Anda di halaman 1dari 11

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA DI LINGKUNGAN TERMINAL (005)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mendengar kata pedagang asongan, supir, kondektur, dan calo mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita. Pedagang asongan adalah para pedagang yang biasa menjajakan dagangannya di sekitar terminal dan di dalam bus-bus. Mereka selalu berupaya untuk menarik pembeli agar membeli dagangannya, yang kadang juga suka terlihat agak memaksa. Supir adalah para pengemudi bus atau angkot yang selalu terlihat di lingkungan terminal. Kondektur adalah orang yang membantu supir untuk menarik penumpang ke dalam angkot atau bus, sedangkan calo adalah perantara atau reseller. Kata calo kadang bersifat negatif karena apa yang calo lakukan adalah menggunakan kesempitan orang menjadi suatu kesempatan. Calo juga identik dengan preman atau penguasa daerah tertentu yang sudah menjadi objek pencariannya. Di lingkungan terminal, kita terkadang sering mendengar pembicaraan yang diucapkan oleh pedagang asongan, supir, kondektur, dan para calo yang sering mengucapkan kata-kata kasar. Penulis sendiri pernah melihat bagaimana para supir angkot atau bus dengan wajah terpaksa memberi sejumlah persenan kepada calo. Mungkin bagi sebagian orang hal yang dilakukan para calo itu biasa saja, sehingga mereka pantas menerima sejumlah uang. Lalu apa yang akan terjadi jika para supir dan kondektur tersebut tidak memberikan uang yang tidak sesuai dengan keinginan para calo. Yang terjadi selanjutnya adalah teriakan kata-kata makian atau kata-kata kasar (sarkasme) yang keluar dari mulut calo tersebut kepada supir dan kondektur. Sarkasme yang keluar dari mulut calo-calo itu biasanya adalah nama-nama binatang seperti anjing, monyet, babi dan sebagainya. Jika supir tidak menerima perkataan yang dilontarkan calo kadang-kadang mereka pun membalas dengan makian yang lebih kasar, sehingga sering terjadi adu mulut antara para calo, supir, dan kondektur. Hal ini juga sering diikuti oleh pedagang asongan yang sering menambah suasana menjadi ricuh. Salah satu fenomena kebahasaan yang penulis dapatkan adalah tuturan yang diucapkan oleh salah satu calo dan supir angkot di terminal Cicaheum : Supir : Yeuh duitna, dua rebu nya? Calo : Anjing maneh mah ngan sakieu! Supir : Terus mentana sabaraha? Urang ge can nyetor, teu boga duit sia!

Calo : Mbung nyaho aing mah, sarebu deui atuh! Supir : Lebok tah duitna, blegug maneh mah! Calo : Ehdasar supir monyet. Fenomena kebahasaan di atas adalah penggalan beberapa kalimat realisasi kesantunan berbahasa yang diucapkan oleh calo dan supir angkot di terminal Cicaheum. Penulis akan meneliti fenomena kebahasaan yang terjadi pada tiga bahasa, yaitu bahasa Sunda, bahasa Jawa (Cirebon), dan bahasa Indonesia. Banyak hal yang membuat kata-kata kasar keluar dari pemakainya. Sarkasme itu sendiri kadang bisa memancing kemarahan orang yang dituju, tapi kadang juga tidak berpengaruh karena itu sudah menjadi hal yang lumrah untuk keduanya. Dilihat dari sudut penuturnya, bahasa itu berfungsi personal atau pribadi (Halliday 1973; Finnocchiaro 1974; Jakobson 1960 menyebutkan fungsi emotif). Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah, atau gembira. Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar (Finnocchiaro 1974; Halliday 1973 menyebutkan fungsi instrumental; dan Jakobson 1960 menyebutkan fungsi retorikal). Disini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimaui si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, imbauan, permintaan maupun rayuan. Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini berfungsi fatik (Jakobson 1960; Finnocchiaro 1974 menyebutkan interpersonal; dan Halliday 1973 menyebutkan interactional), yaitu fungsi menjadi hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas nasional. Dalam masyarakat, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sangat beragam. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena interaksi sosial yang mereka lakukan beragam. Menurut Moeliono (1980:17), mengikuti Quirk, Grenbaum, Leech, Svarvik (1972), ditinjau dari sudut pandangan penutur, ragam dapat diperinci menurut patokan daerah, pendidikan, dan sikap penutur. Sarkasme adalah sejenis majas yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dengan menyakiti hati (Purwadarminta dalam Tarigan, 1990:92). Apabila dibandingkan dengan ironi dan sinisme, maka sarkasme ini lebih kasar. Menurut Badudu (1975:78),

sarkasme adalah gaya sindiran terkasar. Memaki orang dengan kata-kata kasar dan tak sopan di telinga. Biasanya diucapkan oleh orang yang sedang marah. Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti aktivitas sosial lainnya, kegiatan bahasa bisa terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, pembicara dan lawan bicara sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan bicaranya. Setiap peserta tindak ucap bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi sosial itu (Alan dalam Wijana, 2004:28). Di dalam berbahasa juga terdapat etika komunikasi, dan di dalam etika komunikasi itu sendiri terdapat moral. Moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan yang memuat ajaran tentang baik dan buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau buruk (Burhanudin Salam, 2001:102). Etika juga bisa diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri juga sering digunakan dengan kata moral, susila, budi pekerti dan akhlak (Burhanudin Salam, 2001:102). Sementara itu, secara sederhana Prof. I. R. Poedjowijatna (1986), mengatakan bahwa sasaran etika khusus kepada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal banyak yang tidak mengandung etika. Dalam berkomunikasi, tidak akan pernah lepas dengan adanya pola berbahasa yang diucapkan kasar, baik berupa olok-olok atau sindiran yang menyakitkan hati. Seperti tuturan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur tidak mengandung unsur kesantunan berbahasa. Misal, mudah marah, kata-katanya kasar, dan bersifat memaksa saat meminta uang karena mereka merasa penguasa tempat tersebut. Suparno menjelaskan dalam artikelnya, bahwa ragam bahasa yang tidak santun ini menjadi hal yang lazim diucapkan. Sarkasisasi tersebut justru menjadikan keakraban tanpa sekat strata, sehingga mereka yang menggunakan ragam bahasa tersebut dapat menikmatinya dengan senang dan bangga hati. Fenomena kebahasaan ini tentu saja menarik untuk diteliti karena dapat menambah wawasan keilmuan linguistik saat ini. Penulis memilih analisis kesantunan berbahasa pada tuturan orang-orang penghuni terminal berdasarkan pertimbangan bahwa; ragam bahasa yang kasar kerap kali menjadi instrumen komunikasi dalam pergaulan sebagian masyarakat Indonesia. Baik kalangan yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan, karena penelitian mengenai kesantunan berbahasa ini masih jarang dilakukan, maka penulis tertarik untuk menelitinya. Sepengetahuan penulis, ada beberapa yang sudah meneliti tentang kekasaran berbahasa, diantaranya Ai Sulastri

(2004) dengan judul Gejala Disfemisme (Bentuk Pengasaran) Dalam Bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini adalah ternyata banyak sekali kekasaran berbahasa dalam bahasa Indonesia. Para pemakai bahasa kasar ini pun semakin merasa nyaman dengan apa yang mereka lontarkan. Selain Ai Sulastri juga ada Lela Febrianti (2006), dengan judul Sarkasme Pada Film Anak-anak. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa bentuk kekasaran berbahasa tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja, tetapi sudah menjalar ke anak-anak dengan ditayangkannya film anak-anak yang bahasanya terkadang kasar. Dari beberapa sumber yang disebutkan itu, dapat diketahui bahwa penelitian tentang Realisasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Terminal belum dilakukan secara khusus. Untuk itu, melalui penelitian ini akan dicoba melakukan telaah terhadap tuturan para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal yang mengandung kekasaran berbahasa dengan memperhatikan tuturan yang dilakukan oleh mereka. 1. 2. Identifikasi Masalah Hal-hal yang diidentifikasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. wujud ragam bahasa yang dipakai oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur; 2. bahasa yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur banyak yang tidak santun; 3. ragam bahasa yang tidak sepantasnya diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur dan; 4. penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. 1. 3. Batasan Masalah . Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya terbatas pada hal-hal sebagai berikut: 1. tuturan para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang tidak mengandung kesantunan; 2. ragam bahasa yang tidak sepantasnya diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur; 3. calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang dituju adalah yang ada di terminal angkot/bus dan; 4. penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan yag diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di terminal angkot/bus.

1. 4. Rumusan Masalah: 1. Bagaimana realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal? 2. Apa sajakah ujud ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur? 3. Bagaimana penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur? 4. Bagaimana persepsi penyimak bahasa yang berasal dari luar lingkungan terminal terhadap realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal? 1. 5. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. mendeskripsikan kesantunan berbahasa oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal; 2. untuk mencari tahu ragam bahasa yang digunakan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal; 3. mendeskripsikan penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal dan; 4. mengetahui persepsi penyimak bahasa di luar lingkungan terminal terhadap kesantunan berbahasa para calo, pedagang asongan, supir, dan kndektur. 1. 6. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut. 1. Untuk kajian linguistik, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya data tentang penelitian bahasa-bahasa kasar. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendokumetasikan nilai-nilai kesantunan yang dituturkan di lingkungan terminal. 1. 7. Definisi Operasional 1. Lingkungan terminal adalah tuturan sarkasme antara calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang terjadi di terminal Cicaheum Bandung dan terminal Harjamukti Cirebon. 2. Calo adalah orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya dalam mencari penumpang di lingkungan terminal yang menuturkan tuturan sarkasme. 3. Pedagang asongan adalah orang yang biasa menjajakan dagangannya di lingkungan terminal terutama di dalam bus yang menuturkan tuturan sarkasme.

4. Supir adalah orang yang mengemudikan kendaraan angkot/bus yang ada di lingkungan terminal yang menuturkan sarkame. 5. Kondektur adalah orang yang membantu supir untuk menarik penumpang di lingkungan terminal yang menuturkan sarkasme. 6. Gaya bahasa sarkame adalah gaya bahasa yang memuat kata-kata kasar, olokolok, atau sindiran pedas yang menyakitkan hati. 7. Realisasi kesantunan berbahasa adalah proses menjadikan bahasa yang halus, baik, dan sopan. 8. Prinsip sopan santun adalah prinsip yang terdapat dalam ilmu Pragmatik yang di dalamnya terdapat enam maksim yaitu, maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian oleh Leech. 9. Sosiopragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji bahasa dengan pendekatan sosial dan pragmatik

Anak cakap kotor, kesat


Cakap kotor, kesat Oleh NORAINON OTHMAN [email=norainon@hmetro.com.my]norainon@hmetro.com.my[/email]

SAKITLAH bodoh. Mata letak mana, buta ke? Kepala otak kau... kata seorang kanak-kanak berusia 10 tahun sambil mengetuk kepala rakan yang tidak sengaja melanggarnya. Engkaulah bodoh. Ingat aku sengaja. Alah,kau tu lembik, kena sikit pun dah nak koma ... balas rakan terbabit. Semacam ada yang tak kena apabila kanak-kanak berbalas mengeluarkan kata-kata kesat apabila tidak puas hati. Pada usia masih mentah dan belum kaya dengan perbendaharaan kata, banyak perkataan yang sepatutnya tidak disebut, dihamburkan sewenang-wenangnya. Apatah lagi jikayang menyebut perkataan kesat atau mencarut ialah kanak-kanak yang baru belajar bercakap. Mereka cuma meniru perkataan yang didengar dan kadangkala tidak tahu makna sebenar perkataan itu. Apabila anakmula bercakap kotor dan kesat, apa harus ibu bapa lakukan? Renungkandiri,

mungkinkah anda pernah mengeluarkan kata kesat atau mencaru tketika marahkan sesuatu tanpa menyedari perkataan itu didengari anak. Mungkin anda menyumpah pemandu lain ketika memandu atau menyebut perkataan lucah ketika berbual dengan orang dewasa seperti suami atau rakan. Namun, sememangnya tidak wajar menyalahkan ibu bapa sepenuhnya berhubung perkara itu kerana anak menerima pengaruh luar seperti rakan sebaya, jiran, percakapan orang tidak dikenali ketika di luar rumah atau pengaruh media massa. Lihat saja banyak rancangan kartun dari luar negara yang dialih bahasa, mengeluarkan kata kesat yang mudah diserap kanak-kanak. Anak kecil menerima secara langsung perkataan tidak sedap didengar apabila menonton kartun yang menjadi rancangan kegemaran mereka. Sungguh memalukan apabila perkataan kesat atau mencarut diucapkan anak di depan orang lain, terutama tetamu atau kenalan kita, kerana menggambarkan seolah-olah dia tidak beradab. Anak berusia lima atau enam tahun mungkin bertanya kepada anda: Ibu,boleh tak cakap... (mencarut)? Anda kemudian bertanya dari mana diapelajari perkataan itu dan dia menjawab, rakan di taman asuhan kanak-kanak (taska) menyebut perkataan itu. Untuk mengelak anak menyebut perkataan tidak enak didengar, tegur dengan baik dan beritahu kesan menyebut perkataan itu di depan orang lain. Maklumkan kepadanya, seseorang yang menyebut perkataan tidak sedap didengar akan dipandang serong dan dilabel budak jahat. Kata-kata kesat akan menyebabkan rakan berkecil hati atau marah, seterusnya mengundang pergaduhan. Jangan sekali-kali ketawa ketika anak menyebut perkataan kesat atau mencarut kerana akan menyebabkan anak menyebutnya berulang kali. Selain itu, tahan mulut anda daripada memaki hamun atau mencarut ketika marah kerana anak mencontohi banyak perkara daripada orang yang terdekat dengan dirinya. Apabila anak masih menyebut perkataan tidak elok, anda buat-buat tidak dengar atau tidak melayannya. Beri peringatan kepadanya, jika masih menyebut perkataan itu, dia tidakdipeduli kerana melakukan kesalahan tidak menjaga mulut.

Katakan kepada anak, seseorang yang sering mengeluarkan perkataan tidakmanis adalah individu yang tidak bersyukur dengan nikmat mulut yang diberi Allah. Anda juga boleh menyergah anak apabila diamenyebut perkataan itu ketika bergaduh dengan abang atau kakaknya.Sesiapa yang bermulut jahat akan dicili. Jika dia masih berani bercakap tidak sepatutnya, tindakan mematahkan cili dan menakutkan untuk dilumur ke mulut anak boleh dilakukan supaya dia serik. Anda juga boleh memberi amaran akan merotannya jika dia masih berdegil.Di samping itu, banyakkan berdoa kepada Allah supaya anak berubah sikapdan menjadi anak soleh.

Kesantunan bahasa di kalangan remaja Oleh MOHD. FARID MD. ALIAS ([email]fikrahremaja@yahoo.com[/email]) EII.. apalah korang ni.. Aku dah tunggu korang lama iler..Nenek aku pun lagi laju daripada korang lah. Ingat mak bapak korang bayar aku untuk tunggu korang ke? Pak Abu menggeleng kepala mendengar perbualan sekumpulan remaja yang menunggu bersama-samanya di perhentian bas. Bahasa yang mereka gunakan begitu kasar dan tidak mencerminkan budaya orang Timur, apatah lagi orang Islam. Pak Abu sendiri berasa tidak selesa mendengar perkataan yang kurang baik, apatah lagi untuk menuturkannya. Pak Abu kadang kala menjadi bingung mendengar istilah-istilah baru, terutama dalam khidmat pesanan ringkas (SMS) dan emel yang digunakan remaja yang tidak pernah didengarinya selama ini. Barangkali remaja sendiri kadangkala tidak meneliti bahasa yang mereka gunakan dalam percakapan seharian. Barangkali remaja bertutur sedemikian rupa dengan sengaja bagi menggambarkan identiti atau penampilan diri remaja. Namun remaja harus sedar bahawa keperibadian diri mereka tergambar melalui cara bagaimana mereka berkomunikasi dengan orang lain. Yang Indah Itu Bahasa Bersopan santun dalam berbicara di kalangan remaja merupakan aspek yang menarik untuk dikaji dari pelbagai perspektif. Kesantunan bahasa ialah tatacara atau peraturan yang wujud dalam berbahasa dan dapat dilihat dalam interaksi

antara dua atau lebih pihak yang berkomunikasi. Bahasa bukan setakat alat untuk menyampaikan maklumat semata-mata, tetapi turut berperanan dalam menyampaikan perasaan penuturnya. Melalui bahasa, kita dapat menyembunyikan dan mengungkapkan pemikiran kita. Dengan bahasa juga konflik boleh tercipta dan berakhir. Maka dengan bahasa yang kita gunakan itu boleh menggambarkan keperibadian kita, siapa kita, asal usul kita, sosiobudaya kita, pendidikan kita dan banyak hal yang berkaitan dengan kita, sama ada ia sesuatu yang baik mahupun sebaliknya. Islam sentiasa menganjurkan umatnya berlemah lembut dalam berbicara, baik dalam tutur bahasa dan juga nada. Pertuturan yang baik adalah cerminan hati yang bersih, tulus dan tenang. Pertuturan yang baik juga menggambarkan ketinggian akhlak yang dimiliki. Pengisyaratan Allah di dalam surah Al-Hujurat ayat 11 supaya tidak memperolokolokkan orang atau kaum yang lain adalah tanda jelas bahawa Islam menganjurkan umatnya supaya sentiasa berlemah lembut dan berhati-hati akan perasaan orang lain. Mengapa Berkasar Bahasa? Banyak faktor yang mempengaruhi remaja menggunakan bahasa yang kurang sopan dalam pertuturan seharian. Faktor emosi serta cara didikan keluarga dan persekitaran boleh menimbulkan permulaan kepada perlakuan ini. Seseorang yang sering melafazkan perkataan yang tidak baik, kasar atau mencarut merupakan gambaran situasi jiwanya yang resah, kusut dan memberontak. Semasa pembesaran remaja, didikan keluarga yang tidak mementingkan penggunaan bahasa yang baik boleh menyumbang kepada permasalahan ini. Ibu bapa yang tidak berlemah lembut dan menggunakan perkataan yang tidak sesuai apabila bercakap dengan anak-anak mereka boleh mendidik anak-anak mereka menjadi begitu. Kadang kala ibu bapa yang bergaduh di hadapan anak-anak juga cenderung untuk menggunakan bahasa dan nada yang kurang baik dan ini meninggalkan contoh yang tidak baik kepada anak-anak. Hal ini boleh jadi disengajakan ketika menuturkan kata-kata demikian untuk melepaskan perasaan marah atau kekusutan fikiran, dan besar kemungkinan juga tidak disengajakan kerana sedang alpa atau lalai dibuai perasaan emosi tersebut. Secara tidak langsung, penggunaan bahasa sebegitu hanya menaikkan ego mereka dan menunjukkan percubaan untuk menguasai emosi orang yang dimarahi.

Selain itu, pengaruh rakan sebaya dan persekitaran juga menyumbang kepada masalah ini. Sesetengah remaja cenderung menggunakan bahasa yang kesat dalam pergaulan seharian. Hal ini amat jelas terutamanya apabila mereka bergaul dengan rakan-rakan sebaya. Sebagai contoh, perkataan seperti ial sering diungkapkan oleh sesetengah remaja kita bagi mengungkapkan rasa tidak puas hati atau memberi kritikan terhadap sesuatu. Namun sebenarnya perkataan sedemikian dan banyak lagi perkataan lain yang berbaur kesat serta mencarut adalah amat tidak manis didengar walaupun diungkapkan antara sesama rakan sebaya. Persoalannya adakah mereka mengerti akan maksud perkataan yang diungkapkan serta kesannya terhadap perilaku diri dan sensitiviti orang lain? Sungguh pun pertuturan itu hanya berlaku sesama mereka sendiri, adalah tidak mustahil untuk mereka menuturkannya apabila berbicara dengan orang lain. Penggunaan bahasa kasar di dalam SMS dan blog juga tidak terlepas daripada menjadi punca kepada permasalahan ini. Kadang kala, akibat menjadi mengambil mudah akan hal ini, sensitiviti orang lain tidak dijaga. Selain itu, media juga berperanan besar dalam hal ini. Penggunaan perkataan yang tidak sesuai yang ditonjolkan di dalam drama, filem dan juga lagu-lagu sedikit sebanyak menjadi ikutan remaja masa kini. Akibatnya, remaja terbawa-bawa dalam kehidupan seharian. Pertuturan seharian kita juga mampu mempengaruhi minda separa sedar kita (subconscious mind) lalu mewujudkan tabiat berfikir yang boleh menjurus ke arah pemikiran positif atau negatif. Hal ini selanjutnya mampu mencorakkan sikap dan emosi kita terhadap perkara yang berlaku di sekeliling. Maka apabila kita senantiasa bertutur dengan perkataan yang kasar atau negatif, kita sebenarnya secara tidak langsung memprogramkan minda kita ke arah pemikiran negatif. Kesannya, kita bakal membentuk tingkah laku dan emosi yang negatif pula. Mendidik Remaja Bertutur dengan Sopan Dalam hal ini, para ibu bapa berperanan untuk membimbing anak-anak mereka dalam membentuk gaya pertuturan yang sopan dan teratur. Ketegasan ibu bapa diperlukan agar anak-anak terbiasa dengan disiplin pertuturan yang terdidik walau di mana mereka berada. Anak-anak terutamanya pada peringkat umur kanak-kanak sememangnya amat mudah mempelajari ungkapan baru daripada orang di sekeliling mereka. Mereka

kemudiannya akan berusaha menggunakan ungkapan tersebut dalam pergaulan seharian, walaupun pada dasarnya mereka tidak memahami apa yang dipertuturkan. Maka ibu bapa perlu menegur dan menegah anak-anak kecil daripada menggunakan perkataan yang kasar atau kesat sejurus perkara tersebut berlaku agar tidak diulangi lagi. Kesimpulan Sekecil-kecil amal perbuatan kita bakal dihisab di Padang Mahsyar kelak. Justeru kita seharusnya berhati-hati terhadap apa jua yang kita tuturkan. Sebagai remaja Muslim, kita perlu sentiasa menjaga percakapan kita agar tidak menyakiti perasaan orang lain dan menimbulkan ketegangan. Lemah lembut dan bersopan dalam bertutur kata tidak akan merendahkan harga diri remaja, sebaliknya menambahkan rasa hormat orang lain terhadap kita dan mengeratkan ukhuwah antara sesama insan. Yang kurik itu kendi, Yang merah itu saga, Yang baik itu budi, Yang indah itu bahasa.

Anda mungkin juga menyukai