mengenai kesimpulan dan saran.

BAB II. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Latar Belakang terjadinya perang Diponegoro Keberatankeberatan dan penderitaan sosial ekonomi semakin mendalam oleh penduduk di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ketidakadilan dan kezaliman para penguasa di Pulau Jawa baik kesultanan bangsawan maupun pihak Belanda. Peraturan Fander Capellen yang merugikan semua pihak. Dipacu ketidakadilan dan kezaliman para penguasa di Pulau Jawa, baik kesultanan bangsawan maupun pihak Belanda. Peraturan Vender Capelen yang merugukan semua pihak.Ketidak puasan terbesar terjadi di Yogyakarta. Kesultanan Yogyakarta sendiri berada dalam situasi kurang menguntungkan karena ricuh soal pengganti sultan Hamengkubuwana III. Pangeran Diponegoro mendengar rencana Belanda untuk membuat jalan melintasi tanahnya. Patokpatok sudah dipasang ditempat yang direncanakan tanpa ijin dari Pangeran Diponegoro.

B. Sekilas Penyebab Perang Jawa (1825 - 1830) Perang Diponegoro, yang disebut Belanda sebagai perang Jawa ( 1825 - 1830 ) telah menelan korban tewas di pihak tentara Hindia Belanda sebanyak 15000 orang (8000 orang tentara Eropah dan 7000 orang pribumi), sedangkan di pihak pengikut Diponegoro sedikitnya 200.000 orang tewas.Perang ini tidak hanya perang
7

melawan Belanda namun juga perang (sesama) saudara antara orang kraton yang berpihak ke Diponegoro dan yang anti Diponegoro (antek Belanda). Beberapa faktor yang menyebabkan meletusnya perang Diponegoro adalah sebagai berikut; 1. Kekuasaan terselubung penjajah di kesultan Jogyakarta. Campur tangan penjajah (Belanda dan Inggris) dalam pemerintahan Kesultanan Jogyakarta tersirat dalam kebijakan dan peraturan Kesultanan yang menguntungkan penjajah. Bahkan sah tidaknya kedudukan seorang sultan harus mendapat persetujuan dari penjajah, dan orang-orang yang tidak mau bekerjasama dengan penjajah disingkirkan. Akibatnya beberapa pangeran yang dipecundangi penjajah merasa sakit hati (salah satunya Pangeran Diponegoro ?). 2. Intrik dalam suksesi kerajaan. Ketika HB III mangkat pada tahun 1814 putra mahkotanya (Pangeran Jarot HB.IV) masih berusia 10 tahun, dan untuk sementara pemerintahan dijalankan oleh wali kesultanan yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi (adik kandung HB III) dan Pangeran Diponegoro. (putra tertua HB III dari selir). Konon Diponegoro pernah ditawari oleh ayahnya (HB III) untuk menggantikannya bila ia mangkat, namun ditolak oleh Diponegoro. Penolakan ini kemungkinan disebabkan Diponegoro menyadari bahwa dirinya sebagai anak dari selir raja tentu nantinya akan menghadapi penolakan dan perlawanan hebat dari permaisuri raja dan putra mahkotanya, sementara pihak Belanda pasti tidak akan mengakuinya

karena Diponegoro menolak bekerjasama dengan mereka. Meskipun demikian Ratu Ageng sebagai permaisuri dari mendiang HB III merasa khawatir kalau-kalau para wali sultan merebut kursi sultan dari putranya yang masih kecil itu (maklum perebutan kekuasaan sudah sering terjadi dalam kraton). Ratu Ageng melakukan persekongkolan dengan Belanda. Persekongkolan ini membuahkan hasil Belanda mengangkat dan mengakui Pangeran Jarot sebagai Sultan HB IV, dan mengabaikan fungsi wali sultan yang ada. Peristiwa ini menambah kebencian Pangeran Diponegoro Cs kepada Belanda. Kedua faktor tersebut di atas inilah yang melatar belakangi Pangeran Diponegoro memberontak kepada Belanda. Meskipun demikian Diponegoro belum secara terbuka menyatakan perlawanannya kepada Belanda, karena disamping jumlah pangeran-pangeran yang berpihak kepadanya tidak banyak juga ada saling curiga diantara mereka disebabkan terjadi krisis kepemimpinan, dan keadaan ini dapat digunakan oleh Belanda mengadu domba dan memukul perlawanan tersebut. Menyadari hal ini Diponegoro harus membuat suatu perlawanan yang bentuknya bukan perlawanan para pangeran saja tetapi adalah perlawanan rakyat. Bentuk perlawanan ini disadari oleh Diponegoro untuk menghindari tuduhan Belanda bahwa perlawanan ini semata karena keinginan Diponegoro untuk merebut kekuasaan (kelak Belanda tetap saja menuduh demikian). Untuk itu Diponegoro harus menemukan dan berkoalisi dngan suatu kekuatan yang dapat menggerakkan akar rumput (grassroot) agar perjuangannya bersifat meluas dan lama.

10

3. Eksploitasi sumber daya alam dan manusia. Kolusi pejabat istana dengan penjajah telah melahirkan produkproduk hukum yang sangat merugikan kehidupan masyarakat jawa. Kutipan segala macam pajak dan kewajiban menjual hasil bumi kepada penjajah dengan harga murah telah menyebabkan masyrakat menjadi makin miskin dan melarat. Sebaliknya penjajah menjual mimpi rakyat dalam bentuk perjudian, minuman keras, sabung ayam, pelacuran, serta racun demoralisasi lainnya. Penghancuran karakter (character

Assasination) masyarakat Jawa yang umumnya beragama Islam oleh penjajah ini telah menggugah Kiay Modjo dan seluruh keluaganya berjihat melawan penjajah. 4. Momentum Pemicu Pecah Perang. Moment yang tepat itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825, tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang setia, telah memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuatjalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan neneknya di Tegalrejo. Penggunaan tanah milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemilik-nya. Oleh karena itu Diponegoro

memerintahkan pegawai--pegawainya untuk mencabut tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras dan menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku

11

Residen Belanda di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih Danureja IV. Suasana tegang ini menjadi pemicu meletusnya Perang Jawa.

C. Jalannya Perang Diponegoro Pangeran Diponegoro lari menuju Kalisoko yang terletak 5 Km dari Kota Yogyakarta-tepatnya di Bantul-. Di Kalisoko ini Pangeran Diponegoro mulai menghimpun kekuatan. Banyak tokoh ulama seperti Kyai Mojo bergabung dengannnya bersama santri-santrinya. Bersama Diponegoro ikut juga Pangeran Mangkubumi. Mereka sangat sakit hati dengan Peristiwa Tegalrejo dan segera merencanakan perlawanan. Pada awalnya bentuk pola serangan pasukan Diponegoro adalah gerilya dengan serangan mendadak. Malam hari pasukan Diponegoro masuk mengendap-endap ke Kota Yogyakarta melakukan teror lalu sebelum adzan subuh pasukan itu sudah meninggalkan Yogyakarta. Persenjataan mereka pun sederhana ada yang memakai lembing, panah, pedang, keris dan bahkan ada yang hanya memakai batu plus plintheng (ketapel mini) dan bahkan bambu runcing. Lama kelamaan banyak orang yang bergabung dengan Diponegoro, bahkan 15 dari 19 orang pangeran Yogyakarta bergabung dengan pangeran. Kekuatan pangeran bertambah besar saat para bekas prajurit kraton yang dipecat oleh Sultan Hamengkubuwono III dalam rangka memenuhi perjanjian dengan Raffles ikut bergabung. Markas Pangeran Diponegoro di Kalisoko itu

12

akhirnya tercium juga oleh pihak Belanda dan daerah itu dikepung, tetapi ternyata sudah kosong. Pangeran Diponegoro memindahkan kegiatannya di Gua Selarong. Gua Selarong terletak di sebelah Selatan Kota Yogyakarta tepatnya di Dusun Kentolan Lor, Guwosari, Pajangan, Bantul, daerahnya sangat strategis, berbukit-bukit dan tersembunyi sehingga mudah dipertahankan. Diponegoro menempati gua sebelah Barat yang disebut Gua Kakung, yang juga menjadi tempat beliau bertirakat. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Diponegoro) dan pengiringnya menempati Gua Putri. Di sebelah Timur. Dari sini Pangeran Diponegoro menjalankan taktik gerilya terhadap kedudukan Belanda. Kerugian di pihak Belanda pun makin besar. Di Gua Selarong inilah Pangeran Diponegoro memiliki jumlah pasukan yang sangat besar bahkan 3 kali lipat daripada kekuatan gabungan Surakarta-YogyakartaMangkunegaran-Paku Alaman.Untuk membereskan struktur komando maka Pangeran melakukan pembagian tugas yang sangat rapi. Struktur komando pasukan pangeran adalah seperti berikut 1. Pangeran Joyokusumo (lebih dikenal dengan nama Gusti Bei) Adalah seorang ahli strategi yang berpengalaman dalam perang Yogyakarta-Raffles. Dia diberi kedudukan sebagai penasehat militer Diponegoro. Selain itu juga bertanggung jawab memimpin perlawanan di Utara Jogja

13

2. Pangeran Mangkubumi Diangkat oleh Diponegoro sebagai pelindung keluarga istri dan keluarga para pemimpin perang dan kepala rumah tangga serta mengurusi bagian logistik. 3. Kyai Mojo Diangkat sebagai penasehat spiritual dan keagamaan serta panglima dari prajurit Santri. 4. Alibasah Abdul Mustofa Prawirodirjo Adalah seorang pemuda dari kalangan priyayi santri yang masih berusia 18 tahun yang kerap dipanggil Sentot Prawirodirjo. Dia dipercaya memimpin pasukan berkuda berjumlah 400 orang. Pasukan ini sangat istimewa karena memiliki kemampuan mengendalikan kuda ala Mataram yaitu dengan kedua lutut kaki sehingga kedua tangannya bebas memainkan senjata. Keahlian berkuda seperti ini sangat ditakuti oleh Belanda. 5. Pangeran Anom Diponegoro dan Tumenggung Danukusumo Bertanggung jawab atas perlwananan rakyat di Bagelen. Pangeran Anom Diponegoro adalah putra Pangeran Diponegoro. 6. Pangeran Adiwionoto dan Pangeran Mangundipuro Bertanggung jawab memimpin perlawanan di daerah Kedu. 7. Pangeran Abu Bakar dan Tumenggung Joyomurtopo Bertanggung jawab atas perlawanan di daerah Lawang. 8. Pangeran Adisuryo dan Pangeran Suryonegoro

14

Memimpin perlawanan di daerah Kulon Progo. 9. Tumenggung Cokronegoro Memimpin perlawanan di daerah Gemblong, Godean. 10. Tumenggung Surodilogo Membantu Pangeran Joyokusumo (Gusti Bei) memimpin perlawanan di Utara Yogyakarta. 11. Tumenggung Suryonegoro dan Tumenggung Suronegoro Memimpin perlawanan di daerah Timur Yogyakarta. 12. Joyonegoro, Pangeran Suryodiningrat dan Pangeran Joyowinoto Bertanggung jawab untuk memimpin pasukan pertahanan Gua Selarong. 13. Pangeran Singosari dan Warsokusumo Bertanggung jawab memimpin perlwanan di Gunung Kidul. 14. Mertoloyo, Pangeran Wiryokusumo, Sindurejo dan Dipodirjo Bertanggung jawab memimpin perlawanan di daerah Pajang. 15. Mangun Negoro (Bupati Madiun) Memimpin perlawanan di Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya. 16. Pangeran Serang Memimpin perlawanan di Semarang. 17. Raden Ajeng Kustiah Mulaningsih Retno Edi (Nyi Ageng Serang) Memimpin perlawanan di daerah Purwodadi, Grobogan, Blora, Pati, dan Kudus.

15

Selain itu, Pangeran Diponegoro juga memimpin langsung pasukan yang jumlahnya cukup besar. Pasukan ini dibagi menjadi beberapa kesatuan seperti berikut ini. Tiap kesatuan pasukan dipimpin oleh 1 orang panglima, 2 orang tumengung, 2 orang ulama, dan 1 orang sesepuh adat.

Satuan Bulkiya 400 orang Satuan Penilik 150 orang Satuan Suraja 150 orang Satuan Mandang 100 orang Satuan Mantrijero 40 orang Satuan Suragama 20 orang Satuan Suranata 20 orang Satuan Barjumangah 40 orang Satuan Jogosuro 40 orang Satuan Jogokaryo 100 orang; pasukan ini di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi dan bertugas menjaga keselamatan keluarga para panglima perang.

Satuan Prawiro Tamtama 300 orang Satuan Jayengan 80 orang Satuan Wanengprang 40 orang Satuan Turkiya 300 orang Satuan Markiya 300 orang

16

Satuan berkuda Sentot Prawirodirjo berjumlah 400 orang. Satuan Tamtama Jero pasukan cadangan yang jumlahnya lebih dari 1000 orang.

Satuan Kajineman adalah pasukan berani mati yang bertugas melakukan Sandi Yudha (spionase dan operasi-operasi rahasia) dan juga melakukan sabotase. Pasukan Diponegoro selalu memakai strategi pemancingan dan

menghindari peperangan frontal tetapi lebih suka memakai strategi gerilya. Pasukan Diponegoro ahli dalam mengintai dan mendekati sasaran tanpa menimbulkan suara dan memilih tempat yang baik untuk menyerang atau bertahan. Dalam menyusun formasi mereka selalu berpencar dan membentuk jaringan formasi berbentuk lingkaran agar dapat mengikat lawan. Mereka sering kali melepaskan tembakan panah secara sembunyi-sembunyi ke segala penjuru sambil berlindung di pohon, alang-alang atau desa sekelilingnya. Mereka sering berteriak untuk mempertinggi moril, jika di gunung teriakan itu akan menggema sehingga menimbulkan kesan seolah jumlah mereka banyak. Pasukan Diponegoro mampu berpencar untuk membuyarkan formasi lawan dan menyatu kembali dengan cepat untuk kemudian melakukan serangan terpusat ke lambung lawan yang sudah tidak dilindungioleh sayap pasukan.Diponegoro selalu memancing lawan ke medan yang sulit. Mereka sering melakukan sabotase dengan menghancurkan jembatan, memblokade jalan atau bahkan melakukan aksi tembak sembunyi (sniper). Bahkan di dalam

17

Satuan Kajineman pasukan Diponegoro terdapat suatu regu pasukan berani mati bernama Barisan Sabil. Sebelum berperang mereka selalu melumuri tubuhnya dengan minyak lalu membakar dirinya dan berlari ke arah tumpukan amunisi Belanda, sehingga meledaklah amunisi itu yang segera merontokan moril pasukan Belanda. Karena rakyat banyak yang mendukung Diponegoro maka Belanda semakin kesulitan dalam memadamkan perlawanan pangeran yang satu ini.Kemenangan-kemenangan terus menerus diraih Diponegoro. Tumpukan senjata rampasan berupa bedil dan meriam pun semakin banyak. Semakin banyak pula pasukan yang mengoperasikan kedua senjata modern itu. Berita pemberontakan Diponegoro ini segera sampai ke telinga Gubernur Jenderal Van der Capellen. Gubernur Jenderal ini segera memerintahkan agar seluruh pasukan Belanda di Jawa dikonsentrasikan ke Yogyakarta, Surakarta dan sekitarnya. Sementara itu Belanda sendiri kekurangan pasukan karena harus memadamkan pemberontakan di Sulawesi dan Minangkabau. Jenderal Hendrik Markus de Kock diperintahkan untuk memimpin pasukan Belanda untuk melawan Diponegoro. Langkah pertama De Kock adalah memperkuat pertahanan Kota Yogyakarta. Konsentrasi pasukan Belanda dipusatkan di Benteng Vredenburg. Sementara itu Pasukan Yogyakarta dan Legioen Pakoe Alaman (pasukan PakuAlaman) diminta untuk ikut membantu Belanda dalam mempertahankan kota. Tindakan lain adalah memindahkan Sri Sultan Hamengkubuwono V dari kraton ke Benteng Vredenburg untuk mencegah sultan yang masih kecil ini

18

diculik, untuk keperluan itu di dalam benteng dibangun sebuah kediaman pribadi yang mewah. Benteng Vredenburg dipertahankan oleh 200 orang Belanda dan 500 orang pasukan Sumoatmojo (pengawal sultan Yogyakarta) ditambah 20 meriam. Sementara itu Susuhunan Surakarta Paku Buwono VI dan Adipati Mangkunegoro III menyatakan bahwa Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran tidak akan ikut serta dalam pemberontakan Diponegoro. Dukungan juga diberikan oleh Adipati Sumenep bernama Paku Nataningrat yang juga bersedia mengirimkan pasukan Sumenep ke Jawa untuk membantu Belanda. Karena terharu oleh dukungan dari Sumenep ini maka Paku Nataningrat diangkat oleh Gubernur Jenderal Van der Capellen sebagai Sultan Madura. Tetapi ketika Belanda meninggalkannya Diponegoro menempati kembali gua itu. Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalurjalur Iogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan

19

berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi. Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati Dipoengoro menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba Belanda akan menghentikan ofensif dan melakukan strategi defensif, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak" melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika musim penghujan, Belanda akan

mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda. Belanda mulai pusing dengan perang gerilya yang dilakukan Pangeran Diponegoro. Akhirnya dilakukan pendekatan kekeluargaan dengan

Diponegoro. Belanda mengangkat kembali kakek Pangeran Diponegoro yaitu Sultan Sepuh (Hamengkubuwono II) sebagai sultan Yogyakarta, sultan dibebaskan dari pembuangannya di Penang. Beliau diangkat kembali pada

20

tahun 1826. Sultan Sepuh diminta Belanda agar mau mengajak Diponegoro berunding tetapi. Ajakan ini kemudian ditolak oleh Diponegoro. Akhirnya pada 1828 Sultan Sepuh diturunkan lagi dari tahtanya karena pertimbangan kesehatan dan meninggal pada tahun itu juga. Peperangan pun terus berkecamuk, pertengahan tahun 1826, Belanda mengirimkan pasukan dari Semarang yang dipimpin oleh Kapten Keemsius. Tetapi pasukan ini disergap dan dihancurkan oleh pasukan Diponegoro pimpinan Mulyosentiko di daerah Gagarak (daerah antara Yogya-Magelang). Untuk membuktikan kesungguhannya membantu Belanda, Adipati

Mangkunegaran, KGPAA Mangkunegoro III mengirimkan pasukan Legioen Mangkunegaran dalam jumlah besar (3000 orang) yang dipimpin oleh Raden Mas Suwongso. Tetapi pasukan ini dapat disergap dan dihancurkan oleh pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Tumenggung Surorejo di Randugunting (daerah Kalasan). Suwongso dapat ditangkap dan dibawa ke Selarong. Kemudian Suwongso dibebaskan. Sementara itu, Bupati Kedu Tumenggung Danunigrat bermaksud untuk memimpin pasukannya menyerang Diponegoro karena bermaksud mengambil hati Belanda. Akhirnya pasukan gabungan Kedu-Belanda ini menantang Diponegoro. Pasukan gabungan ini berjumlah 2000 orang dan bergerak menuju Selarong. Di tengah jalan. Untuk mencegat pasukan ini ditugaskan Tumenggung Secodiningrat dan Tumenggung Kertonegoro. Karena pasukan Kedu-Belanda lebih besar maka pasukan yang dipimpin kedua tumenggung inipun terdesak dan mundur, akhirnya mereka meminta

21

bantuan ke Selarong. Kemudian Pangeran Diponegoro mengirimkan 400 orang prajurit Bulkiya yang dipimpin oleh Haji Usman Ali Basyah dan Haji Abdul Kadir. Pasukan Bulkiya kemudian bergabung dengan pasukan Secodiningrat dan Kertonegoro lalu kembali mengadakan serangan melawan pasukan Kedu-Belanda. Dalam pertempuran sengit pasukan Diponegoro mendapat kemenangan dan banyak senjata dirampas. Bupati Kedu Tumenggung Kertodiningrat dan pembantunya Tumenngung Danunigrat dapat dibunuh. Untuk mengimbangi strategi gerilya Pangeran Diponegoro maka Belanda membentuk pasukan Kontra Gerilya yang direkrut dari orang-orang pribumi yang dianggap lebih mengenal medan. Mereka dibayar sama dengan gaji pasukan Belanda berpangkat letnan. Pasukan Kontra Gerilya yang dipimpin oleh seorang Belanda bernama Kolonel Van Jett ini lama kelamaan berhasil mengepung daerah Gua Selarong, karena merasa terkepung Pangeran Diponegoro memutuskan untuk

meninggalkan Gua Selarong. Setelah Belanda mampu menguasai Gua Selarong, mereka mendirikan tangsi militer di situ untuk mencegah Pangeran Diponegoro menggunakan kembali gua bermedan berat itu. Tampaknya Belanda tidak ingin mengulangi kesalahan di masa lalu. Setelah meninggalkan Selarong, Diponegoro memindahkan pusat perlawanannya di Dekso di Kabupaten Kulon Progo. Daerah ini terletak di sebelah Barat Laut Yogyakarta. Di sini atas usulan Kyai Mojo, Pangeran

22

Diponegoro harus diangkat menjadi raja Jawa yang baru. Kyai Mojo mendasarkan usulannya ini karena menilai 4 raja Jawa yang lain (Sri Susuhunan Pakubuwono VI, Sri Sultan Hamengkubuwono V, KGPAA Mangkunegoro III, dan KGPAA Paku Alam I) telah menjadi antek-antek Belanda sehingga mereka sudah tidak layak untuk menduduki tahta. Semua pengikut Pangeran Diponegoro setuju dengan pendapat Kyai Mojo ini. Akhirnya di Dekso Pangeran Diponegoro diangkat sebagai raja dengan gelar Sultan Abdulhamid Erucokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ing Tanah Jawa. Selain sebagai raja Pangeran Diponegoro juga diangkat sebagai kepala agama Islam dan pelindung semua agama. Kyai Mojo diangkat sebagai patih sekaligus penasehat raja, Sentot dan Prawirokusumo diangkat sebagai Senopati dan Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Karto Pengalasan (setingkat dengan Pangdam Jaya saat ini-pen). Diangkatnya Pangeran Diponegoro ini membuat para pamong praja yang bekerja pada Kraton Yogyakarta dan Surakarta berhenti dari jabatannya dan lebih memilih bekerja di bawah Pangeran Diponegoro. Ketika Pangeran Diponegoro mengangkat dirinya sebagai raja dia melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :

Pasukan kavaleri berkuda Sentot yang berjumlah 400 orang itu akan ditambah dengan 600 orang pasukan infantri-sehingga genap 1000 orang-. Pasukan yang dipimpin Sentot ini akan disebut sebagai Satuan Pinilih.

Dibentuk satuan Prajurit Suroyo dengan kekuatan 300 orang yang dipimpin oleh Abu Sungeb.

23

Satuan Bulkiya diperbesar jumlahnya dari mulanya 400 orang dirubah menjadi 713 orang dan akan dipimpin oleh Haji Muhamad Usman, Aliyabsyah, dan Haji Abdul Kadir.

Dibentuk pasukan baru bernama Suryogama berjumlah 300 orang yang dipimpin oleh Dullah Haji Baharudin.

Dibentuk pasukan Mundungan berjumlah 100 orang, dipimpin oleh Tumenggung Mertoloyo.

Pasukan Mantrijero diperbesar dari semula 40 orang menjadi 400 orang yang dipimpin oleh Tumenggung Puthut Lowo.

Dibentuk pasukan Barjumat dengan kekuatan 800 orang yang dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro.

Tumenggung Joyonegoro diangkat sebagai panglima perang di Jogja Selatan dengan kekuatan 1000 pasukan.

Syekh Haji Muda dan Raden Reksokusumo diangkat sebagai panglima yang bertanggung jawab atas keamanan makam leluhur Mataram di Imogiri.

Tumenggung Karto Pengalasan, Haji Ningso dan Haji Ibrahim beserta pasukannya dikirim ke Kali Progo untuk mengacaukan jalur Barat Yogyakarta.

Tumenggung Suronegoro dan pasukannya dikirim ke perbatasan Surakarta-Yogyakarta.

Raden Joyo Petono diperintahkan mengamankan Purbolinggo dan Muntilan.

24

Pangeran Ontowiryo (putra Diponegoro), beserta 9 kyai dan 10 tumenggung diperintahkan memimpin perlawanan di Bagelen. Dari Dekso pasukan Diponegoro kembali melakukan gerilya habis-

habisan melawan Belanda. Pada awal tahun 1826, Diponegoro menganggap bahwa Dekso tidak layak menjadi ibukota kerajaannya sehingga dia mempertimbangkan untuk memilih sebuah kota sebagai ibukotannya. Pilihan jatuh pada Kota Plered. Plered adalah bekas ibukota Kerajaan Mataram. Plered berhasil diduduki tanpa perlawanan dari prajurit Kraton yang menjagannya. Akhirnya Plered dijadikan ibukota bagi Kerajaan Diponegoro. Sementara itu pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Pangeran Singosari yang berkedudukan di Gunung Kidul diserang oleh Belanda. Pangeran Singosati mundur sampai Imogiri, kemudian menggabungkan diri dengan prajurit Bulkiya pimpinan Haji Usman Ali Basyah. Akhirnya pasukan gabungan ini menyerang Gunung Kidul dan merebutnya dari tangan Belanda. Di daerah lain pasukan Belanda yang berkedudukan di Prambanan berhasil dikepung dan dihancurkan oleh Tumenngung Suronegoro. Pada 16 April 1826 Belanda mengadakan serangan gabungan atas Plered dengan mengerahkan Pasukan Wirobrojo (Yogyakarta), Jayengastro (Surakarta), Legioen Paku Alaman, Legioen Mangkunegaran, Pasukan Kontra Gerilya dan pasukan meriam Belanda. Dalam pertempuran habis-habisan ini Plered hampir rata dengan tanah dan korban banyak berjatuhan dari kedua belah pihak. Serangan Belanda ini dapat digagalkan

25

Tetapi sebelum Plered jatuh, Diponegoro dan sebagian besar pasukannya dapat melarikan diri. Akhirnya Plered pun jatuh.Setelah menguasai Plered, pasukan gabungan Belanda segera bergerak menuju Dekso untuk mencegat Diponegoro di sana. Belanda yakin bahwa Diponegoro pasti lari ke sana. Tetapi gerakan pasukan gabungan ini dapat dibaca oleh Diponegoro, maka dia tidak kembali ke Dekso tetapi menghadang pasukan gabungan itu di tengah hutan. Sesampainya di Dekso, ditemui bahwa daerah itu telah kosong. Karena sudah kelelahan maka Pasukan gabungan Belanda itu kembali ke Yogyakarta. Dalam perjalanan pulang pasukan itu disergap pasukan Diponegoro di tengah hutan, dan hampir binasa seluruhnya. Dengan hancurnya pasukan gabungan itu maka praktis Kota Yogyakarta hanya dipertahankan oleh prajurit Kraton Yogyakarta dan Legioen Paku Alaman. Diponegoro dan pasukannya kemudian mengadakan serangan besar ke Yogyakarta. Pasukan ini membinasakan Legioen Paku Alaman dan mengepung Kraton. Akhirnya Belanda mendatangkan bantuan dari Magelang. Pasukan Diponegoro berhasil didesak ke Timur dan akhirnya melarikan diri ke Gawok. Sesampainya di Gawok, Diponegoro mendirikan markas barunya di sana. Di tempat inilah Raja Surakarta Sri Susuhunan Paku Buwono VI menemui Pangeran Diponegoro secara sembunyi-sembunyi. Tidak diketahui apakah yang mereka bicarakan. Di sinilah timbul kontroversi, walaupun Paku Buwono VI menemui Pangeran Diponegoro dan mengetahui letak persembunyian Diponegoro di Gawok tetapi tetap saja pasukan Kraton

26

Surakarta bertempur untuk Belanda walaupun Susuhunan Surakarta itu tidak membocorkan kepada Belanda lokasi persembunyian pangeran itu. Pada pertengahan tahun 1827 De Kock mulai melaksanakan suatu strategi yang brilian untuk mengalahkan Diponegoro. Siasat ini disebut Benteng Stelsel. Pada pokoknya taktik ini adalah membangun bentengbenteng secara terkonsentrasi dan acak, kemudian antara benteng yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan jalan-jalan besar yang memudahkan mengadakan patroli (patroli itu harus berhenti pada titik-titik tertentu dan kemudian melakukan pelebaran front ke samping dengan penembakan meriam serta serangan infantri dengan bayonet), lalu pada jam-jam tertentu bentengbenteng itu harus menembakkan meriam secara acak ke tengah hutan sehingga membuat Diponegoro seolah-olah terkepung. Strategi brilian ini memakan biaya yang besar karena perlu dibuat benteng-benteng baru, menambah jumlah pasukan Kontra Gerilya yang harus melakukan patroli di jalan-jalan yang menghubungkan benteng-benteng tersebut dan juga menambah jumlah meriam-meriam. Belanda kemudian mendirikan benteng-benteng mulai dari benteng kayu sampai benteng batu dan beton yang kokoh. Benteng-benteng itu tersebar mulai dari Citanduy di Jawa Barat sampai ke Gunung Lawu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Benteng-benteng itu berjumlah 161 buah dan didirikan di daerah-daerah penghasil padi. Setiap benteng diperkuat oleh 300 prajurit infantri, 20 meriam dengan 40 operator.

27

Patroli-patroli terus diadakan di jalan yang menghubungkan benteng yang satu dengan yang lain. Tiap patroli berkekuatan 75 infantri dilengkapi 1 meriam dan 15 prajurit berkuda. Strategi ini segera diketahui oleh pasukan Diponegoro, maka beliau pun menjalankan strategi yaitu menyerang benteng-benteng yang belum selesai dibangun. Karena menyerang benteng yang sudah jadi sangatlah susah. Tetapi De Kock tidak kalah cerdik. Dia perintahkan pasukan Yogyakarta dan Surakarta untuk ikut mengawal proyek-proyek pembangunan benteng itu, sehingga menyulitkan pasukan Diponegoro. Dalam usaha menyerang proyek pembangunan benteng di Tegalwaru, Grogol, Pasar Gede, Bligo, Naggulan, Tegal Waru dan Sentolo banyak korban jatuh di pihak Diponegoro. Setelah 161 benteng didirikan, maka De Kock yakin front Diponegoro sudah dapat dipersempit. Untuk memperkuat kepungan maka didirikan benteng baru di Bantul, Kanigoro, Minggir, Tegalwaru (hanya diperkuat), Pulawatu, Kejiwan, Telagapinon, Damalaya, Kemulaka, Pasar Gede (diperkuat), Jatinom, dan Delanggu. Untuk lebih dekat dengan front, pada awal tahun 1828 Jenderal De Kock memindahkan markasnya ke Magelang. Mengetahui hal ini Diponegoro segera merencanakan menyerang Magelang. Pasukan diperintahkan

menyerang benteng Belanda di Bukit Menoreh. Tetapi karena takut kehilangan banyak pasukan, Diponegoro mengganti taktik, benteng tidak jadi diserang tetapi hanya diputari. Pasukan Diponegoro memutari sebelah Barat bukit, menyeberangi jalan Mergoyoso antara Bagelen dan, Purworejo dan

28

Salaman kemudian sampai di Kajoran. Gerakan tak terduga ini membuat Magelang terancam dari Barat. Tetapi serangan ke Magelang ini dibatalkan karena tidak mungkin mengadakan serangan gerilya ke Magelang yang dijaga ketat, sedangkan jika nekat melakukan serangan frontal dikhawatirkan akan jatuh korban besar. Stretegi Benteng Stelsel ini membuahkan hasil. Kepungan dari de Kock yang semakin rapat membuat pasukan Diponegoro menderita sehingga banyak yang akhirnya menyerah.Pasca pertempuran di Gawok, Kyai Mojo banyak dijauhi oleh para senopati. Hal ini yang kemudian menyebabkan Kyai Mojo lebih banyak berdiam diri. Pada Juli 1828, Kyai Mojo meminta ijin kepada Diponegoro untuk kembali ke daerah Pajang dengan tujuan untuk merekrut barisan santri baru untuk memperkuat pasukan Diponegoro (walaupun alasan sebenarnya adalah karena ia dijauhi oleh hampir semua senopati). Dalam perjalanannya ke Pajang ini Kyai Mojo dan pasukannya telah dikuntit oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letkol. Koeps. Sebelum masuk Pajang, Koeps dan pasukannya segera menggempur Kyai Mojo dan pasukannya. Kyai Mojo terdesak dan minta berunding. Pada tanggal 31 Oktober 1828 Kyai Mojo dibawa ke Mlangi untuk berunding dengan Belanda tetapi perundingan ini gagal. Pada tanggal 5 November 1828 diadakan perundingan di tempat yang sama tetapi gagal lagi. Akhirnya Belanda sadar Kyai Mojo hanya mengulur waktu, kemudian kyai itu melanjutkan perjalanan lagi ke Pajang meneruskan gerilya. Tetapi sampai di Pajang rombongan

29

pasukan itu dicegat oleh pasukan Belanda pimpinan Letkol. Le Bron de Vessela. Kyai Mojo berhasil disergap dan dibawa ke Klaten. Senjata pasukan Kyai Mojo dilucuti (ada sekitar 50 pucuk senapan dan 300 tombak). Kyai Mojo kemudian dibawa ke Surakarta, kemudian digiring ke Salatiga lalu ke Semarang dan diangkut dengan kapal ke Batavia. Walau bagaimanapun tertangkapnya Kyai Mojo ini merupakan pukulan berat bagi Diponegoro. Tertangkapnya Kyai Mojo juga menjadi bukti betapa kini pasukannya tidak lagi bebas bergerak seperti dulu lagi. Sementara itu Sentot beserta pasukan Pinilih nya melakukan serangan ke Kali Progo untuk menerobos kepungan Benteng Stelsel Belanda. Sentot berhasil menyeberangi Sungai Progo. Sentot melanjutkan menyerang Pengasih dan Wates. Di belakang Sentot pasukan dipimpin oleh Sumonegoro menyeberangi Sumgai Progo dan menyerang tangsi Belanda di Grogol. Tetapi sayang serangan brilian dari Sentot dan Sumonegoro ini tidak mendapat dukungan logistik yang memadai sehingga sia-sia dan terpaksa mereka harus mundur. De Kock kemudian memerintahkan pasukannya untuk menguasai daerah-daerah subur dan mempertahankannya habis-habisan sehingga diharapkan Diponegoro hanya menguasai daerah-daerah tandus yang dapat membahayakan jalur logistiknya. De Kock juga mengamankan daerah-daerah aliran sungai. Untuk mengamankan jalur pangan tentaranya Diponegoro melakukan ofensif besar-besaran di Sungai Progo. Tetapi gagal karena kuat dan

30

teraturnya pertahanan Belanda.Di sisi lain, pasukan Belanda makin besar jumlahnya karena banyak pasukan dari laur Jawa yang masuk.

D. Akhir Perang Diponegoro Pada penggabisan bulan September 1829 Kajeng Pangeran

Diponegoro berpindah dari Pengasi di Tanah Mataram menuju ke gunungKelir di Tanah Kedu. Di sinilah Perang suci Jawa akan berakhir.Tanggal 14 Oktober terjadi tangkapan di desa Karanggoni Kretek. Di antaratangkapan itu Ratu Ageng istri Kanjeng Pangeran Diponegoro dan Raden Ayu Gusti. Tanggal 16 Oktober 1829 pergerakan Ali Basa Senthot Prawira Dirjaterjadi di Imogiri, bersama dengan menyerah pula Prawira Kesuma dan 20orang Bupati. Gerakan Kanjeng Pangeran Diponegoro dapat tamparan yangtidak terhingga. (Muhammad Yamin; 83 ) Diponegoro datang ke Magelang bertemu dengan De Kock pada akhir Maret untuk melakukan perundingan. Dalam perundingan mengajukantuntutan agar diakui sebagai sultan di sebuah Negara yang merdeka. Juga ia harus diakui sebagai Penatagama. De Kock menjawab bahwa Diponegoro telah bersumpah setia terhadap sultan yang sah karena itu semua yangdilakukannya adalah pemberontakan. Oleh karena itu tak ada pilihan lain bagi De Kock untuk menangkap Diponegoro. Diponegoro ditangkap disebuahkapal Ia dibawa ke Menado, kemudian ia dipindahkan ke Makasar. ( Capt.R.P. Suyono; 173 ) Tahun 1829 merupakan tahun kemunduran bagi Diponegoro. Di tahun itu pula Diponegoro sudah

31

tidak pernah mengadakan ofensif lagi dan justru inisiatif serangan beralih ke tangan Belanda. Pengikut Diponegoro banyak yang menyerah kepada Belanda karena sudah tidak kuat dengan cobaan dan perang gerilya. Sementara itu Pangeran Diponegoro dapat menembus kepungan Belanda di Pengasih dan melarikan diri ke Kedu. Daerah Kedu adalah daerah yang bergunung-gunung sehingga memudahkan Diponegoro melakukan gerilya dan menyusahkan Belanda dalam bergerak. Tetapi de Kock segera membangun benteng-benteng untuk mengepung daerah Kedu sehingga gerakan Diponegoro dapat dibatasi.Pengepungan atas Kedu ini membuat Diponegoro dan pengikutnya hidup dalam keprihatinan yang luar biasa walaupun masih tetap melanjutkan perang gerilya.Banyak pemimpin perang Diponegoro yang menyerahkan diri pada Belanda. Sementara pada tahun 1829 pula terjadi pergantian kepemimpinan di Hidia-Belanda. Komisaris Gubernur Jenderal Du Bus yang menjalankan pemerintahan sejak Van Der Capellen mengundurkan diri pada tahun 1826 digantikan oleh Johaness Van den Bosch. Di tubuh militer sendiri terjadi rotasi pergantian, De Kock diangkat sebagai panglima militer untuk seluruh HindiaBelanda, dan sebagai panglima tentara Belanda di Jawa daingkat Mayor Jenderal Benjamin Bisschof. Tetapi sebelum menunaikan tugasnya Bisschof meninggal karena sakit. Kemudian kepada gubernur jenderal De Kock meminta agar tetap dipercaya memimpin langsung penumpasan terhadap Diponegoro.

32

Akhirnya pada Bulan Ramadhan 1830 M Belanda menjalankan siasatnya. De Kock mengundang Diponegoro untuk melakukan perundingan perdamaian di kantor Residen Kedu di Magelang. Diponegoro yang saat itu masih berpuasa dan pantang berpikiran buruk menyanggupi undangan itu. Berangkat ke Magelang Diponegoro hanya dikawal oleh 25 orang berkuda.Sesampainya di Magelang Diponegoro menemui de Kock dan diadakan perundingan. Pada intinya Diponegoro menuntut sebuah wilayah setingkat kadipaten dan dirinya diangkat sebagai raja adipati (seperti Manngkunegoro di Solo), selain itu ia juga meminta memecat Paku Alam. Perundingan tidak mencapai kata sepakat, dan Diponegoro bermaksud keluar dan kembali ke markasnya. Sebelum keluar dari kantor Residen Kedu Diponegoro ditangkap dan dimasukan ke dalam kereta kuda. Pengikut Diponegoro berusaha untuk membebaskan tetapi dicegah oleh Pangeran Diponegoro yang mengingatkan bahwa saat itu adalah bulan puasa sehingga pantang untuk membunuh atau berperang pada bulan itu. Akhirnya 25 pengikut Diponegoro menyerah sambil menangis. Diponegoro dibawa ke Semarang kemudian diangkut dengan kapal ke Batavia dan dihadapkan pada Gubernur Jenderal Van den Bosch. Kemudian dibawa ke Manado. Di sana Diponegoro dan pengiringnya hidup dengan uang 600 gulden/bulan.Setelah beberapa lama, beliau dipindahkan ke Benteng Fort Rotterdam, Makassar sampai beliau wafat pada 8 Januari 1855.Setelah berakhirnya perlawanan Diponegoro Belanda kemudian mengetahui bahwa Sri Susuhunan Paku Buwono VI telah menemui Diponegoro saat berada di

33

Gawok dan memberikan uang sebesar 25.000 ringgit kepada Diponegoro akhirnya sebagai hukuman maka Paku Buwono VI harus menyerahkan beberapa wilayahnya di daerah Salatiga. Susuhunan Surakarta itu kecewa karena Belanda dianggap tidak adil padahal banyak juga prajurit Surakarta yang mati karena membantu Belanda melawan Diponegoro. Kemudian Susuhunan merencanakan pemberontakan, tetapi tercium oleh Belanda. Ketika Paku Buwono VI sedang melakukan ziarah ke Imogiri dia ditangkap dan dibuang ke Ambon (1830) sampai beliau wafat pada tahun 1849. Sementara itu sebagai jaminan agar pemberontakan Diponegoro tidak terulang lagi Kraton Yogyakarta harus menyerahkan daerah Bagelen, Banyumas, dan Kedu kepada Belanda. Sri Sultan Hamengkubuwono V dan penerus-penerusnya diangkat sebagai Mayor Jenderal Tituler Kerajaan Belanda dan tetap memegang kekuasaan atas Kraton dengan pengawasan seorang Gubernur Belanda yang berkedudukan di dekat Kraton. Sementara pasukan Kraton dikurangi jumlahnya dan tidak boleh lebih dari 500 orang. Setelah Paku Buwono VI ditangkap, paman dari Paku Buwono VI yaitu Gusti Raden Mas Maliki Salikin diangkat sebagai Paku Buwono VII dan diangkat sebagai Jenderal Mayor Tituler Kerajaan Belanda dan dalam menyelenggarakan pemerintahan diawasi oleh Residen Belanda yang juga berkedudukan di dekat Kraton Surakarta dekat degan benteng Vrestensburg di depan kraton. Prajurit Kraton Surakarta juga dikurangi. Selain itu untuk mencegah munculnya kembali perlawanan dari Diponegoro-Diponegoro baru, kebijakan-kebijakan Belanda di Yogyakarta

34

dan Surakarta diperlunak, kedua kerajaan-kerajaan itu diberi status Vorstenlanden (daerah istimewa) di mana kedua daerah itu menjadi daerah bebas pajak. Kraton diberi hak untuk mengurusi pajak dan raja dari Surakarta dan Yogyakarta digaji oleh pemerintah Belanda, sementara birokrat-birokrat kraton akan dibayar oleh kraton sendiri. Karena itulah Surakarta dan Yogyakarta tumbuh menjadi sentra ekonomi industri yang tumbuh pesat walaupun pada prakteknya Belanda tetap mendominasi ekonomi dan politik di Surakarta dan Yogyakarta.Belanda kehilangan 8.000 prajurit berkebangsaan Belanda, 7.000 orang berkebangsaan Indonesia, kerugian di pihak rakyat sipil adalah 200.000 orang mati dan kerugian materiil sebesar 20 juta gulden yang menyebabkan kas pemerintah Belanda semakin defisit.

E. Pengaruh Perkembangan Politik di Indonesia Paska Perang Diponegoro. 1. Perkembangan Politik Belanda Biaya seluruh pengeluaran yang terjadi pada perang Jawa pada akhir peperangan bangsa Belanda memberikan kepada bangsa Belanda pengawasa nserta penguasaan tanpa batas atas Pulai Jawa dari dimulailah suatu jaman pemerintah Kolonial yang baru serta banyak diawali sistim kultur. (Dr. Peter Carai; 63 ) 2. Perkembangan Politik penduduk Pribumi Di tengah api peperangan kawulo dasih dan pemimpin- pemimpin mendesak supaya Negara dan pemerintah cepat dibentuk.Aturan segala bangsa yang beradab selalu dilindungi. Orang tak boleh berbuat semana-

35

mena, karena peradaban itu menentukan batas- batasnya budi pekerti dan perintah rihani, sehingga dengan sendirinya orang mendapatkemerdekaan dalam bertindak menurut lingkungan atau tidak.

36

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Dalam bab ini akan disimpulkan pokok- pokok masalah yang telah diuraikan dari bab- bab sebelumnya berbicara tentang perang, pasti kita harus mengetahui latar belakang perang tersebut. Perang Diponegoro terjadi akibat dari keserakahan pemerintah kolonial Belanda yang dengan liciknya menaikkan Sultan Hamengku Buwono V ketahta kerajaan Yogyakarta menggantikan Sultan Hamengku Buwono IV. Dan liciknya lagi, Sultan Hamengku Buwono V ini masih sangat muda, berumur 3 tahun ! Sehingga, otomatis pemerintahan dijalankan oleh Patih Danuredjo yang sangat tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda. pada pertengahan Mei tahun 1825, pemerintah kolonial memerintahkan membangun jalan antara Yogyakarta dengan Magelang meleati Muntilan, tetapi rencana ini diubah sehingga rutenya berbelok melewati Tegalrejo. Rupanya, disalah satu sektor jalan tersebut melewati makam leluhur pangeran Diponegoro, salah satu pangeran Yogyakarta. Otomatis pangeran Diponegoro naik pitam dan memutuskan untuk angkat senjata dan memerintahkan bawahannya untuk mencabut patokpatok jalan tersebut. Karena sikap pangeran Diponegoro ini, kolonial punya alasan bagus untuk menangkap pangeran Diponegoro. Sehingga pada 20 Juli 1825, kolonial mengepung kediaman pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro terdesak
36

37

dan lari ke arah barat bersama pasukan dan keluarganya menuju desa Dekso di kabupaten Kulonprogo dan dilanjutkan kearah selatan menuju goa Selarong. Kolonial putus asa karena tidak berhasil menangkap pangeran Diponegoro dan memilih membakar kediaman beliau.

B. Saran 1. Untuk melatih berfikir kritis dalam bidang pendidikan sejarah dengan cara memperlihatkan dan menjelaskan tentang sejarah perang Diponegoro dan pengaruhnya terhadap perkembangan politik di Indonesia. 2. Untuk diambil hikmahnya agar penulis dan generasi penerus dapat melestarikan dan meningkatkan semangat patriotisme dan nasionalisme.

38

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Purwadi, M Hum, Megandaru W dan, Kawuryan ,SIP. 2005. Sejarah Perjuangan Pangeran Diponegoro.Tunas Harapan Yogyakarta Capf. R.P. Suyono. Peperangan Kerajaandi Nusantara. Grasindo Jakarta. Dr Peter Caray, Dr. Onghokam 1985. Asal Usul Perang Jawa. Pustaka Azet Jakarta. Muhammad Yamin. Sejarah Peperangan Diponegoro.Yayasan Pembangunnan Jakarta. Sartono Kartodirdjo.1993. Sejarah Pergerakan Nasional. PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

39

PERANG DIPONEGORO
Karya tulis yang dibuat untuk memenuhi Salah satu Persyaratan Mengikuti Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2012/2013

Oleh: AAN MUFQI AL ASHARI Kelas : XII IPS 3

SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) DARUSSALAM Jalan Otista Nomor 36 Ciputat Tangerang Selatan 2012/2013

40

SMA DARUSSALAM PROGRAM IPS

LEMBAR PENGESAHAN SETELAH LULUS DIUJIKAN


Nama NIS Program Judul Karya Tulis : Aan Mufqi Al Ashari : 09101015 : IPS : Perang Diponegoro

Tangerang Selatan, 23 Mei 2013 Penguji Guru Pembimbing

) Mengetahui

( Wisa Dwitiara, S.Si, Apt)

Kepala Sekolah SMA Darussalam

Marul Waid, S.Ag


i

41

ABSTRAK

Aan Mufqi Al Ashari Perang Diponegoro Perang Diponegoro terjadi akibat dari keserakahan pemerintah kolonial Belanda yang dengan liciknya menaikkan Sultan Hamengku Buwono V ketahta kerajaan Yogyakarta menggantikan Sultan Hamengku Buwono IV. Dan liciknya lagi, Sultan Hamengku Buwono V ini masih sangat muda, berumur 3 tahun ! Sehingga, otomatis pemerintahan dijalankan oleh Patih Danuredjo yang sangat tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda. pada pertengahan Mei tahun 1825, pemerintah kolonial memerintahkan membangun jalan antara Yogyakarta dengan Magelang meleati Muntilan, tetapi rencana ini diubah sehingga rutenya berbelok melewati Tegalrejo

ii

42

MOTTO

Yang Singkat Itu Waktu Yang Besar Itu Nafsu Yang Berat Itu Amanah Yang Sulit Itu Ikhlas Yang Abadi Itu Amal Kebajikan Yang Mudah Itu Berbuat Dosa Yang Terindah Itu Kita Mau Dan Saling Memaafkan

iii

43

KATA PENGANTAR

Dengan diiringi doa serta memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan Hidayah-Nya kepada penyusun, shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun umatnya dari masa kebodohan menjadi masa yang cerah penuh dengan cahaya. Penyusunan karya tulis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk mengikuti Ujian Akhir Nasional (UN) di SMA Darussalam ini. Mengingat keterbatasan kemampuan, pengetahuan pengalaman dan waktu yang dimiliki, maka penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jau dari kesempurnaan serta masih jauh dari kesempurnaan serta masih terdapat kekurangan-kekurangannya. Untuk itu penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik serta sumbangan-sumbangan pemikiran lainnya yang bersifat membangun. Terselesaikanya karya tulis ini juga atas dorongan dan peran serta dari semua pihak yang turut membantu selama penulis melaksanakan penulisan karya tulis ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sangat mendalam dan sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak H.M. Salman Faris, SE, selaku Ketua Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Darussalam 2. Bapak Marul Wais, S.Ag, selaku Kepala Sekolah SMA Darussalam 3. Ibu Azye Murni, S.S, selaku wali kelas XII IPA 1 4. Bapak Ishlah Syam S.H , selaku pembimbing yang telah banyak membantu untuk menyelesaikan karya tulis ini 5. Bapak/Ibu guru beserta staf SMA Darussalam 6. Kepada kedua orang tua tercinta yang tidak pernah berhenti dalam menuntun langkaku dan terus memberikan belaian cinta serta doa mereka kepada penulis

iv

44

7. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan segala bantuannya sehingga karya tulis ini dapat terselesaikannya. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan hidayah-Nya dan membalas segala amal kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca karya tulis ini pada umumnya.

Tangerang Selatan, 29 Mei 2013

Penulis

45

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ABSTRAK........................................................................................................ MOTTO............................................................................................................ KATA PENGANTAR...................................................................................... DAFTAR ISI.................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah........................................................... B. Perumusan masalah.................................................................. C. Tujuan dan Kegunaan .............................................................. D. Ruang lingkup........................................................................... E. Landasan teori........................................................................... F. Hipotesis................................................................................... G. Sumber data.............................................................................. H. Metode dan teknik ................................................................... I. Sistematika penelitian............................................................... BAB II ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Latar Belakang terjadinya perang Diponegoro......................... B. Sekilas Penyebab Perang Jawa (1825 - 1830).......................... C. Jalannya Perang Diponegoro.................................................... D. Akhir Perang Diponegoro......................................................... E. Pengaruh Perkembangan Politik di Indonesia Paska Perang Diponegoro............................................................................... BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .............................................................................. B. Saran......................................................................................... DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
vi

i ii iii iv vii

1 2 3 4 4 4 5 5 5

7 7 11 30 34

36 37 38

46

DATA PRIBADI

1. Nama Lengkap 2. Tempat/Tgl Lahir 3. Agama 4. Jenis Kelamin 5. Alamat Lengkap 6. Telepon Riwayat Pendidikan 1. SDI 2. SMP 3. SMA

: Aan Mufqi Al Ashari : Tangerang, 24 juli 1994 : Islam : Laki-laki : Jln. Surya kencana RT. 04/06 No. 46 Gg.nari : 083899362808

Assadatudarain 1 Darussalam Darussalam

PAMULANG Ciputat Ciputat

2000-2006 2007-2009 2010 - 2012

Anda mungkin juga menyukai